Anda di halaman 1dari 13

BAB I

PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang

Kesehatan reproduksi merupakan suatu keadaan sejahtera fisik, mental dan sosial
secara utuh, tidak semata-mata bebas dari penyakit atau kecacatan dalam semua hal
yang berkaitan dengan sistem reproduksi, serta fungsi dan prosesnya. Remaja adalah
masa transisi dimana ia mengalami perubahan signifikan yang terjadi mulai dari
perubahan fisik, biologis, psikologis, emosional, dan psikososial. Perubahan inilah
yang dapat mempengaruhi perilaku remaja dan dimana saat mereka tidak siap dengan
perubahan yang terjadi maka akan muncul hal-hal atau perilaku yang negatif seperti
kenakalan remaja, penyalahgunaan narkoba, kehamilan yang tidak diinginkan, aborsi,
penyakit menular seksual, dan penularan HIV/AIDS.
Kesehatan reproduksi remaja merupakan salah satu komponen dari kesehatan
reproduksi, Remaja adalah suatu usia dimana anak tidak merasa bahwa dirinya berada
di bawah tingkat orang yang lebih tua melainkan merasa sama atau paling tidak sejajar,
Remaja juga sedang mengalami perkembangan pesat dalam aspek intelektual. Secara
harfiah, remaja berada diantara anak dan orang dewasa, oleh karena itu, remaja
seringkali dikenal dengan fase “mencari jati diri” karena remaja masih belum
mampu menguasai dan memfungsikan secara maksimal fungsi fisik maupun psikisnya.
Masa remaja merupakan masa peralihan antara masa kehidupan anak-anak dan
masa kehidupan orang dewasa yang ditandai dengan pertumbuhan dan perkembangan
biologis dan psikologis. Secara biologis ditandai dengan tumbuh dan berkembangnya
seks primer dan seks sekunder sedangkan secara psikologis ditandai dengan sikap dan
perasaan, keinginan dan emosi yang labil atau tidak menentu.
Menurut World Health Organization (WHO), remaja adalah seseorang yang sudah
mencapai usia 10-19 tahun sedangkan menurut Peraturan Menteri Kesehatan No. 25
tahun 2014, remaja adalah penduduk dengan rentang usia 10-18 tahun dan belum
menikah (Kemenkes, 2015). Menurut data sebanyak 1,2 miliyar jumlah usia 15-19
tahun di dunia dan diperkirakan pada tahun 2030 akan terjadi peningkatan sebanyak
7% sehingga mendekati jumlah 1,3 miliyar (UN, 2015). Sedangkan di Indonesia di
tahun 2017 jumlah penduduk Indonesia dengan usia 10-19 tahun sebanyak 44,296 juta
jiwa menurut data Badan Pusat Statistik (BPS, 2013)
Menurut Hasil Survei Demografi dan Kesehatan Indonesia (SDKI) Tahun 2017,
mengenai kesehatan reproduksi remaja menunjukkan bahwa perilaku pacaran menjadi
awal masuk pada praktik perilaku berisiko yang menjadikan remaja rentan mengalami
kejadian yang tidak diinginkan seperti kehamilan di usia dini, kehamilan di luar nikah,
kehamilan tidak diinginkan, dan terinfeksi penyakit menular seksual hingga aborsi yang
tidak aman. Survei menunjukkan bahwa sebanyak 81 % remaja wanita dan sebanyak 84
% remaja pria telah berpacaran. 45% remaja wanita dan 44% remaja pria mulai
berpacaran di usia 15-17 tahun. Sebagian besar remaja wanita dan remaja pria mengaku
saat berpacaran sudah melakukan aktivitas berpegangan tangan (64% wanita dan 75%
pria), berpelukan (17% wanita dan 33% pria), cium bibir (30% wanita dan 50% pria) dan
meraba/diraba (5% wanita dan 22% pria). Meskipun 99% remaja perempuan dan 98%
remaja pria berpendapat bahwa keperawanan perlu dipertahankan, adapun remaja yang
melaporkan telah melakukan hubungan seksual sebesar 8% remaja pria dan 2% remaja
wanita dengan alasan antara lain: 47% saling mencintai, 30% rasa penasaran/ingin tahu,
16% terjadi begitu saja, masing-masing 3% karena pengaruh dari teman. Di antara
remaja perempuan dan remaja pria yang telah melakukan hubungan seksual pra nikah
sebesar 59% remaja perempuan dan 74% remaja pria mengaku mulai berhubungan
seksual pertama kali di usia 15-19 tahun. Di antara wanita dan pria, 12 persen kehamilan
tidak diinginkan dilaporkan oleh remaja perempuan dan 7 persen dilaporkan oleh remaja
pria yang mempunyai pasangan dengan kehamilan tidak diinginkan. Dua puluh tiga
persen remaja perempuan dan 19 persen remaja pria mengetahui seorang teman yang
mereka kenal yang telah melakukan aborsi, satu persen di antara mereka ada yang
menemani dan mempengaruhi teman/seseorang untuk melakukan aborsi kepada
kandungannya (SDKI, 2017).
Salah satu penyebab terjadinya banyaknya permasalahan diatas adalah akibat dari
pengetahuan remaja yang kurang mengenai kesehatan reproduksi. Oleh karena itu,
diperlukan adanya pendidikan kesehatan reproduksi sebagai salah satu upaya untuk
meningkatkan pemahaman, pengetahuan, sikap, dan perilaku positif anak usia sekolah
dan remaja mengenai kesehatan reproduksi remaja. Dengan remaja mengetahui informasi
yang benar dan risiko diharapkan remaja dapat lebih bertanggung jawab terhadap diri
sendiri dan lingkungan sekitarnya.
Dari banyaknya masalah kesehatan yang ada pada remaja maka itu dibutuhkan
program yang dapat menanggulangi permasalahan tersebut. Sehingga program ini
diharapkan dapat menjadi solusi terkait permasalahan yang ada dan dapat
menanggulangu masalah tersebut. Sejak tahun 2003, Kementerian Kesehatan memiliki
strategi untuk menanggulangi permasalahan kesehatan pada remaja melalui program
Pelayanan Kesehatan Peduli Remaja (PKPR). Program tersebut memiliki tujuan khusus
yaitu untuk meningkatkan pengetahuan dan keterampilan remaja tentang kesehatan
reproduksi dan perilaku hidup sehat serta memberikan pelayanan kesehatan yang
berkualitas bagi remaja (Kemenkes, 2016).

