Anda di halaman 1dari 11

BAB I

PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Kekuasaan kehakiman adalah kekuasaan Negara yang merdeka untuk
menyelenggarakan peradilan guna menegakkan hukum dan keadilan berdasarkan
pancasila dan Undang-Undang dasar Negara Republik Indonesia tahun 1945,
demi terselenggaranya Negara hukum Republik Indonesia.1 Bunyi Undang-
Undang ini adalah bukti bahwa Indonesia adalah Negara Hukum yang berasaskan
pancasila dan UUD, oleh karena Negara Hukum maka harus ada prinsip yang kuat
atas terciptanya jaminan penyelenggaraan kekuasaan kehakiman yang merdeka,
tampa adanya interfensi dari segala pihak, bebas dari pengaruh kekuasaan lainnya
untuk menyelenggarakan peradilan guna menegakkan hukum dan keadilan di
bumi Indonesia ini, serta terwujudnya cita-cita luhur para pendiri bangsa, yakni
mengedepankan segala kepentingan umum dari pada kepentingan privat, sehingga
amanah pancasila betul-betul dijaga oleh para petinggi dalam sector yudikuasi.
Dalam Al-Quran disebutkan bahwa Allah memerintahkan untuk menegakkan
amanah sesuai dengan proporsinya, sekaligus menjadi hakim yang adil.
ِ *‫۞* إِ* *َّن هَّللا َ* يَ*** أْ* ُم* ُر* ُك* ْم* أَ* ْ*ن* تُ*** َؤ* ُّد* و*ا* ا*أْل َ* َم* ا*ن*َ** ا‬
*‫ت* إِ* لَ* ٰ*ى* أَ* ْه* لِ* هَ*** ا* َ*و* إِ* َذ* ا* َح* َك* ْم* تُ* ْم* بَ* ْي* َن‬
*‫ تَ* ْ*ح* ُك* ُم***** و*ا* بِ* ا* ْل* َع***** ْد* ِ*ل* ۚ* إِ* *َّن هَّللا َ* نِ* ِ*ع* مَّ* ا* يَ* ِع* ظُ* ُك* ْم* بِ***** ِه* ۗ* إِ* *َّن هَّللا َ* َك***** ا* َن‬  *‫س* أَ* ْ*ن‬ ِ *‫ا*ل*ن*َّا‬
*‫ص* ي* ً*ر* ا‬
ِ *َ‫َس* ِم* ي* ًع* ا* ب‬
Sesungguhnya Allah menyuruh kamu menyampaikan amanat kepada yang berhak
menerimanya, dan (menyuruh kamu) apabila menetapkan hukum di antara
manusia supaya kamu menetapkan dengan adil. Sesungguhnya Allah memberi
pengajaran yang sebaik-baiknya kepadamu. Sesungguhnya Allah adalah Maha
mendengar lagi Maha Melihat. 2
Kekuasaan kehakiman merupakan salah satu bentuk adanya sikap yang
independen dari semua sector pengadilan yang ada, sehingga sangat diharapkan
oleh bangsa agar penyelenggaraan peradilan dapat dilaksanakan dengan sebaik-
baiknya dan seadil-adilnya. Sejarah mengatakan bahwa tujuan dari pada

