Anda di halaman 1dari 7

REFERAT

SKILL
SKILL SHALAT DALAM KONDISI KHUSUS

Oleh:
Salwa Rizqi Salsabila
201810330311050

UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH MALANG


FAKULTAS KEDOKTERAN
2020
BAB 1
PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang


Sholat menurut arti bahasa adalah doa dan pada awalnya merupakan istilah untuk
menunjukkan makna dari doa secara keseluruhan, namun semakin mengikuti zaman
kemudian berubah menjadi istilah secara khusus. Sehingga yang pada awalnya berasal dari
kata doa kemudian di pindah artikan kepada pemahaman shalat berdasarkan syariat. Shalat di
wajibkan atas dasar Al-Qur’an, Sunnah dan Ijma’ Ummat bagi semua umat muslim yang
baligh dan berakal kecuali bagi wanita yang haid dan nifas, ada lima shalat yang Alloh
wajibkan bagi hambanya, bagi siapa yang menunaikannya dan tidak mengabaikanya dengan
sikap menyepelekan maka Alloh berjanji akan memasukkannya ke dalam surga. (Sa’id,
2008).
Mengingat ibadah sholat adalah wajib dan menjadi keharusan semua orang baik dari
usia baligh hingga lansia sebelum dia meninggal tetap melaksanakannya. Kududukan shalat
dalam agama islam merupakan ibadah yang menempati posisi penting dan tidak dapat
digantikan oleh ibadah apapun juga, shalat sebagai tiang agama, amal yang paling pertama di
hisab, pilar kedua setelah syahadat dan dalam garis besarnya di bagi menjadi dua yaitu shalat
fardhu atau diwajibkan dan sunnah atau tidak diwajibkan.

1.2. Tujuan
Tujuan penulisan referat ini adalah untuk mengetahui bagaimana hukum dan
tatalaksana sholat, terutama pada saat kondisi khusus.

1.3. Manfaat
Penulisan referat ini diharapkan dapat menambah pengetahuan dan memperluas wawasan
baik penulis maupun pembaca dalam hal sholat dalam kondisi terntentu sehingga dapat
diterapkan di keseharian.
BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Definisi
Pengertian shalat dari bahasa Arab As-sholah, sholat menurut Bahasa / Etimologi
berarti Do‟a dan secara terminology/istilah, para ahli fiqh mengartikan secara lahir dan
hakiki.
Secara lahiriah shalat berarti beberapa ucapan dan perbuatan yang dimulai dengan
takbir dan diakhiri dengan salam., yang dengannya kita beribadah kepada Allah menurut
syarat-syarat yang telah ditentukan.
Adapun secara hakikinya ialah berhadapan hati (jiwa) kepada Allah, secara yang
mendatangkan takut kepadaNya serta menumbuhkan didalam jiwa rasa kebesaranNya atau
mendhohirkan hajat dan keperluan kita kepada Allah yang kita sembah dengan perkataan dan
pekerjaan atau keduaduanya.6 Sebagaimana perintah-Nya dalam surah al-Ankabut ayat 45

“Bacalah apa yang telah diwahyukan kepadamu, Yaitu Al kitab (Al Quran) dan dirikanlah
shalat. Sesungguhnya shalat itu mencegah dari (perbuatan- perbuatan) keji dan mungkar. dan
Sesungguhnya mengingat Allah (shalat) adalah lebih besar (keutamaannya dari ibadat-ibadat
yang lain). dan Allah mengetahui apa yang kamu kerjakan.”
Dari beberapa pengertaian diatas dapat disimpulkan bahwa shalat adalah merupakan
ibadah kepada Tuhan, berupa perkataan dengan perbuatan yang diawali dengan takbir dan
diakhiri dengan salam menurut syarat dan rukun yang telah ditentukan syara‟.

2.2. Tujuan Shalat


Adapun tujuan didirikan shalat menurut al- Qur‟an dalam surah al- Ankabut
ayat 45:

Dari unsur kata – kata melaksanakan itu tidak mengandung unsur batiniah
sehingga banyak mereka yang Islam dan melaksanakan shalat tetapi mereka masih
berbuat keji dan munkar. Sementara kata mendirikan selain mengandung unsur lahir
juga mengandung unsur batiniah sehingga apabila shalat telah mereka dirikan , maka
mereka tidak akan berbuat jahat.

2.3. Syarat-Syarat Rukun Wajib Syahnya Sholat


Syarat menunaikan ibadah sholat antara lain, yaitu:
1. Beragama Islam
2. Sudah Baligh dan Berakal
3. Suci dari hadist
4. Suci seluruh anggota badan, pakaian dan tempat
5. Menutup aurat, laki-laki auratnya anatara pusar dan lutut, sedangkan wanita
seluruh anggota badannya kecuali muka dan dua buah telapak tangan
6. Masuk waktu yang telah ditentukan untuk masing-masing sholat
7. Menghadap kiblat
8. Mengetahui mana yang ruku dan mana yang sunah

