Anda di halaman 1dari 34

I.

PENDAHULUAN

A. Judul
Pengaruh Faktor Luar
B. Latar belakang
Salah satu pengendalian aktivitas mikrobia adalah mengatur faktor-
faktor lingkungan yang mempengaruhinya. Pertumbuhan mikroba
umumnya sangat tergantung dan dipengaruhi oleh faktor lingkungan,
perubahan faktor lingkungan dapat mengakibatkan perubahan sifat
morfologi dan fisiologi. Hal ini dikarenakan, mikrobia selain
membutuhkan nutrien yang sesuai untuk pertumbuhannya, juga diperlukan
faktor lingkungan yang memungkinkan pertumbuhan optimumnya.
Faktor- faktor tersebut meliputi faktor biotik dan abiotik. Faktor
abiotik meliputi faktor fisik dan kimia lingkungan. Beberapa faktor abiotik
yang perlu mendapat perhatian ialah temperatur, pH, daya logam berat
(daya oligodinamik), sinar gelombang pendek, kelembaban, pengeringan,
dan tekanan osmosis. Sedangkan faktor biotik meliputi assosiasi atau
kehidupan bersama antara mikrobia. Asosiasi ini dalam bentuk sinergisme,
sintropisme, dan antibiose (Jutono, 1980).
Mikrobia dalam pertumbuhannya dipengaruhi oleh beberapa
faktor, baik faktor fisik, kimia, maupun biologi. Dalam mengatur dan
mengendalikan mikrobia maka harus mengetahui faktor yang
mempengaruhinya. Hal ini terutama faktor dari luar, atau faktor
lingkungan. Faktor ini mempengaruhi mikrobia, baik fisiologi maupun
morfologi. Maka dalam praktikum ini dilakukan percobaan pengaruh
faktor luar terhadap pertumbuhan mikrobia, dalam hal ini adalah bakteri.
Faktor luar yang akan diujikan dan dipelajari dalam percobaan kali
ini adalah pengaruh temperatur, pengaruh logam Cu, pengaruh desinfektan
(HgCl2, HNO3, NHClO, iod, dan alkohol 70%), dan pengaruh antibiotik
(Amphicillin) pada , Chloroxylenol, dan ekstrak serai. Suhu dipelajari
karena bakteri mampu hidup pada kondisi suhu tertentu, pengaruh logam
Cu dalam hal ini mampu merusak pertumbuhan bakteri karena bersifat
toksis terhadap mikrobia. Pengaruh desinfektan dipelajari karena hampir
senyawa kimia mampu menghambat pertumbuhan mikrobia bahkan
membunuh mikrobia. Pengaruh antiseptik dipelajari karena kemampuan
penggunaan senyawa kimia untuk membunuh dan menekan pertumbuhan
mikrobia.
C. Tujuan
1. Mengetahui pengaruh suhu (4 ºC, 37 ºC, dan 55 ºC) terhadap
pertumbuhan bakteri Eschericia coli
2. Mengetahui pengaruh suhu (4 ºC, 37 ºC, dan 55 ºC) terhadap
pertumbuhan bakteri Bascillus subtilis
3. Mengetahui pengaruh logam berat Cu dan HgCl2 terhadap
pertumbuhan bakteri Eschericia coli
4. Mengetahui pengaruh logam berat Cu dan HgCl2 terhadap
pertumbuhan bakteri Bascillus subtilis
5. Mengetahui pengaruh desinfektan (Iod, NaClO, HNO 3, dan alkohol
70% terhadap pertumbuhan bakteri Eschericia coli
6. Mengetahui pengaruh desinfektan (Iod, NaClO, HNO 3, dan alkohol
70% terhadap pertumbuhan bakteri Bascillus subtilis
7. Mengetahui pengaruh Antibiotik (Amphicillin, Chloroxylenol dan
ekstrak serai) terhadap pertumbuhan bakteri Eschericia coli
8. Mengetahui pengaruh Antibiotik (Amphicillin, Chloroxylenol dan
ekstrak serai) terhadap pertumbuhan bakteri Bascillus subtilis
II. TINJAUAN PUSTAKA

Menurut Fardiaz (1992), pertumbuhan dapat didefinisikan sebagai


pertambahan secara teratur semua komponen di dalam sel hidup. Pada organisme
multiseluler, yang disebut pertumbuhan adalah peningkatan jumlah sel per
organisme, dimana ukuran sel juga menjadi lebih besar. Pada organisme
uniseluler ( bersel tunggal ) pertumbuhan adalah pertambahan jumlah sel. Sifat –
sifat fisik, kimia, dan struktur makanan yang mempengaruhi populasi dan
pertumbuhan mikroorganisme adalah faktor intrinsik. Faktor – faktor tersebut
adalah pH, air, potensi oksidasi – reduksi, kandungan nutrisi senyawa mikroba
dan struktuk biologi. Aktivitas mikroba sangat dipengaruhi oleh lingkungannya.
Beberapa mikroba dapat beradaptasi dengan lingkunganya yang ekstrim namun
ada pula mikrobia yang tidak dapat beradaptasi dengan lingkungan yang ekstrim
(Waluyo, 2007).
Kehidupan mikroba tidak hanya dipengaruhi oleh faktor-faktor
lingkungan, namun juga mempengaruhi keadaan lingkungan contohnya bakteri
thermogenesis yang akan menimbulkan panas di dalam media tumbuhnya.
Mikroba juga dapat mengubah pH dari medium tumbuhnya dimana perubahan ini
disebut dengan perubahan secara kimia. Faktor lingkungn yang mempengaruhi
hidup mikroba dapat dibagi atas faktor biotik dan fakktor abiotik. Faktor biotik
terdiri dari makhluk hidup atau organisme maupun mikroorganisme, sedangkan
untuk faktor-faktor abiotik terdiri atas faktor-faktor alam atau faktor fisika dan
faktor-faktor kimia baik sintetik atau buatan manusia ataupun secara alami telah
ada atau non sintetik (Dwidjoseputro, 1998). Faktor abiotik terdiri dari :
1. Radiasi
Efek radiasi yang berupa inframerah yang diserap oleh benda dan tidak
dipantulkan, maka ernergi yang relatif rendah tersebut akan dikeluarkan sebagai
panas. Sinar X memiliki daya penetrasi yang cukup kuat, hal ini menyebabkan
pembuatan dan pemecahan gugus hidrogen dari DNA yang berlangsung secara
abnormal dan adanya gangguan struktur dari molekul sederhana. Penyinaran
singkat bersifat mutagen dan karsinogen, penyinaran dalam jangka waktu yang
lebih lama adalah letal (Irianto, 2006)
2. Tekanan osmotik
Nutrisi yang diperlukan oleh bakteri, diperoleh dari cairan yang berada di sekitar
bakteri oleh karena iktu bakteri membutuhkan air untuk pertumbuhannya. Bila
tekanan osmotik tinggi maka akan menyebabkan air keluar dari dalam sel bakteri.
Penambahan garam dalam larutan akan meningkatkan tekanan osmotik sehingga
dapat dipergunakan dalam pengawetan makanan (Radji, 2002).
3. Faktor kimia
Selain dari air, terdapat unsur lain yang penting bagi pertubuhan mikroorganisme
yaitu unsur kimia anatara lain karbon, nitrogen, sulfur, fosfor, dan unsur
kelumit( Cu, Zn, dan Fe) (Radji, 2002).
4. Temperatur
Temperatur merupakan faktor yang penting. Beberapa mikroba dapat hidup pada
daerah temperatur luas, sedang, dan jenis lainnya. Namun, umumnya mikroba
dapat hidup dengan batas temperatur biologi kehidupan mikroba antara 0o C –
90oC. Pada setiap bakteri memliki temperatur minimum, temperatum optimum
dan temperatur maksimum. Temperatur maksimum merupakan temperatur
terendah bagi mikroba untuk dapat melakukan kegiatan hidupnya. Temperatur
optimum merupakan temperatur terbaik bagi mikroba untuk melakukan kegiatan
hidupnnya. Temperatur maksimum merupakan temperatur tertinggi bagi mikroba
untuk dapat melakukan kegiatan hidupnya (Radji, 2002).
5. pH
pH merupakan derajat keasaman dari suatu larutan. Umumnya bakteri tumbuh
optimum pada pH 6,5-7,5. Hanya sedikit bakteri yang dapat tumbuh pada pH
asam (<4). Oleh sebab itu beberapa makanan diawetkan dengan penambahan
asam ataupun secara fermantasi (Radji, 2002).
6. Oksigen
Bakteri yang memerlukan oksigen (aerob) menghasilkan energi yang lebih banyak
dari nutrient dibandingkan bakteri yang tidak menggunakan oksigen (anaerob)
(Radji, 2002).
Faktor Biotik adalah faktor yang disebabkan oleh jasad (mikrobia) atau
kegiatannya yang mempengaruhi kegiatan (pertumbuhan) mikrobia lainnya.
Faktor tersebut antara lain :
a. Simbiose
Asosiasi antara dua atau lebih organisme dimana organisme satu
mendapat keuntungan, sedangkan yang lain mendapat kerugian.
b. Sinergisme
Asosiasi yang menyebabkan terjadinya suatu kemampuan untuk
melakukan perubahan kimia tertentu dalam substrat atau medium.
c. Antibiose
Suatu bentuk asosiasi antara mikrobia yang dapat menyebabkan salah
satu pihak terbunuh, terhambat pertumbuhannya, atau mengalami
gangguan yang lainnya.
d. Sintropisme
Asosiasi yang lebih kompleks, seperti biasanya yang terdiri atas
berjenis- jenis mikrobia yang satu dengan yang lainnya akan saling
menstimulasi kegiatan pertumbuhannya.
Adanya perubahan lingkungkan akan sangat mempengaruhi pertumbuhan
mikrobia, hal ini akan menyebabkan perubahan sifat morfologi dan fisiologi dari
mikroba. Faktor lingkungan merupakan faktor yang penting dalam mencapai
pertumbuhan secara optimum selain dari nutrient yang dibutuhkan mikroba sesuai
dengan kultivasinya. Mikroba bervariasi dalam persyaratan nutrisinya dan akan
menunjukkan respon yang berbeda-beda. Agar kultivasi berhasil pada berbagai
tipe mikrobia maka diperlukan suatu kombinasi nutrient dan juga faktor ligkungan
yang sesuai bagi pertumbuhan mikroba terebut (Pelczar dan Chan, 1986).
Menurut Fardiaz ( 1992 ), menyatakan bahwa ada 4 fase pertumbuhan
jasad renik, yaitu :
1. Fase Adaptasi
Merupakan persiapan dan penyesuaian diri dengan kondisi pertumbuhan dan
lingkungan yang baru. Waktu penyesuaian ini umumnya berlangsung selama 2
jam.
2. Fase Pembelahan
Setelah beradaptasi sel – sel ini akan tumbuh dan membelah diri secara
eksponensial sampai jumlah maksimal yang dapat dibantu oleh kondisi
lingkungan yang dicapai untuk melakukan pembelahan. Kebanyakan bakteri pada
fase ini berlangsung selama 8 – 24 jam.
3. Fase Tetap ( Stationary Phase )
Pertumbuhan populasi mikroorganisme dibatasi oleh habisnya bahan gizi yang
tersedia atau penimbunan zat racun sebagai hasil akhir metabolisme. Sehingga
kecepatan pertumbuhan menurun, mulai ada yang mati. Pembelahan terhambat
pada suatu saat terjadi jumlah bakteri yang tetap sama.
4. Fase Kematian ( Death Phase )
Sel – sel yang berada dalam fase tetap akhirnya akan mati bila tidak dipindahkan
ke media segar lainnya. Dalam bentuk logaritmik fase menurun atau kematian
merupakan penurunan secara garis lurus yang digambarkan oleh jumlah sel – sel
hidup terhadap waktu, jumlah bakteri hidup berkurang dan menurun.
Menurut Irianto (2006), suhu adalah satu faktor yang terpenting yang
mempengaruhi pertumbuhan, multiplikasi dan kelangsungan hidup semua
organisme hidup. Suhu yang rendah umumnya memperlambat metabolisme
seluler, sedangkan suhu yang lebih tinggi meningkatkan taraf kegiatan sel. Tetapi
tiap organisme memiliki batas suhu terendah, batas suhu tertinggi, batas-batas
terhentinya tumbuh, dan suhu optimum untuk pertumbuhan  dan reproduksi.
Ketiga batas suhu ini dinamakan suhu kardinal (titik kardinal).

