Anda di halaman 1dari 14

Merekonsiliasi pembangunan ekonomi kelapa sawit dan pelestarian lingkungan di Indonesia:

Pendekatan dinamis rantai nilai

ABSTRAK

Minyak kelapa sawit memberikan kontribusi yang signifikan bagi perekonomian Indonesia
dan Malaysia melalui perusahaan swasta, perusahaan milik negara dan petani kecil, dengan
kedua negara memasok 85% dari minyak sawit global. Indonesia memiliki 14 juta hektar
(ha) kelapa sawit; ekspor minyak sawitnya bernilai USD 23 miliar pada 2017 dan USD 21
miliar pada 2018. Baik komunitas domestik maupun internasional, khususnya Uni Eropa
(UE), telah meningkatkan kekhawatiran tentang keberlanjutan dan dampaknya terhadap
konservasi hutan. Sebagai contoh, Parlemen Eropa pada tahun 2017 mengeluarkan resolusi
untuk membatasi kemampuan negara-negara UE untuk menghitung impor biodiesel
berbasis minyak kelapa sawit ke target energi 2030 yang dapat diperbarui. Makalah ini
menjelaskan rantai nilai minyak sawit di Indonesia di tingkat nasional, menggunakan analisis
rantai nilai dan pemodelan dinamika sistem. Model ini digunakan untuk memahami
bagaimana moratorium, konservasi lahan gambut, reformasi agraria, dan larangan biodiesel
UE mempengaruhi ekspansi dan produksi perkebunan, lapangan kerja, emisi CO2,
pendapatan petani kecil, sektor swasta, dan pemerintah.

Model ini menyediakan skenario untuk membuat minyak sawit Indonesia lebih berkelanjutan
melalui intensifikasi, tidak ada deforestasi, dan strategi tanpa gambut, serta melalui
pertukaran lahan. Ada trade-off antara pembangunan ekonomi dan konservasi lingkungan,
tetapi solusi win-win tersedia. Skenario yang membangun sinergi antara pengembangan
kelapa sawit Indonesia dan konservasi hutan dapat membantu memandu batas baru
pengembangan kelapa sawit di Asia, Amerika Selatan, dan Afrika.

1. Pendahuluan
Peran kelapa sawit dalam pembangunan ekonomi dan degradasi lingkungan adalah topik
yang sangat diperdebatkan. Kelapa sawit adalah tanaman serbaguna, dengan minyak sawit
dan turunan lainnya yang digunakan untuk memasak dan untuk membuat margarin,
deterjen, dan kosmetik. Dalam dekade terakhir, beberapa negara telah menggunakan
minyak kelapa sawit sebagai bahan baku untuk biofuel saat mereka melakukan diversifikasi
pasokan energi mereka (Soh et al., 2003; Murphy, 2007; Ngando-Ebongue et al., 2012).
Meningkatnya permintaan global untuk makanan, energi, dan proses industri lainnya secara
bersamaan meningkatkan permintaan untuk minyak sawit.

Di Indonesia, minyak kelapa sawit berkontribusi signifikan terhadap pembangunan nasional.


Pada 2017, nilai ekspor minyak sawit mencapai USD 23 miliar (Reily dan Ekarina, 2018; Tim
Riset PASPI, 2018). Minyak kelapa sawit menyumbang 17% dari produk domestik bruto
pertanian Indonesia pada tahun 2014 (MoA, 2015a, b); menurut sensus pertanian 2013,
sekitar 2 juta (M) petani kecil mengolah kelapa sawit (BPS [Statistik Indonesia], 2013).

Asosiasi Minyak Sawit Indonesia (GAPKI) dan industri terkait lainnya telah mempekerjakan
hingga 7,8 juta pekerja di seluruh rantai nilai minyak sawit (Tim Riset PASPI, 2018).
Meskipun pertumbuhan ekonomi, bagaimanapun, ada kekhawatiran bahwa perkembangan
pesat dan perluasan perkebunan kelapa sawit telah meninggalkan jejak ekologis yang tidak
diinginkan. Ekspansi kelapa sawit telah dikaitkan dengan pembukaan hutan dan lahan
gambut (Setiawan et al., 2016; Vijay et al., 2016; Austin et al., 2017) yang mengarah ke
sejumlah besar emisi gas rumah kaca (GHG) (Miettinen et al., 2012) dan hilangnya
keanekaragaman hayati (Koh dan Wilcove, 2009; Lees et al., 2015; Linder dan Palkovitz,
2016). Budidaya kelapa sawit juga menyebabkan dampak sosial negatif, seperti
perampasan tanah dan kondisi kerja yang buruk di perkebunan (Dhiaulhaq et al., 2015;
Gellert, 2015). Studi di Kalimantan telah mempelajari hubungan antara pengembangan
kelapa sawit, deforestasi, dan keterlibatan aktor swasta dan publik di berbagai tingkatan
(Susanti dan Maryudi, 2016; Prabowo et al., 2017). Yang penting, masalah-masalah ini tidak
terkait dengan kelapa sawit itu sendiri tetapi dengan pendirian dan budidaya tanaman (Rival
dan Levang, 2014).

Pemerintah Indonesia telah menetapkan target produksi dan produktivitas untuk minyak
kelapa sawit. Pada awal 2010-an, Pemerintah Indonesia menetapkan target produksi 40 juta
ton minyak kelapa sawit mentah pada tahun 2020. Untuk jangka waktu yang sama,
Pemerintah Indonesia menetapkan target produktivitas yang dikenal sebagai 'Visi 35:26'
dengan tujuan menghasilkan 35 ton per hektar (ha) tandan buah segar (TBS) dengan
tingkat ekstraksi minyak 26% (MoA [Kementerian Pertanian], 2013). Untuk memenuhi target
ini, pemerintah memperkenalkan beberapa insentif untuk mendukung sektor swasta dalam
mengakses dan memperluas perkebunan. Ini juga membawa petani kecil ke meja dengan
merumuskan berbagai skema kemitraan dengan perusahaan. Misalnya, satu program akan
mengalokasikan 12,94 M ha hutan produksi konversi (dari total 68,98 M ha) untuk
penggunaan non-kehutanan (KLHK [Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan],
2016). Pemerintah Indonesia juga berencana untuk melakukan reformasi agraria di atas
lahan 9 M ha untuk praktik-praktik petani kecil, termasuk kelapa sawit (Setkab [Sekretariat
Kabinet Republik Indonesia], 2015). Perluasan perkebunan kelapa sawit bertujuan untuk
mendukung target pertumbuhan ekonomi Indonesia lebih dari 5% untuk 2017-2018. Gambar
1 menunjukkan distribusi kelapa sawit di Indonesia.

