Nama Kelompok :
KELAS : 2010 / C
Makalah yang penulis susun ini berisi tentang pokok-pokok materi diantaranya
politik ketatanegaraan dalam islam, politik internasional dalam islam, dan kontribusi umat
islam dalam kehidupan politik di Indonesia.
Penulis berharap makalah ini bermanfaat bagi pembaca untuk memudahkan dalam
mereview materi yang telah diterima, dan juga memberikan gambaran tentang sistem politik
islam.
Akhirnya, penulis mengucapkan terima kasih kepada semua pihak yang telah
membantu demi terselesainya makalah ini dengan baik. Saran dan kritik selalu kami tunggu
untuk perbaikan kualitas makalah ini di masa mendatang.
HALAMAN JUDUL........................................................................................i
KATA PENGANTAR......................................................................................ii
DAFTAR ISI....................................................................................................iii
BAB I : PENDAHULUAN..............................................................................
1. LATAR BELAKANG.......................................................................1
2. RUMUSAN MASALAH...................................................................2
3. TUJUAN............................................................................................
BAB II : PEMBAHASAN................................................................................
1. PENGERTIAN POLITIK ISLAM....................................................
2. POLITIK KETATANEGARAAN DALAM ISLAM......................
3. POLITIK INTERNASIONAL DALAM ISLAM.............................
4. KONSTRIBUSI UMAT ISLAM DALAM KEHIDUPAN
POLITIK DI INDONESIA................................................................
BAB III : PENUTUP........................................................................................
1. KESIMPULAN..................................................................................
2. SARAN..............................................................................................
DAFTAR PUSTAKA.......................................................................................
BAB I
PENDAHULUAN
Sesungguhnya islam itu adalah agama terakhir, agama Islam berfungsi sebagai
rahmat dan nikmat bagi manusia seluruhnya. Maka Allah SWT mewahyukan agama
Islam ini dalam nilai kesempurnaan yang tinggi, kesempurnaan yang meliputi segi–segi
fundamental tentang duniawi dan akhirat, guna menghantarkan manusia menuju
kebahagian lahir dan batin di dunia dan akhirat. Maka fungsi dari agama islam menjadi
agama dakwah, yakni agama yang telah disampaikan kepada seluruh manusia, yang
telah ditegaskan pula dengan bukti - bukti yang jelas dalam sumber ajaran-Nya yaitu
Al-Qur’an dan Hadist.
1. Memelihara keimanan menurut prinsip-prinsip yang telah disepakati oleh ulama’ salaf
daripada kalangan umat Islam.
2. Melaksanakan proses pengadilan dikalangan rakyat dan menyelesaikan masalah
dikalangan orang-orang yang berselisih.
3. Menjaga keamanan daerah-daerah Islam agar manusia dapat hidup dalam keadaan
aman dan damai.
4. Melaksanakan hukuman-hukuman yang telah ditetapkan syarak demi melindungi hak-
hak manusia.
5. Menjaga perbatasan negara dengan pelbagai persenjataan bagi menghadapi
kemungkinan serangan daripada pihak luar.
6. Melancarkan jihad terhadap golongan yang menentang Islam.
7. Mengendalikan urusan pengutipan cukai, zakat, dan sedekah sebagaimana yang
ditetapkan syarak.
8. Mengatur anggaran belanjawan dan perbelanjaan daripada perbendaharaan negara
agar tidak digunakan secara boros atau kikir.
9. Melantik pegawai-pegawai yang cekap dan jujur bagi mengawal kekayaan negara dan
menguruskan hal-ehwal pentadbiran negara.
10. Menjalankan pengawalan dan pemeriksaan yang rapi dalam hal-ehwal awam demi
untuk memimpin negara dan melindungi Ad-Din.
BAB II
PEMBAHASAN
Aliran ke tiga menolak bahwa Islam adalah agama yang serba lengkap yang
terdapat di dalamnya segala sistem kehidupan termasuk sistem ketatanegaraan, tetapi
juga menolak pendapat bahwa Islam sebagaimana pandangan Barat yang hanya
mengatur hubungan manusia dengan Tuhan. Aliran ini berpendirian bahwa dalam
Islam tidak terdapat sistem ketatanegaraan, tetapi terdapat seperangkat tata nilai
etika bagi kehidupan bernegara.
