Anda di halaman 1dari 19

5

2.3 Morfologi Virus

Bentuk dan Ukuran

Bentuk virus ada yang berbentuk bulat, oval, memanjang, silindris, dan
ada juga yang berbentuk T. Ukuran Virus sangat kecil, hanya dapat dilihat
dengan menggunakan mikroskop electron. Ukurannya berkisar dari 0,02
mikrometer sampai 0,3 mikrometer (Damara D, 2017).

Susunan Tubuh

1. Kapsid
Kapsid adalah lapisan pembungkus tubuh virus yang tersusun atas
protein. Kapsid terdiri dari sejumlah kapsomer yang terikar satu sama lain.
Fungsi kapsid yaitu :
 Memberi bentuk virus
 Pelindung dari kondisi lingkungan yang merugikan
 Mempermudah penempelan pada proses penembusan ke dalam sel
6

2. Isi
Terdapat di sebelah dalam kapsid berupa materi genetik/ molekul
pembawa sifat keturunan yaitu DNA atau RNA. Virus hanya memiliki
satu asam nukleat saja yaitu satu DNA/ satu RNA saja.
3. Kepala
Kepala virus berisi DNA, RNA dan diselubungi oleh kapsid. Kapsid
tersusun oleh satu unit protein yang disebut kapsomer.
4. Ekor
Serabut ekor adalah bagian yang berupa jarum dan berfungsi untuk
menempelkan tubuh virus pada sel inang. Ekor ini melekat pada kepala
kapsid (Damara D, 2017).

2.4 Klasifikasi Virus

1). Berdasarkan kandungan asam nukleatnya, virus diklasifikasikan menjadi


dua.
7

a) Ribovirus (virus RNA), yaitu virus yang asam nukleatnya berupa


RNA.

Contoh : togavirus (penyebab demam kuning dan ensefalitis),


arenavirus (penyebab meningitis), picornavirus (penyebab polio),
orthomyxovirus (penyebab influenza), paramyxovirus (penyebab
pes pada ternak), rhabdovirus (penyebab rabies), hepatitisvirus
(penyebab hepatitis pada manusia), dan retrovirus (dapat
menyebabkan AIDS).
b) Deoksiribovirus (virus DNA), yaitu virus yang asam nukleatnya
berupa DNA.
8

Contoh : virus herpes (penyebab herpes), poxvirus (penyebab


kanker seperti leukemia dan limfoma, ada pula yang menyebabkan
AIDS), mozaikvirus (penyebab bercak-bercak pada daun
tembakau), dan papovavirus (penyebab kutil pada
manusia/papiloma).
2). Berdasarkan bentuk dasarnya, virus diklasifikasikan sebagai berikut.
a) Virus bentuk ikosahedral atau polihedral : bentuk tata ruang yang
dibatasi oleh 20 segitiga sama sisi dengan sumbu rotasi ganda.
Contoh virus polio dan adenovirus.
9

b) Virus bentuk helikal: menyerupai batang panjang, nukleokapsidnya


tidak kaku, berbentuk heliks, dan memiliki satu sumbu rotasi. Pada
bagian atas terlihat RNA virus dengan kapsomer, misal virus
influenza dan TMV.

c) Virus bentuk kompleks : Struktur yang amat kompleks dan pada


umumnya lebih lengkap dibanding dengan virus lainnya. Contoh
10

poxvirus (virus cacar) yang mempunyai selubung yang


menyelubungi asam nukleat.

3). Berdasarkan keberadaan selubung yang melapisi nukleokapsid, virus


dibedakan menjadi dua :
a) Virus berselubung, mempunyai selubung yang tersusun dari
lipoprotein atau glikoprotein.

Contoh poxvirus, herpesvirus, orthomyxovirus, paramyxovirus,


rhabdovirus, togavirus, dan retrovirus.
11

b) Virus telanjang. Nukleokapsid tidak diselubungi oleh lapisan yang


lain.
Contoh Adenoviruses, Papovaviruses, Picornaviruses, dan
Reoviruses.