Pada saat yang sama, dalam Kontribusi Yang Ditentukan Secara Nasional (NDC) sebagai
kerangka kerja implementasi Perjanjian Paris, Indonesia setuju untuk mengurangi emisi
karbonnya sebesar 29% tanpa bantuan asing pada tahun 2030, dan sebesar 41% dengan
bantuan asing. Dalam skenario business-as-usual (BAU), emisi mencapai 2.881 gigaton
setara CO2 (CO2e) pada tahun 2030. Kontribusi Indonesia untuk menurunkan emisi dari
pengelolaan berbasis lahan dapat berasal dari langkah-langkah berikut: pertanian dan
perkebunan berkelanjutan, pengurangan hutan degradasi dan deforestasi, konservasi lahan,
dan energi terbarukan dari lahan terdegradasi. Area lain yang mungkin termasuk energi,
proses industri dan penggunaan produk, dan limbah (Pemerintah Indonesia [2016]).
Mengingat bahwa keputusan mengenai minyak kelapa sawit dan turunannya akan memiliki
implikasi pada hasil ekonomi dan lingkungan, model yang mewakili struktur rantai nilai
minyak sawit di Indonesia bermanfaat.

Model tersebut harus dapat menjawab pertanyaan seputar skenario yang relevan dengan
kebijakan dan harus cukup mudah dioperasikan. Ada beberapa model atau latihan
pemodelan pada kelapa sawit. Beberapa, seperti PALMSIM (Simulasi pertumbuhan dan
hasil kelapa sawit) dan APSIM (Simulator Sistem Produksi Pertanian), fokus pada budidaya
dan produksi minyak sawit (Hoffmann et al., 2014; Holzworth et al., 2014); IMPACT
(Program Pemasaran Internasional untuk Komoditas Pertanian dan Perdagangan) berfokus
pada perdagangan (Robinson et al., 2015; De Pinto et al., 2017; Wiebe et al., 2019);
GLOBIOM (Global Biosphere Management Model) menggabungkan perdagangan dengan
model penggunaan lahan (Pirker et al., 2016; Mosnier et al., 2017). Beberapa latihan yang
menggunakan model ekuilometrik umum ekonometrik atau yang dapat dihitung bertujuan
untuk menganalisis dampak kebijakan perdagangan (Rifin, 2011) pengaruh ekspansi kelapa
sawit pada hasil ekonomi makro utama menggunakan analisis input-output (Obidzinski et al.,
2014), atau dampak dari moratorium kelapa sawit terhadap ekonomi Indonesia (Yusuf et al.,
2018). Model-model ini, bagaimanapun, tidak menyediakan distribusi nilai tambah untuk
berbagai aktor yang berpartisipasi dalam rantai nilai minyak kelapa sawit, juga tidak
mengungkapkan trade-off dalam debat saat ini seperti moratorium kelapa sawit dan
konservasi lahan gambut. Untuk tujuan ini, penelitian ini mengembangkan model yang
disebut Indonesia Simulasi Kelapa Sawit(IPOS). Ini bertujuan untuk memahami rantai nilai
industri kelapa sawit. Ini memberikan opsi bagi pembuat kebijakan dan pembuat keputusan
tentang kemungkinan masa depan untuk industri minyak sawit Indonesia di tingkat nasional.
Model ini juga dapat mendukung komunikasi di antara para pemangku kepentingan yang
berbeda untuk menentukan peta jalan pengembangan kelapa sawit di Indonesia. Model
tersebut mewakili nilai aktual minyak kelapa sawit di tingkat nasional, seperti yang
disarankan oleh Dudley et al. (2008). Makalah ini membahas tiga aspek model: (1) struktur
industri kelapa sawit; (2) rantai nilai minyak sawit di tingkat nasional; dan (3) skenario yang
berkaitan dengan kebijakan tingkat nasional, seperti: (a) moratorium ekspansi kelapa sawit
sebagaimana dinyatakan dalam Instruksi Presiden No. 8 Tahun 2018; (b) perlindungan
gambut sebagaimana dinyatakan dalam Peraturan Pemerintah No. 57 tahun 2016; (c)
reformasi agraria; dan (d) kebakaran lahan dan hutan. Makalah ini bertujuan untuk
berkontribusi pada debat seputar kebijakan kelapa sawit dan minyak kelapa sawit nasional
dan implikasinya bagi pendapatan petani kecil dan emisi karbon.

2. Metode
Penelitian ini menerapkan pendekatan analisis rantai nilai (VCA) menggunakan pemodelan
dinamika sistem. Model dinamika sistem yang digunakan di sini adalah model pengamatan
perubahan keadaan (Forrester, 1961, 1999). Pemodelan dinamika sistem dilaksanakan
melalui langkah-langkah yang terdiri dari pengembangan model konseptual, spesifikasi,
verifikasi model, dan pembangunan skenario (Grant et al., 1997; Jakeman et al., 2006). VCA
terdiri dari beberapa langkah: (1) memetakan awal rantai nilai tambah; (2) melakukan survei
lapangan; dan (3) mengevaluasi temuan dan mengembangkan skenario intervensi
(Kaplinsky dan Morris, 2001; Herr et al., 2006; Purnomo et al., 2014).

2.1. Konseptualisasi dan spesifikasi model IPOS


Arsitektur model IPOS mengikuti VCA (Gbr. 2). Ia memiliki tiga komponen utama: (1) rantai
nilai minyak kelapa sawit; (2) skenario pengembangan kebijakan; dan (3) indikator keluaran
untuk mengevaluasi hasil dari setiap skenario. Skenario kebijakan dimasukkan ke dalam
sistem minyak sawit yang ada, kemudian menghasilkan indikator output. Rantai nilai minyak
sawit terdiri dari perkebunan, pabrik kelapa sawit, kilang, dan pasar. Petani memproduksi
tandan buah segar (TBS) yang diproses oleh pabrik menjadi minyak sawit mentah (CPO)
dan minyak inti sawit (PKO). Ini diubah oleh kilang menjadi minyak goreng, oleo-kimia, dan
biodiesel. Produk-produk ini memasuki pasar domestik dan global untuk menghasilkan
pendapatan yang mengalir kembali ke kilang, pabrik, produsen, dan pemerintah.