Sejarah menbuktikan bahwa Nabi kecuali sebagai Rasul, meminjam istilah Haru
Nasution, kepala agama, juga beliau adalah kepala negara. Nabi menguasai suatu wilayah
yaitu Yastrib yang kemudian menjadi Madinah al-Munawwarah sebagai wilayah kekuasaan
Nabi sekaligus menjadi pusat pemerintahannya dengan piagam Madinah sebagai aturan
dasar kenegaraannya. Sepeninggal Nabi, kedudukan beliau sebagai kepala negara digantikan
Abu Bakar yang merupakan hasil kesepakatan tokoh-tokoh sahabat, selanjutnya disebut
khalifah. Sistem pemerintahannya disebut “khilafah”. Sistem “khilafah” ini berlangsung
hingga kepemimpinan berada di bawah kekuasaan khalifah terakhir, Ali “karrama Allahu
wajhahu”. Sistem pemerintahan selepas Ali mengambil bentuk kerajaan, meskipun raja-raja
yang menjadi para penguasa menyatakan dorinya sebagai khalifah. Di dalam sistem kerajaan,
khalifah bukan dipilih secara demokratis melainkan diangkat secara turun temurun. Sistem
kerajaan ini berlangsung hingga akhir abad ke tujuh belas, saat Turki Usmani mulai
mengalami kekalahan-kekalahan dari bangsa Eropa. Akhir abad tujuh belas hampir semua
negara Isla masuk ke dalam perangkap penjajahan Barat. Lama penjajahan di negara satu
dengan negara yang lainnya tidak sama. Awal abad sembilan belas negara-negara Islam muls
melepaskan diri satu persatu dari kolonialisme Barat. Dan dalam waktu bersamaan muncullah
nasionalisme-nasionalisme. Sistem pemerintahan bagi negara-negara yang baru melepaskan
diri dari kolonialisme berbeda-beda. Ada yang muncul mengambil bentuk kerajaan,
keemiran, kesultanan dan ada yang muncul dengan bentuk presidensial kabinet atau
palementer kabinet.
Menurut Harun Nasution, khilafah (pemerintah) yang timbul sesudah wafatnya Nabi
Muhammad, tidak mempunyai bentuk kerajaan, tetapi lebih dekat merupakan republik dalam
arti Kepala Negara dipilih dan dan tidak mempunyai sifat turun temurun. Sebagai diketahui
khalifah pertama adalah Abu bakar dan beliau tidak mempunyai hubungan darah dengan
Nabi Muhammad. Khalifah ke dua, Umar Ibn Khattab, juga tidak mempunyai hubungan
darah dengan Abu Bakar, demikian pula Khalifah ke tiga Utsman Ibn Affan dan Khalifah ke
empat Ali bin Sabi Thalib, satu sama lain tidak mempunyai hubungan darah. Mereka adalah
sahabat Nabi dan dengan demikian hubungan mereka merupakan persahabatan.
Demikian, Ibnu Khaldun ( w. 1406 M. ) secara pragmatis menerima pnggabungan
dalam arti menganggap tidak ada perbedaan prinsipil antara sistem khilafah dengan sistem
kerajaan, selanjutnya ia menyatakan: Kekhilafaan maupun kerajaan adalah khilafah Allah
diantara manusia bagi pelaksanaan segala peraturan diantara manusia. Al-Mawardi (w. 1058
M. ) dalam bukunya Al-Akhkam al-Sulthaniyyah mengemukakan pembahasan teoritis dan
idealistis menyangkut khilafah.
Menurutnya, Allah adalah penguasa yang absolut bagi alam semesta dan merupakan
pokok wewenang bagi negara. Melalui surat amanat, wewenang itu didelegasikan kepada
manusia sebagai khalifah Allah di muka bumi. Lembaga khilafah itu berdasarkan wahyu,
yakni pernyataan-pernyataan Al-Quran untuk pegangan khalifah Allah, bukan semata-mata
berdasarkan akal. Khalifah dicalonkan dan dipilih oleh para pemuka masyarakat, yakni ahl al-
halli wa al-‘aqdi. Khalifah mesti mengikuti suri tauladan khalifah sebelumnya. Pemilihan
atau penunjukan seorang khalifah mesti diikuti oleh bai’at dai masyarakat.
Idealisme moral dari politik tentang khilafah dibuktikan lagi secara khusus oleh
kualifikasi jabatan tersebut: Memiliki keadilan, punya cukup ilmu bagi penafsiran dan
pelaksanaan hukum, berwatak taat, memiliki keberanian untuk memimpin perang, sehat
fisik, dan turunan Quraisy yakni pasukan Nabi. Dalam kedudukannya sebagai amir al-
mukminin, ia memimpin masyarakat dalam peperangan. Tugas khalifah yang paling utama
menjaga dan melaksanakan syari’ah, mewujudkan kedamaian dan kesejahteraan. Dia adalah
pengawasan dan pelindung Islam juga pembela keimanan.
