KASUS JIWASRAYA
OLEH:
Fanny Cynthia Dewi
NRP: 120117036
Fakultas Hukum
Universitas Surabaya
2020
BAB I
Pendahuluan
I. Latar Belakang
Dewasa ini korporasi memiliki peranan yang besar bahwa dalam mencapai cita-
cita bangsa yaitu mewujudkan kemakmuran bagi seluruh rakyat Indonesia. Peran
korporasi semakin kuat pada era globalisasi yang sedang dialami oleh seluruh
komponen di dunia ini. Korporasi berkedudukan sebagai subjek ekonomi global yang
kuat dan memiliki daya tekan lebih kuat dibandingkan perseorangan, karena potensi
kerugian yang dapat ditimbulkan jauh lebih besar daripada perserorangan.
Peran korporasi sebagai aktor sosial sangat besar dan penting seiring dengan
semakin kompleks dan majunya kehidupan masyarakat. Namun saat ini terdapat
ketidakjelasan mengenai konsep korporasi sebagai subjek hukum pidana dan entitas
apa saja yang bisa dipertanggungjawabkan dalam hukum pidana. Disamping itu,
pengaturan mengenai pembebanan pertanggungjawaban pidana bagi korporasi masih
sangat minim, terutama mengenai pemisahan pertanggungjawaban pidana korporasi
dan pengurus (subjek manusia) ketika terjadi suatu tindak pidana di dalam korporasi.
Salah satu kasus hukum yang menjadikan korporasi sebagai subjek hukum pidana
adalah kasus PT Asuransi Jiwasraya. Terungkapnya kasus salah kelola usaha PT
Asuransi Jiwasraya telah menyita perhatian publik. Ketiadaan likuiditas membuat
Jiwasraya mengalami gagal bayar klaim nasabah sebesar Rp12,4 triliun per Desember
2019.
1. Korporasi sebagai subjek hukum pidana dan akibat hukum yang ditimbulkan
dari kasus PT Asuransi Jiwasraya.
2. Analisa terkait kasus PT Asuransi Jiwasraya tersebut termasuk jenis kejahatan
korporasi apa dan mengapa.
3. Pentingnya pedoman perilaku dalam bisnis serta tata kelola yang baik dalam
kasus yang menimpa PT Asuransi Jiwasraya.
4. Perkembangan hukum positif di Indonesia dalam menjerat pelaku dalam
kejahatan korporasi menurut kasus PT Asuransi Jiwasraya.
BAB II
Pembahasan
2
Ratomi, Achmad. Korporasi Sebagai Pelaku Tindak Pidana (Suatu Pembaharuan
Hukum Pidana Dalam Menghadapi Arus Globalisasi Dan Industri), Jurnal Al’Adl,
2018, Vol. 10 No. 1.
3
Hanafi, “Strict Liability dan Vicarious Liability” dalam “Hukum Pidana”,
(Yogyakarta: Lembaga Penelitian, Universitas Islam Indonesia, 1997), hal. 64
4
Sue Titus Reid, “Criminal Law”, Third Edition, (New Jersey: Prentice Hall, 1995),
hal. 53. Wayne R LaFave & Austin W. Scott Jr., “Criminal Law”, (Michigan: West
Publishing co, 1982, hal. 228.
5
Muladi dan Dwidja Priyatno, Pertanggungjawaban Korporasi Dalam Hukum Pidana,
Bandung: STHB, 1991.Hlm. 140
undang-undang sudah dapat dipidana tanpa mempersoalkan apakah si pelaku
mempunyai kesalahan (mens rea) atau tidak. Jadi sesorang yang sudah
melakukan tindak pidana yang memenuhi rumusan undang-undang harus atau
mutlak dapat dipidana.6
3. Vicarious Liability Doctrine ini sering diartikan sebagai pertanggungjawaban
pengganti (pertanggungjawaban menurut hukum dimana seseorang atas
perbuatan salah yang dilakukan oleh orang lain” (the legal responsibility of
one person for the wrongful acts of another).7
Menurut ahli hukum Dr. Yusuf Sofie S.H.,M.H adapun pengertian dari crime for
corporation, crime against corporation, atau criminal corporation yakni:9
6
Barda Nawawi Arief, “Perbandingan Hukum Pidana”, (Jakarta: PT Rajagrafindo
Persada, 2010), hal. 40
7
Barda Nawawi Arief, “Perbandingan Hukum Pidana”, (Jakarta: PT Rajagrafindo Persada, 2010), hal.
