Anda di halaman 1dari 34

“MUNAKAHAT”

Diajukan untuk memenuhi tugas mata kuliah


Studi Fiqh

Dosen Pengampu :
Muhammad Amiruddin, Lc., M.Pd

Disusun Oleh :

Alfiyatul Mawaddah (17930041)


Dilla Amalia (17930052)
Mutia Tazkya (17930072)
Rufaie Jamal Rufai Mhmoud (17930089)
Toyibah (17930099)

MATA KULIAH STUDI FIQH


JURUSAN FARMASI
FAKULTAS KEDOKTERAN DAN ILMU KESEHATAN
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI MAULANA MALIK IBRAHIM
MALANG
2020
BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Allah telah menciptakan laki-laki dan perempuan sehingga mereka
dapat berhubungan satu sama lain, saling mencintai, menghasilkan keturunan,
serta hidup dalam kedamaian yang sesuai dengan perintah Allah dan petunjuk
Rasulallah SAW. Di dalam agama Islam, Allah menganjurkan kita untuk
melaksanakan pernikahan. Pernikahan merupakan sebuah proses dimana seorang
laki-laki dan seorang perempuan menyatukan hubungan mereka dalam ikatan
kekeluargaan dengan tujuan mengatur kehidupan rumah tangga dan keturunan.
Islam mendorong manusia untuk membentuk keluarga. Islam
mengajak manusia untuk membentuk keluarga, karena keluarga itu gambaran
kecil dalamkehidupan stabil yang menjadi pemenuhan keinginan manusia, tanpa
menghilangkan kebutuhannya. Pernikahan dalam Islam merupakan sebuah proses
yang sakral, mempunyai adab-adab tertentu dan tidak bisa dilakukan secara asal-
asalan. Jika pernikahan tidak dilaksanakan berdasarkan syariat Islam maka
pernikahan tersebut bisa menjadi perbuatan sebuah zina.
Dasar anjuran untuk menikah berdasarkan Al-Qur’an dan As-Sunnah sangat
banyak, salah satunya terdapat dalam firman Allah pada QS. An-Nuur [24] ayat
32 yang berbunyi:

Artinya: Dan kawinkanlah orang-orang yang sedirian diantara kamu, dan


orang-orang yang layak (berkawin) dari hamba-hamba sahayamu yang lelaki
dan hamba-hamba sahayamu yang perempuan. Jika mereka miskin Allah akan
memampukan mereka dengan kurniaNya. Dan Allah Maha luas (pemberian-Nya)
lagi Maha Mengetahui.
Berdasarkan ayat tersebut telah dijelaskan bahwa Allah memerintahkan
hambanya untuk menikah. Allah SWT. menjadikan pernikahan sebagai sarana
untuk berkasih sayang dan untuk mendapatkan ketenteraman antara seorang laki-
laki dan wanita. Karena pernikahan merupakan jalan yang paling efektif untuk
menjaga kehormatan diri menjauhkan seorang mukmin dari berbuat zina dan
dosa-dosa lainnya. Pernikahan juga sebagai satu-satunya jalan untuk mendapatkan
keturunan yang baik dan membina masyarakat yang ideal. Oleh karena itu ayat ni
juga mengharuskan orang tua untuk menjaga kehormatan keluarganya dengan
cara pernikahan tanpa terbebani dengan masalah harta atau yang lainnya. Oleh
karena itu, kita sebagai umat Islam harus mengetahui kiat-kiat pernikahan yang
sesuai dengan kaidah agama Islam agar pernikahan kita dinilai ibadah oleh Allah
SWT.

1.2 Rumusan Masalah


1. Apa yang dimaksud dengan nikah dan apa hukumnya?
2. Apa saja yang perlu dilakukan sebelum pernikahan?
3. Apakah ada pernikahan yang dilarang?
4. Apa hak dan kewajiban suami istri?
5. Apa hikmah dari suatu pernikahan?
6. Apa yang dimaksud talak, khulu’, fasah, dan rujuk?

1.3 Tujuan
1. Mengetahui definisi nikah dan hukumnya.
2. Mengetahui hal yang perlu dilakukan sebelum menikah.
3. Mengetahui pernikahan yang dilarang.
4. Mengetahui hak dan kewajiban suami istri.
5. Mengetahui hikmah dari suatu pernikahan.
6. Mengetahui definisi talak, khulu’, fasah dan rujuk.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

Menurut segi bahasa, fiqih berasal dari kata “faqaha” yang berarti
“memahami” dan “mengerti” (Koto, 2004). Fiqih biasa disebut Hukum Islam
yang secara definitif diartikan sebagai “seperangkat peraturan berdasarkan wahyu
ilahi dan penjelasannya dalam sunnah Nabi tentang tingkah laku manusia
mukallaf yang diakui dan diyakini mengikat untuk semua yang beragama Islam”.
Dengan demikian, maka pengertian fiqih itu mengikat untuk semua umat Islam
dalam arti merupakan kewajiban umat Islam untuk mengamalkannya.
Mengamalkannya merupakan suatu ibadah dan melanggarnya merupakan suatu
pelanggaran terhadap perintah yang telah ditetapkan oleh Allah (Syarifuddin,
2006).
Fiqih berarti mengetahui, memahami, dan mendalami ajaran agama secara
keseluruhan. Jadi pengertian fiqih dalam arti yang sangat luas sama dengan
pengertian syariah. Orang yang ahli dalam fiqih disebut sebagai fuqaha (Djazuli,
2006). Tujuan akhir dari ilmu fiqih yaitu untuk mencapai keridloan Allah SWT.
dengan melaksanakan syariat-Nya, sebagai pedoman hidup individual, hidup
berkeluarga, maupun bermasyarakat. Abdul Wahab Khallaf mengatakan bahwa
maksud akhir yang hendak dicapai dari ilmu fiqih adalah penerapan hukum
syari’at kepada amal perbuatan manusia, baik tindakan maupun perbuatannya
(Koto, 2004).
Sedangkan munakahat berarti pernikahan atau perkawinan. Kata dasar
pernikahan adalah nikah. Menurut kamus bahasa Indonesia, kata nikah berarti
berkumpul atau bersatu. Pernikahan adalah suatu lembaga kehidupan yang
disyariatkan dalam agama Islam. Pernikahan merupakan suatu ikatan yang
menghalalkan pergaulan laki-laki dengan seorang wanita untuk membentuk
keluarga yang bahagia dlan mendapatkan keturunan yang sah. Nikah adalah fitrah
yang berarti sifat asal dan pembawaan manusia sebagai makhluk Allah SWT.
Tujuan pernikahan adalah untuk mewujudkan rumah tangga yang sakinah,
mawaddah, warahmah, serta bahagia di dunia dan akhirat (Azis, 2005).
Pernikahan merupakan sunatullah yang umum dan berlaku pada semua
mahluk-Nya, baik pada manusia, hewan, maupun tumbuh-tumbuhan. Ia adalah
suatu cara yang dipilih oleh Allah SWT, untuk berkembang biak, dan
melestarikan hidupnya. Dalam pengertian yang lebih luas, pernikahan merupakan
suatu ikatan lahir batin antara laki-laki dan perempuan, untuk hidup bersama
dalam satu rumah tangga dan keturunan yang dilaksanakan menurut syariat islam
(Rifai, 2001).
Dalam konsep kontemporer, antara lain sebagaimana terlihat dalam
Undang-undang No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, pernikahan didefinisikan
sebagai ikatan lahir batin antara seorang pria dengan seorang wanita sebagai
suami istri dengan tujuan membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan
kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa. Sedangkan di dalam Kompilasi
Hukum Islam pernikahan adalah akad yang sangat kuat atau mitsaqan ghalizhah
untuk menaati perintah Allah dan melaksanakannya merupakan ibadah (Nasir,
2010).
Pernikahan dalam Islam bukan semata demi memenuhi nafsu seksualitas
semata, akan tetapi mempunyai tujuan utama sebagaimana dalam surat Ar-Rum
[30] ayat 21, Allah berfirman:

Artinya: Dan di antara tanda-tanda kekuasaan-Nya ialah Dia


menciptakan
untukmu istri-istri dari jenismu sendiri, supaya kamu cenderung dan merasa
tenteram kepadanya, dan dijadikan-Nya di antaramu rasa kasih dan sayang.
Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda bagi
kaum yang berpikir.
Dari ayat di atas, dapat diketahui ada tiga tujuan utama dari menikah.
Pertama, untuk menenangkan dan menenteramkan jiwa (litaskunu ilaiha).
Ketenangan jiwa dan pikiran merupakan hal yang sangat penting bagi
keberhasilan dan kesuksesan seseorang. Seseorang akan mempunyai peluang yang
sangat besar untuk maju dan berhasil manakala hati, pikiran dan jiwanya sudah
tenang. Dengan menikah, bayangan-bayangan dan khayalan-khayalan masa muda,
tertumpah sudah. Bahkan, karena kini dia sudah mempunyai "tempat" khusus,
gejolak itu tidak akan terlalu membludak manakala melihat wanita lain yang
menggoda. Kedua, dengan menikah juga untuk menimbulkan rasa mawaddah,
cinta kasih
kepada keluarga. Setiap manusia memiliki keinginan untuk mencintai dan
mengasihi orang yang didambakannya. Manakala cinta kasihnya ini tidak
disalurkan kepada orang tertentu, maka ia akan mencari benda lain atau hal lain
untuk menumpahkan cinta kasihnya itu. Ketiga, dengan menikah juga untuk
menimbulkan rasa kasih sayang, rahmah. Sebagaimana rasa mawaddah, manusia
juga mempunyai naluri untuk menyayangi sesamanya. Sayang, rahmah, tidak
sama dengan mencintai. Sayang, rahmah, jauh di atas mencintai. Rasa sayang
biasanya muncul dari lubuk hati yang paling dalam. Ia lahir bukan karena
dorongan nafsu seksual, kebutuhan biologis atau hal-hal lahiriyah lainnya. Ia
betul-betul tumbuh dari dalam jiwa setelah bergaul dan lama mengenal
pasangannya. Naluri rasa sayangnya ini akan ditumpahkan untuk keluarganya
terutama untuk istri dan anak-anaknya (Darusmanwiati, 2005).
Dapat dipahami bahwa menikah dalam rangka pembentukan keluarga
bukan saja untuk pemenuhan kebutuhan naluri insani manusia. Tetapi
pembentukan keluarga merupakan salah satu perintah agama, yang berfungsi
untuk menjaga dan melindungi manusia dari berbagai penyelewengan dalam
pemenuhan kebutuhan seksual. Oleh karena itu, kesadaran bahwa menikah
merupakan perintah agama dan merupakan sunah Nabi akan membawa implikasi
positif terhadap kelangsungan keluarga yang dibentuk (Zulaikha, 2015).
BAB III
PEMBAHASAN