Menurut hasil data yang dibuat oleh Kementrian Kesehatan RI


Pada tahun 2016,menetapkan target melalui Rencana Strategis
Kementerian Kesehatan RI sebesar 30% puskesmas yang ada di
Indoensia melaksanakan kegiatan kesehatan remaja dan pada tahun
2016. Berdasarkan Profil Kesehatan Indonesia di tahun
2016,terdapat 42,67% atau sebesar 4.164 Puskesmas yang ada di
Indonesia menyelenggarakan PKPR, meskipun masih terdapat beberapa
provinsi yang masih di bawah target nasional (30%) yaitu Provinsi
Sumatra Utara, DKI Jakarta, Nusa Tenggara Timur, Kalimantan
Tengah, Sulawesi Utara, Sulawesi Tengah, Sulawesi Selatan,
Sulawesi Tenggara, Gorontalo, Sulawesi Barat, Maluku Utara, Papua
Barat, dan Papua. Sedangkan pada Provinsi Banten sudah mencapai
36,91% (Kemenkes, 2017).
1.2 Rumusan Masalah
Berdasarkan penjelasan diatas, peneliti melakukan rumusan masalah yaitu bagaimana
pelaksanaan program layanan PKPR di Puskesmas Cakung dan program apa saja yang sudah
dilakukan Puskesmas Cakung untuk mengatasi permasalahan yang dialami oleh remaja

1.3 Tujuan Umum


Dapat mengetahui Gambaran Pelaksanaan Program PKPR yang dilakukan di Puskesmas
Cakung pada remaja di jakarta

1.4 Tujuan Khusus


1. Untuk mengetahui pelaksanaan progran PKPR di puskesmas x
2. Untuk mengetahui Fasilitas Sarana dan Prasarana PKPR di puskesmas x
3. Untuk mengetahui pemanfaatan layanan program pkpr pada puskesmas x
4. Untuk mengetahui Hambatan dalam pelaksanaan program PKPR di puskusmas x

1.5 Manfaat

1.5.1 Bagi Peneliti


Peneliti dapat mengaplikasikan ilmu yang telah diperoleh dari proses belajar terkait
manajemen pelayanan kesehatan, terkhusus implementasi program kesehatan.
1.5.2 Bagi Program Studi
Meningkatkan kualitas hubungan dan kerjasama antar kedua belah pihak tentang
pentingnya kesehatan reproduksi remaja dalam penanganan Kehamilan Tidak
Direncanakan serta dari hasil PBL II ini dapat menjadi bahan referensi dan masukan
selanjutnya.
1.5.3 Bagi Intansi/Perusahaan
Hasil dari penelitian dapat dijadikan masukan dalam pelaksanaan program PKPR
kedepannya bagi Puskesmas Cakung

