Anda di halaman 1dari 6

Tradisi ‘Menyirih’, ‘Nyirih’, ‘Menginang’ atau ‘Bersirih’

Pengertian

Tradisi Bersirih atau Menginang (makan pinang) adalah warisan budaya Indonesia


yang dilakukan dengan mengunyah bahan-bahan bersirih
seperti pinang, sirih, gambir, tembakau, kapur, cengkih.

Asal Budaya

Tradisi bersirih tidak diketahui secara pasti berasal dari mana Dari cerita-cerita
sastra, bersirih berasal dari India. Namun, selain dari India, sirih telah dikenal oleh
masyarakat Asia Tenggara, termasuk Malaysia, dan kemudian tradisi ini menyebar
ke Indonesia. Bukti Arkeologi bersirih tertua ditemukan di Gua
Roh, Thailand. Kebiasaan menginang telah dilakuan oleh masyarakat Indonesia sejak
dahulu, baik dari Sumatra, Sulawesi, Maluku, maupun Papua.

Perlengkapan menyirih dan tata cara menyirih

Adapun bahan-bahan yang dibutuhkan untuk menirih adalah :

1. Daun Sirih
2. Kapur Sirih
3. Gambir/getah gambir
4. Tembakau
5. Buah Pinang

Tata cara menyirih :

1. ambil dua lembar daun sirih, kapur sirih, dan gambir.


2. tata bahan- bahan tersebut dengan rapi di tepi daun, agar bisa digulung
dengan mudah.
3. Setelah jadi, lipat gulungan sirih menjadi dua bagian,
4. gosokkan perlahan pada giginya. Dari gigi depan ke belakang berulang-
ulang.
5. Setelah itu, biasanya gulungan sirih dikunyah lalu dikulum dalam mulut.
Kemudian diselipkan di sebelah pipi kanan.

Manfaat Menyirih

Menyirih dipercaya baik untuk menjaga kesehatan gigi dan sistem


pencernaan. Ini karena mengunyah daun sirih dan biji pinang bisa memicu
produksi air liur. Air liur mengandung beragam jenis protein dan mineral yang
baik untuk menjaga kekuatan gigi serta mencegah penyakit gusi. Selain itu, air
liur juga senantiasa membersihan gigi dan gusi dari sisa-sisa makanan atau
kotoran yang menempel.

Bagi sistem pencernaan Anda, air liur berfungsi untuk mengikat dan
melembutkan makanan. Dengan begitu, Anda bisa menelan dan mengirimkan
makanan menuju kerongkongan, usus, dan lambung dengan lancar. Hal ini tentu
membantu memudahkan kerja sistem pencernaan Anda.

Selain itu, menyirih juga diyakini sebagai sumber energi. Pasalnya, biji
pinang mengandung zat psikoaktif yang sangat mirip dengan nikotin, alkohol,
dan kafein. Tubuh akan memproduksi hormon adrenalin. Anda pun jadi merasa
lebih segar, waspada, dan berenergi.

Tradisi nyirih menurut sudut pandang kesehatan

Bahaya menyirih
Meskipun tradisi menyirih bisa memberikan manfaat, para ahli kesehatan
masyarakat mulai menyuarakan kekhawatiran terkait bahaya menyirih. Dari
laporan-laporan para peneliti, diketahui bahwa menyirih ternyata berisiko
menyebabkan berbagai penyakit yang tidak bisa disepelekan, misalnya kanker.
Berikut adalah penjelasan bahaya menyirih bagi kesehatan.

1. Kanker mulut
Dilansir dari situs resmi Badan Kesehatan Dunia (WHO), menyirih berisiko
tinggi menyebabkan kanker, terutama di daerah mulut. Kesimpulan ini diperoleh
berdasarkan penelitian yang dilakukan International Agency for Research on
Cancer di Asia Selatan dan Asia Tenggara.
Ternyata campuran daun sirih, biji pinang, kapur, dan tembakau bersifat
karsinogenik (memicu kanker). Jika dikonsumsi terlalu sering dalam jangka
waktu yang panjang, Anda rentan mengalami kanker mulut, kanker esofagus
(kerongkongan), kanker tenggorokan, kanker laring, dan kanker pipi.