Berbeda dengan Al-Mawardi, Ali Abdal-Raziq dalam bukunya Al-Ahkam al-
Sulthaniyyah (Islam dan Ketatanegaraan) berpendapat bahwa sistem pemerintahan tidak
disinggung oleh Al-Quran dan Al-Sunnah. Oleh karena itu dalam ajaran Islam tidak terdapat
ketentuan-ketentuan tentang corak negara. Nabi Muhammad SAW. hanya mempunyai tugas
kerasulan dan dalam misi beliau tidak termasuk pembentukan negara.
Selanjutnya ia menyatakan, sistem khilafah timbul sebagai perkembanagn yang
seharusnya dari sejarah Islam. Nabi meninggal dunia dan dengan wafatnya beliau mestilah
ada yang menggantikan beliau dalam mengurus soal umat. Dengan demikianlah Abu Bakar
muncul sebagai khalifah atau pengganti. Abu Bakar sebenarnya tidak mempunyai tugas
keagamaan. Beliau hanyalah kepala negara dan bukan kepala agama. Begitu pula dengan
Umar, Ustman dan Ali. Soal corak dan bentuk negara bukanlah soal agama tetapi soal
duniawi dan diserahkan kepada akal manusia untuk menentukannya. Oleh karena itu,
tindakan Mustafa Kamal pada tahun 1942 M dalam menghapuskan khalifah dari sistem
kerajaan Usmani bukanlah suatu tindakan yang bertentangan dengan ajaran Islam.
Muhammad Rasyid Ridha memberikan reaksi keras terhadap gagasan Ali Abduraziq.
Ridha merasa perlu membuat satu karya yang secara khusus membahas tentang kedudukan
khilafah dalam Islam sebagai jawaban terhadap pemikiran sekuler Ali Abd Raziq, sebuah
buku yang populer “ Al-Khilafah au al-Imamat al-‘Uzhmaa “.
Bagi Ridha, khilafah adalah sistem pemerintahan uang harus dipertahankan di dunia
Islam untuk mewujudkan persatuan dan kesatuan umat Islam (jami’ah Islamoyah). Pada saat
buku itu”Al-Islan wa Ushul al-Hukm” karya Raziq bukan hanya dilarang beredar oleh Ulama
Al-Azhar, bahkan Ali Abduraziq pun dikeluarklan dari barisan kibar ulama Al-Azhar. Ridha
sendiri menulis sebuah buku yang berjudul al-khilafah au al-Imamat al-‘Uzhma yang
isinya sanggahan terhadap bahasan utama dalam karya Ali Abduraziq tadi.
Sehingga perlu dikemukakan bahwa konsep sistem politik Islam adalah konsep
politik yang bersifat majemuk. Karena sistem politik Islam lahir dari pemahaman atau
penafsiran seseorang terhadap Al-Qur'an berdasarkan kondisi kesejarahan dan konteks
persoalan masyarakat para pemikir politik. Namun demikian, adalah naif (tidak masuk akal)
kalau ada pendapat yang mengatakan bahwa Islam yang telah membuat sejarah selama lima
belas abad tidak mempunyai sistem politik hasil pemikiran para ahlinya. Pengertian ini
bertepatan dengan firman Allah yang mafhumnya:
Artinya:” Dan Katakanlah: "Ya Tuhan-ku, masukkanlah aku secara masuk yang benar dan
keluarkanlah (pula) aku secara keluar yang benar dan berikanlah kepadaku dari sisi Engkau kekuasaan yang
menolong[866].(QS.Al-Israa’: 80)
[866] Maksudnya: memohon kepada Allah supaya kita memasuki suatu ibadah dan selesai daripadanya
dengan niat yang baik dan penuh keikhlasan serta bersih dari ria dan dari sesuatu yang merusakkan pahala. ayat
ini juga mengisyaratkan kepada Nabi supaya berhijrah dari Mekah ke Madinah. dan ada juga yang menafsirkan:
memohon kepada Allah s.w.t. supaya kita memasuki kubur dengan baik dan keluar daripadanya waktu hari-hari
berbangkit dengan baik pula.