1.6 Ruang Lingkup Penelitian


Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui Gambaran Pelaksanaan Program
Pelayanan Kesehatan Peduli Remaja (PKPR) di Puskesmas Cakung Tahun 2020.3.
Penelitian ini merupakan penelitian kualitatif yang akan dilaksanakan pada bulan
April sampai bulan Juli 2020 di Wilayah kerja Puskesmas Cakung. Pengumpulan
Data dilakukan dengan menggunakan teknik wawancara mendalam kepada informan
ahli, informan kunci, dan informan pendukung dan melakukan observasi serta telaah
dokumen untuk memperoleh data primer dan data sekunder sesuai dengan informasi
dan data yang dibutuhkan.
Memilih Puskesmas Cakung sebagai tempat penelitian karena puskesmas cakung
memiliki masalah terkait dengan pelaksanaan Program Pelayanan Kesehatan Peduli
Remaja (PKPR) oleh karena itu peneliti ingin melihat pelaksaan Program Pelayanan
Kesehatan Peduli Remaja (PKPR) di Puskesmas Cakung.
BAB II
Tinjauan Pustaka dan Kerangka Teori

22. Kesehatan Reproduksi


Menurut WHO, kesehatan reproduksi adalah suatu keadaan sejahtera fisik,
mental dan sosial yang utuh bukan hanya bebas dari penyakit atau kecacatan
dalam segala aspek yang berhubungan dengan sistem reproduksi, fungsi dan
prosesnya. Sedangkan menurut Depkes RI (2000), kesehatan reproduksi adalah
suatu keadaan sehat secara menyeluruh mencakup fisik, mental dan kehidupan
sosial yang berkaitan dengan alat, fungsi serta proses reproduksi yang pemikiran
kesehatan reproduksi bukannya kondisi yang bebas dari penyakit melainkan
bagaimana seseorang dapat memiliki kehidupan seksual yang aman dan
memuaskan sebelum dan sesudah menikah.
Istilah reproduksi itu sendiri berasal dari kata “re” yang berarti kembali
dan “produksi” berarti membuat atau menghasilkan. Jadi istilah reproduksi
mempunyai arti suatu proses kehidupan manusia dalam menghasilkan keturunan
demi kelestarian hidupnya. Sedangkan yang disebut organ atau alat reproduksi
adalah alat yang berfungsi untuk reproduksi manusia. Lalu remaja adalah
seorang anak yang telah mencapai umur 12 tahun hingga 21 tahun. Jadi
kesehatan reproduski remaja adalah suatu kondisi sehat yang menyangkut
sistem, fungsi dan proses reproduksi yang dimiliki oleh seseorang remaja. Sehat
disini bukan semata-mata berarti bebas dari penyakit atau bebas dari kecacatan
namun juga sehat secara mental dan sosial.
Masa remaja juga dicirikan dengan banyaknya rasa ingin tahu pada diri
seseorang dalam berbagai hal, tidak terkecuali bidang seks. Seiring dengan
bertambahnya usia seseorang, organ reproduksi pun mengalami perkembangan
dan pada akhirnya akan mengalami kematangan. Pada masa pubertas, hormon-
hormon yang mulai berfungsi selain menyebabkan perubahan fisik atau tubuh
juga mempengaruhi dorongan seks remaja. Remaja mulai merasakan dengan
jelas meningkatnya dorongan seks dalam dirinya, misalnya muncul ketertarikan
dengan orang lain dan keinginan untuk mendapatkan kepuasan seksual.
Kematangan organ reproduksi dan perkembangan psikologis remaja yang mulai
menyukai lawan jenisnya serta arus media informasi baik elektronik maupun
non elektronik akan sangat berpengaruh terhadap perilaku seksual individu
remaja tersebut.
Era globalisasi dan derasnya arus informasi menyebabkan masuknya
budaya barat ke dalam masyarakat Indonesia, baik secara langsung maupun
secara tidak langsung melalui multimedia. Hal ini menyebabkan pergeseran
budaya dan moral masyarakat. Dampaknya adalah meningkatnya pergaulan
bebas yang berujung terjadinya hubungan pra nikah di kalangan remaja yang
berdampak pada meningkatnya kasus kehamilan yang tidak direncanakan.
Diperlukan strategi yang tepat dan benar agar permasalahan kehamilan pada
remaja dapat teratasi dan jumlahnya berkurang pada tahun-tahun yang akan
mendatang meskipun hal tersebut dirasa berat karena semakin merebaknya gaya
hidup remaja yang kebarat-baratan
Sebagai akibat proses kematangan sistem reproduksi ini, seorang remaja
sudah dapat mempunyai keturunan. Meskipun demikian, hal ini tidak berarti
bahwa remaja sudah mampu bereproduksi dengan aman secara fisik. Usia
reproduksi yang sehat untuk wanita adalah antara 20 – 35 tahun. Faktor yang
mempengaruhinya ada bermacam-macam. Misalnya, sebelum wanita berusia 20
tahun secara fisik kondisi organ reproduksi seperti rahim belum cukup siap
untuk memelihara hasil pembuahan dan pengembangan janin.Selain itu, secara
mental pada umur ini wanita belum cukup matang dan dewasa.Ibu muda
biasanya kemampuan dalam perawatan sebelum melahirkan kurang baik karena
rendahnya pengetahuan dan rasa malu untuk datang memeriksakan diri ke pusat
pelayanan kesehatan. Salah satu masalah yang sering timbul pada remaja terkait
dengan masa awal kematangan organ reproduksi pada remaja adalah perilaku
seksual beresiko masalah kehamilan yang terjadi pada remaja usia sekolah
diluar pernikahan, dan terjangkitnya penyakit menular seksual termasuk
HIV/AIDS.
2.2 Remaja

