Kultur Kalus Dan Suspensi Sel
Kultur Kalus Dan Suspensi Sel
NIM : 19/447355/PBI/01634
KULTUR KALUS DAN SUSPENSI SEL
A. Kultur Kalus
Kultur kalus (callus culture) merupakan teknik kultur jaringan yang menggunakan
sekumpulan sel yang tidak terorganisir yang berasal dari berbagai eksplan awal. Kalus
diinduksi dari eksplan organ tanaman yang mengalami pelukaan. Ketika organ tanaman
mengalami gangguan fisik atau pelukaan maka respon perbaikan diinduksi pada bagian yang
mengalami pelukaan. Respon ini bersama-sama dengan induksi pembelahan sel-sel utuh yang
berada di dekat pelukaan untuk menuutp pelukaan. Jika pelukaan tersebut diikuti dengan kultur
aseptis pada medium tertentu, maka respon awal pembelaahn dapat distimulasi dan diinduksi
untuk berlanjut secara terus menerus melalui pengaruh eksogen senyawa kimia tertentu.
Hasilnya adalah masa sel yang membelah terus menerus tanpa diferensiasi dan organisasi.
Massa agregate sel yang mengalami proliferasi terus-menerus disebut kalus (Anitasari et al.,
2018).
Secara morfologi, terdapat variasi kalus antara lain kalus komplak dan kalus friable. Kalus
kompak memiliki tekstur keras, bentuk tampak seragam/kompak, berwarna kehijauan dimana
antar sel mempunyai kontak yang sangat kuat dan ekstensif. Sedangkan kalus friable tersusun
atas aggregate sel-sel berukuran kecil yang berasosiasi kurang kuat, warna kalus kecoklatan
atau krem. Terdapat perbedaan penyusun dinding sel antara keduanya. Kalus kompak memiliki
lebih banyak polisakarida pada dinding selnya, lebih banyak pola fraksi dinding sel tetapi kadar
selolosa lebih rendah dibandingkan pektin dan hemiselulosa (Ikeuchi, Sugimoto, & Iwase,
2013).
Kultur kalus bertujuan untuk mendapatkan tanaman dalam jumlah banyak atau untuk
mendapatkan metabolit sekunder. Kalus dapat diinduksi melalui pelukaan dan penambahan
ZPT 2.4 D (diklorofenoksiasetat). Ketika tanaman dilukai sel akan mengalami luka dan
dihasilkan senyawa yang merangsang pembelahan sel untuk menyembuhkan bagian yang luka
sehingga terbentuk gumpalan sel yang belum terdiferensiasi. 2.4 D merupakan hormon auksin
sintesis. Penambahan 2.4 D dalam media kultur memiliki fungsi serupa dengan auksin,
digunakan untuk merangsang pembelahan dan pembesaran sel eksplan, menekan aktifitas
endogen tanaman sehingga terdiferensiasi menjadi kalus (Hashmi, Nester, Wright, & Lam,
2016).
Pemilihan Eksplan
Yang perlu mendapat perhatian pada pemilihan eksplan adalah, harus mengandung sel-
sel yang aktif membelah. Semua bagian tanaman yang masih muda (kecambah) sangat
responsif untuk induksi kalus. Bagian-bagian tanaman seperti embrio muda, hipokotil,
kotiledon, koleoptil, umbi akar wortel yang mengandung kambium dan batang muda
merupakan bagian yang mudah untuk dediferensiasi menghasilkan kalus.
Eksplan terbaik untuk induksi kalus adalah jaringan dari bagian-bagian semai (seedling)
yang dikecambahkan secara in vitro. Jaringan yang mengandung parenkim tidak hijau,
seperti parenkim empulur, mempunyai respon yang lebih baik dibandingkan dengan sel-sel
daun yang mengandung kloroplas. Ukuran eksplan juga penting untuk diperhatikan, idealnya
ukuran eksplan yang dikehendaki adalah yang kecil tetapi tetap mempunyai kemampuan yang
tinggi untuk membelah, hal ini dimaksudkan agar diperoleh sel-sel yang relative homogen.
Proses Pembentukan Kalus
Kalus hanya akan tumbuh pada eksplan yang ditanam pada media padat. Terbentuknya
kalus melalui proses yang dinamakan dediferensiasi. Proses tersebut merupakan proses
perubahan secara sitologi dan morfologi sel dewasa yang menjadi sel muda yang terus aktif
membelah. Induksi kalus dikatakan berhasil ditandai dengan jaringan eksplan yang bertambah,
terlihat menebal dan membengak juga kaku. Pada bagian eksplan yang mengalami perlukaan,
inisiasi pertumbihan kalus ditandai dengan terbentuknya nodul berwarna putih atau kehijauan.
