Anda di halaman 1dari 10

BAB I

PENDAHULUAN

Latar Belakang

Setelah sedikit banyak kita mengkaji hukum mulai dari pengertian hukum itu sendiri
lalu segala aspek yang mendukung terjadinya kaedah hukum kemudian pembidangan
hukum itu tersebut dan lain sebagainya, kini kita akan mencoba mengupas satu dari
pengklasifikasian hukum-hukum tersebut yaitu Hukum International atau hukum antar
negara dan antar organisasi internasional, atau bisa kita sebut hukum transnasional,
termasuk didalamnya hukum diplomatik dan konsuler, kali ini kita akan mencoba sedikit
menelaah hakikat dan teori-teori tentang dasar hukum internasional. Hukum internasional
itu sendiri hadir dari beberapa konvensi dan juga resolusi-resolusi PBB, dengan satu tujuan
suci tiada lain ialah membina masyarakat internasional yang bersih dari segala hal yang
berbau merugikan sesuatu negara, dengan demikian dapat mempererat terjalinnya
hubungan internasional atau hubungan antar negara secara sehat, dinamis dan harmornis.

Jika berbicara mengenai dasar berlakunya hukum internasional, maka sebelumnya


timbul pertanyaan “Apakah Hukum Internasional Benar-Benar Hukum ?”

“Satu teori yang telah memperoleh pengakuan luas adalah bahwa hukum internasional
bukan hukum yang sebenarnya, melainkan suatu himpunan kaidah perilaku yang hanya
mempunyai kekuatan moral semata.”

Penulis Yurisprudensi atau ilmu pengetahuan dan filsafat hukum berkebangsaan Inggris,
John Austin (1790-1859), dianggap sebagai pendukung utama teori ini. Penulis lain yang
juga mempertanyakan karakter sebenarnya dari hukum internasional adalah Hobbes,
Pufendor, dan Bentham.

Pandangan Austin terhadap hukum internasional diwarnai oleh teorinya mengenai


hukum pada umumnya. Menurut teori Austin ini, hukum strict sensu dihasilkan dari
keputusan-keputusan formal yang berasal dari badan legislative yang benar-benar
berdaulat. Secara logis, apabila kaidah-kaidah yang bersangkutan pada analisis akhir bukan
berasal dari suatu otoritas yang berdaulat, yang secara politis berkedudukan paling tinggi,
atau apabila tidak terdapat otoritas yang berdaulat demikian, maka kaidah-kaidah tersebut
tidak dapat digolongkan kedalam kaidah-kaidah hukum, melainkan hanya kaidah-kaidah
dengan validitas moral atau etika semata-mata. Penamaan teori umum ini terhadap hukum
internasional karena tidak ada yang dinamakan otoritas yang memiliki kekuasaan legislative

1
atau otoritas yang secara tegas berkuasa atas masyarakat Negara-negara, dank arena hingga
saat inikaidah-kaidah hukum internasional bukan hukum yang sebenarnya melainkan hanya
“moralitas internasional positif” (positive international morality), yang dapat disamakan
dengan kaidah-kaidah yang mengikat suatu kelompok atau masyarakat. Lebih lanjut Austin
menggambarkan menggambarkan hukun internasional sebagai terdiri dari “opini-opini atau
sentiment-sentimen yang berlangsung diantara bangsa-bangsa pada umumnya”.
Pandangannya ini sesuai klasifikasinya mengenai tiga kategori hukum, yaitu Hukum Tuhan
(divine law), hukum positif (positive law), dan moralitas positif (positive morality).

2
BAB II

HAKIKAT DAN TEORI-TEORI DASAR BERLAKUNYA HUKUM INTERNASIONAL

A. HAKIKAT HUKUM INTERNASIONAL

Definisi Hukum Internasional

Berangkat dari pentingnya hubungan lintas negara disegala sektor kehidupan


seperti politik, sosial, ekonomi dan lain sebagainya, maka sangat diperlukan hukum yang
diharap bisa menuntaskan segala masalah yang timbul dari hubungan antar negara
tersebut. Hukum Internasional ialah sekumpulan kaedah hukum wajib yang mengatur
hubungan antara person hukum internasional (Negara dan Organisasi Internasional),
menentukan hak dan kewajiban badan tersebut serta membatasi hubungan yang terjadi
antara person hukum tersebut dengan masyarakat sipil.

Oleh karena itu hukum internasional adalah hukum masyarakat internasional yang
mengatur segala hubungan yang terjalin dari person hukum internasional serta
hubungannya dengan masyarakat sipil.