3.1 Apa yang dimaksud dengan nikah dan apa hukumnya?


Islam memandang bahwa pernikahan merupakan sesuatu yang luhur dan
sakral, bermakna ibadah kepada Allah, mengikuti Sunnah Rasulullah dan
dilaksanakan atas dasar keikhlasan, tanggungjawab, dan mengikuti ketentuan-
ketentuan hukum yang harus diindahkan. Dalam Undang-Undang RI Nomor 1
tahun 1974 tentang Perkawinan Bab I pasal 1, perkawinan ialah ikatan lahir bathin
antara seorang pria dengan seorang wanita sebagai suami-isteri dengan tujuan
membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan
Ketuhanan Yang Maha Esa.
Tujuan pernikahan, sebagaimana difirmankan Allah s.w.t. dalam surat
Ar-Rum ayat 21 “Dan di antara tanda-tanda kekuasaan-Nya ialah Dia
menciptakan untukm pasangan hidup dari jenismu sendiri, supaya kamu
cenderung dan merasa tenteram kepadanya dan dijadikan-Nya di antaramu rasa
kasih sayang (mawaddah warahmah). Sesungguhnya pada yang demikian itu
menjadi tanda-tanda kebesaran-Nya bagi orang-orang yang berfikir”. Mawaddah
warahmah adalah anugerah Allah yang diberikan kepada manusia, ketika manusia
melakukan pernikahan. Pernikahan merupakan sunah nabi Muhammad saw.
Sunnah dalam pengertian mencontoh tindak laku nabi Muhammad saw.
Perkawinan diisyaratkan supaya manusia mempunyai keturunan dan keluarga
yang sah menuju kehidupan bahagia didunia dan akhirat, di bawah naungan cinta
kasih dan ridha Allah SWT, dan hal ini telah diisyaratkan dari sejak dahulu, dan
sudah banyak sekali dijelaskan di dalam al-Qur’an:
Dan kawinkanlah orang-orang yang sedirian diantara kamu, dan orang-
orang yang layak (berkawin) dari hamba-hamba sahayamu yang lelaki dan
hamba-hamba sahayamu yang perempuan. jika mereka miskin Allah akan
memampukan mereka dengan kurnia-Nya. dan Allah Maha Luas (pemberian-Nya)
lagi Maha mengetahui. (QS. Al Nuur/24 : 32)
Istilah nikah berasal dari bahasa Arab, yaitu ( ‫ النكاح‬,( adapula yang
mengatakan perkawinan menurut istilah fiqh dipakai perkataan nikah dan
perkataan zawaj. Sedangkan menurut istilah Indonesia adalah perkawinan.
Dewasa ini kerap kali dibedakan antara pernikahan dan perkawinan, akan tetapi
pada prinsipny perkawinan dan pernikahan hanya berbeda dalam menarik akar
katanya saja. Perkawinan adalah ;
Sebuah ungkapan tentang akad yang sangat jelas dan terangkum atas
rukun-rukun dan syarat-syarat.
Para ulama fiqh pengikut mazhab yang empat (Syafi’i, Hanafi, Maliki, dan
Hanbali) pada umumnya mereka mendefinisikan perkawinan pada :
Akad yang membawa kebolehan (bagi seorang laki-laki untuk
berhubungan badan dengan seorang perempuan) dengan (diawali dalam akad)
lafazh nikahatau kawin, atau makna yang serupa dengan kedua kata tersebut.
Dalam kompilasi hukum islam dijelaskan bahwa perkawinan adalah
pernikahan, yaitu akad yang kuat atau mitsaqan ghalizhan untuk mentaati perintah
Allah dan melaksanakannya merupakan ibadah. Dari beberapa terminologi yang
telah dikemukakan nampak jelas sekali terlihat bahwa perkawinan adalah fitrah
ilahi. Hal ini dilukiskan dalam Firman Allah:
Dan di antara tanda-tanda kekuasaan-Nya ialah Dia menciptakan untukmu
isteri-isteri dari jenismu sendiri, supaya kamu cenderung dan merasa tenteram
kepadanya, dan dijadikan-Nya diantaramu rasa kasih dan sayang. Sesungguhnya
pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda bagi kaum yang berfikir.
(QS.Ar-Rum ayat 21).

3.1.1 Rukun Nikah


a. Wali
Berdasarkan sabda Rasulullah Sallallahu `Alaihi Wasallam:
“ Wanita mana saja yang menikah tanpa izin walinya maka nikahnya bata...
batal.. batal.” (HR Abu Daud, At-Tirmidzy dan Ibnu Majah)
b. Saksi
Rasulullah sallallahu `Alaihi Wasallam bersabda:
“Tidak ada nikah kecuali dengan wali dan dua saksi yang adil.”(HR Al-
Baihaqi dan Ad-Daaruquthni. Asy-Syaukani dalam Nailul Athaar berkata :
“Hadist dikuatkan dengan hadits-hadits lain.”)
c. Akad Nikah
Akad nikah adalah perjanjian yang berlangsung antara dua pihak yang
melangsungkan pernikahan dalam bentuk ijab dan qabul. Ijab adalah penyerahan
dari pihak pertama, sedangkan qabul adalah penerimaan dari pihak kedua. Ijab
dari pihak wali si perempuan dengan ucapannya, misalnya: “Saya nikahkan anak
saya yang bernama si A kepadamu dengan mahar sebuah kitab Riyadhus
Shalihin.” Qabul adalah penerimaan dari pihak suami dengan ucapannya,
misalnya: “Saya terima nikahnya anak Bapak yang bernama si A dengan mahar
sebuah kitab Riyadhus Shalihin.”
Dalam aqad nikah ada beberapa syarat dan kewajiban yang harus dipenuhi:
1) Adanya suka sama suka dari kedua calon mempelai.
2) Adanya Ijab Qabul.
3) Adanya Mahar.
4) Adanya Wali.
5) Adanya Saksi-saksi.
Untuk terjadinya aqad yang mempunyai akibat-akibat hukum pada suami
istri haruslah memenuhi syarat-syarat sebagai berikut :
1) Kedua belah pihak sudah tamyiz.
2) Ijab qobulnya dalam satu majlis, yaitu ketika mengucapkan ijab qobul tidak
boleh diselingi dengan kata-kata lain, atau menurut adat dianggap ada penyelingan
yang menghalangi peristiwa ijab qobul. Di dalam ijab qobul haruslah
dipergunakan kata-kata yang dipahami oleh masing-masing pihak yang
melakukan aqad nikah sebagai menyatakan kemauan yang timbul dari kedua
belah pihak untuk nikah, dan tidak boleh menggunakan kata kata kasar. Dan
menurut sunnah sebelum aqad nikah diadakan khutbah terlebih dahulu yang
dinamakan Khutbatun Nikah atau Khutbatul Hajat.
Syeikh Abu Bakar Jabir Al-Jazaairi berkata dalam kitabnya Minhaajul
Muslim. “Ucapan ketika akad nikah seperti: Mempelai lelaki : “Nikahkanlah aku
dengan putrimu yang bernama Fulaanah.” Wali wanita : “Aku nikahkan kamu
dengan putriku yang bernama Fulaanah.” Mempelai lelaki : “Aku terima nikah
putrimu.”
d. Mahar (Mas Kawin)
Mahar merupakan tanda kesungguhan seorang laki-laki untuk menikahi
seorang wanita.Mahar juga merupakan pemberian seorang laki-laki kepada
perempuan yang dinikahinya, yang selanjutnya akan menjadi hak milik istri secara
penuh. Kita bebas menentukan bentuk dan jumlah mahar yang kita inginkan
karena tidak ada batasan mahar dalam syari’at Islam,tetapi yang disunnahkan
adalah mahar itu disesuaikan dengan kemampuan pihak calon suami. Namun
Islam menganjurkan agar meringankan mahar. Rasulullah saw. bersabda: “Sebaik-
baik mahar adalah mahar yang paling mudah (ringan).”(H.R. Al-Hakim: 2692)

3.1.2 Hukum Nikah


Adapun hukum menikah, dalam pernikahan berlaku hukum taklifi yang lima
yaitu :
a. Wajib bagi orang yang sudah mampu nikah,sedangkan nafsunya telah
mendesak untuk melakukan persetubuhan yang dikhawatirkan akan
terjerumus dalam praktek perzinahan.
b. Haram bagi orang yang tidak mampu memenuhi kebutuhan nafkah lahir dan
batin kepada calon istrinya,sedangkan nafsunya belum mendesak.
c. Sunnah bagi orang yang nafsunya telah mendesak dan mempunyai
kemampuan untuk nikah,tetapi ia masih dapat menahan diri dari berbuat
haram.
d. Makruh bagi orang yang lemah syahwatnya dan tidak mampu member
belanja calon istrinya.
e. Mubah bagi orang tidak terdesak oleh alas an-alasan yang mewajibkan
segera nikah atau karena alas an-alasan yang mengharamkan untuk nikah.