1 UU RI NO 48 kekuasaan kehakiman tahun 2009, Bab 1 pasal 1 ayat 1.


2 QS. An-Nisa`. Ayat: 58.
disahkannya suatu undang-undang dalam masalah kehakiman adalah agar
terwujud suatu deferensiasi antara legislasi, eksekusi dan yudikasi, sehingga
segala bentuk interfensi dapat dimusnahkan dengan kekuatan undang-undang ini.
Dalam menciptakan suatu menegement yang solid, efektif dan tertata
dengan apik, sangat dibutuhkan berbagai konsep dan tata kelola yang sangat
menjanjikan, agar ending dari segala hal yang dijewantahkan tetap menjadi
rangkaian sejarah baik bagi perkembangan masa yang akan datang, serta menjadi
pijakan bagi para penerus bangsa diabad berikutnya, utamanya dalam ruang
lingkup peradilan, mengingat segala bentuk pelaksanaan peradilan di dunia
khususnya di Indonesia belum memberikan suatu efek yang dominan dan final,
serta peradialan merupakan satu-satunya wahana masyarakat untuk mengemis
kepastian hokum dan keadilan.
Selain dari pada itu, bahwa agar masyarakat memahami secara utuh dalam
bidang kehakiman atau masalah yudikasi, maka penulis berinisiatif untuk
memberikan gambaran singkat serta penjelasan yang akurat akan hal-hal yang
berkaitan dengan kehakiman atau kekuasaan kehakiman, mengingat bahwa
apatisme masyarakat terhadap lembaga Negara yang sempat meninggi, yang
mengakibatkan ketidak pahaman terhadap proses pelaksanaan kepemerintahan
utamanya dalam masalah yudikatif, sehingga apatistik masyarakat dapat terobati
dengan baik serta karya ini menjadi pijakan sementara untuk memahami secara
dasar apakah ruang lingkup kekuasaan kehakiman dan hal-hal yang ada
dibawahnya.
B. Rumusan Masalah
1.      Bagaimana konsep kekuasaan kehakiman di Indonesia?
2.      Bagaimana undang-undang Peradilan Agama di Indonesia?
3.      Bagaimana hubungan antara Peradilan Agama dan Mahkamah Agung?
4.      Bagaimana susunan dan wewenang Peradilan Agama?
C. Tujuan Penelitian
1.      Untuk mengetahui konsep kekuasaan kehakiman di Indonesia.
2.      Untuk memahami undang-undang Peradilan Agama di Indonesia.
3.      Untuk mempelajari secara mendetail tentang hubungan kedua lembaga
tersebut.
4.      Agar dapat menghafal secara mendalam susuanan dan mengetahui
wewenang dari pada Peradilan Agama
BAB II
PEMBAHASAN

A. Pengertian
Rumah peradilan dari masa kemasa nyatanya memberikan corak yang
selalu berubah, dinamisasi kepemimpinan adalah bagian dari pengaruh adanya
suatu perubahan atau amandemen atas undang-undang yang telah ditetapkan pada
masa kepemimpinan sebelumnya, begitu juga adanaya suatu peralihan atau
perubahan kondisi yang begitu laju, menjadiakn berbagai ketentuan atau undang-
undang tidak dapat diaplikasiakn secara utuh dan permanen, sehingga pemerintah
selalu melakukan kroscek dan pembenahan melalui amandemen atas undang-
undang yang ada pada masa sebelumnya, sehingga peraturan tersebut dapat
menjadikan sebuah bentuk perundang-undangan yang aplikatif dan solid pada
masanya.

Diundangkannya kekuasaan kehakiman yang merdeka sempat dihadapkan


pada suasana yang sangat mendesak dengan lahirnya UU Nomor 19 Tahun 1964
prihal Pokok-Pokok Kekuasaan Kehakiman, dalam Pasal tersebut berbunyi
bahwa”demi kepentingan revolusi, kehormatan negara dan bangsa atau
kepentingan masyarakat yang sangat mendesak, Presiden dapat ikut serta dalam
masalah pengadilan. Campur tangan yang terjadi dari kekuasaan lain pada institusi
kehakiman tersebut berimplikasi negatif terhadap lembaga peradialan di
Indonesia. Namun, upaya mengokohkan prinsip kekuasaan kehakiman yang
merdeka dengan dimulai dari terbitnya UU No. 14 Tahun 1970 tentang Pokok-
Pokok Kekuasaan Kehakiman. Akan tetapi, pasal 11 dalam UU ini berbunyi
“badan-badan yang melakukan peradilan tersebut pasal 10 ayat 1 organisatoris,
administrative, dan financial ada dibawah kekuasaan masing-masing departemen
yang bersangkutan”, dapat ditarik pengertian bahwa independensi kekuasaan
kehakiman masih belum tercapai dengan maksimal disebabkan adanya intervensi
dari eksekutif terhadap peradilan, sehingga dalam Undang-Undang ini masih
belum memberikan kesimpulan dan kekuatan hokum yang final bagi kekusaan
kehakiman.

