Anda di halaman 1dari 13

LAPORAN PENDAHULUAN

CHOLELITIASIS
I. KONSEP MEDIS
A. Pengertian
Kolelitiasis adalah adanya batu yang terdapat didalam kandung empedu
atau saluran empedu (duktus koledokus) atau keduanya (Muttaqin dan Sari,
2015). Batu empedu bisa terdapat pada kantung empedu, saluran empedu
ekstra hepatik, atau saluran empedu intra hepatik. Bila terletak di dalam
kantung empedu saja disebut kolesistolitiasis, dan yang terletak di dalam
saluran empedu ekstra hepatik (duktus koleduktus) disebut koledokolitiasis,
sedang bila terdapat di dalam saluran empedu intra hepatik disebelah
proksimal duktus hepatikus kanan dan kiri disebut hepatolitiasis.
B. Etiologi
Etiologi batu empedu masih belum diketahui secara pasti. Kolelitiasis
dapat terjadi dengan atau tanpa faktor resiko dibawah ini. Faktor resiko
tersebut antara lain (Cahyono, Suharjo B. 2019):
1. Jenis Kelamin
Wanita mempunyai resiko 2-3 kali lipat untuk terkena kolelitiasis
dibandingkan dengan pria. Ini dikarenakan oleh hormon esterogen
berpengaruh terhadap peningkatan eskresi kolesterol oleh kandung
empedu.
2. Usia
Resiko untuk terkena kolelitiasis meningkat sejalan dengan
bertambahnya usia. Orang dengan usia > 60 tahun lebih cenderung untuk
terkena kolelitiasis dibandingkan dengan orang degan usia yang lebih
muda.
3. Obesitas
Kondisi obesitas akan meningkatkan metabolism umum, resistensi
insulin, diabetes militus tipe II, hipertensi dan hyperlipidemia berhubungan
dengan peningkatan sekresi kolesterol hepatica dan merupakan faktor
resiko utama untuk pengembangan batu empedu kolesterol.

4. Obat-obatan
Estrogen yang diberikan untuk kontrasepsi atau untuk pengobatan
kanker prostat meningkatkan risiko batu empedu kolesterol. Clofibrate dan
obat fibrat hipolipidemik meningkatkan pengeluaran kolesterol hepatic
melalui sekresi bilier dan tampaknya meningkatkan resiko batu empedu
kolesterol. Analog somatostatin muncul sebagai faktor predisposisi untuk
batu empedu dengan mengurangi pengosongan kantung empedu.
5. Diet
Diet rendah serat akan meningkatkan asam empedu sekunder (seperti
asam desoksikolat) dalam empedu dan membuat empedu lebih litogenik.
Karbohidrat dalam bentuk murni meningkatkan saturasi kolesterol
empedu. Diet tinggi kolesterol meningkatkan kolesterol empedu.
6. Keturunan
Sekitar 25% dari batu empedu kolesterol, faktor predisposisi
tampaknya adalah turun temurun, seperti yang dinilai dari penelitian
terhadap kembar identik fraternal.
7. Infeksi Bilier
Infeksi bakteri dalam saluran empedu dapat memgang peranan
sebagian pada pembentukan batu dengan meningkatkan deskuamasi
seluler dan pembentukan mucus. Mukus meningkatkan viskositas dan
unsur seluler sebagai pusat presipitasi.
8. Gangguan Intestinal
Pasien pasca reseksi usus dan penyakit crohn memiliki risiko
penurunan atau kehilangan garam empedu dari intestinal. Garam empedu
merupakan agen pengikat kolesterol, penurunan garam pempedu jelas akan
meningkatkan konsentrasi kolesterol dan meningkatkan resiko batu
empedu.
C. Manifestasi Klinik
1. Gejala Akut
Tanda

a. Epigastrium kanan terasa nyeri dan spasme


b. Usaha inspirasi dalam waktu diraba pada kwadran kanan atas 
c. Kandung empedu membesar  dan nyeri
d. Ikterus ringan