Menurut WHO remaja merupakan suatu masa di mana individu berkembang dari
pertama kali ia menunjukan tanda-tanda seksual sekunder sampai saat ia mencapai
pematangan seksual. Lalu individu itu sendiri mengalami psikologi indentifikasi dari
kanak-kanak menjadi dewasa dan terjadi peralihan dan ketergantungan sosial
ekonomi yang penuh dengan keadaan yang relatif lebih mandiri. WHO menetapkan
batas usia 10-20 tahun sebagai batasan usia remaja. Dengan membagi menjadi 2
bagian dimana remaja awal pada usia 10-14 tahun dan remaja akhir 15-20 tahun
(Sarwono, 2010).
Masa remaja merupakan masa diantara masa kanak-kanak dengan dewasa.
Pada tahap ini remaja belum mencapai kematangan mental dan sosial sehingga
remaja harus menghadapi banyak tekanan emosi dan sosial yang saling
bertentangan. Remaja juga akan mengalami yang dinamakan perubahan fisik
dengan cepat ketika remaja itu memasuki masa puber. Salah satu dari
perubahan fisik tersebut adalah kemampuan untuk melakukan proses
reproduksi. Tetapi banyak fenomena memperlihatkan sebagian remaja belum
mengetahui dan memahami tentang kesehatan reproduksi, misalnya tentang
menstruasi dan terjadinya kehamilan (Hery 2018).
2.3 Puskesmas
Puskesmas merupakan fasilitas pelayanan kesehatan tingkat pertama yang
menyelenggarakan upaya kesehatan masyarakat dan perorangan dengan
mengutamakan upaya promotif dan preventif untuk mencapai derajat
kesehatan yang tinggi di tempat kerjanya (Permenkes RI No 75, 2014).
Puskesmas adalah fasilitas pelayanan kesehatan yang dibangun untuk
menyelenggarakan pelayanan kesehatan dasar yang menyeluruh juga terpadu
untuk masyarakat yang tinggal di wilayah kerjanya. Kunjungan masyarakat di
setiap unit pelayanan kesehatan di pengaruhi oleh beberapa faktor seperti
kualitas pelayanan kesehatan, sumber daya manusia (sdm), motivasi pasien,
tarif, lokasi, ketersediaan alat dan juga bahan. Puskesmas merupakan sarana
pelayanan kesehatan yang penting di indonesia. Puskesmas adalah unit
pelaksana teknis dinas kabupaten/kota yang memiliki tanggung jawab
menyelenggarakan pembangunan kesehatan di wilayah kerja (Depkes, 2011).
2.3.1 Tujuan Puskesmas
Tujuan pembangunan kesehatan yang diselenggarakan oleh puskesmas
yang memiliki tujuan untuk mendukung tercapainya tujuan pembangunan
kesehatan nasional yaitu meningkatkan kesadaran, kemauan, dan juga
kemampuan untuk hidup sehat terhadap orang yang bertempat tinggal di
wilayah kerja puskesmas sehingga dapat meningkatkan derajat kesehatan yang
setingi tingginya (Trihono, 2010).
2.3.2 Fungsi Puskesmas
Untuk melakukan tugasnya puskesmas memiliki fungsi yakni
menyelenggarakan Upaya Kesehatan Perorangan (UKP) tingkat pertama pada
wilayah kerjanya dan Upaya Kesehatan Masyarakat (UKM) tingkat pertama
pada wilayah kerjanya, Puskesmas memiliki wewenang untuk:
a. Membuat rencana berdasarkan analisis masalah kesehatan masyarakat
dan analisis pelayanan yang dibutuhkan
b. Melakukan advokasi dan sosialisasi kebijakan kesehatan
c. Melakukan komunikasi yang baik
d. Memberikan informasi, edukasi, dan pemberdayaan masyarakat di
bidang kesehatan
e. Melibatkan masyarakat dalam menyelesaikan masalah kesehatan
disetiap tingkat perkembangan masyarakat yang melakukan kerja sama
di sektor lain terkait
f. Melaksanakan pembinaan teknis pada jaringan layanan dan upaya
kesehatan berbasis masyarakat
g. Melakukan peningkatan terhadap kompetensi sumber daya manusia di
puskesmas