Gambar. 1. Distribusi perkebunan kelapa sawit di Indonesia 2014 (DGP [Direktorat Jenderal
Perkebunan], 2016).
Policy scenarios : Skenario kebijakan
Palm oil supply chain : Rantai pasokan minyak sawit
Output indicators : Indikator output
Moratorium of extension : Moratorium perluasan
Peatland protection : Perlindungan lahan gambut
Agrarian reform : Reforma agraria
Biodiesel ban : Larangan biodiesel
Plantation extent : perluasan perkebunan
FFB,CPO/PKO, cooking oil, oleochemical and biodiesel : TBS, CPO / PKO, minyak goreng,
oleokimia dan biodiesel
Value added : Nilai tambah
Government income and CPO fund : Pendapatan pemerintah dan dana CPO
CO2 eq. emission : CO2 eq. emisi
Employment : Ketenagakerjaan

Moratorium of extension : Moratorium perluasan


Peatland protection : Perlindungan gambut
Agrarian reform : Reformasi agraria
Biodiesel ban : Larangan biodiesel
Refinery and global markets : Pengilangan dan pasar global
Domestic : Domestik
Mill : Penggilingan
Plantations (corporate, smallholder, state-owned) : Perkebunan lahan (perusahaan, petani
kecil, milik negara)
Forest : Hutan
Non-forest : Non-hutan
Gambar. 2. Arsitektur model Simulasi Kelapa Sawit Indonesia (IPOS).

Model IPOS menghasilkan beberapa output, seperti area perkebunan kelapa sawit (ha),
jumlah produksi produk primer seperti TBS dan CPO / PKO, dan turunannya seperti minyak
goreng; ini adalah nilai tambah untuk setiap pelaku, emisi karbon, dan tenaga kerja di
industri minyak sawit. Skenario BAU menghasilkan indikator output dalam konteks saat ini,
jika mereka melanjutkan. Empat skenario kebijakan ditinjau: (1) moratorium ekspansi
perkebunan; (2) perlindungan gambut; (3) reformasi agraria; dan (4) larangan biodiesel.

Data dalam model ini berasal dari hasil survei, sumber resmi (seperti kementerian dan
lembaga pemerintah pusat, pemerintah daerah dan staf mereka), lembaga penelitian, dan
publikasi ilmiah. Tabel 1 menunjukkan kategori data dan sumber yang digunakan dalam
model. Model ini mendekati skenario dunia nyata dan dikembangkan menggunakan
perangkat lunak dinamika sistem Stella 9.0, dalam kombinasi dengan Microsoft Excel untuk
meningkatkan kualitas output Stella. Model ini memiliki variabel eksogen dan endogen.
Variabel eksogen bersifat independen dan mempengaruhi model tanpa dipengaruhi oleh
model, sementara variabel endogen bergantung dan dihasilkan oleh model. Variabel
eksogen dari model ini meliputi penggunaan lahan, area perkebunan, kebijakan, dan harga
minyak sawit.
Variabel endogen meliputi pasokan minyak sawit dan rantai nilai, pekerjaan, dan emisi CO2.
Harga minyak kelapa sawit ditentukan oleh pasokan minyak kelapa sawit dan minyak nabati
lainnya dari produsen seperti Malaysia dan Brasil, serta permintaan konsumen. Studi ini
tidak mensimulasikan perilaku konsumen atau produsen minyak sawit lainnya, yang
keduanya mempengaruhi sistem harga. Penegakan hukum, korupsi, dan elemen
kelembagaan lainnya rumit dan eksogen terhadap model ini, tetapi hal itu memengaruhi
ekspansi perkebunan kelapa sawit; studi ini juga tidak mensimulasikan ini. Sebaliknya,
regresi time-series digunakan untuk merumuskan ekspansi kelapa sawit .

Model IPOS menunjukkan aliran produksi dari petani ke pengguna akhir. Rantai pasokan
minyak sawit meliputi perkebunan kelapa sawit, pabrik kelapa sawit, kilang, dan pasar.
Penggunaan CPO yang paling luas di Indonesia adalah dalam industri minyak goreng, diikuti
oleh industri margarin dan pemendekan, industri oleo-kimia, industri sabun mandi, dan
industri sabun cuci.

Gambar. 3 menyajikan diagram loop sebab-akibat dari IPOS dan menggambarkan aliran
material: (a) perkebunan baru, TBS dan CPO / PKO dan turunannya; (B) uang dari pasar ke
kilang dan pabrik, dan pabrik ke pembeli; dan (c) fluks karbon untuk setiap aktivitas.
Aktivitas manusia mempengaruhi seluruh rantai nilai. Misalnya, perlindungan kebakaran dan
lahan gambut akan mengurangi pasokan TBS ke pabrik, sementara reformasi agraria akan
menghasilkan lebih banyak lahan yang tersedia untuk perkebunan kelapa sawit.

Kami memberikan rincian spesifikasi model IPOS dalam Tambahan 1. Spesifikasi ini
menawarkan parameter untuk setiap komponen model.

2.2. Arsitektur model IPOS Model ini


terdiri dari tiga komponen: perkebunan atau perkebunan, pabrik dan kilang, dan pasar.
Indikator yang diamati adalah (1) TBS, CPO / PKO dan turunan minyak; (2) nilai tambah
(uang); (3) emisi karbon; dan (4) tenaga kerja. Eksekusi model tergantung pada data stok,
laju perubahan, dan asumsi BAU berikut:
• Stok awal dan laju perubahan perkebunan, pabrik, dan kilang mengacu pada regresi linier
data tahunan selama 20 tahun.
• Harga minyak kelapa sawit didasarkan pada estimasi data sekunder.
• Umpan balik harga hanya mencakup tingkat perubahan di area perkebunan.

Gambar. 4 menunjukkan antarmuka IPOS. Suplemen 2 memberikan rincian masing-masing


sektor model.

Bagian 3 menyajikan masing-masing komponen model dan pelaksanaannya. Model dimulai


dengan pasar dan diikuti oleh perkebunan kelapa sawit, pabrik, dan kilang.

Parameter utama dalam dinamika produksi kelapa sawit dan TBS disajikan pada Tabel 2.
Setiap perkebunan kelapa sawit mengalami empat proses: penanaman, pematangan,
produksi TBS, dan kematian tanaman. Proses-proses ini mewakili konveyor dengan waktu
transit yang berbeda. Kelapa sawit
mulai jatuh tempo pada empat tahun, mencapai jatuh tempo pada 5-19 tahun, penurunan
produktivitas pada usia 20-25, dan mati setelah 25 tahun. Ada dua komponen dalam sub-
model produksi kelapa sawit: pabrik dan kilang. Parameter konversi TBS, CPO, dan PKO
disajikan pada Tabel 3. CPO dan PKO diproses menjadi minyak goreng (81%), oleo-kimia
(10%), dan biodiesel (9%).

