Jurnal 1
Jurnal 1
ABSTRAK
Minyak kelapa sawit memberikan kontribusi yang signifikan bagi perekonomian Indonesia
dan Malaysia melalui perusahaan swasta, perusahaan milik negara dan petani kecil, dengan
kedua negara memasok 85% dari minyak sawit global. Indonesia memiliki 14 juta hektar
(ha) kelapa sawit; ekspor minyak sawitnya bernilai USD 23 miliar pada 2017 dan USD 21
miliar pada 2018. Baik komunitas domestik maupun internasional, khususnya Uni Eropa
(UE), telah meningkatkan kekhawatiran tentang keberlanjutan dan dampaknya terhadap
konservasi hutan. Sebagai contoh, Parlemen Eropa pada tahun 2017 mengeluarkan resolusi
untuk membatasi kemampuan negara-negara UE untuk menghitung impor biodiesel
berbasis minyak kelapa sawit ke target energi 2030 yang dapat diperbarui. Makalah ini
menjelaskan rantai nilai minyak sawit di Indonesia di tingkat nasional, menggunakan analisis
rantai nilai dan pemodelan dinamika sistem. Model ini digunakan untuk memahami
bagaimana moratorium, konservasi lahan gambut, reformasi agraria, dan larangan biodiesel
UE mempengaruhi ekspansi dan produksi perkebunan, lapangan kerja, emisi CO2,
pendapatan petani kecil, sektor swasta, dan pemerintah.
Model ini menyediakan skenario untuk membuat minyak sawit Indonesia lebih berkelanjutan
melalui intensifikasi, tidak ada deforestasi, dan strategi tanpa gambut, serta melalui
pertukaran lahan. Ada trade-off antara pembangunan ekonomi dan konservasi lingkungan,
tetapi solusi win-win tersedia. Skenario yang membangun sinergi antara pengembangan
kelapa sawit Indonesia dan konservasi hutan dapat membantu memandu batas baru
pengembangan kelapa sawit di Asia, Amerika Selatan, dan Afrika.
1. Pendahuluan
Peran kelapa sawit dalam pembangunan ekonomi dan degradasi lingkungan adalah topik
yang sangat diperdebatkan. Kelapa sawit adalah tanaman serbaguna, dengan minyak sawit
dan turunan lainnya yang digunakan untuk memasak dan untuk membuat margarin,
deterjen, dan kosmetik. Dalam dekade terakhir, beberapa negara telah menggunakan
minyak kelapa sawit sebagai bahan baku untuk biofuel saat mereka melakukan diversifikasi
pasokan energi mereka (Soh et al., 2003; Murphy, 2007; Ngando-Ebongue et al., 2012).
Meningkatnya permintaan global untuk makanan, energi, dan proses industri lainnya secara
bersamaan meningkatkan permintaan untuk minyak sawit.
Asosiasi Minyak Sawit Indonesia (GAPKI) dan industri terkait lainnya telah mempekerjakan
hingga 7,8 juta pekerja di seluruh rantai nilai minyak sawit (Tim Riset PASPI, 2018).
Meskipun pertumbuhan ekonomi, bagaimanapun, ada kekhawatiran bahwa perkembangan
pesat dan perluasan perkebunan kelapa sawit telah meninggalkan jejak ekologis yang tidak
diinginkan. Ekspansi kelapa sawit telah dikaitkan dengan pembukaan hutan dan lahan
gambut (Setiawan et al., 2016; Vijay et al., 2016; Austin et al., 2017) yang mengarah ke
sejumlah besar emisi gas rumah kaca (GHG) (Miettinen et al., 2012) dan hilangnya
keanekaragaman hayati (Koh dan Wilcove, 2009; Lees et al., 2015; Linder dan Palkovitz,
2016). Budidaya kelapa sawit juga menyebabkan dampak sosial negatif, seperti
perampasan tanah dan kondisi kerja yang buruk di perkebunan (Dhiaulhaq et al., 2015;
Gellert, 2015). Studi di Kalimantan telah mempelajari hubungan antara pengembangan
kelapa sawit, deforestasi, dan keterlibatan aktor swasta dan publik di berbagai tingkatan
(Susanti dan Maryudi, 2016; Prabowo et al., 2017). Yang penting, masalah-masalah ini tidak
terkait dengan kelapa sawit itu sendiri tetapi dengan pendirian dan budidaya tanaman (Rival
dan Levang, 2014).