1. Suhu pertumbuhan minimum, adalah suhu terendah organisme masih


dapat hidup dan tumbuh. Banyak mikroorganisme dan hampir semua
bakteri dapat tahan hidup pada suhu ini dalam jangka waktu berbeda-beda,
tetapi pertumbuhan boleh dikatakan sendiri.
2. Suhu pertumbuhan optimum, adalah suhu yang diperlukan untuk
multiplikasi dalam taraf yang tercepat. Untuk kebanyakan organisme
pertumbuhan optimum terjadi dalam suatu jangka suhu (t-range), bukan
pada suatu suhu yang pasti dan batas tertingginya hanya beberapa derajat
di bawah suhu pertumbuhan maksimum.
3. Suhu pertumbuhan maksimum, adalah suhu tertinggi yang masih
memungkinkan ada pertumbuhan. Seringkali kenaikan sedikit saja di atas
suhu ini mengakibatkan kematian mikroorganisme karena ada  enzim yang
menjadi nonaktif.
Menurut Moat (1979), setiap mikroba memiliki batas toleransi masing-
masing terhadap suhu atau temperatur. Bila suhu ekstrim akan menyebabkan
enzim menjadi inaktif begitu juga struktur sel dari mikroba. Suhu akan
mempengaruhi reaksi kimia, laju reaksi, pola pertumbuhan, laju pertumbuhan dan
jumlah total pertumbuhan organisme (Pelczar dan Chan, 1986). Mikroba sendiri
terdiri dari 3 jenis mikrobia menurut suhu kisaran suhunya (Moat, 1979) :
1) Psikrofilik
Mikroba yang masuk dalam golongan ini, memiliki suhu minimum -5-0°C,
suhu optimum 5-15°C, dan suhu maksimum 15-20°C
2) Mesofilik
Mikroba yang masuk dalam golongan ini, memiliki suhu minimum 10-20°C,
suhu optimum 20-40°C, dan suhu maksimum 40-45°C
3) Termofilik
Mikroba yang masuk dalam golongan ini, memiliki suhu minimum 25-45°C,
suhu optimum 45-60°C, dan suhu maksimum 60-80°C.
Zona hambat merupakan tempat terhambatnya pertumbuhan mikroba oleh
karena adanya anti bakteri atau antibiotik pada media agar. Contoh antibiotik
adalah tetracycline yang memiliki spektrum luas sehingga dapat menghambat
pertumbuhan bakteri secara luas (Pelczar, 1986). Diameter zona hambat
menyatakan suatu sensitifitas bakteri terhadap zat anti bakteri. Bila semakin lebar
diameter zona hambatan maka bakteri tersebut semakin sensitif (Hastowo, 1992).
Logam berat berfungsi sebagai antimikroba oleh karena dapat
mempresipitasikan enzim - enzim atau protein esensial dalam sel. Logam-logam
berat yang umum dipakai adalah Hg, Ag, As, Zn dan Cu. Daya antimikroba dari
logam berat, dimana pada konsentrasi yang kecil saja dapat membunuh mikroba
dinamakan daya oligodinamik. Tetapi garam dari logam berat ini mudah merusak
kulit, merusak alat - alat yang terbuat dari logam, dan harganya mahal
(Dwidjoseputro, 2006). Sedangkan menurut Pelczar dan Chan (1988) logam juga
sangat berpengaruh terhadap pertumbuhan mikrobia. Hal ini karena logam
mempunyai daya oligodinamik yaitu daya bunuh logam pada kadar yang sangat
rendah. Daya ini timbul karena logam dapat mempresipitasikan enzim-enzim atau
protein  esensial dalam sel. Logam berat yang umum dipakai adalah Hg, Ag, As,
Zn, dan Cu. Menurut Suharni, (2005) Daya oligodinamik disebabkan oleh ion-ion
logam bereaksi dengan bagian-bagian penting dalam sel.
HgCl2 dan merkurocrom terionisasi dalam air menghasilkan Hg++. Ion
ini mempunyai sifat racun, iritasi pada jaringan, korosi pada logam sehingga dapat
menyebabkan pertumbuhan terhambat karena menyebabkan presipitasi protein.
Hal ini disebabkan karena Hg2+ akan berikatan dengan enzim sulfihidril. Saat
berikatan dengan Hg2+, enzim ini akan bersifat inaktif sedangkan enzim ini
berperan dalam proses metabolisme mikrobia sehingga proses metabolisme
menjadi terganggu dan pertumbuhan mikrobia menjadi terhambat bahkan mati.
Tembaga adalah salah satu jenis logam berat, tembaga digunakan karena diketahui
bahwa logam berat merupakan salah satu zat yang dapat menghambat
pertumbuhan mikroba (Susanto, 2003).
Menurut Campbell dkk., (2002), sebagian besar dinding sel bakteri
mengandung suatu bahan khusus unik yang disebut peptidoglikan yang terdiri dari
polimer modifikasi gula-gula yang diikatsilangkan dengan polipeptida pendek
yang berbeda dari satu spesies ke spesies yang lain. Pengaruhnya adalah adanya
sebuah jaringan molekuler tunggal yang membungkus dan melindungi seluruh sel
itu. Struktur luar adalah bahan-bahan lain yang juga sangat berbeda dari satu
spesies ke spesies lainnya.
Bakteri gram positif memiliki dinding sel yang lebih sederhana dengan
jumlah peptidoglikan yang relatif banyak. Dinding sel bakteri gram negatif
memiliki peptidoglikan yang lebih sedikit dan secara struktural lebih kompleks.
Membran bagian luar pada dinding sel gram negatif mengandung
lipopolisakarida, yaitu karbohidrat yang terikat dengan lipid (Campbell dkk.,
2002). Menurut Suharni dkk., (2005), dinding sel bakteri gram negatif mempunyai
membran luar yang kaya akan lipid sebagai pencegah keluarnya enzim, mencegah
masuknya bahan kimia dari luar dan enzim yang merusak sel.
Membran luar bakteri gram negatif disebut Braun’s lipoprotein. Lapisan
luar dari membran luar merupakan struktur tiga lapis tersusun atas fosfolipid,
protein, dan lipopolisakarida (Suharni dkk., 2008). Lipopolisakarida yang terdapat
pada dinding sel bakteri gram negatif sering bersifat toksik, dan membran bagian
luar membantu melindungi bakteri patogen melawan sistem pertahanan inangnya.
Lebih jauh, bakteri gram negatif umumnya lebih resisten terhadap antibiotik
dibandingkan dengan bakteri gram positif karena membran bagian luar itu
menghalangi masuknya obat-obatan. Banyak di antara antibiotik, termasuk
penisilin menghambat sintesis ikatan silang peptidoglikan dan mencegah
pembentukan suatu dinding fungsional, khususnya pada spesies gram positif
(Campbell dkk., 2002).
Desinfektan ialah senyawa kimia yang dapat mengurangi atau mematikan
mikrobia yang terdapat pada benda mati. Desinfektan sifatnya lebih keras
sehingga tidak digunakan pada permukaan tubuh. Senyawa yang umum
digunakan sebagai desinfektan ialah senyawa fenol (Suharni dkk., 2008). Menurut
Djide, (2009) Desinfektan merupakan senyawa kimia yang dapat menghambat
pertumbuhan mikroba. Hambatan tersebut disebabkan oleh presiptasi protein sel,
koagulasi sel dan oksidasi senyawa-senyawa penyusun protoplasma dan senyawa
yang lainnya. Beberapa jenis desinfektan adalah deterjen, alkali, alkohol, aldehid,
asam, fenol, kresol, klorin arsenik, sulfonamide, cat, dan iodin (Pelczar dan Chan,
1986). Desinfektan dipergunakan untuk benda mati dan akan cepat menghasilkan
efek fetal yang tidak terpulihkan.
Menurut Volk dan Wheeler (1993), faktor utama yang menentukan
