Anda di halaman 1dari 67

ASUHAN KEPERAWATAN PADA PASIEN DENGAN

GANGGUAN NEUROLOGI (STROKE/CVA)

TUGAS MATA KULIAH NEUROBEHAVIOUR

KELOMPOK 1
PROGRAM ALIH JENIS 1

Achmad Rasyid Ridho 131511123081


Moh Zen Arifin 131511123039
Mulyana 131511123019
Nur Heppy Fauzia 131511123055
Leni Anitasari 131511123059
Citra Dwi Yuliana 131511123051
Sri Hani Setyowati 131511123031
Nora Dwi Purwanti 131511123009

PROGRAM STUDI PENDIDIKAN NERS FAKULTAS


KEPERAWATAN UNIVERSITAS AIRLANGGA 2016
BAB 1
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Penyakit serebrovaskuler (CVD) meliputi semua gangguan pada area dari otak; dan
secara sepintas atau permanen dipengaruhi oleh iskemia. oklusi atau perdarahan dari satu
atau lebih pembuluh darah serebral pada proses patologis tersebut.
Jumlah penderita terus meningkat setiap tahun, bukan hanya menyerang penduduk
usia tua, tetapi juga dialami oleh mereka yang berusia muda dan produktif. Angka
kejadian stroke meningkat dengan bertambahnya usia, semakin tinggi usia seseorang
semakin tinggi kemungkinan stroke (Yayasan Stroke Indonesia, 2006). Tidak sedikit
penderita stroke yang mengalami kekambuhan. Kekambuhan pada penderita stroke dapat
disebabkan oleh banyak faktor, salah satunya adalah kurangnya pengetahuan keluarga
penderita tentang pola makan bagi penderita stroke (Yayasan Stroke Indonesia, 2006).
Stroke penyebab kecacatan nomor satu dan penyebab kematian nomor 3 di dunia
setelah penyakit jantung koroner dan semua tipe kanker. Dua pertiga stroke terjadi di
negara berkembang sesuai dengan peningkatan jumlah penduduk usia lanjut. Dan
diprediksi sebagai efek dari peningkatan kebiasaan merokok di negara berkembang, lebih
lanjut diperkirakan angka mortalitas stroke mencapai hampir dua kali lipat di tahun 2020
(Warlow et al., 2008)
Data dari Perhimpunan Rumah Sakit Indonesia (PERSI) tahun 2009 menunjukkan
penyebab kematian utama di Rumah Sakit akibat stroke sebesar 15%, artinya 1 dari 7
kematian disebabkan oleh stroke dengan tingkat kecacatan mencapai 65% (Depkes RI,
2013).
Menurut WHO (2010) setiap tahun 15 juta orang seluruh dunia mengalami stroke.
Sekitar 5 juta pasien menderita kelumpuhan permanen. Satu tahun setelah terjadi
serangan stroke pertama, sebanyak 30% dari total pasien akan meninggal, dan sebanyak
40% dari total pasien yang mampu bertahan hidup, akan mengalami ketergantungan
terhadap orang lain. Pasien yang mampu bertahan hidup setelah mengalami stroke,
beresiko tinggi mengalami serangan stroke berulang, infark myokardial, dan kematian
karena gangguan pembuluh darah. Para pasien yang mampu bertahan hidup tersebut juga
mayoritas mengalami disabilitas (Woodward, 2011)
Sebanyak 85% dari total kejadian stroke disebabkan oleh iskemi dan infark pada
jaringan otak. Hal ini disebabkan oleh penghambatan aliran darah akibat komplikasi
trombosis dan emboli. Sisanya sebesar 15% dari total kejadian stroke disebabkan oleh
perdarahan intraserebral primer (Woodward, 2011)
Jumlah penderita penyakit stroke di Indonesia tahun 2013 berdasarkan Pusat Data dan
Informasi Kemenkes RI diperkirakan sebanyak 1.236.825 orang. Provinsi Jawa Barat
memiliki estimasi jumlah penderita terbanyak yaitu sebanyak 238.001(7,4‰) orang,
sedangkan Provinsi Papua Barat memiliki jumlah penderita paling sedikit yaitu sebanyak
2.007 orang (3,6‰)
Data di Indonesia menunjukkan kecenderungan peningkatan kasus stroke baik dalam
hal kematian, kejadian, maupun kecacatan. Angka kematian berdasarkan umur adalah:
sebesar 15,9% (umur 45-55 tahun) dan 26,8% (umur 55-64 tahun) dan 23,5% (umur 65
tahun). Insiden stroke sebesar 51,6/100.000 penduduk dan sebanyak 1,6% penderita
mengalami kecacatan , sedangkan sebanyak 4,3% penderita mengalami serangan stroke
berulang yang semakin berat. Penderita laki-laki lebih banyak daripada perempuan dan
profil usia dibawah 45 tahun sebesar 11,8%, usia 45-64 tahun 54,2%, dan usia diatas 65
tahun sebesar 33,5% ( Pusat Data dan Informasi Kemenkes RI, 2013).
Stroke dibagi menjadi dua jenis, yaitu stroke iskemik dan stroke hemoragik. Stroke
iskemik sebagian besar merupakan komplikasi dari penyakit vaskuler, yang ditandai
dengan gejala penurunan tekanan darah yang mendadak, takikardi, pucat dan pernafasan
yang tidak teratur. Sementara stroke hemoragik umumnya disebabkan oleh adanya
perdarahan intrakranial dengan gejala peningkatan tekanan darah sistole > 200mmHg
pada hipertonik dan 180mmHg pada normotonik, bradikardi, wajah keunguan, sianosis
dan pernafasan mengorok (Batticaca, 2008).
Kurangnya kesadaran menerapkan pola gaya hidup sehat juga dapat menyebabkan
meningkatnya stroke infark. Selain itu, meningkatnya usia harapan hidup, kemajuan di
bidang sosial ekonomi, serta perbaikan di bidang pangan yang tidak diikuti dengan
kesadaraan menerapkan gaya hidup sehat juga menjadi pemicunya (Junaidi, 2011).
Keadaan seperti ini memerlukan penanganan dan perawatan yang bersifat umum,
khusus, rehabilitasi, serta rencana pemulangan klien. Mengetahui keadaan tersebut, maka
peran perawat bekerja sama dengan tim kesehatan lain sangat dibutuhkan baik masa akut
maupun sesudahnya. Usaha yang dapat dilaksanakan mencakup pelayanan kesehatan
secara menyeluruh, mulai dari promotif, preventif, kuratif, sampai dengan rehabilitasi
(Muttaqin, 2011). Pencegahan stroke infark dapat dicegah antara lain diet rendah
kolestrol, kontrol asupan gula dan garam, hindari rokok, alkohol, dan obat terlarang,
hindari obesitas, konsumsi obat pencegah stroke dari bahan alami, kontrol tekanan darah,
lakukan olahraga atau aktivitas fisik dan yang paling penting hindari stress (Sutanto,
2010).

1.2 Tujuan Penulisan


1.2.1 Tujuan Umum
Mahasiswa mampu memberikan asuhan keperawatan pada pasien dengan stroke secara
komprehensif.
1.2.2 Tujuan Khusus
Mahasiswa mampu :
1. Memahami konsep fisiologis aliran darah dalam otak.
2. Memahami konsep definisi gangguan cerebro vaskuler
3. Memahami etiologi dan faktor resiko stroke
4. Memahami konsep patofisiologi stroke.
5. Memahami manifestasi klinis stroke dan penyebabnya.
6. Memahami konsep penatalaksanaan stroke hemoragik dan iskemik.
7. Memahami konsep asuhan keperawatan pada pasien dengan stroke.
8. Melakukan pengkajian keperawatan pada pasien dengan stroke.
9. Merumuskan diagnosa prioritas yang mungkin timbul pada pasien dengan
gangguan serebrovaskuler berdasarkan tanda dan gejala yang muncul.
10. Merumuskan intervensi keperawatan yang tepat dalam menangani pasien dengan
serebrovaskuler.
11. Melakukan tindakan keperawatan dan evaluasi sesuai kondisi pasien.
12. Mampu melakukan penanganan kegawatdaruratan pada pasien dengan
serebrovaskuler.
BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Fisiologi Sirkulasi Darah di Otak


2.1.1 Struktur Pembuluh Darah Otak
Pembuluh darah yang menyuplai darah ke otak mempunyai struktur yang
sama seperti pembuluh darah lainnya yang terdapat pada beberapa lokasi di tubuh.
Lapisan terluar dari arteri adalah tubica eksterna (adventitia), yang tersusun atas
jaringan ikat. Tunica media atau lapisan tengah, tersusun atas beberapa lapisan sel otot
polos dan serat elastis. Sel-sel otot polos dari arteri merespon vasomotor untuk kontriksi
dan relaksasi, mengubah ukuran dari lumen internal dan mengatur pengiriman darah ke
jaringan. Bagian arteri paling dalam, berhubungan langsung dengan darah dan
membentuk lumen internal, yang tersusun atas satu lapisan sel epitel. Sel epitel
memonitor lingkungan lokal dan melepaskan nitrit oksida serta vasomotor lainnya yang
memodulasi konstriksi dan relaksasi pembuluh darah mengakibatkan terkirimnya aliran
darah.

2.1.2 Sawar (Barier) Darah Otak


Pelindung darah otak berfungsi untuk membatasi bagian zat dari darah ke otak.
Pelindung ini merupakan bagian yang vital untuk melindungi CNS dari agen infeksi
dan racun. Otak sangat rentan terhadap racun karena neuron tidak bisa melakukan
proses mitosis, sehingga mengakibatkan kematian sel yang permanen. Otak juga
rentan terhadap agen infeksi, karena sel imun menyediakan entri yang terbatas.

2.1.3 Sirkulasi anterior


a) Arteri karotis internal
Cabang arteri karotis bagian kanan berhenti pada arteri brakiosefalika,
sementara cabang arteri carotis bagian kiri berhenti pada percabangan aorta. Arteri
carotis melewati leher sebelum bercabang ke arteri karotis bagian eksternal dan
internal pada bagian leher lainnya. Bagian kanan dan kiri arteri karotis internal
berjalan masuk ke sirkulasi willis di rongga tengkorak. Arteri ini bercabang menjadi
dua, yaitu arteri middle serebral dan arteri anterior serebral, sehingga akan
mengalirkan darah ke bagian anterior dan superior otak.
b) Arteri middle serebral
Bagian kanan dan kiri arteri middle serebral berasal dari arteri karotis internal.
Arteri ini kemudian berlanjut ke pusat otak sepanjang sulcus lateralis yang bercabang
dan meluas ke bagian yang lebih luas dari korteks serebral. Arteri middle serebral
menyuplai darah ke seluruh tubuh tetapi lebih banyak pada bagian superior dari
lobus frontal dan parietal, bagian inferior dari temporal, capsul internal, dan basal
ganglia. Area ini meliputi area broca, area wericke, korteks motorik, korteks sensori,
sistem motorik dan struktur lainnya pada otak.
c) Arteri anterior serebral
Bagian kanan dan kiri arteri anterior serebral merupakan percabangan dari
arteri karotis internal. Arteri tersebut meluas di dalam otak dan menyediakan darah
ke bagian medial dari lobus frontal, bagian medial atau superior dari lobus parietal,
bagian anterior dari korpus kalosum, bagian anterior dari basal gangglia dan kapsul
internal, bulbus olfaktorius dan sistemnya.
d) Anterior communicating artery
Arteri ini menghubungkan bagian kanan dan kiri arteri serebral anterior. Arteri
ini tidak menyuplai darah secara langsung ke beberapa area dari otak, tetapi lebih
berfungsi untuk memastikan keadekuatan aliran darah pada kedua hemisphere juga
keberadaan lesi di dalam silkulasi willis.

2.1.4 Sirkulasi Posterior


a) Arteri vertebralis
Terdiri atas arteri vertebralis kanan dan kiri. Arteri vertebralis bercabang dari
arteri subklavia di dada. Arteri vertebralis berjalan melewati leher dan masuk ke
dalam kubah kranial. Pada bagian dari otak tengah, dua arteri vertebralisis bergabung
untuk membentuk arteri basilaris.
b) Arteri basilaris
Arteri basilaris memanjang bersamaan dengan struktur batang otak dari titik
dimana arteri vertebralis bergabung untuk membentuk dua arteri serebral posterior.
Arteri serebral posterior inferior (kiri dan kanan, arteri serebral anterior inferior, dan
arteri serebra superior merupakan percabangan dari arteri basilaris dan menyuplai
darah ke serebelum. Arteri-arteri tersebut memiliki ukuran yang lebih kecil yang
bercabang dari arteri basilaris, disebut juga dengan arteri pontine. Arteri pontine ini
meyuplai darah ke dalam pons dan beberapa struktur yang berdekatan dengan batang
otak.
c) Arteri posterior serebral
Arteri posterior serebral (kiri dan kanan) merupakan bagian atas dari arteri
basilaris. Arteri ini mempunyai beberapa cabang arteri kecil yang menyediakan darah
untuk lobus oksipital, bagian posterior dari lobus temporal, bagian dari tala mus,
dinding dari ventrikel ke tiga, nukleus caudate dan batang serebral.
d) Posterior communicating artery
Arteri ini berfungsi untuk menghubungkan arteri posterior serebral dan
trifurcation (arteri yang bercabang tiga) dari arteri karotis internal, arteri middle
serebral, dan arteri serebral anterior. Posterior communicating artery
menghubungkan bagian anterior dan posterior dari sirkulasi willis, menyediakan
mekanisme untuk pengiriman darah yang adekuat bila terdapat lesi atau semua
pembuluh darah dari sirkulasi willis tidak sepenuhnya terbentuk.

2.1.5 Sirkulasi Willis


Sirkulasi wiliis tersusun atas arterior communicating artery, arteri serebral
anterior, arteri karotis internal, posterior communicating artery, dan arteri serebral
posterior. Sementara itu, bagian penting lainnya pada aliran darah otak, seperti arteri
middle serebral, arteri basilaris dan arteri vertebralis, tidak termasuk dalam sirkulasi
willis.
Pembuluh darah mayor dari sirkulasi willis bercabang menjadi pembuluh darah
yang lebih kecil dan menyebar pada seluruh wilayah otak, arteri ini memberikan aliran
darah yang adekuat ke seluruh area otak. Ketika salah satu pembuluh darah tidak dapat
menjalankan fungsinya akibat injury atau penyakit tertentu, aliran kolateral akan
menyediakan beberapa darah ke jaringan yang beresiko. Hal ini terjadi karena beberapa
cabang tumpang tidih di wilayah otak yang mereka berikan darah. Jika pada bagian
distal dari arteri middle serebral mengalami kerusakan, maka dalam keadaan normal
jaringan akan mendapatkan perfusi dari beberapa pembuluh darah terdekat dari cabang
yang berbeda. Jika pada area pusat dari arteri middle serebral mengalami kerusakan,
maka jaringan terluas pada area tersebut akan kehilangan aliran darah dan beresiko
untuk mengalami kerusakan.

2.1.6 Faktor yang Memengaruhi Aliran Darah Otak


Aliran darah normal di otak adalah 45-60 ml/100g/min. Otak memiliki kapasitas
yang cukup untuk mempertahankan fungsi yang memadai dengan penurunan aliran
darah ke otak sekitar 20 ml/100 g/min, meskipun terjadi perlambatan
electroensephalography dan penurunan tingkat kesadaran yang umum pada level ini.
Ketika aliran darah otak menurun hingga lebih dari 18 ml/100 g/min, akan terjadi
metabolisme anaorob dan ion/hemeostatis membran terganggu. Pada aliran darah otak
yang nialnya kurang dari 10 ml/100 g/min, kerusakan irreversibel terjadi ketika
integritas membran sel hilang, kalsium mengalir bebas ke dalam sel, dan neuron (dan
bagian lainnya) akan mengalami kematian sel. Aliran darah otak yang nilainya kurang
dari 5 ml/100 g/min selama lebih dari 30 menit, dapat dilihat dari skenario cardiac
arrest, yang mengarah pada infark jaringan. Infark otak mungkin juga dapat terjadi
pada aliran darah otak yang lebih tinggi jika dipertahankan untuk waktu yang cukup
lama. Aliran darah otak 10 ml/100 g/min dapat ditoleransi selama 3 jam dan aliran
darah otak yang nilainya 18 ml/100 g/min, mungkin dapat ditoleransi selama 4 jam.
Pada otak akan mengalami proses metabolisme, dimana proses ini memerlukan
oksigen sekitar 1,3 – 1,8 mol/g/min.
Autoregulasi otak merupakan konsep penyesuaian keadekuatan aliran darah ke
otak dan pengiriman nutrisi di berbagai macam tekanan darah. Dalam MAP sekitar
antara 50 dan 150 mmHg, pembuluh darah otak dapat melebar atau mengalami
konstriksi untuk mengatur pengiriman darah ke jaringan. Jika MAP di luar kisaran ini,
akan menyebabkan gangguan aliran darah. MAP di bawah 50 mmHg tidak dapat
menyediakan kekuatan yang optimal untuk perfusi jaringan. MAP lebih dari 150
mmHg dapat menyebabkan kerusakan pada sirkulasi serebral. Khususnya pada
tekanan darah tinggi, dapat menyebabkan dilatasi pembuluh darah dan memisahkan
endotel juntion dari pelindung darah otak, dan mengurangi efektivitasnya.
Kontrol aliran darah di otak disebabkan karena beberapa faktor, meliputi
kebutuhan metabolisme otak, tekanan di dalam tengkorak, oksigen / karbondioksida /
hidrogen / kalium / adenosisn / prostaglandin tidak meningkat pada otak, dan input
saraf.
a) Faktor metabolisme
Otak membutuhkan pasokan oksigen dan glukosa yang konstan untuk
mempertahankan keadekuatan energi untuk menjalankan fungsi normalnya. Sel-sel
dalam sistem saraf pusat memiliki kapasitas yang sangat terbatas untuk menyimpan
oksigen atau glukosa dan memiliki tuntutan yang tinggi.
b) Glukosa
Proses pertama dalam produksienergi melalui metabolisme aorob dan
anaerob disebut glikolisis, atau pemecagan glukosa. Glukosa diangkut melewati
barries otak oleh GLUT-1, sebuah molekul transporter. Kemudian diambil oleh
astrosit melalui GLUT-1 dan neuron, melalui glucose trasporter GLUT-3. Glukosa
intraselular dipecah di dalam sitoplasma menjadi 2 molekul piruvat, 2 molekul
nicotanamide adenine dinucleotide (NADH), dan 4 molekul ATP. Reaksi ini
memerlukan 2 molekul ATP untuk dapat menghasilkan 2 mol ATP. Ketiadaan
oksigen dalam proses ini menyebabkan piruvat dibecah menjadi laktat. Sementara
itu, dengan bantuan oksigen, piruvat akan diubah menjadi asetil co-enzim A atau
asam oksalat, yang masuk ke dalam mitokondria dan digunakan dalam siklus kreb
dan rantai transpor elektron sebagai bagian dari metabolisme oksidatif. Tanpa
glukosa yang adekuat, glikolisis tidak dapat terjadi, NADH tidak diproduksi,
sehingga mengakibatkan kagagalan pembentukkan energi di sel.
c) Oksigen
Pengiriman oksigen ke otak sangat penting untuk memaksimalkan fungsinya.
Otak memiliki kapasitas yang sangat terbatas untuk penyimpanan oksigen dan
pemasokan yang konstan sangat diperlukan. Oksigen diangkut ke dalam tubuh,
darah, dan jaringan secara difusi melewati gradient tekanan oksigen. Tekanan
parsial oksigen arteri sekitar 90 mmHg dan tekanan parsial dari oksigen otak
adalah 35 mmHg. Oksigen diambil dari udara oleh alveoli dari paru-paru dan
dialirkan langsung ke darah dimana sebagian besar berikatan dengan hemoglobin.
Oksigen tetap terikat dengan hemoglobin dalam darah hingga mencapai kapiler dan
pembuluh darah kecil. Di pembuluh darah kecil dan kapiler, tekanan partial
oksigen lebih rendah di jaringan, sehingga oksigen dilepaskan di jaringan.
Dalam jaringan, oksigen digunakan untuk menghasilkan energi. Metabolisme
aerob menghasilkan energi yang lebih signifikan, atau adenosine triphosphate
(ATP), daripada metabolisme anaerob. Metabolisme aerobi menghasilkan 36 lebih
mol ATP, sedangkan metabolisme anaerob, bergantung pada glikolisis dan
menghasilkan 2 mol ATP. Keadekuatan energi yang cukup bagi neuron merupakan
sumber energi yang digunakan oleh sel untuk mempertahankan homeostasis dari
membran sel (melalui poma). Sel neuron merupakan jenis sel CNS yang paling
sensitif terhadap kekurangan oksigen. Saat sel neuron kekurangan oksigen, sel CNS
lainnya juga akan terpengaruh, sehinga oligodendrocytes, astrosit dan mikroglia
juga akan mengalami hal yang sama.
d) Karbondioksida
Karbondioksida (dan air) merupakan produk sampingan hasil metabolisme
aerob. Karbondioksida memiliki efek lokal yang mencakup vasodilatasi pembulih
darah dalam upaya meningkatkan pengiriman oksigen ke jaringan dan
membersihkan karbondioksida. Akhirnya karbondioksida memodifikasi aliran
darah otak dengan mengubah pH lokal. Di jaringan, karbondioksida bereaksi
dengan air untuk menghasilkan bikarbonat dan hidrogen. Jumlah karbondioksida
yang tinggi menyebabkan terjadinya lingkungan asam pada aliran darah, yang
melebarkan aliran pembuluh darah dan meningkatkan aliran darah otak ke jaringan.
e) Nitrit oksida
Nitrit oksida merupakan vasodilator kuat yang dihasilkan oleh sistem saraf
pusat dan neurovaskular junction. Nitrit oksida merupakan hasil pembelahan dari
L-arginine oleh sintesa nitrit oksida (NOS). Neuron dan glia menghasilkan nNOS,
sel endotel menghasilkan eNOS, dan beberapa sel menghasilkan inducible NOS
(iNOS). Sel endotel, neuron dan glia di pembuluh darah menghasilkan NOS yang
merespon penurunan aliran darah dan meningkatkan kebutuhan metabolisme.
f) Adenosin
Adenosin dihasilkan selama pemecahan/penggunaan ATP. Adenosin
dibutuhkan untuk menghasilkan cyclic adenosine monophosphate (cAMP), yang
meingkatkan aliran darah otak. Selama hipoksia, adenosin diproduksi oleh
astrocytes lokal. Adenosisn mengaktifkan pelepasan nitrit oksida, yang
menyebakan vasodilatasi.

