Anda di halaman 1dari 17

ANALISIS FORMULASI KEBIJAKAN TARIF PAJAK BUMI DAN

BANGUNAN DI DKI JAKARTA

Basania Sevita

Achmad Lutfi

Ilmu Administrasi Fiskal, Fakultas Ilmu Sosial dan Politik Universitas Indonesia

ABSTRAK
Skripsi ini membahas mengenai formulasi kebijakan tarif PBB di DKI Jakarta. Penelitian ini
bertujuan untuk mengetahui dan menganalisis hal-hal yang menjadi latar belakang Pemerintah
Provinsi DKI Jakarta merumuskan kebijakan tarif PBB dan proses perumusan dari kebijakan
ini. Penelitian ini adalah penelitian kualitatif dengan metode pengumpulan data kualitatif.
Hasil dari penelitian ini adalah kebijakan tarif ditujukan untuk mengakomodir semua usulan
tarif, keberpihakkan kepada masyarakat dan memenuhi fungsi budgetair. Tahap formulasi
kebijakan tarif sudah sesuai dilakukan walaupun mengalami beberapa kendala dalam
mendapatkan kesepakatan sesuai dengan tujuan yang ingin dicapai.

Kata Kunci: Perumusan Kebijakan, Pajak Bumi dan Bangunan, DKI Jakarta

ABSTRACT
This thesis discusses about policy formulation of rates in property tax in DKI Jakarta. This
research purposed was to know and analyze the reasons behind formulation of the policy
about rates in tax property by DKI Jakarta provincial government and the formulation of this
policy. This research are research with qualitative approach and qualitative data collection
method. The results of this study are intended to accommodate the policy rates all
proposedrates, stands to the community and fulfill the budgetair function. Stages of policy
formulation of rates is appropriate do despite having some problems in getting the agreement
in accordance with the objectives to be achieved.

Key words: Policy Formulation, Property Tax, DKI Jakarta

1. Pendahuluan
Pemberian kewenangan kepada pemerintah daerah untuk memungut pajak dan transfer ke
daerah merupakan hal utama dalam desentralisasi fiskal. Meskipun kewenangan pemerintah
daerah untuk memungut pajak daerah masih terbatas, tetapi dari tahun ke tahun terdapat
peningkatan peran bagi pemerintah daerah. Hal ini terbukti dengan adanya perubahan pada
Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2009 yang berlaku efektif sejak 1 Januari 2010. Pemerintah
melakukan perluasan basis pajak daerah dan retribusi daerah, penambahan jenis pajak daerah
dan retribusi daerah, peningkatan tarif maksimum beberapa jenis pajak daerah dan pemberian
diskresi penetapan tarif pajak dalam UU Nomor 28 Tahun 2009.
Penambahan jenis pajak daerah salah satunya adalah pengalihan Pajak Bumi dan
Bangunan (PBB) Perdesaan dan Perkotaan menjadi pajak daerah. Berdasarkan jurnal dari

Analisis formulasi…, Basania Sevita, FISIP UI, 2013


Asian Development Bank (ADB, 2008) bahwa pengalihan PBB terkait dengan peningkatan
manajemen pertumbuhan fiskal dikarenakan PBB dapat digunakan untuk meningkatkan
persaingan antar daerah, meningkatkan penerimaan daerah serta memberikan dampak yang
lebih baik terhadap penggunaan lahan dan pengelolaan tingkat kepadatan suatu daerah. Dalam
persiapan pengalihan PBB Perdesaan Perkotaan menjadi pajak daerah, Pemerintah Daerah
(Pemda) mempunyai kewenangan untuk melakukan penetapan tarif pajak.Salah satu contoh
penetapan tarif pajak PBB Perdesaan dan Perkotaan adalah PBB di DKI Jakarta. DKI Jakarta
sendiri melakukan penggolongan tarif PBB menjadi empat golongan berdasarkan besaran
NJOP. Rincian perbandingan peraturan PBB saat masih berada di pusat dengan penetapan
penggolongan tarif di Perda Nomor 16 Tahun 2011 tentang PBB di DKI Jakarta sebagai
berikut.
Tabel 1.1
Perbandingan kelas tarif PBB Perdesaan Perkotaan sebelum dan sesudah di
daerahkan di DKI Jakarta
Tarif PBB dalam UU No. 12 Tahun 1994 Tarif PBB dalam Perda No.16 Tahun 2011
1. Tarif 0,5% x 20% atau 0,1% untuk NJOP < Tarif 0,01% untuk NJOP tanah/bangunan <
Rp.1.000.000.000 Rp 200.000.000
2. Tarif 0,5% x 40% atau 0,2% untuk NJOP ≥ Tarif 0,1 % untuk NJOP tanah/bangunan Rp
Rp.1.000.000.000 200.000.000 - < 2 miliar

