Anda di halaman 1dari 22

BAB I

ILUSTRASI KASUS

1. Identitas
Nama : An. N
Usia : 2,5 tahun
Jenis Kelamin : Laki-laki
Alamat : Brondong
Tanggal Masuk : 25-04-15

2. Anamnesis
Anamnesis dilakukan secara alloanamnesis dengan Ibu pasien

a. Keluhan Utama
Kaku seluruh tubuh yang memberat sejak 2 hari SMRS

b. Riwayat Penyakit Sekarang


Pasien mengalami kaku di seluruh tubuh yang memberat sejak 2 hari SMRS. Kaku
pada tubuh pasien dialami terus menerus, tanpa dipengaruhi oleh rangsangan.
Keluhan diawali dengan mulut pasien yang kaku dan sulit dibuka. Pasien menjadi
kesulitan untuk makan dan minum. Setelah itu pasien mengalami kejang yang berupa kaku
diseluruh tubuh, tangan tertekuk dan badan melengkung ke belakang selama beberapa saat
(Ibu pasien lupa berapa lama kejang berlangsung). Saat kejang pasien sadar dan menangis.
Kejang berhenti sendiri tanpa diberikan obat. Saat kejang berhenti, pasien masih sadar.
Kejang hanya berlangsung satu kali. Setelah kejang, kekakuan pada tubuh pasien menetap
dan semakin memberat.
Sehari sebelum kejang, pasien sempat mengalami demam yang cukup tinggi selama
tiga hari, namun suhu tubuh tidak diukur oleh Ibu pasien. Pasien diberikan obat penurun
panas dan demam berkurang. Terdapat keluhan batuk berdahak. Tidak ada penurunan
kesadaran.
Tujuh hari SMRS, pasien memiliki riwayat telinga kiri tertusuk lidi dan berdarah. Luka
tidak diobati oleh Ibu pasien.
Tidak terdapat riwayat tertusuk benda tajam yang lain. Tidak terdapat riwayat
cedera kepala. Tidak ada riwayat gigi berlubang. Tidak ada riwayat digigit binatang seperti
anjing.

1
c. Riwayat Penyakit Dahulu
Riwayat dirawat di Rumah Sakit sebelumnya disangkal. Tidak ada riwayat operasi
sebelumnya. Riwayat kejang sebelumnya disangkal.

d. Riwayat Penyakit Keluarga


Tidak ada riwayat kejang pada keluarga.

e. Riwayat Kelahiran
Pasien merupakan anak ke dua dari dua bersaudara. Pasien lahir spontan, cukup bulan,
dibantu bidan, langsung menangis, tidak biru dan tidak kuning pada saat baru lahir. Panjang
lahir yaitu 50 cm dan berat lahir 3000 gram. Tidak ada riwayat kejang saat baru lahir.

f. Riwayat Tumbuh Kembang


Pertumbuhan dan perkembangan pasien dirasakan sama seperti pada anak
seusianya. Saat ini anak sudah dapat berlari, berbicara dua sampai tiga kata.

g. Riwayat Imunisasi
Riwayat imunisasi tidak diketahui

h. Riwayat Nutrisi
Pasien minum ASI hingga usia 1 tahun. Saat ini pasien mengonsumsi makanan biasa,
yaitu nasi dan lauk-pauk.

3. Pemeriksaan Fisik
Pemeriksaan fisik dilakukan pada tanggal 27 April 2015
Keadaan umum : tampak sakit sedang, tidak tampak sesak, tidak sianosis
Kesadaran : GCS E4VxMx
Tanda vital : Frekuensi nadi 120 kali/menit, regular, isi cukup
Frekuensi pernapasan 35 kali/menit, regular, kedalaman
cukup
Suhu 37,9oC
Antropometri : Berat badan 9 kg
Status Gizi : BB/U = z score < -3 SD
Malnutrisi berat

2
 Kepala : Normosefal, ubun-ubun besar sudah menutup
 Mata :
 Konjungtiva anemis, sklera tidak ikterik
 Pupil bulat isokor, diameter 3 mm/3 mm, refleks cahaya langsung positif, refleks
cahaya tidak langsung positif
 Gerakan bola mata baik ke segala arah, tidak ada ptosis
 Kontak adekuat
 Hidung : Bentuk dan ukuran normal, tidak ada sekret, konka tidak edema
 Telinga : Bentuk dan ukuran normal, gendang telinga intak kanan dan kiri,
tidak terdapat sekret, menoleh saat mendengar suara
 Mulut : trismus positif, risus sardonikus positif
 Leher : tidak teraba pembesaran kelenjar getah bening, kuduk kaku positif
 Dada : bentuk normal, simetris saat inspirasi dan ekspirasi, terdapat retraksi
dinding dada, terdapat iga gambang
 Jantung :
 Inspeksi : iktus kordis tidak terlihat
 Palpasi : iktus kordis teraba di linea midklavikula kiri sela iga ke-5
 Perkusi : batas jantung kesan normal
 Auskultasi : bunyi jantung I-II regular, tidak ada gallop dan murmur
 Paru :
 Inspeksi : bentuk dada normal
 Palpasi : Ekspansi dada simetris
 Perkusi : Sonor di kedua lapang paru
 Auskultasi : suara napas vesikuler, tidak terdapat rhonki dan wheezing
 Abdomen :
 Inspeksi : Dinding perut tampak kaku
 Auskultasi : Bising usus positif normal
 Palpasi : Perut papan positif
 Punggung : Opistotonus positif
 Genitalia : tidak ada kelainan
 Ekstremitas :
 Akral hangat, CRT < 2 detik
 Muscle wasting positif
 Kuduk kaku positif, Brudzinsky negatif
 Refleks fisiologis Patella +/+