2.1.7 Keseimbangan Asam Basa Otak


Darah yang asam meningkatkan pengambilan oksigen dari darah oleh jaringan,
sedangkan darah yang basa menghambat pengambilan oksigen dari darah. Pada kondisi
anaerob, laktat diakumulasi pada jaringan lokal, dan menghasilkan hidrogen yang tinggi
dan mengakibatkan lingkungan eksternal menjadi asam.
Selama fungsi sel normal, akumulasi laktat dan perubahan lingkungan
ekstraselular yang menjadi asam tidak tampak merugikan. Namun, diperiode stress
tingkat sel, seperti hipoksia dan iskemik, akumulasi laktat dan lingkungan yang asam
akan menyebabkan sistem buffer menjadi lelah, yang pada akhirnya akan
mengakibatkan kerusakan tingkat sel, mulai dari protein yang terdenaturasi ke saraf,
kegagalan sistem transportasi membran astrocytic, pembentukan radikal bebas dan
menghambat proses glikolisis.
Pada keadaan hipoksia dan iskemik, akan terjadi retensi karbondioksida dan
terjadi pemecahan ATP, yang memberikan kontribusi bagi kondisi asidosis. Transport
natrium/pertukaran oksigen akan diaktifkan pada keadaan asidosis intraselular, untuk
mengontrol beberapa kerusakan yang terjadi. Namun aktivitas ini juga dapat
mengakibatkan pembengkakan jaringan CNS dan edema. a) Suhu

Suhu otak lokal memiliki pengaruh langsung pada kebutuhan metabolisme


otak. Pada kondisi hipertermi, kebutuhan metabolisme sel setiap individu meningkat
untuk menjaga keseimbangan ion. Sementara itu, pada kondisi hipertermi kebutuhan
metabolik menurun dan oksigen dilepaskan dari darah ke jaringan.
b) Tekanan
Pada tingkat yang paling dasar, aliran darah dipengaruhi oleh tekanan dalam
sistem arterial dan ruang intrakranial. Mempertahanakan aliran darah otak yang
adekuat dan perfusi dari jaringan otak sangat penting bagi otak untuk menjalankan
fungsinya. MAP harus cukup kuat, untuk mengalirkan darah ke ruang kranial dan ke
dalam jaringan. Nilai normal MAP berkisar antara 70 – 100 mmHg. Tekanan
intrakranial atau tekanan di antara ruang kranial memberikan resistensi (tahanan)
terhadap tekanan darah. Nilai normal tekanan intrakranial adalah 10 – 15 mmHg.
Tekanan perfusi serebral adalah tekanan yang dibutuhkan untuk mengalirkan darah
ke jaringan. Nilai normal tekanan perfusi serebral adalah 70 – 100 mmHg.
Saat volume intrakranial meningkat, baik yang disebabkan oleh massa (tumor,
edema) atau cairan (ekstraserebral hemoragik atau cairan cerebrospinal), akan
mengakibatkan peningkatan tekanan intrakranial. Dengan adanya peningkatan
tekanan intrakranial, tekanan darah juga akan meningkat untuk mempertahankan
keadekutan tekanan perfusi. Pada kondisi dimana MAP sanagt rendah, seperti dalam
serangan jantung, tekanan perfusi serebral menjadi rendah dan jaringan mungkin
akan mendapatkan efek dari ketidakadekuatan aliran darah ini, seperti terjadinya
hipoksia dan iskemik pada jaringan.

c) Input saraf
Pembuluh darah serebral dipersarafi oleh serabut saraf simpatik dan serabut
saraf trigeminal. Masukan dari saraf ini minimal dalam kondisi normal, namun
mungkin memiliki pengaruh yang lebih signifikan dalam kondisi tekanan darah yang
tidak normal.

2.1.8 Fisiologi Aliran Darah Otak


a) Aliran darah otak
Aliran darah otak disuplai oleh empat arteri besar dua arteri karotis dan dua
arteri vertebralis yang bergabung membentuk sirkulus willis di dasar otak. Arteri-
arteri yang dipercabangkan ke sirkulus willis berjalan sepanjang permukaan otak dan
membentuk arteri-arteri pial yang bercabang-cabang menjadi pembuluh-pembuluh
yang lebih kecil yang dinamakan arteri-arteri atau arteriola-arteriola penembus.
Pembuluh-pembuluh penembus sedikit terpisah dari jaringan otak perpanjangan
rongga subaracnoid yang dinamakan rongga William Robin . pembuluh-pembuluh
penembus masuk ke dalam jaringan otak, mempercabangkan arteriola-arteriola
vertebralis yang akhirnya bercabang menjadi kapiler-kapiler tempat terjadinya
pertukaran oksigen, nutrien, karbondioksida, dan metabolisme antara darah dan
jaringan
b) Suplai darah serebrum
Sistem serebrovaskular memberi otak aliran darah yang banyak mengandung
zat makanan yang penting bagi fungsi normal otak. Terhentinya aliran darah
serebrum (CBF) selama beberapa detik saja akan menimbulkan gejala disfungsi
serebrum. Apabila berlanjut selama beberapa detik, defisiensi CBF menyebabkan
kehilangan kesadaran dan akhirnya terjadi iskemik serebrum. Kerusakan otak
irreversibel akan mulai timbul setelah 4 sampai 6 menit penghentian total pasokan
oksigen (biasanya akibat henti kardio pulmonal). CBF normal adalah sekitar 50
ml/100 gram jaringan otak permenit. Pada keadaan istirahat, otak menerima 1/6 dari
curah jantung, dari aspek ekstraksi oksigen, otak menggunakan 20 % oksigen tubuh.
Apabila sebuah pembuluh darah serebrum tersumbat, sirkulasi kolateral membantu
mempertahankan CBF ke daerah iskemik. Bagian-bagian otak yang berdekatan dan
mendapat CBF terbatas melalui aliran kolateral disebut penumbra iskemik.
Empat arteri besar menyalurkan darah ke otak (dua arteri karotis internal, dua
arteri verterbralis (yang menyatu dengan arteri basilaris untuk membentuk sistem
vertobrabasilaris)). Darah arteri yang ke otak berasal dari arkus aorta. Di sisi kiri,
arteri karotis komunis dann arteri subklavia berasal langsung dari arkus aorta. Di
kanan, arteri trunkus brakiosefalikus (inominata) berasal dari arkus dan kemudian
bercabang menjadi arteri karotis komunis dekstra dan arteri subklavia dekstra.
Terjadi percabangan lebih lanjut, dengan arteri karotis internus berasal dari arteri
subklavia. Di kedua sisi, sirkulasi darah ke otak di sebelah anterior dipasok oleh dua
arteri karotis internus dan di posterior oleh dua arteri vertebralis.
Arteri karotis internus bercabang menjadi arteri serebri anterior dan media
setelah masuk ke kranium melalui dasar tengkorak. Arteri-arteri vertebralis
berukuran lebih kecil dan berjalan melalui foramina transversus vertebra servikalis,
masuk ke tengkorak melalui foramina magnum, arteri-arteri ini menyatu untuk
membentuk arteri basilaris (sistem vertebrobasilaris) di taut pons dan medula di
batang otak. Arteri basilaris kemudian berjalan ke otak tengah tempat arteri ini
bercabang menjadi sepasang arteri serebri posterior . sirkulasi anterior bertemu
dengan sirkulasi posterior untuk membentuk suatu halo arteri yang disebut sirkulus
willis. Sirkulus ini dibentuk oleh arteri serebri anterior, anterior communicating
artery, arteri karotis internus, posterior communacating artery, dan arteri serebri
posterior.
Secara umum, arteri-arteri serebrum bersifat penetrans atau konduktans. Arteri-
arteri konduktans (karotis, serebri media dan anterior, vertebralis, basilaris dan
serebri posterior), serta cabang-cabangnya membentuk suau jaringan yang ekstensif
di permukaan otak. Secara umum, arteri karotis dan cabang-cabangnya
memperdarahi bagian terbesar dari hemisfer serebrum, dan arteri vertebralis
memperdarahi dasar otak an serebelum. arteri-arteri penetrans adalah pembuluh yang
menyalurkan makanan dan berasal dari arteri-arteri konduktans. Pembuluh-pembuluh
ini masuk ke otak dengan sudut tegak lurus serta menyalurkan darah ke strukrtur –
struktur yang terletak di bawah korteks (talamus, hipotalamus, kapsula internal dan
ganglia basal). Sirkulasi ke kedua hemisfer umumnya simetris, dengan masing-
masing sisi mempertahankan aliran darahnya secara terpisah. Namun sering terjadi
anomali dari distribusi klasik yang umumnya tidak signifikan. Apabila timbul
masalah, anomali ini dapat menimbulkan kebingungan saat dilakukan usaha untuk
mengaitkan temuan klinis dengan fenomena patofisiologik.
c) Pengaturan darah otak
Autoregulasi otak adalah kemampuan otak normal mengendalikan volume
aliran darahnya sendiri di bawah kodisi tekanan darah arteri yang selalu beruba-ubah.
Fungsi ini dilakukan dengan mengubah ukuran pembuluh-pembuluh resistensi untuk
mempertahankan tekanan aliran darah ke otak dalam rentang fisiologik 60-160
mmHg tekanan arteri rata-rata (MAP). Pada pengidap hipertensi, rentang
autoregulasi ini meningkat sampai setinggi 180-200 mmHg. Apabila tekanan arteri
sistemik rata-rata turun mendadak ke tekanan yang lebih rendah di dalam rentang
fisiologis, arteriol-arteriol berdilatasi untuk menurunkan resistensi, sehingga aliran
darah ke jaringan otak dipertahankan konstan. Sebaliknya apabila tekanan arteri
sistemik meningkat mendadak di dalam rentang fisiologis , arteriol-arteriol
berkonstriksi untuk mempertahankan aliran darah ke kapiler otak yang disertai
dengan peningkatan tekanan dorongan darah arteri.
Autoregulasi adalah sifat sirkulasi otak sehat yang sangat penting untuk
melindungi otak dari peningkatan atau penurunan mendadak tekanan darah arteri.
Tanpa pengendalian tekanan ini, maka perubahan tekanan mendadak dapat
menimbulkan iskemik otak atau pada keadaan yang lebih ekstrim lagi, akan terjadi
kerusakan kapiler akibat tingginya tekanan. Sayangnya pada tekanan-tekanan yang
ekstrim yang melebihi rentang fisiologis 60-160 mmHg, mekanisme autoregulasi
protektif ini dapat gagal sehingga aliran darah ke otak secara pasif mengikuti tingkat
tekanan di sirkulasi sistemik. Jelaslah hal ini akan menjadi malapetaka, apabila
terjadi MAP yang sangat tinggi atau sangat rendah. Dengan demikian, melindungi
mekanisme autoregulasi otak menjadi tujuan yang sangat penting dalam mengobati
pasien yang mengalami cidera pada otaknya. Cara untuk mencapai tujuan ini antara
lain adalah titrasi yang ketat dari obat-obatan intravena untuk mengendalikan MAP,
memastikan oksigenisasi dan ventilasi yang adekuat sehingga pH darah
dipertahankan dalam rentang normal, dan menjaga elektrolit serumdalam kisaran
normal.
Terdapat tiga faktor metabolik yang dikenal baik mempengaruhi CBF. Pada
situasi yang masalah klinisnyaadalah meningkatnya tekanan intra kranium (TIK),
faktor-faktor ini perlu dipertahankan dalam batas-batas fisiologis agar CBF tetap
memadai, sementara TIK tidak meningkat. Faktor-faktor ini adalah konsentrasi
karbondioksida (PaCO2), konsentrasi ion hidrogen atau keasaman darah (pH) dan
konsentrasi oksigen (PaO2), hiperkapnia (meningkatnya PaCO2), asidemia
(menurunnya pH), dan hipoksemia (menurunnya PaCO2), sendiri-sendiri atau
berkombinasi dengan satu atau lebih faktor metabolik lain akan menyebabkan
vasodilatasi otak, sehingga aliran darah melalui pembuluh-pembuluh otak
meningkat. Meningaktnya CBF, dapat menyebabkan meningkatnya tekanan di dalam
kranium saat terdapat cidera dan pembengkakan otak. Sebalinya hipokapnia
(menurunnya PaO2) dan alkalemia (meningkatnya pH) menyebabkan vasokontriksi
otak. Dengan demikian, tindakan terapeutik mencakup pengendalian aliran darah
dalam parameter-parameter fisiologis dengan manipulasi kadar PaCO2 dan PaO2
serta keseimbangan asam basa.
Beberapa faktor lain yang mempengaruhi CBF adalah volume dan kekentalan
darah, tekanan perfusi, dan TIK. Menurut doktrin Monro-Kellie, semua faktor yang
meningkatkan satu dari tiga komponen space-occupying di dalam tengkorak
(jaringan otak, CSS, dan darah) akhirnya akan menyebabkan peningkatan TIK.
d) Sirkulasi kolateral
Sirkulasi kolateral dapat terbentuk secara perlahan-lahan saat aliran normal ke
suatu bagian berkurang. Sebagian besar sirkulasi kolateral serebrum antara arteri-
arteri besar adalah melalui sirkulus willis. Efek sirkulasi kolateral ini adalah untuk
menjamin terdistribusinya aliran darah ke otak sehingga iskemia dapat ditekan
minimal apabilaterjadi sumbatan arteri. Otak juga memiliki tempat-tempat sirkulasi
kolateral yang lain, seperti antara arteri karotis eksterna dan interna melalui arteri
oftalmika. Kolateral-kolateral ini hanya berfungsi apabila rute lain terganggu. Secara
teoritis saluran-saluran komunikans ini mampu mengalirkan darah secara adekuat ke
semua bagian otak. Namun, secara praktis hal ini tidak selalu terjadi. Diperkirakan
bahwa anomali pada sirkulus willis terjadi pada hampir separuh populasi dan temuan
otopsi, memperlihatkan bahwa prevalensi anomali semacam ini bahkan lebih tinggi
pada pasien stroke.
Suatu sumbatan di sebuah pembuluh darah besar pada seseorang tidak akan
menimbulkan gejala atau defisit neurologik transient. Pada orang lain sumbatan yang
sama dapat menyebabkan gangguan fungsi yang besar. Perbedaan ini tampaknya
berkaitan dengan keadaan sirkulasi kolateral masing-masing orang.
e) Mikrosirkulasi Serebrum
Laju metabolisme di substansia grisea otak lebih tinggi daripada di substansia
alba, sehingga mengakibatkan jumlah kapiler dan aliran darahnya 4 kali lebih besar.
Kapiler-kapiler otak jauh lebih kurang permeabel dibandingkan dengan hampir
semua kapiler tubuh lainnya. Penyebab hal ini adalah bahwa ruang antara sel-sel
endotel tersebut ditandai oleh “tight-juctions” (taut erat) yang mencegah bocornya
cairan kapiler. Akibatnya adalah apa yang disebut sebagai sawar darah otak “taut-
taut erat” ini juga merupakan gambaran pada pertemuan antara darah dan cairan
serebrospinalis (CSS). Sifat protektif penting lainnya dari kapiler otak adalah bahwa
kapiler-kapiler tersebut ditunjang di semua sisinya oleh kaki glia atau pseudopodia.
Struktur-struktur ini adalah proyeksi dari sel-sel glia yang pas dengan permukaan
luar kapiler serta memberikan dukungan untuk mencegah peregangan berlebihan dan
ruptur apabila terjadi peningkatan tekanan intralumen. Keruskan iskemik akibat
stroke dapat merusak sawar darah otak dan sawar darah CSS serta meningkatkan
permeabilitas vaskular dan edema serebrum.

Tabel Teritori suplai dari arteri serebral ; Sumber : Patricia Ann Blissitt dalam AACN (2013)
Arteri Teritori Suplai dari Arteri
SIRKULASI ANTERIOR (DAN
CABANGNYA)
Arteri Karotis Internal (ICA)
Koroid Anterior Jalur optic, pleksus koroid, kapsul internal,
ganglia basal, hippocampus, pedunkel
serebral
Arteri Ophtalmic Orbita mata, saraf optik
Arteri Serebral Tengah (MCA)
M1 Fissura Sylvian
Lantikulostriat Ganglia basal, kapsul internal
M2 Korteks serebral di sulkus lateral (insula)
M3 Diatas korteks serebral dan dibelakang sulkus
lateral (opercula)
M4 Permukaan kortikal lateral dari otak (kecuali
bagian oksipital), presentral (penggerak)
girus untuk mensuplai lengan dan wajah,
postsentral (sensori) girus mensuplai lengan
dan wajah
Arteri Serebral Anterior (ACA)
A1 Pertemuan arteri penghubung anterior
(AComA)
A2 Korpus Kalosum
A1 dan A2 Permukaan medial dari lobus frontal dan
parietal, girus singulata, presentral
(penggerak) girus mensuplai kaki, post
sentral (sensori) girus mensuplai kaki
Arteri Huebner Ganglia basalis dan kapsul internal
Arteri Penghubung Anterior (AComA) Menghubungkan dua arteri serebral anterior
Arteri Penghubung Posterior (PComA) Menghubungkan karotis (anterior),
bersirkulasi dengan vertebrobasiler
(posterior)
SIRKULASI POSTERIOR
Arteri Vertebral (VA)
Arteri serebral posteroinferior (PICA) Dibawah permukaan dari Serebellum,
medulla, dan pleksus koroid dari ventrikel
keempat
Arteri spinal anterior dan posterior Dua pertiga anterior dan satu pertiga
posterior dari korda spinalis
Arteri Basiler (BA)
Arteri serebral posterior (PCA) Thalamus, hypothalamus, permukaan medial
dan inferior dari lobus temporal, lobus
oksipital, midbrain, pkesus koroid dari
ventrikel ketiga dan keempat
Arteri koroidal Tectum, pleksus koroid dari ventrikel ketiga,
thalamus medial/superior
Arteri serebral superior (SCA) Dibawah permukaan dari serebellum dan
midbrain
Arteri serebral inferior anterior Dibawah permukaan dari serebellum dan
pons lateral

2.2 Definisi Stroke


Stroke adalah suatu episode akut dari disfungsi neurologis yang diduga disebabkan
oleh iskemik atau hemoragik, yang berlangsung ≥ 24 jam atau sampai meninggal, tetapi
tanpa bukti yang cukup untuk diklasifikasikan (Sacco, dkk, 2013).
Iskemik adalah kurangnya aliran darah ke otak sehingga mengganggu kebutuhan
darah dan oksigen di jaringan otak. Sedangkan hemoragik adalah keluarnya darah ke
jaringan otak dan ke ekstravaskular di dalam kranium (Caplan, 2009).
2.3 Etiologi Stroke

Stroke
Hemoragik Primer:
15% - Intraparenkimal
85% - Sub-Araknoid

Iskemik Stroke

20% 25% 20% 30%


Penyakit Penetrasi Emboli Kardiogenik: Stroke Cryptogenik
Atherosklerosis
Arteri - Atrial Fibrilasi
Cerebrovaskuler 5%
(Lacuna) - Penyakit Katup
- Thrombus Ventrikuler
- Dll Lain, Kasus tidak lazim:
- Diseksi Stasis
Prothrombic
Emboli - Arteritis
arteriogenik - Migrain/
Hipoperfusi vasospasme
- Drug abuse
- Dll
Sumber: Patricia Ann Blissit (2013)

Menurut Woodward (2011) :


a) Sebesar 85% kasus stroke disebabkan oleh iskemi dan infark pada jaringan otak.
Iskemi adalah kondisi kekurangan suplai darah akibat ketidaksesuaian aliran darah
dengan kebutuhan suplai darah di jaringan serebral untuk menjaga fungsi normal
seluler. Sedangkan infark adalah kondisi kerusakan ireversibel dan kematian jaringan
(nekrosis) yang disebabkan oleh iskemia.
1) Atherosklerosis
Atherosklerosis merupakan penyebab paling umum dari stroke iskemik. Munculnya
atheroma sebagai hasil dari respon inflamasi, mengarah pada penyimpanan bertahap
senyawa lipid dalam dinding arteri. Hal ini mengakibatkan pembentukan plak.
Proses ini diperberat oleh beberapa faktor seperti hipertensi, diabetes, merokok dan
hiperlipidemia. Mengakibatkan dinding arterial mengalami nekrosis, ulserasi atau
kalsifikasi.
b) Sisanya sebesar 15% kasus stroke disebabkan olehperdarahan intraserebral primer.
iskemi dapat terjadi akibat terjadinya athero-trombosis, antara lain stenosis pembuluh
darah besar, embolisasi plak antar arteri disertai oklusi pada pembuluh darah distal dan
SVD (Small Vessel Disease) dalam yang masuk ke arteri yang menyuplai basal ganglia,
massa otak, thalamus dan pons.
Faktor resiko terjadinya stroke iskemik pada pembuluh kecil memiliki kesamaan
dengan terjadinya infark/stroke lacunar, yaitu hipertensi dan diabetes. Pada Cerebro
Vascular Thrombotic, satu atau lebih vena serebral dan percabangannya mengalami
penyumbatan, mengakibatkan edema serebral, gangguan absorbsi cairan serebrospinal,
maupun infark hemoragik atau non hemoragik.
Menurut Brunner dan Suddarth (2002) stroke biasanya diakibatkan dari salah satu dari
empat kejadian, yaitu:
1) Trombosis serebri (bekuan darah di dalam pembuluh darah otak atau leher).
Senada dengan Brunner dan Suddarth, Price dan Wilson (1995) mengemukakan bahwa
trombosis serebri merupakan penyebab stroke yang paling sering ditemui yaitu pada 40
% dari semua kasus stroke yang telah dibuktikan oleh ahli patologi. Arteriosklerosis
serebral dan pelambatan sirkulasi serebral adalah penyebab utama trombosis serebri.
Secara umum, trombosis serebral tidak terjadi dengan tiba-tiba, dan kehilangan bicara
sementara, hemiplegia atau parestesia pada setengah tubuh dapat mendahului awitan
paralisis berat pada beberapa jam atau hari (Brunner dan Suddarth, 1995). Mancall (cit.
Price dan Wilson, 1995) menambahkan bahwa trombosis serebri merupakan penyakit
orangtua. Usia yang paling sering terserang oleh penyakit ini berkisar antara 60 sampai
69 tahun.
2) Embolisme serebral (bekuan darah atau material lain yang dibawa ke otak dari bagian
tubuh yang lain).
Sedangkan pada embolisme serebral terjadi karena adanya abnormalitas patologik pada
jantung kiri. Seperti endokarditis infektif penyakit jantung rematik, dan infark miokard
serta infeksi pulmonal adalah tempat-tempat asal emboli. Embolus biasanya
menyumbat arteri serebral tengah atau cabang-cabangnya, yang merusak sirkulasi
serebral.
3) Iskemia (penurunan aliran darah ke otak).
Iskemia serebral terutama karena konstriksi ateroma yang menyuplai darah ke otak
manifestasi paling umum adalah Transient Ischemic Attack (Brunner dan Suddarth,
2001).
4) Hemoragik serebral (pecahnya pembuluh darah serebral dengan perdarahan dalam
jaringan otak atau ruang sekitar otak). Akibatnya kehilangan penghentian suplai darah
ke otak, yang menyebabkan kehilangan sementara atau permanen. Hemoragi dapat
terjadi diluar durameter (hemoragi ekstradural dan epidural), dibawah durameter
(hemoragi subdural), diruang subarakhnoid (hemoragi subarakhnoid) atau didalam
subtansi otak (hemoragi intraserebral) (Smeltzer, 2002).

