Anda di halaman 1dari 43

LAPORAN KASUS

BELAJAR BERDASARKAN MASALAH (BBM)

SKENARIO
“Jauhi Virusnya, Rangkul Korbannya”

Oleh
KELOMPOK XII
ALYA MAULIDA 1610911320005
HIDAYATI FITRI 1710913220015
JEREMY ECKHART S PARHUSIP 1610911210021
KHALIMATUS SA’DIAH 1710913220016
LISLIANA 1610912120014
MIDA EMELIA 1610912320027
MISDA SILVA 1610912320028
MUHAMMAD ANSHORI RAHMAN 1610912210016
OCA APRILYANI 1710913120006
OKTA VIANUS AUGUSTUS MUSI W 1610913210014
SARAH NUR PERTIWI 1610911320046

FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS LAMBUNG MANGKURAT
BANJARBARU
2019
Telah disahkan dan diterima dengan baik oleh :

Koordinator Banjarbaru, 29 November


2019

Tutor,

Dr. dr. Triawanti, M.Kes Ifa Hafifah, S.Kep.,Ns.,M.Kep


NIP. 19710912 199702 2 001 NIP. 19900819 201803 2 001

ii
DAFTAR ISI
Halaman
JUDUL....................................................................................................................i
HALAMAN PENGESAHAN....................................................................................ii
DAFTAR ISI............................................................................................................iii
BAB I PENDAHULUAN1
A. Skenario 1
B. Identifikasi Istilah 1
C. Daftar Masalah 2
D. Klarifikasi Masalah 3
E. Pohon Masalah 9
F. Sasaran Belajar 9
BAB II PEMBAHASAN
A. Tinjauan Kasus Berdasarkan Sasaran Belajar yang Mengacu pada10
Pustaka yang Relevan dengan Kasus
B............................................................................................................Analis
is Kasus 16
C............................................................................................................Reko
mendasi dan Solusi 26
BAB III PENUTUP 27
A. Kesimpulan 27
B. Saran 27
DAFTAR PUSTAKA

ii
BAB I
PENDAHULUAN

Jauhi Virusnya, Rangkul Korbannya


Kasus HIV/AIDS di sebuah kabupaten selalu meningkat di setiap tahunnya.
Salah satu upaya yang dilakukan oleh dinas kesehatan setempat melalui
puskesmas adalahgencar melakukan skrining tes HIV terutama pada ibu hamil
sebagai kelompok berisiko. Dari 510 orang yang dites didapatkan 112 orang yang
positif HIV. Umumnya mereka mengaku memiliki pasangan yang tinggal
berjauhan. Dari 112 orang tersebut, didapatkan 5 orang ibu hamil yang terinfeksi
HIV yang didampingi oleh petugas dan dirujuk ke layanan PDP (pengobatan,
dukungan dan perawatan).Akan tetapi, tidak semua patuh menjalankan terapi
karena takut menerima stigma dan diskriminasi, serta belum merasakan gejala
penyakitnya. Ibu hamil penderita HIV disarankan untuk melakukan persalinan
secara sectio caesaria di rumah sakit dan mendapat pengobatan serta perawatan
khusus. Asupan gizi yang baik juga diperlukan. Selain itu juga dilakukan konseling,
baik pada penderita maupun keluarganya. Program pencegahan HIV/AIDS pada
kelompok berisiko lain dilakukan berupa promosi untuk menggunakan alat
pelindung pada saat melakukan hubungan seks berisiko, namun untuk program
penjangkauan belum dapat dilaksanakan secara optimal oleh dinas kesehatan.
Kepala Dinas Kesehatan kemudian mengundang berbagai profesi kesehatan dan
profesi lain yang terkait guna menanggulangi permasalahan tersebut.

I. Identifikasi Istilah
1. Tes skrining : pemeriksaan orang0orang yang asimptomatik untuk
mengklasifikasikan mereka ke dalam kategori yang diperkirakan mengidap
atau diperkirakan tidak mengidap (as likely or unlikely to have the disease)
yang menjadi objek skrining.1

1
2. Sectio Caesario : persalinan buatan dinama janin dan plasenta dilahirkan
melalui insisi (sayatan) dinding perut dan dinding rahim dalam keadaan
utuh. 2
3. HIV/AIDS : human imunodeficiency virus adalah virus penyebab dan
Acquired Immunodeficiency Syndrome adalah kumpulan gejala pada
penyakit hiv. 3
4. Program penjangkauan : kegiatan yang berbasis masyarakat dengan
tujuan utama adalah mendorong upaya untuk meningkatkan kesehatan
dan pengurangan risiko terhadap penularan HIV bagi individu maupun
kelompok yang secara efektif sulit dilayani oleh penyedia layanan
kesehatan masyarakat pada umumnya. 4
5. Layanan PDP : program layanan perawatan , dukungan dan pengobatan
yang di sediakan oleh penyedia layanan masyarakat. 4
6. Kelompok beresiko : sekelompok orang yang memiliki resiko tinggi untuk
tertular dan menularkan suatu penyakit, dalam skenario menularkan HIV.5

II. Daftar Masalah


1. Apakah obat anti retral viral (ARV) aman untuk ibu hamil dan apa efek
sampingnya bagi semua golongan yang mengonsumsi ARV?
2. Apa saja indikator pengukuran pada kasus HIV/AIDS?
3. Apa saja kebutuhan ODHA yang hamil? Dan bagaimana manajemen proses
saat persalinan ?
4. Apakah terdapat perbedaan perlakuan ODHA yang hamil dengan ODHA
yang tidak hamil (semua umur)?
5. Apa yang dapat dilakukan petugas kesehatan agar ODHA dapat patuh
mengonsumsi ARV?
6. Bagaimana cara kita (tenaga kesehatan) mengubah stigma masyarakat
tentang ODHA?
7. Bagaimana pencegahan dan pengobatan oportunistik ODHA yang hamil?

2
8. Apa saja komponen konseling untuk kasus HIV/AIDS?
9. Apa saja faktor penyebab meningkatnya kasus HIV/AIDS?
10. Apa saja bentuk program PDP?
11. Apakah ada teknik promosi kesehatan yang sesuai dengan jaman
sekarang?
12. Apa saja bentuk dan tipe skrining HIV?
13. Apa saja program pemerintah untuk mencegah HIV/AIDS?
14. Siapa saja yang termasuk kelompok beresiko? Dan sebutkan alasannya!
15. Bagaimana asupan gizi untuk ODHA yang hamil dan ODHA yang tidak
hamil (semua umur) ?
16. Institusi apa saja yang dapat ikut berperan dalam program pencegahan
dan penanggulangan HIV/AIDS ?
17. Bagaimana peran keluarga menyikapi ODHA?
18. Apakah terdapat hubungan memiliki pasang yang berjauhan dengan
penyakit HIV/AIDS ?
19. Apa resiko pada ibu dan bayi saat ODHA menjalani persalinan dengan
bedah saesar ?
20. Mengapa bedah saesar di sarankan untuk ODHA yang akan menjalani
persalinan?
21. Bagaimana cara merawat pasien HIV/AIDS di rumah?
22. Institusi apa yang akan menerima jika ODHA tidak diterima keluarganya?
23. Berapa lama virus akan terdeteksi setelah virus masuk ke dalam tubuh
manusia?
24. Apa saja yang menjadi penghambat program pemerintah?

III. Klarifikasi Masalah


1. Tidak ada penelitian yang mengatakan bahwa ARV 100% aman. ARV juga
terdapat efek sampingnya. ARV bersifat teratogenik, yaitu dapat
menganggu pertumbuhan dan perkembangan janin, maka dari itu

3
pemberian obat ARV pada ibu hamil akan diberikan pada usia kehamilan
lebih dari trimester pertama.6
2. Indikator meningkatnya kasus HIV/AIDS melalui hasil yang didapat dari tes
skrining, bisa melalui tes cepat maupun tes ELISA. Dan meingkatnya
jumlah populasi kelompok beresiko juga dapat meningkatkan jumlah kasus
HIV/AIDS pada suatu daerah. 7
3. Kebutuhan ODHA yang hamil dengan ODHA yang tidak memiliki
perbedaan yang cukup signifikan, dari segi ARV, gizi, dan dari aspek
psikologis. Saat persalinan ODHA dianjurkan untuk melakukan bedah
sesar, namun tidak semua ODHA. Hanya ODHA yang tidak mengonsumsi
ARV selama kehamilan, CD4 yang rendah, dan viral load yang tinggi. 8
4. Terdapat perbedaan perlakuan ODHA yang hamil dengan ODHA yang tidak
hamil. Terutama dalam hal pencegahan transmisi penularan virus dari ibu
ke bayi. Dalam kasus ODHA hamil petugas kesehatan tidak hanya
memikiran atau menangani ibu saja, tetapi bayi yang dikandung juga
diperhatikan dan di monitor dengan ketat agar ibu ODHA melahirkan bayi
yang negatif HIV. 9
5. Dengan cara penguatan koordinasi antara layanan dengan komunitas.
Dalam hal ini dapat dilakukan kegiatan seperti kunjungan rutin, konseling
rutin, dan monitor rutin dari pihak pemberi layanan kepada komunitas. 10
6. Cara mengubah stigma masyarakat adalah dengan cara penyuluhan dan
promosi kesehatn tentang HIV/AIDS , seperti apa saja penyebab HIV/AIDS,
cara penularannya, cara pencegahnnya, dan hal-hal apa saja yang tidak
dapat menularkan HIV. 11
7. Pengobatan dengan menggunakan HAART yang aman saat ini pada wanita
hamil adalah dengan menggunakan AZT(azidotimidin) atau ZDV
(zidovudin).Seluruh bayi lahir dari ibu HIV wajib mendapatkan ARV
profilaksis. Prinsip pemberian ARV profilaksis pada bayi lahir dari ibu HIV
adalah sebagai pencegahan pasca-pajanan (PPP) yang bertujuan untuk