3.2 Apa saja yang perlu dilakukan sebelum pernikahan?


Kesiapan menikah ini pada dasarnya penting untuk dipelajari dikarenakan
kesiapan menikah merupakan dasar dari pengambilan keputusan dengan siapa
individu menikah, kapan pernikahan tersebut dilangsungkan dan apa alasan
mereka menikah serta bagaimana perlaku mereka kemudian dalam relasi
pernikahan. Peneliti lain juga menyatakan bahwa persepsi terhadap kesiapan
menikah, perasaan dan sikapnya tentang pernikahan merupakan kunci dari
keputusan individu untuk menikah dan merupakan siginifikan predictor dari
kepuasan pernikahan mereka kelak(Sari,dkk., 2016).
Adapun ahli yang mengawali penelitian tentang persiapan pernikahan
adalah Larson (1988) menyatakan bahwa kesiapan menikah adalah evaluasi
subjektif terhadap kesiapan seseorang untuk menerima tanggung jawab dan
tantangan dalam pernikahan. Ia juga menemukan bahwa usia dan status
pernikahan orang tua seperti keluarga yang bahagia ataupun keluarga bercerai
tidak berhubungan dengan persepsi terhadap pernikahan(Sari,dkk., 2016).
Peneliti lain, Sarah B. (2005) menemukan bahwa individu dewasa
muda (emerging adult) mempersepsikan bahwa kesiapan menikah berperan
penting dalam masa transisi mereka menuju usia dewasa. Sarah B. (2005) juga
menemukan bahwa individu dewasa muda memiliki budaya yang unik dalam
mempersiapkan pernikahan mereka yang tentunya berbeda dibandingkan pada
masa orang tua atau kakek nenek mereka. Stinnet (dalam Badger,2005)
mengatakan bahwa kesiapan menempuh pernikahan berkaitan erat dengan
kompetensi menjalani kehidupan pernikahan, yaitu kemampuan dalam
melaksanakan perannya untuk memenuhi kebutuhan pasangan sehingga
meningkatkan kualitas hubungan dengan pasangannya dalam
pernikahan(Sari,dkk., 2016).
Holman dan Li (dalam Badger, 2005) juga mengatakan bahwa kesiapan
individu dalam menempuh pernikahan sangat ditentukan oleh factor-faktor
pranikah, yaitu: (Sari,dkk., 2016).
1. Proses interaksi pasangan
2. Latar belakang individu
3. Sifat dan sikap individu
4. Persetujuan atau dukungan dari orang-orang yang dekat.
Selain itu, penelitian di Iran mengenai kesiapan menikah di teliti oleh
Ghalili, Etemadi, Ahmadi, Fatehizadeh dan Abedi (2012) yang menemukan
bahwa usia dewasa muda yang masih lajang memiliki budaya yang unik mengenai
kriteria kesiapan menikah dibandingkan dengan dewasa muda lajang yang tinggal
di Bagian Barat daerah Industri. Partisipan menunjukkan bahwa terdapat 9
kategori utama yang penting bagi mereka untuk kesiapan menikah: kesiapan
umur, kesiapan fisik, kesiapan mental, kesiapan keuangan, kesiapan moral,
kesiapan emosional, kesiapan kontekstual-sosial, kesiapan interpersonal dan
keterampilan dalam kehidupan pernikahan(Sari,dkk., 2016).
Menurut Gunnels (2013) hal-hal yang mempengaruhi kesiapan menikah
berpengaruh pada prevensi perceraian. Oleh sebab itu, mengetahui dan menilai
bahwa ada hal-hal yang dianggap penting dan perlu untuk dimiliki oleh seseorang
sebelum menikah, dapat menjadi dasar bagi kelompok muslim dewasa muda
untuk menghindari kemungkinan perceraian pada pernikahannya(Sari,dkk., 2016).

3.3 Apakah ada pernikahan yang dilarang? (Hermanto,A., 2017)


Para ulama klasik sepakat bahwa yang dimaksud dengan larangan dalam
perkawinan ialah larangan untuk kawin antara seorang pria dengan seorang
wanita, sedangkan menurut syarâ’, larangan tersebut dibagi dua, yaitu halangan
abadi (haram ta’bîd) dan halangan sementara (haram gairu ta’bîd/ ta’qít). Wanita
yang terlarang untuk dikawini itu disebut mahram. Diantara larangan-larangan ada
yang telah disepakati dan ada yang masih diperselisihkan.
1. Mahram Ta’bîd adalah orang-orang yang selamanya haram dikawin.
Larangan yang telah disepakati ada tiga, yaitu:
a. Nasab (keturunan), dalam perspektif fikih, wanita-wanita yang haram
dinikahi untuk selamanya (ta’bîd) karena pertalian nasab adalah;
1) Ibu Kandung, perempuan yang ada hubungan darah dalam garis keturunan
garis keatas, yaitu ibu, nenek (baik dari pihak ayah maupun ibu dan
seterusnya keatas),
2) Anak perempuan kandung, wanita yang mempunyai hubungan darah
dalam garis lurus kebawah, yakni anak perempuan, cucu perempuan, baik
dari anak laki-laki maupun perempuan dan seterusnya kebawah,
3) Saudara perempuan, baik seayah seibu, seayah saja, atau seibu saja,
4) Bibi, adalah saudara perempuan ayah atau ibu, baik saudara sekandung
ayah atau ibu dan seterusnya keatas,
5) Kemenakan (keponakan) perempuan, yaitu anak perempuan saudara laki-
laki atau perempuan dan seterusnya.
Menurut UU No. 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan Pasal 8, bahwa
perkawinan dilarang antara dua orang yang; 1) Berhubungan darah dalam garis
keturunan lurus ke bawah atau pun keatas, 2) Bergaris keturunan menyamping,
yaitu antara saudara, antara seorang dengan saudara orang tua dan antara orang
dengan saudara neneknya.
Sedangkan dalam KHI Bab IV tentang Larangan Perkawina Pasal 39
menyebut, dilarang melangsungkan perkawinan antara seorang pria dengan
seorang wanita disebabkan karena pertalian nasab; a) dengan orang yang
melahirkan atau yang menurunkannya atau keturunannya, b) dengan seorang
wanita keturunan ayah atau ibu, c) dengan seorang wanita saudara yang
melahirkannya.
Dari uraian di atas, dapat difahami bahwa nasab menjadi keharaman dalam
perkawinan, hal ini relevan dengan UU Perkawinan dan juga KHI, kalimat yang
digunakan sangat singkat akan tetapi sangat tegas. Hal ini yang menjadi maqâsid
al-syarî’ah yaitu menjaga nasab (hifz al-nasl), menjaga dari memikirkan syahwat
terhadap perempuan-perempuan yang diharamkannya. Orang yang merasakan
syahwat terhadap ibunya atau berfikir untuk bersenang-senang dengannya, karena
cinta kasih yang terjalin, pemberian yang mulia yang dibawa dalam hati anak laki-
laki terhadap ibunya dari segi fitrah yang bersih. Semua itu mencegah anak laki-
laki untuk mengarah pada pandangan yang salah, didasarkan pada ketetapan
pernikahan kerabat-kerabat tersebut dari bertentangan hak-hak, memenuhi
kewajiban-kewajiban. Tentang keharaman menikahi ibu, dikatakan dalam
ketetapan keharaman perempuan-perempuan berdasarkan keturunan nasab.