2.3. Pengembangan skenario


Model ini bertujuan untuk menguji dampak kebijakan utama terkait kelapa sawit yang saat ini
sedang dibahas, dan untuk mengembangkan opsi kebijakan di masa depan. Kebijakan-
kebijakan ini adalah: (1) moratorium pengembangan kelapa sawit sebagaimana dinyatakan
dalam Instruksi Presiden No. 8 tahun 2018; (2) perlindungan gambut sebagaimana
tercantum dalam Peraturan Pemerintah No. 57 tahun 2016; (3) reformasi agraria; (4)
pencegahan dan penanggulangan kebakaran lahan dan hutan. Untuk setiap kebijakan,
skenario diusulkan yang dapat mengkompensasi dampak kebijakan pada produsen dan
membantu mereka beralih ke produksi minyak sawit yang lebih berkelanjutan.

Tabel 1
Kategori data dan sumbernya digunakan dalam model.
Tidak Klasifikasi tipe data Sumber data
1 Struktur rantai nilai minyak sawit Publikasi ilmiah
2 Penggunaan lahan kelapa sawit, pabrik, kilang Pemerintah pusat atau kementerian
3 Rencana pembangunan nasional, reformasi agraria Instansi pemerintah
4 Pembandingan proyeksi minyak sawit Asosiasi bisnis swasta, seperti Asosiasi Minyak
Kelapa Sawit Indonesia (GAPKI)
5 Harga, pasokan dan permintaan minyak sawit dunia Organisasi internasional, seperti Bank
Dunia
6 Organisasi think tank pemanfaatan biomassa, seperti Lembaga Penelitian Ekonomi untuk
ASEAN dan Asia Timur (ERIA)

Gambar 3. Lingkaran kausal diagram model Simulasi Kelapa Sawit Indonesia (IPOS).

3. Hasil
3.1. Hasil model di bawah BAU
3.1.1. Dinamika pasar minyak sawit
Eksekusi dari sub-model pasar ditunjukkan pada Gambar. 5. Permintaan global untuk
minyak sawit tumbuh sebesar 7% per tahun, sementara permintaan untuk minyak nabati
lainnya tumbuh sebesar 4% per tahun. Ekspor minyak sawit dari negara lain tumbuh
sebesar 5,4% per tahun (Bruno, 2017). Pasokan minyak sawit tidak dapat
memenuhi permintaan, sehingga menyebabkan kekurangan global. Pasar domestik
Indonesia juga mengalami permintaan minyak sawit yang melebihi pasokan, dengan
kesenjangan antara pasokan dan permintaan terus tumbuh.

Gambar 4. Antarmuka model Simulasi Kelapa Sawit Indonesia (IPOS).


Gambar 5. Simulasi dinamika pasar minyak kelapa sawit menggunakan model IPOS.
Gambar. 6. Simulasi proyeksi pengembangan kelapa sawit (a) dan produksi TBS oleh
perusahaan swasta, perusahaan milik negara, petani kecil, dan semua aktor (J ton TBS) (b).
Gambar 7. Simulasi deforestasi kumulatif, semak, dan konversi lahan lainnya (juta ha).

3.1.2. Dinamika perkebunan kelapa sawit, produksi TBS dan deforestasi


Wilayah yang dicakup oleh perkebunan kelapa sawit akan terus tumbuh dalam persentase
yang proporsional sampai daerah itu mencapai jumlah maksimum lahan yang cocok untuk
kelapa sawit. Mulyani et al. (2003) dan Mulyani dan Las (2008) menempatkan area ini
seluas 44,7 juta ha. Setelah area itu tercapai, ia akan tetap konstan (Gbr. 6a). Produksi TBS
diproyeksikan meningkat dari 142 M ton menjadi 603 M ton setelah 27 tahun (tahun 2042;
tahun 2015 digunakan untuk baseline tahun simulasi) seperti yang ditunjukkan pada
Gambar. 6b. Setelah itu, produksi TBS akan terombang-ambing di sekitar jumlah itu karena
penuaan dan penanaman kembali pohon dengan tingkat yang sama.
Pengembangan kelapa sawit untuk mencapai tujuannya, tanah yang sesuai perlu digunakan
kembali dari penggunaan lain (Tabel S1.4). Deforestasi dan konversi semak, termasuk
hutan gambut dan semak gambut, harus terjadi untuk memberi ruang bagi perkebunan baru.
Sekitar 33,5% dari ekspansi kelapa sawit berasal dari hutan yang terganggu dan tidak
terganggu, dan 26,3% dari semak belukar dan padang rumput. Pada tingkat pengembangan
perkebunan saat ini, 12 M ha akan digunduli dan 9 M ha semak belukar dikonversi setelah
23 tahun (tahun 2038). Dengan asumsi bahwa setengah dari semak belukar terdegradasi
atau terdiri dari hutan sekunder, 16,5 M ha akan ditebangi setelah 23 tahun (Gbr. 7). Karena
sebagian besar tanah dulunya adalah hutan primer, dapat diasumsikan bahwa beberapa
dari mereka terdegradasi menjadi hutan sekunder dan kemudian lebih jauh menjadi semak
belukar. Definisi internasional menetapkan semak sebagai tanaman tahunan berkayu, sering
tanpa mahkota yang pasti dan umumnya dengan ketinggian antara 0,5 m dan 5,0 m
(Gschwantner et al., 2009).

Gambar 8. Produksi turunan minyak sawit dan ekspor CPO / PKO (juta ton).

3.1.3. Dinamika pabrik kelapa sawit, kilang, dan produksi minyak sawit
Hasil dari simulasi 30 tahun ditunjukkan pada Gambar. 8. Jumlah bahan baku yang
memproduksi CPO dan PKO meningkat dari 35 M ton menjadi 157 M ton. Kuantitas ekspor
meningkat dari 8 M ton menjadi 35 M ton, sementara 122 M ton diproses menjadi produk
turunan di kilang domestik. Produksi minyak goreng meningkat dari 20 M ton menjadi
82 M ton, produksi oleokimia meningkat dari 3 M menjadi 12 M ton, dan produksi biodiesel
meningkat dari 2 M ton menjadi 9 M ton.