4
menurunkan risiko infeksi HIV setelah mendapat pajanan potensial. 12
8. Komponen yang harus dipenuhi saat konseling adalah informasi lengkap
terkait HIV/AIDS atau hingga pasien mengerti tentang penyakit ini, waktu
dan keahlian untuk membantu kliennya memahami dan mempelajari
dirinya sendiri, menganali dan melaakukan pemecahan masalah yang
berasal dari lingkungan sekitar. 13
9. Faktor penyebab meningkatnya kasus HIV/AIDS adalah meningkatnya
insiden penyalahgunaan narkoba dengan jarum suntik dan pekerja seks
komersil. Disamping itu, dipengaruhi oleh faktor-faktor tertentu seperti
faktor sosial ekonomi/kemiskinan , jenis kelamin, perilaku, dan gaya hidup,
sosial budaya, biologi dan pelayanan kesehatan.14
10. Pelayanan yang diberikan mulai dari pemeriksaan/test HIV, memberikan
Konseling VCT dan memberikan pengobatan dengan Anti Retro Viral/ARV
Terapi, bekerjasama dengan Dinas Kesehatan setempat (RSUD /
Puskesmas).15
11. Teknik promkes yang sesuai dengan jaman sekrang, seperti menggunakan
video, flim pendek maupun presentasi ppt.
12. Uji Imunologi. Antibody terhadap HIV-1 dan digunakan sebagai test
skrining, meliputi enzyme immunoassays atau enzyme – linked
immunosorbent assay (ELISAs) sebaik tes serologi cepat (rapid test). Uji
Western blot atau indirect immunofluorescence assay (IFA) digunakan
untuk memperkuat hasil reaktif dari test skrining. Deteksi antibodi HIV
Pemeriksaan ini dilakukan pada pasien yang diduga telah terinfeksi HIV.
ELISA dengan hasil reaktif (positif) harus diulang dengan sampel darah
yang sama, dan hasilnya dikonfirmasikan dengan Western Blot atau IFA
(Indirect Immunofluorescence Assays). Western blot Digunakan untuk
konfirmasi hasil reaktif ELISA atau hasil serologi rapid tes sebagai hasil
yang benar-benar positif.16
13. Program pengendalian HIV/AIDS sektor kesehatan meliputi upaya

5
peningkatan pemahaman masyarakat, pengendalian penyakit menular
seksual, pengurangan dampak buruk, layanan konseling dan esting HIV,
pengamanan donor darah dan produk darah, kolaborasi tb-hiv,
pencegahan infeksi HIV dari ibu ke janin. 17
14. Kelompok berisisko tinggi merupakan kelompok yang sangat rentan
terinfeksi dan menginfeksi HIV. Kelompok berisiko tinggi terdiri dari Ibu
hamil, pasien tb dan pasien IMS, pekerja seks, transpuan, homoseksual
(lelaki suka lelaki), penasun, napza, dan warga binaan pemasyarakatan. 18
15. Gizi yang baik adalah penting buat kita semua, apalagi waktu hamil. Gizi
buruk terbukti meningkatkan angka penularan HIVdari ibu-ke-bayi.Gizi
yang baik membantu tubuh menyerang infeksi,mengurangi masalah
kelahiran (berat badan bayi rendah,kematian bayi), membantu khasiat
ARV, dan dapat mengurangi efek samping obat. Beberapa penelitian
menunjukkan bahwa ada manfaat pada Odha perempuan bila dipakai
tambahan vitamin waktu hamil. Multi-vitamin (vitamin B1, B2, B6, dan B12,
niacin, vitamin C,vitamin E, dan asam folat) diberi pada perempuan hamil
dapat memperpanjang masa tanpa gejala. Sebaliknya, manfaat
penggunaan tambahan vitamin A belum jelas, dan kelebihan tidak
membantu.19
16. a. Menteri Agama;
b. Menteri Sosial;
c. Menteri Komunikasi danInformatika;
d. Menteri Hukum dan Hak Azasi Manusia;
e. Menteri Kebudayaan danPariwisata;
f. Menteri PendidikanNasional;
g. Menteri Tenaga Kerjadan Transmigrasi;
h. Menteri Perhubungan;
i. Menteri Negara Pemuda dan Olahraga;
j. Menteri Negara Pemberdayaan Perempuan;

6
k. Menteri Negara Perencanaan Pembangunan Nasional/-Kepala
BAPPENAS;
l. Menteri Negara Riset danTeknologi;
m. Sekretaris Kabinet;
n. Panglima TentaraNasional Indonesia
o. Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia;
p. Kepala Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi;
q. Kepala Badan Koordinasi Keluarga Berencana Nasional;
r. Ketua Badan Narkotika Nasional;
s. Ketua Pengurus Besar Ikatan Dokter Indonesia;
t. Ketua Ikatan Ahli Kesehatan Masyarakat Indonesia;
u. Ketua Palang Merah Indonesia;
v. Ketua Kamar Dagang dan Industri;
w. Ketua Organisasi ODHA Nasional. 20
17. Peran keluarga dalam kasus ODHA sangat penting. Keluargalah tempat
para ODHA merasa aman dari cibiran atau buruknya lingkungan sekitar.
Keluarga hendaknya memberi semangat hidup kepada ODHA, motivasi
untuk hidup. 21
18. Terdapat hubungan antara memiliki pasangan yang jauh dengan penyakit
HIV. Karena pasangan yang jauh memiliki kencenderungan untuk
melakukan hubungan dengan pekerja seks komersial. 22
19. Resiko yang terjadi pada ibu saat bedah saesar adalah terjadinya
pendarahan dan menularkan hiv kepada petugas kesehatan, sedangkan
pada bayi malah menurunkan resiko penularan hiv dari ibu, namun
kebanyakan bayi yang dilahirkan dari ODHA memiliki skor apgar yang
rendah.23
20. Bedah SC disarankan untuk ODHA hamil yang tidak mengonsumsi ARV
selama kehamilan, viral loadnya tinggi, dan jumlah CD4 yang rendah. Hal
ini disebabkan karena jika bayi lahir dengan indikasi diatas dilakukan lewat

7
jalan lahir normal maka kemungkinan besar bayi akan terinfeksi HIV.
Karena dijalan lahi banyak sekali atau tempat penularan HIV. 24
21. Dibawahi oleh Kemensos, ODHA tersebut dibawa ke panti rehabilitasi
sosial yang dirujuk oleh fasilitas pelayanan kesehatan dan lembaga
kesejahteraan sosial.25
22. Di masyarkat terdapat komunitas yang isinya ODHA. Sebagian besar dari
meraka memiliki tempat perlindungan bagi ODHA yang di terlantarkan ,
karena solidaritas antar ODHA sangat tinggi. 25
23. Virus akan terdeteksi melalui antibodi yang dibentuk oleh tubuh kita,
waktu yang dibutuhkan tubuh untuk membentuk antibodi adalah sekitar
28 hari. Maka selama 28 hari setelah terpapar baru dapat dilakukan
skrining untuk melihat apakah terdapat hiv dalam darah.1
24. Penanganan anak dengan HIV di Indonesia belum optimal karena stigma
masyarakat terhadap ODHA yang berlebihan. Hambatan internal
puskesmas lainnnya, ditemukan pada dukungan sarana dan prasarana
penunjang laboratorium. Ketiadaan ruangan khusus layanan untuk privasi
ODHA, menjadi hambatan utama kesiapan sebagai satelit ART.
Adanya stigma dan diskriminasi pada odha mempengaruhi kepatuhan
keteraturan minum obat ARV dan kegagalan intervensi pelaksanaan
program HIV/AIDS.26

