Anda di halaman 1dari 9

Nama : Reza Nailatul Rohmatika

Nim : 12102183026

ANALISIS

KOMPILASI HUKUM ISLAM (KHI)

Pasal 57, 96, 135, 174, dan 213

BAB IX (Beristri Lebih Satu Orang)

Pasal 57 : Pengadilan Agama hanya memberikan izin kepada seorang suami yang
akan beristri lebih dari seorang apabila:

a. Istri tidak dapat menjalankan kewajiban sebagai istri;


b. Istri mendapat cacat badan atau penyakit yang tidak dapat
disembuhkan;
c. Istri tidak dapat melahirkan keturunan.

Analisis:

Pada pasal 57 ini mengatur persyaratan izin berpoligami dari pengadilan


Agama. Dan dalam pasal 57 ayat b ini banyak pemahaman lain salah satunya
adalah Poligami yang dibolehkan ketika setelah menikah lalu sang istri cacat, ada
juga prespektif bahwa poligami dibolehkan sejak awal meskipun istri sedang
cacat. Pembolehan Poligami ini telah dilegalkan dalam Pasal 57 ayat b.

Alasan yang dimaksudkan oleh pasal 57 ayat a bukan sebagaimana


pemahaman di atas, yakni istri tidak dapat menjalankan kewajiban sebagai istri,
kata “tidak dapat” dalam pasal 57 ayat a ini kurang tepat jika diartikan dengan
“tidak mau melaksanakan kewajiban sebagai istri”. Kalimat “tidak dapat” tersebut
lebih tepat diartikan bahwa istri yang dimaksudkan yaitu terganggu fisik, batin,
maupun hal lainnya yang bukan disengaja ataupun direncanakan, sehingga
kewajibannya sebagai istri tidak dapat dilakukan.

Pemahaman terhadap kalimat “tidak dapat” menjalankan kewajibannya


sebagai istri berhubungan erat dengan alasan berikutnya yang dituangkan dalam
Undang-Undang Perkawinan (UUP) pasal 4 ayat 2 huruf (b) dan (c). Pada huruf
ayat (b) dikatakan bahwa suami akan diberi izin melakukan poligami jika istrinya
mendapat cacat badan ataupun penyakit yang tidak dapat disembuhkan,
sedangkan pada ayat (c) jika istrinya tidak dapat melahirkan keturunan. Dua ayat
tersebut menggunakan kata “tidak dapat” yang artinya merupakan peristiwa yang
terjadi atau dialami karena kehendak Allah semata-mata, bukan disengaja ataupun
direncanakan.

Dalam pasal 4 ayat b ini tidak jauh berbeda dengan ayat yang terdapat
dalam Peraturan Pemerintahan R.I. Nomor 9/1975 Pasal 19 huruf (e), bahwa salah
satu alasan perceraian yaitu dalam “Salah satu pihak mendapat cacat badan atau
penyakit yang berakibat tidak dapat menjalankan kewajibannya sebagai suami
atau istri”. Pasal tersebut hanya berbeda dalam kalimat “penyakit yang tidak dapat
disembuhkan”, artinya Pasal 19 huruf (e) tidak menggunakan kalimat tersebut.
Bila dalam Pasal 4 ayat b menggunakan kalimat “penyakit yang tidak dapat
disembuhkan,” Pasal 19 huruf (e) PP.NO. 9/1975 tidak menggunakan kata
tersebut melainkan dengan kalimat “berakibat tidak dapat menjalankan
kewajibannya sebagai suami/istri”. Perbedaan substansial dari kalimat tersebut,
adalah penyakit dan cacat badan yang mengakibatkan istri atau suami tidak dapat
menjalankan kewajibannya.

Poligami adalah syariat islam yang merupakan sunnah Rasulullah SAW.


Dalilnya surah An-Nisa: 3, artinya: “ Dan jika kamu takut tidak akan dapat
berlaku adil terhadap (hak-hak) perempuan yatim (bilamana kamu
mengawininya), maka kawinilah wanita-wanita (lain) yang kamu senangi: dua,
tiga atau empat. Kemudian jika kamu takut tidak berlaku adil, maka (kawinilah)
seorang saja, atau budak-budak yang kamu miliki. Yang demikian itu adalah lebih
dekat kepada tidak berbuat aniaya.” ( QS An-Nisa, ayat ke-3)

Dibolehkannya Poligami tidak terlepas dari pembolehannya sumber


pengambilan materi Kompilasi Hukum Islam diambil dari kitab-kitab fiqh yang
muktamad (diakui dan banyak diikuti) dalam empat madzab.

Poligami diperbolehkan bila dikehendaki oleh pihak-pihak yang


bersangkutan dan Pengadilan Agama telah memberi izin (pasal 3 ayat (2))
Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974. Dasar pemberian izin poligami oleh
Pengadilan Agama diatur dalam pasal 4 ayat (2) Undang-Undang perkawinan
(UUP) dan juga dalam Bab IX KHI Pasal 57.