3
 Refleks patologis: Babinsky negatif

4. Diagnosis Kerja
1. Tetanus
2. Kekurangan Energi Protein (KEP)

5. Pemeriksaan Penunjang
Hematologi Rutin (26 April 2015)
– Hb : 11,3 g/dL
– Leukosit : 14.500/uL
– Eritrosit : 4,5 juta/uL
– Trombosit : 504.000/uL
– Hematokrit : 33 %

6. Diagnosis Akhir
1. Tetanus
2. Kekurangan Energi Protein

7. Tatalaksana
a. Non-farmakologi
 Membebaskan jalan napas untuk mencegah terjadinya aspirasi
 Oksigen 2 – 3 lpm
 Memasang NGT
 Menempatkan pasien di ruangan gelap untuk mencegah terjadinya rangsangan
 Diet cair dengan kebutuhan nutrisi 1300 kkal

b. Farmakologi
 IVFD Kaen 1B + KCl 10 cc 10 tpm mikro
 ATS 100.000 IU (50.000 IU intravena dilanjutkan 50.000 IU intramuskular)
 Cefotaxim 3 x 300 mg
 Parasetamol 4 x 120 mg
 Diazepam, dosis inisial 1 mg intravena
Dosis maintanance 2mg/2 jam per NGT
 Omeprazole 2 x 20 mg

4
8. Prognosis
Quo ad vitam : Dubia ad bonam
Quo ad functionam : Dubia ad bonam
Quo ad sanactionam : Dubia ad bonam

9. Follow-up
Tanggal Vital Sign & PF Diagnosa Penatalaksanaan

26-04-15 S: Kejang (-), kaku -Tetanus  Tirah baring


spontan (+), intake -KEP  O2 1-2 lpm
oral sulit  Kateter terpasang
O: KU lemas,  NGT belum terpasang
komposmentis  IVFD Kaen IB + KCl 10 tpm
FN: 120x/mt makro
Suhu: 37 C o
 Diberikan ATS sampai mencapai
Mulut: trismus (+), 50.000 IM (sediaan 1500
risus sardonikus IU/ampul, diberikan sebanyak 10
(+) ampul per hari)
Leher : kuduk kaku  Cefotaxim 3 x 300 mg
(+)  Parasetamol 4 x 120 mg
Abdomen: perut  Diazepam 2mg/2 jam IV (bolus
papan (+), pelan)
Punggung:  Omeprazole 2 x 20 mg
opistotonus (+)

5
Tanggal Vital Sign & PF Diagnosa Penatalaksanaan

27-04-15 S: Kejang (-), kaku -Tetanus  Tirah baring


spontan (+), intake -KEP  O2 1-2 lpm
oral  Kateter terpasang
O: KU lemas,  NGT sudah terpasang
komposmentis  Diet cair per NGT
FN: 110x/mt  IVFD Kaen IB + KCl 10 tpm
o
Suhu: 37 C makro
Mulut: trismus (+),  Diberikan ATS sampai mencapai
risus sardonikus 50.000 IM (sediaan 1500
(+) IU/ampul, diberikan sebanyak 10
Leher : kuduk kaku ampul per hari)
(+)  Cefotaxim 3 x 300 mg
Abdomen: perut  Parasetamol 4 x 120 mg
papan (+),  Diazepam 2mg/2 jam per NGT
Punggung:  Omeprazole 2 x 20 mg
opistotonus (+)

6
Tanggal Vital Sign & PF Diagnosa Penatalaksanaan

28-04-15 S: Kejang (-), kaku -Tetanus  Tirah baring


rangsang (+), -KEP  O2 1-2 lpm
intake oral  Kateter terpasang
meningkat  NGT sudah terpasang
O: KU lemas,  Diet cair per NGT
komposmentis  IVFD Kaen IB + KCl 10 tpm
FN: 110x/mt makro
Suhu: 37 Co
 Diberikan ATS sampai mencapai
Mulut: trismus 50.000 IM (sediaan 1500
berkurang, risus IU/ampul, diberikan sebanyak 10
sardonikus ampul per hari)
berkurang  Cefotaxim 3 x 300 mg
Leher : kuduk kaku  Parasetamol 4 x 120 mg
berkurang  Diazepam 2mg/4 jam per NGT
Abdomen: perut  Omeprazole 2 x 20 mg
papan (+),
Punggung:
opistotonus (-)

7
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

1. Definisi
Tetanus merupakan penyakit infeksi akut yang disebabkan oleh eksotoksin yang
dihasilkan oleh bakteri Clostridium tetani. Penyakit ini dikarakteristikan dengan kekakuan
otot-otot tubuh disertai spasme otot yang seperti kejang. Sekarang ini angka kejadian
tetanus di dunia, khususnya negara-negara maju sudah sangat rendah, namun pada
negara-negara berkembang kasus tetanus masih dapat ditemukan. Prevalensinya lebih
banyak pada laki-laki dibandingkan dengan perempuan dengan rasio 2,5 : 1. Kelompok usia
menengah atas menjadi kelompok usia yang rentan mengalami tetanus, karena kelompok
usia ini umumnya belum terpapar dengan vaksinasi tetanus sebelumnya. 1,2

