Anda di halaman 1dari 12

ANALISIS TERKAIT

KASUS JIWASRAYA

OLEH:
Fanny Cynthia Dewi
NRP: 120117036

Fakultas Hukum
Universitas Surabaya
2020
BAB I
Pendahuluan

I. Latar Belakang

Secara etimologis, pengertian korporasi dalam istilah lain dikenal dengan


corporatie (Belanda), corporation (Inggris), korporation (Jerman), berasal dari
bahasa latin yaitu “corporatio”. “Corporatio” sebagai kata benda (subatantivum)
berasal dari kata kerja “coporare” yang banyak dipakai orang pada jaman abad
pertengahan atau sesudah itu. “Corporare” sendiri berasal dari kata “corpus” (badan),
yang berarti memberikan badan atau membadankan. Dengan demikian, maka
akhirnya “corporatio” itu berarti hasil dari pekerjaan membadankan, dengan kata lain
badan yang dijadikan orang, badan yang diperoleh dengan perbuatan manusia sebagai
lawan terhadap badan manusia, yang terjadi menurut alam”.1

Dewasa ini korporasi memiliki peranan yang besar bahwa dalam mencapai cita-
cita bangsa yaitu mewujudkan kemakmuran bagi seluruh rakyat Indonesia. Peran
korporasi semakin kuat pada era globalisasi yang sedang dialami oleh seluruh
komponen di dunia ini. Korporasi berkedudukan sebagai subjek ekonomi global yang
kuat dan memiliki daya tekan lebih kuat dibandingkan perseorangan, karena potensi
kerugian yang dapat ditimbulkan jauh lebih besar daripada perserorangan.

Peran korporasi sebagai aktor sosial sangat besar dan penting seiring dengan
semakin kompleks dan majunya kehidupan masyarakat. Namun saat ini terdapat
ketidakjelasan mengenai konsep korporasi sebagai subjek hukum pidana dan entitas
apa saja yang bisa dipertanggungjawabkan dalam hukum pidana. Disamping itu,
pengaturan mengenai pembebanan pertanggungjawaban pidana bagi korporasi masih
sangat minim, terutama mengenai pemisahan pertanggungjawaban pidana korporasi
dan pengurus (subjek manusia) ketika terjadi suatu tindak pidana di dalam korporasi.

Keadaan ini mengakibatkan sangat sedikit kasus hukum yang menjadikan


korporasi dapat dituntut atas perilakunya yang bertentangan dengan ketentuan hukum.
Perilaku tersebut mengandung sanksi pidana dan ada kecenderungan untuk melihat
korporasi dan personal pengendali (directing mind) korporasi sebagai subjek hukum
1
Soetan. K. Malikoel Adil dalam Muladi dan Dwidja Priyatno, Pertanggungjawaban
KorporasiDalam Hukum Pidana, STHB, Bandung, 1991, hal. 83
yang sama, sehingga mereka dapat dipertukarkan satu dengan yang
lainnya (interchangeable) dalam hal penuntutan dan penjatuhan sanksi pidana.

Salah satu kasus hukum yang menjadikan korporasi sebagai subjek hukum pidana
adalah kasus PT Asuransi Jiwasraya. Terungkapnya kasus salah kelola usaha PT
Asuransi Jiwasraya telah menyita perhatian publik. Ketiadaan likuiditas membuat
Jiwasraya mengalami gagal bayar klaim nasabah sebesar Rp12,4 triliun per Desember
2019.

II. Rumusan Masalah

1. Korporasi sebagai subjek hukum pidana dan akibat hukum yang ditimbulkan
dari kasus PT Asuransi Jiwasraya.
2. Analisa terkait kasus PT Asuransi Jiwasraya tersebut termasuk jenis kejahatan
korporasi apa dan mengapa.
3. Pentingnya pedoman perilaku dalam bisnis serta tata kelola yang baik dalam
kasus yang menimpa PT Asuransi Jiwasraya.
4. Perkembangan hukum positif di Indonesia dalam menjerat pelaku dalam
kejahatan korporasi menurut kasus PT Asuransi Jiwasraya.
BAB II
Pembahasan

