Anda di halaman 1dari 28

Dosen Pengampu :Drs.Sufyan,S.Ag,M.Pd.

Nama Kelompok :

1. AISYAH INDAH LESTARI (105500010)


2. ROSITA DWI DIAHWARI (105500076)
3. UMI MAHDUROH (105500157)
4. DHIKA SETYO PAMBUDI ( )

KELAS : 2010 / C

FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN


PROGRAM STUDI PENDIDIKAN MATEMATIKA
UNIVERSITAS PGRI ADI BUANA SURABAYA
2010
KATA PENGANTAR
Puji dan syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT. Karena atas izin dan
karunia-Nya penulis dapat menyelasaikan makalah yang berjudul SISTEM POLITIK
ISLAM ini dengan baik namun jauh dari kata sempurna.

Makalah yang penulis susun ini berisi tentang pokok-pokok materi diantaranya
politik ketatanegaraan dalam islam, politik internasional dalam islam, dan kontribusi umat
islam dalam kehidupan politik di Indonesia.

Penulis berharap makalah ini bermanfaat bagi pembaca untuk memudahkan dalam
mereview materi yang telah diterima, dan juga memberikan gambaran tentang sistem politik
islam.

Akhirnya, penulis mengucapkan terima kasih kepada semua pihak yang telah
membantu demi terselesainya makalah ini dengan baik. Saran dan kritik selalu kami tunggu
untuk perbaikan kualitas makalah ini di masa mendatang.

Surabaya, 2 Oktober 2010


DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL........................................................................................i
KATA PENGANTAR......................................................................................ii
DAFTAR ISI....................................................................................................iii
BAB I : PENDAHULUAN..............................................................................
1. LATAR BELAKANG.......................................................................1
2. RUMUSAN MASALAH...................................................................2
3. TUJUAN............................................................................................
BAB II : PEMBAHASAN................................................................................
1. PENGERTIAN POLITIK ISLAM....................................................
2. POLITIK KETATANEGARAAN DALAM ISLAM......................
3. POLITIK INTERNASIONAL DALAM ISLAM.............................
4. KONSTRIBUSI UMAT ISLAM DALAM KEHIDUPAN
POLITIK DI INDONESIA................................................................
BAB III : PENUTUP........................................................................................
1. KESIMPULAN..................................................................................
2. SARAN..............................................................................................
DAFTAR PUSTAKA.......................................................................................
BAB I

PENDAHULUAN

1.1 LATAR BELAKANG

Sesungguhnya islam itu adalah agama terakhir, agama Islam berfungsi sebagai
rahmat dan nikmat bagi manusia seluruhnya. Maka Allah SWT mewahyukan agama
Islam ini dalam nilai kesempurnaan yang tinggi, kesempurnaan yang meliputi segi–segi
fundamental tentang duniawi dan akhirat, guna menghantarkan manusia menuju
kebahagian lahir dan batin di dunia dan akhirat. Maka fungsi dari agama islam menjadi
agama dakwah, yakni agama yang telah disampaikan kepada seluruh manusia, yang
telah ditegaskan pula dengan bukti - bukti yang jelas dalam sumber ajaran-Nya yaitu
Al-Qur’an dan Hadist.

Ajaran–ajaran islam perlu diterapkan dalam segala bidang kehidupan manusia.


Khususnya dalam Sistem Politik Islam, yang dijadikan juru selamat haqiqi di dunia dan
akhirat, menjadikan Islam sebagai nikmat dan kebanggaan berpolitik manusia. Seperti
yang telah dicontohkan dalam penyebaran Islam pertama, zaman Rasulullah SAW
pada waktu dulu, kemudian di zaman penerus beliau, menyusul di zaman keemasan
Islam. Sejarah membuktikan bahwa kedatangan Islam di zaman itu benar – benar
menjadi juru selamat dan kebanggaan yang tiada taranya, manusia menikmati Islam
sebagai karunia dan Rahmat Ilahi.

1.2 RUMUSAN MASALAH

Sehubungan dengan latar belakang di atas, maka yang menjadi rumusan


masalahnya adalah :

1. Adakah politik ketatanegaraan dalam islam?


2. Adakah politik internasional dalam islam?
3. Adakah konstribusi umat islam dalam kehidupan politik di Indonesia?
1.3 TUJUAN

Tujuan sistem politik Islam adalah untuk membangunkan sebuah sistem


pemerintahan dan kenegaraan yang tegak di atas dasar untuk melaksanakan seluruh
hukum syariat Islam.  Tujuan utamanya ialah menegakkan sebuah negara Islam atau
Darul Islam.  Dengan adanya pemerintahan yang mendukung syariat, maka akan
tertegaklah  Ad-Din dan berterusanlah segala urusan manusia menurut tuntutan-tuntutan
Ad-Din tersebut. Para fuqahak Islam telah menggariskan 10 perkara penting sebagai
tujuan kepada sistem politik dan pemerintahan Islam:

1. Memelihara keimanan menurut prinsip-prinsip yang telah disepakati oleh ulama’ salaf
daripada kalangan umat Islam.
2. Melaksanakan proses pengadilan dikalangan rakyat dan menyelesaikan masalah
dikalangan orang-orang yang berselisih.
3. Menjaga keamanan daerah-daerah Islam agar manusia dapat hidup dalam keadaan
aman dan damai.
4. Melaksanakan hukuman-hukuman yang telah ditetapkan syarak demi melindungi hak-
hak manusia.
5. Menjaga perbatasan negara dengan pelbagai persenjataan bagi menghadapi
kemungkinan serangan daripada pihak luar.
6. Melancarkan jihad terhadap golongan yang menentang Islam.
7. Mengendalikan urusan pengutipan cukai, zakat, dan sedekah sebagaimana yang
ditetapkan syarak.
8. Mengatur anggaran belanjawan dan perbelanjaan daripada perbendaharaan negara
agar tidak digunakan secara boros atau kikir.
9. Melantik pegawai-pegawai yang cekap dan jujur bagi mengawal kekayaan negara dan
menguruskan hal-ehwal pentadbiran negara.
10. Menjalankan pengawalan dan pemeriksaan yang rapi dalam hal-ehwal awam demi
untuk memimpin negara dan melindungi  Ad-Din.
BAB II

PEMBAHASAN

2.1Pengertian Politik Islam

Berkaitan dengan penggunaan istilah-istilah yang sudah populer di tengah


masyarakat, antara lain politik atau siyasah. Politeia berasal dari kata "polis", yang
lebih kurang dapat diterjemahkan sebagai kata "kota", atau lebih tepatnya "negara-
kota". Untuk mencerminkan makna ini, banyak bahasa menerjemahkan Politeia
sebagai Negara (bahasa Inggris: The State), termasuk bahasa Belanda (De staat) dan
bahasa Jerman (Der Staat). Konsep politeia dalam bahasa Yunani kuno dianggap
sebagai suatu cara hidup. Jadi, pada kenyataannya terjemahan yang lebih tepat
mestinya adalah 'bagaimana cara kita hidup sebagai masyarakat'.

Politik (siyasah) adalah proses pembentukan dan pembagian kekuasaan dalam


masyarakat yang antara lain berwujud proses pembuatan keputusan, khususnya
dalam negara. Pengertian ini merupakan upaya penggabungan antara berbagai
definisi yang berbeda mengenai hakikat politik yang dikenal dalam ilmu politik.
Politik adalah seni dan ilmu untuk meraih kekuasaan secara konstitusional
maupun nonkonstitusional

Islam adalah agama yang mengatur kehidupan manusia, termasuk tentang


negara dan politik. Politik (siyasah) adalah pemeliharaan urusan umat (ri’ayatu
syuunil ummah), dalam dan luar negeri. Pelaksana praktisnya adalah daulah
(negara). Sedangkan umat melakukan muhasabah (kritik, saran, dan nasihat)
kepada daulah (khalifah). Politik dalam negeri dilaksanakan negara untuk
memelihara urusan umat dengan melaksanakan mabda (aqidah dan peraturan-
peraturan) Islam di dalam negeri. Politik luar negeri dilakukan daulah untuk
memelihara urusan umat di luar negeri dengan menjalin hubungan internasional
dan menyebarkan mabda Islam ke seluruh dunia.