Setelah gejolak yang berkepanjangan dan simpangsiurnya suatu


perundang-undang menegenai kekuasaan kehakiman terbitlah UU No. 4 Tahun
2004 tentang Kekuasaan Kehakiman yang mencabut kedua UU Kekuasaan
Kehakiman sebelumnya. Dalam UU No. 4 Tahun 2004 ini. Pertimbangan penting
diubahnya UU kekuasaan kehakiaman melalui UU NO.4 tahun 2004, adalah
bentuk realisasi amanah dari UU NO. 35 tahun 1999, yakni mengalihkan semua
pengadilan dari masing-masing departemennya menjadi satu atap, dibawah
mahkamah agung untuk menjamin kemerdekaannya dari campur tangan ekskutif
dan menguatkan kedudukan pengadialan3, dan pada tahun 2009 UU NO 4 tahun
2004 tersebut dikokohkan kembali dengan NO 28 UU tahun 2009 dengan
keputusan yang sama dengan bunyi “organisasi, administrasi, dan financial
mahkamah agung dan badan peradilan di bawahnya berada dibawah kekuasaan
mahkamah Agung”4.

Adapun kekuasaan kehakiman dalam lingkup peradilan di indonesia


setelah dilakukan pembelajaran secara ilmiyah memberikan berbagai corak yang
berwarna mulai dari masa pertama kali di undangkan sampai lahirnya suatu
undang-undang kekuasaan kehakiman no.48 tahun 2009. Oleh karenanya maka
dialakukan perubahan atas UU NO. 7 tahun 1989 dengan UU NO. 3 tahun 2006
pasal 5 ayat (1) yang berbunyi bahwa pembinaan teknis peradilan, organisasi,
administrasi dan financial pengadilan dilakukan oleh Mahkamah Agung. Dengan
begini dapat digariskan bahwa kekuasaan kehakiman di indonesia akan selalu
mengalami suatu proses menuju kesempurnaan yang hakiki mengikuti
perkembangan masa yang dihadapi. Adapun kekuasaan kehakiman secara ikhtisar
adalah sebagaimana berikut:

3 Mukti arto, peradilan agama dalam system ketatanegaraan indonesia, pustaka palajar,
Yogyakarta, 2012,, hal. 174.
4 UU RI NO 48, tahun 2009, pasal 21, ayat 1.
1. Tidak ada intervensi dari pihak di luar kekuasaan kehakiman.
2. Merupakan peradilan Negara.
3. Asas obyektivitas.
4. Lingkunggan peradilan yang terbagi atas peradialan umum dan khusus.
5. MA puncak peradilan tertinggi.
6. Pemeriksaan dalam dua tingkat.
7. Demi keadilan berdasarkan tuhan yang maha esa.
8. Susunan persidangn majlis.
9. Sederhana, cepat dan biaya ringan.
10. Hak menguji tidak dikenal.
11. Peninjauan kembali.pejabat-pejabat di pengadilan.

B. Undang-undang Peradilan Agama di Indonesia

Telah dicatat oleh sejarah bahwa awal mula dari pada peradilan agama di
indonesia adalah dari peradilan syariah yang diselenggarakan oleh masyarakat
kemudian kerajaan islam, kemudian ditingkatkan menjadi pengadilan Negara dan
pada tahun 1882 diakui oleh pemerintah koloneal belanda dan berlanjut nobat
tersebut sampai sekarang.5 Namun peradialan agama di indonesia pada masa itu
memiliki nama yang heterogen sesuai kondisi di daerah pada masa tersebut.
Namun demikian nama tersebut diseragamkan menjadi Pengadilan Agama atau
PA dan PTA hal itu termaktub dalam UU NO. 7 tahun 1989. Walaupun nama
terseragamkan pada tahun 1989, undang-undang tentang peradialan agama masih
selalu mengalami perubahan dimasa-masa berikutnya. Serta kekuasaan UU
kehakiman yang selalu mengalami perubahan-perubahan disetiap adanya upaya
penyempurnaan terhadap undang-undang.

Peradilan agama merupakan sebuah institusi yang independen dibawah


naungan Mahkamah Agung, dengan berbagai ketentuan yang berkaitan dengan
hukum Islam, oleh karenanya peradialan agama lebih spesifik pelaksanaannya
sebagai tempat para kaum muslimin dalam memperjuangkan hak dan keadilan
5 Mukti Arto, hal. 47.
atas perkara yang menjadi wewenangnya peradilan agama sebagaimana UU NO 3
tahun 2006 pasal 2 yang berbunyi”peradilan agama adalah salah satu pelaku
kekuasaan kehakiman bagi rakyat pencari keadilan yang beragama islam
mengenai perkara tertentu sebagaiman diamksudkan dalam undang-undang”6.
Disebutkan pula bahwa pengadilan agama mempunyai wewenang untuk
memeriksa, mengadili dan memutuskan perkara hanya dibidang perkawinan,
wasiat,waris, hibah, wakaf, zakat, infak, shodaqoh, dan ekonomi syariah7,
sebagaiman pasal 49, selain itu pula dalam pasal 50A disebutkan bahwa
pengadilan agama diberikan wewenang untuk memberikan isbat kesaksian rukyat
hilal dalam penetuan pada bulan hijriyah.