h. Melakukan pemantauan terhadap pelaksanaan pembangunan agar
berwawasan kesehatan
i. Mencatat, melapor, dan mengevaluasi pada akses, mutu, dan cakupan
pelayanan kesehatan
j. Memberikan rekomendasi terhadap masalah kesehatan masyarakat
seperti dukungan pada sistem kewaspadaan dini serta respon
penanggulangan penyakit (Permenkes RI no 75 Tahun 2014).
2.3.3 Visi Puskesmas
Visi puskesmas adalah menyelenggarakan pembangunan kesehatan yang
sesuai dengan paradigma sehat, bertanggung jawab pada wilayah, kemandirian
masyarakat, pemerataan serta teknologi yang tepat guna, terpadu dan
berkesinambungan (Permenkes RI no 75 Tahun 2014).
2.3.4 Misi Puskesmas
Misi puskesmas dalam pembangunan kesehatan yang harus
diselenggarakan yakni mendukung untuk mencapai visi pembangunan
kesehatan nasional:
a. Memberikan dorongan bagi seluruh pemangku kepentingan agar
berkomitmen dalam melakukan upaya pecegahan serta mengurangi resiko
kesehatan yang dihadapi setiap individu maupun keluarga, kelompok dan
masyarakat
b. Melakukan pergerakan dan bertanggung jawab pada pembangunan
kesehatan di wilayah kerjanya
c. Memberikan dorongan kemandirian bagi individu, keluarga, kelompok dan
masyarakat agar mampu hidup sehat
d. Menyediakan pelayanan kesehatan yang dapat diakses, terjangkau yang
adil tanpa membeda bedakan suku, ras, agama, status ekonomi, sosial, dan
budaya pada seluruh masyarakat di wilayah kerjanya
e. Menyediakan pelayanan kesehatan yang dapat memanfaatkan teknologi
dengan tepat guna yang sesuai dengan kebutuhan pelayanan, mudah diakses
dan dimanfaatkan serta tidak memiliki dampak buruk pada lingkungan.
Dapat berintegrasi dan berkoordinasi dalam penyelenggaraan UKM dan
UKP lintas program dan lintas sektor dan melaksanakan Sistem Rujukan
yang didukung dengan manajemen Puskesmas (Permenkes RI no 75 Tahun
2014).
2.4 Program Pelayanan Kesehatan Peduli Remaja (PKPR)
Pada Renstra Kemenkes 2015-2019, disebutkan bahwa diharapkan puskesmas yang
dapat menyelenggrarakan kegiatan remaja sebesar 45% dari seluruh puskesmas yang
ada di Indonesia pada tahun 2019 (Kemenkes, 2015). 2. Melatih kader kesehatan
remaja di sekolah minimal sebanyak 10%
dari jumlah murid di sekolah binaan; dan
3. Memberikan pelayanan konseling pada semua remaja yang
memerlukan konseling yang kontak dengan petugas PKPR.
Layanan PKPR merupakan pendekatan yang komperhesif dan
menekankan pada upaya promotif/preventif berupa pembekalan kesehatan dan
peningkatan keterampilan psikososial dengan Pendidikan Keterampilan Hidup
Sehat (PKHS). Layanan konseling menjadi ciri dari PKPR mengingat
permasalahan remaja yang tidak hanya berhubungan dengan fisik tetapi juga
psikososial. Upaya penjangkauan terhadap kelompo remaja juga dilakukan
melalui kegiatan Komunikasi Informasi dan Edukasi (KIE), Focus Group
Discussion (FGD), dan penyuluhan ke sekolah-sekolah dan kelompok remaja
lainnya.
Fenomena peer groups (kelompok sebaya) juga menjadi perhatian pada
program PKPR. Oleh karena itu, program ini juga memberdayakan remaja
sebagai konselor sebaya yang diharapkan mampu menjadi agen pengubah (agent
of change) di kelompoknya. Konselor sebaya ini sangat potensial karena adanya
kecenderungan pada remaja untuk memilih teman sebaya sebagai tempat
berdiskusi dan rujukan informasi.
Selain pemberian informasi, edukasi, dan kegiatan seperti disebutkan
sebelumnya, pelayanan kesehatan sekolah tersebut juga meliputi pemeriksaan