Hukum internasional mempunyai beberapa segi penting seperti prinsip kesepakatan


bersama (principle of mutual consent), prinsip timbal balik (priniple of reciprocity), prinsip
komunikasi bebas (principle of free communication), princip tidak diganggu gugat (principle
of inciolability), prinsip layak dan umum (principle of reasonable and normal), prinsip
eksteritorial (principle of exterritoriality), dan prinsip-prinsip lain yang penting bagi
hubungan diplomatik antarnegara.

Maka hukum internasional memberikan implikasi hukum bagi para pelangarnya,


yang dimaksud implikasi disini ialah tanggung jawab secara internasional yang disebabkan
oleh tindakan-tindakan yang dilakukan sesuatu negara atau organisasi internasional dalam
melakukan segala tugas-tugasnya sebagai person hukum internasional.

Dari pengertian diatas dapat kita simpulkan unsur-unsur terpenting dari hukum
internasional:

1. Objek dari hukum internasional ialah badan hukum internasional yaitu negara dan
organisasi internasional.
2. Hubungan yang terjalin antara badan hukum internasional adalah hubungan
internasional dalam artian bukan dalam scope wilayah tertentu, ia merupakan

3
hubungan luar negeri yang melewati batas teritorial atau geografis negara, berlainan
dengan hukum negara yang hanya mengatur hubungan dalam negeri .
3. Kaedah hukum internasional ialah kaedah wajib, seperti layaknya semua kaedah hukum,
dan ini yang membedakan antara hukum internasional dengan kaedah internasional
yang berlaku dinegara tanpa memiliki sifat wajib seperti life service dan adat kebiasaan
internasional.

Jika hukum nasional ialah hukum yang terapkan dalam teritorial sesuatu negara
dalam mengatur segala urusan dalam negeri dan juga dalam menghadapi penduduk yang
berdomisili didalamnya, maka hukum internasional ialah hukum yang mengatur aspek
negara dalam hubungannya dengan negara lain.

B. TEORI-TEORI MENGENAI DASAR HUKUM INTERNASIONAL

Banyak kontroversi teoritis yang muncul mengenai hakikat dasar hukum


internasional. Pembahasan atas teori-teori hukum internasional itu mungkin akan
membantu menjelaskan sebagian besar aspek penting dari pokok permasalahan tersebut.

1. Teori Hukum Alam atau Kodrat (Natural Law)

Sebagaimana telah kita ketahui, sejak zaman dahulu konsep hukum alam telah
memberikan pengaruh penting terhadap hukum internasional. Beberapa teori mengenai
sifat dan kekuatan mengikat hukum internasional telah didasarkan pada konsep–konsep ini.

Pertama-tama hukum alam mempunyai kaitan semi-Teologis, tetapi Grotius


sebegitu jauh telah mensekularisasi konsep itu, dan seperti diterapkan oleh pengikut-
pengikutnya, hukum alam diartikan sebagai hukum ideal yang didasarkan atas sifat hakikat
manusia sebagai makhluk berpikir, sebagai seangkaian kaidah yang diturunkan oleh alam
kepada akal budi manusia. Atas konsepsi dasar inilah para teoritikus membangun berbagai
macam kerangka, beberapa penulis berpendapat bahwa hukum internasional memperoleh
kekuatan megikat dari fakta bahwa hukum ini hanyalah suatu penerapan terhadap keadaan-
keadaan tertentu dari hukum alam. Dengan perkataan lain, negara-negara tunduk kepada
hukum internasional karena hubungan-hubungan mereka diatur oleh hukum yang lebih
tinggi- hukum alam, dimana hukum internasional hanya merupakan salah satu bagian dari
padanya. Konsep hukum alam menjalani spesialisasi lebih pada abad ke-18.

4
Penolakan umum terhadap teori-teori yang didasarkan atas hukum alam adalah
bahwa masing-masing teoritikus mempergunakannya sebagai suatu kiasan bagi konsepsi
yang lebih kongkret seperti nalar, keadilan, kemanfaatan, kepentingan-kepentingan umum
masyarakat internasional, kebutuhan atau perintah-perintah agama. Hal ini banyak
menimbulkan kebingungan, khususnya karena penafsiran hukum alam ini sangat berlain-
lainan.

