Anda di halaman 1dari 7

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Anak Berkebutuhan Khusus (ABK) merupakan anak yang memiliki

keterbatasan atau keluarbiasaan, baik fisik, mental-intelektual, sosial, maupun

emosional, yang berpengaruh secara signifikan dalam proses pertumbuhan

atau perkembangannya dibandingkan dengan anak-anak lain yang seusia

dengannya (Winarsih, 2013). Anak berkebutuhan khusus (ABK) meliputi

gangguan fisik, perkembangan, dan emosional, atau dalam literatur lain,

penggunaan istilah diabilitas didefinisikan lebih spesifik dalam istilah dengan

diagnosis, kondisi, dan keparahan tertentu (Neuhaus, 2011).

Badan Pusat Statistik (BPS) mempublikasikan data Susenas Triwulan I

yang menyatakan sebanyak 9,9 juta anak Indonesia adalah anak berkebutuhan

khusus (ABK) dalam kategori penyandang disabilitas (Winarsih, 2013). Pusat

Data dan Informasi Kementrian Kesehatan RI pada tahun 2014 juga

mempublikasikan jumlah anak yang berkebutuhan khusus di Indonesia.

Berdasarkan data Susenas (2012) didapatkan penduduk Indonesia yang

mengalami berkebutuhan khusus sebesar 2,45% dan sekitar 39,97% dari

jumlah tersebut mengalami lebih dari satu keterbatasan (Infodatin, 2014).

Anak Berkebutuhan Khusus (ABK), data dari SUSENAS BPS tahun 2012

menunjukkan bahwa jumlah anak berkebutuhan khusus usia sekolah di

Indonesia sebesar 532.130 jiwa, atau sekitar 14,56% dari total penduduk

1
2

penyandang disabilitas di Indonesia pada tahun 2011 sebesar 3.654.356 jiwa.

Berdasarkan data dari Badan Pusat Statistik (BPS) Tahun 2017, jumlah ABK

di Indonesia mencapai 1,6 juta anak. Salah satu upaya yang dilakukan

Kementerian pendidikan dan kebudayaan (kemendikbud) untuk memberikan

akses pendidikan dengan membangun unit sekolah baru yakni Sekolah Luar

Biasa (SLB). Sementara diprovinsi Jawa Timur, data terakhir Dinas Sosial

tahun 2011 menunjukkan bahwa jumlah ABK di Jawa Timur sebesar 47.286

jiwa yang tersebar di 38 Kabupaten dan Kota, atau sekitar 49% dari total anak

berkebutuhan khusus di Jawa Timur pada tahun yang sama sebesar 95.560

jiwa.

Undang-undang Nomor 4 Tahun 1997, Pasal 1, Ayat 1 tentang

Penyandang Cacat, menyebutkan bahwa penyandang cacat (telah diubah

menjadi penyandang disabilitas) merupakan orang yang mempunyai kelainan

fisik dan/atau mental yang dapat mengganggu atau merupakan rintangan dan

hambatan baginya untuk melakukan selayaknya, yang terdiri dari:

penyandang cacat fisik, penyandang cacat mental, penyandang cacat fisik dan

mental. Penggunaan istilah ABK ataupun disabilitas biasanya disesuaikan

dengan kebutuhan dan konteks yang melatar belakangi.

Interaksi sosial pada anak berkebutuhan khusus ini tidak mampu

menjalin hubungan dengan baik, dengan menunjukkan suatu perilaku atau ciri

khusus, seperti kontak mata sangat kurang, ekspresi wajah kurang hidup,

gerak gerik yang tertuju, menangisatau tertawa tanpa sebab, tidak bisa

bermain dengan teman sebaya, tidak dapat merasakan apa yang dirasakan
orang lain kurangnya hubungan sosial dan beradaptasi dengan lingkungan,

maupun keterlibatan secara emosional secara timbal balik (Mirza Maulana,

2010).

Interaksi sosial merupakan proses dimana seseorang menjalin kontak

dan komunikasi dengan orang lain, berinteraksi merupakan hal yang tidak

bisa terlepas dari kehidupan manusia, adanya rasa memerlukan bantuan dari

orang lain maka manusia akan melakukan kontak ataupun komunikasi satu

sama lainnya, dengan interaksi tersebut semua manusia hidup sebagai

makhluk sosial. Setiap manusia cenderung berkomunikasi dan berinteraksi

dengan manusia lainnya. Apabila dua orang bertemu maka interaksi sosial

dimulai pada saat itu, mereka saling menegur, berjabat tangan, saling bicara,

atau mungkin berkelahi (Nuraini, 2015)

Interaksi saudara kandung (sibling) yang membentuk ikatan unik

ketika salah satu saudara terlahir dengan berkebuthan khusus. Menurut

diagnostic and statistical manual of mental disorder V (DSM V, 2013), yakni

gangguan dalam komunikasi juga interkasi sosial, dan pola perilaku, minat,

juga kegiatan yang terbatas dan berulang. Berkaitan dengan hal tersebut dapat

dikatakan bahwa anak berkebutuhan khusus memiliki hambatan dalam tiga

area utama dalam kehidupannya, yaitu dalam area komunikasi, area interaksi

sosial dan area perilaku.

Hubungan antara saudara kandung merupakan relasi yang istimewa

dan merupakan relasi yang paling bertahan lama dalam kehidupan manusia

(Cicirelli, 1994, dalam Kuo, Orsmond, Seltzer, 2009). Relasi ini sifatnya lebih
egaliter dibandingkan dengan relasi anak dan orang tua (Fuhrman &

Burhmester dalam Nurmaningtyas, 2013). Saudara kandung dapat

memberikan pengaruh sosial yang lebih besar dari orang tua karena dengan

jarak usia yang dekat dibanding orang tua, dapat lebih memahami

permasalahan yang dihadapi saudaranya dan berkomunikasi lebih efektif

(Nurmaningtyas, 2013). Peningkatan jumlah anak berkebutuhan khusus, maka

akan meningkatkan konflik batin dengan keberadaan saudaranya yang

berkebutuhan khusus (Derouin dan Jessee dalam Wong, 2008).