Islam pada dasarnya adalah Siyasatullah fil Ardh. Maksudnya, dengan Islam inilah
Allah mengatur semesta alam, yang didelegasikan kepada manusia. Islam itu secara
substantif bersifat politis. Konteks pemberian amanah kepada manusia yang dimaksud di
atas adalah Istikhlaf sebagai konsep politik. Istikhlaf berarti "menjadikan khalifah untuk
mewakili dan melaksanakan tugas yang diwakilkan kepadanya."
Al Quran sebagai ajaran utama dan pertama agama Islam mengandung ajaran tentang
nilai-nilai dasar yang harus diaplikasikan dalam pengembangan sistem politik Islam. Nilai-
nilai dasar tersebut adalh :
Dalam kata al-Amr (urusan) teercakup urusan ekonomi, politik, sosial, budaya dan
sebagainya.
3. Keharudan menunaikan amanat dan menetapkan hukum secar adil. Dalam QS Al-Nisa
ayat 58 Allah berfirman:
4. Kemestian menaati Allah dan Rasulullah dan uli al-Amr (pe,megang kekuasaan)
sebagaimana difirmankan dalam QS Al-Nisa ayat 59
9. Keharusan menempati janji, sebagaimana firman Allah dalam QS Al-Nahl ayat 91:
11. Kemestian peredaran harta pada seluruh lapisan masyarakat. Dalam QS Al-Hasyr ayat 7:
b) Berangsur-angsur (al-tadarruj)
1) Siasah “dusturiyyah” atau dalam fikih modern disebut Hukum Tata Negara
Persoalan “bai’at”
Persoalan perwakilan
Persamaan
Kehormatan manusia
Toleransi
Kerjasama kemanusiaan
Kebebasan berfikir
Kebebasan beragama
1. Damai adalah asas hubungan internasional. Dengan demikian, perang tidak dilakukan
kecuali dalam keadaan darurat, perang hanya dilakukan sesuai dengan keperluan
kolektif. Orang yang tidak ikut berperang tidak boleh diperlakukan sebagai musuh.
Segera hentikan perang apabila salah satu pihak enderung kepada damai.
Kerelaan
7. Menaati perjanjian.
2. Perang untuk melindungi hak negara yang sah dlanggar oleh suatu negara lainnya
tanpa sebab yang dapast diterima.
a) Pengumuman perang
Dilarang membunuh orang yang sudah tua apabila ia tidak ikut berperang.
3) Siasah “maaliyyah” yaitu hukum yang mengatur tentang pemasukan, pengelolaan, dan
pengeluaran uang milik negara
Tanggung jawab sosial yang kokoh, tanggung jawab terhadap diri sendiri, terhadap
keluarga, tanggung jawab terhadap masyarakat dan sebaliknya
Zakat: zakat hasil bumi, emas perak, ternak, dan zakat fitrah
Harta karun
“Kharaj” (pajak)
“Jizyah”
4. Hak-hak negara.
Semua warga negara, meskipun yang oposan atau yang bertentangan pendapat
dengan pemerintah sekalipun, mesti tunduk kepada otoritas negara yaitu kepada
hukum-hukum dan peraturan negara.
Para pakar politik dan hukum Islam yang menguraikan prinsip-prinsip negara
dalam syari’at Islam sangat bervariasi. Namun dari uraian di atas cukup representatif
untuk memformulasikan bahwa prinsip-prinsip negara dalam Islam itu adalah :
1) prinsip tauhid (kekuasaan/jabatan pemerintahan itu sebagai amanah);
2) prinsip keadilan;
3) prinsip kedaulatan rakyat;
4) prinsip musyawarah;
5) prinsip kesamaan di hadapan hukum (equality before the law) ;
6) prinsip kebebasan rakyat;
7) prinsip persatuan;
8) prinsip persaudaraan;
9) prinsip gotong-royong dalam ridha Ilahi;
10) prinsip kepatuhan rakyat;
11) prinsip perdamaian;
12) prinsip kesejahteraan;
13) prinsip pengakuan dan perlindungan terhadap hak-hak asasi manusia.
Prinsip-prinsip politik tersebut mengejawantah pada periode Negara
Madinah era kepemimpinan Rasulullah. Dalam Piagam Madinah, digalang suatu
perjanjian untuk menetapkan persamaan hak dan kewajiban semua komunitas dalam
kehidupan sosial politik. Muatan piagam ini menggambarkan hubungan antara Islam
dan ketatanegaraan dan undang-undang yang diletakkan oleh Nabi SAW, untuk
menata kehidupan sosial-politik masyarakat Madinah.