Sebagaimana UU kekuasaan kehakiman yang selalu mengalami


perubahan, maka UU peradialan Agama juga mengalami pergantian dan
perubahan-perubahan yang juga bagian dari implikasi Undang-Undang kekuasaan
kehakiman, bentuk perubahan yang dilakukan oleh para pemerintah tidak hanya
dari sekedar poin pasal undang-undang, akan tetapi dari segi kebahasaan yang
sejatinya merupakan bagian dari pokok pemahaman didalam menafsirkan makna
dari undang-undang tersebut, sehingga dalam perubahan tersebut diharapkan
adanya suatu pemahaman yang sangat utuh terhadap esensi dari pada undang-
undang peradilan.

C. Hubungan antara Peradilan Agama dan Mahkamah Agung

Historis psikologis menyatakan bahwa peradilan Agama secara teknis


yudisial, administrasi keuangan berada pada departemen agama, namun. Secara
structural menggambarkan bahwa peradilan agama merupakan induk dari pada
mahkamah agung, hal itu terbukti disebabkan bahwa berbagai peradialan di
indonesia bernaung dibawahnya mahkamah agung baik dari sector birokrasi,
administrasi, serta mengnai perjalanan tugas yang ada diperadilan agama,
sehingga dapat pula dikatakan bahwa peradilan agama merupakan cabang dari

6 UU RI tentang Peradilan Agama, no 3 tahun 2006, pasal 2.


7 Ibid, pasal 49.
mahkamah agung yang menangani masalah keperdataan para pemeluk islam di
indonesia.

Dalam undang-undang NO. 48 tahun 2009 disebutkan bahwa adanya rasa


kekeluargaan yang sangat formal harus dijewantahkan oleh setiap pengadilan
yang berada dibawahnya Mahkamah Agung, hal itu terbukti dengan bunyi pasal
15 “pengadilan wajib saling memberi bantuan yang diminta untuk kepentingan
peradialan”.8 Pasal ini adalah salah satu kunci akan adanya hubungan yang sangat
erat antara peradilan yang satu dengan yang lain.

Kekuasaan kehakiman dilakukan oleh sebuah mahkamah agung dan badan


peradilan yang berada dibawahnya dalam lingkungan peradilan umum, peradilan
agama, peradilan meliter, lingkungan peradilan tata usaha Negara, dan oleh
sebuah mahkamah konstitusi.9 Penyebutan kata dibawahnya adalah bukti bahwa
peradilan agama merupakan anak kandung dari pada mahkamah agung, oleh
karenanya maka setiap perkara yang tidak terputuskan oleh peradilan tingkat akhir
dari peradilan agama dapat dikasasikan ke mahkamah agung. Sebagaimana bunyi
pasal berikut “ mahkamah agung berwenang mengadili pada tingkat kasasi
terhadap putusan yang diberikan pada tingkat terakhir oleh pengadilan disemua
lingkungan peradilan yang berada di bawah mahkamah Agung, kecuali undang-
undang menentukan lain”.10 Oleh karena itu maka control segala bentuk yang ada
hubungnanya dengan pengadilan agama ada dalam mahkamah Agung.

D. Susunan dan wewenang Peradilan Agama

Sebagaimana undang-undang kekuasaan kehakiman bahwa, Tugas pokok


dari pada pengadilan adalah untuk menerima, memeriksa, dan mengadili, serta
menyelesaikan setiap perkara yang diajukan kepadanya.11 Begitu juga peradilan
agama mempunyai wewenang memeriksa, memutus, dan menyelesaikan perkara
ditingkat pertama antara orang-orang yang beragama islam dalam bidang

8 UU RI NO 48 Tahun 2009. Pasal 15.

9 Ibid Pasal 18.


10 Ibid pasal 20 ayat 2 butir a.
11 Sudikno Mertokusumo, hal.113.
keperdataan seperti perkawinan dan kewarisan, Kewenangan ini para pakar
menyebutnya dengan sebutan kewenangan absolute atau dengan kata lain
kewenagan mutlak. sedangkan PTA adalah memeiliki kewenangan untuk
memutus perkara perdata ditingkat banding dan mengadili ditingkat pertama dan
terakhir persengketaan kewenangn mengadili antar pengadilan agama di daerah
hukumnya.