4). Berdasarkan jumlah kapsomernya, virus diklasifikasikan sebagai berikut.


a) Virus dengan 252 kapsomer, contoh adenovirus.
b) Virus dengan 162 kapsomer, contoh herpesvirus.
c) Virus dengan 72 kapsomer, contoh papovavirus.
d) Virus dengan 60 kapsomer, contoh picornavirus.
e) Virus dengan 32 kapsomer, contoh parvovirus

5) Berdasarkan sel inangnya, virus diklasifikasikan sebagai berikut.


a) Virus yang menyerang manusia, contoh HIV.
b) Virus yang menyerang hewan, contoh rabies.
c) Virus yang menyerang tumbuhan, contoh TMV.
d) Virus yang menyerang bakteri, contoh virus T.

(Campbell, 2006)
12

2.5 Replikasi Virus

REPLIKASI VIRUS

Perkembangbiakkan virus sering juga disebut dengan istilah replikasi.


Untuk berkembangbiak, virus memerlukan lingkungan sel yang hidup. Oleh
karena itu, virus menginfeksi sel bakteri, sel hewan, sel tumbuhan dan sel
manusia. Ada dua macam cara virus menginfeksi bakteri yaitu secara litik
dan secara lisogenik. Pada infeksi secara lisogenik, virus tidak
menghancurkan sel, tetapi berintegrasi dengan DNA sel induk. Dengan
demikian, virus akan bertambah banyak pada saat sel inang membelah. Pada
prinsipnya cara perkembangbiakan virus pada hewan maupun tumbuhan
mirip dengan yang berlansung pada bakteriofag seperti yang diuraikan
berikut ini.

1. Infeksi secara litik melalui fase-fase berikut ini:


a. Fase Absorpsi
Pada fase Absorpsi, fage melekat di bagian tertentu dari dinding sel bakteri
dengan serabut ekornya. Daerah perlekatan itu disebut daerah reseptor,
daerah ini khas bagi fage sehingga fage jenis lain tidak dapat melekat di
tempat tersebut.
13

b. Fase Penetrasi
Meskipun tidak memilki enzim untuk metabolisme, bakteriofage memiliki
enzim lisosom yang berfungsi merusak dinding sel bakteri. Setelah dinding
sel bakteri terhidrolisi, maka DNA fage masuk ke dalam sel bakteri.
c. Fase Replikasi dan Sintesis
Pada fase ini, fage merusak DNA bakteri dan menggunakannya sebagai
bahan untuk replikasi dan sintesis.Pada fase replikasi, fage menyusun dan
memperbanyak DNAnya. Pada fase sintesis, fage membentuk selubung-
selubung protein (kapsid) baru. Bagian-bagian fage yang terdiri dari kepala,
ekor dan serabut ekor telah terbentuk.
d. Fase Perakitan
Komponen-komponen fage akan disusun membentuk fage baru yang
lengkap dengan molekul DNA dan kapsidnya.
e. Fase Pembebasan atau lisis
Setelah fage dewasa, sel bakteri akan pecah (lisis), sehingga fage yang baru
akan keluar. Jumlah virus baru ini dapat mencapai 200 buah. Pembentukkan
partikel bakteriofage melalui siklus litik ini memerlukan waktu 20 menit.
2. Infeksi secara lisogenik
Infeksi secara lisogenik melalui fase-fase berikut ini:
a. Fase Absorpsi dan Infeksi
Pada fase absrpsi dan infeksi peristiwa yang terjadi sam halnya dengan fase
absropsi pada infeksi secara litik. Fage menempel di tempat yang tepat yang
spesifik pada sel bakteri.
b. Fase Penetrasi
Pada fase ini, fage melepas enzim lisozim sehingga dinding sel bakteri
berlubang. Selanjutnya, DNA fage masuk ke dalam sel bakteri.
c. Fase Penggabungan
DNA virus bergabung dengan DNA bakteri membentuk profage. Dalam
bentuk profage, sebagian besar gen berada dalam fase tidak aktif, tetapi
sedikitnya ada satu gen yang selalu aktif. Gen aktif berfungsi untuk
mengkode protein reseptor yang berfungsi menjaga agar sebagian gen
profage tidak aktif.
14