8
IV. Pohon Masalah

Peningkatan Ibu hamil +


Layana PDP
kasus HIV AIDS HIV

AIDS
Program
pemerintah

Definisi
HIV
Penanggulan
gan
HIV/AIDS Program
ODHA Pencegahan pemerinta
umum
h

Tatalaksana

ODHA
hamil Konseling
Gejala
skrinning
Faktor
resiko
Epidemiologi
Promkes

Kelompok Stigma
Beresiko

V. Sasaran Belajar
Problem tree dan masalah yang sudah terdaftar

9
BAB II
PEMBAHASAN

A. Tinjauan Kasus
1. Definisi HIV/AIDS
Acquired Immunodeficiency Syndrome (AIDS) adalah infeksi yang disebabkan
oleh Human Immunodeficiency Virus (HIV) yang menyebabkan suatu penyakit yang
menyerang sel-sel kekebalan tubuh .1
Virus HIV masuk ke dalam tubuh manusia melalui perantara darah, semen
dan sekret vagina. Human Immunodeficiency Virus tergolong retrovirus yang
mempunyai materi genetik RNA yang mampu menginfeksi limfosit CD4 (Cluster
Differential Four), dengan melakukan perubahan sesuai dengan DNA inangnya.
Virus HIV cenderung menyerang jenis sel tertentu, yaitu sel-sel yang mempunyai
antigen CD4 terutama limfosit T4 yang memegang peranan penting dalam
mengatur dan mempertahankan sistem kekebalan tubuh. Virus juga dapat
menginfeksi sel monosit makrofag, sel Langerhans pada kulit, sel dendrit folikuler
pada kelenjar limfe, makrofag pada alveoli paru, sel retina, sel serviks uteri dan
sel-sel mikroglia otak. Virus yang masuk kedalam limfosit T4 selanjutnya
mengadakan replikasi sehingga menjadi banyak dan akhirnya menghancurkan sel
limfosit itu sendiri. HIV adalah (Human Imunodeficiency virus) virus yang dapat
merusak sistem kekebalan tubuh seseorang. Virus ini menyerang dan
menghancurkan kelompok sel-sel darah putih tertentu yaitu sel T-Helper, sel yang
membuat zat anti dalam tubuh. HIV memperbanyak diri dalam sel limfosit yang
diinfeksikannya dan merusak sel-sel tersebut, sehingga mengakibatkan
menurunnya sistem kekebalan dan daya tahan tubuh. Virus ini terdapat dalam
darah dan air mani. Daya tahan tubuh yang melemah mengakibatkan timbulnya
penyakit oleh karena infeksi ataupun penyakit lain akan meningkat . 1

10
AIDS dapat didefinisikan sebagai suatu sindrom atau kumpulan gejala
penyakit dengan karakteristik defisiensi imun yang berat, dan merupakan
manifestasi stadium akhir infeksi HIV.6

2. Epidemiologi HIV/AIDS
Di Indonesia, HIV & AIDS pertama kali ditemukan di provinsi Bali pada tahun
1987. Hingga saat ini, HIV & AIDS sudah menyebar di 386 kabupaten/kota di
seluruh provinsi di Indonesia. Terdapat kecenderungan peningkatan jumlah kasus
HIV dari tahun ke tahun. Sebaliknya jumlah kasus AIDS menunjukkan
kecenderungan meningkat secara lambat bahkan sejak tahun 2012 jumlah kasus
AIDS mulai menurun. Jumlah kumulatif penderita HIV dari tahun 1987 sampai
September 2014 sebanyak 150.296 orang, sedangkan total kumulatif kasus AIDS
sebanyak 55.799 orang.Pola penularan HIV berdasarkan kelompok umur pada
tahun 2014, didominasi oleh kelompok usia produktif 25-49 tahun (71%),
sementara orang muda usia 15 sampai 24 tahun mencapai 19%. Berdasarkan
kelompok berisiko, kasus AIDS di Indonesia paling banyak terjadi pada kelompok
heteroseksual (61,5%), diikuti pengguna narkoba suntik atau IDU (15,2%),
homoseksual (2,4%), dan kelompok “lain-lain” (17,1%), dan kelompok ‘laki-laki
berhubungan seks dengan laki- laki atau LSL’ (14%) .6

11
Berdasarkan tabel diatas terdapat kecenderungan menurun dalam jumlah
orang yang dilaporkan menderita AIDS di provinsi-provinsi dan layanan-layanan
kesehatan yang memiliki SIHA sejak tahun 2013. Namun, angka ini kemudian
menjadi stabil dalam 3 tahun terakhir dengan sekitar tujuh ribu kasus dilaporkan
per tahun .7
3. Gejala HIV/AIDS
Gejala yang patut diduga mengalami infeksi HIV antara lain 15 :
a. Keadaan umum:
1) Kehilangan berat badan > 10% dari berat badan dasar
2) Demam (terus menerus atau intermiten, temperatur oral > 37,5 C) yang
lebih dari satu bulan
3) Diare (terus menerus atau intermiten) yang lebih dari satu bulan
4) Limfadenopati meluas
b. Kulit:
PPE (Pruritic Papular Eruption) dan kulit kering yang luas merupakan dugaan
kuat infeksi HIV. Beberapa kelainan seperti kutil genital (genital warts), folikulitis
dan psoriasis sering terjadi pada pasien HIV/AIDS tapi tidak selalu terkait dengan
HIV.
c. Infeksi:
1) Infeksi jamur: Kandidiasis oral, dermatitis seboroik, kandidiasis vagina
berulang.
2) Infeksi viral: Herpes zoster (berulang atau melibatkan lebih dari satu
dermatom), herpes genital (berulang), moluskum kontagiosum, kondiloma
d. Gangguan pernafasan:
1) Batuk lebih dari satu bulan
2) Sesak nafas
3) Tuberkulosis
4) Pneumonia berulang

12
5) Sinusitis kronis atau berulang
e. Gejala neurologis :
1) Nyeri kepala yang semakin parah (terus menerus dan tidak jelas
penyebabnya)
2) Kejang demam
3) Menurunnya fungsi kognitif
f. Demam
g. Banyak keringat pada malam hari
h. Kehilangan BB 10%
i. Diare > 1 bulan
j. Lesi pada mukosa
k. Penyakit infeksi kulit berulang
l. Limpadenopati
m. Malaise
4. Faktor Risiko HIV/AIDS
Faktor risiko HIV/AIDS yang terbukti adalah pertama berhubungan seksual
pada usia muda (≤ 16 tahun), perilaku hubungan seksual risiko tinggi, tidak
konsisten menggunakan kondom, dan jumlah pasangan seksual lebih 1 orang . 16
Faktor resiko penularan HIV yaitu :
1. Berhubungan seksual dibawah umur
2. Tidak memakai kondom saat berhubungan seksual
3. Sering berganti pasangan seks.
4. Penggunaan jarum suntik bergantian. Biasanya terjadi pada pemakai
narkoba jenis suntik.
Serta faktor resiko pada transfusi darah, dimana ketidaktelitian dalam
pemeriksaan donor sehingga menyebabkan penyebaran virus HIV. Hal ini dapat
terjadi jika pendonor tidak mengetahui dirinya mengidap HIV. Ibu hamil pengidap
HIV dengan jumlah CD4 rendah juga beresiko dapat menularkan HIV ke bayinya.
Populasi beresikoadalah populasi pria dan wanita yang berisiko tinggi terjangkit

13
HIV. Kelompok pria yang berisiko tinggi terjangkit HIV pada umumnya adalah
pelanggan penjaja seks (supir truk, tukang ojek/supir angkutan umum/supir taksi,
anak buah kapal(ABK)), sedangkan kelompok wanita adalah mereka yang bekerja
sebagai penjaja seks. Di samping kelompok sasaran tersebut, dalam STBP 2009
akan dicakup pula kelompok lainnya yaitu pengguna napza suntik (Penasun),
waria, lelaki seks lelaki (gay) dan murid sekolah (remaja). 15
5. Tata LaksanaPada Umum dan Ibu Hamil HIV/AIDS
a). Tatalaksana HIV Umum
Secara umum, penatalaksanaan HIV/AIDS yaitu pengobatan antiretroviral,
pengobatan terhadap infeksi oportunistik, dan pengobatan suportif. Pada kasus
ini, tatalaksana awal dilakukan dengan pemberian terapi simtomatik, terapi ini
diberikan untuk mengatasi gejala-gejala yang terjadi pada pasien bersamaan
dengan dilakukannya pemeriksaan penunjang yang disarankan. Pemberian cairan
isotonik dimaksudkan untuk memenuhi kebutuhan elektrolik pasien dan
mencegah terjadinya kekurangan cairan pada pasien, nystatin drop ditujukan
untuk mengatasi oral candidiasis pasien, dan paracetamol sebagai antipiretik saat
pasien demam. Injeksi ciprofloksasin digunakan untuk mencegah adanya infeksi
lebih lanjut, termasuk infeksi nosokomial. Injeksi ranitidin digunakan untuk
mencegah stres ulser pada pasien akibat obat-obatan yang diberikan. Edukasi
tentang penyakit HIV yang diderita oleh pasien, baik itu secara perorangan
maupun keluarga setelah diagnosis ditegakkan berdasarkan pemeriksaan lab,
serum anti HIV, dan konseling VCT. Pemberian dukungan membantu pasien untuk
meminimalisir isolasi, kesendirian, dan ketakutan. Memberikan dukungan dan
pengawasan terhadap pasien dapat meningkatkan kepatuhan pasien terhadap
pengobatan yang diberikan. Sebelum memulai terapi, pasien harus diperiksa
jumlah CD4 terlebih dahulu, untuk memberikan dosis yang tepat pada
pengobatan ARV. Pengobatan ARV pada pasien HIV diberikan ketika perhitungan
CD4 telah mencapai nilai kurang dari 350. Hitung sel CD4, kadar RNA HIV serum
juga digunakan untuk memantau resiko perkembangan penyakit dan menentukan