b. Persusuan (radhā’ah),
Menurut pandangan para ulama, bahwa larangan kawin karena hubungan
sesusuan adalah sampainya air susu wanita ke dalam perut anak yang belum
mencapai usia dua tahun Hijriyah dengan metode tertentu. Wanita atau laki-laki
yang mempunyai mahram dari jalur susu mempunyai keistimewaan dan kekebalan
hukum sebagaimana mahram yang terbentuk dari jalur nasab. Yaitu antara laki-
laki dan wanita yang terikat dalam mahram radâ’ tidak boleh saling mengawini.
Para ulama klasik sepakat bahwa wanita yang haram dinikahi karena
hubungan sesusuan adalah segala macam susuan yang dapat menjadi sebab
haramnya perkawinan, yaitu dimana anak menyusu tetek dengan menyedot air
susunya, dan tidak berhenti dari menyusui kecuali dengan kemaunnya sendiri
tanpa paksaan.
Hubungan sesusuan yang diharamkan adalah; 1) Ibu susuan (Ibu radâ’/
murdî’ah/ wanita yang menyusui), yaitu ibu yang menyusui, maksudnya seorang
wanita yang pernah menyusui seorang anak, dipandang sebagai ibu bagi anak
yang disusui itu sehingga haram melakukan perkawinan. 2) Nenek susuan, yaitu
ibu dari yang pernah menyusui atau ibu dari suami yang menyusui itu, suami dari
ibu yang menyusui itu dipandang seperti ayah bagi anak susuan sehingga haram
melakukan perkawinan. 3) Bibi susuan, yakni saudara perempuan ibu susuan atau
saudara perempuan suami dari ibu susuan dan seterusnya keatas. 4) Kemenakan
susuan perempuan; anak perempuan saudara ibu susuan. 5) Saudara susuan
perempuan, saudara seayah kandung maupun seibu.
Sebagai penjelasan hubungan persusuan ini dapat dikemukakan beberapa
hal, susuan yang mengakibatkan keharaman perkawinan ialah susuan yang
diberikan pada anak yang masih memperoleh makanan dari air susu, mengenai
beberapa kali seorang ibu bayi menyusui pada seorang ibu yang menimbulkan
keharaman perkawinan seperti keharaman hubungan nasab sebagaimana tersebut
dalam hadis diatas, dengan melihat dalil yang kuat, ialah yang tidak dibatasi
jumlahnya, asal seorang bayi telah menyusu dan kenyang pada perempuan itu
menyebabkan keharaman perkawinan. Demikian pendapat Hanafi dan Maliki.
Menurut Syafi’i, sekurang-kurangnya lima kali susuan dan mengenyangkan.
Adapun pendapat Tsawr Abu Ubaid, Daud Ibnu Ali al-Zahiriy dan Ibnu
Muzakkir, sedikitnya tiga kali susuan yang mengenyangkan.
Didalam UU Perkawinan No. 1 tahun 1974, dalam pasal 8 huruf d,
dijelaskan bahwa perkawinan dilarang antara dua orang yang berhubungan
susuan, yaitu orang tua susuan, anak susuan, saudara susuan dan bibi/paman
susuan. Sedangkan dalam KHI Pasal 39 ayat 3 dijelaskan pula tentang larang
perkawinan karena persusuan, dinyatakan bahwa dilarang melangsungkan
perkawinan antara seorang pria dengan seorang wanita disebabkan; Karena
pertalian sesusuan; 1) dengan wanita yang menyusuinya dan seterusnya menurut
garis keturunan keatas, 2) dengan seorang wanita sesusuan dan seterusnya
menurut garis lurus kebawah, 3) denga seorang wanita saudara sesusuan, dan
kemenakan sesusuan kebawah, 4) dengan seorang wanita bibi sesusuan dan nenek
bibi sesusuan keatas, 5) dengan anak yang disusui oleh istrinya dan keturunannya.
Dari uraian di atas dapat dianalisa bahwa UU Perkawinan dan KHI relevan
dengn fikih klasik, hanya saja dalam UU Perkawinan dan KHI tidak secara detail
membahas tentang jumlah persusuan, hanya membahas secara umum tentang
keharaman perkawinan karena nasab.
c. Wanita yang haram dinikahi karena hubungan masaharah atau perkawinan
kerabat semenda,
Keharaman ini disebutkan dalam surat al-Nisâ’ ayat 23. Jika diperinci
tersebut; 1) Mertua perempuan, nenek perempuan istri dan seterusnya keatas, baik
dari garis ibu atau ayah. 2) Anak tiri, dengan syarat kalau telah terjadi hubungan
kelamin dengan ibu anak tersebut. 3) Menantu, yakni istri anak, istri cucu dan
seterusnya kebawah. 4) Ibu tiri, yakni bekas istri ayah, untuk kali ini tidak
disyaratkan harus adanya hubungan seksual antara ibu dengan ayah. Persoalan
dalam hubungan musaharah adalah keharaman ini disebabkan karena semata-mata
akad (perkawinan) yang sah, atau dapat juga dikarenakan perzinahan.
Imam Syafi’i berpendapat bahwa larangan perkawinan karena musaharah
hanya disebabkan oleh semata-mata akad saja, tidak bisa karena perzinaan,
dengan alasan tidak layak perzinaan yang dicela itu disamakan dengan hubungan
musaharah. Sebaliknya, Imam Abu Hanifah berpendapat bahwa larangan
perkawinan karena musaharah, disamping disebabkan akad yang sah, bisa juga
disebabkan karena perzinaan.
Para Imam Madzhab sepakat apabila ibu dari seorang perempuan yang
dinikahi dan telah dicampuri maka anak perempuan itu tidak boleh dinikahi oleh
orang yang menikahi ibunya, meskipun anak perempuan itu tidak berada dalam
asuhannya. Daud berkata: ‚Jika anak perempuan tersebut tidak berada dibawah
kekuasaannya maka ia boleh dinikahi‛.
Keharaman perempuan musaharah, yaitu mahram karena hubungan
perbesanan, bergantung pada terjadinya percampuran pada kemaluannya, tapi
dengan dorongan syahwat. Menurut Imam Hanafi,hal demikian dapat
mengakibatkan keharamannya. Bahkan menurutnya, melihat kemaluan sama
dengan bercampur dalam hal keharaman mengawini musaharah. Istri ayah (ibu
tiri) haram dikawin, hal ini menjadi kesepakatan para ulama atas dasar semata-
mata akad walaupun tidak disetubuhi. Kalau sudah terjadi akad nikah, baik sudah
disetubuhi atau belum namanya adalah ‚istri ayah‛ (zaujat al-abi).
Ibu istri (mertua) tergolong didalamnya nenek dari istri dan ibu dari ayah istri
hingga keatas. Mereka digolongkan dalam ummahat al-nisâ’i (ibu-ibu istri). Anak
istri (anak tiri) dengan syarat keharamannya karena telah menyetubuhi ibunya;
artinya kalau eorang pria dan seorang wanita baru terikat dengan hanya semata
akad (belum terjadi persetubuhan) maka mengawini anaknya tidak haram (boleh).
Sebagian ulama berpendapat, ini berlaku pula secara timbal balik ibu istri
(mertua), artinya, haram pula mengawini ibu istri (mertua) hukumnya tidak haram
sedangkan yang lainnya (jumhúr) berpendapat, syarat persetubuhan itu hanya
berlaku bagi anak tiri, tidak berlaku bagi mertua.
Jumhur ulama melihat persyaratan persetubuhan itu hanya berlaku untuk
anak tiri saja, tidak untuk ibu istri (mertua), karena sifat itu kembali kepada
maushuf yang terdekat saja. Sebaliknya, syarat persetubuhan itu berlaku pada dua
maushuf (yang disifati), yaitu anak tiri dan ibu isteri.
Dalam UU No 1 tahun 1974 Tentang Perkawinan pasal 8 huruf c,
bahwa perkawinan dilarang antara dua orang yang berhubungan semenda, yaitu
mertua, anak tiri, menantu dan ibu/bapak tiri.
Dalam KHI Pasal 39 ayat 2, dilarang melangsungkan perkawinan antara
seorang pria dengan seorang wanita disebabkan karena pertalian kerabat semenda;
a) dengan seorang wanita yang melahirkan istrinya atau bekas istrinya. b) dengan
seorang wanita bekas istri orang yang menurunkannya. c) dengan seorang wanita
keturunan istri atau bekas istrinya, kecuali putusnya hubungan perkawinan dengan
bekas istrinya itu qobla al-dukhûl. d) dengan seorang wanita bekas istri
keturunannya.
Kebanyakan fuqaha’ berpendapat bahwa perkawinan laki-laki dengan wanita
zina dibolehkan, sebab ia tidak tersangkut kepada hak orang lain, bukan istri dan
bukan pula orang yang menjalani ‘iddah. Ada lagi sebagian fuqaha’ yang
berpendapat lain, wanita zina tidak boleh dikawini.
Untuk lebih jelas dapat diadakan perincian kemungkinan-kemungkinan
sebagai berikut:
1) Wanita zina kawin dengan laki-laki kawan berzinanya sebelum nampak
hamil akibat zina yang dilakukan.
2) Wanita zina kawin dengan laki-laki kawan berzinanya dalam keadaan hamil
akibat zina yang dilakukan. Dalam dua macam kemungkinan tersebut,
menurut pendapat kebanyakan fuqaha’, laki-laki kawan berzina boleh
mengawininya seketika, tanpa menanti ada atau tidaknya tanda-tanda
kehamilan pada kemungkinan pertama, dan tanpa menanti kelahiran anak
pada kemungkinan kedua; suami dibolehkan mengadakan persetubuhan
sesudah akad.
3) Wanita zina kawin dengan laki-laki lain, bukan kawan berzinanya, padahal
ia dalam keadaan hamil dari zina.
4) Wanita zina kawin dengan leleki bukan pezinanya, tetapi tidak dalam
keadaan hamil
Para Imam Madzhab sepakat bahwa, apabila seorang perempuan berbuat zina
maka pernikahannya tidak batal. Namun, diriwayatkan dari Ali ra. dan Hasan al-
Basri bahwa dalam hal demikian, pernikahan itu menjadi batal. Apabila seorang
pezina, maka suaminya boleh langsung mencampuri tanpa iddah, akan tetapi jika
ia hamil maka makrûh menyetubuhinya hingga ia melahirkan, menurut Hanafi
dan Syafi’i.