Umat Islam berbeda pendapat tentang kedudukan politik dalam syari’at


Islam. Pendapat pertama menyatakan bahwa Islam adalah suatu agama yang serba
lengkap. Di dalamnya terdapat pula antara lain sistem ketatanegaraan atau politik.
Dalam bahasa lain, sistem politik atau disebut juga siyasah merupakan bagian
integral dari ajaran Islam. Lebih jauh kelompok in berpendapat bahwa sistem
ketatanegaraan yang harus diteladani adalah sistem yang telah dilaksanakan oleh
Nabi Muhammad SAW. Dan oleh para khulafa al-Rasyidin yaitu sistem khilafah.

Ke dua, kelompok yang berpendirian bahwa Islam adalahb agama dalam


pengertia Barat. Artinya agama tidak ada hubungannya dengan urusan kenegaraan.
Menurut aliran Nabi Muhammad hanyalah seorang Rasul, seperti rasul-rasul yang
lain bertugas menyampaikan risalah Tuhan kepada segenap alam. Nabi tidak
bertugas untuk mendirikan dan memimpin suatu negara.

Aliran ke tiga menolak bahwa Islam adalah agama yang serba lengkap yang
terdapat di dalamnya segala sistem kehidupan termasuk sistem ketatanegaraan, tetapi
juga menolak pendapat bahwa Islam sebagaimana pandangan Barat yang hanya
mengatur hubungan manusia dengan Tuhan. Aliran ini berpendirian bahwa dalam
Islam tidak terdapat sistem ketatanegaraan, tetapi terdapat seperangkat tata nilai
etika bagi kehidupan bernegara.
Sejarah menbuktikan bahwa Nabi kecuali sebagai Rasul, meminjam istilah Haru
Nasution, kepala agama, juga beliau adalah kepala negara. Nabi menguasai suatu wilayah
yaitu Yastrib yang kemudian menjadi Madinah al-Munawwarah sebagai wilayah kekuasaan
Nabi sekaligus menjadi pusat pemerintahannya dengan piagam Madinah sebagai aturan
dasar kenegaraannya. Sepeninggal Nabi, kedudukan beliau sebagai kepala negara digantikan
Abu Bakar yang merupakan hasil kesepakatan tokoh-tokoh sahabat, selanjutnya disebut
khalifah. Sistem pemerintahannya disebut “khilafah”. Sistem “khilafah” ini berlangsung
hingga kepemimpinan berada di bawah kekuasaan khalifah terakhir, Ali “karrama Allahu
wajhahu”. Sistem pemerintahan selepas Ali mengambil bentuk kerajaan, meskipun raja-raja
yang menjadi para penguasa menyatakan dorinya sebagai khalifah. Di dalam sistem kerajaan,
khalifah bukan dipilih secara demokratis melainkan diangkat secara turun temurun. Sistem
kerajaan ini berlangsung hingga akhir abad ke tujuh belas, saat Turki Usmani mulai
mengalami kekalahan-kekalahan dari bangsa Eropa. Akhir abad tujuh belas hampir semua
negara Isla masuk ke dalam perangkap penjajahan Barat. Lama penjajahan di negara satu
dengan negara yang lainnya tidak sama. Awal abad sembilan belas negara-negara Islam muls
melepaskan diri satu persatu dari kolonialisme Barat. Dan dalam waktu bersamaan muncullah
nasionalisme-nasionalisme. Sistem pemerintahan bagi negara-negara yang baru melepaskan
diri dari kolonialisme berbeda-beda. Ada yang muncul mengambil bentuk kerajaan,
keemiran, kesultanan dan ada yang muncul dengan bentuk presidensial kabinet atau
palementer kabinet.
Menurut Harun Nasution, khilafah (pemerintah) yang timbul sesudah wafatnya Nabi
Muhammad, tidak mempunyai bentuk kerajaan, tetapi lebih dekat merupakan republik dalam
arti Kepala Negara dipilih dan dan tidak mempunyai sifat turun temurun. Sebagai diketahui
khalifah pertama adalah Abu bakar dan beliau tidak mempunyai hubungan darah dengan
Nabi Muhammad. Khalifah ke dua, Umar Ibn Khattab, juga tidak mempunyai hubungan
darah dengan Abu Bakar, demikian pula Khalifah ke tiga Utsman Ibn Affan dan Khalifah ke
empat Ali bin Sabi Thalib, satu sama lain tidak mempunyai hubungan darah. Mereka adalah
sahabat Nabi dan dengan demikian hubungan mereka merupakan persahabatan.
Demikian, Ibnu Khaldun ( w. 1406 M. ) secara pragmatis menerima pnggabungan
dalam arti menganggap tidak ada perbedaan prinsipil antara sistem khilafah dengan sistem
kerajaan, selanjutnya ia menyatakan: Kekhilafaan maupun kerajaan adalah khilafah Allah
diantara manusia bagi pelaksanaan segala peraturan diantara manusia. Al-Mawardi (w. 1058
M. ) dalam bukunya Al-Akhkam al-Sulthaniyyah mengemukakan pembahasan teoritis dan
idealistis menyangkut khilafah.
Menurutnya, Allah adalah penguasa yang absolut bagi alam semesta dan merupakan
pokok wewenang bagi negara. Melalui surat amanat, wewenang itu didelegasikan kepada
manusia sebagai khalifah Allah di muka bumi. Lembaga khilafah itu berdasarkan wahyu,
yakni pernyataan-pernyataan Al-Quran untuk pegangan khalifah Allah, bukan semata-mata
berdasarkan akal. Khalifah dicalonkan dan dipilih oleh para pemuka masyarakat, yakni ahl al-
halli wa al-‘aqdi. Khalifah mesti mengikuti suri tauladan khalifah sebelumnya. Pemilihan
atau penunjukan seorang khalifah mesti diikuti oleh bai’at dai masyarakat.
Idealisme moral dari politik tentang khilafah dibuktikan lagi secara khusus oleh
kualifikasi jabatan tersebut: Memiliki keadilan, punya cukup ilmu bagi penafsiran dan
pelaksanaan hukum, berwatak taat, memiliki keberanian untuk memimpin perang, sehat
fisik, dan turunan Quraisy yakni pasukan Nabi. Dalam kedudukannya sebagai amir al-
mukminin, ia memimpin masyarakat dalam peperangan. Tugas khalifah yang paling utama
menjaga dan melaksanakan syari’ah, mewujudkan kedamaian dan kesejahteraan. Dia adalah
pengawasan dan pelindung Islam juga pembela keimanan.
Berbeda dengan Al-Mawardi, Ali Abdal-Raziq dalam bukunya Al-Ahkam al-
Sulthaniyyah (Islam dan Ketatanegaraan) berpendapat bahwa sistem pemerintahan tidak
disinggung oleh Al-Quran dan Al-Sunnah. Oleh karena itu dalam ajaran Islam tidak terdapat
ketentuan-ketentuan tentang corak negara. Nabi Muhammad SAW. hanya mempunyai tugas
kerasulan dan dalam misi beliau tidak termasuk pembentukan negara.
Selanjutnya ia menyatakan, sistem khilafah timbul sebagai perkembanagn yang
seharusnya dari sejarah Islam. Nabi meninggal dunia dan dengan wafatnya beliau mestilah
ada yang menggantikan beliau dalam mengurus soal umat. Dengan demikianlah Abu Bakar
muncul sebagai khalifah atau pengganti. Abu Bakar sebenarnya tidak mempunyai tugas
keagamaan. Beliau hanyalah kepala negara dan bukan kepala agama. Begitu pula dengan
Umar, Ustman dan Ali. Soal corak dan bentuk negara bukanlah soal agama tetapi soal
duniawi dan diserahkan kepada akal manusia untuk menentukannya. Oleh karena itu,
tindakan Mustafa Kamal pada tahun 1942 M dalam menghapuskan khalifah dari sistem
kerajaan Usmani bukanlah suatu tindakan yang bertentangan dengan ajaran Islam.
Muhammad Rasyid Ridha memberikan reaksi keras terhadap gagasan Ali Abduraziq.
Ridha merasa perlu membuat satu karya yang secara khusus membahas tentang kedudukan
khilafah dalam Islam sebagai jawaban terhadap pemikiran sekuler Ali Abd Raziq, sebuah
buku yang populer “ Al-Khilafah au al-Imamat al-‘Uzhmaa “.
Bagi Ridha, khilafah adalah sistem pemerintahan uang harus dipertahankan di dunia
Islam untuk mewujudkan persatuan dan kesatuan umat Islam (jami’ah Islamoyah). Pada saat
buku itu”Al-Islan wa Ushul al-Hukm” karya Raziq bukan hanya dilarang beredar oleh Ulama
Al-Azhar, bahkan Ali Abduraziq pun dikeluarklan dari barisan kibar ulama Al-Azhar. Ridha
sendiri menulis sebuah buku yang berjudul al-khilafah au al-Imamat al-‘Uzhma yang
isinya sanggahan terhadap bahasan utama dalam karya Ali Abduraziq tadi.