Adapun syarat -syarat poligami, terdapat dalam Pasal 5 Undang - Undang


Nomor 1 Tahun 1974 memberikan persyaratan terhadap seorang suami yang akan
beristri lebih dari seorang. Prosedur poligami menurut pasal 40 Peraturan
Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975 menyebutkan bahwa apabila seorang suami
bermaksud untuk beristri lebih dari seorang wajib mengajukan permohonan.

BAB XIII (Harta Kekayaan Dalam Perkawinan)

Pasal 96 : 1. Apabila terjadi cerai mati, maka separuh harta bersama menjadi hak
pasangan yang hidup lebih lama,

2. Pembagian harta bersama bagi seorang suami atau istri yang istri
atau suaminya hutang harus ditangguhkan sampai adanya kepastian
matinya yang hakiki atau matinya secara hukum atas dasar putusan
Pengadilan Agama.

Analisis :

Setelah terjadi putusnya perkawinan baik akibat cerai mati maupun cerai
hidup bukan berarti persoalan rumah tangga langsung berakhir justru akan
menimbulkan banyak akibat hukumnya dengan kata lain akan ada banyak
persoalan yang harus diselesaikan oleh suami isteri yang mana salah satunya
adalah mengenai persoalan harta dalam perkawinan. Secara syari’ah harta benda
dalam perkawinan terbagi menjadi 2, yaitu harta bawaan dan harta bersama.
Adanya harta bersama dalam perkawinan tidak menutup kemungkinan adanya
harta milik masing-masing suami istri. Dalam konsep islam harta bersama
sepanjang perkawinan terjadi karena adanya usaha yang dilakukan bersama suami
dan istri. Harta bersama tersebut dapat berupa benda tidak bergerak, benda
bergerak dan surat-surat berharga. Sedangkan harta atau barang bawaan dari
kedua belah pihak serta harta yang diperoleh sebagai hadiah atau warisan adalah
di bawah penguasaan masing-masing, sepanjang para pihak tidak menentukan hal
lain dalam perjanjian kawin

Dalam Pasal 35 ayat (1) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang


Perkawinan (UU Perkawinan) mengatur bahwa harta benda yang diperoleh
selama perkawinan adalah harta bersama. Artinya adalah harta bersama itu
terbentuk sejak tanggal terjadinya perkawinan sampai perkawinan tersebut
putus.

Ketentuan dalam UU Perkawinan tersebut juga sesuai dengan Pasal 1 sub


f jo Pasal 85 Kompilasi Hukum Islam yang menyebutkan bahwa harta bersama
adalah harta yang diperoleh sepanjang perkawinan, baik benda itu terdaftar atas
nama suami ataupun sebaliknya atas nama istri.

Pada Pasal 96 ini membahas tentang pembagian harta kekayaan yang


mana akibat hukum perceraian terhadap harta bersama telah dibahas juga dalam
Pasal 37 UU No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan /UUP, namun dalam Pasal
tersebut tidak ditetapkan secara tegas berapa masing-masing suami atau istri yang
bercerai, dalam Pasal tersebut hanya menyatakan, “Bila perkawinan putus karena
perceraian, harta bersama diatur menurut hukumnya masing-masing”. Lebih jauh
dalam penjelasan Pasal 37 UU Perkawinan disebutkan bahwa “Yang dimaksud
dengan “Hukumnya” masing-masing ialah hukum agama, hukum adat dan
hukum-hukum lainnya”.
BAB XVI (Putusnya Perkawinan)

Pasal 135 : Gugatan perceraian karena alasan suami mendapat hukuman


penjara 5 (lima) tahun atau hukuman yang lebih berat sebagai dimaksud
dalam Pasal 116 huruf c, maka untuk mendapatkan putusan perceraian
sebagai bukti penggugat cukup menyampaikan salinan putusan
Pengadilan yang memutuskan perkara disertai keterangan yang
menyatakan bahwa putusan itu telah mempunyai kekuatan hukum yang
tetap.

Analisis :

Terdapat banyak alasan yang dijadikan dasar gugatan perceraian di


Pengadilan Agama, salah satunya yaitu suami dihukum penjara selama 5 (lima)
tahun atau lebih setelah perkawinan dilangsungkan.

Pernyataan dalam Pasal 135 KHI ini sama dengan Pasal 74 UU No.7
Tahun 1989 yang menyatakan bahwa “Apabila gugatan perceraian didasarkan atas
alasan salah satu pihak mendapat pidana penjara, maka untuk memperoleh
putusan perceraian, sebagai bukti penggugat cukup menyampaikan salinan
putusan Pengadilan yang berwenang yang memutuskan perkara disertai
keterangan yang menyatakan bahwa putusan itu telah memperoleh kekuatan
hukum tetap”.