bagaimana desinfektan bekerja adalah kadar dan suhu desinfektan, waktu yang
diberikan kepada desinfektan untuk bekerja, jumlah dan tipe mikroorganisme
yang ada, dan keadaan bahan yang didesinfeksi. Desinfeksi adalah proses penting
dalam pengendalian penyakit, karena tujuannya adalah perusakan agen-agen
patogen. Mekanisme kerja desinfektan mungkin beraneka dari satu desinfektan ke
yang lain. Akibatnya mungkin disebabkan oleh kerusakan pada membran sel atau
oleh tindakan pada protein sel atau pada gen yang khas yang berakibat kematian
atau mutasi.
Menurut Pelczar dan Chan (1986) jenis disinfektan yang biasa digunakan
diantaranya adalah :
1. Alkohol
Alkohol merupakan denaturan protein, suatu sifat yang terutama
memberikan aktivitas antimikrobia pada alkohol. Selain itu alkohol merupakan
pelarut lipid sehingga dapat merusak membran sel. Alkohol dengan konsentrasi
50-70% efektif terhadap mikroorgasnime vegetatif atau yang tidak membentuk
spora. Alkohol efektif untuk mengurangi flora mikroorganisme pada kulit dan
desinfektan termometer oral.
2. Iodium
Iodium merupakan zat yang sangat efektif terhadap segala macam
bakteri, fungi, spora, cendawan, dan virus. Larutan iodium digunakan terutama
untuk mendesinfeksi kulit, khususnya sebagai desinfektan kulit sebelum operasi.
Menurut Volk dan Wheeler (1988), antibiotik adalah zat-zat yang
dihasilkan oleh mikroorganisme dam zat-zat itu dalam jumlah yang sedikit pun
mempunyai daya penghambat kegiatan mikroorganisme lain. Antibiotik termasuk
dalam kelompok kemoterapeutik. Antibiotik dapat dikelompokkan berdasarkan
mikrobia targetnya yaitu:
a. Broad spectrum antibiotik, berefek pada gram negatif dan positif
b. Narrow spectrum antibiotik, yang berefek pada mikrobia tertentu
3. NaClO
NaClO (Natrium Hipoklorit) adalah salah satu bahan kimia yang dapat
berfungsi sebagai desinfektan karena dapat melepaskan klorin yang mampu
membunuh mikroorganisme. Natrium hipoklorit termasuk golongan halogen yang
teroksigenasi. Larutan ini memiliki kemampuan mengoksidasi dan menghidrolisis
sel dan secara osmosis mengalirkan air keluar dari sel akibat sifatnya yang
hipertonis (Permatasari dkk, 2013). Natrium hipoklorit menetralisasi asam-asam
amino mengubahnya menjadi air dan garam (reaksi netralisasi) dengan keluarnya
ion hidroksil, terjadi penurunan pH. Asam hipoklorit, substansi yang terdapat
pada larutan sodium hipoklorit, ketika berkontak dengan jaringan organik
bertindak sebagai pelarut, melepas klorin yang membentuk kloramin (reaksi
kloraminasi).
Asam hipoklorit (HOCl-) dan ion hipoklorit (OCl-) mnyebabkan
penurunan asam amino dan terjadinya hidrolisis. Reaksi kloraminasi antara klorin
dan group amino (NH) membentuk kloramin yang mempengaruhi metabolisme
sel. Klorin (oksidator kuat) menghasilkan efek antimikroba dengan menghambat
enzim-enzim bakteri, menyebabkan oksidasi yang ireversibel dari enzim esensial
yang terdapat pada bakteri (Permatasari dkk, 2013).
4. HNO3
HNO3 atau asam nitrat merupakan salah satu disinfektan kuat, bersifat
asam kuat dan sangat korosif. Sifat korosif asam nitrat disebabkan oleh kemam-
puan oksidasinya yang sangat tinggi. Sifat terhadap logam ini juga berdampak
sama pada sel hidup, mengoksidasi dinding sel dan merusaknya sehingga terjadi
kebocoran protoplasmik.
5. Chloroxylenol
Menurut Talaro dan talaro (1999), Chloroxylenol (CH9ClO) dapat
membunuh bakteri dengan mengganggu membran sel bakteri yang akan
menurunkan kemampuan membran sel untuk memproduksi ATP sebagai sumber
energi. Chloroxylenol mempunyai spektrum antimikroba yang luas, sehingga
efektif digunakan untuk bakteri gram positif dan gram negatif, jamur, ragi dan
lumut. Chloroxylenol memiliki keunggulan dalam hal toksisitas dan sifat korosif
yang rendah.
Menurut Hamza dkk., (2009), Tanaman sereh Cymbopogon citratus DC.
merupakan tanaman herba anual, berasal dari Suku Poaceae yang digunakan
sebagai pembangkit cita rasa pada makanan dan dipercaya pula dapat
dimanfaatkan dalam pengobatan tradisional. Menurut Leung dan Foster (1996),
Penyelidikan fitokimia mengungkapkan bahwa ekstrak sereh berisi beberapa
nabati konstituen, yaitu : minyak atsiri, saponin, tanin, alkaloid dan flavonoid.
Menurut Agusta (2002), Manfaat serai yaitu dari daunnya mengandung 0,4%
minyak atsiri dengan tiga komponen penting seperti sitronela, geraniol (20%), dan
sitronelol (66-85%). Ketiga komponen tersebut bersifat antiseptik sehingga dapat
dimanfaatkan sebagai bahan desinfektan. 
Antibiotik merupakan zat yang dihasilkan oleh mikroba dan pada jumlah
yang sedikit memiliki daya hambat bagi kegiatan mikroba lainnya. Salah satu
contoh dari antibiotik adalah ampicillin, ampicillin merupakan antibiotik beta-
lactam yang sudah umum digunakan untuk mengobati infeksi yang dikarenakan
bakteri sejak tahun 1961. Ampicillin masuk ke dalam famili aminopenicillin dan
dapat dianggap sama dengan moxcillin dalam spektrum dan aktivitasnya.
Ampicillin memiliki kemampuan untuk menempel dan penetrasi pada bakteri
gram-positif dan beberapa lagi bakteri gram negatif yang disebabkan pleh gugus
asam aminonya. Gugus amino membantu penetrasi ke dalam membran dari
mikroba kemudiankan menghambat dari sintesis peptidogikan pada dinding sel
sehingga sel akan mengalami lisis (Dwidjoseputro, 1987).
Ampicillin merupakan antibiotik yang bersifat bakterisidal dan memiliki
mekanisme yang secara umum menyebabkan terjadinya kerusakan pada dinding
bakteri. Ampicillin berbentuk serbuk hablur, putih dan tidak berbau, ampicillin
efektif pada bakteri gram positif maupun bakterigram negatif (Watimena, 1987).
Ampicillin merupakan turunan penicillin. Penemuan penicilin terjadi karena suatu
kecelakaan yang menguntungkan yang didalamnya cawan biakan S. aureus
terkontaminasi oleh jamur yang kemudian diidentifikasi sebagai P. notatum
(Knob dan Carmona, 2008). Ampicillin mampu menempel dan penetrasi pada
bakteri gram positif dan pada beberapa bakteri gram negatif. Hal ini dipengaruhi
oleh gugus amino yang menghambat sintesis peptidoglikan pada dinding sel
sehingga menyebabkan sel lisis (Volk dan Wheeler, 1988). Mekanisme kerja
ampicillin:
1. Sintesis dinding sel bakteri dihambat dengan cara menghambat sintesis
peptidoglikan pada aksi enzim transpeptidase bakteri. Transpeptidase sendiri
merupakan enzim yang bekerja dalam proses cross-linking dari rantai peptida
dalam membentuk senyawa peptidoglikan yang terjadi pada tahap akhir
pembentukan dinding sel (Essak, 2001)
2. Perlekatan obat pada protein spesifik pengikat penisilin atau PBP yang