3.4 Hak dan Kewajiban Suami Isteri Menurut Hukum Islam


1. Pengertian Hak dan Kewajiban Suami Isteri
Perkawinan adalah perjanjian antara laki-laki dan perempuan untuk
menempuh kehidupan rumah tangga. Sejak mengadakan perjanjian melalui akad,
kedua belah pihak telah terikat dan sejak itulah mereka mempunyai kewajiban dan
hak, yang tidak mereka miliki sebelumnya (Saebani, 2010).
Yang dimaksud dengan hak di sini adalah apa-apa yang diterima oleh
seseorang dari orang lain, sedangkan kewajiban adalah apa yang mesti dilakukan
seseorang terhadap orang lain. Kewajiban timbul karena hak yang melekat pada
subyek hukum (Syarifuddin, 2007).
Sesudah pernikahan dilangsungkan, kedua belah pihak suami isteri harus
memahami hak dan kewajiban masing-masing. Hak bagi isteri menjadi kewajiban
bagi suami. Begitu pula, kewajiban suami menjadi hak bagi isteri. Suatu hak
belum pantas diterima sebelum kewajiban dilaksanakan (Mas’ud dan Zainal,
2007).
2. Bentuk-bentuk Hak dan Kewajiban Suami Isteri
Segala sesuatu yang diciptakan oleh Allah di dunia ini pasti mempunyai
hikmah yang terkandung didalamnya. Seperti halnya Allah menciptakan manusia
yang berlainan bentuk yaitu laki-laki dan perempuan agar masing-masing saling
membutuhkan dan saling melengkapi sehingga kehidupan mereka senantiasa
dapat berkembang. Dalam membangun rumah tangga suami isteri harus sama-
sama menjalankan tanggungjawabnya masing-masing agar terwujud ketentraman
dan ketenangan hati sehingga sempurnalah kebahagiaan hidup berumah tangga
(Ghozali, 2014).
Hak dan kewajiban suami isteri adalah hak isteri yang merupakan kewajiban
suami dan sebaliknya kewajiban suami yang menjadi hak isteri. Berikut
merupakan bentuk hak dan kewajiban suami isteri :
a. Hak Isteri atas Suami
Hak isteri atas suami terdiri dari dua macam. Pertama, hak finansial, yaitu
mahar dan nafkah. Kedua hak nonfinansial, seperti hak untuk diperlakukan secara
adil (apabila sang suami menikahi perempuan lebih dari satu orang) dan hak untuk
tidak disengsarakan (Sabiq, 2013).
1) Mahar
Salah satu upaya mengangkat harkat dan martabat perempuan adalah
pengakuan terhadap segala sesuatu yang menjadi hak-haknya. Sebagaimana dalam
perkawinan bahwa hak yang pertama ditetapkan oleh Islam adalah hak perempuan
menerima mahar.
Mahar dalam bahasa Arab shadaq. Asalnya isim masdar dari kata asdaqa,
masdarnya ishdaq diambil dari kata shidqin (benar). Dinamakan shadaq
memberikan arti benar-benar cinta nikah dan inilah yang pokok dalam kewajiban
mahar atau maskawin. Pengertian mahar menurut syara’ adalah sesuatu yang
wajib sebab nikah atau bercampur atau keluputan yang dilakukan secara paksa
seperti menyusui dan ralat para saksi (Azam dan Abdul, 2011).
Sebagaimana firman Allah Swt dalam Q.S. An-Nisa’: 24 yang artinya,
sebagai berikut: “Maka isteri-isteri yang telah kamu nikmati (campuri) di antara
mereka, berikanlah kepada mereka maharnya (dengan sempurna), sebagai suatu
kewajiban.” (QS. An-Nisa’: 24).
Dalil sunnahnya adalah sabda Nabi SAW, kepada orang yang hendak
menikah : “Carilah walaupun cincin dari besi” (HR. Muslim). Hadis ini
menunjukkan kewajiban mahar sekalipun sesuatu yang sedikit. Demikian juga
tidak ada keterangan dari Nabi bahwa beliau meninggalkan mahar pada suatu
pernikahan. Andaikata mahar tidak diwajibkan tentu Nabi pernah
meninggalkannya walaupun sekali dalam hidupnya yang menunjukkan tidak
wajib akan tetap, beliau tidak pernah meningalkanya, hal ini menunjukkan
kewajibannya (Azam dan abdul, 2011).
2) Nafkah
Maksud dari nafkah dalam hal ini adalah penyediaan kebutuhan isteri, seperti
pakaian, makanan, tempat tinggal dan lain sebagainya yang menjadi kebutuhan
isteri. Nafkah hanya diwajibkan atas suami, karena tuntutan akad nikah dan
karena keberlangsungan bersenang-senang sebagaimana isteri wajib taat kepada
suami, selalu menyertainya, mengatur rumah tangga, dan mendidik anak-anaknya.
Ia tertahan untuk melaksanakan haknya, “Setiap orang yang tertahan untuk hak
orang lain dan manfaatnya, maka nafkahnya untuk orang yang menahan
karenanya”(Sabiq, 2013).
Dalil diwajibkanya nafkah adalah firman Allah SWT QS. Al Baqarah : 233,
yang artinya: “Para ibu hendaklah menyusukan anak-anaknya selama dua tahun
penuh, Yaitu bagi yang ingin menyempurnakan penyusuan. Dan kewajiban ayah
memberi Makan dan pakaian kepada Para ibu dengan cara ma'ruf.”
Adapun syarat-syarat seorang isteri agar mendapatkan nafkah adalah sebagai
berikut (Azam dan Abdul, 2011) :
• Akad pernikahan yang dilakukan adalah sah.
• Isteri menyerahkan dirinya kepada suami.
• Isteri memungkinkan suami untuk menikmatinya.
• Isteri tidak menolak untuk berpindah ke tempat manapun yang
dikehendaki oleh suami.
• Keduanya memiliki kemampuan untuk menikmati hubungan suami isteri

3) Mempergauli isteri dengan baik


Kewajiban pertama seorang suami kepada isterinya ialah memuliakan dan
mempergaulinya dengan dengan baik, menyediakan apa yang dapat ia sediakan
untuk isterinya yang akan dapat mengikat hatinya, memperhatikan dan bersabar
apabila ada yang tidak berkenan dihatinya (Sabiq, 2013).
Hal ini sesuai dengan firman Allah Swt yang artinya: “Hai orang-orang yang
beriman, tidak halal bagi kamu mempusakai wanita dengan jalan paksa dan
janganlah kamu menyusahkan mereka karena hendak mengambil kembali
sebagian dari apa yang telah kamu berikan kepadanya, terkecuali bila mereka
melakukan pekerjaan keji yang nyata. Dan bergaul lah dengan mereka secara
patut. Kemudian bila kamu tidak menyukai mereka, (maka bersabarlah) karena
mungkin kamu tidak menyukai sesuatu, Padahal Allah menjadikan padanya
kebaikan yang banyak. (QS. An-Nisa’ :19).
4) Menjaga isteri
Di samping berkewajiban mempergauli isteri dengan baik, suami juga wajib
menjaga martabat dan kehormatan isterinya, mencegah isterinya jangan sampai
hina, jangan sampai isterinya berkata jelek. Inilah kecemburuan yang disukai oleh
Allah. Rasulullah SAW bersabda yang artinya: “Sekiranya aku melihat seorang
laki-laki bersama dengan isteriku, niscaya akan ku tebas ia dengan pedang,”
ucapan itu akhirnya sampai kepada Rasulullah. Lalu beliau bersabda,”Apakah
kalian merasa heran terhadap kecemburuan Saad? Demi Allah, aku lebih cemburu
daripadanya, dan Allah lebih cemburu daripadaku.” (HR. Bukhari).
Apabila seorang laki-laki diwajibkan cemburu kepada isterinya (jangan
sampai diganggu pria lain), maka ia juga harus adil dalam cemburunya, harus
objektif, jangan berburuk sangka, jangan keterlaluan mengikuti gerak-gerik
isterinya dan tidak boleh menghitung-hitung aib isterinya, semuanya itu justru
akan meruksakka hubungan suami isteri dan akan menghilangkan kasih saying
(Al-hamdani, 2002).
5) Mencampuri isteri
Berbicara nafkah batin sudah tentu harus benar-benar faham apa yang
dimaksud dengannya. Jadi nafkah batin merupakan pemenuhan kebutuhan
terutama biologis dan psikologis, seperti cinta dan kasih sayang, perhatian,
perlindungan dan lain sebagainya, yang bentuk konkretnya berupa persetubuhan
(sexual intercourse). Sehingga dalam keseharian ketika disebut nafkah batin, maka
yang dimaksud justru hubungan sex (Bahri, 2010).
b. Hak Suami atas Isteri
Suami mempunyai beberapa hak yang menjadi kewajiban isteri terhadap
suaminya. Diantaranya adalah menurut Sabiq (2013) :
1) Taat kepada suami
Rasulullah telah menganjurkan kaum wanita agar patuh kepada suami ereka,
karena hal tersebut dapat membawa maslahat dan kebaikan. Rasulullah telah
menjadikan ridha suami sebagai penyebab masuk surga. Sebagaimana yang
diriwayatkan dari Umi Salamah r.a. bahwa Nabi SAW bersabda yang atrinya : “Di
mana wanita yang mati sedang suaminya ridha dari padanya, maka ia masuk
surga” (HR. Ibnu Majah dan AtTirmidzi).
Beliau juga bersabda yang artinya: “Jika seorang wanita menunaikan shalat
lima waktu, berpuasa di bulan Ramadhan, menjaga kemaluannya dan menaati
suaminya; niscaya akan dikatakan padanya: “Masuklah ke dalam surga dari pintu
manapun yang kau mau” (HR. Ath-Thabrani dan Ahmad).
2) Tidak durhaka kepada suami
Rasulullah telah memberi peringatan kepada kaum wanita yang menyalahi
kepada suaminya dalam sabda beliau yang artinya: “Dari Abu Hurairah
Radhiyallahu anhu, dia berkata, “Nabi Saw., bersabda : Apabila seorang wanita
menghindari tempat tidur suaminya pada malam hari, maka para malaikat
melaknatnya hingga pagi hari”. Dalam suatu riwayat yang lain disebutkan :
“Sehingga dia kembali” (HR. Muttafaq Alaihi).
Rasulullah juga menjelaskan bahwa mayoritas sesuatu yang memasukkan
wanita ke dalam neraka adalah kedurhakaanya kepada suami dan kekufuranya
(tidak syukur) kepada kebaikan suami. Dari Ibnu Abbas bahwa Rasulullah Saw.,
bersabda: Aku melihat dalam neraka, sesungguhnya mayoritas penghuninya
adalah kaum wanita mereka mengkufuri temanya. Jikalau masa berbuat baik
kepada salah satu di antara mereka kemudian ia melihat sesuatu dari engkau, ia
berkata: “Aku tidak melihat darimu suatu kebaikan sama sekali”.
3) Memelihara kehormatan dan harta suami
Diantara hak suami atas isteri adalah tidak memasukkan seseorang kedalam
rumahnya melainkan dengan izin suaminya, kesenangannya mengikuti
kesenangan suami, jika suami membenci seseorang karena kebenaran atau karena
perintah syara’ maka sang isteri wajib tidak menginjakkan diri ke tempat tidurnya.
4) Berhias untuk suami
Berhiasnya isteri demi suami adalah salah satu hak yang berhak didapatkan
oleh suami. Setiap perhiasan yan terlihat semakin indah akan membuat suami
senang dan merasa cukup, tidak perlu melakukannya dengan yang haram. Sesuatu
yang tidak diragukan lagi bahwa kecantikan bentuk wanita akan menambah
kecintaan suami, sedangkan melihat sesuatu apapun yang menimbulkan kebencian
akan mengurangi rasa cintanya. Oleh karena itu, selalu dianjurkan agar suami
tidak melihat isterinya dalam bentuk yang membencikan sekiranya suami
meminta izin isterinya sebelum berhubungan.