Legitimasi Peradilan Agama adalah dalam rangka menyelsaikan perkara


prihal keperdataan yang bersinggungan dengan para pemeluk agam islam di
Indonesia. Oleh karenanya selain masalah perdatanya orang Islam yang ada di
Indonesia tidak dapat diproses di pengadilan agama. Perkara perdata yang
dimaksud adalah tentang hak milik atau hak-hak yang timbul karenanya, utang
piutang atau hak perdata lainnya, seperti keperdataan yang mengandung
sengketa/contentious, maupun yang tidak mengandung sengketa/voluntair.12

Dalam undang-undang disebutkan bahwa susunan peradialan agama adalah


sebagiamana berikut13

1. Pimpinan ;
2. Hakim Anggota ;
3. Panitera ;
4. Sekretaris dan
5. Juru Sita

Sedangkan pada Pengadilan Tinggi Agama, terdiri dari :

1. Pimpinan ;
2. Hakim Anggota ;
3. Panitera dan
4. Sekretaris

12 Sudikno Mertokusumo, hal 115.


13 UU RI 7 Tahun 1989 tentang peradilan agama pasal 9 ayat 1.
BAB III

PENUTUP

A. Kesimpulan

Sebagai pondasi terhadap berjalannya suatu system yang baik dibidang


peradilan dengan prinsip dan cita-cita yang luhur yaitu terciptanya suatu tatanan
peradilan dengan selalu berlandaskan pada undang-undang dasar sebagai refernsi
utama dalam menegakkan keadilan dan perdamaian, berpegang teguh pada
pancasila sebagai ideology bangsa, dan menjunjung tinggi lebel Negara hokum
(the rules of law), maka undang-undang yang melatarbelakanginya selalu
diadakan suatu upaya penyempurnaan disetiap kondisi yang selalu dinamis,
sehingga cita-cita tersebut dapat dijewantahkan dalam kehidupan bermasyarakat,
dan berakibat baik bagi kehidupan berbangsa dan bernegaara.

Sebagai wujud keharmonisan dari semua lembaga peradilan utamanya


mahkamah agung dengan peradilan yang ada dibawahnya dan memiliki citra yang
baik dihalayak ramai maka, dipandang perlu adanya suatu kerjasama dan saling
membagi, dan mengawasi antar satu dengan yang lain, sehingga tercermin
terorganisirnya suatu lembaga yang baik dan berkharisma tinggi.

Walaupun memiliki kewenangan yang absolute dan relative serta hal tersebut
telah digariskan dalam undang-undang, maka setiap lembaga peradilan tetap
melakukan upaya penyempurnaan melalui adanya kajian yang dinamis dan
konstruktif, hingga adanya peradilan disegala sector betul-betul dijamin
legitimasinya dihadapan public indonesia.
DAFTAR PUSTAKA

Mertokusumo, Sudikno, 2010, Hukum Acara Perdata Indonesia,Yogyakarta,


Universitas Atma Jaya Yogyakarta.

Arto, A. Mukti, 2012, Peradilan Agama dalam Sistem Ketatanegaraan


Indonesia.Yogyakarta: Pustaka Pelajar.

Soeharto, 1970. Undang-Undang Republik Indonesia, NO 14 Tahun 1970,


Tentang ketentuan-ketentuan pokok kekuasaan kehakiman, Jakarta.

Soekarno Putri, Meagawati, 2004, Undang-Undang Republik Indonesia NO 4


Tahun 2004, tentang kekuasaan kehakiman, Jakarta.

SBY. Akbar, Patrialis, 2009, Undang-Undang Republik Indonesia NO 48 Tahun


2009, tentang kekuasaan kehakiman, Jakrata.

Mordiono, sueharto,1989, Undang-Undang Republik Indonesia NO 7 Tahun


1989, tentang peradilan agama, Jakarta.

SBY. awaluddin, Hamid. 2006. Undang-Undang Republic Indonesia NO 3 tahun


2006 tentang peradilan agama. Jakarta,

Al-Qur`an,

Anda mungkin juga menyukai