kesehatan, pemeriksaan perkembangan kecerdasan, pemeriksaan imunisasi,
penemuan kasus-kasus dini yang mungkin terjadi, pengobatan sederhana, 20
pertolongan pertama serta rujukan bila menemukan kasus yang tidak dapat
ditanggulangi di sekolah.
2.2.1 Ruang Lingkup Pelayanan PKPR
Berikut ruang lingkup pelayanan PKPR (Kemenkes, 2014):
1. Pengguna Pelayanan PKPR
Berdasarkan UU No.23 tahun 2002 tentang Perlindungan
Anah bahwa sasaran pengguna layanan PKPR adalah kelompok
remaja usia 10-18 tahun. Walaupun demikian, mengingat batasan
usia remaja menurut WHO adalah 10-19 tahun, maka Kementerian
Kesehatan menetapkan sasaran pengguna layanan PKPR meliputi
remaja berusia 10 sampai 19 tahun, tanpa memandang status
pernikahan. Adapun fokus sasaran layanan puskesmas PKPR
adalah berbagai kelompok remaja, antara lain:
a. Remaja di sekolah: sekolah umum, madrasah, pesantren,
sekolah luar biasa;
b. Remaja di luar sekolah: karang taruna, saka bakti husada,
palang merah remaja, panti yatim piatu/rehabilitasi, kelompok
belajar mengajar, organisasi remaja, rumah singgah, kelompok
keagamaan;
c. Remaja putri sebagai calon ibu dan remaja hamil tanpa
mempermasalahkan status pernikahan;
d. Remaja yang rentan terhadap penularan HIV, remaja yang
sudah terinfeksi HIV, remaja yang terkena dampak HIV dan
AIDS, remaja yang menjadi yatim/piatu karena AIDS;21
e. Remaja berkebutuhan khusus, yang meliputi kelompok remaja
sebagai berikut:
 Korban kekerasan, korban traficking, korban eksploitasi
seksual;
 Penyandang cacat, di lembaga permasyarakatan (LAPAS),
anak jalanan, dan remaja pekerja;
 Di daerah konflik (pengungsian), dan di daerah terpencil.
2. Paket Pelayanan Remaja yang Sesuai Kebutuhan
Meliputi pelayanan promotif, preventif, kuratif, dan
rehabilitatif yang harus diberikan secara komperhensif di semua
tempat yang akan melakukan pelayanan remaja dengan pendekatan
PKPR. Intervensi meliputi:
 Pelayanan kesehatan reproduksi remaja (meliputi infeksi
menular seksual/IMS, HIV&AIDS) termasuk seksualitas dan
pubertas;
 Pencegahan dan penanggulangan kehamilan pada remaja;
 Pelayanan gizi (anemia, kekurangan dan kelebihan gizi)
termasuk konseling dan edukasi;
 Tumbuh kembang remaja;
 Skrining status TT pada remaja;
 Pelayanan kesehatan jiwa remaja, meliputi: masalah
psikososial, gangguan jiwa, dan kualitas hidup;
 Pencegahan dan penanggulangan NAPZA;
 Deteksi dan penanganan kekerasan terhadap remaja;22
 Deteksi dan penanganan tuberkulosis; serta
 Deteksi dan penanganan kecacingan.
2.2.2 Pelaksanaan Pelayanan PKPR
Adapun pelayanan yang ada dalam program PKPR adalah
sebagai berikut (Depkes, 2008):
1. Pemeriksaan Kesehatan
a. Dilaksanakan pemeriksaan kesehatan secara umum;
b. Pemeriksaan laboratorium dilakukan hanya bila perlu;
c. Pemeriksaan kesehatan dapat dilaksanakan antara lain:
1) Di puskesmas di setiap ruangan pemeriksaan gigi, KIA, KB,
BP bagi setiap remaja yang datang ke ruangan tersebut
dilakukan pemeriksaan dan anamnesa lengkap;
2) Di rumah tinggal/di tempat-tempat lain yang dipakai tempat
berkumpul anak remaja; dan
3) Di sekolah saat penjaringan anak sekolah oleh kader dan
petugas puskesmas.
2. Pengobatan
a. Semua penyakit yang ditemukan diobati sesuai dengan
penyakitnya;
b. Pengobatan dilaksanakan di puskesmas; dan
c. Apabila diperlukan rujukan, dapat dirujuk ke rumah sakit.
3. Konseling
a. Merupakan kegiatan pembinaan kepada remaja yang