Prinsip-prinsip negara tersebut sangat representatif untuk masa itu. Bahkan untuk
dewasa ini pun relevan karena nilai-nilainya universal. Sebab prinsip-prinsip
tersebut telah menjadi tuntunan berbagai bangsa di dunia, agar tegak dalam hidup
bermasyarakat dan bernegara, yaitu tatanan masyarakat yang demokratis, adil, dan
damai. Karena pada hakikatnya implementasi prinsip-prinsip tersebut merupakan
penghargaan terhadap hak-hak asasi manusia, dan akan menumbuhkan sikap
demokratis dalam berbagai aspek kehidupan.
Setidaknya ada enam hal yang bisa kita bandingkan untuk bisa mendapatkan
kekhasan politik luar negeri Khilafah, yakni menyangkut: asas, metodologi, cara
pengembanan, dan pelaksana politik luar negeri; pandangan terhadap negara lain; serta
hubungan dengan lembaga internasional.
Salah satu tuduhan keji yang dilontarkan oleh Barat kepada Islam adalah bahwa
Islam disebarluaskan dengan darah dan peperangan. Mereka menggambarkan para
pejuang Islam yang memegang pedang di tangan kanan dan al-Quran di tangan kiri.
Memang metode penyebaran Islam adalah dengan jihad (perang). Namun, perang
adalah langkah terakhir, bukan langkah pertama yang dilakukan Khilafah Islam. Negara
Khilafah tidak pernah memulai peperangan menghadapi musuh-musuhnya, kecuali
setelah disampaikan kepada mereka tiga pilihan: memeluk Islam; membayar jizyah,
yang berarti tunduk pada Khilafah Islam; jihad memerangi mereka—jika dua pilihan
sebelumnya ditolak. Demikian sebagaimana sabda Rasulllah saw. yang diriwayatkan
Muislim dari Buraydah r.a.
Kekejian justru tampak dalam politik luar negeri negara-negara Barat. Dengan
slogan-slogannya yang menipu, mereka memalsukan niat busuk mereka dengan kata-
kata indah. Penjajahan ekonomi dinamai ‘konsep perdagangan bebas’ dan ‘pasar
bebas’, padahal prinsip ini dimaksudkan untuk menjamin terbukanya pasar dunia bagi
perdagangan dan pendapatan negara-negara Barat. Penjajahan politik disebut dengan
demokratisasi. Selain itu, mereka juga menciptakan wilayah-wilayah konflik seperti di
Timur Tengah, Balkan, Amerika Latin, dan Asia. Semuanya dalam konteks
mengobarkan perang berkepanjangan di sana serta mempertahankannya sebagai
kawasan yang bergolak dan rawan konflik sekaligus menyibukkan negara-negara
sekitarnya.
c. Pelaksana Hubungan Luar Negeri
Islam telah membagi dunia ini atas dua katagori, yaitu Darul Islam dan darul
kufur (dâr al-harb). Darul Islam adalah wilayah atau negeri yang di dalamnya
diterapkan sistem hukum Islam dan system keamanan Islam. Sebaliknya, darul kufur
adalah wilayah atau negeri yang di dalamnya diterapkan sistem hukum kufur dan sistem
keamanan bukan Islam, meskipun mayoritas penduduknya adalah Muslim (Lihat:
Mitsâq al-Ummah). Dasar pembagian ini adalah hadis Rasulullah saw., sebagaimana
dituturkan Sulaiman bin Buraidah r.a:
ِ ََار ْال ُمه ُ َ ْ«أُ ْد ُعهُ ْم إِلَى ْا ِإل ْس__الَ ِم فَ__إ ِ ْن أَ َج__ ابُو
َّ ك فَأ َ ْقبِ__لْ ِم ْنهُ ْم َو ُك
َ__اج ِر ْين ِ __ف َع ْنهُ ْم ثُ َّم أ ْد ُعهُ ْم إِلَى التَّ َح__ ُّو ِل ِم ْن د
ِ َار ِه ْم اِلَى د
» ََوأَ ْخبِرْ هُ ْم أَنَّهُ ْم إِ ْن فَ َعلُوْ ا َذلِكَ فَلَهُ ْم ما َ لِ ْل ُمهَا ِج ِر ْينَ َو َعلَ ْي ِه ْم َما َعلَى ْال ُمهَا ِج ِر ْين
Serulah mereka ke jalan Islam. Apabila mereka menyambutnya, terimalah mereka dan
hentikanlah peperangan atas mereka, kemudian ajaklah mereka berpindah dari negeri
mereka (yang merupakan darul kufr) ke Darul Muhajirin (Darul Islam yang berpusat
di Madinah). Beritahulah pada mereka, bahwa apabila mereka telah melakukan semua
itu, mereka akan mendapatkan hak yang sama sebagaimana yang di dapatkan oleh
kaum Muhajirin, dan juga kewajiban yang sama seperti halnya kewajiban Muhajirin.