2. Etiologi
Tetanus adalah penyakit yang disebabkan oleh exotoksin dari Clostridium tetani. C.
tetani adalah bakteri basil gram positif yang bersifat anaerob obligat. Bakteri ini juga
mampu berubah menjadi spora jika kondisi lingkungannya tidak kondusif untuk
pertumbuhan C. tetani. Sehingga meskipun bakteri C. tetani dapat dengan mudah
dieradikasi dengan paparan oksigen, spora C. tetani dapat bertahan hingga bertahun-tahun
lamanya dalam lingkungan aerob. Spora juga tahan terhadap suhu 120 oC selama 10-15
menit, dapat bertahan dari senyawa kimia seperti fenol dan juga agen kimia lainnya. 1,2,3
Bakteri C. tetani menghasilkan dua jenis exotoksin, tetanolysin dan tetanospasmin.
Makna klinis dari exotoksin tetanolysin tidak diketahui, namun diduga berperan dalam
pengrusakan jaringan disekitar daerah port de’entry sehingga mengoptimalkan kondisi untuk
multiplikasi bakteri.
Sedangkan tetanospasmin adalah neurotoksin yang bertanggung jawab atas
manifestasi klinis dari penyakit tetanus. Tetanospasmin adalah salah satu neurotoksin paling
poten yang diketahui manusia, dengan dosis letal hanya sebesar 0,25 nanogram per
kgBB.1,2,3

3. Patofisiologi
Penyakit tetanus diawali dengan adanya suatu port de’entry yang membuat spora
bakteri C. Tetani dapat masuk ke dalam tubuh. Port de’entry dapat berupa luka (baik dari
kecelakaan ataupun luka operasi), otitis media, karies gigi, luka kronik, hingga pemotongan
tali pusar yang tidak steril pada kasus tetanus neonatorum. Tidak semua luka yang

8
terkontaminasi spora C. tetani akan berkembang menjadi penyakit tetanus, butuh kondisi
luka yang ideal seperti kondisi anaerob agar bakteri dapat berkembang secara cepat, seperti
luka dengan potensial reduksi oksidasi yang rendah (jaringan yang mati/nekrosis, benda
asing yang terkontaminasi, infeksi aktif). Secara penampakan, infeksi murni dari C.tetani
seringkali tampak tidak mencolok, karena infeksi bakteri tersebut hanya akan menimbulkan
reaksi inflamasi yang minimal. Penampakan tetanus dengan luka yang inflamasi disebabkan
karena adanya koinfeksi dengan bakteri lain. Gejala klinis dari tetanus disebabkan murni
karena exotoksin tetanospasmin, bukan oleh bakteri C.tetani secara langsung.1,2,3
Diduga terdapat dua mekanisme utama tetanospasmin yang dihasilkan oleh C.tetani
dapat tersebar keseluruh tubuh yaitu melalui transport retrograde aksonal pada serabut
saraf dan melalui persebaran secara hematogen/limfogen. Penyebaran secara aksonal yang
menyebabkan tetanospasmin dapat sampai ke SSP, sedangkan penyebaran secara
hematogen/limfogen yang bisa menyebabkan tetanus generalisata. Tetanospasmin akan
dibawa oleh transport retrogarde aksonal ke terminal dari lower motor neuron (LMN).1,2
Tetanospasmin merupakan molekul protein yang tersusun atas dua rantai yaitu
rantai berat dan rantai ringan yang digabungkan oleh jembatan disulfida. Rantai berat
tetanospasmin memediasi pelekatan tetanospasmin ke neuron motorik, sedangkan bagian
rantai ringan dari tetanospasmin adalah enzim metaloproteinase yang secara spesifik
menargetkan vesicle associated membrane protein (VAMP/synaptobrevin). VAMP berperan
dalam pelepasan neurotransmiter dari ujung saraf dengan mengfasilitasi fusi vesikel yang
berisi neurotransmiter dengan membran plasma sel saraf.
Karena tetanospasmin ditranspor secara retrogarde hingga ke medula spinalis dan
batang otak, tetanospasmin berinteraksi secara khusus dengan sel-sel saraf inhibitorik dan
menghambat pelepasan neurotransmiter inhibitorik seperti GABA dan glisin. Sebagai akibat
kerja tetanospasmin ini, terjadi denervasi fungsional dari LMN yang berakibat pada
hiperreaktifitas dan peningkatan aktifitas otot dalam bentuk kekakuan dan kejang. Tidak
diketahui seberapa besar pengaruh tetanospasmin pada sel saraf eksitatorik di SSP, namun
dari eksperimen in vitro, didapatkan bahwa tetanospasmin lebih spesifik bekerja pada sel
saraf inhibitorik saja. Dari eksperimen juga didapatkan bahwa tetanospasmin menyebabkan
penurunan sementara jumlah reseptor GABAnergik pada sel saraf, sehingga tetanospasmin
bekerja secara biokemikal dan struktural terhadap sel saraf inhibitorik. 1

4. Manifestasi Klinis
Setelah pasien terinfeksi, masa inkubasi dari awal kejadian hingga muncul gejala
adalah sekitar 4-14 hari dengan nilai tengah 7 hari. Meski demikian pada 15% kasus masa