2.4 Klasifikasi Stroke


Berdasarkan etiologi, stroke dikelompokkan menjadi : (Batticaca, 2008)
1) Stroke iskemik (infark atau kematian jaringan). Serangan sering terjadi pada usia 50
tahun atau lebih dan terjadi pada malam hingga pagi hari.
a) Trombosis pada pembuluh darah otak (thrombosis of cerebral vessels).
b) Emboli pada pembuluh darah otak (embolism of cerebral vessels).
2) Stroke hemoragik (perdarahan). Serangan sering terjadi pada usia 20-60 tahun dan
biasanya timbul setelah beraktifitas fisik atau karena psikologis (mental).
a) Perdarahan intra serebral (parenchymatous haemorrhage). Gejalanya :
 Tidak jelas, kecuali nyeri kepala hebat karena hipertensi.
 Serangan terjadi pada siang hari, saat beraktifitas, dan emosi tidak terkontrol.
 Mual atau muntah pada permulaan serangan.
 Hemiparesis atau hemiplegia terjadi sejak awal serangan.
 Kesadaran menurun dengan cepat dan menjadi koma (65% terjadi kurang dari
30 menit - 2 jam; <2% terjadi setelah 2 jam – 19 hari).
b) Perdarahan subarakhnoid (subarakhnoid haemorrhage). Gejalanya :
 Nyeri kepala hebat dan mendadak.
 Kesadaran sering terganggu dan sangat bervariasi.
 Ada gejala dan tanda meningeal.
 Papiledema terjadi bila ada perdarahan subarakhnoid karena pecahnya
aneurisma pada arteri komunikans anterior atau arteri karotis interna.
Penggolongan berdasarkan perjalanan klinisnya dikelompokkan sebagai berikut :
1) Transient ischemic Attack ( TIA)
Gangguan neurologis setempat yang terjadi selama beberapa menit sampai beberapa
jam saja. Gejala yang timbul akan hilang dengan spontan dan smpurna dalam waktu
kurang dari 24 jam.
2) Stroke involusi
Stroke yang terjadi masih terus berkembang dimana gangguan neurologis terlihat
semakin berat dan bertambah buruk. Proses dapat berjalan 24 jam atau beberapa hari.
3) Stroke komplit
Gangguan neurologi yang timbul sudah menetap atatu permanen. Sesuai dengan
istilahnya stroke komplit dapat diawali oleh serangan TIA berulang.

2.5 Faktor Resiko


Faktor risiko adalah suatu faktor atau kondisi tertentu yang membuat seseorang rentan
terhadap serangan stroke, umumnya dibagi menjadi :
1) Faktor Risiko Internal, yang tidak dapat dikontrol / diubah / dimodifikasi :
a) Umur, dimana kejadian stroke makin tinggi pada klien usia lanjut.
Padahal usia lanjut terjadi proses kalsifikasi pembuluh darah, termasuk pembuluh
darah otak. Usia merupakan faktor risiko stroke, semakin tua usia seseorang maka
risiko terkena stroke pun semakin tinggi. Namun penderita stroke saat ini tidak
terbatas pada seseorang dengan usia lanjut, kaum usia produktif pun perlu waspada
terhadap ancaman stroke. Pada usia produktif, stroke dapat menyerang terutama
pada mereka yang gemar mngonsumsi makanan berlemak dan pengguna narkoba
( walaupun belum memiliki angka yang pasti).
b) Jenis kelamin. Angka kejadian terjadinya stroke pada penderita laki-laki, dilaporkan
lebih banyak daripada penderita wanita.
c) Ras / suku bangsa
Bangsa Afrika/Negro, Jepang ,dan Cina lebih sering terkena stroke. Orang
yang berwatak keras terbiasa cepat atau terburu-buru, seperti orang Sumatra,
Sulawesi, dan Madura rentan terkena stroke.
d) Riwayat keluarga / keturunan
Seseorang dengan orang tua / saudara kandung yang pernah mengalami stroke,
maka yang bersangkutan berisiko terkena stroke.
2. Faktor Risiko Eksternal, yang dapat dikontrol / diubah / dimodifikasi :
a) Hipertensi
Hipertensi dapat disebabkan arterosklerosis pembuluh darah serebral, sehingga
pembuluh darah tersebut mengalami penebalan dan degenerasi yang kemudian
pecah/menimbulkan perdarahan. Hipertensi dapat mengakibatkan pecahnya maupun
menyempitnya pembuluh darah otak apabila pembuluh darah otak pecah maka
timbullah perdarahan otak, dan apabila pembuluh darah otak menyempit maka aliran
darah ke otak terganggu dan sel-sel otak akan mengalami kematian.
b) Hipotensi
Penurunan tekanan darah yang tiba-tiba dapat menyebabkan berkurangnya aliran
darah ke otak yang kemudian menyebabkan pingsan atau tidak sadarkan diri. Stroke
bisa terjadi jika tekanan darah rendah sangat berat dan menahun. Hal ini terjadi jika
seseorang mengalami kehilangan darah dalam jumlah banyak karena cidera atau
pembedahan, serangan jantung, atau irama jantung yang abnormal.
c) Diabetes Mellitus.
Diabetes mellitus mampu menebalkan dinding pembuluh darah otak yang
berukuran besar. Menebalnya dinding pembuluh darah otak akan menyempitkan
diameter pembuluh darah tadi kemudian menganggu kelancaran aliran darah ke
otak, yang pada akhirnya akan menyebabkan infark sel-sel otak.
d) Penyakit kardiovaskuler
Penyakit jantung berpotensi untuk menimbulkan stroke dikemudian hari
seperti penyakit jantung rematik, penyakit jantung koroner dengan infark otot
jantung dan gangguan irama jantung. Faktor risiko ini pada umumnya akan
menimbulkan hambatan atau sumbatan aliran darah ke otak karena jantung melepas
gumpalan atau sel-sel atau jaringan yang telah mati ke aliran darah. Misalnya
embolisme serebral berasal dari jantung seperti penyakit arteri koronaria, gagal
jantung kongestif, MCI, hipertrofi ventrikel kiri. Pada fibrilasi atrium menyebabkan
penurunan CO, sehingga perfusi darah ke otak menurun, maka otak akan
kekurangan oksigen yang akhirnya dapat terjadi stroke.
e) Transient Ischemic Attack (TIA)
Transient Ischemic Attack dapat terjadi beberapa kali dalam 24 jam, atau
dapat berkali-kali dalam 1 minggu. Makin sering seseorang mengalami Transient
Ischemic Attack ini maka kemungkinan untuk mengalami stroke makin besar.
3) Faktor Risiko Tambahan
a) Kadar lemak darah tinggi
Kadar lemak ini termasuk kolesterol dan trigliserida. Meningginya kadar
kolesterol merupakan faktor penting terjadinya aterosklerosis (menebalnya dinding
pembuluh darah) dalam hal ini kolesterol darah yang berperan terutama adalah Low
Density Lipoprotein (LDL). Peningkatan kadar Low Density Lipoprotein dan
penurunan kadar HDL (High Density Lipoprotein) merupakan faktor risiko
terjadinya penyakit jantung koroner dan penyakit jantung seperti ini merupakan
faktor risiko stroke. Selain itu peningkatan kolesterol tubuh dapat menyebabkan
terbentuknya emboli lemak sehingga aliran darah lambat termasuk ke otak, maka
perfusi otak menurun.
b) Obesitas atau kegemukan.
c) Merokok
Pada perokok akan timbul plaque pada pembuluh darah oleh nikotin sehingga
pada kemungkinan penumpukan arterosklerosis dan kemudian berakibat terhadap
stroke. Merokok menyebabkan peningkatan koagulabilitas, viskositas darah,
meningkatkan kadar fibrinogen, mendorong agregasi platelet, meninggikan tekanan
darah, meningkatkan hematokrit, menurunkan kolesterol HDL dan meningkatkan
kolesterol LDL.Perokok pasif, beresiko sama dengan perokok aktif.
d) Alkoholik
Konsumsi alkohol secara berlebihan dapat menyebabkan hipertensi, penurunan
aliran darah ke otak dan ardiak aritmia serta kelainan motilitas pembuluh darah
sehingga terjadi emboli serebral.
e) Penggunaan obat tertentu dalam jangka waktu lama
Stroke juga bisa terjadi bila suatu peradangan atau infeksi menyebabkan
penyempitan pembuluh darah yang menuju ke otak. Obat-obatan (misalnya kokain
dan amfetamin) juga bisa mempersempit pembuluh darah di otak dan menyebabkan
stroke.
f) Faktor risiko lainnya adalah gangguan tidur obstruktif, kadar homosistein yang
tinggi, kontrasepsi hormonal, infeksi, dan penyakit jantung.

2.6 Patofisiologi Stroke (Price, 2006)

Gangguan pasokan aliran darah otak dapat terjadi di mana saja di dalam arteri-
arteri yang membentuk sirkulasi Willisi: arteri karotis interna, dan sistem
vertebrobasiler atau semua cabang-cabangnya. Secara umum, apabila aliran darah ke
jaringan otak terputus selama 15—20 menit, akan terjadi infark atau kematian
jaringan. Perlu diingat bahwa oklusi di suatu arteri tidak selalu menyebabkan infark di
daerah otak yang diperdarahi oleh arteri tersebut. Alasanya adalah bahwa mungkin
terdapat sirkulasi kolateral yang memadai ke daerah tersebut. Proses patologik yang
mendasari mungkin salah satu dari berbagai proses yang terjadi di dalam pembuluh
darah yang memperdarahi otak. Patologinya dapat berupa (1) keadaan penyakit pada
pembuluh darah itu sendiri, seperti pada aterosklerosis dan thrombosis, robeknya
dinding pembuluh, atau peradangan; (2) berkurangnya perfusi akibat gangguan status
aliran darah, misalnya syok atau hiperviskositas darah; (3) gangguan aliran darah
akibat bekuan atau embolus infeksi yang berasal dari jantung atau pembuluh
ekstrakranium; atau (4) rupture vascular di dalam jaringan otak atau ruang
subaraknoid.

2.6.1 Serangan Iskmeik Transient (TIA)

Suatu stroke mungkin didahului oleh serangan iskemik transien (TIA) yang
serupa dengan angina pada serangan jantung. TIA adalah serangan-serangan defisit
neurologis yang mendadak dan singkat akibat iskemia otak fokal yang cenderung
membaik dengan kecepatan dan tingkat penyembuhan bervariasi tetapi biasanya
dalam 24 jam. Istilah ini merupakan istilah klinis dan tidak mengisyaratkan penyebab.
Serangan serangan ini menimbulkan beragam gejala, bergantung pada lokasi jaringan
otak yang terkena, dan disebabkan oleh gangguan vascular yang sama dengan yang
menyebabkan stroke. TIA merupakan hal penting karena merupakan peringatan dini
akan kemungkinan infark serebrum di masa mendatang. TIA mendahului stroke
trombotik pada sekitar 50% sampai 75% pasien. Dengan demikian, orang yang
mengalami TIA memerlukan pemeriksaan medis dan neurologis yang lengkap.
Tindakan ini penting untuk mencegah stroke, karena sering dijumpai penyebab
penyebab yang dapat diobatai seperti fibrilasi atrium. Pemeriksaan klinis yang paling
sederhana adalah hitung darah lengkap (HDL), panel metabolic dasar, faktor
pembekuan, elektrokardiogram (EKG), dan pemeriksaan Doppler karotis (non
invasive). Istilah yang sekarang menjadi jarang digunakan adalah Reversible Ischemic
Neurologic Deficit (RIND). RIND yang kadang-kadang disebut “stroke ringan” (small
stroke), adalah TIA dengan tanda-tanda yang berlangsung lebih dari 24 jam. Biasanya
penyebabnya adalah stenosis aterosklerosis sebuah arteri karotis. Pasien yang jelas
memperlihatkan bising karotis di sisi yang terkena seyogyanya menjalani
pemeriksaan Doppler karotis dan angiografi. Pemeriksaan-pemeriksaan ini sangat
penting untuk mendiagnosis lesi yang dapat diperbaiki secara bedah. Bahkan tanpa
terdengar bruit, prosedur-prosedur diagnostic tetap harus dilakukan apabila terdapat
gejala deficit di sirkulasi karotis (anterior), terutama apabila disertai emboli pada
arteriol retina (Wiederholt, 2000)

Identifikasi bagian otak yang terkena TIA tidaklah selalu mudah dilakukan.
Namun, timbulnya kebutaan satu mata dengan atau tanpa kelemahan atau baal
kontralateral selalu mengisyaratkan sistem karotis, demikian juga afasia reseptif atau
sensorik. Meredup atau menghilangnya penglihatan secara transien di satu mata
(amaurosis fugaks) disebabkan oleh terhentinya aliran darah oleh arteri oftalmika
(cabang arteri karotis interna) yang memperdarahi arteri arteri retina. Stenosis karotis
yang disebabkan oleh plak aterosklerotik, mikroembolus dari plak aterosklerotik, atau
menurunya curah jantung dapat menyebabkan kurang adekuatnya perfusi ke otak
sehingga timbul gejala-gejala tersebut. Tanda utama keterlibatan sistem
vertebrobasiler adalah kelemahan bilateral, gangguan penglihatan,pusing bergoyang,
sering jatuh mendadak, rasa baal, atau kombinasinya Semakin sering frekuensi TIA,
semakin besar probabilitas terjadinya stroke dikemudian hari.

Subclavian steal syndrome adalah suatu bentuk TIA yang merupakan contoh
klasik obstruksi arteri ekstrakranium yang mengganggu aliran darah melalui sistem
arteria vertebrobasilaris. Apabila arteria subklavia tersumbat dekat pangkalnya, aliran
darah ke arteria vertebralis dapat berbalik sehingga aliran darah mengalir menjauhi
(“tercuri”) dari arteria basilaris dan sirkulasi Willisi untuk memperdarahi lengan dengan
mengorbankan sirkulasi otak. Tempat tersering obstruksi (biasanya disebabkan oleh
aterosklerosis) adalah di arteria subklavia sinistra, dekat pangkal arteria vertebralis
sinistra. Saat lengan kiri beraktifitas,darah dialirkan dari dari arteria vertebralis dekstra ke
arteria vertebralis sinistra tempat arah aliran retrograde sehingga
terjadi iskemia serebrum. “ Subclavian Steal” ini dapat menyebabkan TIA
vertebrobasiler tetapi jarang menyebabkan stroke. Pada pemeriksaan fisik mungkin
dijumpai perbedaan amplitudo denyut dan tekanan darah (>20 mmHg) diantara kedua
lengan. Diagnosis dipastikan dengan angiografi dan penyakit ini dapat diperbaiki
secara bedah dengan endarterektomi atau okulasi pintas.

2.6.2 Stroke Iskemik (Price, 2006)

Sekitar 80—85% stroke adalah stroke iskemik, yang terjadi akibat obstruksi
atau bekuan di satu atau lebih arteri besar pada sirkulasi serebrum. Obstruksi dapat
disebabkan oleh bekuan (thrombus) yang terbentuk di dalam suatu pembuluh otak
atau pembuluh organ distal. Pada thrombus vascular distal, bekuan dapat terlepas,
atau mungkin terbentuk di dalam suatu organ seperti jantung, dan kemudian dibawa
melalui sistem arteri ke otak sebagai suatu embolus. Terdapat beragam penyab stroke
trombotik dan embolik primer, termasuk aterosklerosis, arterititis, keadaan
hiperkoagulasi, dan penyakit jantung structural. Namun, trombosis yang menjadi
penyulit aterosklerosis merupakan penyabab pada sebagian besar kasus stroke
trombotik, dan embolus dari pembuluh besar atau jantung merupakan penyebab
tersering stroke embolik (Smith et.al 2011)

Selama tahun 1990an para peneliti membuat kemajuan besar dalam


mengungkapkan mengapa sel-sel neuron mati selama stroke iskemik. Sebagian besar
stroke berakhir dengan kematian sel-sel di daerah pusat lesi (infark) tempat aliran
darah mengalami penurunan drastis sehingga sel-sel tersebut biasanya tidak dapat
pulih. Ambang perfusi ini biasanya terjadi apabila CBF hanya 20% dari normal atau
kurang. CBF normal adalah sekitar 50 ml/100 gr jaringan otak/ menit. The National
Stroke Association (2001) telah meringkas mekanisme cedera sel akibat stroke
sebagai berikut:

1. Tanpa obat-obatan neuroprotektif, sel-sel yang mengalami iskemia 80% atau lebih
(CBF 10 ml/100 gr jaringan otak/ menit) akan mengalami kerusakan ireversibel dalam
beberapa menit. Daerah ini disebut pusat iskemik. Pusat iskemik dikelilingi oleh
daerah lain jaringan yang disebut penumbra iskemik atau “zona transisi” dengan CBF
antara 20% dan 50% normal (10—25 ml/100 gr jaringan otak/ menit. Sel-sel neuron
di daerah ini berada dalam bahaya tetapi belum rusak secara ireversibel. Terdapat
bukti bahwa jendela waktu untuk timbulnya penumbra pada stroke dapat bervariasi
dari 12 sampai 24 jam.
Penumbra Iskemik:
CBF = 10-25 ml/100g jaringan otak/menit
(hilangnya autoregulasi dan responsivitas CO2)

A
Pusat Iskemik:
B CBF = < 10 ml/100g jaringan
otak/menit (infark jaringan otak)

Otak Sehat:
CBF = ≥ 50 ml/100g jaringan otak/menit
(Autoregulasi dan responsivitas CO2 utuh)

Gambar 2.1 Skematik perbandingan area infark, penumbra, dan sehat (Price, 2006)

2. Secara cepat di dalam pusat infark, dan setelah beberapa saat di daerah penumbra
iskemik, cedera dan kematian sel otak berkembang sebagai berikut:

- Tanpa pasokan darah yang memadai, sel-sel otak kehilangan kemampuan


untuk menghasilkan energi—terutama adenosine trifosfat (ATP)

- Apabila kekurangan energi ini, pompa natrium-kalium sel berhenti berfungsi


sehingga neuron neuron membengkak.

- Salah satu cara sel otak berespons terhadap kekurangan energi ini adalah
dengan meningkatkan konsentrasi kalsium intrasel. Yang memperparah
masalah, dan mendorong konsentrasi ke tingkat yang membahayakan adalah
proses eksitotoksisitas, yaitu sel-sel otak melepaskan neurotransmitter
eksitatorik glutamate dalam jumlah berlebihan. Glutamat yang dibebaskan ini
merangsang aktivitas kimiawi dan listrik di sel otak lain dengan melekat ke
suatu molekukl di neuron lain, Resptor N-metil-D-aspartat (NMDA).
Pengikatan reseptor ini memicu pengaktivan enzim nitrat oksida sintase
(NOS), yang menyebabkan terbentuknya molekul gas, nitrat oksida (NO).
Pembentukan NO dapat terjadi secara cepat dalam jumlah besar sehingga
terjadi penguraian dan kerusakan struktur-struktur sel yang vital. Proses ini
terjadi melalui perlemahan asam deoksiribonukleat (DNA) neuron, yang pada
giliranya, mengaktifkan enzim, poli (adenosin difosfat—[ADP] ribose)
polymerase (PARP). PARP adalah suatu enzim nukleus yang mengenali
kerusakan pada untai DNA dan sangat penting dalam perbaikan DNA
(Mandir.et.al 2001). Namun, PARP diperkirakan menyebabkan dan
mempercepat eksitokisistas setelah iskemia serebrum, sehingga terjadi deplesi
energi sel yang hebat dan kematian sel (apoptosis).

- NO terdapat secara alami di tubuh dan meningkatkan banyak fungsi


fisiologik yang bergantung pada vasodilatasi, zat ini juga merupakan bahan
aktif dalam obat vasodilator kuat seperti natrium nitroprusid (Nipride).
Namun, dalam jumlah berlebihan, NO dapat menyebabkan kerusakan dan
kematian neuron. Obat yang dapat menghambat NOS dan produksi NO atau
menghambat kerja enzim PARP mungkin akan bermanfaat untuk mengurangi
kerusakan otak akibat stroke.