Hadis ini adalah sebuah nash yang mensyaratkan keharusan berpindah ke Darul
Muhajirin agar mereka memperoleh hak dan kewajiban yang sama dengan hak dan
kewajiban warga Darul Muhajirin. Darul Muhajirin adalah Darul Islam, sedangkan
selainnya adalah Darul Harb. Karena itulah, orang-orang yang telah masuk Islam
diminta berhijrah ke Darul Islam, agar diterapkan atas mereka hukum-hukum Darul
Islam; dan apabila mereka tidak berpindah maka hukum-hukum Darul Islam tidak bisa
diterapkan atas mereka, dengan kata lain yang diterapkan adalah hukum-hukum darul
kufur.
Di samping itu, istilah darul kufr dan Darul Islam kedua-duanya adalah istilah
syariat. Kata dâr tersebut masing-masing disandarkan pada Islam dan harb atau kufr,
bukan pada muslimîn dan kuffâr. Darul Islam mengandung arti bahwa yang memerintah
dalam sebuah negara adalah Islam. Jika agama yang memerintah dalam sebuah negara,
berarti kekuasaan dan keamanan adalah dalam naungan agama. Semua ini
menunjukkan bukti bahwa dunia secara keseluruhan hanya terdiri dari darul Islam dan
darul kufur.
Atas dasar itulah, politik luar negeri hanya bisa diartikan sebagai hubungan
Negara Islam dengan negara-negara yang dianggap darul kufur, baik mayoritas
penduduknya adalah Muslim atau non-Muslim.
Sementara itu, pandangan negara Barat terhadap negara lain bergantung pada
kepentingan nasional (national interest) yang dapat diraih dalam hubungannya terhadap
negara tersebut.
Organisasi, yang merupakan salah satu aktor dalam hubungan internasional ini,
merupakan wadah atau sarana untuk melaksanakan kerjasama internasional. (Rudi,
1993: 1). Untuk memahami keberadaan organisasi internasional, Quincy Wright
mendefinisikan organisasi internasional sebagai suatu seni untuk menciptakan dan
mengurus masyarakat luas yang terdiri dari negara-negara merdeka untuk memudahkan
kerjasama dalam mencapai tujuan dan keputusan bersama serta merupakan wadah atau
tempat kerjasama hubungan internasional. (Kartasasmita, 1987:3).
Konsep dan praktik dasar yang menjadi inti organisasi internasional modern
termasuk diplomasi, perdagangan, kesejahteraan, aturan-aturan mengenai penggunaan
kekerasan, penyelesaian perdamaian, pengembangan hukum internasional, kerjasama
ekonomi internasional, kerjasama sosial internasional, komunikasi dunia, keamanan
bersama, administrasi internasional, dan gerakan-gerakan dalam pemerintahan dunia.
Pandangan-pandangan dan praktik-praktik ini telah ada beberapa ratus tahun
sebelumnya. Namun, pada dasarnya, mereka membentuk dasar bagi keberlangsungan
suatu organisasi internasional dan bagi kebangkitan setiap organisasi pada masa yang
akan datang. (Bennet, 1984: 4).
Aqidah Islam menjadi dasar bagi ideologi negara Khilafah Islam, yang
mengharuskannya untuk menyebarluaskan risalah Islam ke seluruh penjuru dunia.
Dengan kata lain, penyebaraluasan dakwah Islam merupakan prinsip politik luar negeri
negara Khilafah Islam dalam membangun hubungannya dengan negara-negara lain,
baik dalam bidang politik, ekonomi, budaya dan sebagainya. Pada semua bidang itu,
dakwah Islam harus dijadikan asas bagi setiap tindakan dan kebijakan.