d. Fase Replikasi
Saat profage akan bereplikasi, itu artinya DNA fage juga turut bereplikasi.
Kemudian ketika bakteri membelah diri, bakteri menghasilkan dua sel
anakan yang masing-masing mengandung profage. DNA fage (dalam
profage) akan terus bertambah banyak jika sel bakteri terus menerus
membelah. Bakteri lisogenik dapat diinduksi untuk mengaktifkan
profagenya. Pengaktifan ini mengakibatkan terjadinya siklus litik.
(Fifendy,2017)

Siklus Replikasi Paramiksovirus


A. PERLEKATAN, PENETRASI, DAN SELUBUNG VIRUS
Paramiksovirus melekat pada sel pejamu melalui glikoprotein
hemaglutinin (protein HN atau N). Pada kasus virus campak,reseptornya
adalah molekul membrane CD46. Lalu, selubung virion berfusi dengan
membrane sel melalui kerja produk pembelahan glikoprotein fusi F 1. Jika
prekursor F0 tidak dibelah, precursor ini tidak memilki aktifitas fusi, tidak
terjadi penetrasi virion; dan partikel virus tidak dapat memulai infeksi.
Fusi oleh F1 terjadi pada lingkungan ekstraselular dengan pH netral,
memungkinkan pelepasan nukleokapsid virus secara langsung ke dalam
sel. Dengan demikian, paramiksovirus dapat melewati internalisasi melalui
endosome.

B. TRANSKRIPSI, TRANSLASI, SERTA REPLIKASI RNA


Paramiksovirus mengandung genom RNA untai negatif yang tidak
bersegmen. Transkripsi messenger RNA dibut di dalam sitoplasma sel
oleh polymerase RNA virus. Tidak dibutuhkan primer eksogen dan dengan
demikian tidak bergantung pada fungsi sel inti. mRNA jauh lebih kecil
daripada ukuran genom; masing-masing mewakili gen tunggal. Sekuens
regulasi transkripsional pada gen membatasi awal dan akhir transkripsi
sinyal. Posisi relative gen terhadap ujung 3’ genom berkaitan dengan
efisiensi transkripsi. Kelas transkripsi yang paling banyak dihasilkan oleh
15

sel terinfeksi, berasal dari gen NP, terletak paling dekat dengan ujung 3’
genom, sedangkan yang lebih sedikit berasal dari gen L, terletak di ujung
5’.
Protein virus disintesis di dalam sitoplasma dan jumlah masing-
masing produk gen berkaitan dengan kadar transkrip mRNA dari gen
tersebut. Glikoprotein virus disintesis dan mengalami glikosilasi di dalam
jalur sekresi.
Kompleks protein polymerase virus (protein P dan L) juga
berperan untuk replikasi genom virus. Untuk berhasil menyintesis cetakan
antigenom rantai positif intermedia, kompleks polymerase harus
mengabaikan sinyal terminasi yang tersebar pada perbatasan gen. seluruh
panjang genom progeny dikopi dari cetakan antigenom.
Genom paramiksovirus yang tidak bersegmen meniadakan
kemungkinan penyusunan ulang segmen gen (yaitu, genetic reassortment)
sehingga penting bagi perjalanan alamiah virus influenza. Protein
permukaan HN dan F paramiksovirus menunjukkan variasi genetic yang
minimal dalam jangka waktu yang lama. Mengejutkan bahwa virus
tersebut tidak mengalami antigenic drift akibat mutasi yang terjadi saat
replikasi, karena RNA polymerase rentan terhadap terjadinya kesalahan.
Satu penjelasan yang mungkin adalah bahwa hamper semua asam amino
di dalam struktur primer glikoprotein paramiksovirus dapat terlibat di
dalam peran pembentukan atau fungsional, meninggalkan kesempatan
yang kecil untuk substitusi yang secara jelas tidak akan menghilangkan
viabilitas virus.