9
inkubasi lebih pendek daripada 4 hari dan pada 12% kasus lebih lama dari 14 hari.
Manifestasi klinis dari tetanus bergantung pada jenis tetanus. Terdapat 4 jenis tetanus
berdasarkan gambaran klinisnya yaitu:2,3,4
- Tetanus generalisata
- Tetanus lokal
- Tetanus sefalik
- Tetanus neonatorum
Kebanyakan kasus dari tetanus adalah jenis tetanus generalisata, dimana manifestasi
klinis terjadi pada seluruh tubuh. Pasien dengan tetanus lokal hanya mengalami manifestasi
klinis pada otot-otot yang dekat dengan daerah luka saja, dan tidak ada keterlibatan SSP.
Tetanus lokal biasanya terjadi pada pasien-pasien yang memiliki kekebalan parsial terhadap
toksin C.tetani dan angka mortalitas dari kasus ini sangat rendah. Tetanus sefalik adalah
jenis tetanus yang jarang terjadi, namun memiliki angka morbiditas dan mortalitas yang
tinggi. Tetanus sefalik merupakan kasus tetanus dimana port de’entry kuman adalah di regio
kepala, biasa terjadi setelah cedera kepala/otitis media yang terinfeksi. Pasien dengan
tetanus sefalik mengalami parese nervus-nervus kranialis yang bervariasi, namun paling
sering didapati pada nervus VII dan manifestasi klinisnya bisa menyebar menjadi tetanus
generalisata.2
Tetanus neonatorum juga merupakan kasus tetanus yang sudah jarang ditemui,
namun masih cukup sering ditemukan pada negara-negara yang belum berkembang. Port
de’entry dari C.tetani pada kasus tetanus neonatorum adalah melalui korda umbilikal yang
terkontaminasi saat kelahiran yang ditambah dengan ibu yang belum diimunisasi.
Manifestasi khasnya biasa mulai muncul pada minggu pertama kehidupan, yang ditandai
dengan anak yang menjadi rewel, tidak mau makan, hingga mengalami kekakuan dan
spasme. Tetanus neonatorum juga menyebabkan morbiditas dan mortalitas yang tinggi dan
prognosis biasanya buruk.2
Perjalanan penyakit dari tetanus selalu diawali dengan terbentuknya suatu port
de’entry bagi kuman C.tetani. Jika port de’entry nya berupa luka, luka tersebut sering
diabaikan oleh pasien karena sifat C.tetani yang tidak memicu respon inflamasi, sehingga
dari segi luka sendiri pasien sering kali tidak memiliki keluhan. Keluhan awal yang biasanya
muncul adalah keluhan nyeri saat menelan.
Kekakuan dan spasme pada otot biasanya dimulai lokal pada daerah yang dekat
dengan luka. Ketika tetanus mulai terjadi secara generalisata, pola kemunculan kaku dan
spasme otot biasanya terjadi secara menurun, mulai dari otot-otot daerah wajah, leher, dan

10
baru kemudian ke otot-otot tubuh dan ekstremitas. Pada lebih dari 75% kasus tetanus
generalisata, akan ditemui gejala trismus (lockjaw).
Gejala kekakuan pada leher, pada kasus tetanus yang sedang-berat akan bisa
menyebabkan disfagia karena spasme dari otot-otot laringeal. Kekakuan pada otot-otot
wajah pada pasien tetanus akan menyebabkan wajah yang khas menyeringai yang disebut
risus sardonicus. Pada tetanus generalisata fase lanjut akan juga ditemukan ophistotonus,
yaitu keadaan hiperekstensi punggung, fleksi ekstremitas atas, dan ekstensi ekstremitas
bawah, postur yang menyerupai kejadian dekortikasi otak. 1,2,5
Gejala dari tetanus tidak sebatas pada gejala motorik saja, karena tetanospasmin
dari C.tetani diketahui juga memiliki aktifitas terhadap persarafan otonom. Gejala yang
dapat timbul adalah episode takikardia dan bradikardia yang bergantian, fluktuasi tekanan
darah (hiper-hipotensi), dan berkeringat berlebih. Gejala otonom ini biasanya muncul
beberapa minggu setelah munculnya gejala tetanus, dan menandakan aktifitas dari
tetanospasmin di batang otak. Gejala otonom dari C.tetani ini diasosiasikan dengan kejadian
sudden cardiac death pada pasien-pasien dengan tetanus generalisata.1,2,3,4
Walaupun gejala klinis khas dari tetanus generalisata adalah berupa trismus, risus
sardonikus, kaku otot leher, disfagia, dan ophistotonus. Gejala-gejala lain yang kurang khas
tetanus tetap dapat muncul seperti kelemahan tungkai pada daerah dekat luka, diplopia,
nistagmus, dan vertigo yang menunjukan adanya aktifasi abnormal dari sistem saraf. Pasien
dengan tetanus juga lebih mudah terangsang terhadap stimuli karena inaktifitas dari sistem
saraf inhibitorik. Pasien menjadi lebih sensitif terhadap sentuhan, cahaya, dan suara hingga
dapat menyebabkan refleks spasme. 2,3
Untuk menilai derajat beratnya manifestasi klinis tetanus, maka dapat digunakan
klasifikasi Ablett.