3.1.4. Nilai ekspor, pendapatan pemerintah, dan Dana CPO


Nilai ekspor terdiri dari CPO / PKO dan turunannya (Gbr. 9). Ekspor minyak sawit tumbuh
dari USD 21 miliar menjadi maksimum USD 89 miliar setelah 32 tahun, dan kemudian
terombang-ambing. Komposisi ekspor terdiri dari sepertiga CPO dan PKO dan dua pertiga
turunan minyak sawit. Menyusul peningkatan ekspor, pendapatan pemerintah dari minyak
sawit meningkat dari USD2 miliar menjadi USD9 miliar. Demikian juga, Dana CPO
meningkat dari USD1 miliar menjadi USD4 miliar.

3.1.5. Dinamika emisi GRK dari industri kelapa sawit


Sub-model karbon menunjukkan emisi dari sektor perkebunan dan pengolahan minyak
kelapa sawit sebesar 160 juta ton CO2e pada periode awal. Emisi ini mewakili sekitar 15%
dari total emisi yang dilaporkan oleh Pemerintah Indonesia dalam Laporan Pembaruan Dua
Tahunan Pertama di bawah Konvensi Kerangka Kerja PBB tentang Perubahan Iklim
(UNFCCC) pada 2012. Emisi GRK paling signifikan dari sektor perkebunan dan sektor
pengolahan minyak kelapa sawit berasal dari oksidasi gambut dari perkebunan yang ada,
kegiatan pembukaan lahan, dan limbah pabrik kelapa sawit. Oksidasi lahan gambut adalah
sumber tunggal terbesar dari emisi karbon. Sekitar 2,3 M ha perkebunan kelapa sawit di
lahan gambut memancarkan lebih dari 100 M ton CO2e per tahun. Oksidasi gambut terjadi
karena penurunan level air tanah, yang mengakibatkan penguraian bahan organik tanah.
Langkah-langkah keberlanjutan saat ini dapat mengurangi, tetapi tidak menghentikan, emisi
karbon dari gambut. Kegiatan pembukaan lahan dan kebakaran lahan gambut merupakan
38% dari emisi karbon; Limbah pabrik kelapa sawit (POME) juga menyebabkan emisi yang
cukup besar. Simulasi emisi kelapa sawit mencapai 716 M ton CO2e setelah 22 tahun (Gbr.
10), berdasarkan asumsi bahwa 21% dari perkebunan kelapa sawit rentan terhadap
kebakaran dan 5% darinya terbakar.

Gambar 9. Ekspor, pendapatan pemerintah dan Dana CPO (juta USD).


Gambar 10. Emisi CO2 tahunan dari minyak sawit Indonesia (juta ton CO2e).

3.1.6. Ketenagakerjaan
Industri kelapa sawit Indonesia secara langsung mempekerjakan lebih dari 6 juta orang
(Gbr. 11). Tenaga kerja telah meningkat karena ekspansi perkebunan dan pabrik kelapa
sawit. Selama 22 tahun ke depan, dalam kondisi BAU, industri ini dapat mempekerjakan 23
juta orang.
3.2. Membandingkan hasil model dengan proyeksi lain
Kami memverifikasi model IPOS dengan mencocokkan hasil simulasi pada kondisi BAU
dengan data dan perkiraan. Struktur IPOS logis dan umum digunakan dalam studi rantai
pasokan dan rantai nilai komoditas pertanian dan hutan. Struktur rantai pasokan terdiri dari
petani, perkebunan, dan hutan, diikuti oleh industri pengolahan primer dan sekunder.
Penjualan produk primer dan sekunder terjadi di pasar domestik dan internasional.

Hasil simulasi BAU dari IPOS mengikuti pola logis, dengan jumlah yang dapat dilacak ke
asalnya. Tabel 4 menunjukkan perbedaan antara output simulasi dan kenyataan. Alasan
utama perbedaan ini adalah bahwa simulasi menggunakan data dari sumber resmi. Pabrik
juga mendapatkan TBS dari sumber tidak resmi atau tidak tercatat.

Gambar 11. Pekerjaan kelapa sawit di Indonesia.

Tabel 4 menunjukkan perbandingan antara hasil simulasi dan tolok ukur dari berbagai
sumber. Hasil simulasi terdiri dari produksi minyak kelapa sawit, konsumsi domestik, luas
perkebunan kelapa sawit, ekspor minyak sawit, perdagangan domestik, dan lapangan kerja
langsung. Sementara pemodelan didasarkan pada data dari tahun 2015 dan sebelumnya,
tahun verifikasi bervariasi dari 2019 hingga 2020 hingga 2030, tergantung pada
ketersediaan data benchmark. Perbedaan yang paling besar adalah untuk perdagangan
biodiesel domestik, dengan - 93,03% antara simulasi dan benchmark. Ini menunjukkan
bahwa hasil simulasi jauh lebih rendah daripada referensi GAPKI. Sementara itu, perbedaan
terkecil adalah 1,81% dari produksi minyak sawit seperti yang dinyatakan oleh Departemen
Pertanian. Perbedaan rata-rata adalah 2,57%, yang relatif rendah.

3.3. Skenario kebijakan


3.3.1. Pengaruh moratorium vs intensifikasi pada deforestasi dan produksi TBS

Pemerintah Indonesia mengeluarkan peraturan yang memberlakukan moratorium izin baru


untuk perkebunan kelapa sawit untuk perusahaan, tetapi tidak untuk petani kecil. Tingkat
manfaat moratorium akan tergantung pada lamanya waktu tetap diberlakukan. Moratorium
juga dapat mengurangi peningkatan
produksi TBS dibandingkan dengan BAU karena petani kecil menghasilkan jumlah kelapa
sawit yang lebih rendah. Gambar 12.a menunjukkan perlambatan deforestasi karena
moratorium 10 tahun ekspansi kelapa sawit oleh perusahaan. Gambar 12.b menunjukkan
bagaimana area yang dicakup oleh perkebunan kelapa sawit juga akan dipengaruhi oleh
moratorium 10 tahun yang sama. Dalam kondisi BAU, produksi TBS akan mencapai lebih
dari 600 juta ton. Moratorium akan mengurangi produksi TBS (Gambar 12.c), tetapi
dimungkinkan untuk mengkompensasi penurunan ini melalui intensifikasi, yang akan
meningkatkan produktivitas sebesar 20% dan akan membawa produksi FBB ke sekitar
tingkat BAU. Skenario ini menunjukkan bahwa peningkatan produktivitas perkebunan yang
ada dapat mengimbangi efek moratorium.