C. MATURASI
Virus matang dengan membentuk tonjolan dari permukaan sel.
Nukleokapsid progeni terbentuk di dalam sitoplasma dan bermigrasi ke
permukaan sel. Mereka ditarik ke suatu tempat di membrane plasma yang
bertaburan duri glikoprotein HN dan F0 virus. Protein M penting untuk
oembentukan partikel, mungkin membentuk hubungan antarac selubung
16

virus dan nukleokapsid. Saat penonjolan, sebagian besar protein pejamu


dikeluarkan dari membrane.

Jika terdapat protease sel pejamu yang sesuai, protein F 0 di dalam


membrane plasma akan diaktivasi oleh pembelahan. Protein fusi yang
teraktivasi kemudian akan menimbulkan fusi membrane sel disekitarnya,
dan menghasilkan pembentukan sinsitium yang besar. Pembentukan
sinsitium adalah respons yang umum terhadap infeksi paramiksovirus.
Inklusi sitoplasma asidofili secara teratur dibentuk. Inkulusi diyakini
menggambarkan tempat sintesis virus dan ditemukan mengandung
protein virus dan nukleokapsid yang dapat dikenali. Virus campak juga
menghasilkan inklusi intranukleus.(Jawetz,2013)

2.6 Penularan Virus

1. Melalui droplet atau udara

Contoh: Virus Campak


Penyebaran infeksi terjadi jika terhirup droplet di udara yang berasal dari
penderita. Virus campak masuk melalui saluran pernapasan dan melekat di
sel-sel epitel saluran napas. Setelah melekat, virus bereplikasi dan diikuti
dengan penyebaran ke kelenjar limfe regional. Setelah penyebaran ini,
terjadi viremia primer disusul multiplikasi virus di sistem retikuloendotelial
di limpa, hati, dan kelenjar limfe. Multiplikasi virus juga terjadi di tempat
awal melekatnya virus. Pada hari ke-5 sampai ke-7 infeksi, terjadi viremia
sekunder di seluruh tubuh terutama di kulit dan saluran pernapasan. Pada
17

hari ke-11 sampai hari ke14, virus ada di darah, saluran pernapasan, dan
organ-organ tubuh lainnya, 2-3 hari kemudian virus mulai berkurang.
Selama infeksi, virus bereplikasi di sel-sel endotelial, sel-sel epitel, monosit,
dan makrofag.(Halim,2017)

2. Melalui jarum suntik dan peralatan medis yang tercemar

Contoh: Virus HIV


Pemakaian jarum suntik secara bergantian pada pengguna narkoba dan
pengguna tato dapat meningkatkan angka kejadian HIV melalui produk
darah yang terinfeksi yang ada pada jarum suntik tersebut, akibat
penggunaan jarum secara tidak steril.(Arista,2015)