- Sel-sel otak akhirnya mati akibat kerja berbagai protease (enzim yang
mencerna protein sel) yang diaktifkan oleh kalsium, lipase (enzim yang
mencerna membrane sel), dan radikal bebas yang terbentuk akibat jenjang
iskemik.

- Akhirnya, jaringan otak yang mengalami infark membengkak dan dapat


menimbulkan tekanan dan distorsi serta merusak batang otak.

Setelah episode iskemik permulaan, faktor mekanis dan kimiawi


menyebabkan kerusakan sekunder. Faktor yang paling banyak menimbulkan cedera
adalah (1) rusaknya sawar darah-otak dan sawar darah-CSS akibat terpajan zat-zat
toksik, (2) edema interstisium otak akibat meningkatnya permeabilitas vascular di
arteri yang terkena, (3) zona hiperperfusi yang mengelilingi jaringan iskemik yang
dapat mengalihkan aliran darah dari dan mempercepat infark neuron-neuron yang
sudah mengalami iskemia. Dan (4) hilangnya autoregulasi otak sehingga CBF
menjadi tidak responsive terhadap perbedaan tekanan dan kebutuhan metabolik.

Hilangnya autoregulasi adalah penyulit stroke yang sangat berbahaya dan


dapat memicu lingkaran setan berupa meningkatnya edema otak, meningkatnya TIK,
dan semakin luasnya keruaskan neuron. Dengan hilangnya autoregulasi, arteriol-
arteriol tidak lagi mampu mengendalikan CBF sesuai kebutuhan metabolik. Arteriol-
arteriol tersebut juga tidak dapat melindungi kapiler otak dari peningaktan atau
penurunan mendadak tekanan darah. Aliran darah otak sekarang dikendalikan semata-
mata oleh tekanan arteri sistemik rata-rata (MAP). Pada hipotensi berat, tekanan
perfusi serebrum menurun sehingga terjadi iskemia. Akhirnya, karena iskemia
menimbulkan perubahan kimiawi di dalam sel, akan terjadi kerusakan akibat
meningkatnya edema serebrum, yang semakin menurunkan aliran darah ke otak dalam
suatu sistem beraliran lambat. Sayangnya, dengan menghilangnya autoregulasi,
hipertensi arteri sistemik yang tidak terkendali dapat menimbulkan akibat yang sama.
Serupa dengan keadaan tekanan darah yang sangat rendah, pada keadaan tekanan
tinggi CBF mengikuti MAP sitemik. Dengan demikian CBF meningkat, TIK
meningkat, sehingga kapiler-kapiler otak mengalami distenis dan menjadi permeable.
Proses ini, tentu saja menimbulkan lingkaran setan jenis lain, berupa hilangnya
tekanan onkotik di kapiler serebrum dan terjadinya edema di jaringan interstisum
otak.
iskemia

Glutamat release

Reseptor NMDA Reseptor AMPA Reseptor


Metabotropic

++ Depolarisasi Gen Pemrogram


Peningkatan Ca
Intraseluler kematikan
sel/survival

+
Peningkatan Peningkatan Na Sel Membengkak
nNOS intraseluler

Radikal Bebas Protein Apoptosis


Endonuclease

Injuri Eksitoksisiti Infark Otak


Mitokondria

Bagan Alur Neurodegeneratif. Sumber: Patricia Ann Blissit (2013)


2.6.3 Stroke Hemoragik
Stroke hemoragik, yang merupakan sekitar 15—20% dari semua stroke, dapat
terjadi apabila lesi vaskuler intraserebrum mengalami rupture sehingga terjadi
perdarahan ke dalam ruang subaraknoid atau langsung ke dalam jaringan otak.
Sebagian dari lesi vaskuler yang dapat menyebabkan perdarahan subaraknoid (PSA)
adalah aneurisma sakular (Berry) dan malformasi arteriovena (MAV). Mekanisme
lain pada stroke hemoragik adalah pemakaian kokain atau amfetamin, karena zat-zat
ini dapat menyebabkan hipertensi berat dan perdarahan intraserebrum atau
subaraknoid.
Perdarahan dapat dengan cepat menimbulkan gejala neurologic karena tekanan
pada struktur-sturktur saraf di dalam tengkorak. Iskemia adalah konsekuensi sekunder
dari perdarahan baik yang spontan maupun traumatik. Mekanisme terjadinya iskemia
tersebut ada dua: (1) tekanan pada pembuluh darah akibat ekstravasasi darah ke dalam
tengkorak yang volumenya tetap, (2) vasospasme reaktif pembuluh-pembuluh darah
yang terpajan ke darah bebas di dalam ruang antara lapisan araknoid dan piaatter
meningen. Biasanya stroke hemoragik secara cepat menyebabkan kerusakan fungsi
otak dan kehilangan kesadaran. Namun, apabila perdarahan berlangsung lambat,
pasien kemungkinan besar mengalami nyeri kepala hebat, yang merupakan skenario
khas perdarahan subaraknoid (PSA). Tindakan pencegahan utama untuk perdarahan
otak adalah mencegah cedera kepala dan mengendalikan tekanan darah.

2.7 Manifestasi Klinis

Anatomi dan Korelasi Klinis: Circle of Willis ; Sumber Patricia Ann Blissitt dalam AACN (2013)
Area Presentasi Klinis
1. Sirkulasi Anterior (Lobus frontal, lobus
temporal, lobus parietal, lobus oksipital)
Arteri karotis internal (ICA) Kelemahan/paralisis dan kehilangan
sensori dari Lengan dan kaki kontralateral;
homonim hemianopsia kontalateral;
ekspresif dan reseptif aphasia/diphasia
Arteri Serebral Anterior (ACA) Kelemahan/paralisis kaki kontralateral dan
kehilangan sensori (kaki lebih buruk
daripada lengan); abnormalitas pada lobus
frontal pengatur perilaku; homonim
hemianopsia kontalateral; hemineglect
kontralateral jika lesi pada sisi tidak
dominan
Arteri serebral tengah (MCA) Kelemahan/paralisis lengan kontralateral
dan kehilangan sensori (lengan lebih buruk
dibanding kaki); abnormalitas lobus frontal
pengatur perilaku; homonim hemianopsia
kontalateral; Kehilangan sensori dan
motorik wajah bagian bawah kontralateral;
Dispasia ekspresif/reseptif pada bagian
dominan
2. Sirkulasi Posterior (Lobus oksipital,
Serebellum, dan batang otak)
Arteri serebral posterior (PCA) Hemiplegi kontralateral dan kehilangan
senosri; hemianopsia homonim
Arteri Basiler Vertebral (VB) Hemiplegia, kelemahan/mati rasa pada
ipsilateral wajah; dysarthria, dysphagia,
vertigo, mual, muntah, pusing, gaya
berjalan ataksia, syndrome locked-in
Arteri Serebral Posterior inferior (PICA) Sindrom Wallenberg: ataksia, vertigo,
mual dan muntah; nyeri badan
kontralateral dan penurunan suhu; nyeri
wajah ipsilateral dan penurunan suhu;
nistagmus, dysarthria, dysphagia,
dysphonia, sindrom horner
Cerebellum Ataksia, dysarthria, tatapan kosong
(diconjugate gaze), nistagmus
Batang otak Kuadriplegia dan Kehilangan sensori;
Ataksia, dysarthria, tatapan kosong
(diconjugate gaze), nistagmus
3. Sindrom Lacunar Penurunan motorik saja atau sensori saja
yang terbatas hanya pada satu sisi tubuh

Gambar 1.2. Arteri ekstrakranium dan


intrakranium darah ke otak. Sirkulasi
Willisi dan cabang-cabang utamanya
juga diperlihatkan. Tempat-tempat
aterosklerosis di pembuluh darah otak
diberi tanda (bagian yang gelap),
dengan lokasi utama adalah bifurkasio
karotis dan pangkal dari cabang-cabang
aorta, arteria inominata, dan arteri
subklavia. Ini adalah temapt temapat
yang dapat menjalani pembedahan
(Price, 2006)
Gejala klinis yang timbul juga tergantung dari jenis stroke.
1) Gejala klinis pada stoke hemoragik berupa :
a) defisit neurologis mendadak, didahului gejala prodromal yang terjadi pada saat
istirahat atau bangun pagi,
b) kadang tidak terjadi penurunan kesadaran,
c) terjadi terutama pada usia >50 tahun,
d) gejala neurologis yang timbul bergantung pada berat ringannya gangguan pembuluh
darah dan lokasinya.
2) Gejala klinis pada stroke akut berupa :
a) Kelumpuhan wajah atau anggota badan (biasanya hemiparesis) yang timbul
mendadak,
b) gangguan sensibilitas pada salah satu anggota badan (gangguan hemisensorik),
c) perubahan mendadak pada status mental (konfusi, delirium, letargi, stupor atau
koma),
d) afasia (tidak lancar atau tidak dapat bicara),
e. disartria (tidak lancar atau tidak dapat bicara),
f) ataksia (tungkai atau anggota badan tidak tepat pada sasaran),
g) vertigo (mual dan muntah atau nyeri kepala).

2.7 Diagnosis Banding dan Perbandingan Manifestasi Klinis Stroke

Kriteria Stroke Hemoragik Stroke Iskemik


Perbedaan
Parenchymatous Subarachnoid Thrombosis of Embolism of
Haemorrhage Haemorrhage cerebral vessels cerebral vessels
Usia 45-60 th 20-40 th 50 th Tidak
berpengaruh
Tanda awal Sakit kepala Sakit kepala Serangan TIA Tidak sakit
menetap sementara (iskemik kepala
sementara)
Wajah Hiperemi pada Hiperemi pada Pucat Pucat
wajah & wajah, tampak
konjungtiva blefarospasme
Saat timbulnya Mendadak, kadang Mendadak, Secara perlahan, Mendadak
penyakit pada saat merasa ada sering pada
melakukanaktifitas tiupan di kepala malam hari atau
& adanya tekanan menjelang pagi
mental
Gangguan Penurunan Gangguan Kecepatan Sering pada awal
kesadaran kesadaran kesadaran yang menurunnya kejadian atau
mendadak reversible sesuai dengan perubahan yang
memberatnya terjadi sesuai
defisit neurologis dengan beratnya
defisit neurologis
Sakit kepala Kadang-kadang Kadang-kadang Jarang Jarang
Motor exitation Kadang-kadang Kadang-kadang Jarang Jarang
Muntah 70-80% >50% Jarang 2-5% Kadang-kadang
(25-30%)
Pernafasan Ireguler, snooring Kadang Cheyne- Jarang terjadi Jarang terjadi
Stokes, gangguan pada gangguan pada
kemungkinan kasus proses kasus proses
bronchorrea hemisfer hemisfer
Nadi (pulse) Tegang, bradikardi Kecepatan nadi Mungkin cepat Bergantung pada
lebih sering 80-100x/mnt dan halus etiologi penyakit
daripada jantung
takikardia
Jantung (heart) Batas jantung Patologi jantung Lebih sering Alat jantung,
mengalami jarang kardiosklerosis, endokarditis,
dilatasi, tekanan tanda hipertonik aritmia kardiak
aorta terdengar jantung
pada bunyi
jantung II
Tekanan darah Hipertensi arteri Jarang Bervariasi Bervariasi
meningkat
(mungkin
menetap tak
berubah)
Paresis atau Hemiplegia Bisa tidak ada. Hemiparesis Hemiparesis,
plegia dengan aktifitas lebih prominen kelemahan di
ekstremitas berlebih, ekstensi pada salah satu salah satu
abnormal ekstremitas bisa ekstremitas lebih
mengarah ke tampak daripada
hemiplegia yang lainnya.
Kadang-kadang
mengarah ke
hemiplegia
Tanda patologi Kadang-kadang Kadang-kadang Unilateral Unilateral
bilateral, tampak mengarah ke
lesi pada salah bilateral
satu sisi cerebral
Rata-rata Cepat Cepat Secara perlahan Cepat
perkembangan
penyakit
Serangan Jarang 30% Jarang Jarang
Tanda awal Kadang-kadang Hampir selalu Jarang Jarang pada
iritasi meningeal gejala awal
penyakit
Pergerakan mata Kadang-kadang Kadang-kadang Kadang-kadang Jarang
Cairan Berdarah atau Kadang-kadang Tidak berwarna Tidak berwarna
Serebrospinal xanthocromic perdarahan dan jernih dan jernih
dengan
peningkatan
tekanan
Fundus mata Kadang-kadang Jarang Perubahan Perbedaan
perdarahan dan perdarahan sklerotik perubahan
perubahan pembuluh darah pembuluh darah
pembuluh darah (atherosklerosis
dan vaskulitis)
Echo-EG Terdapat tanda Tidak terdapat Tidak terdapat Tidak terdapat
pergantian M-echo tanda pergantian tanda pergantian tanda pergantian
dan hematoma M-echo di edema M-echo atau M-echo atau
otak dan kemungkinan kemungkinan
hipertensi pergantian hingga pergantian hingga
intrakranial 2 mm keutuhan 2 mm keutuhan
hemisfer pada hemisfer pada
hari pertama hari pertama
serangan stroke serangan stroke

2.8 Pemeriksaan Diagnostik


Menurut Wiwit, 2010 bukanlah hal yang mudah menentukan seseorang terkena
stroke atau tidak. Dalam hal ini harus melewati berbegai prosedur sebelum menyatakan
seseorang terkena stroke. Langkah-langkah yang ditempuh antara lain pemeriksaan darah,
pemeriksaaan dengan alat pemindai, seperti MRI (magnetik resonance imaging) atau CT
Scan (computerized tomography scanning). Selain itu, dibutuhan juga wawancara
(anamnesa) dan pemeriksaan fisik dengan seseorang yang diduga menderita stroke.

2.8.1 Anamnesa dan Pemeriksaan Fisik Neurologis


Wawancara dilakukan untuk mendapatkan gambaran klinis seseorang. Dengan
berbicara langsung dengan pasien, akan dapat memperkirakan tingat keparahan
penyakit yang diderita pasien. Dalam wawancara ini, ada beberapa hal yang perlu
ditanyakan kepada penderita stroke antara lain : gejala apa yang dialami dan berapa
lama serangan telah terjadi, pernahkah penderita mengalami gejala yang sama
sebelumnya, adakah keluhan menderita penyakit lain, dan obat apa yang sedang
diminum dan sebagainya. Selain hal itu minta klien menggerakkan beberapa organ
tubuhnya, memukul lutut untuk mengecek gerak refleks, dan sebagainya.
Pemeriksaan neurologi terdiri atas :
1) Tingkat kesadaran, dibagi menjadi 2 yaitu kualitatif dan kuantitatif
a) Kualitatif
 Komposmentis (kesadaran yang normal)
 Somnolen, adalah keadaan mengantuk. Kesadaran dapat oulih penuh bila
dirangsang. Biasa disebut juga letargi. Penderita mudah dibangunkan, mampu
memberi jawaban verbal dan menangkis rangsang nyeri.
 Sopor (stupor), adalah kantuk yang mendalam. Masih dapat dibangunkan
dengan rangsang yang kuat, namun kesadarannya segera menurun kembali.
Masih mengikuti suruhan singkat, terlihat gerakan spontan. Dengan rangsang
nyeri penderita tidak dapat dibangunkan sempurna. Tidak diperoleh jawaban
verbal dari penderita tetapi gerak motorik untuk menangkis rangsang nyeri
masih baik.
 Koma ringan adalah tidak ada respon terhadap rangsang verbal. Reflek kornea,
pupil masih baik. Gerakan timbul sebagai respon dari rangsang nyeri tetapi
tidak terorganisasi. Penderita sama sekali tidak dapat dibangunkan.
 Koma dalam atau komplit. Tidak ada jawaban sama sekali terhadap rangsang
nyeri yang bagaimanapun kuatnya.
b) Kuantitatif (glasgow coma scale)
 Membuka Mata
Spontan 4
Terhadap bicara 3
Dengan rangsang 2
Tidak ada reaksi 1
 Respon Verbal

Baik, tidak ada disorientasi 5


Kacau (confused- dapat bicara 4
dalam kalimat, namun ada
disorientasi waktu dan tempat)
Tidak tepat (dapat mengucapkan 3
kata-kata namun tidak berupa
kalimat)
Mengerang 2
Tidak ada jawaban 1
 Respon Motorik
Menurut perintah 6
Mengetahui lokasi nyeri 5
Reaksi menghindar 4
Reaksi fleksi (dekortikasi) 3
Reaksi ekstensi (deserebrasi) 2
Tidak ada reaksi 1

2) Rangsang Selaput Otak


Rangsang selaput otak dapat memberikan beberapa gejala, diantaranya:
a) Kaku kuduk
Merupakan gejala yang sering dijumpai pada kelainan rangsang selaput otak. Cara
pemeriksaan:
 Tempatkan tangan pemeriksa dibawah kepala pasien yang sedang berbaring
 Kepala ditekukan (fleksi), usahakan dagu mencapai dada
 Untuk mengurangi salah tafsir, penekukan kepala dilakukan saat klien ekspirasi
 Kaku kuduk(+), jika kita dapatkan tahanan dan dagu tidak dapat mencapai dada
b) Tanda Lasegue, cara pemeriksaan:
 Luruskan kedua tungkai pada pasien yang sedang berbaring
 Satu tungkai diangkat lurus, dibengkokan (fleksi) pada persendian panggul
 Tungkai yang lain harus selalu berada dalam keadaan ekstensi (lurus)
 Tanda lasegue (+), jika timbul rasa sakit dan tahanan sebelum kita
menacapai sudut 70 derajat, normalnya kita dapat mencapai sudur 70
derajat tanpa rasa sakit dan tahahan, kecuali pada usila diambil patokan 60
derajat.
c) Tanda kernig, cara pemeriksaan:
 Fleksikan paha pada persendian panggul sampai sudut 90 derajat, dengan posisi
berbaring
 Tungkai bawah diekstensikan pada persendian lutut
 Biasanya kita dapat melakukan ekstensi ini sampai sudut 135 derjat antara tungkai
bawah dan tungkai atas
 Tanda kernig (+), jika terdapat tahanan dan rasa nyeri sebelum mencapai sudut ini
d) Tanda Brudzinski I, cara pemeriksaan:
 Tempatkan tangan dibawah kepala pasien yang sedang berbaring
 Tangan yang lain sebaiknya ditempatkan didada pasien untuk mencegah
diangkatnya badan
 Tekukan kepala sejauh mungkin sampai dagu mencapai dada
 Brudzinski I (+), jika mengakibatkan fleksi kedua tungkai. Sebelumnya
kaji dulu apakah ada kelumpuhan pada tungkai.
e) Tanda Brudzinski II, cara pemeriksaan:
 Pada posisi berbaring, fleksikan satu tungkai pada persendian
panggul
 Tungkai yang lain berada dalam keadaan lurus (ekstensi)
 Brudzinski II (+), jika tungkai yang satu ini ikut pula terfleksi.
Sebelumnya kaji dulu apakah ada kelumpuhan pada tungkai
3) Saraf otak
a) Saraf otak 1 (Nervus Olfaktorius)
Merupakan saraf sensorik yang fungsinya untuk mencium bau, menghidu. Cara
pemeriksaan:
 Pemeriksaan lubang hidung, apakah ada sumbatan atau kelainan setempat, contoh:
ingusan, polip
 Dengan satu lubang hidung pasien disuruh untuk menghidu zat yang tidak
merangsang, seperti: teh, kopi, tembakau
 Periksa masing-masing hidung secara bergantian dengan menutup lubang hidung
yang lainnya.

b) Saraf otak II (Nervus optikus)


Jika pasien tidak mempunyai keluhan yang berhubungan dengan nervus II dan
pemeriksa juga tidak mencurigai adanya gangguan maka biasanya dilakukan
pemeriksaan nervus II (ketajaman penglihatan dan lapang pandang) secara kasar.
Jika ditemukan kelainan harus dilakukan pemeriksaan yang lebih teliti. Selain itu
dilakukan pemeriksaan oftalmoskopik sebagai pemeriksaan rutin neurologi. Cara
pemeriksaan:
- Ketajaman penglihatan

Pasien disuruh mengenali benda yang letaknya jauh (misalnya jam dinnding dan
diminta menyatakan jam berapa) dan membaca huruf yang ada dibuku atau koran.
Bila ketajaman mata pasien sama dengan pemeriksa, maka hal ini dianggap
normal.
- Lapangan pandang

Klien disuruh duduk atau berdiri berhadapan dengan pemeriksa dengan jarak kira-
kira 1 meter. Jika kita hendak memeriksa mata kanan, maka mata kiri penderita
harus ditutup sedangkan pemeriksa harus menutup mata kananya. Pasien tetap
melihat kemata kiri pemeriksa begitupun pemeriksa harus tetap melihat mata
kanan penderita. Gerakan tangan dari satu sisi, jika pasien sudah melihat gerakan
tangan pasien hendaknya memberi tanda. Hal ini dibandingkan dengan pemeriksa
apakah iapun telah melihatnya.

c) Saraf III, IV, VI (Nervus okulomotorus, troklearis, dan abdusen)


Ketiga saraf otak ini diperiksa bersama-sama, karena kesatuan fungsinya, yaitu
mengurus otot-otot ekstrinsik dan instrinsik bola mata
 Saraf III : Mengatur kontraksi pupil dan mengatur lensa mata
 Saraf IV : Kerjanya menyebabkan mata dapat melirik kearah bawah dan nasal
 Saraf VI : Kerjanya menyebabkan lirik mata kearah temporal
Cara pemeriksaan dengan menggunakan senter, periksa pupil apakah miosis atau
midriasis lalu suruh pasien mengikuti gerakan cahaya yang digerakan pemeriksa
sesuai dengan arah fungsi masing-masing saraf.

d) Saraf V (Nervus Trigeminus)