Pemerintah Indonesia telah menetapkan target produksi dan produktivitas untuk minyak
kelapa sawit. Pada awal 2010-an, Pemerintah Indonesia menetapkan target produksi 40 juta
ton minyak kelapa sawit mentah pada tahun 2020. Untuk jangka waktu yang sama,
Pemerintah Indonesia menetapkan target produktivitas yang dikenal sebagai 'Visi 35:26'
dengan tujuan menghasilkan 35 ton per hektar (ha) tandan buah segar (TBS) dengan
tingkat ekstraksi minyak 26% (MoA [Kementerian Pertanian], 2013). Untuk memenuhi target
ini, pemerintah memperkenalkan beberapa insentif untuk mendukung sektor swasta dalam
mengakses dan memperluas perkebunan. Ini juga membawa petani kecil ke meja dengan
merumuskan berbagai skema kemitraan dengan perusahaan. Misalnya, satu program akan
mengalokasikan 12,94 M ha hutan produksi konversi (dari total 68,98 M ha) untuk
penggunaan non-kehutanan (KLHK [Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan],
2016). Pemerintah Indonesia juga berencana untuk melakukan reformasi agraria di atas
lahan 9 M ha untuk praktik-praktik petani kecil, termasuk kelapa sawit (Setkab [Sekretariat
Kabinet Republik Indonesia], 2015). Perluasan perkebunan kelapa sawit bertujuan untuk
mendukung target pertumbuhan ekonomi Indonesia lebih dari 5% untuk 2017-2018. Gambar
1 menunjukkan distribusi kelapa sawit di Indonesia.
Pada saat yang sama, dalam Kontribusi Yang Ditentukan Secara Nasional (NDC) sebagai
kerangka kerja implementasi Perjanjian Paris, Indonesia setuju untuk mengurangi emisi
karbonnya sebesar 29% tanpa bantuan asing pada tahun 2030, dan sebesar 41% dengan
bantuan asing. Dalam skenario business-as-usual (BAU), emisi mencapai 2.881 gigaton
setara CO2 (CO2e) pada tahun 2030. Kontribusi Indonesia untuk menurunkan emisi dari
pengelolaan berbasis lahan dapat berasal dari langkah-langkah berikut: pertanian dan
perkebunan berkelanjutan, pengurangan hutan degradasi dan deforestasi, konservasi lahan,
dan energi terbarukan dari lahan terdegradasi. Area lain yang mungkin termasuk energi,
proses industri dan penggunaan produk, dan limbah (Pemerintah Indonesia [2016]).
Mengingat bahwa keputusan mengenai minyak kelapa sawit dan turunannya akan memiliki
implikasi pada hasil ekonomi dan lingkungan, model yang mewakili struktur rantai nilai
minyak sawit di Indonesia bermanfaat.
Model tersebut harus dapat menjawab pertanyaan seputar skenario yang relevan dengan
kebijakan dan harus cukup mudah dioperasikan. Ada beberapa model atau latihan
pemodelan pada kelapa sawit. Beberapa, seperti PALMSIM (Simulasi pertumbuhan dan
hasil kelapa sawit) dan APSIM (Simulator Sistem Produksi Pertanian), fokus pada budidaya
dan produksi minyak sawit (Hoffmann et al., 2014; Holzworth et al., 2014); IMPACT
(Program Pemasaran Internasional untuk Komoditas Pertanian dan Perdagangan) berfokus
pada perdagangan (Robinson et al., 2015; De Pinto et al., 2017; Wiebe et al., 2019);
GLOBIOM (Global Biosphere Management Model) menggabungkan perdagangan dengan
model penggunaan lahan (Pirker et al., 2016; Mosnier et al., 2017). Beberapa latihan yang
menggunakan model ekuilometrik umum ekonometrik atau yang dapat dihitung bertujuan
untuk menganalisis dampak kebijakan perdagangan (Rifin, 2011) pengaruh ekspansi kelapa
sawit pada hasil ekonomi makro utama menggunakan analisis input-output (Obidzinski et al.,
2014), atau dampak dari moratorium kelapa sawit terhadap ekonomi Indonesia (Yusuf et al.,
2018). Model-model ini, bagaimanapun, tidak menyediakan distribusi nilai tambah untuk
berbagai aktor yang berpartisipasi dalam rantai nilai minyak kelapa sawit, juga tidak
mengungkapkan trade-off dalam debat saat ini seperti moratorium kelapa sawit dan
konservasi lahan gambut. Untuk tujuan ini, penelitian ini mengembangkan model yang
disebut Indonesia Simulasi Kelapa Sawit(IPOS). Ini bertujuan untuk memahami rantai nilai
industri kelapa sawit. Ini memberikan opsi bagi pembuat kebijakan dan pembuat keputusan
tentang kemungkinan masa depan untuk industri minyak sawit Indonesia di tingkat nasional.