3. Melalui seks bebas


Contoh: Virus HIV
Setiap hubungan seksual sangat memungkinkan menimbulkan luka lecet
yang bersifat mikroskopik, baik pada penis maupun vagina. Walaupun
lapisan epitel vagina cukup tebal dan dilapisi lendir ketika wanita berada
dalam keadaan terangsang, luka lecet tetap mungkin terjadi. Melalui luka
lecet yang tidak tampak oleh mata inilah virus HIV yang ada di dalam
cairan semen masuk mengalir ke dalam darah, menulari pasangan yang
semula sehat. Karena bentuk anatomik kelaminnya, maka wanita lebih
mudah tertular HIV malalui hubungan seksual dibandingkan pria. Dalam
peristiwa hubungan seksual, sperma yang dikeluarkan tertumpuk di dalam
vagina, bahkan tersisa dalam waktu cukup lama. Kalau seorang wanita
melakukan hubungan seksual dengan pria pengidap HIV, maka sperma yang
tertumpuk mempunyai kesempatan lebih lama untuk menularkan virusnya.
Pada laki-laki, sebaliknya yang terjadi. Setelah melakukan hubungan
seksual, lendir vagina tidak mempunyai kesempatan lebih lama menempel
pada penis. Dengan demikian HIV yang ada di lendir vagina mempunyai
kesempatan menular lebih singkat.(Widiawati,2013).

4. Melalui barang pribadi


Contoh: Virus Ebola
18

Bersentuhan melalui kasur, pakaian, atau permukaan yang terkontaminasi


juga bisa menyebabkan infeksi, tetapi pada orang sehat hanya melalui luka
terbuka.(Jayanegara,2016)

5. Melalui cairan tubuh/darah


Contoh: Virus Ebola
EVD menular melalui darah, muntah, feses, dan cairan tubuh dari manusia
pengidap EVD ke manusia lain. Infeksi terjadi ketika cairan-cairan tubuh
tersebut menyentuh mulut, hidung, atau luka terbuka orang sehat. Virus
Ebola juga bisa ditemukan dalam urin dan cairan sperma. Virus Ebola
menginfeksi subjek melalui kontak dengan cairan tubuh atau sekret pasien
terinfeksi dan didistribusikan melalui sirkulasi. Kontak dapat terjadi melalui
lecet di kulit selama perawatan pasien. Sekitar 1 minggu setelah infeksi,
virus mulai melakukan replikasi pada sel – sel target utama, yaitu sel
endotel, fagosit mononuklear, dan hepatosit. Virus kemudian mengambil
alih sistem kekebalan dan sintesis protein dari sel yang terinfeksi. Barulah
kemudian virus Ebola mulai mensintesis glikoprotein yang membentuk
trimerik kompleks, berfungsi mengikat virus ke sel-sel endotel yang
melapisi permukaan interior pembuluh darah. Glikoprotein juga membentuk
protein dimer, yang memungkinkan virus menghindari sistem kekebalan
tubuh dengan menghambat langkah-langkah awal aktivasi neutrofil.
Kehadiran partikel virus dan kerusakan sel yang dihasilkan menyebabkan
pelepasan sitokin, yang berhubungan dengan demam dan peradangan. Efek
sitopatik infeksi di selsel endotel menghilangkan integritas vaskuler. Tanpa
integritas pembuluh darah, kebocoran darah secara cepat menimbulkan
perdarahan internal dan eksternal sampai tahap masif dan bahkan dapat
menyebabkan syok hipovolemik.(Jayanegara,2016)
2.7 Patofisiologis Virus Campak
Viremia sekunder menebarkan virus ke permukaan epitel tubuh,
termasuk kulit, saluran napas, dan konjungtiva, tempat terjadi replikasi
fokal. Campak dapat bereplikasi di limfosit-limfosit tertentu yang
membantu penyebaran keseluruh tubuh. Sel raksasa multinuklear dengan
19

inklusi intranuklear terlihat di dalam jaringan limfe di sekujur tubuh


(kelenjar limfe, tonsil, apendiks). Peristiwa ini terjadi Virus masuk ke dalam
tubuh manusia melalui saluran napas, dan disini ia berkembang biak secara
lokal; infeksi kemudian menyebar ke jaringan limfe regional, lalu terjadi
perkembangbiakan lebih lanjut. Viremia primer menyebarkan virus yang
kemudian bereplikasi di dalam sistem retikuloendotelialsepanjang periode
inkubasi, yang biasanya bertahan selama 8-12 hari, tetapi dapat bertahan
hingga 3 minggu pada orang dewasa.