2. Luka di rongga mulut
Mengunyah sirih pinang meningkatkan risiko Anda mengalami lesi mukosa
mulut, yaitu munculnya luka (lesi) di dalam rongga mulut. Luka atau iritasi
terbentuk karena campuran bahan-bahan menyirih sifatnya sangat keras bagi
mulut. Apalagi kalau menyirih sudah jadi kebiasaan yang tidak bisa dihentikan.
Efek buruknya pun jadi makin cepat timbul dan sulit ditangani.
Jika sudah cukup parah, kondisi ini menyebabkan mulut terasa kaku dan
pada akhirnya rahang Anda akan sulit digerakkan. Hingga saat ini belum ada
obat yang bisa menyembuhkan lesi mukosa mulut. Pengobatan yang ditawarkan
hanya mampu meringankan gejala yang muncul.

3. Gangguan pada janin


Belum banyak diketahui bahwa ibu hamil harus waspada terhadap bahaya
menyirih. Menyirih saat hamil berisiko menyebabkan perubahan genetik pada
DNA janin. Perubahan genetik akibat menyirih ini membahayakan kandungan,
seperti halnya merokok bisa mengakibatkan kecacatan janin. Ibu hamil yang
menyirih juga berisiko melahirkan bayi dengan berat badan di bawah normal.
Oleh sebab itu, WHO dan para ahli kesehatan masyarakat menghimbau agar ibu
hamil tidak menyirih.

Tradisi Menyirih di Tiap Daerah

Menyirih dengan menggunakan sirih, pinang, kapur, gambir dan tembakau


menjadi satu kesatuan budaya bangsa Indonesia yang sampai hari ini masih ada
di tengah kemajuan jaman. Ibarat pepatah, budaya menyirih telah mendarah
daging pada masyarakat kita Bangsa Indonesia.
Di Kampung-kampung, terlebih khusus di daerah Kalimantan, Papua, Jawa,
Nusa Tenggara Timur, Sumatera dan mungkin juga terdapat di daerah lainnya.
Namun yang pasti, budaya menyirih ini hampir tersebar di seluruh wilayah
Indonesia, akan tetapi beberapa wilayah lainnya mungkin saja tidak
menjalankannya.
1. Kalimantan
Bagi Masyarakat Kalimantan, dari usia tua hingga yang muda pun
masih ada yang menyirih. Dalam kehidupan sehari-hari, Sirih pinang
sudah menjadi kebutuhan pokok dan cenderung sulit untuk dilupakan,
dengan kata lain sirih pinang sudah menjadi kebiasaan masyarakat.
Hampir pasti, setiap bangun pagi setelah mencuci muka atau pun bahkan
tidak sama sekali; nenek, kakek atau pun muda-mudi yang terbiasa
menyirih tampak langsung meraih Pampinang/Dade (wadah atau tempat
untuk menyimpan sirih pinang, kapur, gambir dan tembakau), istilah
masyarakat Simpang Dua dan Simpang Hulu, Ketapang, Kalbar
menyebutkannya. Mereka terlebih dahulu mendahulukan memakan sirih,
pinang, gambir dan ada yang menggunakan tembakau menjadikannya
sebagai sugi (tembakau yang dibulatkan dimasukan diantara/disela-sela
gigi dan bibir) menjadi makanan pembuka/ sarapan di pagi hari. kebiasaan
makan sirih pun berlanjut setelah mereka makan, saat aktifitas padat
dalam sehari-hari mereka dan menjelang tidur malam.