Model ini juga dapat mendukung komunikasi di antara para pemangku kepentingan yang
berbeda untuk menentukan peta jalan pengembangan kelapa sawit di Indonesia. Model
tersebut mewakili nilai aktual minyak kelapa sawit di tingkat nasional, seperti yang
disarankan oleh Dudley et al. (2008). Makalah ini membahas tiga aspek model: (1) struktur
industri kelapa sawit; (2) rantai nilai minyak sawit di tingkat nasional; dan (3) skenario yang
berkaitan dengan kebijakan tingkat nasional, seperti: (a) moratorium ekspansi kelapa sawit
sebagaimana dinyatakan dalam Instruksi Presiden No. 8 Tahun 2018; (b) perlindungan
gambut sebagaimana dinyatakan dalam Peraturan Pemerintah No. 57 tahun 2016; (c)
reformasi agraria; dan (d) kebakaran lahan dan hutan. Makalah ini bertujuan untuk
berkontribusi pada debat seputar kebijakan kelapa sawit dan minyak kelapa sawit nasional
dan implikasinya bagi pendapatan petani kecil dan emisi karbon.
2. Metode
Penelitian ini menerapkan pendekatan analisis rantai nilai (VCA) menggunakan pemodelan
dinamika sistem. Model dinamika sistem yang digunakan di sini adalah model pengamatan
perubahan keadaan (Forrester, 1961, 1999). Pemodelan dinamika sistem dilaksanakan
melalui langkah-langkah yang terdiri dari pengembangan model konseptual, spesifikasi,
verifikasi model, dan pembangunan skenario (Grant et al., 1997; Jakeman et al., 2006). VCA
terdiri dari beberapa langkah: (1) memetakan awal rantai nilai tambah; (2) melakukan survei
lapangan; dan (3) mengevaluasi temuan dan mengembangkan skenario intervensi
(Kaplinsky dan Morris, 2001; Herr et al., 2006; Purnomo et al., 2014).
Gambar. 1. Distribusi perkebunan kelapa sawit di Indonesia 2014 (DGP [Direktorat Jenderal
Perkebunan], 2016).
Policy scenarios : Skenario kebijakan
Palm oil supply chain : Rantai pasokan minyak sawit
Output indicators : Indikator output
Moratorium of extension : Moratorium perluasan
Peatland protection : Perlindungan lahan gambut
Agrarian reform : Reforma agraria
Biodiesel ban : Larangan biodiesel
Plantation extent : perluasan perkebunan
FFB,CPO/PKO, cooking oil, oleochemical and biodiesel : TBS, CPO / PKO, minyak goreng,
oleokimia dan biodiesel
Value added : Nilai tambah
Government income and CPO fund : Pendapatan pemerintah dan dana CPO
CO2 eq. emission : CO2 eq. emisi
Employment : Ketenagakerjaan
Model IPOS menghasilkan beberapa output, seperti area perkebunan kelapa sawit (ha),
jumlah produksi produk primer seperti TBS dan CPO / PKO, dan turunannya seperti minyak
goreng; ini adalah nilai tambah untuk setiap pelaku, emisi karbon, dan tenaga kerja di
industri minyak sawit. Skenario BAU menghasilkan indikator output dalam konteks saat ini,
jika mereka melanjutkan. Empat skenario kebijakan ditinjau: (1) moratorium ekspansi
perkebunan; (2) perlindungan gambut; (3) reformasi agraria; dan (4) larangan biodiesel.