Yang termasuk kedalam subjek hukum pidana oleh pembuat Undang-Undang


adalah bahwa hanya manusia (orang-perorangan atau individu). Subjek hukum
pidana yang dikenal dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) yaitu
orang-perseorangan. Pemikiran korporasi belum dipandang sebagai subjek hukum
pidana, namun dalam perkembangannya, korporasi sudah dianggap sebagai subjek
hukum pidana. 2 Akibat hukum dari tindak pidana dalam korporasi memiliki dampak
untuk memenuhi pertanggungjawaban pidana. Marcus Flatcher dalam perkara pidana
ada 2 (dua) syarat penting yang harus dipenuhi untuk dapat menerapkan perbuatan
pidana dengan pertanggungjawaban pengganti, syarat tersebut adalah: 1) Harus
terdapat suatu hubungan pekerjaan, seperti hubungan antara majikan dan pegawai
atau pekerja; 2) Perbuatan pidana yang dilakukan oleh pegawai atau pekerja tersebut
berkaitan atau masih dalam ruang lingkup pekerjaannya.3

Adapun, tiga jenis pertanggungjawaban pidana korporasi, yaitu direct corporate


criminal liability, strict liability, dan vicarious liability.4

1. Direct corporate criminal liability: Suatu perbuatan dapat dianggap sebagai


tindak pidana yang dilakukan oleh korporasi, hanya apabila tindak pidana
tersebut dilakukan oleh pejabat senior korporasi yang memiliki kewenangan
untuk dapat bertindak sebagai directing mind dari korporasi tersebut.5
2. Strict liability merupakan absolute liability: Adapun alasan atau dasar
pemikirannya bahwa dalam perkara strict liability seseorang yang telah
melakukan perbuatan terlarang (actus reus) sebagaimana dirumuskan dalam

2
Ratomi, Achmad. Korporasi Sebagai Pelaku Tindak Pidana (Suatu Pembaharuan
Hukum Pidana Dalam Menghadapi Arus Globalisasi Dan Industri), Jurnal Al’Adl,
2018, Vol. 10 No. 1.
3
Hanafi, “Strict Liability dan Vicarious Liability” dalam “Hukum Pidana”,
(Yogyakarta: Lembaga Penelitian, Universitas Islam Indonesia, 1997), hal. 64
4
Sue Titus Reid, “Criminal Law”, Third Edition, (New Jersey: Prentice Hall, 1995),
hal. 53. Wayne R LaFave & Austin W. Scott Jr., “Criminal Law”, (Michigan: West
Publishing co, 1982, hal. 228.
5
Muladi dan Dwidja Priyatno, Pertanggungjawaban Korporasi Dalam Hukum Pidana,
Bandung: STHB, 1991.Hlm. 140
undang-undang sudah dapat dipidana tanpa mempersoalkan apakah si pelaku
mempunyai kesalahan (mens rea) atau tidak. Jadi sesorang yang sudah
melakukan tindak pidana yang memenuhi rumusan undang-undang harus atau
mutlak dapat dipidana.6
3. Vicarious Liability Doctrine ini sering diartikan sebagai pertanggungjawaban
pengganti (pertanggungjawaban menurut hukum dimana seseorang atas
perbuatan salah yang dilakukan oleh orang lain” (the legal responsibility of
one person for the wrongful acts of another).7

Tindak pidana korporasi, dalam Undang-Undang No. 31 Tahun 1999 tentang


Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana yang telah diubah menjadi
Undang-Undang No. 20 Tahun 2001 (UU Tipikor), Undang-Undang No. 32 Tahun
2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup (UU Lingkungan
Hidup), Undang-Undang No. 31 Tahun 2004 tentang Perikanan (UU Perikanan) dan
peraturan perundang-undangan lainnya, termasuk juga Undang Undang No. 40 Tahun
2014 tentang Perasuransian. Dari perumusan korporasi sebagai subjek tindak pidana
yang terdapat dalam undang-undang khusus di luar KUHP dapat disimpulkan bahwa:
(1) penentuan korporasi sebagai subjek tindak pidana hanya untuk tindak pidana
tertentu, yang diatur dalam undang- undang khusus; (2) pada awalnya tidak digunakan
istilah “korporasi”, tetapi digunakan istilah yang bermacam-macam (tidak seragam)
dan tidak konsisten; (3) istilah “korporasi” mulai terlihat pada tahun 1997 dalam
Undang- Undang Psikotropika yang dipengaruhi oleh istilah dalam Konsep KUHP
1993.8

