Anda di halaman 1dari 7

Nama : Afifatul Faizah

NIM : A92218083

Kelas : Sejarah Intelektual Islam 1 - 4D

INTELEKTUALISME ISLAM IMAM MADZHAB

Biografi dan Pemikiran Madzhab / Akidah Muhammad bin Idris al-Syaf’i


(150 H./767 M.-204 H./819 M.)

A. Biografi Muhammad bin Idris al-Syafi’i

Imam Syafi’i dilahirkan di Ghazzah, Palestin tahun 150 H/ 767 M dan wafat pada
bulan Rajab 204 H / 819 M. N ama aslinya ialah Muhammad bin Idris bin al-`Abbas bin
Usman bin Syafi'i bin al-Saib bin Ubaid bin Abdu Yazid bin Hasyim bin al-Muttalib bin
Abdi Manaf bin Qushay bin Kilab bin Murrah bin Ka’ab bin Luay bin Ghalib Abu Abdillah
al-Qurasyi al-Syafi’i al Makki. Kata al Syafi’i dinisbahkan kepada nama kakeknya yang
ketiga, yaitu al Syafi’i ibn as-Sa’ib ibn Abid ibn Abd Yazid ibn Hasyim ibn al Muthalib
ibn Abd Manaf, Abd Manaf ibn Qusay kakek kesembilan dari kesembilan dari Imam
Syafi’i adalah Abdul Manaf ibn Qusay kakek ke empat dari Nabi Muhammad SAW, jadi
nasab Imam al Syafi’i bertemu dengan Muhammad SAW pada Abdul Manaf. 1

Sedangkan ibunya bernama Fatimah Binti Abdullah ibn Husain ibn Ali ibn Abi
Thalib. Ia adalah cicit dari Ali ibn Abi Thalib. Dengan demikian kedua orang tua Imam
Syafi’i berasal dari bangsawan Arab Quraisy. Kedua orang tuanya meninggalkan Mekkah
menuju Gaza, Palestina, ketika ia masih dalam kandungan. Tak lama setelah telah tiba di
Gaza, Ayahnya jatuh sakit kemudian wafat. Hal itu yang membuat Imam Syafi’i lahir
dalam keadaan yatim dan dibesarkan dala keadaan yang sangat sederhana, setelah imam al
Syafi’i berumur dua tahun ibunya membawanya pulang ke kampung asalnya Mekkah,

1
Huzeamah Tahido Yanggo, Pengantar Perbandingan Mazhab, (Jakarta : Logos, 1976), h.121.

1
disinilah Imam Syafi’i tumbuh dan dibesarkan. Meskipun begitu pada usia 9 tahun beliau
sudah dapat menghafal Al Quran 30 juzuk di luar kepala dengan lancarnya. Setelah dapat
menghafal Al Quran, Imam Syafi’i berangkat ke dusun Badui Banu Hudzail untuk
mempelajari bahasa arab yang asli dan fasih 2. Selain itu juga menghafal hadits dan
menuliskannya, beliau juga sangat tekun mempelajari kaidah-kaidah nahwu bahasa arab.

Di Mekkah dia mulai menimba ilmu, Imam al-Syafi’i mengikuti latihan memanah,
dalam hal ini kemampuan yang dimiliknya di atas teman temannya. Kemudian menekuni
bahasa Arab dan Syair, setelah menguasai keduanya Imam Syafi’i lalu menekuni dunia
fiqh dan akhirnya menjadi ahli fiqh terkemuka di masanya. Setelah itu dia pindah ke
Madinah ke Baghdad dua kali, dan akhirnya menetap di Mesir tahun 199 Hijriah Di Mesir,
beliau mengajar serta menyusun beberapa kitab yang pernah diajarkannya kepada para
muridnya. Saat menjelang akhir hayatnya, ia menderita penyakit Bawasir yang susah
diobati. Hal ini disebabkan beliau terlalu sering duduk untuk menulis. Apalagi beliau
mendapat musibah dengan dikeroyok oleh futiah dan para pengikutnya ketika beliau
sedang sendirian. Akibat pengeroyokan itu Imam al-Syafi’i jatuh pingsan dan dibawa
dirumahnya dengan digotong. Ia alhirnya wafat tepat pada Hari Kamis malam Jum’at
tanggal 29 rajab 204 H (820 M). Kitab karyanya yang paling terkenal adalah ar-Risalah
yang ditulis dengan bahasa yang mudah dicerna dan banyak menyimpan makna berikut
dasar-dasar yang kokoh.