14
waktu yang tepat untuk memulai modifikasi regimen obat. Tujuan terapi ARV ini
adalah penekanan secara maksimum dan berkelanjutan jumlah virus, pemulihan,
atau pemeliharaan(atau keduanya) fungsi imunologik, perbaikan kualitas hidup,
dan pengurangan morbiditas dan mortalitas HIV .12
b). Tatalaksana HIV Ibu Hamil
Perkembangan dan percobaan klinis terhadap kemampuan obat
antiretrovirus yang sering dikenal dengan highly active antiretroviral therapy
(HAART) untuk menghambat HIV terus dilakukan selama 15 tahun terakhir ini.
Pengobatan diharapkan mampu menghambat progresivitas infeksi HIV untuk
menjadi AIDS dan penularannya terhadap orang lain serta janin pada wanita
hamil. HAART menunjukkan adanya penurunan jumlah penderita HIV yang
dirawat, penurunan angka kematian, penurunan infeksi oportunistik, dan
meningkatkan kualitas hidup penderita. HAART bisa memperbaiki fungsi imunitas
tetapi tidak dapat kembali normal . 13
Pengobatan dengan menggunakan HAART yang aman saat ini pada wanita
hamil adalah dengan menggunakan AZT (azidotimidin) atau ZDV (zidovudin).
Pengobatan wanita hamil dengan menggunakan regimen AZT ini dibagi atas tiga
bagian, yaitu: wanita hamil dengan HIV positif, pengobatan dengan
menggunakan AZT harus dimulai pada usia kehamilan 14-34 minggu dengan dosis
100 mg, 5 kali sehari, atau 200 mg 3 kali sehari, atau 300 mg 2 kali sehari, pada
saat persalinan; AZT diberikan secara intravena, dosis inisial 2 mg/kgBB dalam 1
jam dan dilanjutkan 1 mg/kgBB/jam sampai partus, terhadap bayi diberikan AZT
dengan dosis 2 mg/kgBB secara oral atau 1,5 mg/kgBB secara intravena tiap 6 jam
sampai usianya 4 minggu .13

15
Tatalaksana HIV/AIDS dalam KeperawatanAsuhan Keperawatan untuk
pasien dengan HIV/AIDS:
DX KEPERAWATAN (14) NOC (15) NIC (16)
Resiko infeksi - 00004 Pasien terbebas dari infeksi 1. Monitor tanda-tanda
berhubungan dengan oportunistik dan infeksi baru.
infeksi HIV, adanya komplikasinya dengan kriteria 2. Gunakan teknik aseptik
infeksi nonopportunisitik tak ada tanda-tanda infeksi pada setiap tindakan
yang dapat baru, lab tidak ada infeksi invasif. Cuci tangan
ditransmisikan. oportunis, tanda vital dalam sebelum meberikan
batas normal, tidak ada luka tindakan.
atau eksudat. 3. Anjurkan pasien
metoda mencegah
terpapar terhadap
lingkungan yang
patogen.
4. Kumpulkan spesimen
untuk tes lab sesuai
order.
5. Atur pemberian
antiinfeksi sesuai order
Ketidakpatuhan minum Pasien diharapkan bisa 1. Menyediakan informasi
obat - 00079 berhubugan menunjukkan perilaku patuh mengenai pasien sesuai
dengan kurangnya dalam pengobatan yang dengan apa yang menjadi
dukungan sosial disarankan, dengan kriteria keinginan pasien.
mengonsumsi semua obat 2. Mengajarkan caregiver
sesuai interval yang mengenai pemberian terapi
ditentukan, memantau efek bagi pasien sesuai dengan

16
samping obat, dan dapat keinginan pasien
melaporkan respon terapi 3. Menyediakan peninjauan
kepada profesional lanjutan mengenai
kesehatan. kesehatan pendampingan
caregiver melalui telepon
atau melalui perawat
komunitas
4. Monitor indikator adanya
stress
Isolasi Sosial - 00053 Tingkat kecemasan sosial 1. Anjurkan berhubungan
berhubungan dengan pasien berkurang, dengan dengan orang-orang
stigma masyarakat kriteria tidak menujukkan: yang memiliki minat
tentang gangguan persepsi diri yang negatif dan tujuan yang sama.
kesehatan (HIV/AIDS) terhadap penerimaan oleh 2. Rujuk pada program
orang lain, tidak nyaman pencegahan atau
selama menghadapi sosial, pengobatan berbasis
gangguan dengan hubungan masyarakat yang sesuai
3. Sediakan layanan
dengan sikap peduli
dan mendukung
4. Libatkan keluarga,
orang terdekat, dan
teman-teman dalam
perawatan dan
perencanaan.
5. Identifikasi sumber
daya yang bersedia
terkait dengan
dukungan pemberi

17
perawatan.
Kerusakan integritas kulit 1. Kulit dan mukosa oral
– 00046 berhubungan harus dinilai secara
dengan manifestasi HIV, rutin dari adanya
ekskoriasi dan diare pada infeksi dan kerusakan
kulit. kulit.
2. Pasien dianjurkan
mempertahankan
keseimbangan antara
istirahat dan mobilitas.
3. Bantu mengubah posisi
pasien setiap 2 jam bagi
yang imobilisasi.
4. Pasien diminta untuk
tidak menggaruk dan
menggunakan sabun
nonabrasif, memakai
pelembab tanpa
parfum untuk
mencegah kekeringan
kulit.
Perubahan nutrisi kurang 2. Pengendalian mual dan
dari kebutuhan muntah dengan obat
berhubungan dengan antiemetik dapat
penurunan asupan oral. meningkatkan asupan
diet pasien.
3. Menganjurkan pasien
memakan makanan
yang mudah ditelan

18
dan menghindari
makanan kasar, pedas
atau lengket, serta
terlalu panas atau
dingin.
4. Menganjurkan menjaga
higiene oral sebelum
dan sesudah makan.
5. Jadwal makan harus
diatur sehingga tidak
jatuh pada saat pasien
baru saja menjalani
tindakan yang
menyebabkan nyeri
dan dalam keadaan
kelelahan.
6. Konsultasi dengan ahli
diet untuk menentukan
kebutuhan nutrisi.
Penggunaan suplemen
yang khusus dirancang
untuk pengidap AIDS
dapat dianjurkan pada
pasien. Bila asupan oral
tidak dapat
dipertahankan,
memerlukan terapi
nutrisi enteral.
Risiko bunuh diri - 00150 Tujuan dilakukannya 1. Bantu klien untuk

19
berhubungan dengan intervensi pada klien dengan mengenal masalah
harga diri rendah risiko bunuh diri adalah: yang sedang dialami
• Klien tetap aman dan 2. Bantu klien untuk
selamat menurunkan risiko
• Klien mendapat perilaku destruktif
perlindungan diri dari (behavior
lingkungannya management)
• Klien mampu 3. Berikan lingkungan
mengungkapkan perasaanya yang aman (safety)
• Klien mampu berdasarkan tingkat
meningkatkan harga dirinya risiko
• Klien mampu 4. Bantu klien
menggunakan cara mengidentifikasi dan
penyelesaian yang baik mendapatkan
dukungan sosial
5. Membantu klien
mengembangkan
mekanisme koping
yang positif

6. Pencegahan HIV/AIDS
Perawat menjalankan perannya dalam pencegahan HIV/AIDS untuk yang
belum terdiagnosis maupun yang sudah terdiagnosis sebagai pencegahan dalam
menambah parah penyakitnya. Peran perawat yang dimaksud disini adalah Care
giver sebagai pemberi asuhan keperawatan, Counsellor sebagai pemberi
bimbingan / konseling klien, dan Educator sebagai pendidik klien melalui promosi
kesehatan . 17
Peran perawat dalam perawatan pasien terinfeksi HIV adalah melaksanakan

20
pendekatan Asuhan Keperawatan agar pasien dapat beradaptasi dengan cepat.
Peran tersebut meliputi 18:
a. Memfasilitasi strategi koping:
1. Memfasilitasi sumber penggunaan potensi diri agar terjadi respons
penerimaan sesuai tahapan dari Kubler-Ross
2. Teknik Kognitif, penyelesaian masalah; harapan yang realistis; dan pandai
mengambil hikmah
3. Teknik Perilaku, mengajarkan perilaku yang mendukung kesembuhan:
kontrol & minum obat teratur; konsumsi nutrisi seimbang; istirahat dan
aktifitas teratur; dan menghindari konsumsi atau tindakan yang menambah
parah sakitnya
b. Dukungan sosial:
1. Dukungan emosional, pasien merasa nyaman; dihargai; dicintai; dan
diperhatikan
2. Dukungan informasi, meningkatnya pengetahuan dan penerimaan pasien
terhadap sakitnya
3. Dukungan material, bantuan/kemudahan akses dalam pelayanan kesehatan
pasien.
Pencegahan HIV/AIDS dapat dilakukan sedini mungkin. Salah satu yang
paling pasti adalah dengan menjauhi faktor-fakto resiko dari sumber infeksi
HIV/AIDS, seperti hubungan seks, berbagi jarum suntik, transfusi darah yang tidak
steril. HIV/AIDS dapat menginfeksi siapapun tanpa memandang umur. Selain itu
HIV/AIDS dapat ditularkan dari ibu keanak melalui beberapa jalur secara vertikal,
seperti melalui intrauterine, intra partum, dan pascanatal. Oleh karena itu
diperlukan adanya pencegahan tambahan untuk mencegah penularan HIV/AIDS
dari ibu keanak menggunakan ARV( Anti Retroviral). Pencegahan untuk ibu ke
anak meliputi:
1. Pemberian terapi ARV bagi ODHA hamil
Metode paling efektif untuk mencegah transmisi vertikal HIV adalah dengan