3.5 Hikmah dan Tujuan Pernikahan


Allah mensyariatkan pernikahan dan dijadikan dasar yang kuat bagi
kehidupan manusia karena adanya beberapa nilai yang tinggi dan beberapa tujuan
utama yang baik bagi manusia, makhluk yang dimuliakan Allah. Untuk mencapai
kehidupan yang bahagia dan menjauhi dari ketimpangan dan penyimpangan,
Allah telah membekali syari‟at dan hukum-hukum Islam agar dilaksanakan
manusia dengan baik.Demikian Allah juga menjadikan makhluk-Nya berpasang-
pasangan, menjadikan manusia laki-laki dan perempuan, menjadikan hewan
jantan betina begitu pula tumbuh-tumbuhan dan lain sebagainya. Hikmahnya ialah
supaya manusia itu hidup berpasang-pasangan, hidup dua sejoli, hidup suami istri,
membangun rumah tangga yang damai dan teratur. Untuk itu haruslah ada ikatan
yang kokoh yang tak mungkin putus dan diputuskannya ikatan akad nikah atau
ijab qabul pernikahan (Azzam, 2009).
Adapun hikmah langsung yang akan dirasakan oleh orang-orang yang
menikah dan dapat dibuktikan secara ilmiah (Mintarja,2005) :
1) Sehat
Nikah itu sehat, terutama dari sudut pandang kejiwaan. Sebab nikah
merupakan jalan tengah antara gaya hidup yang bebas dalam menyalurkan hasrat
seksual (free sex) dan gaya hidup yang menutup diri dan menganggap seks
sebagai sesuatu yang kotor.
2) Motifator Kerja Keras
Tidak sedikit para pemuda yang semula hidupnya santai dan malas-malasan
serta berlaku boros Karen merasa tidak punya beban dan tanggung jawab, ketika
akan dan sesudah menikah menjadi terpacu untuk bekerja keras karena dituntut
oleh rasa tanggung jawab sebagai calon suami dan akan menjadi kepala rumah
tangga serta keinginan membahagiakan semua anggota keluarga (istri dan anak-
anaknya).
3) Bebas Fitnah
Hikmah pernikahan yang tidak kalah penting dilihat dari aspek kehidupan
bermasyarakat ialah terbebasnya seseorang yang sudah menikah dari fitnah.
Fitnah disini berarti fitnah sebagai ujian buat diri sendiri dari segala gejolak nafsu
yang membara atau fitnah yang mempunyai makna tuduhan jelek yang dating dari
orang lain.
Tujuan pernikahan ialah untuk memenuhi petunjuk agama dalam rangka
mendirikan keluarga yang harmonis, sejahtera dan bahagia. Seperti dalam
Kompilasi Hukum Islam pasal 3 bahwa: “pernikahan bertujuan untuk
mewujudkan kehidupan rumah tangga yang sakinah, mawaddah dan rahmah.
Sedangkan dalam Undang-undang Perkawinan Nomor 1 Tahun 1974 pasal 1
bahwa, “pernikahan ialah ikatan lahir batin antara seorang pria dengan seorang
wanita sebagai suami istri dengan tujuan membentuk keluarga (rumah tangga)
yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa” (Undang-
undang, 1974).
Menurut pendapat Imam Al-Ghazali tujuan dan faedah pernikahan itu ada
lima hal (Ramulyo, 2004), yaitu:
1) Memperoleh keturunan yang sah yang akan melangsungkan keturunan
serta memperkembangkan suku-suku bangsa manusia.
2) Memenuhi tuntutan naluriah hidup kemanusiaan.
3) Memelihara manusia dari kejahatan dan kerusakan.
4) Membentuk dan mengatur rumah tangga yang menjadi basis pertama dari
masyarakat yang besar di atas dasar kecintaan dan kasih sayang.
5) Menumbuhkan kesungguhan berusaha mencari rezeki penghidupan yang
halal, dan memperbesar rasa tanggung jawab.
Ada pula yang menyatakan bahwa tujuan pernikahan (Hasan, 2003) ialah:
1) Menenteramkan jiwa
Bila sudang terjadi aqad nikah, wanita merasa jiwanya tenteram, karena
merasa ada yang melindungi dan bertanggung jawab dalam rumah tangga. Begitu
pula suami merasa tenteram karena ada pendampingnya untuk mengurus rumah
tangga, tempat menumpahkan perasaan suka dan duka, dan teman bermusyawarah
dalam berbagai persoalan hidup.
2) Mewujudkan (melestarikan) keturunan
Biasanya sepasang suami istri tidak ada yang tidak mendambakan anak untuk
meneruskan keturunan. Semua manusia merasa gelisah, apabila pernikahannya
tidak menghasilkan keturunan. Rumah tangga terasa sepi, karena pada umumnya
orang rela bekerja keras adalah untuk kepentingan keluarga dan anak cucunya.
3) Memenuhi kebutuhan biologis
Hampir semua manusia yang sehat rohani dan jasmaninya menginginkan
hubungan seks. Keinginan tersebut adalah alami, tidak usah dibendung dan
dilarang. Tetapi pemenuhan kebutuhan biologis tersebut harus diatur melalui
pernikahan. Sarana pemenuhan kebutuhan seksual atau dorongan libido (syahwat)
yang merupakan insting dasar semua makhluk Allah. Yang paling jelas bentuk
penyaluran kebutuhan dasar itu ada pada binatang dan manusia, yaitu melalui alat
kelamin mereka. Untuk penyaluran yang benar dari rasa suka dan cinta itu Islam
mebuat syari’at untuk manusia, yakni pernikahan.
4) Latihan memikul tanggung jawab
Apabila pernikahan dilakukan untuk mengatur fitrah manusia, maka latihan
memikul tanggung jawab sangat penting. Hal ini berarti, bahwa pernikahan berarti
pelajaran dan latihan praktis bagi pemikul tanggung jawab itu dan pelaksanaan
segala kewajiban yang timbul dari pertanggungjawaban tersebut.