2.4. Tata Cara Shalat Dalam Keadaan Khusus

A. Tata cara shalat orang yang tidak mampu berdiri


Orang yang tidak mampu berdiri, maka shalatnya sambil duduk. Dengan ketentuan
sebagai berikut:
- Yang paling utama adalah dengan cara duduk bersila. Namun jika tidak
memungkinkan, maka dengan cara duduk apapun yang mudah untuk dilakukan.
- Duduk menghadap ke kiblat. Jika tidak memungkinkan untuk menghadap kiblat
maka tidak mengapa.
- Cara bertakbir dan bersedekap sama sebagaimana ketika shalat dalam keadaan
berdiri. Yaitu tangan di angkat hingga sejajar dengan telinga dan setelah itu
tangan kanan diletakkan di atas tangan kiri.
- Cara rukuknya dengan membungkukkan badan sedikit, ini merupakan
bentuk imaa` sebagaimana dalam hadits Jabir. Kedua telapak tangan di lutut.
- Cara sujudnya sama sebagaimana sujud biasa jika memungkinkan. Jika tidak
memungkinkan maka, dengan membungkukkan badannya lebih banyak dari
ketika rukuk.
- Cara tasyahud dengan meletakkan tangan di lutut dan melakukan tasyahud seperti
biasa.
B. Tata cara shalat orang yang tidak mampu duduk
Orang yang tidak mampu berdiri dan tidak mampu duduk, maka shalatnya sambil
berbaring. Shalat sambil berbaring ada dua macam:
a. ‘ala janbin (berbaring menyamping)
Ini yang lebih utama jika memungkinkan. Tata caranya:
- Berbaring menyamping ke kanan dan ke arah kiblat jika memungkinkan. Jika
tidak bisa menyamping ke kanan maka menyamping ke kiri namun tetap ke arah
kiblat. Jika tidak memungkinkan untuk menghadap kiblat maka tidak mengapa.
- Cara bertakbir dan bersedekap sama sebagaimana ketika shalat dalam keadaan
berdiri. Yaitu tangan di angkat hingga sejajar dengan telinga dan setelah itu
tangan kanan diletakkan di atas tangan kiri.
- Cara rukuknya dengan menundukkan kepala sedikit, ini merupakan bentuk imaa`
sebagaimana dalam hadits Jabir. Kedua tangan diluruskan ke arah lutut.
- Cara sujudnya dengan menundukkan kepala lebih banyak dari ketika rukuk.
Kedua tangan diluruskan ke arah lutut.
- Cara tasyahud dengan meluruskan tangan ke arah lutut namun jari telunjuk tetap
berisyarat ke arah kiblat.
b. mustalqiyan (telentang)
Jika tidak mampu berbaring ‘ala janbin, maka mustalqiyan. Tata caranya:
- Berbaring telentang dengan kaki menghadap kiblat. Yang utama, kepala diangkat
sedikit dengan ganjalan seperti bantal atau semisalnya sehingga wajah menghadap
kiblat. Jika tidak memungkinkan untuk menghadap kiblat maka tidak mengapa.
- Cara bertakbir dan bersedekap sama sebagaimana ketika shalat dalam keadaan
berdiri. Yaitu tangan diangkat hingga sejajar dengan telinga dan setelah itu tangan
kanan diletakkan di atas tangan kiri.
- Cara rukuknya dengan menundukkan kepala sedikit, ini merupakan bentuk imaa`
sebagaimana dalam hadits Jabir. Kedua tangan diluruskan ke arah lutut.
- Cara sujudnya dengan menundukkan kepala lebih banyak dari ketika rukuk.
Kedua tangan diluruskan ke arah lutut.
- Cara tasyahud dengan meluruskan tangan ke arah lutut namun jari telunjuk tetap
berisyarat ke arah kiblat.
C. Tata cara shalat orang yang tidak mampu menggerakkan anggota tubuhnya (lumpuh
total)
Jika tidak mampu menggerakan anggota tubuhnya namun bisa menggerakkan
mata, maka shalatnya dengan gerakan mata. Karena ini masih termasuk makna al-
imaa`. Ia kedipkan matanya sedikit ketika takbir dan rukuk, dan ia kedipkan banyak
untuk sujud. Disertai dengan gerakan lisan ketika membaca bacaan-bacaan shalat.
Jika lisan tidak mampu digerakkan, maka bacaan-bacaan shalat pun dibaca dalam
hati.
Jika tidak mampu menggerakan anggota tubuhnya sama sekali namun masih
sadar, maka shalatnya dengan hatinya. Yaitu ia membayangkan dalam hatinya
gerakan-gerakan shalat yang ia kerjakan disertai dengan gerakan lisan ketika
membaca bacaan-bacaan shalat. Jika lisan tidak mampu digerakkan, maka bacaan-
bacaan shalat pun dibaca dalam hati.
BAB 3
KESIMPULAN

Shalat merupakan rukun Islam yang ke-2, dan sholat merupakan kewajiban bagi
setiap umat Islam. Islam adalah agama yang mempermudah seluruh umatnya. Dalam keadaan
khusus, seperti sakit misalnya. Kita tetap wajib melaksanakan ibadah shalat. Ibadah shalat
dalam kondisi tertentu telah dibedakan tata cara pelaksanaannya sesuai dengan kemampuan
seseorang pada kondisi tersebut.
DAFTAR PUSTAKA

Amir Abyan, Zainal Muttaqim. (2004). Fiqih. Semarang: PT Karya Thoha Putra.


Andres Anwarudin, DKK. (2007). Fiqih. Jakarta: Yudhi Tira.
Majmu Fatawa war Rasail Syaikh Muhammad bin Shalih Al Utsaimin (15/229), Asy
Syamilah

Anda mungkin juga menyukai