21
menurunkan jumlah virus HIV dalam darah ibu. Semua jenis paduan ARV yang ada
di Indonesia dapat digunakan pada ibu hamil. Pilihan paduan terapi ARV pada ibu
hamil sama dengan pilihan paduan terapi ARV pada orang dewasa lainnya.
Efavirenz (EFV) yang dulu tidak boleh diberikan pada trimester pertama,
belakangan tidak terbukti menunjukkan efek teratogenik. World Health
Organization mengeluarkan rekomendasi penggunaan EFV pada ibu hamil sejak
tahun 2012. Terapi ARV dapat segera dimulai setelah ibu didiagnosis HIV. Ibu yang
sudah mendapat terapi ARV sebelum kehamilan dapat diteruskan tanpa perlu
menyesuaikan paduan.
2. Prosedur persalinan yang aman
Pada beberapa negara menyarankan untuk persalinan menggunakan bedah
sesar sehingga dapat mengurangi kemungkinan terinfeksi. Karena mengurangi
kontak dengan banyak hal-hal yang dapat menginfeksi.
3. Pemberian profilaksis ARV untuk bayi lahir dari ibu HIV
Seluruh bayi lahir dari ibu HIV wajib mendapatkan ARV profilaksis. Prinsip
pemberian ARV profilaksis pada bayi lahir dari ibu HIV adalah sebagai pencegahan
pasca-pajanan (PPP) yang bertujuan untuk menurunkan risiko infeksi HIV setelah
mendapat pajanan potensial.
4. Nutrisi untuk bayi lahir dari ibu terinfeksi HIV
Nutrisi merupakan salah satu hal terpenting untuk mewujudkan
pertumbuhan dan perkembangan bayi yang optimal. Tidak dapat dipungkiri ASI
adalah nutrisi terbaik untuk bayi pada masa enam bulan pertama kehidupan.
Praktik menyusui berkontribusi memenuhi nutrisi bayi secara optimal dan
melindungi terhadap infeksi yang sering didapat pada usia balita Panduan WHO
tentang pemberian nutrisi untuk bayi dari ibu terinfeksi HIV pada tahun 2010
merekomendasikan untuk menyediakan ARV maternal serta mendukung ibu
terinfeksi HIV agar memberikan ASI eksklusif pada negara yang kematian bayi
terkait malnutrisi, diare dan pneumonia masih tinggi. Panduan WHO tersebut
tidak mengalami banyak perubahan pada tahun 2016, yaitu merekomendasikan

22
pemberian ASI selama 12 bulan untuk bayi dari ibu terinfeksi HIV disertai
penyediaan ARV maternal seumur hidup. 19
5. Profilaksis kotrimoksazol untuk bayi lahir dari ibu terinfeksi HIV
Kotrimoksazol berperan sebagai pencegahan infeksi oportunistik. Skrining
yang baik diperlukan untuk mengetahui kasus HIV/AIDS, sehingga dapat dicegah.
Skrining dapat berupa melakukan wawancara, skrining darah pada pendonor
darah, skrining virus HIV pada ibu hamil dan pasien TB. Fasilitas pelayanan
kesehatan wajib melakukan pencatatan perawatan, tindak lanjut perawatan
pasien HIV dan pemberian ARV serta mendokumentasikannya dalam
rekammedissesuai dengan Permenkes 269/2008 . 20
Promosi Kesehatan yang baik merupakan salah satu pencegahan yang baik
bagi HIV/AIDS. Selain karena meningkatkan kesadaran atas bahayanya HIV/AIDS,
dapat juga dengan memberikan edukasi kepada penderita maupun bukan.
Menurut WHO, dari Pertemuan Kesehatan Dunia ke-69, menampilkan “Global
Health Sector Strategy on HIV for 2016-2021”, strategi ini meliputi 5 strategi
pengearahan yang membimbing aksi prioritas dari berbagai negara dan WHO
selama beberapa tahun ke depan 21 :
1. Informasi untuk aksi yang terarah (mengetahui epidemik dan respon)
2. Intervensi berdampak (melingkupi berbagai pelayanan yang dibutuhkan)
3. Menghadirkan hak untuk keadilan (menjangkau berbagai populasi yang
membutuhkan pelayanan)
4. Pembiayaan yang berkesinambungan (meliputi pendanaan biaya layanan)
5. Inovasi untuk laju perubahan (melihat menuju masa depan)
Pencegahan HIV/AIDS juga harus menjaga kejiwaan pasien dari stigma
masyarakat. Stigma adalah situasi dimana seseorang mengalami diskualifikasi dari
penerimaan sosial secara penuh. Pasien HIV/AIDS biasanya mengalami stigma
negatif dari masyarakat, dan akan mengganggu kejiwaan pasien. Kejiwaan pasien
yang terganggu dapat mengakibatkan banyak hal buruk pada pasien, hingga pada
bunuh diri. Komorbiditas gangguan jiwa dengan infeksi HIV menyebabkan

23
ketidakpatuhan ODHA terhadap pengobatan ARV dan pencegahan perilaku
berisiko. Hal ini berkaitan dengan buruknya organisasi pikiran dan daya ingat serta
kurangnya motivasi dan pengertian mengenai rencana terapi. Hal tersebut
berpengaruh besar terhadap angka penularan HIV dan resistensi obat. 19
Oleh karena itu dibutuhkan adanya konseling yang baik pada pasien
HIV/AIDS. Pasien HIV/AIDS dapat dikumpulkan dalam suatu perkumpulan dan
diberikan konseling sehingga keadaan psikis bisa merasa ditompang dan kuat.
Selain itu konseling yang baik juga harus dilakukan pada keluarga pasien.
Konseling yang diberikan diharapkan dapat memberikan kekuatan dan keteguhan
pada psikis pasien juga keluarga. Selain itu konseling juga dapat meningkatkan
kepatuhan pasien terhadap penggunaan obat ARV. 19,22

B. Analisis Kasus Secara Mendalam dan Bersitasi


Analisis kasus pada skenario ini akan di analisi per kalimat.
Pada kalimat :
 “Kasus HIV/AIDS di sebuah kabupaten selalu meningkat di setiap tahunnya.”
Dari kalimat pembuka skenario diatas dapat diketahui bahwa saat ini kasus
HIV/AIDS selalu meningkat dan bertambah di salah satu kabupaten setiap tahun.
HIV sendiri adalah singkatan dari “human immunodeficiency virus” yaitu sejenis
retrovirus (virus yang dapat menggandakan dirinya sendiri pada selsel yang
ditumpanginya) yang merusak sistem kekebalan tubuh manusia atau sel-sel darah
putih (sel darah putih juga disebut lifosit). Sedangkan AIDS adalah singkatan dari
acquired immuno deficiency syndrome, yang secara harfiah berarti kumpulan
gejala menurunnya kekebalan tubuh yang diperoleh. AIDS melemahkan atau
merusak system pertahanan tubuh ini, sehingga akhirnya berdatanganlah
berbagai jenis penyakit lain. 2
Masalah HIV/AIDS telah menjadi masalah global karena telah diketahui
bahwa sudah lebih dari 40 juta manusia di dunia hidup telah terinfeksi dengan
HIV. Secara nasional dinyatakan bahwa tidak ada perovinsi yang bebas dengan

24
HIV/AIDS bahkan diperkirakan saat ini HIV dan AIDS sudah menjangkit lebih dari
sebagian Kabupaten/Kota di Seluruh Indonesia .6
 Pada kalimat “Salah satu upaya yang dilakukan oleh dinas kesehatan
setempat melalui puskesmas adalah gencar melakukan skrining tes HIV
terutama pada ibu hamil sebagai kelompok berisiko”
Pada kalimat tersebut dapat diketahui bahwa Dinas Kesehatan kabupaten
tersebut sudah melaksanakan skrining tes HIV agar dapat mengurangi jumlah
pasien terinfeksi HIV, skrining dilakukan kepada semua masyarakat namun yang
lebih diutamakan adalah kepada kelompok yang berisiko yaitu ibu hamil.
Screening HIV mempunyai makna melakukan pemeriksaan HIV pada suatu
populasi tertentu, sementara uji diagnostic HIV berarti melakukan pemeriksaan
HIV pada orang-orang dengan gejala dan tanda yang konsisten dengan infeksi
HIV. CDC menyatakan bahwa infeksi HIV memenuhi seluruh kriteria untuk
dilakukan screening, karena 13 :
1. Infeksi HIV merupakan penyakit serius yang dapat didiagnosis sebelum
timbulnya gejala.
2. HIV dapat dideteksi dengan uji screening yang mudah, murah, dan
noninvasif.
3. Pasien yang terinfeksi HIV memiliki harapan untuk lebih lama hidup bila
pengobatan dilakukan sedini mungkin, sebelum timbulnya gejala.
4. Biaya yang dikeluarkan untuk screening sebanding dengan manfaat yang
akan diperoleh serta dampak negatif yang dapat diantisipasi.
Menurut UNAIDS/WHO terdapat empat jenis model screening HIV, antara
lain 13:
Pemeriksaan dan konseling HIV (voluntary counselling and testing)
1. Pemeriksaan HIV yang didorong oleh kemauan klien untuk mengetahui status
HIV-nya ini masih dianggap penting bagi keberhasilan program pencegahan
HIV.
2. Pemeriksaan HIV diagnostik, diindikasikan pada pasien dengan