Jejak-jejak teori hukum alam masih bertahan hingga saat ini, walaupun dalam
bentuk yang kurang begitu dogmatis. Dikatakan oleh Kelsen : “ Teori hukum alam, yang
dominan selama abad ke-17 dan abad ke-18, setelah mengalami kejenuhan pada abad ke-
19, telah bangkit kembali pada abad ke-20 sebagai latar depan filsafat sosial dan hukum,
bersama-sama dengan pemikiran keagamaan dan metafisika “. Suatu pendekatan yang
mirip denagn pendekatan hukum alam mewarnai gerakan yang berlangsung saat ini untuk
mengikat negara-negara terhadap perjanjian-perjanjian internasional agar supaya
memperhatikan hak-hak manusia dan kebebasan-kebebasan fundamental, sementara itu
smapi tingkat-tingkat tertentu filsafat hukum alam melandasi Rancangan Deklarasi
mengenai Hak-Hak dan Kewajiban-Kewajiban Negara ( Draft Declaration on the Rights and
Duties of States ) tahun 1949 yang dipersiapkan oleh Komisi Hukum Internasional PBB.
Hukum alam juga dikemukakan untuk membenarkan penghukuman pelaku-pelaku tindak
pidana, kesalahan dari pelaku kelalaian dan kebrutalan kejahatan-kejahatan perang. Di
samping itu, terdapat penulis-penulis yang menganut pandangan sosiologis internasional,
yang memperlakukan konsepsi hukum alam identik dengan akal budi dan keadilan yang
diterapkan kepada masyarakat internasional, dan yang melihat hukum alam sebagai
penjelasan garis-garis perkembangan hukum internasional di masa mendatang.

Karena karakter rasional dan idealistiknya, konsepsi hukum alam telah menanamkan
pengaruh besar – suatu pengaruh yang memberikan sumbangan terhadap perkembangan
hukum internasional. Meskipun konsep itu kurang jelas, cenderung merupakan doktrin
subyektif dan kurang obyektif, namu paling sedikit konsep hukum alam telah menanamkan
penghargaan terhadap hukum internasional, dan memberikan, masih tetap memberikan,
landasan-landasan moral dan etika yang tidak dapat diabaikan. Mengenai hal ini, kelemahan
utamanya mengenai keterasingannya dari realita-realita hubungan internasional yang
tampak dalam hal kurangnya penekanan atas praktek akyual yang diikuti negara-negara
dalam hubungan-hubungan timbal-balik mereka, meskipun sebagian besar kaidah hukum
internasional berasal dari praktek seperti ini.

5
2. Teori Positivisme

Teori yang dikenal dengan sebutan positivisme mendapat dukungan luas, dan telah
dianut oleh sejumlah penulis terkemuka. Kita sebelumnya telah melihat Bynkershoek
adalah seoran positivis pada abad ke-18, tetapi teori-teori kaum positivis modern telah
mengalami perbaikan-perbaikan dan dinyatakan dalam generalisasi-generalisasi yang tidak
dijumpai dalam tulisan-tulisan Bynkershoek.

Penganut-penganut positivis, berpendapat bahwa kaidah-kaidah hukum


internasional pada analisis terakhir memiliki karakter yang sama dengan hukum nasional
( hukum negara ), positif sepanjang kaidah-kaidah hukum tersebut juga berasal dari
kehendak negara. Mereka yakin bahwa hukum internasional secara logis dapat
dikembalikan kepada suatu sistem kaidah yang untuk validitasnya akan bergantung hanya
pada fakta bahwa negara-negara telah menyatakan kesetujuannya.

Positivisme mulai dari premis-premis tertentu, bahwa negara merupakan suatu


kenyataan metafisika dengan nilai dan maknanya sendiri, dan bahwa didukung oleh realitas
demikian negara itu juga dipandang mempunyai kehendak. Pengrtian kehendak negara
( state will ) ini berasal dari ahli filsafat Jerman yang terkenal, Hegel. Terhadap kehendak
negara itu penganut-penganut positivisme menyematkan kedaulatan dan otoritas lengkap.

Sesuai dengan asumsi-asumsi awal mereka, penganut positivisme menganggap


hukum internasional terdiri dari kaidah-kaidah tersebut, di mana berbagai kehendak negara
telah diterima oleh proses pembatasan sukarela. Tanpa ada persetujuan demikian hukum
internasional tidak akan mengikat terhadap masyarakat negara-negara. Zorn, salah seorang
yang punya karakteristik positivisme, benar-benar menganggap hukum internasional
sebagai cabang dari hukum tata negara, sebagai hukum publik eksternal, dan hanya karena
alasan itulah hukum internasional mengikat negara-negara.