Saudara kandung akan memiliki beragam pengalaman emosional dan

interaksi sosial ketika mengetahui bahwa ada seorang anak yang mengalami

berkebutuhan khusus di dalam keluarganya (Paternotte dan Buitelaar, 2010).

Sulit bagi saudara sekandung membentuk hubungan yang memuaskan dengan

saudara yang berkebutuhan khusus. Hal ini juga dapat menimbulkan rasa

frustasi bagi saudara sekandung dalam melakukan suatu kegiatan dengan

saudara yang berkebutuhan khusus (Ambarini, 2006).

Perlakuan orang tua yang istimewa kepada anak yang memiliki

kebutuhan khusus, saudara kandung dapat merasa marah dan cemburu –

perasaaan yang seringkali dialihkan oleh rasa kehilangan dan kepritahinan

dalam diri mereka sendiri (Wong, 2008). Saudara kandung yang lebih tua

secara khusus dapat marah karena mereka menjadi orang tua pengganti untuk

saudara kandung laki-laki dan perempuan mereka yang lebih muda

(Nurmaningtyas, 2013).
Hasil studi pendahuluan yang dilakukan oleh peneliti didapatkan data

jumlah siswa SLB Bintoro Kecamatan Patrang Kabupaten Jember pada

tanggal 2 bulan Januari 2019 berjumlah 78 siswa penyandang autis dan

tunarungu yang terdiri dari siswa tunarungu 35 dan 43 siswa autis, dengan

pembagian 41 siswa SD, 21 siswa SMP, 5 siswa SMA. Di dapatkan data dua

orang siswa yang tidak mempunyai sudara kandung. Berdasarkan sumber

diatas peneliti mengangkat judul “Hubungan Saudara Kandung Dengan

Kemampuan Interaksi Sosial Anak Berkebutuhan Khusus Di SLB Bintoro

Kabupaten Jember”.

B. Rumusan Masalah

1. Pernyataan Masalah

Anak Berkebutuhan Khusus (ABK) merupakan anak yang memiliki

keterbatasan atau keluar biasaan, baik fisik, mental-intelektual, sosial,

maupun emosional, yang berpengaruh secara signifikan dalam proses

pertumbuhan atau perkembangannya dibandingkan dengan anak-anak lain

yang seusia dengannya. Kondisi keterbelakangan mental dan kemampuan

fisik yang terbatas membuat anak berkebutuhan khusus perlu adanya

dukungan saudara kandung dan kelurga terhadap kemampuan interaksi

sosial.

2. Petanyaan Masalah

a. Bagaimanakah dukungan saudara kandung pada anak berkebutuhan

khusus di SLB Bintoro Kabupaten Jember?


b. Bagaimanakah kemampuan interaksi sosial pada anak berkebutuhan

khusus di SLB Bintoro Kabupaten Jember?

c. Adakah hubungan dukungan saudara kandung dengan kemampuan

interaksi sosial anak berkebutuhan khusus di SLB Bintoro Kabupaten

Jember?

C. Tujuan

1. Tujuan Umum

Penelitian ini bertujuan untuk mendapatkan arti dan makna dukungan

saudara kadung yang memiliki anggota keluarga dengan berkebutuhan

khusus di SLB Bintoro Kabupaten Jember.

2. Tujuan Khusus

a. Mengidentifikasi dukungan saudara kandung pada anak berkebutuhan

khusus (ABK) di SLB Bintoro Kabupaten Jember.

b. Mengidentifikasi kemampuan interaksi sosial pada anak berkebutuhan

khusus (ABK) di SLB Bintoro Kabupaten Jember.

c. Menganalisis hubungan dukungan saudara kandung dengan

kemampuan interaksi sosial anak berkebutuhan khusus (ABK) di SLB

Bintoro Kabupaten Jember.

D. Manfaat Penelitian

Penelitian ini bermanfaat bagi:

1. Keluarga
a. Penelitian ini diharapkan dapat memberikan pengetahuan yang

berhubungan dengan pentingnya dukungan saudara kandung terhadap

anggota keluarga yang menyandang berkebutuhan khusus.

b. Penelitian ini diharapkan dapat memberikan masukan pada orang tua

agar mampu memberikan pemahaman tentang anak berkebutuhan

khusus pada saudara kandung dan meningkatkan kualitas hubungan

persaudaraan antara saudara kandung dengan anak berkebutuhan

khusus.

2. Masyarakat

Hasil penelitian diharapkan menambah wawasan dan pengetahuan

tentang dukungan saudara kandung dngan kemampuan interaksi sosial

anak berekebutuhan khusus.

3. Pelayanan Keperawatan

Hasil penelitian diharapkan menjadi strategi bagi perawat dalam

memberikan asuhan keperawatan yang lebih komprehensif pada keluarga

yang memiliki anak berkebutuhan khusus.

4. Peneliti

Penelitian ini diharapkan menambah wawasan pengetahuan di bidang

keperawatan jiwa yang peneliti kaji hubungan dukungan saudara kandung

dengan kemampuan interaksi sosial.

5. Institusi pendidikan

Penelitian ini diharapkan dapat dijadian gambaran hubungan saudara

kandung dengan kemampuan interaksi sosial anak berkebutuhan khusus

Anda mungkin juga menyukai