berfungsi sebaga reseptor obat pada bakteri
3. Aktivasi enzim autolitik pada dinding sel yang terjadi akibat pelekatan obat
atau antibiotik. Aktivasi ini mengakibatkan lisis pada dinding sel bakteri
(Dzen dkk, 2003)
Antibiotik digunakan untuk membasmi mikroba penyebab terjadinya
infeksi. Gejala infeksi yang terjadi timbul dikarenakan adanya gangguan langsung
dari mikroba dan berbagai zat toksik yang dihasilkan oleh mikrobia sendiri.suatu
infeksi dapat ditangani oleh sistem imun namun terkadang sistem ini perlu
ditunjang dengan antibiotik. Antibiotik yang digunakan untuk membasmi mikroba
yang menyebabkan infeksi pada manusia, harus memiliki toksisitas selektif. Yang
berarti antibiotik harus bersifat toksis bagi mikroba namun tidak cukup bagi
hospes. Toksisitas juga bergantung pada kepala struktur yang dimiliki oleh sel
manusia, yang menyebabkan mekansime dari kegiatan pada dinding sel bakteri
memiliki toksisitas selektif relatif tinggi (Ganiswarna, 1995).
Sensitivitas mikroba terhadap antibiotik bergantung pada kemampuan dari
antibiotik tersebut dalam menembus dinding sel bakteri. Kebanyakan antibiotik
efektif bekerja terhadap bakteri gram positif karena permeabilitas selnya lebih
tinggi bila dibandingkan dengan bakteri gram negatif. Bila antibiotik hanya dapat
menghambat gram positif saja maka dikatakan antibiotik tersebut memiliki
spektrum yang rendah namun bila antibiotik tersebut mampu menghambat bakteri
gram positif dan negatif maka dikatakan bakteri tersebut memiliki spektrum yang
luas (Sumadio dkk, 1994). Semakin rendah konsentrasi antibiotik yang digunakan
maka semakin kecil zona bening yangakan terbentuk dan semakin tinggi
konsentrasi yang digunakan maka zona bening yangterbentuk semakin besar
(Dwidjoseputro, 2003).
Berdasarkan sasaran tindakan antibiotik terhadap mikroba maka
antibiotik dapat dikelompokkan menjadi lima golongan yaitu antibiotik
penghambat sintesis dinding sel mikroba, antibiotik yang termasuk kelompok ini
ialah penisilin, sefalosporin, basitrasin, dan vankomisin. Yang kedua yaitu
antibiotik penghambat sintesis protein sel mikroba, antibiotik yang termasuk
kelompok ini ialah golongan aminoglikosida, makrolida, kloramfenikol,
linkomisin dan tetrasilin. Yang ketiga yaitu antibiotik penghambat sintesis asam
nukleat sel mikroba, antibiotik yang termasuk kelompok ini ialah rifampisin dan
golongan kuinolon. Keempat yaitu antibiotik pengganggu fungsi membran sel
mikroba, antibiotik yang termasuk kelompok ini ialah golongan polien. Dan yang
kelima yaitu antibiotik penghambat metabolisme mikroba, antibiotik yang
termasuk kelompok ini ialah sulfonamida, trimetoprin dan asam p-amino salisilat
(Ganiswarna, 1995).
Berdasarkan sifat (daya hancurnya), antibiotik dibagi menjadi 2 yaitu :
a. Antibiotik bersifat bakteriosidal yaitu bakteri yang bersifat destruktif terhadap
bakteri
b. Antibiotik bersifat bakteriostatik yaitu antibiotik yang bekerja menghambat
pertumbuhan atau multiplikasi bakteri
Metode lubang atau sumuran yaitu membuat lubang pada agar padat
yang telah diinokulasi dengan bakteri. Jumlah dan letak lubang disesuaikan
dengan tujuan penelitian, kemudian lubang diinjeksikan dengan ekstrak yang akan
diuji. Setelah dilakukan inkubasi, pertumbuhan bakteri diamati dengan melihat
ada tidaknya daerah hambatan disekeliling lubang (Kusmayati dan Agustini,
2007). Pada umumnya metode yang digunakan dalam uji sensivitivitas bakteri
adalah metode difusi agar yaitu dengan cara mengamati daya hambat
pertumbuhan mikroorganisme oleh ekstrak yang diketahui dari daerah disekitar
kertas cakram (paper disk) yang tidak ditumbuhi oleh mikroorganisme.
Zona hambat pertumbuhan inilah yang menunjukan sensivitas bakteri
terhadap bahan antibaktri (Dwidjoseputro, 1987). Metode difusi merupakan salah
satu metode yang sering digunakan. Metode difusi dapat dilakukan dengan 3 cara
yaitu metode silinder, metode lubang/sumuran dan metode cakram kertas. Metode
lubang/sumuran yaitu membuat lubang pada agar padat yang telah diinokulasi
dengan bakteri. Jumlah dan letak lubang disesuaikan dengan tujuan penelitian,
kemudian lubang diinjeksikan dengan ekstrak yang akan diuji. Setelah dilakukan
inkubasi, pertumbuhan bakteri diamati untuk melihat ada tidaknya daerah
hambatan di sekeliling lubang (Kusmayati dan Agustini, 2007).
Escherichia coli merupakan bakteri Gram negatif berbentuk batang
pendek yang memiliki panjang sekitar 2 µm, diameter 0,7 µm, lebar 0,4-0,7 µm
dan bersifat anaerob fakultatif. Pada umumnya bakteri memerlukan kelembaban
yang cukup tinggi sekitar 85%. Escherichia coli merupakan golongan bakteri
mesofilik yaitu bakteri yang suhu pertumbuhan optimumnya 15-45°C dan dapat
hidup pada pH 5,5-8. E. Coli akan tumbuh secara optimal pada suhu 37° C. E.
coli memiliki suhu maksimum pertumbuhan 40-45°C, di atas suhu tersebut bakteri
akan mengalami inaktivasi (Jawetz dkk., 1996).
Bacillus subtilis merupakan spesies bakteri yang beragam dan mampu
tummbuh di berbagai jenis lingkunga, memiliki bentuk sel batang dan merupakan
bakteri Gram positif. Selain itu, Bacillus subtilis dapat membentuk endospora
yang sangat tahan untuk mempertahankan diri dari kekurangan nutrisi dan tekanan
lingkunga. Baccillus subtlis merupakan jenis kelompok bakteri termofilik yang
dapat tumbuh pada kisaran suhu 45 °C – 55 °C dan mempunyai pertumbuhan
suhu optimum pada suhu 60 °C – 80 ° (Earl, 2008). Menurut Graumann (2007),
bakteri ini merupakan jenis aerob obligat dengan suhu optimum antara 25-35 0 C
dan pH optimum antara 7-8.
Berdasarkan pewarnaan Gram, bakteri dibedakan menjadi 2 kelompok
yaitu :
1. Gram positif
Bakteri Gram positif memiliki dinding sel yang tersusun dari satu
lapisan saja, yaitu lapisan peptidoglikan. Bakteri Gram positif akan mengalami
denaturasi protein pada dinding selnya oleh pencucian dengan alkohol
(Timotius, 1982). Menurut Pelczar dan Chan (1986), bakteri ini rentan
terhadap pengaruh penisilin dan resisten terhadap gangguan fisik.
2. Gram negatif
Bakteri Gram negatif memiliki dinding sel yang tersusun dari
beberapa lapisan, yaitu lapisan luar yang tersusun dari lipopolisakarida dan
protein, dan lapisan dalam yang tersusun dari peptidoglikan yang lebih tipis
daripada lapisan peptidoglikan pada bakteri Gram positif. Bakteri ini memiliki
zat lipid yang larut selama pencucian dengan alkohol (Timotius, 1982).
Menurut Pelczar dan Chan (1986), bakteri ini kurang rentan terhadap pengaruh
penisilin dan kurang resisten terhadap gangguan fisik.
III. METODE