Skenario ini masuk akal karena produktivitas kelapa sawit Indonesia yang rendah, terutama
bagi petani kecil. Produktivitas rata-rata saat ini adalah 16,84 ton TBS / ha, dengan petani
kecil menghasilkan 14,52 ton TBS / ha dan perusahaan swasta memproduksi 18,03 ton TBS
/ ha. Peningkatan produktivitas sebesar 20% berarti tingkat produktivitas rata-rata 17,42 ton
TBS / ha. Tingkat ini, bagaimanapun, masih lebih rendah dari produktivitas saat ini dari
beberapa perkebunan kelapa sawit besar di Indonesia (20,21 ton TBS / ha) dan di Malaysia
(22,45 ton TBS / ha) (Byerlee et al., 2017). Dalam model yang digunakan dalam penelitian
ini, moratorium diterapkan selama 10 tahun, bukan 3 tahun yang saat ini dinyatakan dalam
Peraturan Presiden No. 8 tahun 2018. Hal ini dilakukan untuk memperkuat efek moratorium.
Jangka waktu moratorium yang lebih pendek akan menghasilkan efek yang lebih kecil.

3.3.2. Pengaruh perlindungan lahan gambut dan pencegahan kebakaran terhadap


pendapatan dan pengurangan emisi karbon
Skenario 'Tanpa lahan gambut dan tanpa api' ini dapat menurunkan produksi TBS dan CPO,
serta pendapatan bisnis. Studi ini memperkirakan bahwa 2,4 M ha (21%) dari perkebunan
kelapa sawit yang ada berada di lahan gambut. Karena itu, melindungi dan memulihkan
lahan gambut akan mengurangi area perkebunan kelapa sawit. Untuk mengimbangi area
yang hilang akibat lahan gambut yang dilindungi dan dipulihkan, pertukaran lahan
diperkenalkan ke dalam model untuk menyediakan lahan baru untuk perkebunan kelapa
sawit. Pertukaran lahan ini mengurangi emisi dari oksidasi gambut dan kegiatan pembukaan
lahan di tanah gambut, dan juga mengurangi risiko kebakaran di lahan gambut yang
dikeringkan.

Gambar 13.a menunjukkan bahwa emisi CO2e di bawah perlindungan lahan gambut dan
pencegahan kebakaran lebih rendah dibandingkan dengan BAU. Namun, seperti yang
ditunjukkan pada Gambar. 13.b, produksi TBS juga lebih rendah, seperti pendapatan dari
minyak kelapa sawit (Gambar 13.c). Pertukaran lahan diperkenalkan pada akhirrotasi
periode, ketika penanaman kembali dilakukan pada lahan mineral dan bukan pada lahan
gambut. Swapping lahan menghasilkan peningkatan pada tingkat produksi dan pendapatan
TBS (Gbr. 13.c). Oleh karena itu, menukar kelapa sawit dari lahan gambut ke tanah mineral
dapat mengurangi emisi dari skenario BAU tanpa mempengaruhi produksi TBS secara
keseluruhan.

Gambar 12. Pengaruh moratorium kelapa sawit 10 tahun terhadap deforestasi (a); area
perkebunan (b), dan produksi TBS (c).

3.3.3. Pengaruh reformasi agraria terhadap pendapatan petani kecil


Dalam skenario ini, 9 juta ha lahan dialokasikan untuk petani untuk berbagai keperluan.
Tambahan 1,8 M ha lahan petani kecil yang ditanami kelapa sawit, atau sekitar 20% dari
total area yang dialokasikan dalam program reformasi agraria ditambahkan ke dalam
simulasi. Area ini akan meningkatkan proporsi tanah petani kecil di bawah kelapa sawit dan
melampaui area yang dimiliki oleh perusahaan dalam waktu lima tahun implementasi. Selain
itu, produksi TBS dan CPO secara keseluruhan akan meningkat di bawah reformasi agraria
(Gbr. 14).

3.3.4. Pengaruh larangan ekspor biodiesel oleh UE pada pendapatan


Pada tanggal 4 April 2017, Parlemen Eropa mengeluarkan resolusi tentang minyak sawit
dan deforestasi hutan hujan (UE [Uni Eropa], 2017). Resolusi tersebut mencakup masalah
pengembangan kelapa sawit dan deforestasi terkait, degradasi lingkungan, pelanggaran hak
asasi manusia, dan emisi CO2. Resolusi ini diterima oleh Parlemen Eropa dan akan dibahas
lebih lanjut dengan Dewan Uni Eropa. Jika diadopsi, larangan ekspor biodiesel berbasis
minyak sawit akan berlaku pada tahun 2030.

Persentase berbeda dari setiap produk minyak sawit Indonesia diekspor. Jumlah ekspor
adalah: CPO (26,3%), PKO (10,25%), minyak goreng (70%), oleo-kimia (83%), dan
biodiesel (67%). Dari 67% biodiesel yang diekspor, 20% diekspor ke negara-negara UE.
Larangan itu, karenanya, akan mengurangi persentase ekspor biodiesel dari 67% menjadi
54%. Gambar. 15 menunjukkan bahwa larangan UE tidak signifikan dalam mengurangi total
nilai ekspor, yang diproyeksikan pada USD 44.064 M tanpa larangan Uni Eropa pada USD
43.597 M dengan larangan UE pada tahun 2035. Oleh karena itu, penurunan USD 467 M
atau 1% akan menyebabkan terjadi karena larangan UE (Gbr. 15).

4. Diskusi
4.1. Diskusi hasil
Dalam latihan pemodelan ini, "keberlanjutan" tidak didefinisikan secara komprehensif karena
keterbatasan data untuk indikator yang diamati. Keberlanjutan dalam konteks ini berarti
bahwa industri kelapa sawit memenuhi beberapa indikator, termasuk konservasi hutan
danemisi CO2 pengurangan. Indikator keberlanjutan ekonomi adalah pemeliharaan atau
peningkatan produksi minyak sawit serta total pendapatan dari minyak sawit. Indikator
ekuitas adalah pemeliharaan atau peningkatan bagian pendapatan petani kecil dari minyak
kelapa sawit dibandingkan dengan total pendapatan.

Tindakan untuk meningkatkan ekonomi kelapa sawit melibatkan ekspansi dan intensifikasi.
Namun, ekspansi dapat mengurangi luas hutan. Gunarso et al. (2013) mengungkapkan
bahwa 33,5% perkebunan kelapa sawit berada di lahan hutan (termasuk hutan gambut),
26,3% di semak belukar (termasuk lahan gambut), 34,1% di agroforest, dan 6% di lahan lain
(lihat Tabel S1.4 dari Suplemen 1 ). Semak awalnya dimulai sebagai hutan sekunder yang
mengalami penebangan atau kebakaran. Secara total, 59,8% dari perkebunan kelapa sawit
ada di hutan atau area semak yang telah menggusur hutan primer atau area yang
sebelumnya merupakan hutan primer. Tingginya proporsi hutan dan semak belukar yang
dikonversi menjadi kelapa sawit merupakan dorongan dibalik moratorium ekspansi kelapa
sawit untuk korporasi.

Gambar 13. Pengaruh skenario 'Perlindungan Lahan Gambut dan Pencegahan Kebakaran'
terhadap total emisi (a); Produksi CPO (b); dan pendapatan dengan pertukaran lahan (c).

Moratorium juga akan mengurangi kelebihan pasokan CPO. Namun, itu tidak termasuk
kelapa sawit petani. Di bawah moratorium, perkebunan kelapa sawit Indonesia akan tumbuh
hanya 1,08% setiap tahun; tanpanya, mereka akan tumbuh 4,66%. Model ini menunjukkan
bahwa moratorium berpotensi mengurangi konversi hutan. Ini juga menunjukkan bahwa
moratorium harus dilaksanakan bersama dengan peningkatan produktivitas. Komitmen
pelaku sektor swasta untuk mencapai nol deforestasi sangat penting (Austin et al., 2017;
Pacheco dan Komarudin, 2017). Melalui intensifikasi, ada harapan bahwa petani kecil akan
mengurangi kebutuhan untuk memperluas perkebunan mereka ke hutan (Nurfatriani et al.,
2018). Produktivitas petani kecil sekitar setengah dari korporasi. Meningkatkan produktivitas
minyak sawit dari level 2017 sebesar 2,64 ton CPO / ha menjadi 2,83 ton CPO / ha
(kenaikan 7,1%) dapat mengkompensasi hilangnya tahunan sekitar 1,3 M ton CPO. Salah
satu tantangan utama adalah mendorong petani kecil untuk meningkatkan budidaya mereka.
Dana CPO dapat memainkan peran kunci dalam mendukung tujuan ini dengan memobilisasi
dana yang dialokasikan untuk penanaman kembali kelapa sawit. Ada juga kebutuhan untuk
kebijakan publik yang lebih terkoordinasi dan kemitraan publik-swasta yang kuat (Pacheco
et al., 2017).

Migrasi besar-besaran karena pengembangan kelapa sawit juga harus dipertimbangkan


(Sandker et al., 2007). Migrasi terkait dengan tantangan kritis lain yang disebut "paradoks
Jevons," yang menyatakan bahwa peningkatan produktivitas atau intensifikasi sebenarnya
akan meningkatkan ekspansi alihalih
-menguranginya. Hal ini didasarkan pada logika bahwa peningkatan produktivitas akan
memberikan lebih banyak manfaat bagi pemegang perkebunan yang ada tetapi juga akan
menarik pelaku baru. Peningkatan produktivitas harus berjalan seiring dengan penegakan
hukum untuk membatasi atau melarang ekspansi lebih lanjut. Sekitar 20,8% dari
perkebunan kelapa sawit tumbuh di lahan gambut (Tabel S1.4 dari Suplemen 1).
Mengizinkan lahan gambut untuk beregenerasi sebagai hutan atau semak akan mengurangi
emisi CO2. Namun, menerapkan restorasi lahan gambut tanpa pertukaran lahan akan
mengurangi pendapatan dari minyak kelapa sawit; oleh karena itu, pertukaran lahan
diperlukan untuk mempertahankan pendapatan. Menerapkan pertukaran lahan akan
membutuhkan sekitar 2,9 M ha lahan mineral.

Gambar. 14. Pengaruh skenario reformasi agraria selama 5 tahun dan 20% bagian dari
Tanah Objek Reforma Agraria (TORA) pada area kelapa sawit (a) dan produksi TBS (b).

Gambar. 15. Pengaruh larangan UE terhadap ekspor biodiesel berbasis minyak kelapa sawit
ke total nilai ekspor.

Pemerintah, melalui Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK), Kementerian


Pertanian (KLH), dan Kantor Pertanahan Nasional (BPN), harus bekerja sama untuk
menemukan tanah yang cocok untuk pertukaran lahan. Mengingat bahwa KLHK telah
menetapkan zona hutan seluas 12 M ha untuk dikonversi menjadi lahan pertanian, kawasan
tersebut berpotensi menjadi sumber pertukaran lahan. Stok karbon, infrastruktur, pabrik,
kilang, dan kepentingan pemegang kelapa sawit yang ada harus dipertimbangkan ketika
membuat keputusan. Perusahaan dapat melihat pertukaran lahan melalui logika ekonomi.
Selama bidang tanah baru cukup besar, tidak memiliki hak yang tumpang tindih, dan
menguntungkan, perusahaan tidak akan keberatan dengan pertukaran tanah. Sementara
itu, pertukaran lahan untuk petani kecil akan membutuhkan fasilitasi, terutama jika petani
miskin miskin.

Pengembangan perkebunan kelapa sawit seharusnya tidak melibatkan api. Purnomo et al.
(2018) menjelaskan bagaimana tata kelola yang baik dari rantai nilai minyak kelapa sawit,
melibatkan organisasi produsen, pindah ke rantai nilai yang lebih tinggi atau mengurangi
perantara untuk pabrik, dan insentif sertifikasi berpotensi bekerja dengan baik. Tata kelola
yang baik mencakup mengintegrasikan penegakan hukum dari pemerintah kabupaten dan
insentif ekonomi dari pabrik CPO. Insentif dari sertifikasi dan pindah ke rantai nilai yang lebih
tinggi dapat mengimbangi manfaat ilegal menggunakan api.
Memberikan 9 M ha lahan kepada petani miskin melalui reformasi agraria akan memperluas
area di mana kelapa sawit saat ini dibudidayakan. Jika 20% dari lahan itu digunakan untuk
perkebunan kelapa sawit, perkebunan seluas 11,4 juta ha (2015) akan meningkat sebesar
1,8 juta ha. Tanah untuk reforma agraria (Tanah Objek Reforma Agraria, TORA) dapat
bersumber dari hutan atau zona non-hutan. Area yang diperuntukkan bagi TORA harus
memiliki cadangan karbon rendah; jika tidak, reformasi agraria akan menghasilkan emisi
CO2 yang lebih tinggi dan hilangnya jasa ekosistem seperti keanekaragaman hayati dan
pengaturan air.