Sehingga perlu dikemukakan bahwa konsep sistem politik Islam adalah konsep
politik yang bersifat majemuk. Karena sistem politik Islam lahir dari pemahaman atau
penafsiran seseorang terhadap Al-Qur'an berdasarkan kondisi kesejarahan dan konteks
persoalan masyarakat para pemikir politik. Namun demikian, adalah naif (tidak masuk akal)
kalau ada pendapat yang mengatakan bahwa Islam yang telah membuat sejarah selama lima
belas abad tidak mempunyai sistem politik hasil pemikiran para ahlinya. Pengertian ini
bertepatan dengan firman Allah yang mafhumnya:

           
  
Artinya:” Dan Katakanlah: "Ya Tuhan-ku, masukkanlah aku secara masuk yang benar dan
keluarkanlah (pula) aku secara keluar yang benar dan berikanlah kepadaku dari sisi Engkau kekuasaan yang
menolong[866].(QS.Al-Israa’: 80)

[866] Maksudnya: memohon kepada Allah supaya kita memasuki suatu ibadah dan selesai daripadanya
dengan niat yang baik dan penuh keikhlasan serta bersih dari ria dan dari sesuatu yang merusakkan pahala. ayat
ini juga mengisyaratkan kepada Nabi supaya berhijrah dari Mekah ke Madinah. dan ada juga yang menafsirkan:
memohon kepada Allah s.w.t. supaya kita memasuki kubur dengan baik dan keluar daripadanya waktu hari-hari
berbangkit dengan baik pula.

Islam pada dasarnya adalah Siyasatullah fil Ardh. Maksudnya, dengan Islam inilah
Allah mengatur semesta alam, yang didelegasikan kepada manusia. Islam itu secara
substantif bersifat politis. Konteks pemberian amanah kepada manusia yang dimaksud di
atas adalah Istikhlaf sebagai konsep politik. Istikhlaf berarti "menjadikan khalifah untuk
mewakili dan melaksanakan tugas yang diwakilkan kepadanya."

Al Quran sebagai ajaran utama dan pertama agama Islam mengandung ajaran tentang
nilai-nilai dasar yang harus diaplikasikan dalam pengembangan sistem politik Islam. Nilai-
nilai dasar tersebut adalh :

1. Kemestian mewujudkan persatuan dan kesatuan umat sebagaimana tercantum dalam Qs


Al Mu’minun ayat 52:

2. Kemestian bermusyawarah dalam menyelesaikan masalah-masalah ijtihadiyyah. Dalam


QS Al-Syura ayat 38 dan QS Ali Imran ayat 159 dijelaskan :

a) Urusan mereka diputuskan dengan musyawarah diantara mereka.

b) Dan musyawarahlah denagn mereka dalam urusan itu.

Dalam kata al-Amr (urusan) teercakup urusan ekonomi, politik, sosial, budaya dan
sebagainya.

3. Keharudan menunaikan amanat dan menetapkan hukum secar adil. Dalam QS Al-Nisa
ayat 58 Allah berfirman:

4. Kemestian menaati Allah dan Rasulullah dan uli al-Amr (pe,megang kekuasaan)
sebagaimana difirmankan dalam QS Al-Nisa ayat 59

5. Keniscayaan mendamaikan konflik antar kelompok dalam masyarakat Islam,


sebagaimana difirmankan dalam QS Al-Hujurat ayat 9:
6. Kemestian mem[ertahankan kedaulatan negara dan larangan melakukan agresi dan
invasi. Dalam QS Al-Baqarah ayat 190 Allah berfirman:

7. Kemestian mementingkan perdamaian daripada permusuhan. Dalam QS Al-Anfal ayat


61:

8. Keharusan meningkatkan kewaspadaan dalam bidang pertahanan dan keamanan. Dalam


QS Al-Anfal ayat 60:

9. Keharusan menempati janji, sebagaimana firman Allah dalam QS Al-Nahl ayat 91:

10. Keharusan mengutamakan perdamaian bangsa-bangsa. Dalam QS Al-Hujurat ayat 13:

11. Kemestian peredaran harta pada seluruh lapisan masyarakat. Dalam QS Al-Hasyr ayat 7:

12. Keharusan mengikuti prinsip-prinsip pelaksanaan hukum, dalam hal

a) Menyedikitkan beban (taqlil al-takalif)

b) Berangsur-angsur (al-tadarruj)

c) Tidak menyulitkan (‘adam al-Haraj).

OBYEK PEMBAHASAN SISTEM POLITIK ISLAM MELIPUTI:

1) Siasah “dusturiyyah” atau dalam fikih modern disebut Hukum Tata Negara

Siasah “dusturiyyah” secara gelobal membahas huubungan pemimpin demngan


rakyatnya serya institsi-institusi yang ada di negara itu sesuai dengan kebutuhan rakyat
unttuk kemadlahatan dan pemenuhan kebutuhan rakyat itu sendiri. Meliputi:

 Persolan imamah, hak dan kewajibannya

 Persoalan rakyat, status, hak, dan kewajiban

 Persoalan “bai’at”

 Persoalan “waliyyul ‘ahdi”

 Persoalan perwakilan

 Persoalan “ahl al-halli wa al-‘aqdi”

 “wizarah” dan pembagiannya.

2) Siasah “dauliyyah” atau biasa disebut Hukum Internasional dalam Islam

Dalam ajaran Islam, siasah dauliyah (hubungan internasional) dalam Islam


berdasarkan pada :

 Kesatuan umat manusia


 Keadilan (al-‘adalah)

 Persamaan

 Kehormatan manusia

 Toleransi

 Kerjasama kemanusiaan

 Kebebasan, kemerdekaan (al-hurriyyah)

 Kebebasan berfikir

 Kebebasan beragama

 Kebebasan menyatakan pendapat

 Kebebasan menuntut ilmu

 Kebebasan memiliki harta benda.