Nervus Trigeminus terdiri dari 2 bagian yaitu: bagian motorik dan
sensorik Motorik (mengurus otot-otot mengunyah). Cara pemeriksaan:
 Pasien disuruh merapatkan giginya sekuat mungkin dan kemudian kita raba M.
masseter dan M.temporalis
 Pasien disuruh membuka mulut dan perhatikan apakah ada deviasi rahang bawah,
bila ada parease, maka rahang bawah akan berdeviasi kearah yang lumpuh
 Nilai kekuatan otot saat menutup mulut dengan cara menyuruh pasien
mengginggit suatu benda, misal: tong spatel.
Sensorik (mengurus sensibilitas dari muka). Diperiksa denganmenyelidiki rasa
raba, rasa nyeri dan suhu daerah-daerah yang dipersarafinya (wajah). Cara
pemeriksaan :
 Rasa raba
Sebagai perangsang dapat digunakan sepotong kapas, kertas atau kain dan
ujungnya diusahakan sekecil mungkin. Sentuhkan ke area wajah klien.
Bandingkan antara wajah kiri dan kanan.
 Rasa nyeri
Dilakukan dengan menggunakan jarum atau peniti. Tusukan hendaknya cukup
keras sehingga betul-betul dirasakan rasa nyeri bukan rasa raba atau sentuh.
Tusukkan ke area wajah lalu tanyakan apakah klien merasakannya.
 Rasa suhu
Ada 2 macam rasa suhu yaitu panas dan dingin. Dengan menggunakanbotol
yang berisi air dingin/es atau air panas. Dengan cara yang sama suruh pasien
menyebutkan apakah panas atau dingin.
e) Saraf VII (Nervus Fasialis)
Terutama merupakan saraf motorik, yang menginervasi otot-otot ekspresi wajah.
Cara pemeriksaan :

 Suruh penderita mengangkat alis dan mengerutkan dahi, apakah hal ini
dapat dilakukan dan apakah asimetris/simetris.
 Suruh penderita memejamkan mata. Dinilai dengan jalan mengangkat
kelopak mata dengan tangan pemeriksa sedangkan pasien disuruh tetap
memejamkan mata.Suruh pula pasien memejamkan mata satu persatu. Jika
lumpuh berat, penderita tidak mampi memejamkan mata.
 Suruh penderita menyeringai, mengembungkan pipi.
Fungsi Pengecapan
 Sebelumnya pasien disuruh untuk menutup kedua matanya
 Suruh pasien untuk menjulurkan lidahnya
 Letakkan zat seperti gula, garam dan kina di bagian 2/3 lidah bagian
depan.
 Suruhpenderita menyebutkan rasa yang dirasakannya dengan isyarat,
misalnya 1 untuk rasa manis, 2 untuk rasa pahit, 3 untuk rasa asin.
f) Nervus VIII (Nervus Akustikus)
Saraf ini terdiri atas 2 bagian, yaitu saraf koklearis mengurus pendengaran dan
saraf vestibularis mengurus keseimbangan.
- Ketajaman Pendengaran
 Suruh penderita mendengarkan suara bisikan pada jarak tertentu dan
membandingkannya dengan orang tuanya.
 Perhatikan adanya perbedaan pendengaran antara telinga kiri dan kanan.
 Jika ketajaman pendengaran kurang atau ada perbedaan antara kiri dan
kanan maka lakukan pemeriksaan Swabach, Rinne dan Weber.
- Keseimbangan
 Tes Romberg yang dipertajam.
Penderita berdiri dengan kaki kaki yang satu di depan yang lainnya.Tumit
kaki yang satu berada di depan jari kaki yang lainnya.
 Tes melangkah ditempat
Penderita disuruh berjalan di tempat dengan mata tertutup, sebanyak 50
langkah dengan kecepatan seperti berjalan biasa.Sebelumnya pasien
diberitahu bahwa dia harus berusahaagar tetap agar tetap ditempat selama tes
ini. Tes ini dianggap abnormal jika kedudukan akhir penderita beranjak lebih
dari 1 meterdari tempat semula atau badan berputar lebih dari derajat.
g) Saraf IX dan X (Nervus Glosofaringeus dan Vagus)
Kedua nervus ini diperiksa berbarengan karena berhubungan erat satu sama lain.
Cara pemeriksaan :
 Penderita disuruh membuka mulut, suruh penderita menyebut “aaaa”
perhatikan palatum mole dan faring serata apakah uvula ada di tengah atau
miring.
 Waktu penderita membuka mulut kita rangsang (tekan) dinding faring atau
pangkal lidah dengan tong spatel. Rangsangan tersebut akan
membangkitkan reflek muntah.
h) Saraf XI (Nervus Aksesorius)
Cara pemeriksaan :
 Tempetkan tangan kita diatas bahu penderita.
 Kemudian penderita disuruh mengangkat bahunya dan kita tahan maka
dapat kita nilai kekuatan ototnya.
 Bandingkan otot yang kanan dan kiri.
i) Saraf XII (Nervus Hipoglosus).
Cara pemeriksaan :
 Suruh pasien membuka mulut dan menjulurkan lidahnya.
 Penderita disuruh menekankan lidahnya pada pipinya. Kita nilai daya
tekannya ini dengan jalan menetapkan jari kita tapi pada pipi sebelah luar.
Jika terjadi parese lidah bagian kiri, lidah tidak dapat ditekankan ke pipi
sebelah kanan tetapi ke sebelah kiri dapat melakukannya.

4) Kekuatan otot
Tenaga otot dinyatakan dengan menggunakan angka 0-5 (0 berarti lumpuh sama
sekali dan 5 normal).
0 : Tidak didapatkan sedikitpun kontraksi otot, lumpuh total.
1 : Terdapat sedikit kontraksi otot, namun tidak didapatkan gerakan pada persendian
yang harus digerakkan oleh otot tersebut.
2 : Didapatkan gerakan, tetapi gerakan ini tidak mampu melawan gaya gravitasi.
3 : Dapat mengadakan gerakan melawan gaya berat.
4 : Disampin dapat melawan gaya berat ia dapat pula mengatasi sedikit tahanan yang
diberikan.
5 : Tidak ada kelumpuhan (normal).

2.8.2 Pemeriksaan Laboratorium


Pemeriksaan ini dilakukan untuk mendapatkan informasi faktor-faktor risiko tersebut.
Pemeriksaan laboratorium meliputi :
a) Pemeriksaan darah lengkap berupa jumlah sel darah merah dan putih, trombosit, dam
lain-lain. Hasil pemeriksaan ini akan memberikan informasi kesehatan pasien,
misalnya jika jumlah sel darah putih diatas normal, hal itu mengindikasikan
terjadinya penyalit atau infeksi yang sedang menyerang pasien.
b) Tes darah koagulasi, yang terdiri atas 4 tes, yaitu :
 Prothrombin time
 Partial thromboplastin time (PTT)
 International normalized ratio (INR); dan
 Agregasi trombosit
Tes ini digunakan untuk mengetahui seberapa cepat darah menggumpal dan
menyebabkan perdarahan atau pembekuan darah.
c) Tes kimia darah
Tes ini digunakan untuk melihat kadar gula darah, kolesterol, asam urat, dan lain-lain
yang merupakan pencetus stroke.
d) Tes lipid darah
Tes ini digunakan untuk mengetahui kadar kolesterol baik (HDL) dan kadar
kolesterol jahat (LDL), trigliserida, dan total kolesterol. Faktor kolesterol ini
dianggap sebagai faktor yang berperan penting dalam kasus stroke dan penyakit
jantung.
e) Tes darah dalam situasi tertentu.
Kasus stroke yang tidak diketahui penyebabkan memerlukan tes ini. Tes ini terutama
diperlukan pada penderita yang berusia muda atau anak-anak. Tes ini meliputi
homosistein darah, enzim kardiak, dan lopus koagulasi.

2.8.3 Pemeriksaan dengan Pemandaian


Pemeriksaan ini dilakukan pada otak dan kepala, biasanya menggunakan CT-
scan dan MRI atau alat pemindai lain, seperti SPECT ( single photon emission),
cerebral angioplasty, USG (carotid ultrasound), echocardiogram, dan EKG. a) CT-Scan
(Computer Tomography-Scan)
Pemeriksaan ini dilakukan oleh oleh dokter ahli radiologi. Biasanya
pemriksaan ini dilakukan atas perintah dokter saraf atau bedah saraf. Pada dasarnya,
CT scan menggunakan sinar X untuk mengambil gambar otak dan kepala. Karena
tulang lebih banyak menyerap sinar X, saat pemindaian biasanya menggunakan
warna putih. Sedangkan cairan otak menghasilkan warna hitam. Pada kasus stroke
iskemik, warna otak akan lebih banyak hitam, sedangkan pada stroke hemoragik
akan lebih banyak menghasilkan warna putih. Selain itu, untuk mengetahui adanya
trombosis, emboli serebral maupun adanya peningkatan tekanan intrakranial.
Peningkatan TIK dan cairan yang mengandung darah menunjukkan adanya
perdarahan subarakhnoid ataupun intrakranial. Pada beberapa kasus trombosis
disertai proses inflamasi.
b) MRI (Magnetic Resonance Imaging)
Alat ini memberikan hasil lebih akurat dari pada CT-Scan karena mampu
mendeteksi berbagai berbagai kelainan otak dan pembuluh darah otak yang sangat
kecil dan tidak mungkin di jangkau oleh CT-Scan, seperti daerah spesifik yang
mengalami infark, perdarahan maupun Malformasi Arteriovena.
c) SPECT
Alat ini menggunakan isotop dengan sinar gamma, dari jenis sel radio isotop
xenon 133. Alat ini digunakan untuk mendeteksi wilayah otak yang tidak terganggu
dan dapat mendeteksi serangan (dalam waktu empat jam setelah serangan).
d) PET-Scan
Alat ini digunakan untuk memantau gangguan fisiologi, seperti metabolisme
gula dalam otak. Alat yang satu ini tidak begitu popular karena selain harganya yang
cukup tinggi, alat ini membutuhkan waktu yang lama sehingga membuat pasien
mengeluh.
e) Cerebral Angiography
Alat yang biasanya digunakan sesudah pemeriksaan menggunakan CT-Scan
ini digunakan untuk mendeteksi abnormalitas di dalam pembuluh darah otak
(menyempit atau tersumbat, adanya aneurisma maupun AVM dan mengetahui
tingkat penyempitan dan penyumbatan).
f) Ultrasonografi
Carotid USG digunakan untuk meneliti penyumbatan pembuluh darah di leher
pasien yang sudah terkena serangan stroke ketika dilakukan pemindaian awal.
Penyempitan pembuluh darah akibat menumpuknya kolesterol, penggumpalan darah,
dan aliran darah bisa dideteksi dengan alat ini. USG Doppler digunakan untuk
mengidentifikasi masalah sistem arteri karotis (aliran darah atau timbulnya plak) dan
arteriosklerosis.
g) EKG (Electrocardiogram)
Alat ini digunakan untuk memantau denyut jantung. Alat ini juga bisa
memberikan gambaran irama denyut jantung yang bisa memicu serangan stroke, juga
bisa digunakan sebagai alat evaluasi stroke.
h) EEG (Electro Encephalogram)
Mengidentifikasi masalah pada gelombang otak dan memperlihatkan daerah
lesi yang spesifik.
i) Rontgen tengkorak/skull
Menggambarkan kalsifikasi karotis interna yang terdapat pada trombosis
serebral, kalifikasi parsial dinding aneurisma pada perdarahan subarakhnoid.

2.9 Komplikasi Stroke


Menurut Brunner&Suddarth (2002), komplikasi stroke meliputi:
1) Hipoksia Serebral
Hipoksia serebral diminimalkan dengan memberi oksigenasi darah adekuat ke
otak. Fungsi otak bergantung pada ketersediaan oksigen yang dikirimkan ke jaringan.
Pemberian oksigen suplemen dan mempertahankan hemoglobin serta hematokrit pada
tingkat dapat diterima akan membantu dalam mempertahankan oksigenasi jaringan.

2) Aliran darah serebral


Aliran darah serebral bergantung pada tekanan darah, curah jantung, dan
integritas pembuluh darah serebral. Hidrasi adekuat (cairan intravena) harus
menjamin penurunan viskositas darah dan memperbaiki aliran darah serebral.
Hipertensi atau hipotensi ekstrem perlu dihindari untuk mencegah perubahan pada
aliran darah serebral dan potensi meluasnya area cedera.
3) Embolisme Serebral
Embolisme serebral dapat terjadi setelah stroke infark miokard atau fibrilasi
atrium atau dapat berasal dari katup jantung prostetik. Embolisme akan menurunkan
aliran darah ke otak dan selanjutnya menurunkan aliran darah serebral. Disritmia
dapat mengakibatkan curah jantung tidak konsisten dan penghentikan trombus lokal.
Selain itu, disritmia dapat menyebabkan embolus serebral dan harus diperbaiki.

2.10 Penatalaksanaan Stroke


Berdasarkan Guideline Stroke AHA 2011, Perdossi membagi penatalaksanaan
stroke akut menjadi penanganan stroke prahospital, penanganan di ruang gawat darurat,
penatalaksanaan umum di ruang rawat stroke dan penatalaksanaan komplikasi medik
stroke akut.
Tujuan dari penatalaksanaan stroke secara umum adalah menurunkan
morbiditas danmenurunkan tingkat kematian serta menurunnya angka kecacatan.
Filosofi yang harus dipegang adalah time is brain dan the golden hour.
2.10.1 Penanganan Stroke Akut Prahospital
a) Deteksi
Pengenalan cepat dan reaksi terhadap tanda-tanda stroke dan TIA. Keluhan
pertamakebanyakan pasien (95%) mulai sejak di luar rumah sakit. Konsep Time is
brain berarti pengobatan stroke merupakan keadaan gawat darurat. Jadi,
keterlambatan pertolongan pada fase prahospital harus dihindari dengan
pengenalan keluhan dan gejala stroke bagi pasien dan orang terdekat. Beberapa
gejala atau tanda yang mengarah kepada diagnosis stroke antara lain hemiparesis,
gangguan sensorik satu sisi tubuh, hemianopia atau buta mendadak, diplopia,
vertigo, afasia, disfagia, disatria, ataksia, kejang atau penurunan kesadaran yang
kesemuanya terjadi secara rnendadak. Untuk memudahkan digunakan istilah FAST
(Facial movement, Arm movement Speech, Test all three).
FAST yang merupakan singkatan dari istilah Face, Arms, Speech, dan Time.
Melalui metode FAST, serangan stroke lebih cepat terdeteksi, sehingga
memungkinkan untuk dilakukan pertolongan segera, dan dibawa ke UGD rumah
sakit terdekat, untuk mendapatkan penanganan secara cepat dan tepat, terutama
yang memiliki pelayanan stroke terpadu.

Tiga jam pertama setelah seseorang mengalami serangan stroke merupakan


golden periode, dimana waktu ini merupakan saat yang paling tepat bagi pasien
untuk mendapatkan penanganan agar tidak terjadi kondisi yang lebih parah yang
akan menyebabkan cacat bagi pasien.
1) Face (wajah)
Gejala stroke dini dapat kita kenali dengan cara pertama, yaitu membaca
wajah. Jika terdapat keanehan pada wajah seperti kekakuan atau kelumpuhan,
dapat kita indikasikan sebagai gejala stroke mini. Fungsi metode ini adalah
untuk mengetahui apakah telah terjadi stroke terhadap seseorang melalui wajah.
Caranya mintalah kepada pasien yang dicurigai mengalami stroke untuk
tersenyum, jika wajahnya terlihat tidak simetris maka hal tersebut merupakan
indikasi bahwa yang bersangkutan telah mengalami stroke.
2) Arms (lengan)
Tes kedua dapat kita lakukan pada lengan dan tangan kita. Biasanya, tangan
atau lengan yang secara tiba-tiba tidak dapat digerakkan merupakan salah satu
gejala stroke ringan. Fungsi metode ini adalah untuk mengetahui terjadinya
stroke melalui tangan seseorang. Caranya: Mintalah seseorang yang diduga
mengalami stroke untuk mengangkat kedua lengannnya lurus ke depan secara
bersamaan selama beberapa detik, jika yang bersangkutan tidak dapat
mengangkat salah satu lengannya berarti dia bisa jadi terkena serangan stroke,
atau jika yang bersangkutan mampu mengangkat ke dua tangannya namun
beberapa saat kemudian tanpa kontrolnya lengan tiba-tiba turun, maka
sebetulnya itu salah satu indikasi terjadinya stroke pada diri seseorang.
3) Speech (bicara)
Gejala stroke ringan dapat dikenali dari gaya bicara kita. Karena, stroke
menyerang saraf alat bicara yang membuat kita berbicara gagap atau lidah kelu.
Metode ini berfungsi untuk mengetahui serangan stroke melalui kemampuan
seseorang untuk mengingat atau mengucapkan sebuah kalimat atau kata-kata.
Caranya: Mintalah orang yang diduga mengalami stroke untuk mengucapkan
beberapa kata dengan cara mengulangnya beberapa kali, apakah suaranya
terdengan cadel atau pelo. Gunakan kata-kata yang mengandung banyak
konsonan huruf R seperti "ular melingkar diatas pagar" dan lain sebagainya. Jika
suara yang bersangkutan terdengar cadel atau pelo maka hal tersebut adalah
indikasi terjadinya serangan stroke.
4) Time (waktu)
Jika setelah diperiksa beberapa tanda dan gejala di atas, terdapat satu atau
beberapa tanda pada diri seseorang, maka jangan ditunda lagi untuk segera
membawanya ke rumah sakit terdekat untuk mendapatkan penanganan lebih
lanjut agar tidak terjadi kondisi yang lebih parah.

b) Pengiriman pasien
Bila seseorang dicurigai terkena serangan stroke, maka segera panggil ambulans
gawat
darurat.

c) Tranportasi / ambulans

 Personil yang terlatih


 Mesin EKG
 Peralatan dan obat-obatan resusitasi dan gawat darurat
 Obat-obat neuroprotektan
 Telemedisin
 Ambulans yang dilengkapi dengan peralatan gawat darurat, antara lain,
pemeriksaan glukosa (glucometer), kadar saturasi 02 (pulse oximeter).
Personil pada ambulans gawat darurat yang terlatih mampu mengerjakan:
 Memeriksa dan menilai tanda-tanda vital
 Tindakan stabilisasi dan resusitasi (Airway Breathing Circulation/ABC).
Intubasi perlu
dipertimbangkan pada pasien dengan koma yang dalam, hipoventilasi, dan aspirasi.
 Bila kardiopulmuner stabil, pasien diposisikan setengah duduk
 Memeriksa dan menilai gejala dan tanda stroke
 Pemasangan kateter intravena, memantau tanda-tanda vital dan keadaan
jantung
 Berikan oksigen untuk menjamin saturasi > 95%
 Memeriksa kadar gula darah
 Menghubungi unit gawat darurat secepatnya (stroke is emergency)
 Transportasi secepatnya (time is brain)
Beberapa hal yang harus diperhatikan oleh petugas pelayanan ambulans:
 Jangan terlambat membawa ke rumah sakit yang tepat.
 Jangan memberikan cairan berlebihan kecuali pada pasien syok dan
hipotensi.
 Hindari pemberian cairan glukosa/dekstrose kecuali pada pasien
hipoglikemia.
 Jangan menurunkan tekanan darah, kecuali pada kondisi khusus (lihat Bab
V.A
 Penatalaksanaan Tekanan Darah pada Stroke Akut). Hindari hipotensi,
hipoventilasi, atau anoksia.
 Catat waktu onset serangan.
 Memanfaatkan jaringan pelayanan stroke komprehensif yaitu unit gawat
darurat, stroke unit atau ICU sebagai tempat tujuan penanganan definitif
pasien stroke.