41
8
Arief, B. N. (1998). Perbandingan hukum pidana. Jakarta: Raja Grafindo Persada.
9
Dr. Yusuf Sofie S.H.,M.H, Pelaku Usaha, Konsumen dan Tindak Pidana Korporasi, (Jakarta: Ghalia
Indonesia, 2002), Hlm. 44 ; Hamzah Hatrik, “Asas Pertanggungjawaban Korporasi dalam Hukum
Pidana Indonesia (Strict Liability dan Vicarious Liability)”, (Jakarta: Rajagrafindo Persada, 1995), hal.
41.; Muladi dan Dwidja Priyatno, “Pertanggungjawaban Korporasi Dalam Hukum Pidana”, (Bandung:
1. Crimes for corporation, yakni kejahatan atau pelanggaran hukum yang
dilakukan oleh korporasi dalam mencapai usaha dan tujuan tertentu guna
memperoleh keuntungan.
2. Criminal corporation, yaitu korporasi yang bertujuan semata-mata untuk
melakukan kejahatan. (dalam hal ini korporasi hanya sebagai kedok dari suatu
organisasi kejahatan).
3. Crimes against corporation, yaitu kejahatan-kejahatan terhadap korporasi
seperti pencurian atau penggelapan milik korporasi, dalam hal ini korporasi
sebagai korban.
Data yang diperoleh dan dilakukan penegak hukum kemudian dilanjutkan kepada
Kepolisan, Kejaksaan bahkan KPK untuk bekerja sama. Dalam hal ini, pemerintah
dan DPR tidak melindungi korporasi yang telah melakukan suatu kejahatan korporasi.
Selain melaporkan kepada pihak berwajib, Kemenkeu juga melakukan rapat dengan
Kementrian BUMN, OJK serta Komisi VI DPR terkait kasus PT Asuransi Jiwasraya
ini dengan alasan kasus Jiwasraya masuk ke dalam persoalan tata kelola perusahaan.
Direktur Utama Jiwasraya Hexana Tri Sasongko meminta maaf kepada para
nasabah karena tidak bisa membayarkan polis tersebut. Namun, PT Jiwasraya berjanji
untuk melunasi tanggungjawabnya. Dengan adanya pendirian anak usaha, Jiwasraya
Putra juga belum bisa menutupi sepenuhnya. PT Jiwasraya sendiri berjanji apabila
Dikatakan adanya tindak pidana pencucian uang karena aliran uang PT Asuransi
Jiwasraya ini tidak diketahui. Jiwasraya diduga rugi karena dalam kasus gagal bayar
tersebut tidak adanya perolehan keuntungan yang diambil untung keuntungan
korporasi itu sendiri sehingga tidak bisa membayar tagihan. Namun apabila begitu,
berarti ada tindak pidana pencucian uang serta korupsi yang dilakukan oleh pribadi
demi keuntungan pribadi itu sendiri. PT Asuransi Jiwasraya dalam kasus ini juga
menjadi korban karena tidak dapat membayar polis nasabah karena aliran uang dalam
PT Asuransi Jiwasraya ini sendiri tidak diketahui jelasnya bagaimana.