11
Secara keseluruhan, perjalanan penyakit tetanus beserta dengan gejala klinis yang
timbul pada umumnya sudah cukup khas untuk menegakkan diagnosis tetanus secara klinis.
Sehingga pemeriksaan penunjang seperti pungsi lumbal, pemeriksaan elektrolit, dll untuk
menyingkirkan diagnosis banding pada umumnya tidak dibutuhkan.
Penegakan diagnosis dari tetanus hanya berdasarkan gejala klinis saja, karena tidak
ada pemeriksaan laboratorium maupun radiologis yang cukup spesifik untuk menegakan
diagnosis tetanus. Bahkan pemeriksaan mikrobiologis seperti pemeriksaan kultur juga tidak
spesifik, karena C.tetani dapat dikultur dari kulit orang normal, dan pada luka pasien dengan
tetanus kadang kala tidak ditemukan C.tetani pada kultur. Meski demikian kultur tetap perlu
dikerjakan jika terdapat luka untuk melihat apakah terdapat koinfeksi dengan bakteri lain. 1
Terdapat pemeriksaan yang khas untuk menegakan diagnosis tetanus yaitu tes
spatula. Tes spatula dilakukan dengan cara menyentuk bagian orofaring dengan
menggunakan spatula. Pada orang normal, tindakan ini akan memicu refleks muntah ( gag
reflex). Namun pada pasien tetanus, respon yang terjadi justru pasien akan menggigit
spatula (menandakan tes spatula yang positif). Respon abnormal ini muncul karena terdapat
spasme akibat hipereaktifitas muskulus masseter. Dari sebuah penelitian pada 400 pasien,
tes spatula ini memberikan hasil spesifisitas 100% dengan sensitivitas 94%. 2
Meskipun gejala dari tetanus dan perjalanan penyakitnya khas, tetap ada beberapa
diagnosis banding yang harus dipikirkan ketika bertemu pasien dengan gejala-gejala
tetanus. Beberapa diagnosis banding yang harus dipikirkan adalah: 2,3,6
1. Infeksi SSP, misalnya meningitis, meningoensefalitis, ensefalitis. Gejala klinis yang
ditemukan dapat berupa kejang, kaku kuduk, hingga parese. Namun tanda klinis
khas dari tetanus seperti risus sardonicus dan trismus tidak akan khas. Perjalanan
penyakit dari infeksi SSP juga akan berbeda dengan tetanus. Perbedaan mencolok
lainnya adalah pada infeksi SSP bisa ditemukan penurunan kesadaran, sedangkan
pada pasien tetanus, kesadaran pasien umumnya compos mentis.
2. Rabies. Pada rabies akan ditemukan gejala sukar menelan yang mirip dengan gejala
laringospasme dari tetanus. Namun rabies memiliki gejala khas yaitu hidrofobia.
Perjalanan penyakit rabies juga berbeda dengan adanya riwayat digigit binatang
pada daerah yang endemik rabies.
3. Hipokalsemia. Hipokalsemia juga dapat ditemukan gejala tetani (bukan tetanus).
Pada pasien dengan hipokalsemia, akan bsia dijumpai kondisi penyerta yang biasa
menyertainya seperti hipoalbuminemia, hipoparatiroidisme, defisiensi vitamin D.
Pada hipokalsemia juga akan ditemukan tanda Chvostek positif. Pada hipokalsemi,

12
tetani juga akan ditemukan hingga pada otot-otot polos. Perjalanan penyakit tetanus
juga berbeda dengan tetani pada hipokalsemia.

Trismus akibat kondisi lokal. Penyebabnya bisa berupa mastoiditis, OMSK, abses
peritonsilar, hingga permasalahan pada TMJ. Dari pemeriksaan lebih lanjut akan terlihat
bahwa terjadinya secara asimetris.

5. Tatalaksana
Tujuan penatalaksanaan pada tetanus adalah sebagai berikut:
1. Penanganan spasme
2. Pencegahan komplikasi gangguan napas dan metabolik
3. Netralisasi toksin yang masih terdapat di dalam darah yang belum berikatan dengan
sistem saraf. Pemberian antitoksin dilakukan secepatnya setelah diagnosis tetanus
dikonfirmasi. Namun, tidak ada bukti kuat yang menyatakan bahwa toksin tetanus dapat
diinaktifkan dengan antitoksin setelah toksin berikatan di jaringan. Bahkan pada
kenyataannya, efektivitas antitoksin dalam dosis yang sangat besar dalam menurunkan
angka kematian masih dipertanyakan.
4. Jika memungkinkan, melakukan pembersihan luka di tempat masuknya kuman, untuk
memusnahkan ―pabrik penghasil tetanospasmin.
5. Asuhan keperawatan yang sangat ketat dan terus-menerus.
6. Lakukan pemantauan cairan, elektrolit dan keseimbangan kalori (karena biasanya
terganggu), terutama pada pasien yang mengalami demam dan spasme berulang, juga
pada pasien yang tidak mampu makan atau minum akibat trismus yang berat, disfagia
atau hidrofobia.

Penatalaksanaan pada tetanus terdiri dari tatalaksana umum yang terdiri dari
kebutuhan cairan dan nutrisi, menjaga kelancaran jalan napas, oksigenasi, mengatasi
spasme, perawatan luka atau port’d entree lain yang diduga seperti karies dentis dan OMSK,
sedangkan tatalaksana khusus terdiri dari pemberian antibiotik dan serum anti tetanus.

a. Tatalaksana Umum
Tatalaksana umum yang diberikan pada pasien tetanus yaitu sebagai berikut:
1. Mencukupi kebutuhan cairan dan nutrisi. Pada hari pertama perlu pemberian cairan
secara intravena sekaligus pemberian obat-obatan, dan bila sampai hari ke-3 infus
belum dapat dilepas sebaiknya dipertimbangkan pemberian nutrisi secara parenteral.