2.10.2 Penatalaksanaan di Ruang Gawat


Darurat a) Evaluasi cepat dan diagnosis
Oleh karena jendela terapi dalam pengobatan stroke akut sangat pendek, maka
evaluasi dan diagnosis harus dilakukan dengan cepat, sistematik, dan cermat .
Evaluasi gejala dan klinik stroke akut meliputi:
 Anamnesis, terutama mengenai gejala awal, waktu awitan, aktivitas
penderita saat
serangan, gejala seperti nyeri kepala, mual, muntah, rasa berputar, kejang, cegukan,
gangguan visual, penurunan kesadaran, serta faktor risiko stroke (hipertensi, diabetes,
dan lain-lain).
 Pemeriksaan fisik, meliputi penilaian respirasi, sirkulasi, oksimetri, dan
suhu tubuh.
 Pemeriksaan kepala dan leher (misalnya cedera kepala akibat jatuh saat
kejang, bruit karotis, dan tanda-tanda distensi vena jugular pada gagal
jantung kongestif). Pemeriksaan torak (jantung dan paru), abdomen, kulit
dan ekstremitas.
 Pemeriksaan neurologis dan skala stroke. Pemeriksaan neurologis terutama
pemeriksaan saraf kranialis, rangsang selaput otak, sistem motorik, sikap
dan cara jalan refleks, koordinasi, sensorik dan fungsi kognitif. Skala stroke
yang dianjurkan saat ini adalah NIHSS (National Institutes of Health Stroke
Scale).
b) Terapi Umum
1) Stabilisasi Jalan Napas dan Pernapasan
Pemantauan secara terus menerus terhadap status neutologis, nadi, tekanan
darah, suhu tubuh, dan Saturasi oksigen dianjurkan dalam 72 jam, pada
pasien dengan defisit neurologis yang nyata.
 Pemberian oksigen dianjurkan pada keadaan dengan saturasi oksigen < 95%
Perbaiki jalan nafas termasuk pemasangan pipa orofaring pada pasien yang
tidak sadar.
 Berikan bantuan ventilasi pada pasien yang mengalami penurunan kesadaran
atau
disfungsi bulbar dengan gangguan jalan napas.
 Terapi oksigen diberikan pada pasien hipoksia.
Pasien stroke iskemik akut yang nonhipoksia tidak mernerlukan terapi
oksigen.
Intubasi ETT (Endo Tracheal Tube) atau LMA (Laryngeal Mask Airway)
diperlukan pada pasien dengan hipoksia (p02 <60 mmHg atau pCO2 >50
mmHg), atau syok, atau pada pasien yang berisiko untuk terjadi aspirasi.
Pipa endotrakeal diusahakan terpasang tidak lebih dari 2 minggu. Jika pipa
terpasang lebih dari 2 minggu, maka dianjurkan dilakukan trakeostomi.
2) Stabilisasi Hemodinamik
 Berikan cairan kristaloid atau koloid intravena (hindari pernberian cairan
hipotonik
seperti glukosa).
Dianjurkan pemasangan CVC (Central Venous Catheter), dengan tujuan
untuk memantau kecukupan cairan dan sebagai sarana untuk rnemasukkan
cairan dan nutrisi.
 Usahakan CVC 5 -12 mmHg.
 Optimalisasi tekanan darah
Bila tekanan darah sistolik <120 mmHg dan cairan sudah mencukupi, maka
obat-obat vasopressor dapat diberikan secara titrasi seperti dopamin dosis
sedang/ tinggi, norepinefrin atau epinefrin dengan target tekanan darah
sistolik berkisar 140 mmHg.
Pemantauan jantung (cardiac monitoring) harus dilakukan selama 24 jam
pertama setelah serangan stroke iskemik.
Bila terdapat adanya penyakit jantung kongestif, segera atasi (konsultasi
Kardiologi).
Hipotensi arterial harus dihindari dan dicari penyebabnya. Hipovolemia
harus dikoreksi dengan larutan satin normal dan aritmia jantung yang
mengakibatkan penurunan curah jantung sekuncup harus dikoreksi.
3) Pemeriksaan Awal Fisik Umum, meliputi pemeriksaan tekanan darah,
pemeriksaan jantung, pemeriksaan neurologi umum awal (derajat kesadaran,
pemeriksaan pupil dan okulomotor, keparahan hemiparesis).
4) Pengendalian Peningkatan Tekanan Intrakranial (TIK)
Pemantauan ketat terhadap penderita dengan risiko edema serebral harus
dilakukan dengan memperhatikan perburukan gejala dan tanda neurologis
pada hari-hari pertama setelah serangan stroke.
Monitor TIK harus dipasang pada pasien dengan GCS <9 dan penderita yang
mengalami penurunan kesadaran karena kenaikan TIK.
 Sasaran terapi adalah TIK kurang dari 20 mmHg dan CPP >70 mmHg.
Penatalaksanaan penderita dengan peningkatan tekanan intrakranial meliputi
:
i. Tinggikan posisi kepala 20º-30º,
ii. Posisi pasien hendaklah menghindari tekanan vena jugular,
iii. Hindari pemberian cairan glukosa atau cairan hipotonik,
iv. Hindari hipertermia,
v. Jaga normovolernia,
vi. Osmoterapi atas indikasi:
 Manitol 0.25 - 0.50 gr/kgBB, selama >20 menit, diulangi setiap 4 - 6 jam
dengan target ≤ 310 mOsrn/L. Osmolalitas sebaiknya diperiksa 2 kali dalam
sehari selama pemberian osmoterapi.
 Kalau perlu, berikan furosemide dengan dosis inisial 1 mg/kgBB i.v.
vii. Intubasi untuk menjaga normoventilasi (pCO2 35 - 40 mmHg).
Hiperventilasi mungkin diperlukan bila akan dilakukan tindakan operatif.
viii. Paralisis neuromuskular yang dikombinasi dengan sedasi yang adekuat
dapat mengurangi naiknya TIK dengan cara mengurangi naiknya tekanan
intratorakal dan tekanan vena akibat batuk, suction, bucking ventilator. Agen
nondepolarized seperti vencuronium atau pancuronium yang sedikit berefek
pada histamine dan blok pada ganglion lebih baik digunakan. Pasien dengan
kenaikan krtitis TIK sebaiknya diberikan relaksan otot sebelum suctioning
atau lidokain sebagai alternative. 3
ix. Kortikosteroid tidak direkomendasikan untuk mengatasi edema otak dan
tekanan tinggi intracranial pada stroke iskemik, tetapi dapat diberikan kalau
diyakini tidak ada kontraindikasi.
x. Drainase ventricular dianjurkan pada hidrosefalus akut akibat stroke iskemik
serebelar
xi. Tindakan bedah dekompresif pada keadaan iskemik sereberal yang
menimbulkan efek masa, merupakan tindakan yang dapat menyelamatkan
nyawa dan memberikan hasil yang baik.
5) Penanganan Transformasi Hemoragik
Tidak ada anjuran khusus tentang terapi transformasi perdarahan asimptomatik.
Terapi transformasi perdarahan simtomatik sama dengan terapi stroke
perdarahan, antara lain dengan memperbaiki perfusi serebral dengan
mengendalikan tekanan darah arterial secara hati-hati.
6) Pengendalian Kejang
 Bila kejang, berikan diazepam bolus lambat intravena 5-20mg dan diikuti
oleh fenitoin, loading dose 15-20 mg/kg bolus dengan kecepatan
maksimum 50mg/menit.
 Bila kejang belum teratasi, maka perlu dirawat di ICU.
 Pemberian antikonvulsan profilaksis pada penderita stroke iskemik tanpa
kejang
 tidak dianjurkan.
 Pada stroke perdarahan intraserebral, obat antikonvulsan profilaksis dapat
diberikan selama 1 bulan, kemudian diturunkan, dan dihentikan bila tidak
ada kejang selama pengobatan.
7) Pengendalian Suhu Tubuh
 Setiap pederita stroke yang disertai demam harus diobati dengan
antipiretika dan diatasi penyebabnya
 Berikan Asetaminofen 650 mg bila suhu lebih dari 38,5º C (AHA/ASA
Guideline) atau 37,5º C (ESO Guideline).
 Pada pasien febris atau berisiko terjadi infeksi, harus dilakukan kultur dan
hapusan (trakea, darah dan urin) dan diberikan antibiotik. Jika memakai
kateter ventrikuler, analisa cairan serebrospinal harus dilakukan untuk
mendeteksi meningitis.
 Jika didapatkan meningitis, maka segera diikuti terapi antibiotic.

2.10.3 Penatalaksanaan Umum di Ruang Rawat Stroke


a) Cairan
 Berikan cairan isotonis seperti 0,9% salin dengan tujuan menjaga euvolemi.
Tekanan vena sentral dipertahankan antara 5-12 mmHg.
 Pada umumnya, kebutuhan cairan 30 ml/kgBB/hari (parenteral maupun
enteral).
 Balans cairan diperhitungkan dengan mengukur produksi urin sehari
ditambah dengan pengeluaran cairan yang tidak dirasakan (produksi urin
sehari ditambah 500ml untuk kehilangan cairan yang tidak tampak dan
ditambah lagi 300 ml per derajat Celcius pada penderita panas).
 Elektrolit (natrium, kalium, kalsium dan magnesium) harus selalu diperiksa
dan diganti bila terjadi kekurangan sampai tercapai nilai normal.
 Asidosis dan alkalosis harus dikoreksi sesuai dengan hasil analisa gas
darah.
 Cairan yang hipotonik atau mengandung glukosa hendaklah dihindari
kecuali pada keadaan hipoglikemia.
b) Nutrisi
 Nutrisi enteral paling lambat sudah harus diberikan dalam 48 jam, nutrisi
oral hanya boleh diberikan setelah hasil tes fungsi menelan baik.
 Bila terdapat gangguan menelan atau kesadaran menurun makanan, nutrisi
diberikan melalui pipa nasogastrik.
 Pada keadaan akut, kebutuhan kalori 25-30 kkal/kg/hari.
 Apabila kemungkinan pemakaian pipa nasogastrik diperkirakan >6 minggu,
pertimbangkan untuk gastrostomi.
 Pada keadaan tertentu yaitu pemberian nutrisi enteral tidak memungkinkan,
dukungan nutrisi boleh diberikan secara parenteral.
 Perhatikan diit pasien yang tidak bertentangan dengan obat-obatan yang
diberikan. Contohnya, hindarkan makanan yang banyak mengandung
vitamin K pada pasien yang mendapat warfarin.
c) Penatalaksanaan Medis Lain
 Pemantauan kadar glukosa darah sangat diperlukan. Hiperglikemia (kadar
glukosa darah >180 mg/dl) pada stroke akut harus diobati dengan titrasi
insulin. Target yang harus dicapai adalah normoglikemia. Hipoglikemia
berat (<50 mg/dl) harus diobati dengan dekstrosa 40% intravena atau infuse
glukosa 10-20%.
 Jika gelisah lakukan terapi psikologi, kalau perlu berikan minor dan mayor
tranquilizer seperti benzodiazepine short acting atau propofol bias
digunakan.
 Analgesik dan antimuntah sesuai indikasi.
 Berikan H 2 antagonis, apabila ada indikasi (perdarahan lambung).
 Hati-hati dalam menggerakkan, penyedotan lender, atau memandikan
pasien karena dapat mempengaruhi PTIK.
 Mobilisasi bertahap bila hemodinamik dan pernafasan stabil.
 Kandung kemih yang penuh dikosongkan, sebaiknya dengan kateterisasi
intermiten.
 Pemeriksaan penunjang lanjutan seperti pemerikssan laboratorium, MRI,
Dupleks Carotid Sonography, Transcranial Doppler, TTE, TEE, dan lain-
lain sesuai dengan indikasi.
 Rehabilitasi.
 Edukasi.
 Discharge planning (rencana pengelolaan pasien di luar rumah sakit).

2.10.4 Kedaruratan Medik Stroke Akut


a) Penatalaksanaan Hipertensi
Sebagian besar (70-94%) pasien stroke akut mengalami peningkatan tekanan darah
sistolik >140 mmHg. Penelitian di Indonesia didapatkan kejadian hipertensi pada
pasien stroke akut sekitar 73,9%. Sebesar 22,5- 27,6% diantaranya mengalami
peningkatan tekanan darah sistolik >180 mmHg (BASC: Blood Preassure in Acute
Stroke Collaboration 201; IST: International Stroke Trial 2002).
Penurunan tekanan darah yang tinggi pada stroke akut sebagai tindakan rutin tidak
dianjurkan, karena kemungkinan dapat memperburuk keluarga neurologis. Pada
sebagian besar pasien, tekanan darah akan turun dengan sendirinya dalam 24 jam
pertama setelah awitan serangan stroke.
b) Penatalaksanaan Hipotensi Pada Stroke Akut
Hipotensi arterial pada stroke akut berhubungan dengan buruknya keluaran
neurologis, terutama bila TDS <100 mmHg atau TDD <70 mmHg. Oleh karena itu,
hipotensi pada stroke akut harus diatasi dan dicari penyebabnya, terutama diseksi
aorta, hipovolemia, perdarahan, dan penurunan cardiac output karena iskemia
miokardial atau aritmia.
Penggunaan obat vasopresor dapat diberikan dalam bentuk infuse dan disesuaikan
dengan efek samping yang akan ditimbulkan seperti takikardia. Obat-obat
vasopressor yang dapat digunakan antara lain, fenilephrin, dopamine, dan
norepinefrin. Pemberian obat-obat tersebut diawali dengan dosis kecil dan
dipertahankan pada tekanan darah optimal, yaitu TDS berkisar 140 mmHg pada
kondisi akut stroke.
c) Penatalaksanaan Gula Darah pada Stroke Akut
Hiperglikemia terjadi pada hampir 60% pasien stroke akut nondiabetes.
Hiperglikemia setelah stroke akut berhubungan dengan luasnya volume infark dan
gangguan kortikal dan berhubungan dengan buruknya keluaran. Tidak banyak data
penelitian yang menyebutkan bahwa dengan menurunkan kadar gula darah secara
aktif akan mernperbaiki keluaran.
Hindari kadar gula darah melebihi 180 mg/dl, disarankan dengan infus salin dan
menghindari larutan glukosa dalam 24 jam pertama setelah serangan stroke akan
berperan dalam rnengendalikan kadar gula darah.
Hipoglikemia (< 50 mg/dl) mungkin akan memperlihatkan gejala mirip dengan
stroke infark, dan dapat diatasi dengan pemberian bolus dekstrose atau infus
glukosa 10-20% sampai kadar gula darah 80-110 mg/dL. Indikasi dan syarat-syarat
pemberian insulin :
 Stroke hemoragik dan non hemoragik dengan IDDM atau NIDDM
 Bukan stroke lakunar dengan diabetes mellitus.

2.10.5 Penatalaksanaan Komplikasi Medik Stroke Akut


a) Infeksi Saluran Kemih (ISK)
 ISK harus dihindari dengan mengatur cairan masukdan kelura secara
adekuat.
 Hindari pemasangan kateter urine, bila tidak ada indikasi kuat. Bila
dipasang kateter , perlu diperhatikan tindakan aseptik. Pilih kateter yang
dimodifikasi (modified catheter coated) dengan anti mikroba seperti
nitrofurazone-coated silicone atau silver-coated latex.
 Dianjurkan untuk mendapat nutrisi yang cukup, penting dalam menigkatkan
daya tahan tubuh pasien.
 Pengasaman urine dengan menambahkan cairan seperti jus stroberi yang
banyak mengandung Vit C atau dengan menambahkan Vit C 500 mg pada
diit
 Antibiotik profilaksis dapat menurunkan risiko infeksi pada pasien stroke.
 Antibiotik profilaksis tidak direkomendasikan untuk pencegahan ISK
simtomatik pada pasien terpasang kateter urine.
b) Bronchopneumonia
 Pemberian antibiotik profilaks tidak dianjurkan karena dapat memperburuk
kondisi saat fase akut stroke.
 Pneumonia akibat disfagia atau gangguan refleks menelan erat
hubungannya dengan aspirasi penumonia. Oleh karena itu, tes refleks batuk
perlu dilakukan untuk mengidentifikasi risiko pneumonia.
 Pemberian pipa nasogastrik segera (dalam 48 jam) dianjurkan pada pasien
dengan gangguan menelan.
 Pencegahan aspirasi pneumonia dapat dilakukan dengan:
i. Elevasi kepala 30-45º
ii. Menghindari sedasi berlebihan
iii. Mempertahankan tekanan endotracheal cuff yang tepat pada pasien
dengan intubasi dan trakeostomi.
iv.Memonitor volume residual lambung selama pemberian makanan secara
enteral
v. Menghindari pemakaian pipa nasogastrik yang lama
vi. Seleksi diit yang tepat untuk pasien dengan disfagia
vii. Mengaspirasi sekresi subglotis secara teratu
viii. Rehabilitasi fungsi menelan
ix. Merubah posisi pasien saat berbaring dan terapi fisik.
x. Oleh karena disfagi dapat beresiko terjadi pneumonia aspirasi, maka untuk
mencegah komplikasi pneumonia dan memperbaiki fungsi menelan
dilakukan modifikasi diit serta latihan otot-otot menelan dan stimulasi
struktur mulut dan faring.
 Penatalaksanaan melalui fisioterapi (chest therapy) dan pemberian
antibiotik sesuai indikasi.
c) Stress Ulcer
 Untuk semua penderita stroke, pemberian obat-obatan seperti NSAID dan
kortikosteroid, serta makanan/minuman yang bersifat iritatif terhadap
lambung (alkohol,rokok,cuka) perlu dihindari.
 Pasien dipuasakan
 Pasien dengan stress ulcer harus dilakukan penatalaksanaan ABC adekuat.
Petugas yang terlatih diperlukan dalam mengenali tanda gagal nafas dan
mampu melakukan bantuan dasar untuk jalan nafas.
 Pada perdarahan yang banyak (lebih dari 30% dari volume sirkulasi),
penggantian dengan transfusi darah perlu dilakukan. Untuk mengganti
kehilangan volume sirkulasi cairan pengganti berupa koloid atau kristaloid
dapat diberikan sebelum transfusi. Infusion line: Infus NaCl 0,9%, RL atau
plasma expander.
 Pasang pipa nasogastrik dan lakukan irigasi dengan air es tiap 6 jam sampai
darah berhenti.
 Hentikan pemakaian aspirin atau klopidogrel. Pemakaian aspirin dapat
diteruskan bila terdapat indikasi yang jelas.
 Pemberian nutrisi makanan cair jernih diit pasca hematemesis sangat
membantu percepatan proses penyembuhan stress ulcer. Pemberian nutrisi
harus dengan kadar serat yang tinggi dan dihindarkan dari makanan yang
merangsang atau mengiritasi lambung.
d) Ulkus Dekubitus
 Memposisikan dan mereposisi tubuh bertujuan untuk menghindari tekanan
langsung pada tonjolan tulang dan permukaan tubuh.
 Pemberian dua suplemen nutrisi oral tiap hari pada pasien yang lebih tua
melindungi dari penyakit akut dan mengurangi terjadinya ulkus dekubitus.
 Skala Braden digunakan untuk menilai risiko ulkus dekubitus.
 Manajemen optimal yang komprehensif dan akurat dalam menentukan
riwayat luka, penyebab lokasi, derajat, ukuran, dasar, eksudat dan kondisi
kulit sekitar ulkus. (SIGN, Grade B). Periksa semua pasien apakah mereka
mempunyai factor risiko terjadinya ulkus dekubitus. Pada pasien dengan
factor risiko dipertimbangkan pemakaian tempat tidur tekanan rendah.
 Membuat jadwal reposisi dan menghindari pasien dari posisi ulkus.
 Pasien dengan ulkus derajat 1-2 (eritema dan kehilangan kulit parsial) harus
diposisikan pada matras atau bantalan dengan menurunkan tekanan.
 Pasien dengan ulkus derajat 3-4 (full-thicknes skin loss dan extensive
destruction) diposisikan pada keadaan dengan tekanan rendah yang konstan
(Constan Low Pressure). Disarankan memakai tempat low-air-loss atau air-
fluidized bed.
 Mempertahankan posisi kepala tempat tidur tetap elevasi serendah mungkin
dengan memperhatikan kebutuhan medis dan pembatasan lain.
 Batasi sesingkat mungkin bahwa elevasi kepala hanya dilakukan apabila
ada kebutuhan medis.
 Permukaan dukungan statis cocok untuk pasien dengan ulkus dekubitus
yang dapat diasumsikan berbagai posisi tanpa adanya tekanan pada ulkus.
 Tidak ada perbedaan ulkus dekubitus pada alat dukungan statis.
 Permukaan dukungan dinamis mungkin cocok untuk pasien dengan ulkus
dekubitus yang tidak dapat dimanipulasikan berbagai posisi di tempat tidur.
 Pasien yang berisiko untuk mendapat ulkus dekubitus harus menghindari
posisi duduk yang berkepanjangan. Postural alignment, distribusi bobot,
keseimbangan, stabilitas, dan pengurangan tekanan harus dipertimbangkan
pada orang duduk.
 Gunakan bantalan kursi berdasarkan kebutuhan individu yang memerlukan
penurunan tekanan dalam posisi duduk. Hindari menggunakan alat
doughnut-type.
 Membalut luka seperti dengan cairan hidrokoloid dan membuat lingkungan
yang optimal untuk penyembuhan luka.
 Mobilisasi aktif dan perubahan posisi secara mandiri atau reposisi dengan
indikasi klinis.
 Penilaian gizi harus dilakuka pada saat pasien masuk ke pusat kesehatan
dan kapan pun ada perubahan kondisi yang meningkatkan risiko ulkus
akibat gangguan gizi.
 Meningkatkan asupan makanan atau suplemen pada pasien kurang gizi
yang berisiko mendapatkan ulkus dekubitus.
 Pastikan asupan makanan yang cukup untuk mencegah kekurangan gizi
yang sesuai dengan keadaan individu.
 Jika asupan makanan terus menjadi memadai, tidak praktis atau mungkin,
dukungan nutrisi (biasanya makan tabung) harus digunakan untuk
menempatkan pasien ke keseimbangan nitrogen positif (sekitar 30-35
kalori/kg/hari dan 1,25-1,50 g protein/kg/hari) sesuai dengan tujuan
perawatan.
 Berikan suplemen vitamin dan mineral jika diduga terdapat kekurangan
gizi.
 Penatalaksanaan infeksi dengsn pemberian antibiotik tepat dan mengatasi
jaringan nekrotik dan devitalisasi jaringan yang rusak.
e) Hiponatremi
 Bila natrium dibawah 120 mEq/L, berikan NaCL 0,9% 2-3 L/hari. Berikan
NaCl hipertonik 3% 50 ml 3 kali sehari bila perlu. Praktik di Indonesia
maksimal 0,5 mEq/L/jam, sehingga kadar natrium diharapkan dapat
terkoreksi 0,5-1 mEq/L/jam dan tidak melebihi 130 mEq/L dalam 48 jam
pertama.
 Hindari pemberian cairan hipotonik dan kontraksi volume intravaskular
pada pasien perdarahan subarakhnoid.
 Pantau status volume cairan pada pasien PSA dengan kombinasi tekanan
vena sentral, tekanan arteri pulmoner, balans cairan. Terapi untuk kontraksi
volume cairan adalah dengan cairan isotonik.
 Pemberian fludrocortisone acetate dan cairan hipertonik berguna untuk
mengoreksi hiponatremia intravena 2 kali sehari.
 Pada keadaan tertentu, restriksi cairan dapat dilakukan untuk
mempertahankan keadaan euvolemik.
f) DVT
 Pemakaian Stoking dilakukanpada pasien kelemahan tungkai.
 Mobilisasi dan hidrasi optimal harus dipertahankan sesering mungkin.
 Pemberian Heparin diberikan sebagai profilaksis pada pasien stroke
iskemik akut yang beresiko tinggi mengalamai trombossis vena dalam.
 Pemakaian stoking ketat diatas lutut tidak banyak bermanfaat dan resikonya
pada pasien stroke iskemik akut. Tidak dianjurkan pemakaian stoking ketat
secara rutin untuk pencegahan thrombosis vena dalam pada pasien stroke.
Pada keadaan tertentu pemakaian stoking bisa bermanfaat.
 Mobilisasi segera dapat membantu mencegah terjadinya thrombosis vena
dalam.
g) Spastisitas
 Terapi Spastisitas pada Ekstermitas Atas
i. Pemakaian splinting secara rutin untuk mengurangi spastisitas tidak
direkomendasikan. Splinting secara serial (tidak dipasang terus menerus) dapat
dilakukan untuk mengurangi spastisitas.
ii. Program regangan yang dibimbing oleh fisioterapis dapat meningkatkan
range of motion (ROM) pada ekstremtias atas dan mengurangi nyeri pada
stroke lama.
 Terapi Spastisitas pada Ekstremitas Bawah
i. Tilt table dan night splint mencegah kontraktur pergelangan kaki.
ii. Stimulasi elektrik mengurangi spastisitas plantar fleksi kaki pascastroke.
iii. Terapi ultrasonografi mengurangi eksitabilitas alpha motorneuron yang
berkaitan dengan spastisitas plantar fleksi kaki.
h) Disfagia
 Terapi Menelan
i. Compensatory techniques: teknik ini mengajarkan pasien merubah posisi
(postural maneuver) untuk mengimbangi kesulitan menelan. Dengan teknik
yang intensif akan memberikan hasil lebih baik.
ii. Indirect swallow therapy: teknik ini mengajarkan pasien untuk latihan
memperkuat otot yang lemah (otot suprahyoid)
iii. Direct swallow therapy: teknik ini mengajarkan pasien untuk melakukan
latihan menelan secara langsung.
 Modifikasi Diit
i. Modifikasi diit merupakan standar manajemen pada pasien stroke dengan
disfagia dan memiliki efek yang menguntungkan.
ii. Teknik ini digunakan jika pasien hanya mengalami aspirasi ketika menelan.
Tes ini akan menunjukkan konsistensi makanan apa saja yang ditoleransi
dengan baik.
iii. Pada kasus disfagia yang berat, ketika pasien stroke mengalami kurang gizi
atau dehidrasi akan digunakan pipa nasogatrik atau gastrotomi endoskopi
perkutan (PEG), yang dimasukkan melalui kulit secara langsung. Risiko PEG
lebih sedikit dari pada pipa nasogastric karena bersifat invasive, dapat terjadi
infeksi local dan peritonitis. Pasien yang mendapat terapi enteral lebih dari 4
minggu dianjurkan memakai PEG dan harus dilakukan follow up berkala.
 Penatalaksanaan Disfagia
i. Semua pasien stroke harus dilakukan skrining disfagia sebelum diberikan diit
melalui mulut.
ii. Identifikasi faktor risiko dan komorbiditas terhadap pneumonia aspirasi berupa
kebiasaan merokok dan penyakit pernafasan.
iii. Pasien dengan disfagia harus dimonitor tiap hari dalam 1 minggu pertama.
iv. Skrining awal gangguan menelanberupa: penilaian derajat kesadaran pasien dan
kontrol postural
v. Pasien dengan disfagia persisten harus dievaluasi teratur .
vi. Kebersihan mulut harus diperhaikan pada pasien dengan disfagia, terutama
pada pasien dengan PEG atau pipa nasogastric.
i) Disfungsi Kandung Kemih dan Pencernaan
 Inkontinesia urin
i. Pengobatan tergantung dari penyebab permasaahan dan gejala yang muncul.
Beberapa pasien ada keinginan untuk miksi namun sudah keluar sebelum
sampai ke kamar mandi. Ada yang miksi sedikit-sedikit tapi sering tanpa bisa
ditahan.
ii. Manajemen yan dilakukan, antara lain:
 Intervensi perilaku. (mengatur waktu miksi dan pelvic floor training)
 Asupan cairan kira-kira 1500-18000 ml dalam 24 jam
 Bladder Training
 Pasien disuruh miksi tiap 2-4 jam atau kurang dari 2 jam bila pasien merasa
ingin kencing. Hal ini dilakukan karena pasien pascastroke cortical
awareness terhadap bladder yang penuh menjadi berkurang.
iii. Terapi farmakologi hanya diberikan apabila intervensi perilaku dan Bladder
training gagal dilakukan.
 Retensi Urin
i. Penggunaan kateter jika dibutuhkan
ii. Terapi farmakologi.
 Konstipasi dan Inkontinensia Alvi
i. Mengkonsumsi makanan berserat tinggi dan asupan cairan yang cukup.
ii. Terapi farmakologi
 Terapi Inkontinen
i. Jika penyebabnya adalah kelemahan otot spinkter maka dilakukan
pelvicstrehtening exercise