Data dalam model ini berasal dari hasil survei, sumber resmi (seperti kementerian dan
lembaga pemerintah pusat, pemerintah daerah dan staf mereka), lembaga penelitian, dan
publikasi ilmiah. Tabel 1 menunjukkan kategori data dan sumber yang digunakan dalam
model. Model ini mendekati skenario dunia nyata dan dikembangkan menggunakan
perangkat lunak dinamika sistem Stella 9.0, dalam kombinasi dengan Microsoft Excel untuk
meningkatkan kualitas output Stella. Model ini memiliki variabel eksogen dan endogen.
Variabel eksogen bersifat independen dan mempengaruhi model tanpa dipengaruhi oleh
model, sementara variabel endogen bergantung dan dihasilkan oleh model. Variabel
eksogen dari model ini meliputi penggunaan lahan, area perkebunan, kebijakan, dan harga
minyak sawit.
Variabel endogen meliputi pasokan minyak sawit dan rantai nilai, pekerjaan, dan emisi CO2.
Harga minyak kelapa sawit ditentukan oleh pasokan minyak kelapa sawit dan minyak nabati
lainnya dari produsen seperti Malaysia dan Brasil, serta permintaan konsumen. Studi ini
tidak mensimulasikan perilaku konsumen atau produsen minyak sawit lainnya, yang
keduanya mempengaruhi sistem harga. Penegakan hukum, korupsi, dan elemen
kelembagaan lainnya rumit dan eksogen terhadap model ini, tetapi hal itu memengaruhi
ekspansi perkebunan kelapa sawit; studi ini juga tidak mensimulasikan ini. Sebaliknya,
regresi time-series digunakan untuk merumuskan ekspansi kelapa sawit .
Model IPOS menunjukkan aliran produksi dari petani ke pengguna akhir. Rantai pasokan
minyak sawit meliputi perkebunan kelapa sawit, pabrik kelapa sawit, kilang, dan pasar.
Penggunaan CPO yang paling luas di Indonesia adalah dalam industri minyak goreng, diikuti
oleh industri margarin dan pemendekan, industri oleo-kimia, industri sabun mandi, dan
industri sabun cuci.
Gambar. 3 menyajikan diagram loop sebab-akibat dari IPOS dan menggambarkan aliran
material: (a) perkebunan baru, TBS dan CPO / PKO dan turunannya; (B) uang dari pasar ke
kilang dan pabrik, dan pabrik ke pembeli; dan (c) fluks karbon untuk setiap aktivitas.
Aktivitas manusia mempengaruhi seluruh rantai nilai. Misalnya, perlindungan kebakaran dan
lahan gambut akan mengurangi pasokan TBS ke pabrik, sementara reformasi agraria akan
menghasilkan lebih banyak lahan yang tersedia untuk perkebunan kelapa sawit.
Kami memberikan rincian spesifikasi model IPOS dalam Tambahan 1. Spesifikasi ini
menawarkan parameter untuk setiap komponen model.
Parameter utama dalam dinamika produksi kelapa sawit dan TBS disajikan pada Tabel 2.
Setiap perkebunan kelapa sawit mengalami empat proses: penanaman, pematangan,
produksi TBS, dan kematian tanaman. Proses-proses ini mewakili konveyor dengan waktu
transit yang berbeda. Kelapa sawit
mulai jatuh tempo pada empat tahun, mencapai jatuh tempo pada 5-19 tahun, penurunan
produktivitas pada usia 20-25, dan mati setelah 25 tahun. Ada dua komponen dalam sub-
model produksi kelapa sawit: pabrik dan kilang. Parameter konversi TBS, CPO, dan PKO
disajikan pada Tabel 3. CPO dan PKO diproses menjadi minyak goreng (81%), oleo-kimia
(10%), dan biodiesel (9%).
Tabel 1
Kategori data dan sumbernya digunakan dalam model.