Penganut-penganut positivis membenarkan kesulitan dalam penerapan teori


mereka terhadap hukum kebiasaan internasional. Mereka mengakui bahwa kadang-kadang
tidak mungkin menemukan suatu persetujuan tegas dalam traktat-traktat, dokumen-
dokumen negara, dokumen-dokumen umum, nota-nota diplomatik dan lain-lain, untuk
terikat oleh kaidah-kaidah kebiasaan khusus. Oleh karena itu, sesuai dengan teori
konsensualnya, mereka menyatakan bahwa dalam kasus-kasus kekecualian demikian
persetujuan itu harus dianggap dilakukan secara diam-diam atau implisit. Alasan ini
seringkali diikuti dengan pernyataan lebih lanjut bahwa keanggotaan masyarakat negara-
negara meliputi persetujuan secara diam-diam untuk mengikatkan berlakunya kaidah-
kaidah kebiasaan hukum internasional. Sepintas lalu, dan inilah yang merupakan
persoalannya, persertujuan umum demikian hanya dapat ditentukan oleh semacam kaidah

6
fundamental hukum internasional itu sendiri, dan masih akan memerlukan penjelasan
tentang sumber-sumber dan asal mula kaidah fundamental ini.

Positivis terkenal adalah yuris Italia, Anzilotti ( 1867-1950 ), yang pernah menjabat
sebagai hakim pada Permanent Court of International Justice dari tahun 1921-1930.
Menurut pendapat Anzilotti, kekuatan mengikat hukum internasional dapat ditelusuri ulang
sampai suatu prinsip atau norma tertinggi dan fundamental, prinsip yang lebih dikenal
sebagai pacta sunt servanda. Norma ini merupakan dalil absolut dari hukum intenasional,
dan dengan cara apapun menjelmakan diri dalam semua kaidah termasuk hukum
internasional.

Kelemahan pokok dari analisis ini adalah bahwa norma pacta sunt servada hanya
merupakan penjelasan sebagian dari kekuatan mengikat dari hukum internasional.
Pendapat Anzilotti bahwa kaidah-kaidah kebiasaan mengikat terhadap negara-negara
karena fakta implisit ( traktat ) kurang meyakinkan dibandingkan argumentasi persetujuan
diam-diam dari positivis-positivis yang lain.

Keberatan-keberatan utama terhadap positivisme secara keseluruhan dapat


diformulasikan sebagai berikut :

1.) Pemikiran mengenai kehendak negara ( state will ) semata-mata merupakan kiasan,
dan dipakai untuk menyatakan fakta bahwa hukum internasional mengikat terhadap
negara. Ide tersebut tidak menjelaskan fakta. Sebagai contoh, apabila sebuah
traktat telah diratifikasi oleh, misalnya, Inggris, andaikata kita mau kita dapat
menyatakan bahwa ratifikasi itu merupakan suatu pernyataan kehendak Inggris
untuk terikat oleh traktat yang bersangkutan, bahasa ini, meskipun menarik dan
berkiasan, namun hanya menggambarkan suatu keadaan fakta, dan bahwa rakyat
Inggris melalui wakil-wakil mereka bertanggungjawab untuk memenuhi kewajiban-
kewajiban traktat tersebut. Kehendak negara dengan demikian hanyalah suatu
facon de parler, hanyalah kehendak atau kehendak-kehendak yang berasal dari
individu-individu yang memerintah Inggris.

2.) Sulit untuk menyatukan fakta dengan suatu teori konsensual hukum internasional.
Dala hal kaidah kebiasaan, terdapat beberapa contoh di mana sungguh tidak
memungkinkan untuk menemukan persetujuan negara-negara terhadap pengaruh
mengikatnya kaidah-kaidah ini. Lebih lanjut, teori konsensual tidak berlaku dalam
kasus pentingmenyangkut negara baru yang diterima dalam keluarga besar bangsa-
bangsa, sebagai contoh, negara-negara Afrika yang muncul mulai tahun 1957.

7
Negara baru tersebut terikat oleh hukum internasional sejak saat kemerdekaannya
tanpa adanya tindakan perstujuan yang tegas. Pemikiran dalam contoh tersebut
terdapat suatu persetujuan diam-diam atau implisit, hanya berupa pemutarbalikan
fakta. Kenyataannya adalah bahwa negara-negara lain mengharapkan negara baru
tersebut tunduk pada keseluruhan hukum internasional yang telah ada. Ini secara
konsisten telah menjadi sikap dua negara besar, Amerika Serikat dan Inggris.