Korporasi yang baik harus memenuhi beberapa hal menurut Keith Davis dan
Robert Blomstorm (Principles of Business Conduct),
1. To maintain (memelihara martabat kemanusiaan dan hakekat kemanusiaan);
2. To earn (penghasilan atas dasar fair profit);
3. To merit (menghargai kepercayaan konsumen/pemasok dan perusahaan
saingan);
4. To support (membantu program-program sosial);
5. To fulfill (memenuhi tanggung jawab terhadap masyarakat dan negara);
6. To require (mencegah dari tindakan tercela);
7. To perpetuate (mengabdikan integritas perusahaan);
Tata kelola perusahaan yang baik sesuai Pasal 2 ayat (2) Peraturan Otoritas Jasa
Keuangan No.73/POJK.05/2016 tentang Tata Kelola Perusahaan yang Baik bagi
Perusahaan Perasuransian ialah
a. keterbukaan (transparency), yaitu keterbukaan dalam proses pengambilan
keputusan dan keterbukaan dalam pengungkapan dan penyediaan informasi yang
relevan mengenai Perusahaan Perasuransian, yang mudah diakses oleh Pemangku
Kepentingan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang
perasuransian serta standar, prinsip, dan praktik penyelenggaraan Usaha
Perasuransian yang sehat;
b. akuntabilitas (accountability), yaitu kejelasan fungsi dan pelaksanaan
pertanggungjawaban Organ Perusahaan Perasuransian sehingga kinerja
Perusahaan Perasuransian, dapat berjalan secara transparan, wajar, efektif, dan
efisien;
c. pertanggungjawaban (responsibility), yaitu kesesuaian pengelolaan Perusahaan
Perasuransian dengan ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang
perasuransian dan nilai-nilai etika serta standar, prinsip, dan praktik
penyelenggaraan Usaha Perasuransian yang sehat;
d. kemandirian (independency), yaitu keadaan Perusahaan Perasuransian yang
dikelola secara mandiri dan profesional serta bebas dari Benturan Kepentingan
dan pengaruh atau tekanan dari pihak manapun yang tidak sesuai dengan
ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang perasuransian dan nilai-nilai
etika serta standar, prinsip, dan praktik penyelenggaraan Usaha Perasuransian
yang sehat; dan
e. kesetaraan dan kewajaran (fairness), yaitu kesetaraan, keseimbangan, dan
keadilan di dalam memenuhi hak-hak Pemangku Kepentingan yang timbul
berdasarkan perjanjian, ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang
perasuransian, dan nilai-nilai etika serta standar, prinsip, dan praktik
penyelenggaraan Usaha Perasuransian yang sehat.
Dalam kasus PT Asuransi Jiwasraya tidak memenuhi tata kelola perusahaan yang
baik karena tidak menjalankan beberapa hal yang telah disebutkan oleh Keith Davis
dan Robert Blomstorm. PT Asuransi Jiwasraya tidak dapat menjaga kestabilan
perusahaan (to earn) ditunjukan dengan adanya gagal bayar terhadap polis nasabah
sebesar Rp. 12,4 triliun. Karena kegagalannya dalam pembayaran polis terhadap
nassabah, dapat merusak kepercayaan yang telah dimiliki para nasabah terhadap PT
Asuransi Jiwasraya itu sendiri (to merit). PT Asuransi Jiwasraya ini sendiri
merupakan BUMN, yang dimana seharusnya dapat memenuhi tanggung jawab yang
dimiliki korporasi ini terhadap masyarakat dan negara. Namun dalam hal ini, PT
Asuransi Jiwasraya tidak dapat bertanggungjawab atas polis-polis nasabah yang
berujung pada gagal bayar (to fulfill). Karena kesalahannya tersebut, PT Asuransi
Jiwasraya telah mencemarkan nama korporasinya sendiri (to require). Meskipun telah
mendirikan anak usaha yaitu Jiwasraya Putra pun tidak dapat membayar tanggungan
korporasi sepenuhnya. Telah gagal mengabdikan integritas perusahaan (to perpetuate)
sehingga apa yang telah dilakukan PT Asuransi Jiwasraya ini dapat disebut sebagai
suatu kejahatan korporasi.
BAB III
Kesimpulan
Kasus salah kelola pada PT Asuransi Jiwasraya yang merupakan BUMN dapat
menurunkan kepercayaan masyarakat terhadap perusahaan asuransi di Indonesia. Hal
ini menjadi pelajaran berharga bagi pemerintah khususnya OJK dalam mengatur dan
menata industri perasuransian ke depan dan mengambil solusi yang terbaik dalam
penyelesaiannya. Penyelematan dana nasabah dan investor, merupakan upaya yang
mendesak untuk dilakukan pemerintah ke depan. Perlu terus dilakukan pengawasan
intensif untuk menjaga stabilitas sistem keuangan, khususnya industri perasuransian.
DPR RI perlu mendesak Kementerian BUMN agar segera menentuk OJK untuk
meningkatkan pembinaan dan pengawasan yang intensif terhadap lembaga-lembaga
keuangan khususnya non-bank. Hal ini dikarenakan kasus PT Asuransi Jiwasraya
dapat berdampak sistemik pada sektor keuangan non-perbankan, di mana transaksinya
menyangkut para investor dan nasabah pemegang polis dalam jumlah yang sangat
banyak.