Tidak Klasifikasi tipe data Sumber data
1 Struktur rantai nilai minyak sawit Publikasi ilmiah
2 Penggunaan lahan kelapa sawit, pabrik, kilang Pemerintah pusat atau kementerian
3 Rencana pembangunan nasional, reformasi agraria Instansi pemerintah
4 Pembandingan proyeksi minyak sawit Asosiasi bisnis swasta, seperti Asosiasi Minyak
Kelapa Sawit Indonesia (GAPKI)
5 Harga, pasokan dan permintaan minyak sawit dunia Organisasi internasional, seperti Bank
Dunia
6 Organisasi think tank pemanfaatan biomassa, seperti Lembaga Penelitian Ekonomi untuk
ASEAN dan Asia Timur (ERIA)
Gambar 3. Lingkaran kausal diagram model Simulasi Kelapa Sawit Indonesia (IPOS).
3. Hasil
3.1. Hasil model di bawah BAU
3.1.1. Dinamika pasar minyak sawit
Eksekusi dari sub-model pasar ditunjukkan pada Gambar. 5. Permintaan global untuk
minyak sawit tumbuh sebesar 7% per tahun, sementara permintaan untuk minyak nabati
lainnya tumbuh sebesar 4% per tahun. Ekspor minyak sawit dari negara lain tumbuh
sebesar 5,4% per tahun (Bruno, 2017). Pasokan minyak sawit tidak dapat
memenuhi permintaan, sehingga menyebabkan kekurangan global. Pasar domestik
Indonesia juga mengalami permintaan minyak sawit yang melebihi pasokan, dengan
kesenjangan antara pasokan dan permintaan terus tumbuh.
Gambar 8. Produksi turunan minyak sawit dan ekspor CPO / PKO (juta ton).
3.1.3. Dinamika pabrik kelapa sawit, kilang, dan produksi minyak sawit
Hasil dari simulasi 30 tahun ditunjukkan pada Gambar. 8. Jumlah bahan baku yang
memproduksi CPO dan PKO meningkat dari 35 M ton menjadi 157 M ton. Kuantitas ekspor
meningkat dari 8 M ton menjadi 35 M ton, sementara 122 M ton diproses menjadi produk
turunan di kilang domestik. Produksi minyak goreng meningkat dari 20 M ton menjadi
82 M ton, produksi oleokimia meningkat dari 3 M menjadi 12 M ton, dan produksi biodiesel
meningkat dari 2 M ton menjadi 9 M ton.
3.1.6. Ketenagakerjaan
Industri kelapa sawit Indonesia secara langsung mempekerjakan lebih dari 6 juta orang
(Gbr. 11). Tenaga kerja telah meningkat karena ekspansi perkebunan dan pabrik kelapa
sawit. Selama 22 tahun ke depan, dalam kondisi BAU, industri ini dapat mempekerjakan 23
juta orang.
3.2. Membandingkan hasil model dengan proyeksi lain
Kami memverifikasi model IPOS dengan mencocokkan hasil simulasi pada kondisi BAU
dengan data dan perkiraan. Struktur IPOS logis dan umum digunakan dalam studi rantai
pasokan dan rantai nilai komoditas pertanian dan hutan. Struktur rantai pasokan terdiri dari
petani, perkebunan, dan hutan, diikuti oleh industri pengolahan primer dan sekunder.
Penjualan produk primer dan sekunder terjadi di pasar domestik dan internasional.
Hasil simulasi BAU dari IPOS mengikuti pola logis, dengan jumlah yang dapat dilacak ke
asalnya. Tabel 4 menunjukkan perbedaan antara output simulasi dan kenyataan. Alasan
utama perbedaan ini adalah bahwa simulasi menggunakan data dari sumber resmi. Pabrik
juga mendapatkan TBS dari sumber tidak resmi atau tidak tercatat.
Tabel 4 menunjukkan perbandingan antara hasil simulasi dan tolok ukur dari berbagai
sumber. Hasil simulasi terdiri dari produksi minyak kelapa sawit, konsumsi domestik, luas
perkebunan kelapa sawit, ekspor minyak sawit, perdagangan domestik, dan lapangan kerja
langsung. Sementara pemodelan didasarkan pada data dari tahun 2015 dan sebelumnya,
tahun verifikasi bervariasi dari 2019 hingga 2020 hingga 2030, tergantung pada
ketersediaan data benchmark. Perbedaan yang paling besar adalah untuk perdagangan
biodiesel domestik, dengan - 93,03% antara simulasi dan benchmark. Ini menunjukkan
bahwa hasil simulasi jauh lebih rendah daripada referensi GAPKI. Sementara itu, perbedaan
terkecil adalah 1,81% dari produksi minyak sawit seperti yang dinyatakan oleh Departemen
Pertanian. Perbedaan rata-rata adalah 2,57%, yang relatif rendah.