2. Sumatera
Bagi suku Melayu sirih telah menjadi salah satu simbol budaya dan
pergaulan sosial masyarakat Melayu. Hal tersebut mudah dilihat dari
tradisi lisan Melayu yang kerap memunculkan perangkat sirih pinang
sebagai metafora maupun pijakan membangun ajaran moral adat. Dilansir
melaui melayuonline.com, sirih pinang kerap muncul dalam tunjuk ajar
melayu, misalnya: Sirih pembuka pintu rumah / Sirih pembuka pintu hati /
Yang jauh jadi dekat / Yang renggang kembali rapat.
Lain hal dengan masyarakat di Aceh, sirih yang disebut ranub oleh
masyarakat Aceh juga memiliki peran penting dalam setiap kegiatan
adatnya. Sirih bahkan telah menjadi sajian wajib bagi kegiatan seperti
pernikahan, hajatan sunat, bahkan penguburan mayat, juga upacara yang
berkaitan dengan daur hidup lainnya.

Pada masyarakat suku Karo, “nyirih” digunakan sebagai suguhan


kehormatan untuk tamu-tamu yang dihormati atau pada upacara
pertemuan dan pesta pernikahan. Bahkan  menyirih menjadi budaya
secara turun-temurun dan menjadi suatu menu andalan dalam setiap
prosesi adat.
Lain halnya yang dilakukan oleh orang Nias ketika memakan sirih,
dimana tembakau dimakan bersamaan dengan bahan ramuan lainnya. Hal
tersebut, saya melihat langsung di lapangan. Meskipun begitu bahan-
bahan atau perlengkapan bahan makan sirih relatif sama, yaitu; yang
terdiri dari sirih, kapur, gambir, pinang, dan tembakau. Makan sirih pada
orang Nias ini dilakukan oleh kaum lakilaki dan kaum perempuan, sirih
beserta ramuannya menyodorkan atau disuguhkan pada setiap tamu yang
datang ke rumah
Pada masyarakat Minangkabau (yang disebut dengan orang-orang
Melayu Tua) juga memiliki tradisi makan sirih. Sirih tidak hanya sekedar
dikonsumsi, tapi juga dimanfaatkan sebagai sarana penunjang budaya
dan tradisi yang mereka miliki. Dalam penyambutan tamu terhormat
misalnya, si tamu akan disuguhi daun sirih, pinang muda dan gambir yang
kesemuanya diletakkan dalam satu carano. Kepada tamu dipersilahkan
untuk mencicipi suguhan itu barang sedikit. Daun sirih bersama suguhan
lainnya itu menunjukkan kesediaan mereka menerima 5 tamunya selama
berada di Ranah Minang

3. Jawa
Masyarakat Jawa memiliki ritual yang memberi ruang pada daun
sirih. Misalnya saja dalam upacara pernikahan, daun ini merupakan salah
satu bawaan wajib dalam ritual seserahan. Maknanya yakni sebagai
harapan kesejahteraan bagi calon kedua mempelai. Tak hanya itu, sirih
juga menjadi salah satu komponen penting dalam upaya penolak bala.
Sirih yang tak boleh ketinggalan dalam sesajen, diletakkan pada sudut
ruangan saat calon mempelai sedang menjalani prosesi siraman, meratus
rambut dan ngerik. Kemudian, ritual dalam pernikahan Jawa yang masih
menggunakan sirih ialah balangan gantal, di mana kedua mempelai saling
melemparkan lintingan sirih. Dilengkapi dengan buah pinang, kapur sirih,
gambir, dan tembakau hitam, semua komponen tersebut dibungkus
dengan daun sirih dan diikat mengunakan benang  lawe. Kedua mempelai
kemudian saling melemparkan lintingan sirih yang disebut
dengan gantal ini. Ritual balangan gantal diyakini menggambarkan
sepasang pengantin yang sedang saling melempar kasih.

4. Nusa Tenggara Barat


Suku Sasak yang berlokasi di Lombok, Nusa Tenggara Barat
memiiki adat dan budaya yang sangat kental hingga saat ini. Salah satu
tradisi yang masih dilakukan adalah nyirih, atau mengunyah sirih masih
sering dilakukan oleh lelaki maupun perempuan di desa ini. Konon, tradisi
mengunyah sirih ini bermakna keakraban. Selain itu, filosofi nyirih
diibaratkan sebuah kulit manusia, membungkus tulang yang putih yaitu
kapur, dan daging yang diwakili oleh buah pinang. Terlihat merah setelah
dikunyah yang berarti darah. Selain tradisi mengunyah sirih, Suku Sasak
di Desa Bayan ini memegang teguh ajaran para leluhur yang disebut
dengan Wetu Telu, atau dalam bahasa Indonesia artinya Waktu Tiga.
Waktu Tiga adalah praktik unik sebagian masyarakat Suku Sasak dalam
menjalankan agama Islam.