13
Setelah spasme mereda dapat dipasang sonde lambung untuk makanan dan obat-
obatan dengan perhatian khusus pada kemungkinan terjadinya aspirasi.
2. Menjaga saluran napas tetap bebas, pada kasus yang berat perlu trakeostomi.
3. Memberikan tambahan O2 dengan sungkup (masker).
4. Mengurangi spasme dan mengatasi spasme.
Diazepam efektif mengatasi spasme dan hipertonisitas tanpa menekan pusat kortikal.
Dosis diazepam yang direkomendasikan adalah 0,1-0,3 mg/kgBB/kali dengan interval 2-4
jam sesuai gejala klinis atau dosis yang direkomendasikan untuk usia <2 tahun adalah
8mg/kgBB/hari diberikan oral dalam dosis 2-3 mg setiap 3 jam. Spasme harus segera
dihentikan dengan pemberian diazepam 5 mg per rektal untuk BB<10 kg dan 10 mg per
rektal untuk anak dengan BB ≥10 kg, atau dosis diazepam intravena untuk anak 0,3
mg/kgBB/kali.
Setelah spasme berhenti, pemberian diazepam dilanjutkan dengan dosis rumatan
sesuai dengan keadaan klinis pasien. Alternatif lain, untuk bayi (tetanus neonatorum)
diberikan dosis awitan 0,1-0,2 mg/kgBB IV untuk menghilangkan spasme akut, diikuti infus
tetesan tetap 15-40 mg/kgBB/hari. Setelah 5-7 hari dosis diazepam diturunkan bertahap 5-
10 mg/hari dan dapat diberikan melalui pipa orogastrik. Dosis maksimal adalah 40
mg/kgBB/hari.
Tanda klinis membaik bila tidak dijumpai spasme spontan, badan masih kaku,
kesadaran membaik (tidak koma), tidak dijumpai gangguan pernapasan. Bila dosis diazepam
maksimal telah tercapai namun anak masih spasme atau mengalami spasme laring,
sebaiknya dipertimbangkan untuk dirawat di ruang perawatan intensif sehingga otot dapat
dilumpuhkan dan mendapat bantuan pernapasan mekanik. Apabila dengan terapi
antikonvulsan dengan dosis rumatan telah memberikan respons klinis yang diharapkan,
dosis dipertahankan selama 3-5 hari. Selanjutnya pengurangan dosis dilakukan secara
bertahap (berkisar antara 20% dari dosis setiap dua hari). Midazolam IV atau bolus,
fenobarbital IV dan morfin dapat digunakan sebagai terapi tambahan jika pasien dirawat di
ICU karena terdapat risiko depresi pernapasan.

5. Jika karies dentis atau OMSK dicurigai sebagai port d’entree, maka diperlukan
konsultasi dengan dokter gigi/THT.

b. Tatalaksana Khusus
Tatalaksana khusus yang diberikan untuk pasien tetanus pada anak yaitu sebagai
berikut:

14
1. Anti tetanus serum
Anti serum atau Human Tetanus Immunoglobuline (HTIG). Dosis ATS yang
dianjurkan adalah 100.000 IU dengan 50.000 IU IM dan 50.000 IU IV. Pemberian ATS harus
berhati-hati akan reaksi anafilaksis. Pada tetanus anak, pemberian anti serum dapat disertai
dengan imunisasi aktif DT setelah anak pulang dari rumah sakit. Bila fasilitas tersedia, dapat
diberikan HTIG (3.000-6.000 IU) secara intramuskular (IM) dalam dosis tunggal. Untuk bayi,
dosisnya adalah 500 IU IM dosis tunggal. Sebagian dari dosis tersebut diberikan secara
infiltrasi di tempat sekitar luka. HTIG hanya dapat menghilangkan toksin tetanus yang
belum berikatan dengan ujung saraf. Intraveneous Immunoglobuline (IVIG) mengandung
antitoksin tetanus dan dapat digunakan jika HTIG tidak tersedia. Kontraindikasi HTIG adalah
riwayat hipersensitivitas terhadap imunoglobulin atau komponen human immunoglobuline
sebelumnya; trombositopenia berat atau keadaan koagulasi lain yang dapat merupakan
kontraindikasi pemberian secara IM. Pada keadaan tetanus berat memerlukan perawatan di
perawatan intensif. Selain penatalaksanaan diatas, berikan tambahan penatalaksanaan
berikut:
 HTIG disuntikkan secara intratekal (meningkatkan perbaikan klinis dari 4-30%)
 Trakeostomi dan ventilasi mekanik selama 3-4 minggu.
 Magnesium diberikan secara infus (iv) untuk mencegah spasme otot.
 Diazepam (dikenal sebagai valium) diberikan secara kontinu melalui infus iv.
 Efek otonom tetanus dapat menyulitkan untuk diatasi (hiper dan hipotensi yang
berganti-ganti, hiperpireksia/hipotermia) dan mungkin memerlukan labetolol,
magnesium, klonidin atau nifedipin.

Gambar 1. Perbandingan ATS dan HTIG

15
Obat-obatan seperti klorpromazin atau diazepam atau pelemas otot lain dapat
diberikan untuk mengontrol spasme otot. Pada kasus yang ekstrim mungkin diperlukan
untuk menimbulkan paralisis pada pasien dengan obat kurare serta menggunakan ventilator
mekanik. Rangsangan yang sangat ringan dapat memicu spasme yang berpotensi
menyebabkan kematian pada pasien dengan penyakit yang sudah menyebar. Karena alasan
ini, semua prosedur terapeutik harus dikoordinasi dengan baik sehingga risiko menghasilkan
tetanospasmin dapat berkurang hingga minimal. Semua prosedur paling baik dilakukan
setelah pasien mendapatkan sedasi dan relaksasi yang optimal. Karena toksin tetanus
sangat kuat, penyakit tetanus tidak menimbulkan kekebalan. Imunisasi aktif dengan toksoid
tetanus harus segera dilakukan setelah kondisi pasien stabil. Infeksi tetanus pada anak
merupakan infeksi yang akut sehingga relatif tidak mengganggu tumbuh kembang anak.
Sedangkan pada tetanus neonatorum, dapat terjadi gangguan tumbuh kembang akibat
hipoksia yang berat. Selanjutnya pasien diberikan imunisasi tetanus.