Skenario ini masuk akal karena produktivitas kelapa sawit Indonesia yang rendah, terutama
bagi petani kecil. Produktivitas rata-rata saat ini adalah 16,84 ton TBS / ha, dengan petani
kecil menghasilkan 14,52 ton TBS / ha dan perusahaan swasta memproduksi 18,03 ton TBS
/ ha. Peningkatan produktivitas sebesar 20% berarti tingkat produktivitas rata-rata 17,42 ton
TBS / ha. Tingkat ini, bagaimanapun, masih lebih rendah dari produktivitas saat ini dari
beberapa perkebunan kelapa sawit besar di Indonesia (20,21 ton TBS / ha) dan di Malaysia
(22,45 ton TBS / ha) (Byerlee et al., 2017). Dalam model yang digunakan dalam penelitian
ini, moratorium diterapkan selama 10 tahun, bukan 3 tahun yang saat ini dinyatakan dalam
Peraturan Presiden No. 8 tahun 2018. Hal ini dilakukan untuk memperkuat efek moratorium.
Jangka waktu moratorium yang lebih pendek akan menghasilkan efek yang lebih kecil.
Gambar 13.a menunjukkan bahwa emisi CO2e di bawah perlindungan lahan gambut dan
pencegahan kebakaran lebih rendah dibandingkan dengan BAU. Namun, seperti yang
ditunjukkan pada Gambar. 13.b, produksi TBS juga lebih rendah, seperti pendapatan dari
minyak kelapa sawit (Gambar 13.c). Pertukaran lahan diperkenalkan pada akhirrotasi
periode, ketika penanaman kembali dilakukan pada lahan mineral dan bukan pada lahan
gambut. Swapping lahan menghasilkan peningkatan pada tingkat produksi dan pendapatan
TBS (Gbr. 13.c). Oleh karena itu, menukar kelapa sawit dari lahan gambut ke tanah mineral
dapat mengurangi emisi dari skenario BAU tanpa mempengaruhi produksi TBS secara
keseluruhan.
Gambar 12. Pengaruh moratorium kelapa sawit 10 tahun terhadap deforestasi (a); area
perkebunan (b), dan produksi TBS (c).
Persentase berbeda dari setiap produk minyak sawit Indonesia diekspor. Jumlah ekspor
adalah: CPO (26,3%), PKO (10,25%), minyak goreng (70%), oleo-kimia (83%), dan
biodiesel (67%). Dari 67% biodiesel yang diekspor, 20% diekspor ke negara-negara UE.
Larangan itu, karenanya, akan mengurangi persentase ekspor biodiesel dari 67% menjadi
54%. Gambar. 15 menunjukkan bahwa larangan UE tidak signifikan dalam mengurangi total
nilai ekspor, yang diproyeksikan pada USD 44.064 M tanpa larangan Uni Eropa pada USD
43.597 M dengan larangan UE pada tahun 2035. Oleh karena itu, penurunan USD 467 M
atau 1% akan menyebabkan terjadi karena larangan UE (Gbr. 15).
4. Diskusi
4.1. Diskusi hasil
Dalam latihan pemodelan ini, "keberlanjutan" tidak didefinisikan secara komprehensif karena
keterbatasan data untuk indikator yang diamati. Keberlanjutan dalam konteks ini berarti
bahwa industri kelapa sawit memenuhi beberapa indikator, termasuk konservasi hutan
danemisi CO2 pengurangan. Indikator keberlanjutan ekonomi adalah pemeliharaan atau
peningkatan produksi minyak sawit serta total pendapatan dari minyak sawit. Indikator
ekuitas adalah pemeliharaan atau peningkatan bagian pendapatan petani kecil dari minyak
kelapa sawit dibandingkan dengan total pendapatan.