Menurut ahli hukum Dr. Yusuf Sofie S.H.,M.H adapun pengertian dari crime for
corporation, crime against corporation, atau criminal corporation yakni:9
6
Barda Nawawi Arief, “Perbandingan Hukum Pidana”, (Jakarta: PT Rajagrafindo
Persada, 2010), hal. 40
7
Barda Nawawi Arief, “Perbandingan Hukum Pidana”, (Jakarta: PT Rajagrafindo Persada, 2010), hal.
41
8
Arief, B. N. (1998). Perbandingan hukum pidana. Jakarta: Raja Grafindo Persada.
9
Dr. Yusuf Sofie S.H.,M.H, Pelaku Usaha, Konsumen dan Tindak Pidana Korporasi, (Jakarta: Ghalia
Indonesia, 2002), Hlm. 44 ; Hamzah Hatrik, “Asas Pertanggungjawaban Korporasi dalam Hukum
Pidana Indonesia (Strict Liability dan Vicarious Liability)”, (Jakarta: Rajagrafindo Persada, 1995), hal.
41.; Muladi dan Dwidja Priyatno, “Pertanggungjawaban Korporasi Dalam Hukum Pidana”, (Bandung:
1. Crimes for corporation, yakni kejahatan atau pelanggaran hukum yang
dilakukan oleh korporasi dalam mencapai usaha dan tujuan tertentu guna
memperoleh keuntungan.
2. Criminal corporation, yaitu korporasi yang bertujuan semata-mata untuk
melakukan kejahatan. (dalam hal ini korporasi hanya sebagai kedok dari suatu
organisasi kejahatan).
3. Crimes against corporation, yaitu kejahatan-kejahatan terhadap korporasi
seperti pencurian atau penggelapan milik korporasi, dalam hal ini korporasi
sebagai korban.

Kondisi keuangan perusahaan asuransi Jiwasraya terpuruk sehingga pada


akhirnya tidak mampu membayar polis para nasabah. Kronologi kasus PT Asuransi
Jiwasraya ini dimulai dengan Kementrian Keuangan yang telah mengindikasi adanya
tindakan kriminal dari kasus gagal bayar PT Asuransi Jiwasraya. Kemudian, Menteri
Keuangan Sri Mulyani meminta aparat penegak hukum melakukan penanganan kasus
ini sesuai peraturan perundang-undangan.

Data yang diperoleh dan dilakukan penegak hukum kemudian dilanjutkan kepada
Kepolisan, Kejaksaan bahkan KPK untuk bekerja sama. Dalam hal ini, pemerintah
dan DPR tidak melindungi korporasi yang telah melakukan suatu kejahatan korporasi.
Selain melaporkan kepada pihak berwajib, Kemenkeu juga melakukan rapat dengan
Kementrian BUMN, OJK serta Komisi VI DPR terkait kasus PT Asuransi Jiwasraya
ini dengan alasan kasus Jiwasraya masuk ke dalam persoalan tata kelola perusahaan.

Pemerintah lalu berharap bisa melakukan langkah-langkah komprehensif


sehingga dapat memberikan kepastian kepada industri serta pemegang polis.
Jiwasraya sendiri masih belum sanggup membayarkan polis jathu tempo kepada
seluruh nasabahnya. Dari Oktober sampai dengan Desember 2019, PT Jiwasraya
mempunyai klaim jatuh tempo sebesar Rp. 12,4 triliun.

Direktur Utama Jiwasraya Hexana Tri Sasongko meminta maaf kepada para
nasabah karena tidak bisa membayarkan polis tersebut. Namun, PT Jiwasraya berjanji
untuk melunasi tanggungjawabnya. Dengan adanya pendirian anak usaha, Jiwasraya
Putra juga belum bisa menutupi sepenuhnya. PT Jiwasraya sendiri berjanji apabila

STHB, 1991), hal. 29


mendapatkan sumber dana baru akan langsung menyicil pembayaran kepada para
nasabah. Nasabah diminta untuk memilih opsi roll over (perpanjangan kontrak),
sehingga nasabah harus menunggu perusahaan mengantongi profit dari bisnis yang
telah dijalankan. Namun, belum ada kejelasan kapan PT Jiwasraya dapat membayar.