Gejala

a. Rasa nyeri (kolik empedu) yang Menetap


b. Mual dan muntah                    
c. Febris (38,5 C) 

2. Gejala Kronis
Tanda

a. Biasanya tak tampak gambaran pada abdomen


b. Kadang terdapat nyeri di kwadran kanan atas

Gejala

a. Rasa nyeri (kolik empedu), Tempat : abdomen bagian atas (mid


epigastrium), Sifat : terpusat di epigastrium menyebar ke arah skapula
kanan
b. Nausea dan muntah
c. Intoleransi dengan makanan berlemak
d. Flatulensi
e. Eruktasi (bersendawa) (Hadi, Sujono. 2018).

3. Patofisiologi
Batu empedu terdapat di dalam kandung empedu atau dapat bergerak
kearea lain dari sistem empedu. Pada saat pengosongan kandung empedu atau
pengisian kandung empedu batu dapat pindah dan terjebak dalam leher
kandung empedu. Selain leher cysticduct (saluran cyste), atau saluran empedu
menyebabkan bebuntuan. Ketika empedu tidak bias mengalir dari kandung
empedu. Terjadi bendungan dan iritasi lokal dari batu empedu menyebabkan
radang batu empedu (cholecystitis)
Faktor yang mendukung :
1. Kadar kolesterol yang tinggi pada empedu
2. Pengeluaran empedu yang berkurang
3. Kecepatan pengosongan kandung empedu yang menurun
4. Perubahan pada konsentrasi empedu atau bendungan empedu pada
kandung empedu (Schwartz, Seymour I. 2017.)
4. Pemeriksaan Penunjang
1. Pemeriksaan Laboratorium
 Leukosit : 12.000 - 15.000 /iu (N : 5000 - 10.000 iu). 
 Bilirubin : meningkat ringan, (N : < 0,4 mg/dl). 
 Amilase serum meningkat.( N: 17 - 115 unit/100ml).
 Protrombin menurun, bila aliran dari empedu intestin menurun
karena obstruksi  sehingga menyebabkan penurunan absorbsi
vitamin  K.(cara Kapilar : 2 - 6 mnt).
2. Ultrasonografi (USG)
Menunjukkan adanya bendungan /hambatan , hal ini karena adanya batu
empedu dan distensi saluran empedu  ( frekuensi sesuai dengan prosedur
diagnostik)

Gambar : hasil USG pada kolelitiasis


3. Endoscopic Retrograde Cholangiopnacreatography (ERCP)
Bertujuan untuk melihat kandung empedu, tiga cabang saluran empedu
melalui ductus duodenum.

Gambar : hasil ERCP pada kolelitiasis


4. CT Scan : Computed Tomografi (CT)
Menunjukkan gellbalder pada cysti, dilatasi pada saluran empedu,

Gambar : Hasil CT pada kolelitiasis

5. Foto Abdomen :Gambaran radiopaque (perkapuran ) galstones, pengapuran


pada saluran atau pembesaran pada gallblader.

Gambar : Hasil foto polos abdomen pada kolelitiasis

6. PTC (perkutaneus transhepatik cholengiografi): Pemberian cairan kontras


untuk menentukan adanya batu dan cairan pankreas.
7. Magnetic resonance imaging (MRI) with magnetic resonance
cholangiopancreatography (MRCP)
5. Penatalaksanaan
Penanganan kolelitiasis dibedakan menjadi dua yaitu penatalaksanaan non
bedah dan bedah. Ada juga yang membagi berdasarkan ada tidaknya gejala
yang menyertai kolelitiasis, yaitu penatalaksanaan pada kolelitiasis
simptomatik dan kolelitiasis yang asimptomatik
1. Penatalaksanaan Non-Pembedahan 
a) Penatalaksanaan pendukung dan diet
Kurang lebih 80% dari pasien-pasien inflamasi akut kandung empedu
sembuh dengan istirahat, cairan infus, penghisapan nasogastrik,
analgesik dan antibiotik. Intervensi bedah harus ditunda sampai gejala
akut mereda dan evalusi yang lengkap dapat dilaksanakan, kecuali jika
kondisi pasien memburuk (Smeltzer, SC dan Bare, BG 2002).