 Perilaku moral yang baik

Pembahasan siasah dauliyah dalam Islam berorientasi pada permasalan berikut:

1. Damai adalah asas hubungan internasional. Dengan demikian, perang tidak dilakukan
kecuali dalam keadaan darurat, perang hanya dilakukan sesuai dengan keperluan
kolektif. Orang yang tidak ikut berperang tidak boleh diperlakukan sebagai musuh.
Segera hentikan perang apabila salah satu pihak enderung kepada damai.

2. Memperlakukan tawanan perang secara manusiawi.

3. Kewajiban suatu negara terhadap negara lain.

4. Perjanjian-perjanjian Internasional. Syarat mengikuti perjanjian

 Yang memiliki perjanjoan memiliki kewenangan

 Kerelaan

 Isi perjanjian dan obyeknya tidak dilarang oleh Agama Islam

 Saling memberi dan menerima

5. Perjanjian ada yang selamanya (mu’abbad) dan sementara (muaqqat).

6. Perjanjian terbuka dan tertutup.

7. Menaati perjanjian.

8. Siasah “dauliyyah” dan orang asing.


Secara khusus siasah dauliyah membahas hubungan internasional dalam kondisi
perang yang berkisar pada persoalan berikut:

 Sebab-sebab terjadinya perang

a) Perang dalam Islam untuk mempertahankan diri.

b) Perang dalam rangka dakwah.

Perang dianggap legal apabila terjadi karena

1. Mempertahankan diri dari serangan-serangan musuh

2. Perang untuk melindungi hak negara yang sah dlanggar oleh suatu negara lainnya
tanpa sebab yang dapast diterima.

 Aturan perang dalam “siasah dauliyyah”

a) Pengumuman perang

b) Etika dan aturan berperang

 Dilarang membunuh anak-anak dan wanita

 Dilarang membunuh orang yang sudah tua apabila ia tidak ikut berperang.

 Tidak merusak perpohonan

 Tidak merusak binatang ternak

 Dilarang menghancurkan rumah ibadah semua agama

 Dilarang membunuh para ulama termasuk para tokoh agama

 Bersikap sabar, ikhlas, dan berani dalam melakukan peperanagn

 Tidak melampaui batas.

3) Siasah “maaliyyah” yaitu hukum yang mengatur tentang pemasukan, pengelolaan, dan
pengeluaran uang milik negara

Pembahasan dalam “siasah maaliyyah” adalah sekitar :

 Prinsp-prinsip lepemilikan harta

 Tanggung jawab sosial yang kokoh, tanggung jawab terhadap diri sendiri, terhadap
keluarga, tanggung jawab terhadap masyarakat dan sebaliknya

 Zakat: zakat hasil bumi, emas perak, ternak, dan zakat fitrah

 Harta karun
 “Kharaj” (pajak)

 Harta peninggalan dari orang yang tidak meninggalkan ahli waris

 “Jizyah”

 “Ghanimah” dan “fa’i”

 Bea cukai barang import

 Eksploitasi sumber daya alam yang berwawasan lingkungan.

2.2 Politik Ketatanegaraan dalam Islam

Menurut teori Islam, dalam mekanisme operasional pemerintahan negara


seyogyanya mengacu pada prinsip-prinsip syari’ah. Islam sebagai landasan etika dan
moral direalisir dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara. Endang
Saifuddin Anshari (1986:167)  mengatakan, “Negara adalah organisasi (organ, badan
atau alat) bangsa untuk mencapai tujuannya.” Oleh karena itu, bagi setiap Muslim
negara adalah alat untuk merealisasikan kedudukannya sebagai abdi Allah dan
mengaktualisasikan fungsinya sebagai khalifah Allah, untuk mencapai keridhaan Allah,
kesejahteraan duniawi dan ukhrawi, serta menjadi rahmat bagi sesama manusia dan
alam lingkungannya.
Secara konseptual di kalangan ilmuwan dan pemikir politik Islam era klasik,
menurut Mumtaz Ahmad dalam bukunya State, Politics,  and Islam, menekankan tiga
ciri penting sebuah negara dalam perspektif Islam, yakni adanya masyarakat Muslim
(ummah),  hukum Islam (syari’ah), dan kepemimpinan masyarakat    Muslim 
(khilafah).
Prinsip-prinsip negara dalam Islam tersebut ada  yang berupa prinsip-prinsip
dasar yang mengacu pada teks-teks syari’ah yang jelas dan tegas. Selain itu, ada
prinsip-prinsip tambahan yang merupakan kesimpulan dan termasuk ke dalam fikih.

Prinsip-prinsip dasar politik (siyasah) islam adalah:


1. Kedaulatan, yakni kekuasaan itu merupakan amanah. 
Kedaulatan yang mutlak dan legal adalah milik Allah. Abu al-A’la al-
Maududi menyebutnya dengan “asas pertama dalam teori politik Islam.” Al-Maududi
dalam bukunya It’s Meaning and Message (1976: 147-148)
menegaskan,”Kepercayaan terhadap keesaan (tauhid) dan kedaulatan Allah adalah
landasan dari sistem  sosial dan moral yang dibawa oleh Rasul Allah. Kepercayaan
itulah yang merupakan satu-satunya titik awal dari filsafat politik dalam Islam.”
  Kedaulatan ini terletak di dalam kehendak-Nya seperti yang dapat dipahami
dari syari’ah. Syari’ah sebagai sumber dan kedaulatan yang aktual dan konstitusi
ideal, tidak boleh dilanggar. Sedang masyarakat Muslim, yang diwakili oleh
konsensus rakyat (ijma’ al-ummah), memiliki kedaulatan dan hak untuk mengatur diri
sendiri.

2. Syura dan ijma’.


Mengambil keputusan di dalam semua urusan kemasyarakatan dilakukan
melalui konsensus dan konsultasi dengan semua pihak. Kepemimpinan negara dan
pemerintahan harus ditegakkan  berdasarkan persetujuan rakyat melalui pemilihan
secara adil, jujur, dan amanah. Sebuah pemerintahan atau sebuah otoritas (sulthan)
yang ditegakkan dengan cara-cara non-syari’ah adalah tidak dapat ditolerir dan tidak
dapat memaksa kepatuhan rakyat.

3. Semua warga negara dijamin  hak-hak pokok tertentu.


Menurut Subhi Mahmassani dalam bukunya Arkan Huquq al-Insan, beberapa
hak warga negara yang perlu dilindungi adalah: jaminan terhadap keamanan pribadi,
harga diri  dan harta benda, kemerdekaan untuk mengeluarkan pendapat dan
berkumpul, hak untuk mendapatkan pelayanan hukum secara adil tanpa diskriminasi,
hak untuk mendapatkan pendidikan yang layak, pelayanan medis dan kesehatan, serta
keamanan untuk melakukan aktifitas-aktifitas ekonomi.

4.   Hak-hak negara.
Semua warga negara, meskipun yang oposan atau yang bertentangan pendapat
dengan pemerintah sekalipun, mesti tunduk  kepada otoritas negara yaitu kepada
hukum-hukum dan peraturan negara.

5. Hak-hak khusus dan batasan-batasan bagi warga negara yang non-Muslim—


memiliki hak-hak sipil yang sama.
Karena negara ketika itu adalah negara ideologis, maka tokoh-tokoh
pengambilan keputusan yang memiliki posisi kepemimpinan dan otoritas (ulu al-
amr), mereka harus sanggup menjunjung tinggi syari’ah. Dalam sejarah politik Islam,
prinsip  dan kerangka  kerja konstitusional pemerintahan seperti ini, terungkap dalam
Konstitusi Madinah atau “Piagam Madinah” pada era kepemimpinan Rasulullah di
Madinah, yang mengayomi masyarakat yang plural.