3.6 Talak, Khulu’, Fasakh, dan Rujuk dalam Hukum Islam


1. Talak
a. Pengertian Talak
Secara etimologis, talak berarti melepas ikatan talak berasal dari kata iṭlaq
yang berarti melepaskan atau meninggalkan. Dalam terminologi syariat, talak
berarti memutuskan atau membatalkan ikatan pernikahan, baik pemutusan itu
terjadi pada masa kini (jika talak itu berupa talak bain) maupun pada masa
mendatang, yakni setelah iddah (jika talak berupa talak raj’i) dengan
menggunakan lafadz tertentu (Kamal, 2007).
b. Hukum Talak
Di lihat dari konteks yang melatar belakanginya, hukum-hukum talak
menurut Djamali (1997), adalah sebagai berikut :
1) Wajib, jika terjadi konflik antar pasangan suami-istri, hakim menugaskan
mediator dua orang mediator untuk menilai situasi konflik tersebut. Lalu, kedua
mediator itu merekomendasikan bahwa sepasang suami-istri tersebut harus
bercerai. Maka suami harus menceraikan istrinya.
2) Sunnah seorang suami dianjurkan untuk melakukan talak dalam kondisi
ketika istrinya kerap tidak menjalankan ibadah-ibadah wajib, seperti shalat wajib,
serta tidak ada kemungkinan memaksa istrinya itu melakukan kewajiban-
kewajiban tersebut. Talak juga sunnah dilakukan ketika istri tidak bisa menjaga
diri dari perbuatan-perbuatan maksiat.
3) Mubah, talak boleh dilakukan dalam kondisi ketika suami memiliki istri
yang buruk perangainya, kasar tingkah lakunya, atau tidak bisa diharapkan
menjadi partner yang ideal guna mencapai tujuan-tujuan pernikahan. Makruh bila
dilakukan tanpa alasan yang kuat atau ketika hubungan suami-istri baik-baik saja.
4) Haram apabila seorang istri di ceraikan dalam keadaan haid, atau keadaan
suci dalam keadaan ketika ia telah disetubuhi didalam masa suci tersebut.
c. Rukun talak
Rukun talak ialah unsur pokok yang harus ada dalam talak dan terwujudnya
talak tergantung ada dan lengkapnya unsur-unsur dimaksud. Rukun talak ada
empat, sebagai berikut (Ghazaly, 2003):
1) Suami. Suami adalah yang memiliki hak talak dan yang berhak
menjatuhkannya, selain suami tidak berhak menjatuhkannya. Oleh karena talak itu
bersifat menghilangkan ikatan perkawinan maka talak tidak mungkin terwujud
kecuali setelah nyata adanya akad perkawinan yang sah.
2) Istri. Masing-masing suami hanya berhak menjatuhkan talak terhadap istri
sendiri. tidak dipandang jatuh talak yang dijatuhkan terhadap istri orang lain
3) Sighat Talak. Sighat talak ialah kata-kata yang di ucapkan oleh suami
terhadap istrinya yang menunjukkan talak, baik itu sarih (jelas) maupun kinayah
(sindiran), baik berupa ucapan/lisan, tulisan, isyarat bagi suami tuna wicara
ataupun dengan suruhan orang lain.
4) Sengaja artinya bahwa dengan ucapan talak itu memang dimaksudkan oleh
yang mengucapkannya untuk talak, bukan untuk maksud lain. Agar menjadi sah,
talak harus memenuhi syarat-syarat tertentu, baik yang berhubungan dengan
muṭalliq, suami yang mentalak, muṭallaqah istri yang ditalak yang diucapkan.
d. Hikmah Talak
Walaupun talak itu dibenci terjadi dalam suatu rumah tangga, namun sebagai
jalan terakhir bagi kehidupan rumah tangga dalam keadaan tertentu boleh
dilakukan. Hikmah di perbolehkannya talak itu karena adanya dinamika
kehidupan rumah tangga kadang-kadang menjurus kepada sesuatu yang
bertentangan dengan tujuan pembentukan rumah tangga itu. Dalam keadaan
begini kalau dilanjutkan juga rumah tangga akan menimbulkan mudarat kepada
dua belah pihak dan orang disekitarnya. Dalam rangka menolak terjadinya bentuk
talak tersebut. Dengan demikian, talak dalam Islam hanyalah untuk tujuan
maslahat (Syarifuddin, 2007).
2. Khulu’
a. Pengertian Khulu’
Khulu’ menurut etimologi berasal dari kata “Al-Khul’u” yang berarti
menanggalkan pakaian,melepaskan pakaian. Karena suami istri ibarat pakaian
satu sama lainnya, sebagaimana telah dijelaskan dalam ayat Al-Qur’an.
Sedangkan menurut terminolog fiqih ialah tuntutan cerai yang diajukan istri
dengan pembayaran ganti rugi darinya, atau dengan kata lain istri memisahkan
diri dari suaminya dengan ganti rugi kepadanya. Dalam bahasa Indonesia juga
dipakai istilah talak tebus, yaitu perceraian atas permintaan pihak perempuan
dengan membayar sejumlah uang atau mengembalikan maskawin yang
diterimanya (Ahnan dan Maria, 1997).
b. Ketentuan Hukum Khulu’
Menurut tinjauan fiqih, dalam memandang masalah Khulu’ terdapat hukum-
hukum taklifi sebagai berikut:
1) Mubah (diperbolehkan).
Istri boleh saja mengajukan khulu’ manakala ia merasa tidak nyaman apabila
tetap hidup bersama suaminya, sang istri sudah benci tinggal bersama suaminya
baik karena sifat-sifat buruk suaminya, atau karena khawatir tidak dapat
menunaikan hak suaminya tersebut dan tidak dapat menegakkan batasan-batasan
Allah Subhanahu wa Ta’ala dalam ketaatan kepadanya.
2) Haram
Karena 2 keadaan, dari Sisi Suami apabila suami menyusahkan isteri dan
memutus hubungan komunikasi dengannya, atau dengan sengaja tidak
memberikan hak-haknya dan sejenisnya agar sang isteri membayar tebusan
kepadanya dengan jalan gugatan cerai, maka khulu’ itu batil, dan tebusannya
dikembalikan kepada wanita.
Dari Sisi Isteri Apabila seorang isteri meminta cerai padahal hubungan
rumah tangganya baik dan tidak terjadi perselisihan maupun pertengkaran di
antara pasangan suami isteri tersebut. Serta tidak ada alasan syar’i yang
membenarkan adanya khulu’, maka ini dilarang.
3) Mustahabbah (Sunnah)
Wanita Minta Cerai (Khulu’), apabila suami berlaku mufarrith
(meremehkan) hak-hak Allah, maka sang isteri disunnahkan khulu’.
4) Wajib
Terkadang khulu’ hukumnya menjadi wajib pada sebagiaan keadaan.
Misalnya terhadap orang yang tidak pernah melakukan shalat, padahal telah
diingatkan. Demikian juga seandainya sang suami memiliki keyakinan atau
perbuatan yang dapat menyebabkan keyakinan sang isteri keluar dari Islam dan
menjadikannya murtad. Sang wanita tidak mampu membuktikannya di hadapan
hakim peradilan untuk dihukumi berpisah atau mampu membuktikannya, namun
hakim peradilan tidak menghukuminya murtad dan tidak juga kewajiban bepisah,
maka dalam keadaan seperti itu, seorang wanita wajib untuk meminta dari
suaminya tersebut khulu’ walaupun harus menyerahkan harta karena seorang
muslimah tidak patut menjadi isteri seorang yang memiliki keyakinan dan
perbuatan kufur.
3. Fasakh
a. Pengertian Fasakh
Fasakh berasal dari bahasa arab dari akar kata fa-sa-kha yang secara
etimologi berarti membatalkan atau juga fasakh berarti mencabut atau
menghapuskan atau membatalkan akad nikah dan melepaskan hubungan yang
terjalin antara suami isteri . Manakala, menurut kamus besar Bahasa Indonesia
fasakh adalah hak pembatalan ikatan pernikahan oleh pengadilan agama
berdasarkan dakwaan (tuntutan) istri atau suami yg dapat dibenarkan oleh
pengadilan agama, atau karena pernikahan yang telah terlanjur menyalahi hukum
pernikahan (Syarifuddin, 2007).
b. Dasar Hukum Fasakh
Pada dasarnya hukum fasakh itu adalah mubah atau boleh, tidak disuruh dan
tidak pula di larang. Dasar pokok dari hukum fasakh ialah seorang atau kedua
suami isteri merasa dirugikan oleh pihak yang lain dalam perkawinannya karena
ia tidak memperoleh hak-hak yang telah ditentukan oleh syarak sebagai seorang
suami atau sebagai seoarng isteri. Akibatnya salah seorang atau kedua suami isteri
tidak sanggup lagi melanjutkan perkawinannya atau kalaupun perkawinan itu
dilanjutkan juga keadaan kehidupan rumah tangga diduga akan bertambah buruk,
pihak yang dirugikan bertambah buruk keadaannya, sedang Allah tidak
menginginkan terjadinya keadaan yang demikian (Muchtar, 1993).
4. Rujuk
a. Pengertian
Rujuk berasal dari bahasa arab yaitu raja’a – yarji’u – ruju’an yang berarti
kembali atau mengembalikan. Rujuk menurut istilah adalah mengembalikan status
hukum perkawinan secara penuh setelah terjadi thalak raj’i yang dilakukan oleh
bekas suami terhadap bekas istrinya dalam masa iddahnya dengan ucapan tertentu
(Nur, 1993).
b. Rukun dan Syarat Rujuk
Rukun dan syarat-syarat rujuk adalah hal yang harus dipenuhi untuk
terlaksananya sebuah perbuatan rujuk tersebut. Di antara rukun dan syarat-syarat
rujuk tersebut adalah sebagai berikut (Syarifuddin, 2007):
1) Istri
• Sudah dicampuri, karena istri yang belum dicampuri apabila ditalak, terus
putus pertalian antara keduanya
• Istri yang tertentu. Kalau suami menalak beberapa istrinya, kemudian ia
rujuk kepada salah seorang dari mereka dengan tidak ditentukan siapa yang
dirujukkan, rujuknya itu tidak sah.
• Talaknya adalah talak raj’i. jika ia ditalak dengan talak tebus atau talak
tiga, ia talak dapat dirujuk lagi. Kalau bercerainya dari istri secara fasakh atau
khulu atau cerai dengan istri yang ketiga kalinya, atau istri belum pernah
dicampuri, maka rujuknya tidak sah.
• Rujuk itu terjadi sewaktu istri masih dalam iddah talaq raj’i. laki-laki
masih mempunyai hubungan hukum dengan istri yang ditalaknya secara thalaq
raj’i, selama masih berada dalam iddah. Sehabis iddah itu putuslah hubungannya
sama sekali dan dengan sendirinya tidak lagi boleh dirujuknya.
2) Suami
Rujuk itu dilakukan oleh suami atas kehendak sendiri, artinya bukan atau
laki-laki yang merujuk adalah suami bagi perempuan yang dirujuk yang dia miliki
dia menikahi istrinya itu dengan nikah yang sah, dan laki-laki yang merujuk
mestilah seseorang yang mampu melaksanakan pernikahan dengan sendirinya,
yaitu telah dewasa dan sehat akalnya dan bertindak dengan kesadarannya sendiri.
Seseorang yang masih belum dewasa atau dalam keadaan gila tidak ada rujuk
yang dilakukan. Begitu pula bila rujuk itu dilakukan atas paksaan dari orang lain,
tidak sah rujuknya. Tentang sahnya rujuk orang yang mabuk karena sengaja
minum yang memabukan, ulama beda pendapat sebagaimana beda pendapat
dalam menetapkan sahnya akad yang dilakukan oleh orang mabuk.
3) Saksi
Dalam hal ini Para ulama masih berbeda pendapat, apakah saksi itu wajib
menjadi rukun atau sunat. Sebagian mengatakan wajib, sedangkan yang lain
mengatakan tidak wajib, melainkan hanya sunat. Fuqoha telah berpendapat
tentang adanya saksi dalam rujuk, apakah ia menjadi syarat sahnya rujuk atau
tidak. Imam Malik berpendapat bahwa saksi dalam rujuk adalah disunahkan,
sedangkan Imam Syafi’i mewajibkan adanya dua orang saksi sebagaimana yang
berlaku dalam akad nikah.
4) Ada ucapan rujuk yang diucapkan oleh laki-laki yang merujuk
Rujuk dalam pandangan fiqh adalah tindakan sepihak dari suami. Tindakan
sepihak itu didasarkan kepada pandangan ulama fiqh bahwa rujuk itu merupakan
hak khusus seorang suami. Oleh karena sifatnya yang sepihak itu tidak diperlukan
penerimaan dari pihak perempuan yang dirujuk, atau walinya. Dengan begitu
rujuk tidak dilakukan dalam bentuk suatu akad. Untuk sahnya tindakan rujuk
hanya diperlukan ucapan rujuk yang dilakukan oleh orang yang merujuk.
5) Sighat (lafazh)
• Terang-terangan, misalnya dikatakan ,” Saya kembali kepada istri saya,”
atau “saya rujuk kepadamu.”
• Melalui sindiran, misalnya “Saya pegang engkau,” atau “menikahi
engkau,” dan sebagainya, yaitu dengan kalimat boleh dipakai untuk rujuk atau
lainnya.
• Dengan perbuatan: Ada ikhtilaf dikalangan ulama atas hukum rujuk
dengan perbuatan.
• Kedua belah pihak dan istri yakni dapat hidup bersama kembali dengan
baik. Jika keduanya, tidak yakin dapat hidup kembali dengan baik, maka rujuknya
tidak sah.
BAB IV
PENUTUP
4.1 Kesimpulan
Berdasarkan pembahasan di atas, dapat ditarik kesimpulan yaitu sebagai
berikut:
1. Definisi nikah yaitu sebuah ungkapan tentang akad yang sangat jelas dan
terangkum atas rukun-rukun dan syarat-syarat. Islam memandang bahwa
pernikahan merupakan sesuatu yang luhur dan sakral, bermakna ibadah
kepada Allah, mengikuti Sunnah Rasulullah dan dilaksanakan atas dasar
keikhlasan, tanggungjawab, dan mengikuti ketentuan-ketentuan hukum
yang harus diindahkan.
2. Hal yang perlu dilakukan sebelum menikah yaitu kesiapan umur, kesiapan
fisik, kesiapan mental, kesiapan keuangan, kesiapan moral, kesiapan
emosional, kesiapan kontekstual-sosial, kesiapan interpersonal dan
keterampilan dalam kehidupan pernikahan.
3. Pernikahan yang dilarang yaitu nasab(keturunan), Persusuan (radhā’ah), dan
wanita yang haram dinikahi karena hubungan masaharah atau perkawinan
kerabat semenda.
4. Hak dan kewajiban suami istri yaitu, Hak Isteri atas Suami: yang terdiri dari
dua macam; hak finansial, yaitu mahar dan nafkah. Kedua hak nonfinansial,
seperti hak untuk diperlakukan secara adil (apabila sang suami menikahi
perempuan lebih dari satu orang) dan hak untuk tidak disengsarakan. Hak
Suami atas Istri yaitu taat kepada suami, tidak durhaka, berhias untuk suami
dan memelihara kehormatan dan harta suami.
5. Hikmah dari suatu pernikahan yaitu supaya manusia itu hidup berpasang-
pasangan, hidup dua sejoli, hidup suami istri, membangun rumah tangga
yang damai dan teratur. Untuk itu haruslah ada ikatan yang kokoh yang tak
mungkin putus dan diputuskannya ikatan akad nikah atau ijab qabul
pernikahan.
6. Definisi talak dalam terminologi syariat, talak berarti
memutuskan atau membatalkan ikatan pernikahan, baik
pemutusan itu terjadi pada masa kini (jika talak itu berupa
talak bain) maupun pada masa mendatang, yakni setelah
iddah (jika talak berupa talak raj’i) dengan menggunakan
lafadz tertentu, khulu’ ialah tuntutan cerai yang diajukan istri
dengan pembayaran ganti rugi darinya, atau dengan kata
lain istri memisahkan diri dari suaminya dengan ganti rugi
kepadanya., fasah adalah hak pembatalan ikatan pernikahan
oleh pengadilan agama berdasarkan dakwaan (tuntutan)
istri atau suami yg dapat dibenarkan oleh pengadilan
agama, atau karena pernikahan yang telah terlanjur
menyalahi hukum pernikahan dan rujuk adalah mengembalikan
status hukum perkawinan secara penuh setelah terjadi
thalak raj’i yang dilakukan oleh bekas suami terhadap bekas
istrinya dalam masa iddahnya dengan ucapan tertentu.