Manajemen terapi :

1. Diet rendah lemak, tinggi kalori, tinggi protein


2. Pemasangan pipa lambung bila terjadi distensi perut.
3. Observasi keadaan umum dan pemeriksaan vital sign
4. Dipasang infus program cairan elektrolit dan glukosa untuk
mengatasi syok
5. Pemberian antibiotik sistemik dan vitamin K (anti koagulopati)

b) Disolusi medis
Oral Dissolution Therapy adalah cara penghancuran batu dengan
pemberian obat-obatan oral. Ursodeoxycholic acidlebih dipilih dalam
pengobatan daripada chenodeoxycholic karena efek samping yang
lebih banyak pada penggunaan chenodeoxycholicseperti terjadinya
diare, peningkatan aminotransfrasedan hiperkolesterolemia sedang
c) Disolusi kontak
Terapi contact dissolutionadalah suatu cara untuk menghancurkan
batu kolesterol dengan memasukan suatu cairan pelarut ke dalam
kandung empedu melalui kateter perkutaneus melalui hepar atau
alternatif lain melalui kateter nasobilier. Larutan yang dipakai adalah
methyl terbutyl eter. Larutan ini dimasukkan dengan suatu alat khusus
ke dalam kandung empedu dan biasanya mampu menghancurkan batu
kandung empedu dalam 24 jam
d) Litotripsi Gelombang Elektrosyok (ESWL)
Prosedur non invasive ini menggunakan gelombang kejut berulang
(Repeated Shock Wave) yang diarahkan pada batu empedu didalam
kandung empedu atau duktus koledokus dengan maksud memecah
batu tersebut menjadi beberapa sejumlah fragmen. (Smeltzer & Bare,
2002).
ESWL sangat populer digunakan beberapa tahun yang lalu.
Analisis biaya-manfaat pada saat ini memperlihatkan bahwa prosedur
ini hanya terbatas pada pasien yang telah benar-benar
dipertimbangkan untuk menjalani terapi ini.   
e) Endoscopic Retrograde Cholangiopancreatography (ERCP)
Pada ERCP, suatu endoskop dimasukkan melalui mulut,
kerongkongan, lambung dan ke dalam usus halus. Zat kontras
radioopak masuk ke dalam saluran empedu melalui sebuah selang di
dalam sfingter oddi. Pada sfingterotomi, otot sfingter dibuka agak
lebar sehingga batu empedu yang menyumbat saluran akan berpindah
ke usus halus. ERCP dan sfingterotomi telah berhasil dilakukan pada
90% kasus. Kurang dari 4 dari setiap 1.000 penderita yang meninggal
dan 3-7% mengalami komplikasi, sehingga prosedur ini lebih aman
dibandingkan pembedahan perut. ERCP saja biasanya efektif
dilakukan pada penderita batu saluran empedu yang lebih tua, yang
kandung empedunya telah diangkat

2. Penatalaksanaan Bedah
a) Kolesistektomi terbuka
Operasi ini merupakan standar terbaik untuk penanganan pasien denga
kolelitiasis simtomatik. Komplikasi yang paling bermakna yang dapat
terjadi adalah cedera duktus biliaris yang terjadi pada 0,2% pasien.
Angka mortalitas yang dilaporkan untuk prosedur ini kurang dari
0,5%. Indikasi yang paling umum untuk kolesistektomi adalah kolik
biliaris rekuren, diikuti oleh kolesistitis akut.
b) Kolesistektomi laparaskopi
Kolesistektomi laparoskopik mulai diperkenalkan pada tahun 1990
dan sekarang ini sekitar 90% kolesistektomi dilakukan secara
laparoskopi. 80-90% batu empedu di Inggris dibuang dengan cara ini
karena memperkecil resiko kematian dibanding operasi normal (0,1-
0,5% untuk operasi normal) dengan mengurangi komplikasi pada
jantung dan paru. Kandung empedu diangkat melalui selang yang
dimasukkan lewat sayatan kecil di dinding perut.
  