Tindakan untuk meningkatkan ekonomi kelapa sawit melibatkan ekspansi dan intensifikasi.
Namun, ekspansi dapat mengurangi luas hutan. Gunarso et al. (2013) mengungkapkan
bahwa 33,5% perkebunan kelapa sawit berada di lahan hutan (termasuk hutan gambut),
26,3% di semak belukar (termasuk lahan gambut), 34,1% di agroforest, dan 6% di lahan lain
(lihat Tabel S1.4 dari Suplemen 1 ). Semak awalnya dimulai sebagai hutan sekunder yang
mengalami penebangan atau kebakaran. Secara total, 59,8% dari perkebunan kelapa sawit
ada di hutan atau area semak yang telah menggusur hutan primer atau area yang
sebelumnya merupakan hutan primer. Tingginya proporsi hutan dan semak belukar yang
dikonversi menjadi kelapa sawit merupakan dorongan dibalik moratorium ekspansi kelapa
sawit untuk korporasi.
Gambar 13. Pengaruh skenario 'Perlindungan Lahan Gambut dan Pencegahan Kebakaran'
terhadap total emisi (a); Produksi CPO (b); dan pendapatan dengan pertukaran lahan (c).
Moratorium juga akan mengurangi kelebihan pasokan CPO. Namun, itu tidak termasuk
kelapa sawit petani. Di bawah moratorium, perkebunan kelapa sawit Indonesia akan tumbuh
hanya 1,08% setiap tahun; tanpanya, mereka akan tumbuh 4,66%. Model ini menunjukkan
bahwa moratorium berpotensi mengurangi konversi hutan. Ini juga menunjukkan bahwa
moratorium harus dilaksanakan bersama dengan peningkatan produktivitas. Komitmen
pelaku sektor swasta untuk mencapai nol deforestasi sangat penting (Austin et al., 2017;
Pacheco dan Komarudin, 2017). Melalui intensifikasi, ada harapan bahwa petani kecil akan
mengurangi kebutuhan untuk memperluas perkebunan mereka ke hutan (Nurfatriani et al.,
2018). Produktivitas petani kecil sekitar setengah dari korporasi. Meningkatkan produktivitas
minyak sawit dari level 2017 sebesar 2,64 ton CPO / ha menjadi 2,83 ton CPO / ha
(kenaikan 7,1%) dapat mengkompensasi hilangnya tahunan sekitar 1,3 M ton CPO. Salah
satu tantangan utama adalah mendorong petani kecil untuk meningkatkan budidaya mereka.
Dana CPO dapat memainkan peran kunci dalam mendukung tujuan ini dengan memobilisasi
dana yang dialokasikan untuk penanaman kembali kelapa sawit. Ada juga kebutuhan untuk
kebijakan publik yang lebih terkoordinasi dan kemitraan publik-swasta yang kuat (Pacheco
et al., 2017).
Gambar. 14. Pengaruh skenario reformasi agraria selama 5 tahun dan 20% bagian dari
Tanah Objek Reforma Agraria (TORA) pada area kelapa sawit (a) dan produksi TBS (b).
Gambar. 15. Pengaruh larangan UE terhadap ekspor biodiesel berbasis minyak kelapa sawit
ke total nilai ekspor.
Pengembangan perkebunan kelapa sawit seharusnya tidak melibatkan api. Purnomo et al.
(2018) menjelaskan bagaimana tata kelola yang baik dari rantai nilai minyak kelapa sawit,
melibatkan organisasi produsen, pindah ke rantai nilai yang lebih tinggi atau mengurangi
perantara untuk pabrik, dan insentif sertifikasi berpotensi bekerja dengan baik. Tata kelola
yang baik mencakup mengintegrasikan penegakan hukum dari pemerintah kabupaten dan
insentif ekonomi dari pabrik CPO. Insentif dari sertifikasi dan pindah ke rantai nilai yang lebih
tinggi dapat mengimbangi manfaat ilegal menggunakan api.