3. Tarif 0,2% untuk NJOP tanah/bangunan Rp


2.000.000.000 - < Rp 10.000.000.000
4. Tarif 0,3% untuk NJOP tanah/bangunan ≥ Rp
10.000.000.000
Sumber: Perda Nomor 16 Tahun 2011 tentang PBB PP

Dari tabel 1.1, dilihat bahwa tarif PBB Perdesaan dan Perkotaan mengalami perluasan kelas.
Untuk NJOP kurang dari Rp. 200.000.000 hanya dikenakan tarif sebesar 0,01%, yang semula
dikenakan tarif sebesar 0,1% maka diperkirakan akan terjadi potential loss sebesar 10 kali
lipat. Untuk NJOP kurang dari Rp 2.000.000.000 akan dikenakan tarif sebesar 0,1%, yang
semula dapat dikenakan tarif sebesar 0,2%, dengan arti akan terjadi potential loss sebesar
50%. Pada NJOP lebih atau sama dengan Rp 10.000.000.000 akan dikenakan tarif 0,3%, yang
sebelumnya hanya dikenakan tarif 0,2%. Seperti yang di katakan oleh Hartoyo Mirungan
selaku Direktur Ekstensifikasi dan Penilaian Direktorat Jenderal Pajak berpendapat bahwa
“tarif baru akan menuai protes karena kenanikan besaran tarif sebesar 25% yang dirasakan
pemilik rumah atau bangunan dengan nilai diatas sepuluh miliar dirasa cukup memberatkan”
(www.antarasumbar.com, Hartoyo: DKI Tarik PBB P2 Sendiri 2013, par.7. 9 Februari 2013)

Analisis formulasi…, Basania Sevita, FISIP UI, 2013


Selain perbandingan diatas, proyeksi potensi penerimaan PBB yang diterima oleh DKI
Jakarta dengan tarif yang baru berdasarkan Perda Nomor 16 Tahun 2011 dapat dihitung
dengan mengalikan jumlah Surat Pemberitahuan Pajak Daerah (SPPD) PBB Perdesaan dan
Perkotaan yang diterima oleh DKI Jakarta. Proyeksi penerimaan PBB Perdesaan Perkotaan
Tahun 2013 seperti yang terlihat pada tabel dibawah ini.
Tabel 1.2
Proyeksi Penerimaan PBB Perdesaan Perkotaan Tahun 2013
PERDA Penerimaan
Proyeksi
Tarif UU No. 12 Jumlah No.16 dengan Ketetapan
No Penerimaan 2013 %
Tahun 1994 SPPD Tahun PBB Awal (UU
(PERDA No.16)
2011 No.12)
1 0,10% 777.216 0,01% 81.848.564.955 8.148.456.495 -90,21%
2 0,10% dan 0,20% 986.777 0,10% 822.511.783.162 611.426.555.036 -27,79%
3 0,20% 98.398 0,20% 743.712.159.795 743.712.159.795 -0,05%
4 0,20% 13.879 0,30% 1.565.882.450.463 2.348.823.675.694 49,99%
Jumlah 3.213.954.958.375 3.712.110.847.020 15,08%
Sumber: Dispenda Jakarta Selatan (diolah oleh peneliti)

Berdasarkan pada tabel 1.2, menurut jumlah Surat SPPD yang diterima akan terjadi
penurunan penerimaan sebesar 90,21 % pada golongan pertama yaitu dengan NJOP kurang
dari Rp 200.000.000. Begitu juga dengan golongan kedua dan ketiga dengan penurunan
sebesar 27,79 % dan 0,05 %. Hanya pada golongan keempat saja, yaitu dengan NJOP sama
atau lebih besar dari Rp 10.000.000.000, akan mengalami pertambahan penerimaan sebesar
49,99%. Proyeksi potensi seperti diatas menggambarkan DKI Jakarta akan kehilangan potensi
paling banyak pada golongan pertama sebanyak kurang lebih 90 %, sedangkan untuk
bangunan mewah seharga sama atau lebih dari Rp 10.000.000.000 akan menerima
pemungutan meningkat kurang lebih 50 %.
Melihat fenomena perhitungan diatas, maka kewenangan yang dalam menentukan tarif
PBB Perdesaan dan Perkotaan di DKI Jakarta merupakan tantangan untuk menciptakan suatu
kebijakan tarif yang sesuai dengan tujuan yang ingin dicapai oleh Pemda DKIJakarta. Hal
inilah yang menjadi daya tarik untuk menganalisis dasar pemikiran dari Pemda DKI Jakarta
dan menulusuri proses kebijakan tarif PBB di DKI Jakarta yang telah tertuang dalam Perda
Nomor 16 Tahun 2011.