6. Komplikasi
Komplikasi yang dapat terjadi pada penderita kolelitiasis :

1. Asimtomatik
2. Obstruksi duktus sistikus
3. Kolik bilier
4. Kolesistitis akut
5. Perikolesistitis
6. Peradangan pankreas (pankreatitis)
7. Perforasi
8. Kolesistitis kronis
9. Hidrop kandung empedu
10. Empiema kandung empedu
11. Fistel kolesistoenterik
12. Batu empedu sekunder (Pada 2-6% penderita, saluran menciut kembali
dan batu empedu muncul lagi)
13. Ileus batu empedu (gallstone ileus)

II. KONSEP KEPERAWATAN


Proses Keperawatan adalah pendekatan penyelesaian masalah yang sistematik
untuk merencanakan dan memberikan asuhan keperawatan yang melalui lima fase
berikut yaitu pengkajian, identifikasi masalah, perencanaan, implementasi,
evaluasi (Suratun dan Lusianah. 2019)
1. Pengkajian
Data yang dikumpulkan meliputi :
a. Identitas
1) Identitas klien
Meliputi nama, umur, jenis kelamin, suku/bangsa, agama,
pendidikan, pekerjaan, tanggal masuk, tanggal pengkajian, nomor
register, diagnosa medik, alamat, semua data mengenai identitaas
klien tersebut untuk menentukan tindakan selanjutnya.
2) Identitas penanggung jawab
Identitas penanggung jawab ini sangat perlu untuk memudahkan
dan jadi penanggung jawab klien selama perawatan, data yang
terkumpul meliputi nama, umur, pendidikan, pekerjaan, hubungan
dengan klien dan alamat.
b. Riwayat Kesehatan
1) Keluhan utama
Merupakan keluhan yang paling utama yang dirasakan oleh klien
saat pengkajian. Biasanya keluhan utama yang klien rasakan adalah
nyeri abdomen pada kuadran kanan atas.
2) Riwayat kesehatan sekarang
Merupakan pengembangan diri dari keluhan utama melalui metode
PQRST, paliatif atau provokatif (P) yaitu fokus utama keluhan
klien, quality atau kualitas (Q) yaitu bagaimana nyeri/gatal
dirasakan oleh klien, regional (R) yaitu nyeri/gatal menjalar
kemana, Safety (S) yaitu posisi yang bagaimana yang dapat
mengurangi nyeri/gatal atau klien merasa nyaman dan Time (T)
yaitu sejak kapan klien merasakan nyeri/gatal tersebut.
(P): Nyeri setelah makan, terutama makanan yang berlemak
(Q): Nyeri dirasakan hebat
(R): Nyeri dirasakan pada abdomen kuadran kanan atas dan
menjalar ke punggung atau bahu kanan.
(S): Nyeri terasa saat melakukan inspirasi
(T): Nyeri dirasakan sejak dua hari yang lalu
3) Riwayat kesehatan yang lalu
Perlu dikaji apakah klien pernah menderita penyakit sama atau
pernah di riwayat sebelumnya.
4) Riwayat kesehatan keluarga
Mengkaji ada atau tidaknya keluarga klien pernah menderita
penyakit kolelitiasis.
c. Pemeriksaan fisik
Pendekatan dengan metode 6B:
1) B1-Breath
Pernapasan tertekan ditandai dengan napas pendek dan dangkal,
terjadi peningkatan frekuensi pernapasan sebagai kompensasi.
2) B2-Blood
3) Takikardi dan berkeringat karena peningkatan suhu akibat respon
inflamasi.
4) B3-Brain
-
5) B4-Bladder
Urine pekat dan berwarna gelap, akibat dari pigmen empedu.
6) B5-Bowel
7) Feses berwarna kelabu “clay colored” akibat obstruksi duktus
biliaris sehingga pigmen empedu tidak dibuang melalui feses.
8) B6-Bone
-
2. Diagnosa Keperawatan
a. Nyeri Akut b.b Agen Cedera Biologis: Obstruksi Kandung Empedu
b. Ketidakseimbangan Nutrisi Kurang Dari Kebutuhan Tubuh b.d
Ketidakmampuan Pemasukan Nutrisi
c. Kekurangan Volume Cairan b.d Kehilangan Volume Cairan Aktif
d. Insomnia b.d Ketidaknyamanan Fisik: Nyeri
e. Hambatan Mobilitas Fisik b.d Nyeri
f. Ketidakefektifan Pola Nafas b.d Nyeri
g. Ansietas b.d Ancaman Kematian
h. Kerusakan Integritas Kulit b.d Faktor mekanik
i. Risiko Infeksi b.d Kerusakan Integritas Kulit: Prosedur Invasif
(Herdman, T.Heather. 2017)
3. Intervensi Keperawatan