6. Ikhtilaf  dan konsensus yang menentukan.


Perbedaan-perbedaan pendapat diselesaikan berdasarkan keputusan dari suara
mayoritas yang harus ditaati oleh seluruh masyarakat. Prinsip mengambil keputusan
menurut suara mayoritas ini sangat penting untuk mencapai tujuan bersama.
Selain prinsip-prinsip dasar negara yang konstitusinya  berdasar syari’ah, ada
juga prinsip-prinsip tambahan (subsider) yang merupakan kesimpulan dan termasuk
ke dalam bidang fikih siyasah (hukum ketatanegaraan dalam Islam). Prinsip-prinsip
tambahan tersebut  adalah mengenai pembagian fungsi-fungsi pemerintahan yaitu
hubungan antara Badan Legislatif, Eksekutif, dan Yudikatif. Dalam hubungan ketiga
badan (lembaga negara) tersebut prinsip-prinsip berkonsultasi (syura) mesti
dilaksanakan di dalam riset, perencanaan, menciptakan undang-undang dan menjaga
nilai-nilai syari’ah dengan memperhatikan otoritas (kewenangan) yang dimiliki
masing-masing lembaga tersebut.
Prinsip-prinsip politik dalam Islam, Abdul Qadir Audah dalam bukunya Al-
A’mal al-Kamilah: Al-Islam wa Audha’una al-Qanuniyah (1994: 211-223)
mensistematisir sebagai berikut:
1) Persamaan yang komplit;
2) Keadilan yang merata;
3) Kemerdekaan dalam pengertian yang sangat luas;
4) Persaudaraan;
5) Persatuan;
6) Gotong royong (saling membantu);
7) Membasmi pelanggaran hukum;
8) Menyebarkan sifat-sifat utama;
9) Menerima dan mempergunakan hak milik yang dianugerahkan Tuhan;
10) Meratakan kekayaan kepada seluruh rakyat, tidak boleh menimbunnya;
11) Berbuat kebajikan dan saling menyantuni; dan
12) Memegang teguh prinsip musyawarah).
Dalam buku M. Tahir Azhary, Negara Hukum, Suatu Studi tentang Prinsip-
prinsipnya Dilihat dari Segi Hukum Islam, Implementasi Pada Periode Madinah dan
Masa Kini, yang berasal dari disertasi doktor pada Pascasarjana UI Jakarta, di dalam
al-Qur’an dan Sunnah Rasulullah terkandung sembilan prinsip negara hukum, yakni:
(1) Prinsip kekuasaan sebagai amanah (QS. 4 : 58, 14-13); 
(2) Prinsip musyawarah (42 : 38, 3 : 159);
(3) Prinsip keadilan (4:135, 5:8, 16:90, 6:160);
(4) Prinsip persamaan (9 :13);
(5) Prinsip pengakuan dan perlindungan terhadap hak-hak asasi manusia (17 : 70, 17 :
33, 5)
(6) Prinsip pengadilan bebas (dialog Mu’adz dengan Rasulullah SAW ketika akan
diangkat menjadi hakim di Yaman)
(7) Prinsip perdamaian (2 : 194, 2 : 190, 8 : 61 –62);
(8) Prinsip kesejahteraan (34 : 15);
(9) Prinsip ketaatan rakyat (4 : 59).

Para pakar politik dan hukum Islam yang menguraikan prinsip-prinsip negara
dalam syari’at Islam sangat bervariasi. Namun dari uraian di atas cukup representatif
untuk memformulasikan bahwa prinsip-prinsip negara dalam Islam itu adalah :
1) prinsip tauhid (kekuasaan/jabatan pemerintahan itu sebagai amanah);
2) prinsip keadilan;
3) prinsip kedaulatan rakyat;
4) prinsip musyawarah;
5) prinsip kesamaan di hadapan hukum (equality before the law) ;
6) prinsip kebebasan rakyat;
7) prinsip persatuan;
8) prinsip persaudaraan;
9) prinsip gotong-royong dalam ridha Ilahi;
10) prinsip kepatuhan rakyat;
11) prinsip perdamaian;
12) prinsip kesejahteraan;
13) prinsip pengakuan dan perlindungan terhadap hak-hak asasi manusia.
 
Prinsip-prinsip politik tersebut mengejawantah pada periode Negara
Madinah era kepemimpinan Rasulullah. Dalam Piagam Madinah, digalang suatu
perjanjian untuk menetapkan persamaan hak dan kewajiban semua komunitas dalam
kehidupan sosial politik. Muatan piagam ini menggambarkan hubungan antara Islam
dan ketatanegaraan dan undang-undang yang diletakkan oleh Nabi SAW, untuk
menata  kehidupan sosial-politik masyarakat Madinah.
Prinsip-prinsip negara tersebut  sangat representatif untuk masa itu. Bahkan untuk
dewasa ini pun  relevan karena nilai-nilainya universal. Sebab prinsip-prinsip
tersebut telah menjadi tuntunan berbagai bangsa di dunia, agar tegak dalam hidup
bermasyarakat dan bernegara, yaitu tatanan masyarakat yang demokratis, adil, dan
damai. Karena pada hakikatnya implementasi prinsip-prinsip tersebut merupakan
penghargaan terhadap hak-hak asasi manusia, dan akan menumbuhkan sikap
demokratis dalam berbagai aspek kehidupan.

2.3 Politik Internasional dalam Islam

Eksistensi suatu negara akan tampak dalam kiprahnya di percaturan politik


internasional. Islam memiliki konsep yang khas dalam masalah politik internasional.
Kerangka politik internasional ini melekat (inherent) dalam sistem Islam yang utuh pada
sistem negara Islam (Khilafah Islam). Sebab, politik internasional atau politik luar negeri
adalah bagian dari politik Islam, dan politik Islam adalah bagian dari sistem Negara
Islam (Khilafah Islam). Artinya, dalam kerangka inilah kita berbicara tentang politik luar
negeri Islam, bukan dalam konteks politik luar negeri negara-negara Muslim yang saat
ini ada, karena mereka tidak menerapkan Islam secara utuh dalam sistem kenegaraannya.

Setidaknya ada enam hal yang bisa kita bandingkan untuk bisa mendapatkan
kekhasan politik luar negeri Khilafah, yakni menyangkut: asas, metodologi, cara
pengembanan, dan pelaksana politik luar negeri; pandangan terhadap negara lain; serta
hubungan dengan lembaga internasional.

a. Asas Politik Luar Negeri

Umumnya, sistem negara bangsa berlandaskan sekularisme. Berdasarkan


sejarah, sekularisme mendapati bentuk konkretnya pada masa renaissance di Eropa.
Kebangkitan sekularisme berdampingan dengan hadirnya teori Machiavelli. Teori ini
menyebutkan bahwa tidaklah realistis mengandaikan ‘penguasa-penguasa tertinggi’
(princes) harus baik. Adakalanya mereka harus tidak baik. Kebutuhan-kebutuhan akan
kehidupan politik sering mengharuskan terjadinya pelanggaran-pelanggaran hukum
moral. Penguasa tertinggi dari teori ini . karena mereka lihai dalam memanipulasi
kekuasaan (Apter, 1996: 76). Artinya, politik luar negeri negara-negara Barat, sesuai
dengan asas negaranya, dibangun atas landasan sekularisme.
Islam tidak mengenal pemisahan antara rohaniwan dan negarawan sebagaimana
yang dikenal dalam sekularisme. Seorang negarawan mesti mengimplementasikan nilai-
nilai keislaman dalam aktivitasnya sebagaimana seorang ulama juga harus mengawasi
kehidupan bernegara. Karenanya, tidak ada pemisahan antara Islam dan negara. Bahkan
Islam merupakan agama yang salah satu ajarannya adalah negara. (Kurnia, 2002: 14).
Akidah Islam telah menjadi asas bagi seluruh bentuk hubungan yang dijalankan oleh
kaum Muslim, termasuk politik dalam dan luar negeri.

b. Metode Politik Luar Negeri

Negara Khilafah Islam menerapkan politik luar negeri berdasarkan metode


(tharîqah) tertentu yang tidak berubah, yakni dakwah dan jihad. Metode ini tidak
berubah sejak Rasulullah saw. mendirikan negara di Madinah sampai keruntuhan
Khilafah Islam tahun 1924.