Berdasarkan analisa, berkaitan dengan gagal bayar yang dialami oleh PT


Asuransi Jiwasraya yang merupakan BUMN, adanya dugaan kejahatan korporasi
yang melibatkan Kepolisian, Kejaksaan bahkan KPK untuk bekerja sama, maka
kemungkinan-kemungkinan yang timbul atas tindakan yang dilakukan ialah tindak
pidana korupsi dan tindak pidana pencucian uang yang dilakukan secara bersama-
sama untuk memperoleh keuntungan pribadi. Dikaitkan dengan istilah-istilah yang
ada, istilah yang tepat pada PT Asuransi Jiwasraya yakni crimes against corporation
dikarenakan, istilah crimes for corporation kurang tepat berdasarkan berita, pendirian
anak usaha, Jiwasraya Putra juga belum bisa menutupi sepenuhnya sejumlah uang
yang harus dibayarkan, sehingga kita dapat simpulkan bahwa tidak adanya perolehan
keuntungan yang diambil untuk keuntungan korporasi itu sendiri. Maka setelah
ditelaah, apabila benar tindak pidana korporasi itu dilakukan untuk keuntungan
pribadi, maka termasuk dalam kategori crimes against corporation.

Dikatakan adanya tindak pidana pencucian uang karena aliran uang PT Asuransi
Jiwasraya ini tidak diketahui. Jiwasraya diduga rugi karena dalam kasus gagal bayar
tersebut tidak adanya perolehan keuntungan yang diambil untung keuntungan
korporasi itu sendiri sehingga tidak bisa membayar tagihan. Namun apabila begitu,
berarti ada tindak pidana pencucian uang serta korupsi yang dilakukan oleh pribadi
demi keuntungan pribadi itu sendiri. PT Asuransi Jiwasraya dalam kasus ini juga
menjadi korban karena tidak dapat membayar polis nasabah karena aliran uang dalam
PT Asuransi Jiwasraya ini sendiri tidak diketahui jelasnya bagaimana.

Korporasi yang baik harus memenuhi beberapa hal menurut Keith Davis dan
Robert Blomstorm (Principles of Business Conduct),
1. To maintain (memelihara martabat kemanusiaan dan hakekat kemanusiaan);
2. To earn (penghasilan atas dasar fair profit);
3. To merit (menghargai kepercayaan konsumen/pemasok dan perusahaan
saingan);
4. To support (membantu program-program sosial);
5. To fulfill (memenuhi tanggung jawab terhadap masyarakat dan negara);
6. To require (mencegah dari tindakan tercela);
7. To perpetuate (mengabdikan integritas perusahaan);

Tata kelola perusahaan yang baik sesuai Pasal 2 ayat (2) Peraturan Otoritas Jasa
Keuangan No.73/POJK.05/2016 tentang Tata Kelola Perusahaan yang Baik bagi
Perusahaan Perasuransian ialah
a. keterbukaan (transparency), yaitu keterbukaan dalam proses pengambilan
keputusan dan keterbukaan dalam pengungkapan dan penyediaan informasi yang
relevan mengenai Perusahaan Perasuransian, yang mudah diakses oleh Pemangku
Kepentingan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang
perasuransian serta standar, prinsip, dan praktik penyelenggaraan Usaha
Perasuransian yang sehat;
b. akuntabilitas (accountability), yaitu kejelasan fungsi dan pelaksanaan
pertanggungjawaban Organ Perusahaan Perasuransian sehingga kinerja
Perusahaan Perasuransian, dapat berjalan secara transparan, wajar, efektif, dan
efisien;
c. pertanggungjawaban (responsibility), yaitu kesesuaian pengelolaan Perusahaan
Perasuransian dengan ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang
perasuransian dan nilai-nilai etika serta standar, prinsip, dan praktik
penyelenggaraan Usaha Perasuransian yang sehat;
d. kemandirian (independency), yaitu keadaan Perusahaan Perasuransian yang
dikelola secara mandiri dan profesional serta bebas dari Benturan Kepentingan
dan pengaruh atau tekanan dari pihak manapun yang tidak sesuai dengan
ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang perasuransian dan nilai-nilai
etika serta standar, prinsip, dan praktik penyelenggaraan Usaha Perasuransian
yang sehat; dan
e. kesetaraan dan kewajaran (fairness), yaitu kesetaraan, keseimbangan, dan
keadilan di dalam memenuhi hak-hak Pemangku Kepentingan yang timbul
berdasarkan perjanjian, ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang
perasuransian, dan nilai-nilai etika serta standar, prinsip, dan praktik
penyelenggaraan Usaha Perasuransian yang sehat.