3.) Dalam praktek tidak pernah diperlukan seandainya dimintakan suatu kaidah hukum
internasional tertentu terhadap negara tertentu untuk memperlihatkan bahwa
negara tersebut telah menyetujuinya secara diplomatis. Yang dipertanyakan adalah
apakah kaidah tersebut merupakan suatu kaidah yang diakui secara umum oleh
masyrakat negara-negara.

4.) Terdapat contoh-contoh kongkret saat ini mengenai kaidah-kaidah traktat yang
ditetapkan melalui traktat-traktat yang membuat hukum yang berpengaruh
terhadap negara-negara tanpa suatu bentuk persetujuan yang tegas oleh atau yang
diakibatkan oleh mereka. Sebuah contoh jelas adalah ayat 6 pasal 2 Charter
Perserikatan Bangsa Bangsa, yang menentukan bahwa PBB harus menjamin bahwa
negara-negara yang bukan anggota akan bertindak sesuai dengan prinsip-prinsip
Charter sejauh akan diperlukan untuk memelihara perdamaian dan keamanan
Inetrnasional.

Keberatan-keberatan terhadap positivisme tidak sepenuhnya benar-benar tuntas,


akan tetapi cukup bisa menggambarkan kelemahan-kelemahan pokok teori tersebut.
Kekeliruan dari dalil ini adalah bahwa suatu manifestasi konsensual diperlukan sebelum
hukum internasional dapat berlaku.

Kendatipun banyak mengandung kelemahan, teori positivisme memberikan


pengaruh penting terhadap ilmu pengetahuan hukum internasional. Teori ini telah
memusatkan perhatian pada praktek nyata negara-negara dengan menekankan, bahwa
terlalu menekankan, bahwa hanya kaidah yang benar-benar ditaati negara-negara yang
dapat menjadi kaidah-kaidah hukum internasional. Hal ini menjurus kepada pandangan
yang lebih realistis dalam karya-karya hukum internasional, dan mengarah pada
penghapusan pandangan-pandangan yang sifatnya akademis, mandul, dan doktrinal.

8
BAB III

PENUTUP

KESIMPULAN

Pengertian secara umum dari hukum Internasional adalah, bahwa istilah “hukum”
masih diterjemahkan sebagai aturan, norma atau kaidah. Sedangkan istilah internasional
menunjukankan bahwa hubungan hukum yang diatur tersebut adalah subyek hukum yang
melewati batas wilayah suatu negara, yaitu hubungan antara negara dengan negara, negara
dengan subyek hukum bukan negara satu dengan lainnya, serta hubungan antara subyek
hukum bukan negara satu dengan subyek hukum bukan negara lainnya.

Menyikapi konfrotasi pendapat yang berbeda antara para pakar Hukum


Internasional mengenai sifat “hukum” dalam hukum Internasional : John Austin  yang
mengatakan bahwa hukum Internasional adalah “bukan hukum”, hanya “properly so
called”, “moral saja” dengan alasan yang mendasari bahwa  hukum Internasional tidak
memiliki sifat “hukum”, yakni dalam hal :

1. Hukum Internasional tidak memiliki lembaga legeslatif sebagai lembaga yang


bertuga membuat hukum;
2. Hukum Internasional tidak memiliki lembaga eksekutif sebagai lembaga yang
melaksanakan hukum;
3. Hukum Internasional juga tidak memilki lembaga yudikatif sebagai lembaga yang
megakakan hukum;
4. Hukum Internasional juga tidak memiki polisional sebagai lembaga yang mengawasi
jalanya atau pelaksanaan hukum.

Dengan demikian menurut Kelsen, jika terdapat negara yang melanggar hukum
internasional maka tidak ada kekuasaan apapun yang dapat memberikan sanksi kepada
negara tersebut. Negara mau mentaati atau tidak terhadap ketentuan internasional itu
adalah terserah dari negara yang bersangkutan. Jadi hukum internasional tidak tepat
dikatakan sebagai hukum melainkan hanya norma saja atau adat istiadat saja.

9
DAFTAR PUSTAKA

Soekanto, Soerjono,.1993. Sendi-sendi Ilmu Hukum dan Tata Hukum. Bandung: Citra
Aditya.

Starke, J.G..2008. Pengantar Hukum Internasional. Jakarta : Sinar Grafika.

Suryokusumo, Sumaryo. 1995. Hukum Diplomatik Teori dan Kasus. Bandung: Alumni.

10

Anda mungkin juga menyukai