2. Antibiotika
Pada penelitian yang dilakukan di Indonesia, metronidazol telah menjadi terapi
pilihan yang digunakan di beberapa pelayanan kesehatan. Metronidazol diberikan secara iv
dengan dosis inisial 15 mg/kgBB dilanjutkan dosis 30 mg/kgBB/hari dengan interval setiap 6
jam selama 7-10 hari. Metronidazol efektif untuk mengurangi jumlah kuman C. tetani bentuk
vegetatif.
Sebagai lini kedua dapat diberikan penisilin prokain 50.000-100.000 U/kgBB/hari
selama 7-10 hari, jika terdapat hipersensitif terhadap penisilin dapat diberikan tetrasiklin 50
mg/kgBB/hari (untuk anak berumur lebih dari 8 tahun). Penisilin membunuh bentuk
vegetatif C.tetani. Sampai saat ini, pemberian penisilin G secara parenteral dengan dosis
100.000 U/kgBB/hari secara iv, setiap 6 jam selama 10 hari direkomendasikan pada semua
kasus tetanus. Sebuah penelitian menyatakan bahwa penisilin mungkin berperan sebagai
agonis terhadap tetanospasmin dengan menghambat pelepasan asam aminobutirat gama
(GABA).
Pasien tetanus akan menjalani perjalanan penyakit yang panjang, karena tidak ada
terapi definitif bagi tetanospasmin yang telah berikatan dengan saraf. Tipikal pasien tetanus
baru akan pulih penuh dalam waktu 2-4 bulan setelah manifestasi pertama muncul.
Sepanjang perjalanan penyakit, terapi suportif penting untuk meningkatkan prognosis dari
pasien. Terapi suportif pasien dengan tetanus mencakup menjaga jalur nafas, mencukupi
kebutuhan nutrisi dan cairan, perawatan diruangan dengan stimulus yang minimal.
Idealnya, pasien-pasien tetanus seharusnya dirawat di ICU. Pasien-pasien dengan

16
manifestasi klinis tetanus sedang-berat juga merupakan indikasi untuk dilakukannya intubasi
endotrakeal. Karena pasien tetanus sering mengalami laringospasme sehingga mengalami
disfagia, nutrisi parenteral sering kali menjadi pilihan untuk mencukupi kebutuhan gizi
pasien.
Pasien-pasien tetanus juga memiliki kebutuhan nutrisi yang lebih tinggi karena
pasien-pasien dengan tetanus berada secara konstan pada kondisi katabolik. Tetanus
memiliki beberapa komplikasi yang harus ditangani sepanjang perawatan pasien. Spasme
yang tidak tertangani dengan baik dapat menyebabkan terjadinya depresi pernafasan,
sehingga pasien-pasien tetanus dengan manifestasi klinis yang berat dianjurkan untuk
dirawat di ICU dengan bantuan ventilator mekanik. Dulu sebelum ventilator mekanik
tersebar luas, depresi pernapasan adalah komplikasi tersering penyebab kematian pada
pasien-pasien dengan tetanus. Namun sekarang ini komplikasi paling serius dari tetanus
adalah disfungsi persarafan otonom yang sering menyebabkan sudden cardiac death.
Disregulasi otonom ini dapat di atasi dengan magnesium sulfat yang diberikan secara IV
dengan dosis awal 75 mg/kgBB dilanjutkan dosis rumatan 2-3 gram/jam hingga spasme
terkontrol. Perlu diperhatikan apakah terjadi arefleksia, dan jika terjadi dosis harus
diturunkan. Obat-obatan beta-bloker untuk mengatasi takikardia tidak dianjurkan lagi karena
berhubungan dengan peningkatan resiko henti jantung. Komplikasi lain yang sering muncul
pada tetanus adalah pneumonia akibat aspirasi. 1,2,4,5

6. Prognosis
Sampai sekarang, belum ada pengobatan yang dapat secara definitif menatalaksana
tetanus. Maka dari itu obat terbaik bagi kasus-kasus tetanus adalah pencegahan terjadinya
tetanus. Jika seorang pasien sudah mengalami tetanus, terdapat beberapa faktor yang
dapat mempengaruhi prognosis dari pasien. Faktor-faktor tersebut dirumuskan dalam
berbagai jenis sistem skor yang nantinya akan memberikan gambaran tingkat keparahan
dari tetanus yang terjadi dan angka harapan hidup pasien.
Sistem skoring yang umum digunakan sekarang ini ada beberapa, yaitu sistem skor
Phillips dan sistem skor Dakar.2,6,7
Sistem skor Phillips memasukan faktor seperti waktu inkubasi, lokasi port de’entry,
status imunitas, dan faktor pemberat dalam perhitungan. 7
Dengan sistem skoring ini, nilai dibawah 9 menunjukan tetanus ringan, sedangkan
skor 9-16 menunjukan tetanus sedang, sedangkan nilai diatas 16 menunjukan tetanus
berat. Sistem skor lainnya yaitu sistem skor Dakar.

17
Berdasarkan sistem skor Dakar, dapat diintepretasikan derajat keparahan suatu
tetanus:
1. skor 0-1: tetanus ringan dengan angka mortalitas dibawah 10%
2. skor 2-3: tetanus sedang dengan angka mortalitas 10-20%
3. Skor 4: tetanus berat dengan angka mortalitas 20-40%
4. Skor 5-6: tetanus sangat berat dengan angka mortalitas diatas 50%
Juga berdasarkan pada sistem skor Dakar, maka tetanus neonatorum selalu
dikategorikan sebagai tetanus sangat berat dan tetanus sefalik selalu menjadi tetanus
berat/sangat berat. Secara keseluruhan, faktor-faktor seperti waktu inkubasi dan periode
onset spasme yang pendek, penundaan pemberian antitoksin, port de’entry pada wajah dan
kepala, serta tetanus pada neonatus menunjukan angka prognosis yang lebih buruk. Seperti
yang sudah disebutkan di atas, pasien umumnya baru dapat pulih secara normal setelah 2-4
bulan dan selama itu pasien membutuhkan perawatan. Umumnya pasien dapat kembali ke
kondisi sebelum tetanus, namun terdapat kemungkinan pasien mengalami sequele berupa
hipotonus.2,7
Selain sistem skor Phillips dan Dakar, prognosis juga dapat ditentukan dari skor
Bleck.