Dalam kasus PT Asuransi Jiwasraya tidak memenuhi tata kelola perusahaan yang
baik karena tidak menjalankan beberapa hal yang telah disebutkan oleh Keith Davis
dan Robert Blomstorm. PT Asuransi Jiwasraya tidak dapat menjaga kestabilan
perusahaan (to earn) ditunjukan dengan adanya gagal bayar terhadap polis nasabah
sebesar Rp. 12,4 triliun. Karena kegagalannya dalam pembayaran polis terhadap
nassabah, dapat merusak kepercayaan yang telah dimiliki para nasabah terhadap PT
Asuransi Jiwasraya itu sendiri (to merit). PT Asuransi Jiwasraya ini sendiri
merupakan BUMN, yang dimana seharusnya dapat memenuhi tanggung jawab yang
dimiliki korporasi ini terhadap masyarakat dan negara. Namun dalam hal ini, PT
Asuransi Jiwasraya tidak dapat bertanggungjawab atas polis-polis nasabah yang
berujung pada gagal bayar (to fulfill). Karena kesalahannya tersebut, PT Asuransi
Jiwasraya telah mencemarkan nama korporasinya sendiri (to require). Meskipun telah
mendirikan anak usaha yaitu Jiwasraya Putra pun tidak dapat membayar tanggungan
korporasi sepenuhnya. Telah gagal mengabdikan integritas perusahaan (to perpetuate)
sehingga apa yang telah dilakukan PT Asuransi Jiwasraya ini dapat disebut sebagai
suatu kejahatan korporasi.

Berdasarkan Pasal 2 ayat (2) Peraturan Otoritas Jasa Keuangan


No.73/POJK.05/2016 tentang Tata Kelola Perusahaan yang Baik bagi Perusahaan
Perasuransian, PT Asuransi Jiwasraya sudah tidak memenuhi beberapa hal yang
tercantum didalam Peraturan tersebut. Tidak adanya keterbukaan PT Asuransi
Jiwasraya tentang aliran uang korporasi itu sendiri sehingga pada akhirnya harus
gagal bayar telah melanggar Pasal 2 ayat (2) huruf a. Tidak terdapat kejelasan fungsi
dan pelaksanaan pertanggungjawaban yang mengakibatkan korporasi ini mengalami
gagal bayar, yang mana telah melanggar Pasal 2 ayat (2) huruf b. PT Asuransi
Jiwasraya tidak dapat bertanggungjawab dalam hal membayar polis nasabah,
meskipun telah membentuk anak usahah sehingga melanggar Pasal 2 ayat (2) huruf c.

Pada hukum positif Indonesia, belum mengatur secara konkret mengenai


pengertian dari tindak pidana korporasi itu sendiri.

Dalam Undang Undang No. 40 Tahun 2014 tentang Perasuransian, menjelaskan


mengenai tindak pidana yang dilakukan di bidang Perasuransian. UU Perasuransian,
pada Pasal 76 “Setiap Orang yang menggelapkan Premi atau Kontribusi..”, Pasal 77
menyatakan bahwa “setiap orang yang menggelapkan dengan cara mengalihkan,
menjaminkan, mengagunkan, atau menggunakan kekayaan, atau melakukan tindakan
lain yang dapat mengurangi aset atau menurunkan nilai aset Perusahaan Asuransi..”
dan Pasal 81 menyatakan bahwa “Dalam hal tindak pidana sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 73, Pasal 75, Pasal 76, Pasal 77, Pasal 78, atau Pasal 80 dilakukan oleh
korporasi, pidana dijatuhkan terhadap korporasi, Pengendali, dan/atau pengurus yang
bertindak untuk dan atas nama korporasi”, sehingga adapun dugaan tindak pidana
korporasi ini dapat melanggar ketentutan dari Undang Undang No. 40 Tahun 2014
tentang Perasuransian.