Sebagai Ulama yang tempat mengajarnya berpindah-pindah al-Syafi’I mempunyai


ribuan murid yang berasal dari berbagai penjuru, diantara yang terkenal adalah : ar-Rabi’
ibn Sulaiman al-Marawi, Abdullah ibn zubair al Hamidi, Yusuf ibn Yahya ibn Buwaiti,
Abu Ibrahim, Ismail ibn Yahya al Mujazani, Yunus ibn Abdul A’la as-Sadafi, Ahmad ibn
Sibti, Yahya ibn Wasir al Misri, Harmalah ibn Yahya Abdullah at-Tujaibi, Ahmad ibn
Hambal, Hasan bin Ali al-Karabisi, Abu Saur Ibrahim ibn Khalid Yamani al-kalibi, Hasan
ibn Ibrahim ibn Muhammad as-Sahab az-ja’farani. Mereka semua berhasil menjadi Ulama
besar dimasanya.3

2
Munawir Chalil, Biografi Empat Serangkai Imam Mazhab, (Jakarta : Bulan Bintang, 1995), h. 260.
3
Saiful hadi, 152 Ilmuwan Muslim Pengukir Sejarah, (Jakarta : Intimedia Cipta Nusantara), h.421.

2
B. Pemikiran Madzhab / Akidah Muhammad bin Idris al-Syafi’i

1. Tentang Perbuatan Manusia

Sebagaimana telah dimaklumi bahawa corak teologi tradisional yang diwakili di


antaranya oleh aliran al-Asy'ariyah memandang bahawa perbuatan manusia tidak
diwujudkan oleh manusia sendiri, tetapi diciptakan Tuhan. Hanya dalam perwujudan
perbuatan itu, manusia mempunyai peranan walaupun bukan manusia yang mewujudkan
perbuatan dengan kekuasaan dan daya yang diciptakan dan diberikan Tuhan. Tetapi daya
yang ada pada perbuatan manusia itu sebenarnya la yu’aththir iaitu tidak memberi bekas.
Dengan kata-kata lain perbuatan manusia dilakukan bukan dari daya manusia itu sendiri
tetapi merupakan kuasa Allah semata-mata. Jadi hanya perbuatan Allah sahaja yang dapat
memberi kesan bukan perbuatan manusia. Dalam menghuraikan tentang hakikat af’al al-
ibad, Imam al-Syafi’i memulakan penjelasan pandangannya dengan firman Allah S.W.T.,

“Dan bukan kamu yang menghendakinya melainkan Allah yang menghendakinya,


sesungguhnya Allah adalah Maha Mengetahui lagi Maha Bijaksana.” (Al-Insan: 30)

Allah bermaksud memberitahu kepada manusia ciptaanNya bahawa kehendak itu


adalah milikNya, bukan milik mereka. Kehendak mereka tidak terjadi kecuali jika Dia
menghendakinya. Dan kehendak Allah itu adalah masyi’ah-Nya. Tambahan lagi Allah
adalah Maha Mengetahui lagi Maha Bijaksana yang tentunya setiap kehendak dan
ketentuan Allah mempunyai hikmah dan tujuan yang tidak banyak diketahui oleh
makhluknya.
Tentang perbuatan-perbuatan manusia, Imam al-Syafi'i berkata: “Manusia tidak
menciptakan perbuatan-perbuatan mereka, tetapi perbuatan-perbuatan itu adalah ciptaan
Allah yang berupa perbuatan hamba-hamba-Nya.”. Begitu juga, tentang kejahatan, Allah
mencipta kejahatan sedang hambaNya melakukan kejahatan adalah sebagai ‘kasb’. Hanya
di sini Imam al-Syafii tidak menjelaskan apakah kasb yang beliau maksudkan itu memberi
kesan kepada wujudnya perbuatan makhluk atau tidak.