Diagnosa
NIC NOC
Keperawatan
Nyeri akut Penatalaksanaan Nyeri : Nyeri: Efek Merusak : efek merusak
meringankan atau mengurangi dari nyeri terhadap emosi dan perilaku
nyeri sampai pada tingkat yang diamati atau dilaporkan.
kenyamanan yang dapat diterima Dibuktikan dengan indikator berikut :
oleh pasien. 1.      Pasien akan melapor bahwa nyeri
1.    Lakukan pengkajian nyeri yang akan hilang (4)
komprehensif meliputi lokasi, 2.      Pasien akan menunjukkan
karakteristik, awitan/durasi, penggunaan keterampilan relaksasi dan
frekuensi, kualitas, intensitas atau aktifitas hiburan sesuai indikasi untuk
keparahan nyeri, dan faktor situasi individual (4)
presipitasinya. 3.      Penurunan penampilan peran atau
2.    Ajarkan penggunaan teknik hubungan interpersonal (4)
nonfarmakologi (misalnya, umpan 4.      Gangguan kerja, kepuasan hidup atau
balik biologis, transcutaneous kemampuan untuk mengendalikan (4)
electrical nerve stimulation
(TENS), hipnosis, relaksasi,
imajinasi terbimbing, terapi
musik, distraksi, terapi bermain,
terapi aktivitas, akupresur,
kompres hangat/dingin, dan
masase) sebelum, setelah dan jika
memungkinkan, selama aktivitas
yang menyakitkan; sebelum nyeri
terjasi atau meningkat; dan selama
penggunaan tindakan
pengurangan nyeri yang lain.
3.    Kelola nyeri pascaoperasi awal
dengan pemberian opiat yang
terjadwal (misalnya, setiap 4 jam
atau 36 jam) atau PCA.
4.    Berikan perubahan posisi,
masase punggung, dan relaksasi.