25
tanda dangejala yang sejalan dengan penyakit-penyakit yang terkait HIV
atau AIDS, termasuk pemeriksaan terhadap tuberkulosis sebagai
pemeriksaan rutin
3. Pemeriksaan HIV dengan inisiatif dari tenaga kesehatan (Provider Initiated
Testing and Counseling - PITC) dilakukan pada pasien yang:
- Sedang menjalani pemeriksaan terhadap penyakit menular seksual (PMS)
di klinik umum atau khusus infeksi menular seksual (IMS).
- Sedang hamil, untuk mengatur pemberian antiretroviral untuk
mencegah transmisi dari ibu ke bayi
- Dijumpai di klinik umum atau puskesmas di daerah dengan prevalens
HIV yang tinggi dan tersedia obat antiretroviral, namun tidak memiliki
gejala.
4. Screening HIV wajib UNAIDS/WHO mendukung diberlakukannya Screening
wajib bagi HIV dan penyakit yang dapat ditransmisikan lewat darah bagi
semua darah yang ditujukan untuk transfuse atau pengolahan produk darah
lainnya.Screening wajib dibutuhkan sebelum dilakukannya prosedur-prosedur
yang berkaitan dengan pemindahan cairan atau jaringan tubuh, seperti
inseminasi buatan, graft kornea, dan transplantasi organ.
 Pada kalimat “Dari 510 orang yang dites didapatkan 112 orang yang positif
HIV. Umumnya mereka mengaku memiliki pasangan yang tinggal berjauhan.”
Pada kalimat tersebut dapat diketahui bahwa 112 orang masyarakat di kabupaten
tersebut positif HIV dan sebagian besar dari 112 orang tersebut memiliki pasangan
yang tinggal berjauhan atau lebih sering tidak serumah. Perempuan memiliki
risikoyang rendah terinfeksi HIV karena tidak terbiasa memiliki lebih dari satu
pasangan seksual selama hidupnya, tetapi banyak dari mereka masuk dalam
kelompok rentan karena perilaku pasangan yang tidak aman diluar pernikahannya
serta menggunakan narkoba suntik. Diperkirakan 90% perempuan yang hidup
dengan HIV di Asia tertular akibat hubungan seksual dari suami atau pacar
tetapnya. Indonesia merupakan salah satu negara dengan epidemi HIV yang

26
berkembang paling cepat dengan penularan yang didominasi oleh hubungan
heteroseksual. 22
 Pada kalimat “Dari 112 orang tersebut, didapatkan 5 orang ibu hamil yang
terinfeksi HIV yang didampingi oleh petugas dan dirujuk ke layanan PDP
(Pengobatan, dukungan dan Perawatan.”
Pada kalimat tersebut dapat diartikan bahwa petugas kesehatan langsung
menanggulangi permasalahan HIV yang ada di kabupaten tersebut, terlihat dari
kalimat diatas yaitu 5 orang ibu hamil yang terinfeksi HIV dirujuk ke layanan PDP
(Pengobatan, dukungan dan Perawatan).
Petugas kesehatan merupakan komponen penting dalam pendekatan
berbagai pelayanan kesehatan kepada orang dengan HIV/AIDS. Petugas
kesehatan memiliki wewenang antara lain memberikan pelayanan kesehatan,
melaksanakan deteksi dini, melakukan rujukan dan memberikan penyuluhan
Infeksi Menular Seksual (IMS). Pentingnya mendeteksi dini HIV/AIDS dapat
memudahkan, mempercepat diagnosis, dan menentukan penatalaksanaan kasus
HIV selanjutnya. Oleh karena itu, petugas kesehatan harus memiliki kemampuan
dalam menganalisis suatu persoalan dan merumuskan formulasi tindakan
perencanaan yang efektif. Terlebih lagi dalam pelayanan terhadap orang terifeksi
HIV sehingga bisa melakukan langkah penanganan yang tepat dan tidak jatuh ke
stadium lanjut . 17
PDP merupakan singkatan dari perawatan, dukungan dan pengobatan
(Care, Support and Treatment), adalah suatu layanan terpadu dan
berkesinambungan untuk memeberikan dukungan baik aspek manajerial, medis,
psikologis maupun sosial untuk mengurangi atau menyelesaikan permasalahan
yang dihadapi ODHA selama perawatan dan pengobatan. Layanan PDP baru
berkembang di Indonesia sejak program diluncurkan WHO pada tahun 2004.
Meskipun layanan PDP dengan skala kecil telah berjalan di kota besar sejak
munculnya kasus HIV/AIDS, pemerataan layanan PDP ke masyarakat berjalan
secara bertahap. Pada tahun 2004, pemerintah juga telah menetapkan 25 rumah

27
sakit sebagai pelaksana layanan PDP. Pada tahun yang sama pemerintah telah
menyediakan obat ARV generik dan diberikan secara gratis, terutama kepada
ODHA yang miskin. Untuk meningkatkan kompetensi RS tersebut, pemerintah
telah melakukan pelatihan nasional baik untuk dokter, perawat, konselor, serta
tenaga kesehatan lain. Dengan semakin meningkatnya kasus ODHA dan
meningkatnya jumlah RS dan provinsi yang melaporkan adanya kasus ODHA serta
kebutuhan untuk meningkatkan akses dan mutu layanan, pengembangan RS
layanan PDP semakin mendesak. Layanan PDP juga merupakan salah satu bentuk
dari layanan komprehensif HIV dan IMS berkesinambungan . 4
 Pada kalimat “Akan tetapi, tidak semua patuh menjalankan terapi karena
takut menerima stigma dan diskriminasi, serta belum merasakan gejala
penyakitnya.”
Berbagai kebijakan maupun program untuk mencegah dan menanggulangi
penyebaran HIV & AIDS sudah banyak dilakukan oleh berbagai pihak, tidak saja
oleh pemerintah, tetapi juga oleh lembaga-lembaga, baik swadaya masyarakat,
nasional, maupun internasional. Meskipun demikian, masih ditemukan kendala-
kendala yang menghambat kesuksesan jalannya program-program tersebut.
Salah satu kendala tersebut adalah adanya stigma dan diskriminasi terhadap
orang-orang yang diidentifikasi menderita HIV & AIDS. Kondisi ini tentu saja dapat
memengaruhi keefektifan program dalam "memerangi" epidemi HIV & AIDS. Di
kalangan masyarakat, masih ada pendapat yang menganggap HIV & AIDS sebagai
penyakit kutukan dari Tuhan karena manusia telah melanggar norma-norma
agama. Akibat dari adanya stigma ini, sebagian orang yang terinfeksi HIV atau
terkena AIDS menyembunyikan status mereka (segan mengakui jika dirinya
terinfeksi HIV) karena khawatir diperlakukan diskriminatif oleh masyarakat . 4
Stigma adalah suatu proses dinamis yang terbangun dari persepsi yang
telah ada sebelumnya yang menimbulkan pelanggaran terhadap sikap,
kepercayaan dan nilai. Menurut Castro F (2005), stigma ini dapat mendorong
seseorang untuk mempunyai prasangka pemikiran, perilaku, dan atau tindakan

28
oleh pihak pemerintah, masyarakat, pemberi kerja, penyedia pelayanan
kesehatan, teman sekerja, para teman, dan keluarga-keluarga . 7
Maman dan kawan-kawan dalam UNAIDS (2012) mengartikan diskriminasi
sebagai aksiaksi spesifik yang didasarkan pada berbagai stereotip negatif ini yakni
aksi-aksi yang dimaksudkan untuk mendiskredit dan merugikan orang. Pengertian
lain tentang diskriminasi dikemukakan oleh Busza dalam UNAIDS
(2012) bahwa diskriminasi adalah perbuatan atau perlakuan berdasarkan stigma
dan ditujukan kepada pihak yang terstigmatisasi. Menurut UNAIDS, diskriminasi
terhadap penderita HIV digambarkan selalu mengikuti stigma dan merupakan
perlakuan yang tidak adil terhadap individu karena status HIV mereka, baik itu
status sebenarnya maupun hanya persepsi saja . 8
Stigma yang dirasakan ODHA sebagian besar merasa terstigma dan
terdiskriminasi karena mereka merasa bersalah terkena penyakit HIV/AIDS. Selain
itu mereka juga merasa khawatir orang akan menilai tidak baik ketika orang lain
mendengar mereka mengalami HIV/AIDS hal ini karena factor risiko penyakit ini
yang terkait dengan perilaku seksual yang menyimpang dan penyalahgunaan
narkotika dan obat berbahaya atau narkoba Hal ini menyebabkan sebagian besar
masyarakat berhati-hati kepada siapa anda bercerita bahwa anda mengalami
HIV/AIDS . 8
 Pada kalimat “Ibu hamil penderita HIV disarankan untuk melakukan
persalinan secara sectio caesaria di rumah sakit dan mendapatkan
pengobatan serta perawatan khusus”
Pada kalimat tersebut ibu hamil yang menderita HIV disarankan untuk
melakukan persalinan secara sectio caesaria. Sectio Ceasarea adalah suatu
persalinan buatan, dimana janin dilahirkan melalui suatu insisi pada dinding perut
dan dinding rahim dengan syarat rahim dalam keadaan utuh serta berat janin di
atas 500 gram. Persalinan dengan operasi sectio caesarea ditujukan untuk indikasi
medis tertentu, yang terbagi atas indikasi untuk ibu dan indikasi untuk bayi.
Persalinan sectio caesaria atau bedah caesar harus dipahami sebagai alternatif