Yang menjadi dalil bahwa dakwah Islam (penyebarluasan Islam) sebagai prinsip
hubungan luar negeri adalah kenyataan bahwa Rasulullah saw. diutus untuk seluruh
umat manusia. Allah Swt. berfirman:
Kami tidak mengutus kamu (Muhammad) melainkan kepada umat manusia seluruhnya,
sebagai pembawa berita dan pemberi peringatan. (QS Saba [34]: 28).
Katakanlah, “Hai manusia, sesungguhnya aku adalah utusan Allah kepada kalian
semua.” (QS. al-A‘raf [7]: 158).
Semua ini menunjukkan bahwa prinsip politik luar negeri Islam adalah
mengemban dakwah Islam sehingga Islam tersebar luas ke seluruh dunia.
Menurut Ali Anwar, ada beberapa prinsip politik luar negeri dalam Islam
(Ali Anwar,2002: 195), yaitu:
1. Saling menghormati fakta-fakta dan traktat-traktat (QS Al-Anfal: 58 , At-
Taubah: 4-7 , AnNahl: 91)
“Dan jika kamu khawatir akan terjadinya pengkhianatan dari suatu golongan,
maka kembalikanlah perjanjian itu kepada mereka dengan cara yang jujur.
Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang berkhianat.” (QS An-
Anfal : 58)
2. Kehormatan dan integrasi sosial (QS An-Nahl: 92)
“Dan janganlah kamu seperti seorang perempuan yang menguraikan
benangnya yang sudah dipintal dengan kuat, menjadi cerai berai kembali,
kamu menjadikan sumpah perjanjianmu sebagai alat penipu diantaramu,
disebabkan adanya satu golongan yang lebih banyak jumlahnya dari golongan
yang lain. Sesungguhnya Allah hanya menguji kamu dengan hal itu. Dan
sesungguhnya di hari kiamat akan dijelaskan-Nya kepadamu apa yang dahulu
kamu perselisihkan itu.”
3. Keadilan universal (internasional) (QS Al Maidah)
“Hai orang-orang yang beriman hendaklah kamu jadi orang-orang yang selalu
menegakkan kebenaran. Karena Allah menjadi saksi dengan adil, dan
janganlah sekali kali kebencianmu terhadap suatu kaum, mendorongmu untuk
melakukan sesuatu yang tidak adil. Berlaku adillah, karena adil itu lebih dekat
dengan taqwa. Dan bertaqwalah kepada Allah, sesungguhnya Allah Maha
Mengetahui apa yang kamu kerjakan.”
4. Menjaga perdamaian abadi (QS Al Anfal: 61)
“Dan jika mereka condong kepada perdamaian, maka condonglah kepadanya
dan bertqwalah kepada Allah. Sesungguhnya Dia-lah yang Maha Mendengar
lagi Maha Mengetahui.”
5. Menjaga kenetralan negara-negara lain (QS An Nisa: 89-90) “Mereka ingin
supaya kamu menjadi kafir sebagaimana mereka telah menjadi kafir, lalu
kamu menjadi sama dengan mereka. Maka janganlah kau jadikan mereka
penolong-penolongmu, hingga mereka berhijrah ke jalan Allah. Maka jika
mereka berpaling, tawan dan bunuhlah mereka dimana saja kau
menemukannya, dan janganlah kau ambil seorang pun diantara mereka
menjadi pelindung, dan jangan pula menjadi penolong.”
6. Larangan terhadap eksploitasi para imperialis
7. Memberikan perlindungan dan dukungan terhadap orang-orang Islam yang
hidup di negara lain (QS Al Anfal :72)
“Sesungguhnya orang yang beriman dan berhijrah serta berjihad dengan harta
dan jiwanya di jalan Allah dan orang-orang yang memberikan tempat
kediaman dan pertolongan kepada orang-orang Muhajirin, mereka itu satu
sama lain lindung-melindungi, dan terhadap orang-orang yang beriman, tetapi
belum hjrah, maka tidak ada kewajiban sedikitpun atasmu melindungi mereka,
sebelum mereka berhijrah, akan tetapi jika mereka meminta pertolongan
kepadamu danlam urusan pembelaan agama, maka kamu wajib memberikan
pertolongan kecuali terhadap kaum yang telah ada perjanjian anatara kamu
dengan mereka. Dan Allah Maha Melihat apa yang kamu kerjakan.”
8. Bersahabat dengan kekuasaan kekuasaan netral (QS Al Mumtahanah: 8-9)
“Sesungguhnya Allah hanya melarang kamu menjadikan sebagai kawanmu
orang-orang yang memerangimu karena agama dan mengusir kamu dari
negerimu, dan membantu orang lain untuk mengusirmu, dan barang siapa
menjadikan mereka sebagai kawan, maka mereka itulah orang-orang yang
zalim.”