Jihad ditujukan untuk menyingkirkan para penguasa zalim dan institusi


pemerintahan yang menghalangi dakwah Islam. Dengan begitu, dakwah Islam dapat
sampai ke rakyat secara terbuka sehingga mereka dapat melihat dan merasakan keadilan
Islam secara langsung, merasa tenteram dan nyaman hidup di bawah kekuasaan Islam.
Rakyat diajak memeluk Islam dengan cara sebaik-baiknya, tanpa paksaan dan tekanan.
Dengan penerapan hukum Islam inilah, berjuta-juta manusia di dunia, tertarik dan
memeluk agama Islam.

Salah satu tuduhan keji yang dilontarkan oleh Barat kepada Islam adalah bahwa
Islam disebarluaskan dengan darah dan peperangan. Mereka menggambarkan para
pejuang Islam yang memegang pedang di tangan kanan dan al-Quran di tangan kiri.
Memang metode penyebaran Islam adalah dengan jihad (perang). Namun, perang
adalah langkah terakhir, bukan langkah pertama yang dilakukan Khilafah Islam. Negara
Khilafah tidak pernah memulai peperangan menghadapi musuh-musuhnya, kecuali
setelah disampaikan kepada mereka tiga pilihan: memeluk Islam; membayar jizyah,
yang berarti tunduk pada Khilafah Islam; jihad memerangi mereka—jika dua pilihan
sebelumnya ditolak. Demikian sebagaimana sabda Rasulllah saw. yang diriwayatkan
Muislim dari Buraydah r.a.

Kekejian justru tampak dalam politik luar negeri negara-negara Barat. Dengan
slogan-slogannya yang menipu, mereka memalsukan niat busuk mereka dengan kata-
kata indah. Penjajahan ekonomi dinamai ‘konsep perdagangan bebas’ dan ‘pasar
bebas’, padahal prinsip ini dimaksudkan untuk menjamin terbukanya pasar dunia bagi
perdagangan dan pendapatan negara-negara Barat. Penjajahan politik disebut dengan
demokratisasi. Selain itu, mereka juga menciptakan wilayah-wilayah konflik seperti di
Timur Tengah, Balkan, Amerika Latin, dan Asia. Semuanya dalam konteks
mengobarkan perang berkepanjangan di sana serta mempertahankannya sebagai
kawasan yang bergolak dan rawan konflik sekaligus menyibukkan negara-negara
sekitarnya.
c. Pelaksana Hubungan Luar Negeri

Islam memandang, hubungan dengan negara-negara luar dibatasi dalam ruang


lingkup negara. Bagi individu-individu atau partai-partai sama sekali dilarang
melakukan hubungan dengan negara manapun. Meskipun demikian, mereka berhak
berdiskusi, mengkritik negara dan menyampaikan pendapat kepada negara dalam
hubungannya dengan negara luar. Rasulullah saw., misalnya, secara langsung pernah
membuat ikatan perjanjian, perdamaian, pernyataan perang, dan melakukan
korespondensi (surat-menyurat) ke luar negeri. Demikian pula yang dilakukan para
khalifah sesudahnya.

d.Pandangan Terhadap Negara Lain

Islam telah membagi dunia ini atas dua katagori, yaitu Darul Islam dan darul
kufur (dâr al-harb). Darul Islam adalah wilayah atau negeri yang di dalamnya
diterapkan sistem hukum Islam dan system keamanan Islam. Sebaliknya, darul kufur
adalah wilayah atau negeri yang di dalamnya diterapkan sistem hukum kufur dan sistem
keamanan bukan Islam, meskipun mayoritas penduduknya adalah Muslim (Lihat:
Mitsâq al-Ummah). Dasar pembagian ini adalah hadis Rasulullah saw., sebagaimana
dituturkan Sulaiman bin Buraidah r.a:

ِ َ‫َار ْال ُمه‬ ُ َ ْ‫«أُ ْد ُعهُ ْم إِلَى ْا ِإل ْس__الَ ِم فَ__إ ِ ْن أَ َج__ ابُو‬
َّ ‫ك فَأ َ ْقبِ__لْ ِم ْنهُ ْم َو ُك‬
َ‫__اج ِر ْين‬ ِ ‫__ف َع ْنهُ ْم ثُ َّم أ ْد ُعهُ ْم إِلَى التَّ َح__ ُّو ِل ِم ْن د‬
ِ ‫َار ِه ْم اِلَى د‬
» َ‫َوأَ ْخبِرْ هُ ْم أَنَّهُ ْم إِ ْن فَ َعلُوْ ا َذلِكَ فَلَهُ ْم ما َ لِ ْل ُمهَا ِج ِر ْينَ َو َعلَ ْي ِه ْم َما َعلَى ْال ُمهَا ِج ِر ْين‬

Serulah mereka ke jalan Islam. Apabila mereka menyambutnya, terimalah mereka dan
hentikanlah peperangan atas mereka, kemudian ajaklah mereka berpindah dari negeri
mereka (yang merupakan darul kufr) ke Darul Muhajirin (Darul Islam yang berpusat
di Madinah). Beritahulah pada mereka, bahwa apabila mereka telah melakukan semua
itu, mereka akan mendapatkan hak yang sama sebagaimana yang di dapatkan oleh
kaum Muhajirin, dan juga kewajiban yang sama seperti halnya kewajiban Muhajirin.

Hadis ini adalah sebuah nash yang mensyaratkan keharusan berpindah ke Darul
Muhajirin agar mereka memperoleh hak dan kewajiban yang sama dengan hak dan
kewajiban warga Darul Muhajirin. Darul Muhajirin adalah Darul Islam, sedangkan
selainnya adalah Darul Harb. Karena itulah, orang-orang yang telah masuk Islam
diminta berhijrah ke Darul Islam, agar diterapkan atas mereka hukum-hukum Darul
Islam; dan apabila mereka tidak berpindah maka hukum-hukum Darul Islam tidak bisa
diterapkan atas mereka, dengan kata lain yang diterapkan adalah hukum-hukum darul
kufur.

Di samping itu, istilah darul kufr dan Darul Islam kedua-duanya adalah istilah
syariat. Kata dâr tersebut masing-masing disandarkan pada Islam dan harb atau kufr,
bukan pada muslimîn dan kuffâr. Darul Islam mengandung arti bahwa yang memerintah
dalam sebuah negara adalah Islam. Jika agama yang memerintah dalam sebuah negara,
berarti kekuasaan dan keamanan adalah dalam naungan agama. Semua ini
menunjukkan bukti bahwa dunia secara keseluruhan hanya terdiri dari darul Islam dan
darul kufur.

Atas dasar itulah, politik luar negeri hanya bisa diartikan sebagai hubungan
Negara Islam dengan negara-negara yang dianggap darul kufur, baik mayoritas
penduduknya adalah Muslim atau non-Muslim.