Pada dasarnya kalus akan terbentuk secara alami sebagai respon akibat perlukaan. Sel-sel
disekitar perlukaan akan membelah secara cepatsehingga akan membentuk lapisan sel-se yang
menutup luka. Pada tahapan ini akan terjadi peningkatan aktivitas metabolime seperti produksi
polifenol untuk memperkuat dinding sel. Enzim-enzim pun disintesis untuk melindungi sel dari
berbagai serangan patogen seperti enzim kitinase yang disintesis untuk menghidrolisis
komponen kitin dindingsel fungi atau patogen (Hendaryono dan Wijayanti, 2004)
Meskipun kalus akan terbentuk secara alami sebagai respon akibat perlukaan, untuk
mendapatkan massa kalus dalam jumlah yang banyak diperlukan penambahan zat pengatur
tumbuh. ZPT yang sering digunakan yaitu 2.4 D, dicamba atau picloram. Dibanding dengan
golongan auksin IAA, 2.4 D memiliki sifat lebih stabil oleh enzim-enzim yang karena tidak
mudah terurai dikeluarkan oleh sel tanaman ataupun oleh pemanasan pada proses sterilisasi.
Selain itu 2.4 D menunjukan aktivitas yang lebih kuat. Aktivitas 2.4 D yang kuat dan optimal
ini disebabkan karena gugus karboksil yang dipisahkan oleh karbon atau karbon dan oksigen
(Indah & Ermavitalini, 2013).
Gambar 1. Metode Induksi Kalus. A dan B, molecular pathways pada induksi kalus. C, peta
kultur jaringan (Ikeuchi et al., 2013)
Anitasari, Septarini Dian; Sari, Dwi Nur Rikhma; Astarini, Ida Ayu & Defiani, Made Ria.
2018. Dasar Teknik Kultur Jaringan Tanaman. Yogyakarta: Deepublish.
Hashmi, F., Nester, C. J., Wright, C. R. F., & Lam, S. (2016). The evaluation of three treatments
for plantar callus: A three-armed randomised, comparative trial using biophysical
outcome measures. Trials, 17(1), 1–11. https://doi.org/10.1186/s13063-016-1377-2
Haque, S. M., Chakraborty, A., & Ghosh, B. (2018). Callus mediated shoot organogenesis and
regeneration of cytologically stable plants of Ledebouria revoluta: An ethnomedicinal
plant with promising antimicrobial potency. Journal of Genetic Engineering and
Biotechnology, 16(2), 645–651. https://doi.org/10.1016/j.jgeb.2018.05.002
Hendaryono, D.P.S., dan A. Wijayanti. 2004. Teknik kultur jaringan. Kanisius. Yogyakarta:
94.
Hutami, S. (2016). ULASAN Masalah Pencoklatan pada Kultur Jaringan. Jurnal AgroBiogen,
4(2), 83. https://doi.org/10.21082/jbio.v4n2.2008.p83-88
Indah, P. N., & Ermavitalini, D. (2013). Induksi Kalus Daun Nyamplung (Calophyllum
inophyllum Linn.) pada Beberapa Kombinasi Konsentrasi 6-Benzylaminopurine (BAP)
dan 2,4-Dichlorophenoxyacetic Acid (2,4-D). Sains Dan Seni Pomits, 2(1), 1–6.
Ikeuchi, M., Iwase, A., Rymen, B., Lambolez, A., Kojima, M., Takebayashi, Y., … Sugimoto,
K. (2017). Wounding triggers callus formation via dynamic hormonal and transcriptional
changes. Plant Physiology, 175(3), 1158–1174. https://doi.org/10.1104/pp.17.01035
Khosroushahi, A. Y., Naderi-Manesh, H., & Simonsen, H. T. (2011). Effect of antioxidants
and carbohydrates in callus cultures of Taxus brevifolia: Evaluation of browning, callus
growth, total phenolics and paclitaxel production. BioImpacts, 1(1), 37–45.
https://doi.org/10.5681/bi.2011.006
Kumlay, A. M., & Ercisli, S. (2015). Callus induction, shoot proliferation and root regeneration
of potato (Solanum tuberosum L.) stem node and leaf explants under long-day conditions.
Biotechnology and Biotechnological Equipment, 29(6), 1075–1084.
https://doi.org/10.1080/13102818.2015.1077685
Mastuti, Retno. 2017. Dasar-dasar Kultur Jaringan Tumbuhan. Malang: UB Press
Moscatiello R., Baldan B., Navazio L. (2013) Plant Cell Suspension Cultures. In: Maathuis
F. (eds) Plant Mineral Nutrients. Methods in Molecular Biology (Methods and
Protocols), vol 953.
Mustafa, N., de Winter, W., van Iren, F. et al. Initiation, growth and cryopreservation of plant
cell suspension cultures. Nat Protoc 6, 715–742 (2011).
https://doi.org/10.1038/nprot.2010.144
Xu, J., Ge, X., & Dolan, M. C. (2011). Towards high-yield production of pharmaceutical
proteins with plant cell suspension cultures. Biotechnology Advances, 29(3), 278–299.
https://doi.org/10.1016/j.biotechadv.2011.01.002