mempunyai kasus kesehatan reproduksi remaja atau kasus yang 23
memerlukan dialog. Tempat konseling dapat dilaksanakan di
puskesmas, sekolah atau tempat pelayanan khusus konseling
kesehatan remaja;
b. Pelaksana adalah petugas baik medis maupun non medis dan
kader kesehatan yang telah dilatih.
4. Penyuluhan
Peyuluhan kesehatan remaja dilaksanakan pada setiap
kesemapatan, misalnya: pada saat penerimaan murid baru di
sekolah, atau pada saat seminar remaja.
2.2.3 Jenis Penyelenggaraan Pelayanan/Kegiatan PKPR
Pada dasarnya, apabila dilihat dari jenis pelayanan/kegiatan
yang diselenggarakan, puskesmas dibedakan menjadi puskesmas yang
memberikan layanan minimal dan puskesmas yang memberikan
layanan paripurna. Berikut penjelasannya (Depkes, 2008):
1. Puskesmas dengan layanan minimal, mempunyai ciri-ciri sebagai
berikut:
a. Puskesmas memberikan layanan konseling, walaupun belum
memberi pelayanan remaja secara tersendiri/terpisah;
b. Puskesmas melaksanakan pemeriksaan fisik maupun
laboratorium sederhana. Misalnya Hb, Tes Hamis, Virus
penyakit kelamin, Tinggi Badan dan Berat Badan;
c. Puskesmas melaksanakan kegiatan KIE di sekolah;
d. Puskesmas melaksanakan survei perilaku remaja kepada
sasaran remaja di wilayahnya;24
e. Puskesmas melaksanakan rujukan klinik medis ke fasilitas
kesehatan yang lebih tinggi sesuai dengan kebutuhan klien.
2. Puskesmas dengan layanan paripurna, mempunyai ciri-ciri sebagai
berikut:
a. Puskesmas dengan layanan konseling dan sudah dapat memberi
pelayanan remaja secara tersendiri/terpisah;
b. Puskesmas dengan klinik kesehatan reproduksi (termasuk IMS,
HIV-AIDS) yang lengkap, sehingga mendukung pelaksanaan
rujukan internal;
c. Puskesmas melaksanakan pelatihan konselor sebaya di tingkat
sekolah lanjutan;
d. Puskesmas melaksanakan pelatihan konselor sebaya pada
kelompok remaja di luar sekolah (pramuka, karang taruna,
pesantren atau institusi berbasis agama lainnya, anak jalanan,
pekerja remaja, dll);
e. Puskesmas melaksanakan KIE pada kelompok-kelompok
remaja di luar sekolah (pramuka, karang taruna, pesantren atau
institusi berbasis agama lainnya, anak jalanan, pekerja remaja,
dll);
f. Puskesmas melaksanakan layanan rujukan sosial (misalnya
menyalurkan ke lembaga pelatihan keterampilan kerja, merujuk
ke lembaga rehabilitasi mental) dan pranata hukum sesuai
dengan kebutuhan klien;25
g. Puskesmas mengembangkan inovasi kegiatan dengan
memanfaatkan sarana komunikasi atau teknologi yang ada,
misalnya pelayanan konseling melalui hot-line service/SMS
atau pemberian informasi melalui website dan media elektronik
seperti radio, televisi;
h. Puskesmas mengembangkan lokasi kegiatan yang melibatkan
remaja, misalnya pelatihan Peer Counselor/Konselor Sebaya
atau kegiatan KIE secara outbound/luar ruangan, di mall, cafe,
dan lokasi-lokasi yang disukai remaja.
2.2.4 Standar Nasional PKPR
Bagian penting dari suatu pelayanan kesehatan adalah tersedia
dan dipatuhinya standar, karena pelayanan kesehatan yang bermutu
adalah bila pelayanan tersebut dilaksanakan sesuai dengan standar yang
ada. Suatu standar pelayanan haruslah valid, artinya ada kaitan yang
kuat antara standar dengan hasil yang diinginkan. Apabila standar
dipatuhi, maka hasil yang diingnkan akan tercapai. Standar harus ditulis
dengan jelas, sehingga petugas tidak salah menterjemahkannya ke
dalam pelayanan. Apa yang tercantum dalam standar pelayanan harus
realistis, artinya tidak terlalu sulit untuk dilaksanakan oleh petugas