29
persalinan ketika dilakukan persalinan secara normal tidak bisa lagi. Meskipun 90%
persalinan termasuk kategori normal atau tanpa komplikasi persalinan, namun
apabila terjadi komplikasi maka penanganan selalu berpegang teguh pada
prioritas keselamatan ibu dan bayi. Operasi sectio caesarea ini merupakan pilihan
persalinan yang terakhir setelah dipertimbangkan cara-cara persalinan
pervaginam tidak layak untuk dikerjakan. 2
Kementerian Kesehatan Republik Indonesia memperkirakan jika di
Indonesia setiap tahun terdapat 9.000 ibu hamil positif Human Immunodeficiency
Virus yang melahirkan bayi, berarti akan lahir sekitar 3.000 bayi dengan Human
Immunodeficiency Viruspositif tiap tahun. Ini akan terjadi jika tidak ada intervensi.
Resiko penularan Human Immunodeficiency Virusdari ibu ke bayi berkisar 24-25%.
Namun, resiko ini dapat diturunkan menjadi 1-2% dengan tindakan intervensi bagi
ibu hamil positif Human Immunodeficiency Virus, yaitu melalui layanan konseling
dan tes Human Immunodeficiency Virussukarela, pemberian obat antiretroviral,
persalinan sectio caesaria, serta pemberian susu formula untuk bayi (19).
 Pada kalimat “Asupan gizi yang baik juga diperlukan. Selain itu juga dilakukan
konseling, baik pada penderita maupun keluarga.”
Seperti pada penyakit kronik lainnya, pada penyakit HIV / AIDS, kualitas
hidup pasien juga merupakan hal yang penting untuk diperhatikan. Salah satu
tingkat keberhasilan dari terapi HIV bukan hanya dilihat dari tampilan klinisnya
saja, akan tetapi juga dilihat dari kualitas hidupnya. Implementasi dari terapi ARV
(Anti Retro Viral) bisa dikatakan berhasil bila kualitas hidupnya baik. Kualitas hidup
dapat didefinisikan sebagai persepsi individual terhadap posisinya dalam
kehidupan pada konteks sistem nilai dan budaya dimana mereka tinggal dan
dalam berhubungan dengan tujuannya, pengharapan, norma-norma dan
kepedulian menyatu dalam hal yang kompleks kesehatan fisik seseorang, keadaan
psikologis, level kemandirian, hubungan sosial, kepercayaan-kepercayaan
personal dan hubungannya dengan hal-hal yang penting pada lingkungan. Banyak
hal yang dapat mempengaruhi kualitas hidup pasien HIV/AIDS antara lain,

30
progresivitas penyakit, disabilitas pasien, stigma sosial di masyarakat, jangka
waktu pengobatan, efek samping dari pengobatan tersebut . 20
Status gizi pasien HIV juga merupakan hal yang perlu diperhatikan dalam
penanganan pasien, selain pemberian ARV karena berkaitan dengan kualitas
hidup, progresivitas penyakit, kelangsungan hidup dan status fungsional dari
pasien. Status gizi yang buruk pada pasien HIV/AIDS disebabkan karena asupan
gizi yang tidak adekuat, adanya perubahan laju metabolisme tubuh, perubahan
mekanisme kerja traktus digestivus, interaksi obat dengan zat gizi. Keadaan
malnutrisi ini dapat menyebabkan turunnya imunitas, meningkatkan resiko untuk
terkena infeksi oportunistik, dan mempengaruhi absorbsi obat ARV dalam tubuh.
Tahap akhir dari keadaan malnutrisi ini adalah HIV wasting syndrome. Oleh karena
itu, status gizi yang buruk pada pasien HIV dapat mempercepat progresivitas
penyakit menjadi AIDS, mortalitas yang meningkat dan penurunan waktu harapan
hidup . 20
Dukungan keluarga, dukungan sosial dan relasi antar individu juga ikut
mempengaruhi fungsi sosial ODHA. Pasien HIV yang mendapat dukungan
keluarga dan sosial serta relasi antar individu yang baik akan merasa diterima
dalam lingkungan sosialnya, sehingga dapat melakukan tanggung jawab nya
dengan baik dalam lingkungan sosialnya. Untuk domain persepsi kesehatan
umum, nilainya sangat dipengaruhi oleh subjektivitas dari pasien. Bila pasien
memiliki motivasi yang tinggi untuk hidup, tidak menganggap penyakitnya
sebagai suatu beban, serta mendapat dukungan sosial dari keluarga maupun dari
masyarakat, maka ia akan mempunyai persepsi kesehatan umum yang baik,
meskipun pada kenyataannya status gizi nya buruk . 8
 Pada kalimat “Program pencegahan HIV/AIDS pada kelompok berisiko lain
dilakukan berupa promosi untuk menggunakan alat pelindung pada saat
melakukan hubungan seks berisiko, namun untuk program penjangkauan
belum dapat dilaksanakan secara optimal oleh dinas kesehatan.”
Berbagai usaha telah dilakukan oleh organisasi dunia dan pemerintah

31
Indonesia dalam masalah penyebaran HIV/AIDS, penanganan tersebut bersifat
preventif, promotif, kuratif dan rehabilitatif. Upaya tersebut meliputi peningkatan
sosialisasi penggunaan kondom; peningkatan kontrol dari PSK dalam area kerja
dan perubahan kondisi sosial; serta penurunan angka Penyakit Menular Seksual
(PMS) juga peningkatan kesehatan. Di Indonesia, pemerintah telah menetapkan
beberapa kebijakan dan program penanggulangan penyebaran HIV/AIDS.
Pemerintah telah membuat komitmen serius untuk meningkatkan surveilans
seperti meningkatkan rawatan, dukungan, dan pengobatan. Upaya
pemberdayaan masyarakat dalam pencegahan HIV/AIDS dilakukan oleh
pemerintah melalui konseling dan pendidikan kesehatan . 21
Pelayanan dilaksanakan di klinik IMS mencakup: (a) Melaksanakan kegiatan
pencegahan seperti promosi kondom dan seks yang aman, (b) Melaksanakan
pelayanan yang ditargetkan untuk kelompok beresiko tinggi, (c) Memberikan
layanan pemeriksaan dan pengobatan bagi mereka yang telah tertular IMS, (d)
Melaksanakan kegiatan penapisan untuk IMS Asintomatic bagi semua populasi
yang beresiko secara rutin sedikitnya sekali setiap 3 (tiga) bulan, (e) Memberikan
layanan konsling, pemeriksaan, dan pengobatan bagi pasangan tetap klin pekerja
seks melalui sistem partner notification, (f) Menjalankan sistem monitoring dan
surveilens, (g) Memberikan layanan KIE tentang mitos penggunaan obat-obat
bebas untuk mencegah atau mengobati IMS .21
Fenomena peningkatan dan penyebaran kasus infeksi menular seksual yang
terjadi demikian cepat menyebabkan bahwa penyakit infeksi menular seksual
yang sangat berpotensi meningkatkan risiko penularan HIV melalui hubungan
seksual sehingga sangat membutuhkan perhatian dalam pencegahan dan
penanggulangannya. Upaya tersebut tentunya harus didukung dari tingkat
pelayanan yang diberikan secara komprehensif .21
 Pada kalimat “Kepala Dinas Kesehatan kemudian mengundang berbagai
profesi kesehatan dan profesi lain yang terkait guna menanggulangi
permasalahan tersebut.”

32
Semakin meningkatnya jumlah penderita HIV-AIDS, maka semakin
dibutuhkan peran tenaga kesehatan dalam menanggulangi HIV- AIDS. Tenaga
kesehatan merupakan komponen penting dalam pendekatan pelayanan
kesehatan kepada Orang dengan HIV AIDS (ODHA). Dalam Undang-undang
Nomor 36 Tahun 2014, yang dimaksud dengan tenaga kesehatan adalah ”setiap
orang yang mengabdikan diri dalam bidang kesehatan serta memiliki
pengetahuan dan/ atau keterampilan melalui pendidikan di bidang kesehatan
yang untuk jenis tertentu memerlukan kewenangan untuk melakukan upaya
kesehatan.” Sedangkan dalam Permenkes No. 21 Tahun 2013 tentang
Penanggulangan HIV-AIDS pada bagian kedua pasal 43 menyatakan bahwa
sumber daya manusia dalam penanggulangan HIV dan AIDS meliputi tenaga
kesehatan dan nonkesehatan . 28
Menurut Batuman (1990), Bear (1996), Folkman & Lazarus (1988)
dalam Buku Asuhan Keperawatan Pada Pasien Terinfeksi HIV,
menyebutkan bahwa perawat merupakan faktor yang mempunyai peran
penting pada pengelolaan stres khususnya dalam memfasilitasi dan
mengarahkan koping pasien yang konstruktif agar pasien dapat
beradaptasi dengan sakitnya dan pemberian dukungan sosial, berupa
dukungan emosional, informasi, dan material . 28

C. Rekomendasi dan Solusi


Adapun rekomendasi dan solusi yang dapat diberikan, yaitu:
1. Untuk Masyarakat
a. Peran aktif masyarakat yang ikut serta dalam memanfaatkan berbagai
pelayanan kesehatan lainya seperti puskesmas juga dapat
meningkatkan derajat kesehatan masyarakat.
b. Untuk lebih meningkatkan pengetahuan masyarakat terhadap
carapenularan HIV/AIDS sehingga masyarakat mengetahui dan dapat
mengubah stigma terhadap ODHA.