9. Kehormatan dalam hubungan Internasiona
10. Persamaan Keadilan untuk para penyerang (QS AL Baqarah: 190, An Nahl:
126, Asy Syura’: 40)
“Dan perangilah dijalan Allah orang-orang yang memerangimu, tetapi
janganlah kamu melampaui batas, karena sesungguhnya Allah tidak menyukai
orang-orang yang melampaui batas.”
Islam sebagai sebuah agama yang mencakup persoalan spiritual dan politik telah
memberikan konstribusi yang cukup signifikan terhadap kehidupan politik di Indonesia.
Pertama ditandai dengan munculnya partai-partai yang berasaskan Islam serta partai
nasionalis yang berbasis umat Islam. Ke dua ditandai dengan sikap pro aktifnya tokoh-
tokoh politik Islam dan umat Islam terhadap keutuhan negara, negara kesatuan
Republik Idonesia sejak proses kemerdekaan, masa-masa mempertahankan
kemerdekaan, masa pembangunan hingga sekarang masa reformasi.
PENUTUP
3.1 KESIMPULAN
Islam adalah agama yang mengatur kehidupan manusia, termasuk tentang negara
dan politik. Politik (siyasah) adalah pemeliharaan urusan umat (ri’ayatu syuunil ummah),
dalam dan luar negeri. Pelaksana praktisnya adalah daulah (negara). Sedangkan umat
melakukan muhasabah (kritik, saran, dan nasihat) kepada daulah (khalifah). Politik dalam
negeri dilaksanakan negara untuk memelihara urusan umat dengan melaksanakan mabda
(aqidah dan peraturan-peraturan) Islam di dalam negeri. Politik luar negeri dilakukan
daulah untuk memelihara urusan umat di luar negeri dengan menjalin hubungan
internasional dan menyebarkan mabda Islam ke seluruh dunia (lihat Mafahim Siyasah
lihizbi Tahrir, An Nabhani. Umat Islam wajib menyibukkan diri dalam menggeluti
masalah-masalah politik internasional maupun regional sehingga paham akan fakta
politik yang sedang terjadi dan mampu mengambil sikap berdasarkan mabda Islam, untuk
memelihara kepentingan umat dan daulah baik di dalam maupun di luar negeri.
Rasulullah saw bersabda : “Siapa saja yang bangun pagi-pagi dan tidak memperhatikan
urusan (kepentingan) kaum muslimin, maka ia tidak termasuk golongan mereka (kaum
muslimin)”
DAFTAR PUSTAKA
1. http://www.hudzaifah.org/Article64.phtml
2. http://www.al-ulama.net/home-mainmenu-1/articles/255-politik-ala-islam-benarkah.html
3. http://hbmulyana.wordpress.com/2008/01/19/politik-luar-negeri-negara-khilafah/
5. http://www.scribd.com/doc/38610943/MAKALAHSI
http://padepokanpena.wordpress.com/2008/09/06/kontribusi-islam-dalam-peta- perpolitikan-
indonesia
6 . http://www.khabarislam.com/tata-negara-islam-menurut-taqiyuddin-an-nabhani.html
7. .http://www.al-ulama.net/home-mainmenu-1/articles/255-politik-ala-islam-benarkah.html
(Dosen Fakultas Syari’ah IAIN dan DLB pada Jurusan Ilmu Politik, FISIP Unand Padang )
http://efrinaldi.multiply.com/journal/item/8
9..http://hbmulyana.wordpress.com/2008/01/19/politik-luar-negeri-negara-khilafah
11. Acep Djazuli, Fiqih Siasah, Bandung,Sunan Gunung Sjati Pers, 1990.
13. Munawir Sjadzali, Islam dan Tata Negara, Jakarta UI Press, 1993.
15. John L. Esposito, Islam dan Politik, tr. Joesoef Sou’yb, Jakarta Bulan Bintang, 1990.
16. Ahmad Sukarja, Piagam Madinah dan Undang-Undang Dasar 1945 Kajian Perbandingan,
Jakarta, UI Press, 1995
17. Kuntowijoyo, Identitas Politik Umat Islam, Bandung, Mizan, tahun 1997.
18. Suyuti Pulungan, Fiqih Siasah Ajaran, sejarah dan Pemikiran, Jakarta, Rajawali Pers,
1994.