A. Alat dan Bahan


1. Alat
Alat-alat yang digunakan dalam percobaan yaitu lampu spiritus,
korek api, Laminair Air Flow (LAF), inkubator, oven, petridish, kulkas,
trigalski, mikropipet, mikrotip, perforator no 2 dan 3, gelas beker, tissue,
label.
2.      Bahan
Bahan-bahan yang digunakan dalam percobaan yaitu biakan
bakteri Eschericia coli, biakan bakteriBacillus subtilis, medium agar,
larutan HgCl2, larutan NaClO, larutan HNO3, larutan iod, larutan alkohol
70%, logam Cu, ekstrak serai, antibiotik ampisilin, chloroxylenol, kertas
payung, karet gelang.

B. Cara Kerja
A. Pengaruh suhu
Biakan bakteri Eschericia coli dan Bascillus subtilis diambil dari
stater sebanyak 100μl menggunakan mikropipet, kemudian diteteskan
pada medium agar petridish secara aseptis. Trigalski disterilkan dengan
alkohol, kemudian difiksasi. Bakteri yang berada diatas medium agar
petridish diratakan satu arah, dari atas kebawah menggunakan trigalski.
Bakteri Eschericia coli dan Bascillus subtilis yang telah diratakan dalam
petridish diinkubasi selama 2x24 jam, dengan tiga perlakuan suhu yang
berbeda, yakni : 40 C pada lemari es, 370 C pada inkubator, dan 550 C pada
oven. Pertumbuhan koloni bakteri Eschericia coli dan Bascillus subtilis
diamati dan dicatat setelah bakteri diinkubasi.

B. Pengaruh Logam
Biakan bakteri Eschericia coli dan Bascillus subtilis diambil dari
stater sebanyak 100μl menggunakan mikropipet, kemudian diteteskan
pada medium agar petridish secara aseptis. Trigalski disterilkan dengan
alkohol, kemudian difiksasi. Bakteri yang berada diatas medium agar
petridish diratakan satu arah, dari atas kebawah menggunakan trigalski.
Logam Cu diletakkan di pinggir kemudian di seberangnya di lubangi
menggunakan perforator, kemudian di teteskan HgCl pada lubang
sumuran. Kemudian diinkubasi pada suhu 370 C selama 2x24 jam di dalam
inkubator. Zona hambat pada medium diamati dan diukur. Berikut ini
adalah rumus untuk menghitung Luas zona hambat dan presentase zona
hambat :
d1 2 d2 2
Luas Zona hambat = π. ( ) ( )
2

2

% zona hambat = luas zona hambat x 100%


Luas petridish
C. Pengaruh Desinfektan
Biakan bakteri Eschericia coli dan Bascillus subtilis diambil
sebanyak 100 μl dengan mikropipet secara aseptis dan diletakkan kedalam
medium agar pada petridish. Trigalski disterilkan dengan alkohol,
kemudian difiksasi. Bakteri yang berada diatas medium agar petridish
diratakan satu arah, dari atas kebawah menggunakan trigalski. Medium
agar petridish tempat bakteri Eschericia coli dan Bascillus subtilis
diinokulasikan tadi, dilubangi dengan perforator, sebanyak 4 lubang
sumuran. Desinfektan berupa NaClO, HNO3, iod, dan alkohol 70 %
diambil sebanyak 30 μl dan dituangkan pada tiap lubang sumuran.
Petridish diinkubasi selama 2x24 jam dengan suhu 37 0 C di dalam
inkubator, kemudian zona hambat diamati dan dihitung. Berikut ini adalah
rumus untuk menghitung Luas zona hambat dan presentase zona hambat :
d1 2 d2 2
Luas Zona hambat = π. ( ) ( )
2

2

% zona hambat = luas zona hambat x 100%


Luas petridish
D. Pengaruh Antibiotik
Biakan bakteri Eschericia coli dan Bascillus subtilis diambil
sebanyak 100 μl dengan mikropipet secara aseptis dan diletakkan kedalam
medium agar pada petridish. Trigalski disterilkan dengan alkohol,
kemudian difiksasi. Bakteri yang berada diatas medium agar petridish
diratakan satu arah, dari atas kebawah menggunakan trigalski. Medium
agar petridish tempat Eschericia coli dan Bascillus subtilis di lubangi
dengan menggunakan perforator sebanyak 2 lubang dan Amphicillin
diletakkan di medium agar dalam petridish hingga membentuk segitiga
dan diinkubasi pada suhu 370 C menggunakan inkubator selama 2x24 jam.
Zona hambat diamati dan di hitung. Berikut ini adalah rumus untuk
menghitung Luas zona hambat dan presentase zona hambat :
d1 2 d2 2
Luas Zona hambat = π. ( ) ( )
2

2

% zona hambat = luas zona hambat x 100%


Luas petridish
IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

A. Pengaruh Suhu

Setelah dilakukan percobaan pengaruh suhu didapatkan hasil


sebagai berikut :
Tabel 1. Hasil pengukuran faktor luar (Suhu)
Suhu EC BS
4º C +++ +++
37 º C +++ +++
55 º C - -
Keterangan :
- : Tidak ada pertumbuhan
+ : Tumbuh sedikit
++ : Tumbuh sedang
+++ : Tumbuh banyak
++++ : Tumbuh lebat
Suhu merupakan faktor yang sangat penting dalam pertumbuhan,
multiplikasi, dan kelangsungan dari organisme hidup. Suhu rendah
umumnya menghambat metabolisme seluler, sedangkan suhu yang lebih
tinggi meningkatkan taraf kegiatan sel (Irianto, 2006). Menurut Moat
(1979), setiap mikroba memiliki batas toleransi masing-masing terhadap
suhu atau temperatur. Bila suhu ekstrim akan menyebabkan enzim menjadi
inaktif begitu juga struktur sel dari mikroba.
Pada percobaan pengaruh suhu, bakteri Eschericia coli di
inokulasikan pada 3 petri dish dengan menggunakan metode spread plate.
Ketiga petri dish tersebut kemudian di beri perlakuan yang berbeda yaitu
suhu 4°C dengan meletakkannya pada kulkan, suhu 37°C dengan
meletakkannya pada inkubator dan suhu 55°C dengan meletakkannya pada
oven. Bakteri dibiarkan tumbuh hingga 2 x 24 jam, kemudian diamati.
Pada bakteri Bascillus subtilis dilakukan hal yang serupa.
Pada percobaan ini, digunakan Bascillus subtilis dan Escherichia
coli. Masing-masing bakteri diinkubasi pada suhu yang berbeda.
Berdasarkan hasil percobaan, didapatkan bahwa bakteri Eschericia coli
tumbuh lebat pada suhu 37 C dan pada suhu 4 ºC. Sedangkan pada suhu
55 ºC bakteri Eschericia coli tidak ada pertumbuhan. Demikian juga pada
bakteri Bascillus subtilis, bakteri tumbuh lebat pada suhu 4 C dan 37 C,
dan tidak ada pertumbuhan pada suhu 55 C.
Dari hasil percobaan di atas, dapat disimpulkan bahwa bakteri E.
coli maupun B. subtilis tumbuh paling optimal pada suhu 4 C dan 37 C.
Sedangkan pada suhu 55 C tidak ada bakteri tumbuh sama sekali. Hal ini
sesuai dengan teori, karena Bascillus subtilis dan Escherichia coli
merupakan bakteri mesofilik, yaitu bakteri yang memiliki suhu optimum
kira-kira 37 C. Pada suhu optimum ini, laju metabolisme dan reproduksi
berjalan optimal sehingga pertumbuhan bakteri pada medium akan lebat.
Sedangkan pada suhu lain, laju metabolismenya rendah sehingga
pertumbuhannya lebih sedikit.
Menurut Knob dan Carmona (2008), suhu sangat mempengaruhi
kecepatan pertumbuhan mikrobia, kecepatan sintesis enzim dan kecepatan
inaktivasi. Setiap mikrobia termasuk bakteri mempunyai suhu optimum,
maksimum dan minimum untuk pertumbuhannya. Jika suhu lingkungan
lebih kecil dari suhu minimum atau lebih besar dari suhu maksimum
pertumbuhannya maka aktivitas enzim akan terhenti, bahkan pada suhu
yang terlalu tinggi akan terjadi denaturasi enzim.