Sementara itu, pandangan negara Barat terhadap negara lain bergantung pada
kepentingan nasional (national interest) yang dapat diraih dalam hubungannya terhadap
negara tersebut.

e. Hubungan dengan Lembaga Internasional

Organisasi, yang merupakan salah satu aktor dalam hubungan internasional ini,
merupakan wadah atau sarana untuk melaksanakan kerjasama internasional. (Rudi,
1993: 1). Untuk memahami keberadaan organisasi internasional, Quincy Wright
mendefinisikan organisasi internasional sebagai suatu seni untuk menciptakan dan
mengurus masyarakat luas yang terdiri dari negara-negara merdeka untuk memudahkan
kerjasama dalam mencapai tujuan dan keputusan bersama serta merupakan wadah atau
tempat kerjasama hubungan internasional. (Kartasasmita, 1987:3).

Konsep dan praktik dasar yang menjadi inti organisasi internasional modern
termasuk diplomasi, perdagangan, kesejahteraan, aturan-aturan mengenai penggunaan
kekerasan, penyelesaian perdamaian, pengembangan hukum internasional, kerjasama
ekonomi internasional, kerjasama sosial internasional, komunikasi dunia, keamanan
bersama, administrasi internasional, dan gerakan-gerakan dalam pemerintahan dunia.
Pandangan-pandangan dan praktik-praktik ini telah ada beberapa ratus tahun
sebelumnya. Namun, pada dasarnya, mereka membentuk dasar bagi keberlangsungan
suatu organisasi internasional dan bagi kebangkitan setiap organisasi pada masa yang
akan datang. (Bennet, 1984: 4).

Dalam hubungannya dengan lembaga internasional, Khilafah tidak boleh ikut


dalam lembaga internasional maupun regional yang tidak berasaskan Islam atau
menerapkan hukum selain Islam. Selain itu, lembaga-lembaga ini merupakan alat
politik negara besar, khususnya Amerika Serikat. Amerika Serikat telah memanfaatkan
lembaga-lembaga ini untuk meraih kepentingan-kepentingan khusus mereka. Lembaga-
lembaga ini merupakan media untuk menciptakan dominasi kaum kafir atas kaum
Muslim dan negara Muslim. Oleh karena itu, secara syar‘î, hal ini tidak diperbolehkan.

f. Tujuan Politik Luar Negeri

Aqidah Islam menjadi dasar bagi ideologi negara Khilafah Islam, yang
mengharuskannya untuk menyebarluaskan risalah Islam ke seluruh penjuru dunia.
Dengan kata lain, penyebaraluasan dakwah Islam merupakan prinsip politik luar negeri
negara Khilafah Islam dalam membangun hubungannya dengan negara-negara lain,
baik dalam bidang politik, ekonomi, budaya dan sebagainya. Pada semua bidang itu,
dakwah Islam harus dijadikan asas bagi setiap tindakan dan kebijakan.

Yang menjadi dalil bahwa dakwah Islam (penyebarluasan Islam) sebagai prinsip
hubungan luar negeri adalah kenyataan bahwa Rasulullah saw. diutus untuk seluruh
umat manusia. Allah Swt. berfirman:

َ ‫] َو َما أَرْ َس ْلنَا‬


ِ َّ‫ك إِالَّ َكافَّةً لِلن‬
[‫اس بَ ِشيرًا َونَ ِذيرًا‬

Kami tidak mengutus kamu (Muhammad) melainkan kepada umat manusia seluruhnya,
sebagai pembawa berita dan pemberi peringatan. (QS Saba [34]: 28).

[‫]قُلْ يَاأَيُّهَا النَّاسُ إِنِّي َرسُو ُل هللاِ إِلَ ْي ُك ْم َج ِميعًا‬

Katakanlah, “Hai manusia, sesungguhnya aku adalah utusan Allah kepada kalian
semua.” (QS. al-A‘raf [7]: 158).

Semua ini menunjukkan bahwa prinsip politik luar negeri Islam adalah
mengemban dakwah Islam sehingga Islam tersebar luas ke seluruh dunia.

Negara-negara Barat berkiprah dalam politik internasional tentunya dalam


peranannya untuk menyebarluaskan ide-ide sekularisme, demokratisasi, HAM, dll.
Amerika Serikat mulai menyebarkan Kapitalisme sejak tampil di panggung dunia
sebagai negara penjajah. Metode yang digunakannya untuk menyebarkan Kapitalisme
adalah dengan melakukan penjajahan (imperalisme), baik penjajahan gaya lama
maupun gaya baru. (Zallum, 1996: 4).

Dalam Kapitalisme, motif ekonomi sangat menonjol, seperti kerakusan serta


ketamakan Amerika dan Barat yang kapitalistis terhadap sumberdaya alam di negeri-
negeri Islam dan posisi geografisnya yang amat strategis dan istimewa; juga adanya
potensi negeri-negeri Islam itu sebagai pasar raksasa bagi produk-produk Barat dan
sumber bahan mentah utama bagi industri mereka. (Zallum, 1996: 11-12).

Prinsip-Prinsip Politik Luar Negeri Dalam Islam

Menurut Ali Anwar, ada beberapa prinsip politik luar negeri dalam Islam
(Ali Anwar,2002: 195), yaitu:
1. Saling menghormati fakta-fakta dan traktat-traktat (QS Al-Anfal: 58 , At-
Taubah: 4-7 , AnNahl: 91)
“Dan jika kamu khawatir akan terjadinya pengkhianatan dari suatu golongan,
maka kembalikanlah perjanjian itu kepada mereka dengan cara yang jujur.
Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang berkhianat.” (QS An-
Anfal : 58)
2. Kehormatan dan integrasi sosial (QS An-Nahl: 92)
“Dan janganlah kamu seperti seorang perempuan yang menguraikan
benangnya yang sudah dipintal dengan kuat, menjadi cerai berai kembali,
kamu menjadikan sumpah perjanjianmu sebagai alat penipu diantaramu,
disebabkan adanya satu golongan yang lebih banyak jumlahnya dari golongan
yang lain. Sesungguhnya Allah hanya menguji kamu dengan hal itu. Dan
sesungguhnya di hari kiamat akan dijelaskan-Nya kepadamu apa yang dahulu
kamu perselisihkan itu.”
3. Keadilan universal (internasional) (QS Al Maidah)
“Hai orang-orang yang beriman hendaklah kamu jadi orang-orang yang selalu
menegakkan kebenaran. Karena Allah menjadi saksi dengan adil, dan
janganlah sekali kali kebencianmu terhadap suatu kaum, mendorongmu untuk
melakukan sesuatu yang tidak adil. Berlaku adillah, karena adil itu lebih dekat
dengan taqwa. Dan bertaqwalah kepada Allah, sesungguhnya Allah Maha
Mengetahui apa yang kamu kerjakan.”
4. Menjaga perdamaian abadi (QS Al Anfal: 61)
“Dan jika mereka condong kepada perdamaian, maka condonglah kepadanya
dan bertqwalah kepada Allah. Sesungguhnya Dia-lah yang Maha Mendengar
lagi Maha Mengetahui.”
5. Menjaga kenetralan negara-negara lain (QS An Nisa: 89-90) “Mereka ingin
supaya kamu menjadi kafir sebagaimana mereka telah menjadi kafir, lalu
kamu menjadi sama dengan mereka. Maka janganlah kau jadikan mereka
penolong-penolongmu, hingga mereka berhijrah ke jalan Allah. Maka jika
mereka berpaling, tawan dan bunuhlah mereka dimana saja kau
menemukannya, dan janganlah kau ambil seorang pun diantara mereka
menjadi pelindung, dan jangan pula menjadi penolong.”
6. Larangan terhadap eksploitasi para imperialis
7. Memberikan perlindungan dan dukungan terhadap orang-orang Islam yang
hidup di negara lain (QS Al Anfal :72)
“Sesungguhnya orang yang beriman dan berhijrah serta berjihad dengan harta
dan jiwanya di jalan Allah dan orang-orang yang memberikan tempat
kediaman dan pertolongan kepada orang-orang Muhajirin, mereka itu satu
sama lain lindung-melindungi, dan terhadap orang-orang yang beriman, tetapi
belum hjrah, maka tidak ada kewajiban sedikitpun atasmu melindungi mereka,
sebelum mereka berhijrah, akan tetapi jika mereka meminta pertolongan
kepadamu danlam urusan pembelaan agama, maka kamu wajib memberikan
pertolongan kecuali terhadap kaum yang telah ada perjanjian anatara kamu
dengan mereka. Dan Allah Maha Melihat apa yang kamu kerjakan.”
8. Bersahabat dengan kekuasaan kekuasaan netral (QS Al Mumtahanah: 8-9)
“Sesungguhnya Allah hanya melarang kamu menjadikan sebagai kawanmu
orang-orang yang memerangimu karena agama dan mengusir kamu dari
negerimu, dan membantu orang lain untuk mengusirmu, dan barang siapa
menjadikan mereka sebagai kawan, maka mereka itulah orang-orang yang
zalim.”
9. Kehormatan dalam hubungan Internasiona
10. Persamaan Keadilan untuk para penyerang (QS AL Baqarah: 190, An Nahl:
126, Asy Syura’: 40)
“Dan perangilah dijalan Allah orang-orang yang memerangimu, tetapi
janganlah kamu melampaui batas, karena sesungguhnya Allah tidak menyukai
orang-orang yang melampaui batas.”