33
2. Untuk Petugas Kesehatan
a. Pemberian informasi atau advokasi kepada masyarakat mengenai
program-program kesehatan maupun mengenai pelayanan kesehatan
untuk ODHA yang ada di lingkungan tersebut.
3. Untuk Dinas Kesehatan
a. Perlunya peningkatan frekuensi penyuluhan di bidang kesehatan
seperti pencegahan penyakit menular seksual, HIV/AIDS kepada
masyarakat dan ODHA.
b. Melakukan monitoring dan evalusi terhadap program pencegahan
HIV/AIDS dengan tujuan untuk mengukur sejauh mana tingkat
keberhasilan suatu program yang telah di jalankan. Agar jika terdapat
kekurangan di dalam kegiatan/pelayanan kesehatan dapat ditindak
lanjuti dan di perbaiki letak kekurangan tersebut.

34
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
AIDS dapat didefinisikan sebagai suatu sindrom atau kumpulan gejala
penyakit dengan karakteristik defisiensi imun yang berat, dan merupakan
manifestasi stadium akhir infeksi HIV .Virus HIV masuk ke dalam tubuh manusia
melalui perantara darah, semen dan sekret vagina. Human Immunodeficiency Virus
tergolong retrovirus yang mempunyai materi genetik RNA yang mampu
menginfeksi limfosit CD4 (Cluster Differential Four), dengan melakukan perubahan
sesuai dengan DNA inangnya. Virus HIV dapat merusak sistem kekebalan tubuh
seseorang. Virus ini menyerang dan menghancurkan kelompok sel-sel darah putih
tertentu yaitu sel T-Helper, sel yang membuat zat anti dalam tubuh. HIV
memperbanyak diri dalam sel limfosit yang diinfeksikannya dan merusak sel-sel
tersebut, sehingga mengakibatkan menurunnya sistem kekebalan dan daya tahan
tubuh. Dengan demikian HIV/AIDS harus mendapatkan perhatian khusus dan
cepat ditangani agar angka kejadian dapat menurun mengingat akibat yang di
timbulkan HIV sangatlah fatal. Dan dengan adanya inter professional education ini
sangat bermanfaat karena dapat melihat dari berbagai sudut pandang mengenai
kasus HIV/AIDS sehingga hasil pencegahan dan panganan pun akan lebih
maksimal.

B. Saran
Virus ini menyerang dan menghancurkan kelompok sel-sel darah putih
tertentu yaitu sel T-Helper, sel yang membuat zat anti dalam tubuh. HIV
memperbanyak diri dalam sel limfosit yang diinfeksikannya dan merusak sel-sel
tersebut, sehingga mengakibatkan menurunnya sistem kekebalan dan daya tahan
tubuh. Mengingat bahaya akan keganasan yang ditimbulkan oleh virus HIV
sangatlah parah maka diharapkan penanganan yang serius oleh pemerintah. Inter
personal profesi tidak cukup hanya pada profesi kesmas, perawat, dan dokter saja

18
19

dalam memecahkan masalah HIV/AIDS. Akan tetapi perlu dilibatkan nya berbagai
pihak dan instansi lain nya untuk mengatasi masalah HIV/AIDS.
DAFTAR PUSTAKA

1. Djoerban Z, Djauzi S. HIV/AIDS di Indonesia. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam


Edisi VI Jilid I. Jakarta: Balai Penerbit FKUI; 2015.

2. Pinsky L, Douglas PH. The Columbia University Handbook on HIV and AIDS.
Columbia: Columbia University; 2009.

3. Rahackbaw Nancy. 2016. Dukungan KeluargaTerhadapKelangsungan


HidupODHA (orang dengan HIV/AIDS). Insani. 03(02): 64-75.

4. Nopriani A, Umari T, Saam Z. Peningkatan Self Esteem Narapidana Wanita


HIV/AIDS Melalui Konseling Kelompok di Lapas Anak Pekanbaru. Jurnal
Online Mahasiswa Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan Universitas Riau.
2017.

5. Kemenkes RI. (2013). Laporan HIV AIDS Triwulan I Tahun 2013. Retrieved
March 19, 2014.

6. Kemenkes RI. Antiretroviral, pengobatan, dan pedoman. 2015. n0 75

7. Kemenkes RI. Kajian epidemiologi HIV Indonesia 2016. Jakarta: Kementerian


kesehatan RI; 2017.

8. UNAIDS.2014. Global Summary of the AIDS Epidemic 2013. Geneva: World


Health Organization (WHO).

9. Kemenkes RI. Pedoman nasional tatalaksana klinis infeksi HIV dan terapi
antiretroviral pada orang dewasa. Jakarta: Kementerian Kesehatan RI; 2011.
10. Nurma Yuliyanasari. Global Burden Desease-Human Immunodeficiency Virus
-Acquired Immune Deficiency Syndrome (HIV-AIDS). Surabaya: Fakultas
Kedokteran Universitas Muhammadiyah. 2017.

11. Sidjabat f n, dkk. 2017. Lelaki seks lelaki, HIV/AIDS dan perilaku seksualnya di
semarang. Jurnal Kesehatan Reproduksi. 08(02): 131-142.

12. Kemenkes RI. 2011. Survei Terpadu Biologis Dan Perilaku. Jakarta: Direktorat
Jenderal Pengendalian Penyakit Dan Penyehatan Lingkungan.

13. Kemenkes RI. 2015. Pedoman Manajemen Program Pencegahan Penularan


HIV Dan Sifilis Dari Ibu Ke Anak .Jakarta : Direktorat Jenderal Bina Kesehatan
Ibu dan Anak.

14. Dewita, Gita., dkk. 2016. Pendekatan Diagnostik dan Penatalaksanaan Pada
Pasien HIV-AIDS Secara Umum Vol. 6. Fakultas Kedokteran, Universitas
Lampung 2 Bagian Penyakit Dalam, Rumah Sakit Abdoel Moeloek Lampung.

15. Suhaimi, Donel., Savira, Maya., dan R. Krisnadi, Sofie. 2009. Pencegahan Dan
Penatalaksanaan Infeksi Hiv/Aids Pada Kehamilan. Bagian Obstetri dan
Ginekologi Fakultas Kedokteran Riau/Rumah Sakit Arifin Ahmad Pekanbaru.

16. NANDA International. 2015. Diagnosis Keperawatan Definisi dan Klasifikasi


Edisi 10 Editor T. Heather Herdman, Shigemi Kamitsuru. Jakarta: EGC.

17. Moorhead, S., Jhonson, M., Maas. M., Swanson. E. 2008. Nursing Outcomes
Classification (NOC) (5th. Ed). United States of America: Mosby Elsevier.
18. Bulechek. G. M., Butcher H., Dochterman J. M., Wagner C. M. 2008. Nursing
Intervention Classification (NIC) (6th Ed). United State of America: Mosby
Elsevier.

19. Kusnanto. 2004. Pengantar Profesi dan Praktik Keperawatan Profesional.


Jakarta: EGC.

20. Peraturan Presiden RI. Komisi Penanggulangan AIDS Nasional. 2006. No 75

21. Nursalam, dan Dian K, Ninuk. 2007. Asuhan Keperawatan Pada Pasien
Terinfeksi Hiv. Jakarta: Salemba Medika.

22. Departemen Kesehatan RI. Keputusan Menteri Kesehatan Nomor


RIHK.01.07/MENKES/90/2019 Tentang Pedoman Nasional Pelayanan
Kedokteran Tata Laksana HIV. 2019.

23. Departemen Kesehatan RI. Program Pengendalian HIVAIDS dan PIMS Fasilitas
Kesehatan Tingkat Pertama Buku 3. 2017.

24. WHO. HIV/AIDS. World Health Organization. 2019[Diakses pada 26 November


2019.

25. Evie Ariadne SD, Suwandi Sumartias. Promosi Kesehatan HIV-AIDS dan stigma
terhadap Pengguna narkoba suntik (PENASUN) di kabupaten sumedang.
Fakultas Ilmu Komunikasi. Universitas Padjadjaran. 2017.

26. Shaluhiyah, Musthofa, Widjanarko. Stigma Masyarakat terhadap Orang


dengan HIV/AIDS. Jurnal Kesehatan Mayarakat Nasional. 2015 ; 9 (4).

Anda mungkin juga menyukai