3
Beliau juga mengatakan: “Sesungguhnya kehendak manusia itu ditentukan oleh
Allah dan bukan mereka yang berkehendak tetapi Allah yang berkehendak. Manusia itu
tidak menciptakan perbuatan-perbuatan mereka, dan ia adalah termasuk ciptaan Allah
yang berupa perbuatan-perbuatan manusia, dan sesungguhnya takdir itu, baik dan
buruknya berasal daripada Allah”.4

2. Tentang Kuasa Mutlak Tuhan


Imam al-Syafi'i berpendapat bahawa Tuhan bila berkehendak, la akan
melakukannya. Bila tidak, la tidak akan melakukannya. Bila Dia ciptakan manusia
kemudian memberinya nikmat, maka itu semua kerana kurniaan-Nya bukan kerana
kewajiban, sebab Allah adalah pemilik semuanya. Bila hamba-Nya diuji dengan berbagai
bala' maka itu merupakan keadilan-Nya.. Ringkasnya, Allah berbuat sesuai dengan
kehendak-Nya. Sebagai pemilik tunggal alam, lanjut al-Syafi'i, Allah bebas menggunakan
hak milik-Nya tanpa ada unsur paksaan.5 Allah tidak memiliki kewajiban-kewajiban.
Allah mempunyai kuasa mutlak dan menentukan apapun sesuai dengan yang dikehendaki-
Nya. Hanya kalau diperjelas lagi, kuasa mutlak Allah disertai dengan hikmah
kebijaksanaan dan kasih sayang-Nya terhadap makhluk, Allah bukannya bersifat otoriter.

3. Tentang Hakikat Iman


Imam al-Syafi’i berpendapat, ahlu alqiblah yang berbuat dosa besar berada pada
masyiah atau kehendak Allah. Bila Allah menginginkan untuk menyiksanya, maka Allah
akan menyiksanya dan bila Allah menghendaki untuk memaafkannya, maka Allah akan
memaafkannya. Imam alSyafi’i berkata, “Orang yang lari pada saat pertempuran bukan
kerana ingin bersiasat atau bukan ingin bergabung dengan pasukan lain maka saya
bimbang ia mendapat murka dari Allah S.W.T.. kecuali jika Allah memaafkannya.” Imam
al-Syafi’i berhujjah bahawa jika iman sesorang hilang kerana melaukan maksiat, maka

4
Tamar Jaya Nizar dan Farahwahida Mohd Yusofa, “Pemikiran Akidah Imam Al-Syafi’I,” Jurnal Teknologi (Social
Sciences), 62 (1), 2013, h. 57.

5
Ibid., h.58.

4
pelakunya dihukumi murtad dan dituntut untuk beriman lagi, bukan dituntut untuk
bertaubat.

4. Metode Istinbath Hukum Mazhab Al-Syafi’i


Metode yang digunakan oleh Imam Al-Syafi’i menetapkan hokum adalah memakai
dasar yaitu Al-Quran, As-Sunnah, Ijma’, Qiyas, Istidlal.
a. Al-Quran dan Dasar as-Sunnah

Imam Al-Syafi’i menegaskan bahwa al-quran dan sunnah merupakan sumber pertama
syariat. Ia juga menyetarakan sunnah dengan al-Quran. karena Rasulullah SAW tidak
terpikir berdasarkan hawa nafsu karena sunnah sebagaimanapun adalah wahyu yang
bersumber dari Allah. Sunnah yang sama derajatnya dengan Al-Quran menurut mazhab al-
Syafi’i adalah Sunnah Mutawatir, sedangkan Hadits ahad diterima oleh Imam Al-Syafi’i
pada posisi sesudah al-Quran dan hadits mutawatir. Imam al-Syafi’i dalam menerima
hadits ahad sebagai berikut:

1) Perawinya terpecaya, ia tidak menerima hadits dari orang yang tidak dipercaya.

2) Perawinya berakal, memahami apa yang diriwayatkan.

