12102183026
12102183026
Nim : 12102183026
ANALISIS
Pasal 57 : Pengadilan Agama hanya memberikan izin kepada seorang suami yang
akan beristri lebih dari seorang apabila:
Analisis:
Dalam pasal 4 ayat b ini tidak jauh berbeda dengan ayat yang terdapat
dalam Peraturan Pemerintahan R.I. Nomor 9/1975 Pasal 19 huruf (e), bahwa salah
satu alasan perceraian yaitu dalam “Salah satu pihak mendapat cacat badan atau
penyakit yang berakibat tidak dapat menjalankan kewajibannya sebagai suami
atau istri”. Pasal tersebut hanya berbeda dalam kalimat “penyakit yang tidak dapat
disembuhkan”, artinya Pasal 19 huruf (e) tidak menggunakan kalimat tersebut.
Bila dalam Pasal 4 ayat b menggunakan kalimat “penyakit yang tidak dapat
disembuhkan,” Pasal 19 huruf (e) PP.NO. 9/1975 tidak menggunakan kata
tersebut melainkan dengan kalimat “berakibat tidak dapat menjalankan
kewajibannya sebagai suami/istri”. Perbedaan substansial dari kalimat tersebut,
adalah penyakit dan cacat badan yang mengakibatkan istri atau suami tidak dapat
menjalankan kewajibannya.
Pasal 96 : 1. Apabila terjadi cerai mati, maka separuh harta bersama menjadi hak
pasangan yang hidup lebih lama,
2. Pembagian harta bersama bagi seorang suami atau istri yang istri
atau suaminya hutang harus ditangguhkan sampai adanya kepastian
matinya yang hakiki atau matinya secara hukum atas dasar putusan
Pengadilan Agama.
Analisis :
Setelah terjadi putusnya perkawinan baik akibat cerai mati maupun cerai
hidup bukan berarti persoalan rumah tangga langsung berakhir justru akan
menimbulkan banyak akibat hukumnya dengan kata lain akan ada banyak
persoalan yang harus diselesaikan oleh suami isteri yang mana salah satunya
adalah mengenai persoalan harta dalam perkawinan. Secara syari’ah harta benda
dalam perkawinan terbagi menjadi 2, yaitu harta bawaan dan harta bersama.
Adanya harta bersama dalam perkawinan tidak menutup kemungkinan adanya
harta milik masing-masing suami istri. Dalam konsep islam harta bersama
sepanjang perkawinan terjadi karena adanya usaha yang dilakukan bersama suami
dan istri. Harta bersama tersebut dapat berupa benda tidak bergerak, benda
bergerak dan surat-surat berharga. Sedangkan harta atau barang bawaan dari
kedua belah pihak serta harta yang diperoleh sebagai hadiah atau warisan adalah
di bawah penguasaan masing-masing, sepanjang para pihak tidak menentukan hal
lain dalam perjanjian kawin
Analisis :
Pernyataan dalam Pasal 135 KHI ini sama dengan Pasal 74 UU No.7
Tahun 1989 yang menyatakan bahwa “Apabila gugatan perceraian didasarkan atas
alasan salah satu pihak mendapat pidana penjara, maka untuk memperoleh
putusan perceraian, sebagai bukti penggugat cukup menyampaikan salinan
putusan Pengadilan yang berwenang yang memutuskan perkara disertai
keterangan yang menyatakan bahwa putusan itu telah memperoleh kekuatan
hukum tetap”.
Adanya Pasal 135 KHI ditujukan untuk istri yang tidak mau melanjutkan
pernikahan dikarenakan sang suami dipenjara selama 5 tahun atau lebih dan dari
sini pihak istri tidak mendapat nafkah secara lahir dan batin. Lalu gugatan
perceraian ini juga didukung dengan Pasal 40 UU No. 1 Tahun 1974, “gugatan
perceraian diajukan kepada pengadilan. Tatacara mengajukan gugatan tersebut
pada ayat (1) pasal ini diatur dalam peraturan perundangan tersendiri”.
Analisis:
Salah satu sebab beralihnya harta seseorang yang telah meninggal dunia
kepada yang masih hidup adalah adanya hubungan silaturrahim atau kekerabatan
antara keduanya. Yaitu hubungan nasab yang disebabkan oleh kelahiran.
Rincian Ahli Waris pada pasal 174 ayat (1) huruf a diatas, sebanyak 9 orang
terdiri dari golongan jenis kelamin laki-laki 5 orang dan jenis kelamin perempuan
4 orang.
Apabila dianalisa rumusan ahli waris pada pasal 174 ayat (1) huruf a
dengan membandingkan rumusan ahli waris dalam kitab-kitab fikih kewarisan
terdahulu, terdapat perbedaan yang sangat menonjol. Dilihat dari segi jumlah, ahli
waris secara keseluruhan dalam kitab-kitab fikih terdahulu adalah sebanyak 25
orang tersebut terletak pada perincian ahli waris dilihat dari garis keturunan.
Kompilasi Hukum Islam (KHI) tidak membedakan garis keturunan dari kakek dan
nenek dari pihak ayah dan pihak ibu, dan tidak membedakan garis keturunan dari
kedua belah pihak (sekandung), sepihak (seayah atau seibu). Sedangkan fikih
kewarisan terdahulu membedakan ahli waris dengan melihat garis keturunan.
Pasal 174 ayat (1) huruf a. tentang pemahaman ahli waris saudara masih
menimbulkan penafsiran yang berbeda- beda, ada yang mengatakan sekandung,
seayah dan seibu.
Pasal 213 : Hibah yang diberikan pada saat pemberi hibah dalam keadaan
sakit yang dekat dengan kematiannya, maka harus mendapat
persetujuan dari ahli warisnya.
Analisis :
Ketentuan dalam Pasal 213 ini menurut kajian fiqh orang yang sakit dapat
menghibahkan 1/3 hartanya dengan dianalogkan dengan wasiat dengan dasar
istishabul-hal menganggap tetap berlakunya sesuatu yang sama karena ijma,
menetapkan orang yang sakit boleh menghibahkan hartanya.