B. Pengaruh Logam, Desinfektan dan Antibiotik


Setelah dilakukan percobaan faktor luar mengenai pengtaruh
logam, pengaruh desinfektan dan pengaruh antibiotik di dapatkan hasil
berupa tabel sebagai berikut :
Tabel 2. Hasil pengaruh Faktor luar (logam, desinfektan, dan antibiotik)

Luas Zona
Faktor Luar d1 (cm) d2 (cm) Hambat (cm2)
EC 2,3 2,3 0
Logam Cu BS 2,9 2,3 2,4492
EC 2 0,6 2,86
HgCl2 BS 0,6 0,4 0,157
EC 0,6 0,6 0
NaClO BS 0,8 0,4 0,3768
EC 0,6 0,6 0
HNO3 BS 0,6 0,4 0,157
EC 0,6 0,6 0
Alkohol 70% BS 0,4 0,4 0
EC 0,6 0,6 0
Iod BS 0,6 0,4 0,157
EC 0,6 0,6 0
Ampicilin BS 1,3 0,6 1,04405
EC 0,6 0,6 0
Chloroxylenol BS 0,6 0,4 0,157
EC 0,6 0,6 0
Ekstrak serai BS 0,4 0,4 0

1. Pengaruh Logam
Logam memiliki sifat toksik yang akan bereaksi dengan bagian-
bagian sel mikroba kemudian dapat membunuh mikroba tersebut. Logam
berat akan mempresipitasukan enzim-enzim atau protein esensial dalam
sel. Mekanisme kerja logam Cu sebagai penghambat pertumbuhan bakteri
yaitu dengan adanya kemampuan menghasilkan toksik dari suatu logam
berat yang disebut dengan daya oligodinamik karena logam berat tersebut
dapat bereaksi dengan bagian-bagian sel yaitu dengan cara mengikat sisi
aktif dari enzim yang terdapat dalam sel sehingga metabolisme sel
terhambat dan membunuh bakteri. Mekanisme kerja logam HgCl 2 sebagai
penghambat pertumbuhan bakteri yaitu dari reaksi antara air raksa (Hg2+)
dengan gugusan sulfihidril (SH) yang terdapat pada enzim tertentu di
dalam sel. Jika air raksa bereaksi dengan gugus sulfihidril, maka enzim di
dalam sel tidak lagi berfungsi atau merusak kerja enzim serta
mempresipitasikan enzim dalam sel sehingga larut dalam air yang dapat
menyebabkan pertumbuhan pada bakteri menjadi terhambat.
Hasil pengaruh logam Cu yang diperoleh untuk bakteri Eschericia
coli pada medium pertama diameter zona hambat yang pertama (d 1) yaitu
2,3 cm dan diameter zona hambat yang kedua (d2) yaitu 2,3 cm; luas zona
hambat 0 cm2; dan %zona hambat sebesar 0 %. Sedangkan untuk bakteri
Bascillus subtilis diameter zona hambat yang pertama (d1) yaitu 2,9 cm
dan diameter zona hambat yang kedua (d2) yaitu 2,3cm; luas zona hambat
2,4492 cm2; dan % zona hambat sebesar 3,12 %. Dari hasil yang diperoleh
menunjukkan bahwa logam Cu dapat menghambat pertumbuhan
Eschericia coli sehingga zona hambat Bascillus subtilis lebih besar
daripada zona hambat Eschericia coli. Hal ini menunjukkan bahwa
Eschericia coli lebih rentan terhadap logam Cu, dibandingkan dengan
Bascillus subtilis karena luas zona hambat Eschericia coli lebih besar
dibandingkan Bascillus subtilis. Hal ini dikarenakan sel bakteri tidak dapat
melakukan metabolisme dan kerja enzim-enzimnya terhambat sehingga
bakteri akan mati.
Pada hasil yang diperoleh maka hasil praktikum yang telah
dilakukan sesuai dengan teori Talaro (1999). Bakteri Eschericia coli lebih
rentan terhadap logam Cu, dibandingkan dengan Bascillus subtilis karena
mekanisme dari ion logam Cu2+ adalah bersifat korosif dan akan
berikatan dengan enzim sulfihidril. Enzim sulfihidril berperan dalam
proses metabolisme mikrobia. Pengikatan gugus sulfhidril oleh Cu2+ akan
menyebabkan enzim yang mengandung gugus sulfhidril inaktif dan proses
metabolisme menjadi terganggu yang dapat menyebabkan kematian
mikrobia (Talaro,1999).
Hasil pengaruh HgCl2 yang diperoleh untuk bakteri Eschericia coli
pada medium diameter zona hambat yang pertama (d1) yaitu 2 cm dan
diameter zona hambat yang kedua (d2) yaitu 0,6 cm; luas zona hambat 2,86
cm2; dan %zona hambat sebesar 0 %. Sedangkan untuk bakteri Bascillus
subtilis pada medium diameter zona hambat yang pertama (d1) yaitu 0,6
cm dan diameter zona hambat yang kedua (d 2) yaitu 0,4 cm; luas zona
hambat 0,157 cm2; dan %zona hambat sebesar 0,24 %. Dari hasil yang
diperoleh menunjukkan bahwa HgCl2 dapat menghambat pertumbuhan
Bascillus subtilis sehingga luas zona hambat Eschericia coli lebih besar
daripada zona hambat Bascillus subtilis. Hal ini menunjukkan bahwa
Bascillus subtilis lebih rentan terhadap HgCl2, dibandingkan dengan
Eschericia coli, karena luas zona hambat Eschericia coli lebih besar
dibandingkan Bascillus subtilis. Hal ini dikarenakan sel bakteri tidak dapat
melakukan metabolisme dan kerja enzim-enzimnya terhambat sehingga
bakteri akan mati. Pada hasil yang diperoleh maka hasil praktikum yang
telah dilakukan sesuai dengan teori yang menyatakan bahwa HgCl 2 terdiri
dari ion Hg dan Cl dimana Hg dapat digunakan sebagai desinfektan karena
bereaksi dengan gugus sulfihidril yang terdapat pada enzim tertentu di
dalam sel.
Bakteri Bascillus subtilis lebih rentan terhadap HgCl2,
dibandingkan dengan Eschericia coli karena mekanisme dari HgCl2
bereaksi dengan gugus sulfihidril yang terdapat pada enzim di dalam sel.
Bila air raksa bereaksi dengan gugus sulfihidril, enzim-enzim akan inaktif
dan membuat sel akan mati. Hg2+ bersifat korosif dan akan berikatan
dengan enzim sulfihidril. Saat berikatan dengan Hg2+, enzim ini akan
bersifat inaktif sedangkan enzim ini berperan dalam proses metabolisme
mikrobia. Sehingga proses metabolisme menjadi terganggu dan
pertumbuhan mikrobia menjadi terhambat bahkan mati (Okmen, dkk.,
2008).