3) Perawinya benar-benar mendengar sendiri hadits itu dari orang–orang yang


meriwayatkannya kepadanya.

4) Perawinya tidak menyalahi para ahli ra’yu yang juga meriwayatkan hadits itu.6

b. Ijma’

Imam al-Syafi’i telah menetapkan ijma’ sebagai hujjah sesudah al-Quran dan as-Sunnah
sebelum Qiyas. Ijma’ yang telah disepakati oleh seluruh Ulama semasa terhadap suatu
hukum. Tetapi mengenai ijma’ tidak terkait dengan riwayat dari nabi, Imam al-Syafi’i tidak
menggunakan sebagai sumber, sebab seseorang hanya dapat meriwayatkan apa yang ia
dengar, tidak dapat ia meriwayatkan sesuatu berdasarkan dugaan dimana ada kemungkinan
bahwa nabi sendiri tidak mengatakan atau melakukan. Imam al-Syafi’i menggunakan ijma’

6
Huzaemah, Tahido Yannggo, op.cit, h.129

5
berkeyakinan bahwa setiap sunnah Nabi pasti diketahui meskipun tidak diketahui oleh
sebagian. Penggunaan ijma’ sebagai sumber istinbath hukum menurut Imam al-Syafi’i
beralaskan bahwa yakin umat tidak akan bersepakat atas suatu kesalahan

c. Qiyas
Imam al-Syafi’i menggunakan Qiyas apabila tidak ada nashnya didalam Al-Quran, Al-
Sunnah, atau ijma’, maka harus ditentukan dengan qiyas22.Berdasarkan keterangan diatas
dapat disimpulkan bahwa dalil yang digunakan oleh mazhab al-Syafi’i dalam
mangistinbathkan hukum adalah: (1) al-Quran (2) Sunnah (3) Ijma’ (4) Qiyas (5) Istidlal
(penalaran). Apabila keempat cara diatas tidak juga ditemukan ketentuan hukumnya ia
memilih dengan jalan istidlal yaitu menetapkan hukum berdasarkan kaidah-kaidah umum
agama lain.

C. Analisa dan Kritik

Sebagai analisis pemikiran akidah Imam Al-Syafi’i, merujuk kepada klasifikasi oleh Harun
Nasution. la telah membahagi dua corak pemikiran akidah: Tradisional dan Rasional. Corak
tradisional ditandai dengan pemberian kebebasan berbuat dan berkehendak yang sangat kepada
manusia, daya yang minimum kepada akal, pemberian kekuasaan dan kehendak mutlak kepada
Tuhan, dan kecenderungan menafsirkan Al-Qur'an secara literalis. Corak rasional pula sebaliknya,
memberikan kepada manusia kebebasan berbuat dan berkehendak, Tuhan tidak memiliki kehendak
yang mutlak, daya yang maksimum kepada akal, dan cenderung menafsirkan Al-Qur'an secara
majaziii atau rasional.

Dikatakan juga bahawa Imam al-Syafi'i pernah mempelajari ajaran-ajaran Muktazilah.


Pernah berguru di Iraq kepada Ibrahim bin. Yahya al-Aslami, seorang penganut aliran Muktazilah.
Ketika Imam al-Syafi'i masa hayatnya, aliran Asy'ariyah dan Maturidiyah belum muncul. Melalui
penjelasan di atas, Imam al-Syafi’i lebih dekat kepada cara tradisional Asy'ariyyah berbanding
dengan cara rasional Muktazilah.

6
DAFTAR PUSTAKA

Chalil, Munawir. 1995. Biografi Empat Serangkai Imam Mazhab, Jakarta : CV. Bulan Bintang

Hadi, Saiful. 152 Ilmuan Muslim Pengukir Sejarah. Jakrta : Intimedia Cipta Nusantara.

Nizar, TJ, Farahwahida Mohd Yusofa. 2013. Pemikiran Akidah Imam Al-Syafi’i. Jurnal Teknologi
(Social Sciences), 62 (1), 55–65.
Yanggo, Huzeamah Tahido. 1976. Pengantar Perbandingan Mazhab. Jakarta : Logos.

Anda mungkin juga menyukai