Menurut Perdossi(2011), pencegahan primer pada stroke meliputi upaya


perbaikan gaya hidup dan pengendalian berbagai faktor risiko. Upaya ini ditujukan pada
orang sehat dan kelompok risiko tinggi yang belum pernah terserang stroke.
2.11.1 Mengatur Pola Makan yang Sehat
Konsumsi makanan tinggi lemak dan kolesterol dapat meningkatkan risiko
terkena serangan stroke, sebaliknya risiko konsumsi makanan rendah lemak dan
kolesterol dapat mencegah terjadinya stroke. Beberapa jenis makan yang di anjurkan
untuk pencegahan primer terhadap stroke adalah:
 Makanan kolesterol yang membantu menurunkan kadar kolesterol
a) Serat larut yang terdapat dalam biji-bijian seperti beras merah, bulgur, jagung
dan gandum.
b) Oat (beta glucan) akan menurunkan kadar kolesterol total dan LDL,
menurunkan tekanan darah, dan menekan nafsu makan bila dimakan dipagi hari
(memperlambat pengosongan usus).
c) Kacang kedelai beserta produk olahannya dapat menurunkan lipid serum,
menurunkan kolesterol total, kolesterol LDL dan trigliserida tetapi tidak
mempengaruhi kadar kolesterol HDL.
d) Kacang-kacangan termasuk biji kenari dan kacang mede menurunkan
kolesterol LDL dan mencegah arterrosklerosis.
Mekanisme kerja: menambah sekresi asam empedu, meningkatkan aktifitas
estrogen dan
isoflavon, memperbaiki elastisitas arteri dan meningkatkan aktifitas antioksidan
yang
menghalangi oksidasi LDL.
 Makanan lain yang berpengaruh terhadap prevensi stroke
a) Makanan/zat yang membantu mencegah peningkatan homosistein seperti asam
folat,vitamin B6, B12, dan riboflavin.
b) Susu yang mengandung protein, kalsium, seng(Zn), dan B12, mempunyai efek
proteksi terhadap stroke.
c) Beberapa jenis seperti ikan tuna dan ikan salmon mengandung omega-3,
eicosapperitenoic acid (EPA) dan docosahexonoic acid (DHA) yang merupakan
pelindung jantung mencegah risiko kematian mendadak, mengurangi risiko
aritmia, menurunkan kadar trigliserida, menurunkan kecenderungan adhesi
platelet, sebagai precursor prostaglandin, inhibisi sitokin, antiinflamasi dan
stimulasi Nitric oxide (NO) endothelial. Makanan jenis ini sebaiknya
dikonsumsi dua kali seminggu.
d) Makanan yang kaya vitamin dan antioksidan (vitamin C,E, dan betakaroten)
seperti yang banyak terdapat pada sayur-sayuran, buah-buahan, dan biji-bijian.
e. Buah-buahan dan sayur-sayuran
- Kebiasaan/membudaya diit kaya buah-buahan dan sayuran bervariasi minimal
5
porsi setiap hari.
- Sayuran hijau dan jeruk yang menurunkan risiko stroke
- Sumber kalium yang merupakan predictor yang kuat untuk mencegah
mortalitas akibat stroke, terutama buah pisang.
- Apel yang mengandung quercetin dan phytonutrient dapat menurunkan risiko
stroke.
f. Teh hitam dan teh hijau yang mengandung antioksidan.
 Anjuran lain tentang makanan:
a) Menambah asupan kalium dan mengurangi asupan antrium (<6 gram/hari).
Bahan-bahan yang mengandung natrium seperti monosodium glutamate dan
sodium nitrat, sebaiknya dikurangi. Makanan sebaiknya harus segar. Pada
penderita hipertensi, asupan natrium yang dianjurkan ≤2,3 gram/hari dan
asupan kalium ≥4,7 gram/hari.
b) Meminimalkan makanan tinggi lemak jenuh dan mengurangi asupan trans fatty
acid seperti kue-kue, crackers, telur, makanan yang digoreng, dan mentega.
c) Mengutamakan makanan yang mengandung polyunsaturated fatty acid,
monounsaturated fatty acid, makanan berserat dan protein nabati.
d) Nutrient harus diperoleh dari makanan bukan suplemen.
e) Jangan makan berlebihan dan perhatikan menu makanan seimbang
f) Makanan sebaiknya bervariasi dan tidak tunggal.
g) Hindari makanan dengan densitas kalori tinggi dan kualitas nutrisi rendah
h) Sumber lemak sebaiknya berasal dari sayuran, ikan bauh polong dan kacang-
kacangan
i) Utamakan makanan yang mengandung polisakarida seperti roti, nasi, pasta,
sereal dan kentang. Hindari makanan yang mengandung gula (monosakarida
dan disakarida)
2.11.2 Penanganan Stress dan Beristirahat yang Cukup
a) Istirahat cukup dan tidur teratur antara 6-8 jam sehari
b) Mengendalikan stress dengan cara berpikir positif sesuai dengan jiwa sehat
menurut WHO, menyelesaikan pekerjaan satu demi satu, bersikap ramah dan
mendekatkan diri pada Tuhan yang maha esa dan mensyukuri hidup yang ada.
Stress kronis dapat meningkatkan tekanan darah. Penanganan stress menghasilkan
respon relaksasi yang menurunkan denyut jantung dan tekanan darah.
2.11.3 Pemeriksaan Kesehatan Secara Teratur dan Taat Anjuran Dokter dalam
Hal a)Diet dan Obat
 Faktor-faktor resiko seperti penyakit jantung, hipertensi, dislipidemia, diabetes
mellitus (DM) harus dipantau secara teratur.
 Faktor-faktor resiko ini dapat dikoreksi dengan pengobatan teratur, diet dan
gaya hidup sehat.
 Pengendalian hipertensi dilakukan dengan target tekanan darah ,140/90 mmHg.
 Jika menderita diabetes mellitus atau penyakit ginjal kronis, target tekanan
darah ,130/80 mmHg.
 Pengendalian kadar gula darah pada penderita diabetes mellitus dengan target
HbA1C <7%.
 Pengendalian kadar kolesterol pada penderita dislipidemia dengan diet dan obat
penurun lemak. Target kadar kolesterol LDL <100 mg/Dl penderita yang
beresiko tinggi stroke sebaiknya target kolesterol LDL sebaiknya <70 mg/Dl.
 Terdapat bukti-bukti tentang faktor resiko yang bersifat infeksi/inflamasi
misalnya infeksi gigi. Kesehatan gigi dan mulut sebaiknya diperhatikan secara
teratur.
BAB 3
ASUHAN KEPERAWATAN

3.1 Pengkajian Keperawatan


Pengkajian merupakan pemikiran dasar dari proses keperawatan yang bertujuan
untuk mengumpulkan informasi atau data tentang pasien agar dapat mengidentifikasi,
mengenali masalah-masalah, kebutuhan kesehatan, dan keperawatan pasien baik mental,
sosial dan lingkungan.
3.1.1 Anamnesa
Nama (sebagai identitas pasien), Status perkawinan (mungkin berpengaruh
terkait dengan beban hidup pasien yang sudah menikah), pendidikan (mempengaruhi
pasien dalam perilaku kesehatan), pekerjaan (tingkat pekerjaan yang tinggi dapat
mempengaruhi stroke karena stres atau beban hidup yang tinggi), agama (sebagai
keyakinan pasien), Umur (makin tua kejadian stroke makin tinggi. Padahal usia lanjut
terjadi proses kalsifikasi pembuluh darah, termasuk pembuluh darah otak. Usia
merupakan faktor risiko stroke. Semakin tua usia seseorang maka risiko terkena stroke
pun semakin tinggi. Namun penderita stroke saat in tidak terbatas pada seseorang
dengan usia lanjut, kaum usia produktif pun perlu waspada terhadap ancaman stroke.
Pada usia produktif, stroke dapat menyerang terutama pada mereka yang gemar
mengonsumsi makanan berlemak dan pengguna narkoba (walaupun belom memiliki
angka yang pasti)), Jenis Kelamin (Laki-laki lebih beresiko disbanding wanita ), Rasa
tau suku bangsa (Bangsa Afrika/Negro, Jepang , dan Cina lebih sering terkena stroke.
Orang yang berwatak keras terbiasa cepat atau terburu-buru, seperti orang Sumatra,
Sulawesi, dan Madura rentan terkena stroke), tanggal dan jam masuk rumah sakit (perlu
mengetahui berapa lama serangan terjadi), nomor register (sebagai identitas pasien),
dan diagnosa medis, Identitas penanggung jawab (keluarga pasien): nama, umur, jenis
kelamin, agama, pendidikan, pekerjaan, alamat.

3.1.2 Keluhan Utama


Keluhan utama yang sering menjadi alasan klien untuk meminta bantuan
kesehatan adalah kelemahan anggota gerak sebelah badan, bicara pelo, tidak dapat
berkomunikasi, dan penurunan tingkat kesadaran (Muttaqin, 2011).

3.1.3 Riwayat Kesehatan


1) Riwayat Kesehatan Sekarang
Serangan stroke infark mengakibatkan kehilangan berkomunikasi, gangguan
persepsi, kehilangan motorik, dan merasa kesulitan untuk melakukan aktifitas karena
kelemahan, kehilangan sensasi atatu paralisis (hemiplegia), merasa mudah lelah,
susah beristirahat (nyeri , kejang otot).
2) Riwayat Kesehatan Dahulu (Muttaqin, 2011).
Adanya riwayat hipertensi, riwayat stroke sebelumnya, diabetes mellitus,
penyakit jantung, anemia, riwayat trauma kepala, kontrasepsi oral yang lama,
penggunaan obat antikoagulan, aspirin, vasodilator, obat-obat adiktif, dan
kegemukan Pengkajian pemakaian obat-obat yang sering digunakan klien, seperti
pemakaian obat antihipertensi, antilipidemia, penghambat beta, dan lainnya. Adanya
riwayat merokok, penggunaan alkohol dan penggunaan obat kontrasepsi oral.
Pengkajian riwayat ini dapat mendukung pengkajian dari riwayat pengkajian
sekarang dan merupakan data dasar untuk mengkaji lebih lanjut dan untuk
memberikan tindakan selanjutnya.
3) Riwayat Kesehatan Keluarga
Biasanya ada riwayat keluarga yang menderita hipertensi, diabetes mellitus, atau
adanya riwayat stroke dari generasi terdahulu.
3.1.4 Pemeriksaan Fisik
1) B1 (Breathing)
 Pada inspeksi, didapatkan klien batuk, peningkatan produksi sputum, sesak nafas,
penggunaan otot bantu nafas, dan peningkatan frekuensi pernafasan. Pada klien
dengan tingkat kesadaran komposmentis, pengkajian inspeksi pernafasannya
menunjukkan tidak ada kelainan.
 Pada auskultasi terdengar bunyi nafas tambahan seperti ronkhi pada klien dengan
peningkatan produksi sekret dan kemampuan batuk yang menurun sering
didapatkan pada klien stroke dengan penurunan tingkat kesadaran atau koma.
 Palpasi toraks didapatkan adanya taktil premitus seimbang kanan dan diri, dan
auskultasi tidak terdapat suara tambahan
2) B2 (Blood)
Pengkajian pada sistem kardiovaskuler didapatkan adanya renjatan atau syok
hipovolemik yang sering terjadi pada klien stroke. Terjadinya peningkatan tekanan
darah dan dapat terjadi hipertensi massif (TD mencapai > 200 mmHg)
3) B3 (Brain)
Stroke menyebabkan berbagai defisit neurologis, tergantung pada lokasi
pembuluh mana yang tersumbat, dan ukuran area yang perfusinya tidak adekuat. Lesi
otak yang rusak dapat membaik sepenuhnya. Pengkajian ini memeriksa secara fokus
dan lebih lengkap dibandingkan dengan pengkajian sistem lainnya. Kualitas
kesadaran klien merupakan parameter yang paling mendasar dan parameter yang
paling penting yang membutuhkan pengkajian. Tingkat keterjagaan klien dan respon
terhadap lingkungan adalah indikator yang paling sensitif untuk disfungsi sistem
persarafan.
Pada keadaan lanjut, tingkat kesadaran klien stroke biasanya berkisar pada
tingkat letargi, stupor, dan semikomatosa. Apabila klien sudah mengalami koma
maka penilaian GCS sangat penting untuk menilai tingkat kesadaran klien dan bahan
evaluasi untuk pemantauan pemberian asuhan.
Pengkajian fungsi serebral meliputi kasus mental, fungsi intelektual, kemampuan
bahasa, lobus frontal, dan hemisfer.
a. Pengkajian saraf kranial
Pemerikasaan ini meliputi pemeriksaan saraf kranial I-XII
 Saraf I: biasanya pada klien stroke tidak terdapat kelainan pada fungsi
penciuman
 Saraf II: disfungsi persepsi visual karena gangguan jaras sensori primer
diantara mata dan korteks visual. Gangguan hubungan visual-spasial sering
terlihat pada klien dengan hemiplegi kiri. Klien mungkin tidak dapat memakai
pakaian tanpa bantuan karena ketidakmampuan untuk mencocokkan pakaian
ke bagian tubuh.
 Saraf III, IV, VI: apabla terjadi paralisis, pada satu sisi otot-otot okularis
didapatkan penurunan kemampuan gerakan konjugat unilateral di sisi yang
sakit
 Saraf V: pada beberapa keadaan stroke menyebabkan paralisis saraf
trigeminus, penurunan kemampuan koordinasi gerakan mengunyah,
penyimpangan rahang bawah ke sisi ipsilateral, serta kelumpuhan satu sisi
otot pterigoideus internus dan eksternus.
 Saraf VII: persepsi pengecapan dalam batas normal, wajah asimetris, dan otot
wajah tertarik ke bagian sisi yang sehat
 Saraf VIII: tidak ditemukan adanya tuli konduktif dan tuli persepsi
 Saraf IX dan X: kemampuan menelan kurang baik dan sulit untuk membuka
mulutnya
 Saraf XI: tidak terdapat atrofi otot sternokleidomastoideus dan trapezius
 Saraf XII: lidah simetris, terdapat deviasi pada satu sisi dan fasikulasi, serta
indra pengecapan normal.
b. Pengkajian Sistem Motorik
Stroke merupakan penyakit saraf motorik atas (UMN) dan mengakibatkan
hilangnya kontrol volunter terhadap gerakan motorik. Oleh karena UMN bersilangan,
maka gangguan kontrol motor volunter pada salah satu tubuh dapat menunjukkan
kerusakan pada UMN di sisi yang berlawanan dari otak.
 Inspeksi umum: didapatkan hemiplegi karena lesi pada sisi otak yang
berlawanan. Selain itu juga didapatkan terjadinya hemiparesis atau kelemahan
pada salah satu sisi tubuh.
 Fasikulasi didapatkan pada otot-otot ekstremitas
 Meningkatnya tonus otot
 Mengalami gangguan keseimbangan dan koordinasi karena adanya
hemiparese dan hemiplegi
c. Pengkajian Reflek
Pemeriksaan ini terdiri dari pemeriksaan reflek profunda dan pemeriksaan
reflek patologis. Pada gerakan involunter tidak ditemukan adanya tremor, tic, dan
distonia. Pada keadaan tertentu, klien biasanya mengalami kejang umum, terutama
pada anak dengan stroke disertai peningkatan tekanan suhu tubuh yang tinggi.
Kejang berhubungan sekunder dengan area fokal kortikal yang peka
d. Pengkajian Sistem Sensorik
Dapat terjadi hemihipestesi. Pada persepsi terdapat ketidakmampuan untuk
menginterpretasikan sensasi. Disfungsi persepsi visual karena gangguan jaras sensori
primer antara mata dan korteks visual. Kehilangan sensori karena stroke dapat
berupa kerusakan sentuhan ringan atau mungkin lebih berat, dengan kehilangan
propiosepsi (kemampuan untuk merasakan posisi dan gerakan bagian tubuh) erta
kesulitan dalam menginterpretasikan stimuli visual, taktil, dan auditorius.
4) B4 (Bladder)
Pada stroke klien akan mengalami inkontinensia urine sementara karena
konfusi, juga ketidakmampuan mengkomunikasikan kebutuhan, dan ketidak
mampuan untuk mengendalikan kandung kemih karena kerusakan kontrol motorik
dan postural. Terkadang kontrol sfingter urine eksternal menghilang atau berkurang.
Selama periode ini, dilakukan kateterisasi intermitten dengan teknik steril.
Inkontinensia urin yang berlanjut menunjukkan kerusakan neurologis luas.
5) B5 (Bowel)
Adanya keluhan susah menelan, anoreksia, mual dan muntah pada fase akut.
Mual sampai muntah disebabkan oleh peningkatan produksi asam lambung sehingga
menimbulkan masalah pemenuhan nutrisi. Pada pola defekasi biasanya terjadi
konstipasi akibat penurunan peristaltik usus. Adanya inkontinensia yang berlanjut
akana menunjukkan kerusakan neurologis yang luas.
6) B6 (Bone)
Disfungsi motorik paling umum adalah hemiplegi karena lesi pada sisi otak
yang berlawanan. Pada kulit, jika klien kekurangan oksigen, kulit akan tampak pucat
kebiruan, dan apabila kekurangan cairan maka turgor kulit akan buruk. Selain itu,
perlu dikaji tanda-tanda dekubitus terutama pada daerah yang menonjol karena klien
stroke mengalami masalah dalam mobilitas fisiknya. Selain itu juga terdapat
kesulitan untuk beraktivitas karena kelemahan, kehilangan sensori atau paralise, serta
mudah lelah yang menyebabkan masalah pada pola aktivitas dan istirahat.

3.1.5 Pemeriksaan Diagnostik


Pemeriksaan diagnostik yang diperlukan dalam membantu menegakkan Diagnosa
pasien stroke meliputi:
1. Angiografi Serebri: membantu menentukan penyebab dari stroke secara spesifik
seperti perdarahan arteriovena atau adanya ruptur dan untuk mencari sumber
perdarahan seperti aneurisma atau malformasi vaskuler.
2. Lumbal pungsi: umumnya dilakukan pada stroke hemoragik.
3. CT scan: memperlihatkan secara spesifik letak edema, posisi hematoma, adanya
jaringan otak yang infark atau iskemia, serta posisinya secara pasti. Hasil pemeriksaan
biasanya didapatkan hiperdens lokal, kadang-kadang masuk ke ventrikel, atau
menyebar kepermukaan otak.
4. Magnetic Resonance Imaging (MRI) : dengan menggunakan gelombang magnetik
untuk menentukan posisi serta besar/luas terjadinya perdarahan otak. Hasil
pemeriksaan biasanya didapatkan area yang mengalami lesi dan infark
5. USG Doppler : untuk mengidentifikasi adanya penyakit arteriovena (masalah sistem
karotis).
6. EEG: pemeriksaan ini bertujuan untuk melihat masalah yang timbul dan dampak dari
jaringan yang infark sehingga menurunnya impuls listrik dalam jaringan otak.
7. Pemeriksaan darah rutin.
8. Pemeriksaan kimia darah: pada stroke akut dapat terjadi hiperglikemia. Gula darah
dapat mencapai 250 mg dalam serum dan kemudian berangsur-angsur turun kembali.
9. Pemeriksaan darah lengkap: untuk mencari kelainan pada darah itu
sendiri. (Muttaqin, 2011).

3.2 Diagnosa Keperawatan


Diagnosa adalah fase kedua proses keperawatan. Pada fase ini, perawat
menggunakan keterampilan berpikir kritis untuk menginterpretasi data pengkajian dan
mengidentifikasi kekuatan serta masalah pasien (Kozier, 2011). Berdasarkan data
pengkajian, Diagnosa keperawatan untuk pasien stroke infark meliputi hal berikut :
1. Perubahan perfusi jaringan otak yang berhubungan dengan perdarahan intraserebri,
oklusi otak, vasopasme, dan edema otak.
2. Kerusakan komunikasi verbal yang berhubungan dengan efek dari kerusakan pada
area bicara pada hemisfer otak, kehilangan kontrol tonus otot fasial atau oral, dan
kelemahan secara umum.
3. Hambatan mobilitas fisik yang berhubungan dengan hemiparese/hemiplagia,
kelemahan neuromuskuler pada ekstremitas
4. Defisit perawatan diri yang berhubungan dengan kelemahan neuromuskuler,
menurunnya kekuatan dan kesadaran, kehilangan kontrol/koordinasi otot.
5. Gangguan eliminasi alvi (konstipasi) yang berhubungan dengan imobilisasi, asupan
cairan yang tidak adekuat.
6. Gangguan eliminasi urine (inkontinensia urine) yang berhubungan dengan lesi pada
neuron motor atas.
7. Perubahan persepsi-sensori yang berhubungan dengan perubahan resepsi sensori,
integrasi (trauma neurologis atau defisit) yang ditandai dengan disorientasi terhadap
waktu, tempat, dan orang; perubahan dalam pola perilaku/respons terhadap
rangsangan, respons emosional berlebihan; konsentrasi buruk, perubahan proses
berpikir; perubahan dalam ketajaman sensori; ketidakmampuan untuk menyebutkan
posisi bagian tubuh (propriosepsi), ketidakmampuan mengenali/mendekati makna
terhadap objek (agnosia visual) (Doenges, 2000).
8. Resiko ketidakseimbangan nutrisi: kurang dari kebutuhan yang berhubungan dengan
kelemahan otot dalam mengunyah makan dan menelan.
9. Risiko tinggi cedera yang berhubungan dengan penurunan luas lapang pandang,
penurunan sensori rasa (panas, dingin), penurunan tingkat kesadaran.
10. Risiko tinggi gangguan integritas kulit yang berhubungan dengan tirah baring yang
lama.
3.3 Intervensi Keperawatan

No. Diagnosa Keperawatan & NIC


NOC

1. Perubahan perfusi jaringan 1. Monitor tanda-tanda vital.


serebral yang berhubungan 2. Monitor AGD, ukuran pupil, ketajaman,
dengan perdarahan intraserebri, kesimetrisan dan reaksi.
oklusi otak, vasopasme, dan 3. Monitor adanya diplopia, pandangan kabur,
edema otak. nyeri kepala.
NOC : Tissue perfusion : 4. Monitor kondisi umum pasien dan
cerebral orientasinya.
a) Tekanan darah sistole dan 5. Monitor tonus otot pergerakan.
diastole dalam rentang yang 6. Monitor tanda-tanda peningkatan tekanan
diharapkan. intrakranial dan respon nerologis.
b) Tidak ada hipotensi ortostatik. 7. Catat perubahan pasien dalam merespon
c) Kemampuan komunikasi stimulus.
membaik. 8. Monitor status cairan.

d) Menunjukkan konsentrasi & 9. Pertahankan parameter hemodinamik


orientasi.
e) Pupil seimbang dan reaktif.
f) Tidak mengalami kejang.
g) Tidak mengalami nyeri
kepala.

2. Kerusakan komunikasi verbal 1. Monitor kemampuan berkomunikasi pasien


yang berhubungan dengan efek 2. Minta peran serta aktif keluarga dalam terapi
dari kerusakan pada area bicara wicara.
pada hemisfer otak, kehilangan 3. Tandai bel pasien, sebagai pasien yang tidak
kontrol tonus otot fasial atau mampu berkomunikasi.
oral, dan kelemahan secara 4. Minta pasien bicara dengan kecepatan pelan,
umum. ulangi perkataan pasien untuk akurasinya.
NOC : Communication
a) Menggunakan bahasa tertulis
b) Menggunakan bahasa yg
dikuasai.
c) Menggunakan gambar untuk
berkomunikasi.
d) Memastikan interpretasi pesan
yang disampaikan akurat.

3. Hambatan mobilitas fisik yang 1. Monitoring vital sign sebelm/sesudah latihan


berhubungan dengan dan lihat respon pasien saat latihan.
hemiparese/hemiplagia, 2. Kaji kemampuan pasien dalam mobilisasi.
kelemahan neuromuskuler pada 3. Latih pasien dalam pemenuhan kebutuhan
ekstremitas. ADLs secara mandiri sesuai kemampuan.
NOC : Self care : Activity Daily 4. Dampingi dan Bantu pasien saat mobilisasi
Livings. dan bantu penuhi kebutuhan sehari-hari pasien.
a) Klien meningkat dalam 5. Ajarkan pasien bagaimana merubah posisi dan
aktivitas fisik. berikan bantuan jika diperlukan.
b) Mengerti tujuan dari
peningkatan mobilitas.
c) Memverbalisasikan perasaan
dalam meningkatkan kekuatan
dan kemampuan berpindah.
BAB 4
STUDI KASUS

STUDI KASUS ASUHAN KEPERAWATAN PADA PASIEN DENGAN


GANGGUAN CEREBROVASKULAR : CVA (STROKE)

1. Pengkajian
a. Identitas pasien
Nama : Tn. A
Umur : 50 tahun
Jenis kelamin : Laki-laki
Agama : Islam
Pekerjaan : Wiraswasta
Alamat : Jl. Gubeng Airlangga Surabaya
Tanggal MRS : 30 Maret 2016
Diagnosa medik : CVA hemoragik

Identitas penanggung jawab


Nama : Tn. S
Umur : 27 tahun
Alamat : Jl. Gubeng Airlangga Surabaya
Hubungan : Anak pasien

b. Riwayat kesehatan
1) Keluhan utama
Penurunan kesadaran, dengan tingkat kesadaran soporocoma GCS : E2M2V2
2) Riwayat penyakit sekarang
2 hari sebelumnya pasien demam, kemudian dibawa berobat ke dokter umum dan
dikatakan ISK. ± 2 jam yang lalu pasien tiba-tiba tidak sadar, tidak bisa
dibangunkan, saat tidur dalam kondisi ngorok. Sebelumnya tidak ada keluhan
nyeri kepala, tidak ada muntah dan tidak ada kejang. Keluarga membawa pasien
ke Rumah Sakit Kasih Ibu pukul 00.15 WIB. Kemudian dari RS tersebut dirujuk
ke IGD RSU Dr. Soetomo Surabaya pukul 13.00 WIB. Klien datang di IGD RS
Dr. Soetomo Surabaya dalam keadaan tidak sadar dengan GCS E2M2V2.
Kemudian klien dirujuk ke ruang ICU untuk mendapatkan perawatan intensif
dengan ventilator. Saat pengkajian di ICU klien soporokoma dengan GCS
E1M2VET, terpasang Ventilator dengan mode SIM V, FiO2 70%, PEEP + 5, VT
487, RR 38x/menit. Vital Sign : TD 140/90 mmHg, Heart rate 160x/menit, Suhu :
38,5⁰C, dan SaO2 97 %. Kondisi pupil keduanya miosis, reflek cahaya +/- . Ada
akumulasi secret di mulut dan di selang ET, tidak terpasang mayo dan lidah tidak
turun. Terdapat retraksi otot interkosta dengan RR 38 x/menit dan terdengar
ronkhi basah di basal paru kanan. CRT < 3 detik. Di ICU klien sudah
mendapatkan Brainact /12 jam, Alinamin F/12 jam, Ranitidin /12 jam, dan infuse
RL 20 tpm.
3) Riwayat penyakit dahulu
Klien memiliki riwayat hipertensi sejak 2 tahun yang lalu
4) Riwayat kesehatan keluarga
Keluarga klien mengatakan bahwa tidak ada anggota keluarga klien yang
mengalami penyakit yang sama seperti klien.

c. Primary survey
1) Airway
Pada jalan napas terpasang ET, ada akumulasi secret di mulut dan selang ET,
lidah tidak jatuh ke dalam, dan tidak terpasang OPA.
2) Breathing
RR 30 x/menit, terdengar ronchi basah di basal paru kanan, terdapat retraksi otot
intercosta, tidak menggunakan otot bantu pernapasan, tidak ada wheeing,. Klien
terpasang ventilator dengan mode SIM V, FiO2 70 %, PEEP +5, VT 487, suara
dasar vesikular.
3) Circulation
TD 140/90 mmHg, MAP 112, HR 160 x/menit, SaO2 97 %, CRT <3 detik.
4) Disability
Kesadaran soporokoma GCS E1M2VET, reaksi pupil +/-, pupil miosis dan besar
pupil 2 mm.
5) Eksposure
Tidak ada luka pada bagian tubuh klien dari kepala sampai kaki, suhu 38 .

d. Pemeriksaan fisik
1) Tanda-tanda vital
Kesadaran soporokoma GCS E1M2VET
TD : 140/90 mmHg HR : 160 x/menit
RR : 30 x/menit T : 38
MAP : 112 SaO2 :97%
2) Kepala
Bentuk kepala bulat, normocepali, tidak ada lesi kepala, rambut berwarna hitam,
distribusi merata, tidak ada kelainan.
3) Mata
Kedua mata simetris, konjungtiva anemis (-),reaksi pupil +/-, pupil miosis dan
besar pupil 2 mm.
4) Telinga
Kedua telinga simetris, tidak ada jejas, bersih, terdapat serumen, tidak ada
pengeluaran darah dan cairan.
5) Hidung
Posisi septum nasal simetris, klien terpasang NGT, tidak ada secret di hidung,
tidak ada pernapasan cuping hidung.
6) Mulut
Klien terpasang ET, terdapat akumulasi secret pada mulut dan selang ET, mulut
tampak kotor.
7) Leher
Leher simetris, tidak ada pembesaran vena jugularis, tidak ada pembesaran
kelenjar limfe, tidak ada jejas pada leher, tidak ada tanda-tanda kaku kuduk.
8) Thoraks
a. Paru-paru
a) Inspeksi : Paru kanan dan kiri simetris, terdapat retraksi dinding dada,
tidak ada penggunaan otot bantu pernapasan RR 30 x/menit.
b) Palpasi : Tidak terdapat massa,
c) Perkusi : Sonor pada seluruh lapang paru
d) Auskultasi : suara dasar vesikular, terdapat suara napas tambahan ronchi
pada basal paru kanan.
b. Jantung
a) Inspeksi : Tidak ada palpitasi, ictus cordis tidak tampak
b) Palpasi : HR 160 x/menit, ictus cordid tidak teraba
c) Perkusi : Pekak
d) Auskultasi : Bunyi jantung I – II normal, tidak ada bunyi jantung
tambahan.
9) Abdomen
a. Inspeksi : Datar, tidak ada lesi atau massa
b. Palpasi : tidak ada distensi abdomen
c. Perkusi : Timpani
d. Auskultasi : Bising usus 13 x/menit
10) Genitelia
Tidak ada kelainan.
11) Ekstremitas
Klien mengalami kelemahan pada ekstermitas kanan, kekuatan otot 1/2/1/3.
Aktivitas klien dibantu.

2. Diagnosa Keperawatan
Analisa Data
Data Fokus Etiologi Problem
DS : Gangguan aliran darah Resiko ketidakefektifan
DO : arteri dan vena perfusi jaringan otak
a. Tingkat kesadaran
soporokoma
b. GCS E1M2VET
c. Klien tampak lemah
d. Klienmemiliki
riwayat hipertensi
sejak 2 tahun yang lalu
e. Reaksi pupil +/-, pupil
miosis dan besar pupil
2 mm.
DS : Akumulasi secret di jalan Ketidakefektifan bersihan
DO : napas jalan napas
a. Klien terpasang ET
b. Terdapat secret pada
mulut dan ET
c. Terdengar bunyi
ronchi basah pada
basal paru kanan
d. Klien tidur dalam
kondisi ngorok
DS : Gangguan neuromuskular Hambatan mobilitas fisik
DO : hemiparese/hemiplegia
a. Klien mengalami
penurunan kesadaran
b. Klien mengalami
kelemahan pada
ekstremitas kanan
c. Kekuatan otot 1/2/1/3
d. Aktivitas klien dibantu

Berdasarkan analisa data di atas maka, diagnosa keperawatan yang mungkin muncul
pada klien adalah :
1. Resiko ketidakefektifan jaringan otak berhubungan dengan gangguan aliran darah
arteri dan vena.
2. Ketidakefektifan bersihan jalan napas berhubungan dengan akumulasi secret di jalan
napas
3. Hambatan mobilitas fisik berhubungan dengan gangguan neuromuskular
hemiparase/hemiplegia.

3. Intervensi Keperawatan
1) Resiko ketidakefektifan jaringan otak berhubungan dengan gangguan aliran darah
arteri dan vena.
NOC
a. Neurological status
b. Circulation status
c. Tissue perfusion

NIC
1. Monitoring tingkat kesadaran.
2. Monitor ukuran pupil, bentuk, kesimetrisan dan reaktivitas terhadap cahaya.
3. Memantau GCS pasien.
4. Monitor status pernapasan : ABG, pulse oximetry, kedalaman pernapasan,
frekuensi dan pola pernapasan.
5. Monitor tekanan darah, HR, suhu dan status pernapasan.
6. Catat tanda dan gejala peningkatan tekanan darah
7. Monitor warna kulit, suhu dan kelembaban
8. Identifikasi penyebab perubahan tanda-tanda vital
9. Monitor kekuatan otot dan gerakan motorik
2) Ketidakefektifan bersihan jalan napas berhubungan dengan akumulasi secret di jalan
napas
NOC
a. Respiratory status
b. Respiratory status: Airway patency
c. Respiratory status : ventilation
d. Vital signs

NIC
1. Posisikan pasien untuk memaksimalkan ventilasi.
2. Bersihkan secret dengan mekanisme batuk atau suction.
3. Auskultasi suara napas sebelum dan sesudah suction
4. Bantu dengan spirometer insentif.
5. Auskultasi suara napas, catat area peningkatan/penurunan ventilasi dan adanya
suara napas tambahan.
6. Monitor irama, frekuensi, kedalaman dan pola pernapasan.
7. Catat pergerakan dinding dada, penggunaan otot bantu pernapasan dan retraksi
dinding dada.
8. Monitor saturasi oksigen secara berkesinambungan.
9. Gunakan bronkodilator
10. Berikan humidifier atau oksigen
3) Hambatan mobilitas fisik berhubungan dengan gangguan neuromuskular
hemiparase/hemiplegia.
NOC
a. Ambulation
b. Mobility
c. Neurogical status : spinal sensory/motor function

NIC
1. Monitor kekuatan otot dan gerakan motorik
2. Monitor adanya paresthesia : mati rasa dan kesemutan.
3. Monitor nutrisi dan sumber energi yang adekuat.
4. Bantu pasien untuk mngubah posisi secara berkala.
5. Ajarkan latihan ROM aktif dan pasif.
6. Bantu aktivitas pasien sesuai toleransi.
BAB 5
KESIMPULAN DAN SARAN

5.1 Kesimpulan
Konsep fisiologis aliran darah dalam otak meliputi sirkulasi anterior dan sirkulasi
posterior. Sirkulasi anterior meliputi sirkulasi arteri karotis internal, arteri middle serebral,
arteri anterior serebral dan arteri komunikating anterior. Sedangkan sirkulasi posterior
meliputi sirkulasi arteri vertebralis, arteri basilaris, aretri posterior serebral dan arteri
komunikating posterior.
Stroke adalah suatu episode akut dari disfungsi neurologis yang diduga disebabkan oleh
iskemik atau hemoragik, yang berlangsung ≥ 24 jam atau sampai meninggal, tetapi tanpa
bukti yang cukup untuk diklasifikasikan. Stroke biasanya diakibatkan oleh trombosis serebri,
embolisme serebral, iskemia di jaringan otak dan hemoragik serebral. Gejala klinis yang
mungkin timbul adalah defisit neurologis mendadak, kelumpuhan wajah atau anggota badan,
gangguan hemisensorik, perubahan status mental serta gangguan komunikasi verbal.
Masalah keperawatan yang muncul pada pasien dengan stroke antara lain perubahan
perfusi jaringan serebral, hambatan komunikasi verbal dan hambatan mobilitas fisik.

5.2 Saran
Berdasarkan kesimpulan di atas maka penulis menyampaikam saran yang sekiranya
dapat dijadikan perhatian dan masukan untuk mencapai tujuan yang diharapkan, yaitu :
a) Menambah pengetahuan sehingga diharapkan lebih memahami tentang penyakit, gejala,
pengobatan dan penanganan gangguan sistem serebrovaskuler (stroke/CVA).
b) Keluarga hendaknya memahami keadaan pasien dan mendukung proses pengobatan
pasien.
c) Sebagai seoraang perawat hendaknya lebih memahami tentang konsep penyakit gangguan
sistem serebrovaskuler dan asuhan keperawatan yang harus diberikan sehingga dapat
mengaplikasikan asuhan keperawatan pada pasien secara komprehensif.
DAFTAR PUSTAKA

Alexander, Sheila.(2013). Evidence-based Nursing Care for Stroke and Neurovascular


Condition. John Wiley & sons, Inc.
Batticaca F. (2008). Asuhan Keperawatan Klien Dengan Gangguan Sistem Persyarafan.
Jakarta: Salemba Medika.

Brunner & Suddart (2002). Buku ajar keperawatan medikal-bedah. Ed.8 Vol.3. Jakarta: EGC.

Caplan, Louis R. (2009). Caplan's Stroke : A Clinical Approach. Elsevier Health Science.

Dewanto, george Dkk (2009). Panduan praktis diagnosis & tatalaksana penyakit saraf
Jakarta: EGC.

Hidayat, A. Aziz Alimul (2014). Metode penelitian keperawatan dan teknik analisis data.
Jakarta:Salemba Medika.

Janigro, D., Wender, R., Ramson, G., Tinklepaugh, D., & Winn, H. (1996). Adenosine-
Induced Release of Nitric Oxide from Cortical Astrocytes. Neuroreport, 1640-1644.

Junaidi, iskandar (2011). Stroke, waspadai ancamannya. Yogayakarta: Andi Offset.

Kozier, Barbara et al. (2011). Buku Ajar Fundamental Keperawatan: Konsep, proses, dan
praktik. Ed. 7 Vol.1. Jakarta: EGC.
Muttaqin, A. (2008). Buku Ajar Asuhan Keperawatan Klien dengan Gangguan Sistem
Persyarafan. Jakarta: Salemba Medika.

Muttaqin, Arif (2011). Buku ajar asuhan keperawatan klien dengan gangguan sistem
persarafan. Jakarta: Salemba medika.

Nurarif, Amin Huda danan Kusumahardhi (2013). Aplikasi asuhan keperawatan berdasarkan
diagnosis medis & NANDA NIC-NOC Yogyakarta: Media action.

Pusat Data dan Informasi Kementrian Kesehatan RI.(2013). Situasi Kesehatan Jantung. Info
Datin

Pearce, Evelyn C (2011). Anatomi dan fisiologi untuk paramedik. Jakarta: Gramedia.

Price, S. A., & Wilson, L. M. (2005). Patofisiologi Konsep Klinis Proses-Proses Penyakit.
Jakarta: EGC.

Rendi M Clevo (2012). Asuhan keperawatan medical bedah dan penyakit dalam.
Yogyakarta: Nuha Medika.

Ritter, A., & Robertson, C. (1994). Cerebral Metabolism. Neurosurgery Clinics of Nort
America, 633-645.
Sacco, et all (2013). An updated definition of stroke for the 21st century: a statement for
healthcare professionals from the American Heart Association/American Stroke
Association. US National Library of Medicine National Institute of Health :
Pubmed.gov.

Tabet, R. (2014, Agustus 24). Gejala Stroke dan Cara Cepat Penanganan untuk Menghindari
Cacat Permanen. Dipetik Maret 24, 2016, dari Situs Sains dan Kesehatan:
http://www.univer-science.com/2014/08/gejala-stroke-dan-cara-cepat.html

rd
Warlow, Charles et al (2008). Stroke : Practical Management, 3 edition. Malden, Mass. :
Blackwell Pub.

Woodward,Mestecky.(2011). Neuroscience Nursing. Evidence-Based Practice. Wiley-


Blackwell Publishing.Ltd.

Zauner, A., Daugherty, W., Bullock, M., & Warner, D. (2002). Brain Oxygenation and
Energy Metabolism: Part 1-Biologocal Function and Pathophysiology. Neurosurgery,
289-301.

Anda mungkin juga menyukai