Selama fase prodromal (2 – 4 hari) dan 2 – 5 hari pertama ruam, virus


dijumpai di dalam air mata, sekresi hidung dan tenggorok, rine dan darah.
Ruam makulopapular yang khas tampak di hari ke – 14 begitu antibodi
terdeteksi di dalam sirkulasi, viremia menghilang, dan demam menurun.
Ruam muncul akibat interaksi sel T imun dengan sel yang terinfeksi virus
dalam pembuluh darah kecil dan bertahan sekitar 1 minggu. (pada penderita
yang mengalami gangguan imunitas berperantara sel, ruam tidak timbul.)

Keterlibatan sistem saraf pusat tergolong sering pada campak. Ensefalitis


simtomatik dijumpai disekitar 1:1000 kasus. Karena virus yang terinfeksius
jarang dijumpai di dalam otak, reaksi autoimun diduga berperan
menyebabkan komplikasi ini. Sebaliknya, dapat dijumpai ensefalitis badan
inklusi campak progresif pada pasien yang mengalami gangguan imunitas
berperantara sel. Pada bentuk penyakit yang biasanya mematikan ini, virus
yang sedang aktif bereplikasi dijumpai di dalam otak.

Komplikasi campak tahap lanjut adalah sebacute sclerosing panenchepalitis


(SSPE). Penyakit yang mematikan ini timbul tahunan setelah infeksi
campak pertama dan disebabkan oleh virus yang tetap berada di dalam
tubuh pasca – infeksi campak akut. Sejumlah besar antigen campak muncul
dalam badan inklusi pada sel otak yang terinfeksi, tetapi hanya ada beberapa
partikel virus yang matang. Replikasi virus yang mengalami gangguan
karena kurangnya produksi satu atau dua produk gen virus yang biasanya
adalah protein matriks. (Jawetz, 2013)
20

2.8 Respon Sistem Imun Terhadap Virus


Infeksi virus campak secara in vitro menginduksi produksi interferon
(IFN)-a, yang dapat mengurangi replikasi virus campak dan IFN-b dapat
meningkatkan ekspresi antigen Major Histocompability Complexes (MHC)
kelas I pada sel yang terinfeksi. Peningkatan kadar interferon dalam serum
terjadi pada 8 – 11 hari sesudah imunisasi campak. Sel Natural killer (NK)
juga berperan dalam mekanisme pertahanan dini, akan tetapi studi tentang
aktivitas sel NK menunjukkan bahwa fungsi sel NK menurun selama infeksi
virus campak. (Setiawan,2006)
2.9 Pencegahan Virus
 Pencegahan Tingkat Awal (Priemordial Prevention)
Pencegahan tingkat awal berhubungan dengan keadaan penyakit yang
masih dalam tahap prepatogenesis atau penyakit belum tampak yang
dapat dilakukan dengan memantapkan status kesehatan balita dengan
memberikan makanan bergizi sehingga dapat meningkatkan daya
tahan tubuh.
 Pencegahan Tingkat Pertama (Primary Prevention)
Pencegahan tingkat pertama ini merupakan upaya untuk mencegah
seseorang terkena penyakit campak, yaitu :
 Memberi penyuluhan kepada masyarakat mengenai
pentingnya pelaksanaan imunisasi campak untuk semua bayi.
 Imunisasi dengan virus campak hidup yang dilemahkan, yang
diberikan pada semua anak berumur 9 bulan sangat dianjurkan
karena dapat melindungi sampai jangka waktu 4-5 tahun.
 Pencegahan Tingkat Kedua (Secondary Prevention)
Pencegahan tingkat kedua ditujukan untuk mendeteksi penyakit sedini
mungkin untuk mendapatkan pengobatan yang tepat. Dengan
demikian pencegahan ini sekurang-kurangnya dapat menghambat atau
memperlambat progrefisitas penyakit, mencegah komplikasi, dan
membatasi kemungkinan kecatatan, yaitu :
21

 Menentukan diagnosis campak dengan benar baik melalui


pemeriksaan fisik atau darah.