Analisis formulasi…, Basania Sevita, FISIP UI, 2013


2. Tinjauan Teoritis
Didalam tahap kebijakan publik, hal yang penting adalah menentukan perumusan
kebijakan publik, seperti pandangan Sidney (Fischer, 2007, p.79) tahapan perumusan
kebijakan merupakan tahap kritis dari sebuah proses kebijakan terkait dengan proses
pemilihan alternatif kebijakan oleh pembuat kebijakan yang biasanya mempertimbangkan
besaran pengaruh yang dihasilkan dari pilihan yang diambil. Proses ini biasanya
mengekspresikan dan mengalokasikan kekuatan dan tarik menarik diantara berbagai
kepentingan sosial, politik dan ekonomi.
Tahap-tahap dalam perumusan kebijakan, yaitu (1) Perumusan masalah (defining
problem), untuk dapat merumuskan kebijakan publik dengan baik maka harus merumuskan
masalah yang dihadapi dengan baik. Kebijakan publik yang pada dasarnya dibuat untuk
memecahkan masalah yang ada dalam masyarakat. (2) Agenda Kebijakan, masalah yang
masuk kedalam agenda kebijakan harus memenuhi syarat, apakah masalah tersebut membawa
dampak yang besar terhadap masyarakat dan membutuhkan penanganan yang khusus dan
harus segera dilakukan atau tidak. (3) Pemilihan alternatif kebijakan untuk memecahkan
masalah, disini para perumus kebijakanakan dihadapkan dengan beberapa alternatif pilihan
kebijakan yang dapat diambil untuk memecahkan masalah tersebut. Pada tahap ini perumus
kebijakan akan dihadapkan dengan pertarungan berbagai kepentingan antara pihak yang
terlibat dalam perumusan kebijakan. Perumusan seperangkat alternatif akan melibatkan proses
identifikasi terhadap berbagai pendekatan untuk menyelesaikan masalah, serta kemudian
mengidentifikasi dan mendesain seperangkat kebijakan spesifik yang dapat mewakili setiap
pendekatan. (4) Penetapan kebijakan, salah satu dari sekian alternatif akan diputuskan untuk
memecahkan masalah kebijakan. Kebijakan yang ditetapkan mempunyai kekuatan hukum
yang mengikat dan berdasarkan atas kompromi dari berbagai kelompok kepentingan yang
terlibat.
Aktor-aktor perumus kebijakan adalah penentu bagaimana masalah publik
didefinisikan, dan pada akhirnya, akan menentukan bagaimana kebijakan publik tersebut
dirumuskan. Aktor-aktor perumus kebijakan dapat dibedakan menjadi aktor-aktor resmi dan
aktor-aktor tidak resmi. Winarno (2007, p.123) menyebutkan aktor-aktor resmi meliputi
presiden (eksekutif), legislatif, yudikatif, dan agen-agen pemerintah (birokrasi). Mereka
dikatakan resmi karena mempunyai kekuasaan yang secara sah diakui oleh konstitusi dan
mengikat. Sebaliknya, aktor-aktor lain yang dikatakan tidak resmi karena tidak mempunyai
wewenang yang sah, seperti misalnya partai-partai politik, warganegara individu dan

Analisis formulasi…, Basania Sevita, FISIP UI, 2013


kelompok-kelompok kepentingan. Mereka ini berperan dalam menyediakan informasi,
memberikan tekanan, serta mencoba untuk mempengaruhi.
Pajak properti mempunyai basis pada nilai properti yang bersangkutan yang lazim
disebut dengan advalorem principle, dimana pajak properti dikenakan berdasarkan nilai atas
berbagai jenis properti. Struktur pajak properti berkaitan dengan basis pajak dan cara
menilainya, penetapan tarif, kebijakan untuk meringankan beban pajak, dan cara mengolah
pajak properti secara efesien. Pajak properti merupakan jenis pajak yang stabil dan
elastis.Pajak properti jika dirancang dengan baik dapat menjadi sumber penerimaan yang
besar, stabil dan elastis. Kadar elastisnya tergantung pada sampai seberapa jauh properti yang
bersangkutan dapat ditaksir dengan teratur dan dinilai menurut harga pasar yang berlaku.
Mclure juga menyatakan objek tanah yang tidak bergerak, nyata dan bersifat tetap
membuatnya unggul sebagai objek pajak karena dapat meminimalkan penghindaran dan
penyeludupan pajak serta memberi kepastian bagi Negara dalam hal penerimaan pajak yang
stabil (Ehtisham dan Brosio, 204, p.326).
Dalam menetapkan tarif pajak, pemerintah pasti memperhitungkan penerimaan yang
dapat diterima dengan tarif yang dipilih. Apabila tarif pajak yang terlalu tinggi akan
membunuh aktivitas ekonomi, yang mengakibatkan pendapatan pajak menurun. Kurva Laffer
menggambarkan hubungan antara tingkat tarif pajak dan pendapatan pajak, gambar berikut
menunjukkan kurva Laffer:

Gambar 2.1
Kurva Laffer
Sumber:http://www.nationalaffairs.com
Dengan kurva Laffer dapat diketahui bahwa pada suatu titik, peningkatan tarif pajak justru
akan mengurangi penerimaan negara dari pajak. Perubahan tarif pajak sangat berpengaruh
terhadap perilaku taxpayers apakah comply terhadap aturan pajak (honest) atau tidak (evades).
Tarif pajak sangat mempengaruhi tingkat penerimaan serta menunjukkan adanya tingkat pajak

Analisis formulasi…, Basania Sevita, FISIP UI, 2013


dimana respons tingkatan tarif yang cukup besar, yang akan menyebabkan penurunan
penerimaan pajak karena kenaikan tingkat pajak lebih lanjut (Jude Wanniski, 1978, p.4-5).

3. Metode Penelitian
Pendekatan yang digunakan dalam penelitian ini adalah pendekatan kualitatif, untuk
memahami dan mengintepretasikan permasalahan yang diangkat dalam penelitian ini, yaitu
mengenai kebijakan tarif (Creswell, 1994, p.1). Pendekatan kualitatif dipilih agar konteks
permasalahan tentang analisis kebijakan tarif PBB Perdesaan Perkotaan dalam Perda Nomor
16 Tahun 2011 dapat dipahami dengan mendalam dan menyeluruh. Pendekatan ini dapat
menjelaskan apa latar belakang dari kebijakan tarif PBB Perdesaan Perkotaan di DKI Jakarta
dari pandangan pembuat kebijakan dan berbagai narasumber lain dan mengetahui bagaimana
Pemerintah DKI mengimplementasi kebijakan tarif tersebut kepada masyarakat dengan cara
menganalisis semua data yang diperoleh.
Penelitian ini bersifat deskriptif karena sasaran yang ingin dicapai adalah menjelaskan
bagaimana kebijakan tarif yang diterapkan menurut Perda nomor 16 Tahun 2011 dapat terjadi.
Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui dasar pertimbangan dan pemikiran dari
penentuan kebijakan tarif dalam Perda Nomor 16 Tahun 2011 yang ditetapkan oleh Pemda
DKI Jakarta. Sehingga sesuai dengan diungkapkan Gay, penelitian deskriptif merupakan
kegiatan yang meliputi pengumpulan data dalam rangka menguji hipotesis atau menjawab
pertanyaan yang menyangkut keadaan pada waktu yang sedang berjalan dari pokok suatu
penelitian (Sevilla, Ochave, Punsalan, Regala, Uriante, 1993, p.71).
Selanjutnya, jenis penelitian berdasarkan manfaatnya adalah penelitian murni.
Penelitian murni bertujuan untuk mencari pengetahuan demi untuk kepentingan pengetahuan
itu sendiri (Sevilla, Ochave, Punsalan, Regala, Uriante, 1993:40). Penelitian murni lebih
banyak digunakan dalam lingkungan akademik dan biasanya dilakukan dalam rangka
pengembangan ilmu pengetahuan. Umumnya hasil penelitian murni memberikan dasar untuk
pengetahuan dan pemahaman yang dapat dijadikan sumber metode, teori dan gagasan yang
dapat diaplikasikan pada penelitian selanjutnya.
Berdasarkan dimensi waktu, penelitian ini termasuk penelitian cross sectional.
Penelitian cross sectional adalah penelitian yang dilakukan dalam satu waktu tertentu.
Pengertian satu waktu tertentu tidak bisa hanya dibatasi pada hitungan minggu, bulan atau
tahun saja. Tidak ada batasan yang baku untuk menunjukkan satu waktu tertentu, akan tetapi
yang digunakan adalah bahwa penelitian itu telah selesai (Jannah dan Bambang, 2005, p.45).
Penelitian ini dilakukan pada Januari 2013 sampai dengan bulan Juni 2013.

Analisis formulasi…, Basania Sevita, FISIP UI, 2013


Teknik pengumpulan data dalam penelitian ini menggunakan teknik pengumpulan data
kualitatif. