TAHUN 2018
Disusun oleh :
KATA PENGANTAR
Puji syukur kehadirat Tuhan yang Maha Esa atas segala rahmat-Nya sehingga makalah
ini dapat tersusun hingga selesai. Saya berharap semoga makalah ini dapat menambah
pengetahuan serta wawasan pembaca.
Saya yakin masih banyak kekurangan dalam penyusunan makalah ini karena keterbatasan
pengetahuan dan pengalaman. Untuk itu saya sangat mengharapkan kritik dan saran yang
membangun dari pembaca demi kesempurnaan makalah ini.
Febri Sentika
DAFTAR ISI
Daftar Isi………………………………………………………………………
BAB I Pendahuluan
BAB II Pembahasan
A. Pengertian Gratifikasi………………………………………………….
B. Pemberian dalam Konsep Gratifikasi…………………………………
C. Contoh Kasus Gratifikasi di Indonesia………………………………..
A. Kesimpulan ……………………………………………………………..
B. Saran ……………………………………………………………………
Daftar Pustaka…………………………………………………………………
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Permasalahan korupsi merupakan permasalahan serius dalam suatu bangsa dan
merupakan kejahatan yang luar biasa serta dapat menggoyahkan sendi-sendi kehidupan
berbangsa dan bernegara. Sejak tahun 1998, masalah pemberantasan dan pencegahan korupsi
telah ditetapkan oleh Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia sebagai salah satu
agenda reformasi, tetapi hasil yang dicapai belum sesuai dengan yang diharapkan. Hal ini
berdampak semakin melemahkan citra Pemerintah dimata masyarakat, yang tercermin dalam
bentuk ketidakpercayaan masyarakat, ketidakpatuhan masyarakat terhadap hukum, dan
bertambahnya jumlah angka kemiskinan absolut. Apabila tidak ada perbaikan yang berarti, maka
kondisi tersebut akan sangat membahayakan kesatuan dan persatuan bangsa.
Termasuk didalam kebiasaan melakukan pungutan tambahan atas proses pengurusan
pembayaran pajak, perijinan, pengurusan pasport dan pengurusan KTP, maupun penerimaan baik
berupa barang atau uang yang diterima oleh penyelenggara negara maupun pegawai negeri
apabila ada kaitan langsung terhadap tugasnya. Maka penerimaan tersebut dapat dikategorikan
penerimaan gratifikasi. Di dalam Undang-undang No.20 tahun 2001 pasal 12B pemberian
gratifikasi tersebut dianggap perbuatan suap dan masuk kategori korupsi.
Itulah sebabnya sebabnya, penulis ingin membahas sedikit mengenai Gratifikasi karena
Gratifikasi ini merupakan sebuah pembahasan yang ringan tetapi mempunyai dampak dan efek
yg besar terhadap Tindak Pidana Korupsi.
B. Rumusan Masalah
C. Tujuan
A. Pengertian Gratifikasi
Menurut penjelasan Pasal 12B UU No. 20 Tahun 2001 yaitu Pemberian dalam arti luas,
yakni meliputi pemberian uang, barang, rabat (discount), komisi, pinjaman tanpa bunga, tiket
perjalanan, fasilitas penginapan, perjalanan wisata, pengobatan cuma-cuma, dan fasilitas
lainnya. Gratifikasi tersebut baik yang diterima di dalam negeri maupun di luar negeri dan yang
dilakukan dengan menggunakan sarana elektronik atau tanpa sarana elektronik.
Pengecualian:
Undang-Undang No. 20 Tahun 2001 Pasal 12 C ayat (1) :
Ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 12B ayat (1) tidak berlaku, jika penerima
melaporkan gratifikasi yang diterimanya kepada Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.
Dilihat dari perumusan ketentuan yang terdapat dalam pasal 12 B ayat (1), “gratifikasi”
bukan merupakan kualifikasi dari tindak pidana korupsi tentang gratifikasi, tetapi hanya
merupakan unsur dari tindak pidana korupsi tentang gratifikasi.[1]
Di negara-negara maju, gratifikasi kepada kalangan pejabat ini dilarang keras dan kepada
pelaku diberikan sanksi cukup berat, karena akan mempengaruhi pejabat tersebut dalam
menjalankan tugas dan pengambilan keputusan yang dapat menimbulkan ketidakseimbangan
dalam pelayanan publik.
Namun Pasal 12 C UU. No. 31 Tahun 1999 jo UU. No. 20 Tahun 2001 ini sebenarnya
telah memberikan pengecualian mengenai delik gratifikasi ini sendiri, dimana ditegaskan bahwa:
Ketentuan setiap gratifikasi dianggap pemberian suap tidak berlaku, jika penerima melaporkan
gratifikasi yang diterimanya kepada Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.
Penyampaian laporan wajib dilakukan oleh penerima gratifikasi paling lambat 30 (tiga puluh)
hari kerja terhitung sejak tanggal gratifikasi tersebut diterima.
Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi dalam waktu paling lambat 30 (tiga
puluh) hari kerja sejak tanggal menerima laporan wajib menetapkan gratifikasi dapat menjadi
milik penerima atau milik negara.
Dalam analisa yuridis dari ketentuan pasal 12B dan pasal 12 C UU. NO. 31 Tahun 1999 JO UU.
No. 20 Tahun 2001:
1. Gratifikasi sesungguhnya merupakan delik korupsi yang unik. Tidak seperti lazimnya
delik pidana lain, gratifikasi ternyata mensyaratkan tenggat waktu untuk ‘‘naik status
menjadi delik pidana sempurna’’. Jadi tidak mungkin ada kejadian “tertangkap tangan”
dalam kasus gratifikasi;
2. Gratifikasi yang terindikasi suap, ternyata dibagi menjadi dua jenis berdasarkan jumlah
dan beban pembuktiannya: kategori pertama, jika gratifikasi nilainya Rp 10 juta atau
lebih, maka beban Pembuktian gratifikasi tersebut bukan suap berada di tangan penerima,
sedangkan kategori kedua, jika kurang dari Rp 10 juta maka penuntut umum yang harus
membuktikan bahwa gratifikasi itu tergolong suap atau bukan.
3. Didalam penjelasan umum undang-undang Nomor 20 Tahun 2001 disebutkan:
“ketentuan mengenai pembuktian terbalik perlu ditambahkan dalam Undang-Undang
Nomor 31 Tahun 1999 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagai ketentuan
yang bersifat Premium Remedium dan sekaligus mengandung sifat prevensi khusus
terhadap pegawai negeri sebagai mana dimaksud dalam pasal 1 angka 2 atau terhadap
penyelengaraan negara sebagaimana dimaksud dalam pasal 2 Undang-Undang Nomor 28
Tahun 1999 Tentang Penyelenggaraan Negara Yang Bersih dan Bebas dari Korupsi,
kolusi dan nepotisme untuk tidak melakukantindak pidana korupsi. Pembuktian terbalik
ini diberlakukan pada tindak pidana baru tentang gratifikasi… dan seterusnya.”
Yang dimaksud dengan “tindak pidana baru tentang Gratifikasi” dalam penjelasan umum
tersebut adalah tindak pidana korupsitentang gratifikasi yang nilainya Rp.10.000.000
(sepuluh juta rupiah) atau lebih sebagai manadimaksud dalam pasal 12 B ayat (1) huruf a.
Yang merupakan tindak pidana dari ketentuan yang terdapat dalam pasal 12 B ayat (1)
tersebut bukan mengenai “pemberian gratifikasi” tetapi mengenai “penerimaan
gratifikasi”.[2]
4. UU TIPIKOR juga memberi “Peluang Lolos” bagi penerima gratifikasi dari ancaman
pidana. Syaratnya mudah, cukupo melapor. Pasal 12C menyatakan, bahwa gratifikasi
tidak berlaku jika penerima gratifikasi melapor ke KPK dan dilakukan paling lambat 30
hari kerja terhitung sejak gratifikasi diterima.
Penyidik KPK turut memasuki ruang kerja Zumi. Dari penggeledahan itu, tim penyidik KPK
membawa sejumlah dokumen pembahasan anggaran.
Selang satu bulan, penyidik KPK memanggil Zumi, tepatnya pada Jumat (5/1). Namun, usai
diperiksa Zumi membantah memerintahkan anak buahnya menyerahkan 'uang ketok' sebesar
Rp6 miliar kepada anggota DPRD Jambi untuk pengesahan RAPBD Jambi tahun anggaran 2018.
https://ekazai.wordpress.com/makalahartikel-hukum/hukum-pidana/makalah-gratifikasi/
https://www.kpk.go.id/id/layanan-publik/gratifikasi
https://www.cnnindonesia.com/nasional/20180201110315-12-273112/jejak-zumi-zola-
dalam-kasus-suap-rapbd-jambi-2018