2. Pengaruh Desinfektan
Pada percobaan menggunakan NaClO sebagai desinfektan
diperoleh hasil pada Eschericia coli memiliki nilai d1 sebesar 0,6 cm dan
d2 sebesar 0,6 cm sehingga diperoleh luas zona hambat sebesar 0 cm 2 dan
% zona hambat sebesar 0 %. Sedangkan pada Bascillus subtilis memiliki
nilai d1 sebesar 0,8 cm dan d2 sebesar 0,4 cm sehingga diperoleh luas
zona hambat sebesar 0,3768 cm2 dan % zona hambat sebesar 0,57 %. Hal
tersebut menunjukkan bahwa bakteri Eschericia coli lebih rentan dari pada
bakteri Bascillus subtilis. Hasil yang telah diperoleh dapat dikaitkan
dengan teori Okmen (2008) yang menyatakan bahwa NaClO mengandung
senyawa klorin, dan senyawa klorin yang paling aktif adalah dalam bentuk
asam hipoklorit yang diperoleh dari sodium hipoklorit dalam pemutih
pakaian (bayclin), sehingga mekanisme kerjanya yaitu dapat menghambat
oksidasi  glukosa  dalam  sel  mikroorganisme dengan cara menghambat
enzim-enzim yang terlibat dalam  metabolisme  karbohidrat.
Pada percobaan menggunakan HNO3 sebagai desinfektan diperoleh
hasil pada bakteri Eschericia coli memiliki nilai d1 sebesar 0,6 cm dan d2
sebesar 0,6 cm sehingga diperoleh luas zona hambat sebesar 0 cm2 dan %
zona hambat sebesar 0 %. Sedangkan pada Bascillus subtilis memiliki
nilai d1 sebesar 0,6 cm dan d2 sebesar 0,4 cm sehingga diperoleh luas
zona hambat sebesar 0,157 cm2 dan % zona hambat sebesar 0,24 %. Hasil
ini menunjukan bahwa Eschericia coli lebih rentan terhadap HNO3 ini
dibandingkan Bascillus subtilis. Hasil yang telah diperoleh dapat
dihubungkan dengan teori Krisnaningsih, dkk. (2005) yang menyatakan
pada penggunaan HNO3 sebagai desinfektan dikarenakan HNO3
merupakan asam kuat sehingga ada beberapa jenis mikrobia yang tidak
tahan terhadap kondisi asam tersebut. HNO3 atau yang dikenal sebagai
garam dari asam nitrat (nitrat), menghasilkan asam nitrat dari proses
oksidasi amonia di udara. HNO3 merupakan desinfektan yang dapat
menghambat pertumbuhan bakteri.
Pada percobaan menggunakan Alkohol 70 % sebagai desinfektan
diperoleh hasil pada Eschericia coli memiliki nilai d1 sebesar 0,6 cm dan
d2 sebesar 0,6 cm sehingga diperoleh luas zona hambat sebesar 0 cm 2 dan
% penghambatan sebesar 0%. Sedangkan pada Bascillus subtilis nilai d1
sebesar 0,4 cm dan d2 sebesar 0,4 cm sehingga diperoleh luas zona hambat
sebesar 0 cm2 dan % zona hambat sebesar 0%. Dilihat dari luas zona
hambatnya maka bakteri Eschericia coli dan bakteri Bascillus subtilis
memiliki tingkat kerentanan yang sama terhadap desinfektan alkohol 70%
karena hasil luas zona hambat yang diperoleh sama. Dari hasil yang
diperoleh dapat dikatakan bahwa alkohol 70% dapat menjadi desinfektan
karena etanol mendehidrasi protein penyusun membran sel, yang
menyebabkan membran sel viskositasnya berkurang dan sel pecah.
Percobaan menggunakan Iodin sebagai desinfektan diperoleh hasil
pada Eschericia coli memiliki nilai d1 sebesar 0,6 cm dan d2 sebesar 0,6
cm sehingga diperoleh luas zona hambat sebesar 0 cm2 dan % zona hambat
sebesar 0 %. Sedangkan pada Bascillus subtilis memiliki nilai d1 sebesar
0,6 cm dan d2 sebesar 0,4 cm sehingga diperoleh luas zona hambat sebesar
0,157 cm2 dan % zona hambat sebesar 0,24%. Hal tersebut menunjukkan
bahwa bakteri Eschericia coli lebih rentan daripada bakteri Bascillus
subtilis, dapat dilihat dari luas zona hambat Eschericia coli yang lebih
kecil di bandingkan luas zona hambat Bascillus subtilis. Hal ini tidak
sesuai dengan teori karena, Iod mempunyai tingkat keefektifan yang sama
dalam membunuh bakteri Eschericia coli dan bakteri Bascillus subtilis
karena dinding sel dari kedua bakteri tersebut mempunyai tingkat
kompleksitas yang sama. Hal ini sesuai dengan teori Rusli (2006) yang
menyatakan bahwa iodium dapat menewaskan semua patogen utama
berikut spora-sporanya, yang sulit diatasi oleh desinfektan dan antiseptik
lain. Efek germisida iodium disebabkan karena reaksinya dengan asam
amino tiroksin, dimana menghambat fungsi normal enzim yang
mengandung tiroksin. Iodine juga mengandung zat aktif iodine povidone.
Mekanisme kerja iod sebagai bahan germisidal sangat efektif
terhadap segala macam bakteri, spora, cendawan, dan virus, sehingga
dapat membunuh juga menghambat pertumbuhan mikrobia. Mekanisme
kerja NaClO Aksi bakteriosida golongan halogen adalah dengan cara
menginaktivasi protein melalui oksidasi gugus sulfhidril pada protein dan
tersusun atas asam amino yang mengandung ikatan sulfur, sehingga
merubah konformasi dan aktivitas protein. Mekanisme kerja HNO3
sebagai desinfektan yaitu dengan cara menyebabkan lisis pada sel karena
senyawa kimia ini bereaksi dengan bagian-bagian intraseluler sel sehingga
dapat mendenaturasi protein (Ganiswarna, 1995).
3. Pengaruh Antibiotik
Menurut Siswandono dan Soekarjo (2000), ampisilin berupa serbuk
hablur, putih dan tak berbau. Dalam air kelarutannya 1g/ml, dalam etanol
absolut 1g/250ml dan praktis tidak larut dalam eter dan kloroform.
Ampisilin merupakan derivat penisilin yang merupakan kelompok
antibiotik β–laktam yang memiliki spektrum antimikroba yang luas.
Ampisilin dapat menghambat kerja enzim transpeptidase dengan cara
mengikat enzim melalui ikatan kovalen sehingga mencegah pembentukan
dinding sel bakteri. Pada tingkat molekul, mekanisme kerjanya
ditunjukkan oleh serangan mukelofil dari gugus hidroksil serin enzim
transpeptidase pada karbonil karbon cincin β-laktam yang bermuatan
positif, sehingga terjadi hambatan biosintesis peptidoglikan. Akibatnya
dinding sel menjadi lemah dan karena adanya tekanan turgor dari dalam,
dinding sel akan pecah atau lisis sehingga bakteri mati.
Hasil pengaruh antibiotik amphicillin yang diperoleh untuk bakteri
Eschericia coli pada medium pertama diameter zona hambat yang pertama
(d1) yaitu 0,6 cm dan diameter zona hambat yang kedua (d 2) yaitu 0,6 cm;
luas zona hambat 0 cm2; dan %zona hambat sebesar 0%. Sedangkan untuk
bakteri Bascillus subtilis pada diameter zona hambat yang pertama (d1)
yaitu 1,3 cm dan diameter zona hambat yang kedua (d2) yaitu 0,6 cm; luas
zona hambat 1,04405 cm2; dan %zona hambat sebesar 1,57 %. Hal ini
menunjukkan bahwa Eschericia coli lebih rentan terhadap antibiotik,
dibandingkan dengan Bascillus subtilis, karena luas zona hambat Bascillus
subtilis lebih besar dibandingkan Eschericia coli. Hal ini dikarenakan sel
bakteri tidak dapat melakukan metabolisme dan kerja enzim-enzimnya
terhambat sehingga bakteri akan mati. Pada hasil yang diperoleh maka
hasil praktikum yang telah dilakukan sesuai dengan teori Okmen dkk.
(2008).
Hasil pengaruh chloroxylenol yang diperoleh untuk bakteri
Eschericia coli pada medium pertama diameter zona hambat yang pertama
(d1) yaitu 0,6 cm dan diameter zona hambat yang kedua (d 2) yaitu 0,6 cm;
luas zona hambat 0 cm2; dan % zona hambat sebesar 0%. Sedangkan untuk
bakteri Bascillus subtilis pada diameter zona hambat yang pertama (d1)
yaitu 1,3 cm dan diameter zona hambat yang kedua (d2) yaitu 0,4 cm; luas
zona hambat 0,157 cm2; dan % zona hambat sebesar 0,24%. Hal ini
menunjukkan bahwa Eschericia coli lebih rentan terhadap antibiotik,
dibandingkan dengan Bascillus subtilis, karena luas zona hambat Bascillus
subtilis lebih besar dibandingkan Eschericia coli. Hal ini dikarenakan sel
bakteri tidak dapat melakukan metabolisme dan kerja enzim-enzimnya
terhambat sehingga bakteri akan mati. Pada hasil yang diperoleh maka
hasil praktikum yang telah dilakukan sesuai dengan teori Okmen dkk.
(2008).
Pada percobaan menggunakan Ekstrak serai sebagai desinfektan
diperoleh hasil pada Eschericia coli memiliki nilai d1 sebesar 0,6 cm dan
d2 sebesar 0,6 cm sehingga diperoleh luas zona hambat sebesar 0 cm 2 dan
% penghambatan sebesar 0%. Sedangkan pada Bascillus subtilis nilai d1
sebesar 0,4 cm dan d2 sebesar 0,4 cm sehingga diperoleh luas zona hambat
sebesar 0 cm2 dan % zona hambat sebesar 0%. Dilihat dari luas zona
hambatnya maka bakteri Eschericia coli dan bakteri Bascillus subtilis
memiliki tingkat kerentanan yang sama terhadap desinfektan alkohol 70%
karena hasil luas zona hambat yang diperoleh sama. Dari hasil yang
diperoleh dapat dikatakan bahwa Ekstrak serai dapat menjadi desinfektan
karena etanol mendehidrasi protein penyusun membran sel, yang
menyebabkan membran sel viskositasnya berkurang dan sel pecah.
Faktor luar yang paling berpengaruh untuk menghambat
pertumbuhan bakteri pada percobaan yang telah dilakukan adalah
desinfektan dengan NaClO khususnya pada bakteri Eschericia coli karena
pada teori dari Okmen (2008) menyatakan bahwa NaClO merupakan salah
satu desinfektan yang paling umum digunakan dalam rumah tangga.
Mengandung senyawa klorin, dan senyawa klorin yang paling aktif adalah
dalam bentuk asam hipoklorit yang diperoleh dari sodium hipoklorit.
Sehingga mekanisme kerja dari faktor luar pada desinfektan NaClO
sendiri adalah untuk dapat menghambat  oksidasi  glukosa  dalam  sel 
mikroorganisme dengan cara menghambat  enzim-enzim yang terlibat
dalam  metabolisme  karbohidrat. Kelebihan dari disinfektan ini adalah
mudah digunakan, dan jenis mikroorganisme yang dapat dibunuh dengan
senyawa ini juga cukup luas, meliputi bakteri gram positif dan bakteri
gram negatif. Kelemahan dari disinfektan berbahan dasar klorin adalah
dapat menyebabkan korosi pada pH rendah (suasana asam), meskipun
sebenarnya pH rendah diperlukan untuk mencapai efektivitas optimum
disinfektan ini. Klorin juga cepat terinaktivasi jika terpapar senyawa
organik tertentu.
Pada percobaan yang sudah dilakukan digunakan beberapa alat
seperti perforator 2, perforator 3, incubator, kulkas, oven, trigalski,
petridish, laminair flow, jarum ose, kertas payung, dan bunsen. Perforator
nomor 2 berfungsi untuk melubangi medium nutrient agar pada percobaan
faktor luar dengan diameter 0,4 cm. Perforator nomor 3 berfungsi untuk
melubangi medium nutrien agar pada percobaan faktor luar dengan
diameter 0,6 cm. Inkubator berfungsi untuk menginkubasi bakteri dengan
suhu sedang yaitu 37oC. Oven berfungsi untuk memberikan suhu tinggi
yaitu 55oC. Kulkas berfungsi untuk memberikan suhu rendah yaitu 4 oC.
Trigalski berfungsi untuk meraktakan sebaran bakteri Eschericia coli dan
Bascillus subtilis dengan metode spread plate. Petridish berfungsi tempat
natrium agar dan bakteri yang akan diamati pengaruh faktor luarnya.
Laminair flow berfungsi untuk tempat sterilisasi agar proses inokulasi
bakteri steril. Jarum ose berfungsi untuk menginokulasikan bakteri. Kertas
payung berfungsi untuk membungkus petridish yang akan diinkubasi.
Bunsen berfungsi untuk sterilisasi.
Pada percobaan pengatuh faktor luar dilakukan beberapa
perlakuan. Perlakuan inkubasi untuk memberikan suhu suhu 37oC.
Perlakuan pemberian pada oven berfungsi untuk memberikan suhu 55oC.
Perlakuan pemberian pada kulkas berfungsi untuk memberikan suhu 4oC.
Perlakuan penggunaan perforator untuk melubangi medium nutrient agar
dengan perforator nomor 4 dengan diameter 0,6 cm dan perforator nomor
3 dengan diameter nomor 0,7. Penggunaan metode spread plate agar
pertumbuhan bakteri rata-rata.
V. SIMPULAN