DAFTAR PUSTAKA

Al-Hamdani. 2002. Risalah Nikah. Jakarta: Pustaka Amani


Azam, Abdul Aziz Muhammad dan Abdul Wahhab Sayyed
Hawwas. 2011. Fiqh Munakahat. Jakarta: Amzah
Aziz, M. S. A. 2005. Fiqih Islam Lengkap Pedoman Hukum Ibadah Ummat Islam
dengan Berbagai Permasalahan. Surabaya: Terit Terang.
Azzam, Abdul Aziz Muhammad. 2009. Fiqh Munakahat. Jakarta:
Amzah
Bahri, Samsul. 2010. Mimbar Hukum: Nafkah Batin dan Kompensasi
Materiilnya. Jakarta: Pustaka Pelajar
Darusmanwiati, A. S. 2005. Serial Fiqh Munakahat. Kairo: indonesianschool.org.
Djamali, Abdul. 1997. Hukum Islam. Bandung: Mandar Maju
Djazuli, A. 2006. Ilmu Fiqh Penggalian, Perkembangan, dan Penerapan Hukum
Islam. Jakarta: Kencana Prenada Media Group.
Ghozali, Abdul Rahman. 2003. Fiqh Munakahat cetakan 2.
Jakarta: Kencana
Ghozali, Abdul Rahman. 2014. Fiqh Munakahat. Jakarta: Kencana
Hasan, M. Ali. 2003. Pedoman Hidup Berumah Tangga dalam
Islam. Jakarta: Siraja Prenada Media Group
Hermanto, A., 2017. Larangan Perkawinan Perspektif Fikih dan
Relevansinya Dengan Hukum Perkawinan Di indonesia.
Muslim Heritage, 2(1), pp.125-152.
Kamal,Abu Malik. 2007. Fikih Sunnah Wanita. Jakarta: Pena Pundi
Aksara
Koto, A. 2004. Ilmu Fiqh dan Ushul Fiqh. Jakarta: Raja Grafindo Persada.
Mas’ud, Ibnu dan Zainal Abidin. 2007. Fiqih Madzhab Syafi’i.
Bandung: Pustaka Setia
Muchtar, Kamal. 1993. Asas-Asas Hukum Islam Tentang
Perkahwinan. Jakarta : Bulan Bintang
Nasir, M. R., dan Nasih A. 2010. Praktik Prostitus Gigolo Ala Yusuf Al-Qardawi:
Tinjauan Hukum Islam terhadap Fatwa Kawin Misyar. Surabaya: Khalista.
Nur, Djaman. 1993. Fiqih Munakahat. Bengkulu: Dina Utama
Semarang
Ramulyo, Moh. Idris. 2004. Hukum Perkawinan Islam Suatu
Analisis dari Undang-Undang No.1 Tahun 1974 dan
Kompilasi Hukum Islam. Jakarta: Bumi Aksara
Rifai, M., dan Ahmad M. H. 2001. Fiqih untuk Madrasah Aliyah. Semarang: CV.
Wicaksana.
Sabiq, Sayyid. 2013. Fiqih Sunnah Jilid 3. Jakarta: Tinta Abadi
Gemilang
Saebani, Beni Ahmad. 2010. Fiqh Munakahat 2. Bandung : CV
Pustaka Setia
Sari, Y., Khasanah, A.N. and Sartika, S., 2016. Studi mengenai
kesiapan menikah pada muslim dewasa muda. Prosiding
SNaPP: Kesehatan (Kedokteran, Kebidanan, Keperawatan,
Farmasi, Psikologi), 2(1), pp.193-204.
Syarifuddin, A. 2006. Hukum Perkawinan Islam di Indonesia. Jakarta: Kencana.
Syarifuddin, Amir. 2007. Hukum Perkawinan Islam di Indonesia.
Jakarta: Prenada Media
Undang- Undang RI. 1974. Tentang Perkawinan Nomor 1 Tahun
1974
Wibisana, W., 2016. Pernikahan Dalam Islam. Jurnal Pendidikan
Agama Islam-Ta'lim, 2016.
Zulaikha, S. 2015. Fiqih Munakahat 1. Yogyakarta: Idea Press Yogyakarta.

Anda mungkin juga menyukai