5. Nusa Tenggara Timur


Kebiasaan menyirih juga akan kita temui pada masyarakat Sumba
Barat di Nusa Tenggara Timur. Berbeda dengan kebiasaan menggunakan
daun sirih pada masyarakat Sumatra atau Jawa, masyarakat Sumba Barat
menggunakan buah sebagai bagian dari sirih yang digunakan untuk
campuran menyirih. Daun sirih dianggap menimbulkan batuk,
menimbulkan rasa gatal di tenggorokan sehingga tidak digunakan. Mereka
juga tidak menambahkan gambir atau tembakau sebagai campuran
Cara menyirih yang dilakukan
adalah pertama-tama mengupas buah pinang dengan cara menggigit
buah pinang sampai terbuka kulitnya kemudian dikeluarkan daging
buahnya. Daging buah pinang kemudian dikunyah. Setelah mengunyah
buah pinang kemudian dilanjutkan, ditambahkan dengan mengunyah
buah sirih. Kapur adalah campuran terakhir dari “ritual” menyirih. Hasil
kunyahan campuran dari buah pinang dan sirih diposisikan ada diantara
gigi geraham atas dan bawah, di pojok kiri atau kanan rongga mulut.
Dengan potongan buah sirih, kapur pada wadah
“dicolek” secukupnya dan dijejalkan pada hasil kunyahan tadi untuk
kemudian dikunyah lagi. Kapur dijejalkan pada hasil kunyahan untuk
menghindari rasa panas apabila kapur langsung mengenai bagian dari
rongga mulut, bahkan bisa menimbulkan luka lepuh. Campuran ketiga
bahan tadi dikunyah sampai memunculkan liur berwarna merah.
Masyarakat Sumba Barat
menyimpan sirih dalam wadah terbuat dari anyaman daun lontar yang
disebut kaleko. Setiap orang bertemu akan bertukar kaleko. Masing-
masing saling mengambil isi dari kaleko secukupnya kemudian kaleko
dikembalikan ke pemiliknya. Dari sirih-pinang yang “dihidangkan” oleh
tuan rumah, kita juga dapat mengetahui bahwa kedatangan kita
dikehendaki atau tidak. Hal ini bisa diketahui dari jumlah buah sirih dan
pinang yang ada dalam wadah. Umumnya, masing-masing jumlah sirih
dan pinang haruslah selalu genap. Apabila salah satu berjumlah ganjil
maka itu adalah tanda si tamu bermasalah dengan tuan rumah. Si tamu
bisa menanyakan kepada tuan rumah apa yang menyebabkan ia tidak
diterima oleh tuan rumah karena apabila si tamu tidak merasa
mempunyai masalah dengan tuan rumah, hal ini dianggap sebagai
penghinaan oleh tuan rumah kepada si tamu. Hal-hal tersebut biasanya
kemudian diselesaikan secara adat.
6. Papua
Kebiasaan menyirih atau menginang juga sudah menjadi
tradisi yang dilakukan oleh semua lapisan masyarakat Papua. Baik
itu laki-laki, perempuan, tua, muda, tanpa membedakan setatus
sosial. Bahkan anak kecilpun sudah terbiasa menginang dan
meninggalkan warna merah di gigi. Ramuan yang biasa diigunakan
adalah gambir, kapur sirih, dan buah pinang. Sedangkan ramuan
pelengkap bisa terdiri dari tembakau, kapulaga, cengkeh, kunyit.
Ramuan pelengkap ini berbeda antara satu orang dengan orang
lainnya

Anda mungkin juga menyukai