Setelah dilakukan percobaan pengaruh faktor luar didapatkan simpulan


sebagai berikut :

Pengaruh temperatur pada bakteri Eschericia coli dan Bascillus


subtilis memiliki suhu optimal 5 ºC dan 37°C dengan pertumbuhan banyak,
berarti kedua bakteri tergolong bakteri mesofilik.
Pada pengaruh logam berat Cu, bakteri Eschericia coli didapatkan luas
zona hambat 0 cm2. Pada Bascillus subtilis didapatkan luas zona hambat
adalah 2,4492 cm2. Eschericia coli lebih rentan terhadap logam berat Cu
dibandingkan Bascillus subtilis. Pada pengaruh logam berat HgCl2, bakteri
Eschericia coli didapatkan luas zona hambat 2,86 cm2. Pada Bascillus subtilis
didapatkan luas zona hambat adalah 0,157 cm2. Bascillus subtilis lebih rentan
terhadap logam berat Cu dibandingkan Eschericia coli.
Pada pengaruh desinfektan memiliki daya hambat yang sama pada
Eschericia coli. Desinfektan yang memiliki daya hambat paling tinggi serta
paling efektif terhadap Bascillus subtilis yaitu NaClO, sedangkan desinfektan
yang memiliki daya hambat paling rendah terhadap Bascillus subtilis adalah
alkohol 70%.
Pada pengaruh Antibiotik amphicillin, bakteri Eschericia coli
didapatkan luas zona hambat 0 cm2. Pada Bascillus subtilis didapatkan luas
zona hambat adalah 1,04405 cm2. Eschericia coli lebih rentan terhadap logam
berat Cu dibandingkan Bascillus subtilis. Pada pengaruh logam berat
chloroxylenol, bakteri Eschericia coli didapatkan luas zona hambat 0 cm2.
Pada Bascillus subtilis didapatkan luas zona hambat adalah 0,157 cm2.
Eschericia coli lebih rentan terhadap logam berat Cu dibandingkan Bascillus
subtilis. Pada pengaruh logam berat ekstrak serai, bakteri Eschericia coli
didapatkan luas zona hambat 0 cm2. Pada Bascillus subtilis didapatkan luas
zona hambat adalah 0 cm2. Eschericia coli memiliki kerentanan yang sama
dengan Bascillus subtilis terhadap logam berat Cu.
DAFTAR PUSTAKA

Moat, A.G. 1979. Microbial Physiology. John Wiley & Sons, Inc. Canada, p: 459

Irianto, K. 2006. Mikrobiologi. EGC, Jakarta.

Pelczar, M.J dan E.C.S. Chan. 1988. Dasar-dasar Mikrobiologi. UI


Press. Jakarta,hal. 494.

Radji, M. 2002. Mikrobiologi. EGC, Jakarta.

Waluyo, L. 2007. Mikrobiologi Umum. UMM Press. Malang

Dwijoseputro, D. 1987. Dasar-Dasar Mikrobiologi. Djambatan. Jakarta.

Jutono, Hartadi, S., Siti, K. S., Susanto, dan Suhadi. 1980. Mikrobiologi Umum.
UGM-Press. Yogyakarta.

Volk, W.A dan Wheeler, M. F. 1993. Mikrobiologi Dasar. Jilid 1. Erlangga.


Jakarta.

Dwidjoseputro, D.1998. Dasar-Dasar Mikrobiologi, Malang : Djambatan

Dwijoseputro. 20063. Dasar-Dasar Mikrobiologi. Djambatan. Jakarta.

Okmen, G., Ceylan, O., Ugur, A. 2008. Isolation of Soil Streptomyces as Source

Antibiotics Active Against Antibiotic-resistant Bacteria. EurAsian Journal

of BioSciences, 2 (9): 73-82.

Talaro K.P. and A. Talaro, 1999. Foundation in Microbiology Third Edition.

Suharni, T. T., Nastiti, S. J. dan Soetarto, A. E. S. 2005. Mikrobiologi Umum.


Universitas Atma Jaya Yogyakarta, Yogyakarta.

Ganiswarna, S.G, 1995. Farmakologi dan Terapi Edisi 4. Bagian Farmakologi

Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, Jakarta.

Sumadio, H., dan Harahap, 1994, Biokimia dan Farmakologi Antibiotika, USU

Press, Medan.

Knob, A. dan Carmona, E. C. 2008. Xylanase Production by Penicillium


sclerotiorum and Its Characterization. World Applied Sciences Journal. 4
(2): 277-283.
Susanto, J. 2003. Pengaruh Logam dan Konsentrasi Substrat Terhadap
Pertumbuhan dan Aktivitas Bakteri Proteolitik Pada Proses Deproteinasi
Cangkang Rajungan. Jurnal Teknologi Lingkungan 4 (1).

Permatasari, I. Z., Haribi, R., dan Setiawan, M. R. 2013. Uji Efektivitas Natrium

Hipoklorit dalam Menghambat Pertumbuhan Pseudomonas aeruginosa


Secara Invitro. Jurnal Unimus 6 (1): 21-30.

Campbell, N. A., Reece, J. B., dan Mitchell, L. G. 2002. Biologi. Erlangga,


Jakarta.

Earl, R. L. 2008. Satuan Operasi Dalam Pengolahan Pangan. Sastra Hudaya,


Bogor.

Graumann P. 2007. Bacillus: Cellular and Molecular Biology. Caister Academic


Press, USA.

Jawetz E., J. Melnick dan E. Adelberg. 1996. Mikrobiologi Klinik. EGC, Jakarta.

Timotius, K. H. 1982. Mikrobiologi Dasar. Universitas Kristen Satya Wacana,


Salatiga.

Kusmayati dan Agustini, N. W. R. 2007. Uji Aktivitas Senyawa Antibakteri dari

Mikroalga (Porphyridium cruentum). Jurnal Biodiversity 8(1): 48-53.

Fardiaz, S. 1992. Mikrobiologi Pangan I. Gramedia Pustaka Utama, Jakarta.

Das, M.P., Rebecca, L.J., dan Chatterjee, S. 2012. Study on The Effect of Djide

(II) Chloride as Disinfectant on Mixed Culture. Journal of Chemical an


Pharmaceutical Research 4(12):4975-4978.

Hamza, I. S., Sundus H. A., Hussaine A. 2009. Study the Antimocrobial Activity


of

Lemon Grass Leaf Extracts 2:1.

Watimena, R. 1987. Eschericia coli dalam Kehidupan Manusia. Jurnal

Biotrends 4(1):10-14.

Agusta, A. 2002. Aromaterapi Cara Sehat Dengan Wewangian Alami. Cetakan 2.

PT. Penebar Swadaya. Jakarta.

Rusli, A. 2006. Karakterisasi dan Identifikasi Bakteri Simbion Karang Goniatrea


aspera Resisten terhadap Logam Berat Copper (Cu) dari P. Panjang,

Jepara. Jurnal Ilmu Kelautan 14(3):117-125.

Essak, ST. 2001. Mikrobiologi Farmasi. Penerbit Erlangga, Yogyakarta.

Anda mungkin juga menyukai