 Mencegah perluasan infeksi. Anak yang menderita campak


jangan masuk sekolah selama empat hari setelah timbulnya
rash. Menempatkan anak pada ruang khusus atau
mempertahankan isolasi di rumah sakit dengan melakukan
pemisahan penderita pada stadium kataral yakni dari hari
pertama hingga hari keempat setelah timbulnya rash yang
dapat mengurangi keterpajanan pasien-pasien dengan risiko
tinggi lainnya.
 Pengobatan simtomatik diberikan untuk mengurangi keluhan
penderita yakni antipiretik untuk menurunkan panas dan juga
obat batuk. Antibiotika hanya diberikan bila terjadi infeksi
sekunder untuk mencegah komplikasi.

 Diet dengan gizi tinggi kalori dan tinggi protein bertujuan


untuk meningkatkan daya tahan tubuh penderita sehingga
dapat mengurangi terjadinya komplikasi campak yakni
bronkhitis, otitis media, pneumonia, ensefalomielitis, abortus,
dan miokarditis yang reversibel.

 Pencegahan Tingkat Ketiga (Tertiary Prevention)


Pencegahan tingkat ketiga bertujuan untuk mencegah terjadinya
komplikasi dan kematian. Adapun tindakan-tindakan yang dilakukan
pada pencegahan tertier yaitu :

 Penanganan akibat lanjutan dari komplikasi campak.

Pemberian vitamin A dosis tinggi karena cadangan vitamin A


akan turun secara cepat terutama pada anak kurang gizi yang
akan menurunkan imunitas mereka. (Barus, 2010)
22

2.10 Tes Lab


Diagnosis Laboratorium

Deteksi Antigen
Antigen campak dapat dideteksi langsung pada sel epitel dalam secret
respirasi dan urine. Antibodi terhadap nucleoprotein bermanfaat karena
merupakan protein virus yang paling banyakditemukanpadasel yang
terinfeksi.

Isolasi dan Identifikasi Virus


Apusan nasofaring dan konjungtiva, sampel darah, sekret pernapasan,
serta urine yang diambil dari pasien selama masa demam merupakan
sumber yang sesuai untuk isolasi virus. Sel ginjal monyet atau manusia
atau jenis sel lomfoblast (B95-a) optimal untuk upaya isolasi.Virus
campak tumbuh lambat; efeksitopatik yang khas (sel raksasa
multinukleus yang mengandung badan inklusi intranuklear dan
intrasitoplasmik) terbentukdalam 7-10 hari.Uji kultur vial kerang dapat
selesai dalam 2-3 hari menggunakan pewarnaan antibody flouresens
untuk mendeteksi antigen campak pada kultur yang telah diinokulasi.
Namun, isolasi virus sulitsecarateknik.

Serologi
Pemastian infeksi campak secara serologis bergantung pada
peningkatan titer antibody empat kali lipat antara serum fase-akut dan
fase konvalensi atau terlihatnya antibody IgM spesifik campak di dalam
specimen serum tunggal yang diambilantara 1 dan 2 minggu setelah
awitan ruam. ELISA, uji HI, dan tes Nt semuanya dapat digunakan
untuk mengukur antibody campak, walaupun ELISA merupakanmetode
yang paling praktis.
Bagian utama respons imun ditujukan untuk melawan
nucleoprotein virus. Pasien dengan panen sefalitis sklerosasubakute
menunjukan respons antibody yang berlebihan, dengan titer 10 hingga
23

100 kali lipat lebih tinggi dari pada peningkatan titer yang terlihat
didalam serum konvalensi yang khas. (Jawetz, 2006)

Anda mungkin juga menyukai