2.4 Kontribusi Umat Islam Dalam Kehidupan Politik di Indonesia

Islam sebagai sebuah agama yang mencakup persoalan spiritual dan politik telah
memberikan konstribusi yang cukup signifikan terhadap kehidupan politik di Indonesia.
Pertama ditandai dengan munculnya partai-partai yang berasaskan Islam serta partai
nasionalis yang berbasis umat Islam. Ke dua ditandai dengan sikap pro aktifnya tokoh-
tokoh politik Islam dan umat Islam terhadap keutuhan negara, negara kesatuan
Republik Idonesia sejak proses kemerdekaan, masa-masa mempertahankan
kemerdekaan, masa pembangunan hingga sekarang masa reformasi.

Islam telah menyumbang banyak pada Indonesia, demikian kata Kuntowijoyo.


Islam membentuk “civic culture” (budaya bernegara), “national solidarity”, ideologi
jihad, dan kontrol sosial. Sumbangan besar Islam berujung pada keutuhan negaa dan
terwujudnya persatuan dan kesatuan.

Berkaitan dengan keutuhan negara , misalnya Muhammad Natsir pernah


menyerukan umat Islam agar tidak mempertentangkan Pancasila dengan Islam. Dalam
pandangan Islam, perumusan Pancasila bukan meruoakan sesuatu yang bertentangan
dengan ajaran Al-Quran, karena nilai-nilai yang terdapat dalam Pancasila juga
merupakan bagian dari nilai-nilai yang terdapat dalam Al-Quran. Dalam sejarah juga
terbukti, bahwa demi keutuhan persatuhan dan kesatuan bangsa umat Islam rela
menghilangkan tujuh kata dari sila ke satu dari Pancasila yatu kata-kata “Kewajiban
meleksanaan syari’at bagi para pemeluknya”. Akhirnya umat Islam Indonesia dapat
menyetujui Pancasila dan UUD 1945 dibenarkan oleh ajaran Agama Islam. Maka dari
itu Pancasila juga berfungsi sebagai nuktah-nuktah kesepakatan antar berbagai
golongan untuk mewujudkan kesatuan politik bersama demi kejayaan bangsa
Indonesia.
BAB III

PENUTUP

3.1 KESIMPULAN

Islam adalah agama yang mengatur kehidupan manusia, termasuk tentang negara
dan politik. Politik (siyasah) adalah pemeliharaan urusan umat (ri’ayatu syuunil ummah),
dalam dan luar negeri. Pelaksana praktisnya adalah daulah (negara). Sedangkan umat
melakukan muhasabah (kritik, saran, dan nasihat) kepada daulah (khalifah). Politik dalam
negeri dilaksanakan negara untuk memelihara urusan umat dengan melaksanakan mabda
(aqidah dan peraturan-peraturan) Islam di dalam negeri. Politik luar negeri dilakukan
daulah untuk memelihara urusan umat di luar negeri dengan menjalin hubungan
internasional dan menyebarkan mabda Islam ke seluruh dunia (lihat Mafahim Siyasah
lihizbi Tahrir, An Nabhani. Umat Islam wajib menyibukkan diri dalam menggeluti
masalah-masalah politik internasional maupun regional sehingga paham akan fakta
politik yang sedang terjadi dan mampu mengambil sikap berdasarkan mabda Islam, untuk
memelihara kepentingan umat dan daulah baik di dalam maupun di luar negeri.
Rasulullah saw bersabda : “Siapa saja yang bangun pagi-pagi dan tidak memperhatikan
urusan (kepentingan) kaum muslimin, maka ia tidak termasuk golongan mereka (kaum
muslimin)”
DAFTAR PUSTAKA

1. http://www.hudzaifah.org/Article64.phtml

2. http://www.al-ulama.net/home-mainmenu-1/articles/255-politik-ala-islam-benarkah.html

3. http://hbmulyana.wordpress.com/2008/01/19/politik-luar-negeri-negara-khilafah/

4.Pdt. Aguswati Hildebrandt Rambe, M.A

5. http://www.scribd.com/doc/38610943/MAKALAHSI

Judul      : Islam dan Politik


(Upaya Membingkai Peradaban)
Penulis      : Ahmad Syafii Maarif
Penerbit  : Pustaka Dinamika, Cirebon
Tebal : XIV + 254

http://padepokanpena.wordpress.com/2008/09/06/kontribusi-islam-dalam-peta- perpolitikan-
indonesia

6 . http://www.khabarislam.com/tata-negara-islam-menurut-taqiyuddin-an-nabhani.html

7. .http://www.al-ulama.net/home-mainmenu-1/articles/255-politik-ala-islam-benarkah.html

8. Pdt. Aguswati Hildbrandt Rambe, M.A

Oleh: DR. Efrinaldi, M.Ag.

(Dosen Fakultas Syari’ah IAIN dan DLB pada Jurusan Ilmu Politik, FISIP Unand Padang )

http://efrinaldi.multiply.com/journal/item/8

9..http://hbmulyana.wordpress.com/2008/01/19/politik-luar-negeri-negara-khilafah

10. Ali Abd al-Raziq, Al-Islam wa Ushul/al-Hukm, Kairo,1925.

11. Acep Djazuli, Fiqih Siasah, Bandung,Sunan Gunung Sjati Pers, 1990.

12. Al-Mawardi, Al-Ahkam al-Sulthaniyyah, Mesir ; Al-Bab al-Halabi, 1973.

13. Munawir Sjadzali, Islam dan Tata Negara, Jakarta UI Press, 1993.

14. Muhammad Natsir, Capita Selecta, Jakarta: Bulan Bintang, 1973.

15. John L. Esposito, Islam dan Politik, tr. Joesoef Sou’yb, Jakarta Bulan Bintang, 1990.

16. Ahmad Sukarja, Piagam Madinah dan Undang-Undang Dasar 1945 Kajian Perbandingan,
Jakarta, UI Press, 1995
17. Kuntowijoyo, Identitas Politik Umat Islam, Bandung, Mizan, tahun 1997.

18. Suyuti Pulungan, Fiqih Siasah Ajaran, sejarah dan Pemikiran, Jakarta, Rajawali Pers,
1994.

19. Rasyit Ridha, Al-Khilafah au al-Imamat al-‘Uzhma, Beirut, Dar al-Ma’rifat.

Anda mungkin juga menyukai