Tantangan lain adalah memastikan bahwa mereka yang menerima tanah adalah penduduk
asli dan petani miskin. Pemetaan partisipatif di tingkat desa diperlukan untuk
mengidentifikasi penerima.
Dampak potensial dari larangan biodiesel UE juga perlu dipertimbangkan secara serius.
Meskipun kerugian finansial langsung dari ekspor hanya 1%, larangan UE dapat memicu
tindakan serupa dari tujuan ekspor potensial lainnya seperti Norwegia, Amerika Serikat,
Cina dan India.
Juga, ruang lingkup larangan bisa melampaui biodiesel untuk minyak goreng dan produk
oleo-kimia. Karena itu, Indonesia perlu mengubah industri kelapa sawitnya menjadi lebih
berkelanjutan, dengan indikator lingkungan dan sosial yang jelas. Pemanfaatan lahan
gambut dan pencegahan kebakaran yang berkelanjutan sangat penting (Purnomo et al.,
2017).

Ada cara yang jelas untuk mengubah industri minyak sawit Indonesia tanpa kehilangan
penghasilan. Minyak kelapa sawit Indonesia dapat berkontribusi untuk konservasi
lingkungan melalui moratorium perkebunan, konservasi lahan gambut, dan pencegahan
kebakaran. Industri minyak sawit berkelanjutan dapat berkontribusi pada pendapatan petani
kecil, perusahaan, dan pemerintah, dan menciptakan dan mempertahankan lapangan kerja
bagi jutaan orang.

4.2. Diskusi metode


Pembuat kebijakan perlu memahami sinergi dan trade-off antara faktor ekonomi, sosial, dan
lingkungan dalam latihan pembuatan kebijakan mereka untuk meningkatkan akuntabilitas
mereka. Ini tidak sepele: kegagalan untuk memahami sinergi dan pertukaran akan
membatasi kemampuan pembuat kebijakan untuk mempelajari dan menggunakan model
dan skenario (Morecroft dan Sterman, 2000; Purnomo et al., 2011).
Rantai nilai dan model dinamika sistem dapat mengintegrasikan variabel yang terkait
dengan ekonomi, kesetaraan, dan konservasi lingkungan. Interdisipliner ini membantu
memperjelas kompleksitas industri kelapa sawit di Indonesia. System dynamics adalah
proses pemodelan 'kotak putih', yang memungkinkan pengguna untuk mengikuti dan
memahami proses dimana input dan skenario menghasilkan output. Mereka juga mampu
mengenali kemungkinan titik intervensi dan siapa yang akan terpengaruh. Mempengaruhi
aktor yang berpartisipasi dalam rantai nilai minyak kelapa sawit adalah kunci untuk
mengurangi deforestasi dan degradasi hutan (Purnomo et al., 2014). Tantangan muncul
selama proses analisis rantai nilai dan pemodelan. Yang pertama berkaitan dengan tingkat
kompleksitas. Perlu selektif ketika memilih variabel yang relevan dalam model; jika tidak,
kualifikasi dan kuantifikasi koneksi antara masing-masing variabel tidak akan mungkin.
Banyak hubungan belum diketahui. Kekhawatiran kedua relevan dengan pengguna model,
seperti pembuat kebijakan, asosiasi bisnis, dan konservasionis. Jika semua variabel yang
diinginkan telah digunakan, modelnya akan terlalu rumit dan menantang untuk diikuti.
Pembuat kebijakan tidak akan yakin bahwa model ini berguna jika mereka tidak dapat
sepenuhnya memahami bagaimana input dan skenario menghasilkan output spesifik.
Demikian juga, jika modelnya terlalu sederhana, itu tidak akan mencerminkan realitas
sistem. Oleh karena itu diperlukan keseimbangan yang tepat antara kompleksitas dan
kesederhanaan. Model IPOS bertujuan untuk mencapai keseimbangan seperti itu bagi
industri minyak sawit Indonesia, sehingga menjadi alat yang berguna bagi para pembuat
kebijakan. Selanjutnya, kinerja non-linearitas sumber daya alam, sistem sosial dan ekonomi
akan menambah kompleksitas
skenario masa depan (Campbell et al., 2001).

5. Kesimpulan
Saat ini ada konflik antara para pendukung industri minyak sawit yang menguntungkan dan
mereka yang mempromosikan konservasi lingkungan; ada juga kritik internasional karena
deforestasi dan emisi karbon. Namun, ada skenario kebijakan yang masuk akal untuk
merekonsiliasi pembangunan kelapa sawit dan konservasi hutan. Makalah ini membahas
skenario kebijakan yang melibatkan moratorium, produktivitas, lahan gambut, pertukaran
lahan, dan reformasi agraria. Meningkatkan produktivitas sebesar 20% dapat mengimbangi
moratorium ekspansi perkebunan. Menghapus sekitar 2,4 juta hektar perkebunan kelapa
sawit yang ada di lahan gambut dan menukarnya dengan tanah mineral akan mengurangi
emisi CO2 tanpa mempengaruhi produksi TBS secara keseluruhan. Pertukaran lahan juga
akan mengurangi risiko kebakaran di lahan gambut yang dikeringkan. Reformasi agraria
akan meningkatkan area kelapa sawit di bawah petani kecil sebesar 2,4 juta ha, dan dalam
lima tahun mereka akan menjadi aktor utama produksi TBS, melampaui perusahaan besar.
Kerugian ekonomi langsung dari tidak mengekspor biodiesel ke UE setelah 2030 berjumlah
USD 467 M, atau hanya 1% dari total ekspor.
Namun, larangan tersebut dapat memicu tujuan ekspor potensial lainnya seperti Norwegia,
Amerika Serikat, Cina, dan India untuk bertindak serupa. Demikian juga, ruang lingkup
larangan tersebut dapat diperluas dari biodiesel menjadi minyak goreng dan produk oleo-
kimia. Keberlanjutan merupakan keuntungan
bagi industri minyak sawit Indonesia di bawah moratorium ekspansi, melalui peningkatan
produktivitas, pertukaran lahan gambut untuk tanah mineral, dan reformasi agraria. Opsi-
opsi ini memberikan pelajaran bagi negara-negara kelapa sawit lainnya, serta komoditas lain
ketika pertimbangan ekonomi dan lingkungan saling bertentangan.

Anda mungkin juga menyukai