(Bustami, 2011).
Adapun pengertian standar menurut Slee (1974) adalah
rumusan tentang penampilan atau nilai yang diinginkan yang mampu
dicapai, berkaitan dengan parameter yang telah ditetapkan. Sedangkan,
menurut Clinical Practice Guideline (1990) pengertian standar adalah 26
keadaan ideal atau tingkat pencapaian tertinggi dan sempurna yang
digunakan sebagai batas penerimaan minimal. Berdasarkan pernyataan
tersebut, dapat disimpulkan bahwa standar menunjuk pada tingkat
ketercapaian ideal yang diinginkan dan merupakan tujuan yang ingin
dicapai (Bustami, 2011).
Dalam pelaksanaannya, agar standar yang sudah ditetapkan bisa
dicapai, maka diperlukan pedoman/petunjuk pelaksanaan, prosedur
tetap, atau standard operating procedure (SOP). Untuk mengukur
tercapai atau tidaknya standar, maka digunakan indikator atau tolak
ukur yang menunjuk pada ukuran kepatuhan terhadap standar yang
telah ditetapkan. Adapun standar dibedakan atas (Bustami, 2011):
1. Standar Masukan
Standar masukan (input atau structure) dapat berupa tenaga,
peralatan, fasilitas, sumber dana, bahan, dan organisasi.
2. Standar Proses
Standar proses berfokus pada interaksi profesi dengan
pasien/konsumen/masyarakat dan digunakan untuk menilai
pelaksanaan proses pelayanan kesehatan dan merupakan kinerja
pelayanan kesehatan. Standar proses biasanya dinyataan sebagai
kebijaksanaan atau prosedur kerja.
3. Standar Keluaran
Standar keluaran merupakan ketentuan ideal yang
menunjuk pada hasil langsung pelayanan. Karena menunjuk pada 27
hasil keluaran, maka standar keluaran sering juga disebut dengan
standar penampilan.
4. Standar Hasil
Standar hasil merupakan ukuran hasil intervensi pelayanan
kesehatan terhadap pasien/konsumen/masyarakat. Standar hasil
biasanya ditentukan oleh pihak ketiga, bukan oleh pemberi
pelayanan atau sarana pelayanan kesehatan.
Standar Nasional PKPR adalah dokumen tertulis yang berisi
berbagai persyaratan mutu PKPR, yang meliputi persyaratan mutu
masukan (input), proses, maupun luaran (output). Standar Nasioanl
PKPR dikembangkan untuk digunakan sebagai pedoman dalam
mengarahkan dan menilai mutu PKPR. Jadi pada dasarnya Standar
Nasional PKPR adalah pedoman pengendalian mutu yang digunakan
oleh fasilitas kesehatan untuk meningkatkan dan menjamin mutu PKPR
yang telah dilaksanakan. Untuk dapat menggunakan standar tersebut,
fasilitas kesehatan harus terlebih dahulu mampu dalam melaksanakan
pelayanan/kegiatan PKPR. Adapun kriteria Puskemas mampu
melaksanakan pelayanan/kegiatan PKPR sebagai berikut (Kemenkes,
2014):
a. Memberikan pelayanan konseling pada semua remaja yang
memerlukan konseling yang kontak dengan petugas PKPR;
b. Melakukan pembinaan pada minimal 1 (satu) sekolah dalam 1
(satu) tahun di sekolah umum atau sekolah berbasis agama, dengan 28
minimal melakukan kegiatan KIE di sekolah binaan minimal 2 kali
dalam setahun;
c. Melatih konselor sebaya di sekolah minimal sebanyak 10% dari
jumlah murid sekolah binaan.
Selanjutnya, untuk meningkatan kualitas penyelenggaraan
PKPR, Puskesmas harus meningkatkan mutu masukan dan proses
kegiatannya. Terdapat 5 aspek/komponen yang diatur dalam Standar
Nasional PKPR yang berkaitan dengan penyelenggaraannya, yaitu
(Kemenkes, 2014): 1) Sumber Daya Manusia (SDM) Kesehatan; 2)
Fasilitas Kesehatan; 3) Remaja; 4) Jejaring; dan 5) Manajemen
Tabel 2.2 Komponen Standar SN-PKPR

Anda mungkin juga menyukai