UU Nomor 31 Tahun 1999 tentang Tindak Pidana Korupsi jo. UU Nomor 20


Tahun 2001 tentang Perubahan atas UU Nomor 31 Tahun 1999 tentang Korupsi
Meskipun digunakan dalam rumusannya adalah “setiap orang”, namun dalam Pasal 1
angka 3 dijelaskan bahwa yang dimaksud dengan “setiap orang adalah orang
perseorangan atau termasukkorporasi”. Pengertian “korporasi”dijelaskan dalam Pasal
1 angka 3, yaitu kumpulan orang dan atau kekayaan yang terorganisasi baik
merupakan badan hukum maupun bukan badan hukum. Menurut Pasal 20 ayat (2),
tindak pidana Korupsi dilakukan oleh Korporasi apabila tindak pidana tersebut
dilakukan oleh orang-orang baik berdasarkan hubungan kerja maupun berdasarkan
hubungan lain, bertindak dalam lingkungan korporasi tersebut baik sendiri-sendiri
maupun bersama-sama. Dengan demikian, pengurus dan korporasi dapat dimintai
pertanggungjawaban pidana.10

Dalam kasus PT Asuransi Jiwasraya ini, ada beberapa peraturan perundang-


undangan yang disimpangi:

1. Pasal 2 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Tindak Pidana


10
Hutauruk H Rufinus,. Penangulangan Kejahatan Korporasi Melalui Pendekatan Restoratif, Suatu Terobosan
Hukum, Sinar Grafika, Jakarta, 2013. Hlm. 82
Korupsi terkait perbuatan memperkaya diri sendiri, orang lain atau suatu korporasi;

2. Pasal 3 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Tindak Pidana


Korupsi terkait penyalahgunaan kewenangan yang dapat merugikan keuangan negara
atau perekonomian negara;

3. Pasal 3 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2010 tentang Pencegahan dan


Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang tentang larangan menyembunyikan
atau menyamarkan harta hasil korupsi;

4. Pasal 11 Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2014 tentang Perasuransian tentang


kewajiban tata kelola yang baik bagi perusahaan asuransi;

5. Pasal 21 ayat (3) Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2014 tentang


Perasuransian mengatur bahwa dalam menginvestasikan kekayaan nasabah
perusahaan asuransi wajib menerapkan prinsip kehati-hatian;

6. Pasal 2 Peraturan Otoritas Jasa Keuangan No.73/POJK.05/2016 tentang Tata


Kelola Perusahaan yang Baik bagi Perusahaan Perasuransian terkait penerapan tata
kelola perusahaan yang baik.

BAB III
Kesimpulan

Kasus salah kelola pada PT Asuransi Jiwasraya yang merupakan BUMN dapat
menurunkan kepercayaan masyarakat terhadap perusahaan asuransi di Indonesia. Hal
ini menjadi pelajaran berharga bagi pemerintah khususnya OJK dalam mengatur dan
menata industri perasuransian ke depan dan mengambil solusi yang terbaik dalam
penyelesaiannya. Penyelematan dana nasabah dan investor, merupakan upaya yang
mendesak untuk dilakukan pemerintah ke depan. Perlu terus dilakukan pengawasan
intensif untuk menjaga stabilitas sistem keuangan, khususnya industri perasuransian.
DPR RI perlu mendesak Kementerian BUMN agar segera menentuk OJK untuk
meningkatkan pembinaan dan pengawasan yang intensif terhadap lembaga-lembaga
keuangan khususnya non-bank. Hal ini dikarenakan kasus PT Asuransi Jiwasraya
dapat berdampak sistemik pada sektor keuangan non-perbankan, di mana transaksinya
menyangkut para investor dan nasabah pemegang polis dalam jumlah yang sangat
banyak.

Anda mungkin juga menyukai