Memberikan 9 M ha lahan kepada petani miskin melalui reformasi agraria akan memperluas
area di mana kelapa sawit saat ini dibudidayakan. Jika 20% dari lahan itu digunakan untuk
perkebunan kelapa sawit, perkebunan seluas 11,4 juta ha (2015) akan meningkat sebesar
1,8 juta ha. Tanah untuk reforma agraria (Tanah Objek Reforma Agraria, TORA) dapat
bersumber dari hutan atau zona non-hutan. Area yang diperuntukkan bagi TORA harus
memiliki cadangan karbon rendah; jika tidak, reformasi agraria akan menghasilkan emisi
CO2 yang lebih tinggi dan hilangnya jasa ekosistem seperti keanekaragaman hayati dan
pengaturan air.
Tantangan lain adalah memastikan bahwa mereka yang menerima tanah adalah penduduk
asli dan petani miskin. Pemetaan partisipatif di tingkat desa diperlukan untuk
mengidentifikasi penerima.
Dampak potensial dari larangan biodiesel UE juga perlu dipertimbangkan secara serius.
Meskipun kerugian finansial langsung dari ekspor hanya 1%, larangan UE dapat memicu
tindakan serupa dari tujuan ekspor potensial lainnya seperti Norwegia, Amerika Serikat,
Cina dan India.
Juga, ruang lingkup larangan bisa melampaui biodiesel untuk minyak goreng dan produk
oleo-kimia. Karena itu, Indonesia perlu mengubah industri kelapa sawitnya menjadi lebih
berkelanjutan, dengan indikator lingkungan dan sosial yang jelas. Pemanfaatan lahan
gambut dan pencegahan kebakaran yang berkelanjutan sangat penting (Purnomo et al.,
2017).
Ada cara yang jelas untuk mengubah industri minyak sawit Indonesia tanpa kehilangan
penghasilan. Minyak kelapa sawit Indonesia dapat berkontribusi untuk konservasi
lingkungan melalui moratorium perkebunan, konservasi lahan gambut, dan pencegahan
kebakaran. Industri minyak sawit berkelanjutan dapat berkontribusi pada pendapatan petani
kecil, perusahaan, dan pemerintah, dan menciptakan dan mempertahankan lapangan kerja
bagi jutaan orang.
5. Kesimpulan
Saat ini ada konflik antara para pendukung industri minyak sawit yang menguntungkan dan
mereka yang mempromosikan konservasi lingkungan; ada juga kritik internasional karena
deforestasi dan emisi karbon. Namun, ada skenario kebijakan yang masuk akal untuk
merekonsiliasi pembangunan kelapa sawit dan konservasi hutan. Makalah ini membahas
skenario kebijakan yang melibatkan moratorium, produktivitas, lahan gambut, pertukaran
lahan, dan reformasi agraria. Meningkatkan produktivitas sebesar 20% dapat mengimbangi
moratorium ekspansi perkebunan. Menghapus sekitar 2,4 juta hektar perkebunan kelapa
sawit yang ada di lahan gambut dan menukarnya dengan tanah mineral akan mengurangi
emisi CO2 tanpa mempengaruhi produksi TBS secara keseluruhan. Pertukaran lahan juga
akan mengurangi risiko kebakaran di lahan gambut yang dikeringkan. Reformasi agraria
akan meningkatkan area kelapa sawit di bawah petani kecil sebesar 2,4 juta ha, dan dalam
lima tahun mereka akan menjadi aktor utama produksi TBS, melampaui perusahaan besar.
Kerugian ekonomi langsung dari tidak mengekspor biodiesel ke UE setelah 2030 berjumlah
USD 467 M, atau hanya 1% dari total ekspor.
Namun, larangan tersebut dapat memicu tujuan ekspor potensial lainnya seperti Norwegia,
Amerika Serikat, Cina, dan India untuk bertindak serupa. Demikian juga, ruang lingkup
larangan tersebut dapat diperluas dari biodiesel menjadi minyak goreng dan produk oleo-
kimia. Keberlanjutan merupakan keuntungan
bagi industri minyak sawit Indonesia di bawah moratorium ekspansi, melalui peningkatan
produktivitas, pertukaran lahan gambut untuk tanah mineral, dan reformasi agraria. Opsi-
opsi ini memberikan pelajaran bagi negara-negara kelapa sawit lainnya, serta komoditas lain
ketika pertimbangan ekonomi dan lingkungan saling bertentangan.