Ketidakefektifan Pengelolaan jalan nafas: Status Respirasi: Pergerakan udara ke


Pola Nafas Fasilitasi untuk kepatenan jalan dalam dan ke luar paru-paru.
nafas. ditandai dengan indikator:
1.      Pantau kecepatan,irama, 1.      Kedalaman inspirasi dan kemudahan
kedalaman dan usaha respirasi. bernafas (3)
2.      Informasikan kepada pasien dan2.      Tidak ada otot bantu (3)
keluarga tentang tehnik relaksasi 3.      Bunyi nafas tambahan tidak ada (3)
untuk meningkatkan pola 4.      Nafas pendek tidak ada (3)
pernafasan
3.      Berikan obat nyeri untuk
pengoptimalan pola pernafasan.
4.      Posisikan pasien untuk
mengoptimalkan pernafasan.
Kekurangan Pengelolaan Cairan: Keseimbangan Elektrolit dan Asam-
volume cairan Peningkatan keseimbangan cairan Basa: Keseimbangan elektrolit dan
dan pencegahan komplikasi akibat nonelektrolit dalam ruang intrasel dan
kadar cairan yang tidak normal ekstrasel tubuh.
atau tidak diinginkan. Ditunjukkan dengan indikator:
Aktivitas: 1.      Elektrolit serum (misalnya, natrium,
1.      Pantau hasil laboratorium yang kaliun, kalsium, dan magnesium) dalam
relevan dengan keseimbangan batas normal (4).
cairan (misalnya, kadar 2.      Serum dan pH urine dalam batas
hematokrit, BUN, albumin, normal (4).
protein total, osmolalitas serum, 3.      Tidak memiliki konsentrasi urine
dan berat jenis urine). yang berlebihan. BJ urine normal: 1003-
2.      Anjurkan pasien untuk 1030
menginformasikan perawat bila
haus.
3.      Berikan ketentuan penggantian
nasogastrik berdasarkan haluaran,
sesuai dengan kebutuhan.
4.      Pasang kateter urine, bila perlu.
Ketidakseimbanga Pengelolaan Nutrisi : Bantuan Status Gizi: Nilai Gizi : Keadekuatan
n nutrisi kurang atau pemberian asupan diet zat gizi yang dikonsumsi tubuh.
dari kebutuhan makanan dan cairan yang Dibuktikan dengan indikator berikut :
tubuh seimbang. 1.      Asupan mkanan dan cairan oral (4)
1.      Pantau kandungan nutrisi dan 2.      Mempertahankan massa tubuh dan
kalori pada catatan asupan. berat badan dalam batas normal (4)
2.      Berikan informasi yang tepat 3.      Melaporkan keadekuatan tingkat
tentang kebutuhan nutrisi dan energi (4)
bagaimana memenuhinya.
3.      Tentukan—dengan melakukan
kolaborasi bersama ahli gizi,
secara tepat—jumlah kalori dan
jenis zat gizi yang dibutuhkan
untuk memenuhi kebutuhan
nutrisi (khususnya untuk pasien
dengan kebutuhan energi tinggi,
seperti pasien pascoperasi dna
luka bakar, trauma, demam, dan
luka).
4.      Berikan pasien minuman dan
camilan bergizi, tinggi protein,
tinggi kalori yang siap
dikonsumsi, bila memungkinkan.
DAFTAR PUSTAKA

Cahyono, Suharjo B. 2019. Batu Empedu. Yogyakarta: Kanisus

Hadi, Sujono. 2018. Gastroenterologi. Bandung: Alumni

Herdman, T.Heather. 2017. NANDA Internasional Diagnosis Keperawatan :


Definisi dan Klasifikasi 2018-2020. Jakarta : EGC

Muttaqin, Arif dan Sari, Kumala. 2015. Gangguan Gastrointestinal: Aplikasi


Asuhan Keperawatan Medikal Bedah. Jakarta: Salemba Medika

Schwartz, Seymour I. 2017. Intisari Prinsip-prinsip Ilmu Bedah. Jakarta: EGC

Suratun dan Lusianah. 2019. Asuhan Keperawatan Klien Dengan Gangguan


Sistem Gastrointestinal. Jakarta: Trans Info Media

Wilkinson, Judith M. 2016. Buku Saku Diagnosis Keperawatan dengan Intervensi


NIC dan Kriteria Hasil NOC. Jakarta : EGC

Anda mungkin juga menyukai