Adanya Pasal 135 KHI ditujukan untuk istri yang tidak mau melanjutkan
pernikahan dikarenakan sang suami dipenjara selama 5 tahun atau lebih dan dari
sini pihak istri tidak mendapat nafkah secara lahir dan batin. Lalu gugatan
perceraian ini juga didukung dengan Pasal 40 UU No. 1 Tahun 1974, “gugatan
perceraian diajukan kepada pengadilan. Tatacara mengajukan gugatan tersebut
pada ayat (1) pasal ini diatur dalam peraturan perundangan tersendiri”.

BAB II (Ahli Waris)

Pasal 174 : 1. Kelompok-kelompok ahli waris terdiri dari :

a. Menurut hubungan darah;


1. Golongan laki-laki terdiri dari: ayah, anak laki-laki,
saudara laki-laki, paman dan kakek.
2. Golongan perempuan terdiri dari: ibu, anak
perempuan, saudara perempuan dan nenek.
b. Menurut hubungan perkawinan terdiri dari duda atau
janda.
2. Apabila semua ahli waris ada, maka yang berhak mendapat
warisan hanya anak, ayah, ibu, janda atau duda.

Analisis:

Salah satu sebab beralihnya harta seseorang yang telah meninggal dunia
kepada yang masih hidup adalah adanya hubungan silaturrahim atau kekerabatan
antara keduanya. Yaitu hubungan nasab yang disebabkan oleh kelahiran.

Rincian Ahli Waris pada pasal 174 ayat (1) huruf a diatas, sebanyak 9 orang
terdiri dari golongan jenis kelamin laki-laki 5 orang dan jenis kelamin perempuan
4 orang.

1) Golongan ahli waris laki-laki


(a) Ayah;
(b) Anak laki-laki;
(c) Saudara laki-laki;
(d) Paman;
(e) Kakek;

2) Golongan ahli waris perempuan


(a) Ibu;
(b) Anak perempuan;
(c) Saudara perempuan;
(d) Nenek

Apabila dianalisa rumusan ahli waris pada pasal 174 ayat (1) huruf a
dengan membandingkan rumusan ahli waris dalam kitab-kitab fikih kewarisan
terdahulu, terdapat perbedaan yang sangat menonjol. Dilihat dari segi jumlah, ahli
waris secara keseluruhan dalam kitab-kitab fikih terdahulu adalah sebanyak 25
orang tersebut terletak pada perincian ahli waris dilihat dari garis keturunan.
Kompilasi Hukum Islam (KHI) tidak membedakan garis keturunan dari kakek dan
nenek dari pihak ayah dan pihak ibu, dan tidak membedakan garis keturunan dari
kedua belah pihak (sekandung), sepihak (seayah atau seibu). Sedangkan fikih
kewarisan terdahulu membedakan ahli waris dengan melihat garis keturunan.
Pasal 174 ayat (1) huruf a. tentang pemahaman ahli waris saudara masih
menimbulkan penafsiran yang berbeda- beda, ada yang mengatakan sekandung,
seayah dan seibu.

Ahli waris dari hubungan perkawinan tersebut, kompilasi hukum islam


(KHI) pasal 174 (1) huruf b memberikan rincian, bahwa yang termasuk dalam
kelompok ini adalah duda atau janda. Pasal ini di pahami bahwa apabila terjadi
kematian salah satu pihak dari suami atau istri, maka statusnya berubah menjadi
duda (suami) atau janda (istri).
BAB VI (Hibah)

Pasal 213 : Hibah yang diberikan pada saat pemberi hibah dalam keadaan
sakit yang dekat dengan kematiannya, maka harus mendapat
persetujuan dari ahli warisnya.

Analisis :

Ketentuan dalam Pasal 213 ini menurut kajian fiqh orang yang sakit dapat
menghibahkan 1/3 hartanya dengan dianalogkan dengan wasiat dengan dasar
istishabul-hal menganggap tetap berlakunya sesuatu yang sama karena ijma,
menetapkan orang yang sakit boleh menghibahkan hartanya.

Pembatasan yang dilakukan Kompilasi Hukum Islam, baik dari usia


maupun 1/3 dari harta pemberi hibah, berdasar pertimbangan bahwa usia 21 tahun
telah dianggap cakap untuk memiliki hak untuk menghibahkan benda miliknya
itu. Demikian juga batasan 1/3 harta kecuali jika ahli warisnya menyetujui.

Adapun syarat-syarat hibah, selain yang mengikuti rukunrukun hibah


tersebut, para ulama menyebutkan syarat utama adalah penerimaannya yaitu
dengan cara memberi hibah ada dua macam: ucapan dan perbuatan. Ucapan
meliputi ijab dan qabul sedangkan perbuatan dengan memberikan sesuatu yang
menunjukkan makna hibah.

Menurut jumhur fuqaha berpendapat bahwa sakit yang menghalangi hibah


ialah sakit yang mengkhwatirkan. Demikian juga menurut Imam Malik, beberapa
keadaan yang mengkhawatirkan, seperti berada diantara dua barisan perang,
menjelang persalinan bagi orang hamil, serta penumpang kapal laut yang ditimpa
gelombang ombak yang dahsyat.

Anda mungkin juga menyukai