18
Gambar 2. Sistem skor Bleck

19
BAB III
PEMBAHASAN

Seorang anak laki-laki usia 2,5 tahun datang dengan keluhan kekakuan seluruh
tubuh sejak 2 hari SMRS. Berdasarkan keluhan utama pasien tersebut maka sistem organ
yang menyebabkan keluhan utama tersebut sudah dapat disusun, yaitu paling besar
kemungkinannya adalah sistem saraf pusat/metabolik. Dari anamnesis lebih lanjut diketahui
bahwa perjalanan penyakit pasien diawali dari luka telinga pasien disebabkan oleh tertusuk
lidi. Luka ini tidak diobati.
Luka ini kemudian berlanjut menjadi trismus dan kuduk kaku 3 hari kemudian.
Keluhan trismus kemudian bertambah berat hingga pasien mengalami gejala yang
deskripsinya sesuai dengan ophistotonus. Berdasarkan pada anamnesis dari pasien,
diagnosis pasien mulai mengarah pada tetanus dikarenakan gejala klinis dan perjalanan
penyakit pasien yang cukup khas untuk manifestasi klinis tetanus. Diagnosis banding seperti
ensefalitis, meningitis, dan/atau meningoensefalitis dapat disingkirkan karena keluhan
pasien didahului oleh trismus. Selain itu, pada pasien juga tidak terdapat penurunan
kesadaran.
Diagnosis banding selanjutnya yakni metabolik, dimana hipokalsemia adalah yang
paling sering, juga dapat dikesampingkan untuk sekarang karena perjalanan penyakit pasien
yang lebih menunjang ke arah tetanus. Dari anamnesis pasien juga tidak memiliki faktor
resiko untuk terjadinya hipokalsemia.
Dari pemeriksaan fisik ditemukan tanda-tanda vital pasien dalam batas normal. Dari
PF status generalis, didapatkan trismus. Didapatkan juga kuduk kaku, spasme otot-otot
abdomen, dan spasme otot-otot paraspinal sehingga posisi pasien sedikit hiperekstensi
punggung. Hasil pemeriksaan laboratorium hanya menunjukkan adanya leukositosis.
Dari hasil anamnesis, pemeriksaan fisik, dan pemeriksaan penunjang mengarahkan
diagnosis kerja ke arah tetanus. Dimana pada kasus ini, port de’entry dari C.tetani adalah
melalui luka pada telinga pasien yang tertusuk oleh lidi.
Dari hasil perjalanan penyakit, maka klasifikasi derajat keparahan manifestasi klinis
berdasarkan klasifikasi Ablett yaitu termasuk ke dalam derajat III yaitu berat.
Tatalaksana yang diberikan kepada pasien berupa tatalaksana non-farmakologi dan
farmakologi. Tatalaksana non-farmakologi yang diberikan berupa pemantauan jalan napas
dengan cara membebaskan jalan napas dari cairan saliva untuk mencegah terjadinya
aspirasi. Pada pasien juga diberikan oksigen melalui nasal kanul sebanyak 2 – 3 lpm. Selain
itu juga dilakukan pemasangan NGT untuk memasukkan nutrisi parenteral. Pasien

20
ditempatkan dalam ruang isolasi, di mana ruangan harus dalam keadaan tenang dan gelap
untuk mencegah terjadinya rangsangan yang dapat memperparah gejala yang dialami oleh
pasien.
Tatalaksana farmakologi yang diberikan pada pasien ini berupa:
 Cairan intravena IVFD Kaen 1B + KCl 10 cc 10 tpm makro
 ATS 100.000 IU (50.000 IU intravena dilanjutkan 50.000 IU intramuskular)
 Cefotaxim 3 x 300 mg
 Parasetamol 4 x 120 mg
 Diazepam, dosis inisial 1 mg intravena
Dosis maintanance 2mg/2 jam per NGT  dosis diturunkan menjadi per 4 jam
setelah ada perbaikan klinis
 Omeprazole 2 x 20 mg
Dianggap sudah tepat dan sudah sesuai dengan pedoman untuk penatalaksanaan tetanus
pada anak.
Untuk prognosis pada pasien ini jika dinilai dari skor Bleck, didapatkan bahwa skor
pasien adalah 3 yang artinya derajat keparahannya “sedang” dengan tingkat mortalitas
sebanyak 10 – 20%.

21
BAB IV
DAFTAR PUSTAKA

1. Hassel B. Tetanus: pathophysiology, treatment, and the possibility of using


botulinum toxin against tetanus induced rigidity and spasms. Toxins 2013; 5: 73-83.
2. Hinfey PB. Tetanus. [cited: 11 Mei 2015, Updated: 26 Maret 2014]. Available from:
http://emedicine.medscape..com/article/229594
3. Departemen Kesehatan Republik Indonesia. Penatalaksanaan Tetanus Pada Anak.
Jakarta: Depkes RI; 2008.
4. WHO. Current recommendations for treatment of tetanus during humanitarian
emergencies. January 2010.
5. Centers for Disease Control and Prevention. Tetanus. [cited 14 Desember 2014;
updated 9 Januari 2013]. available from: www.cdc.gov/tetanus/
6. Ogunrinn OA. Tetanus: a review of current concepts in management. Journal of
Postgraduate Medicine 2009; 11(1): 46-61
7. Farrar JJ, et al. Tetanus. J Neurol Neurosurg Psychiatry 2000; 69: 292-301

22

Anda mungkin juga menyukai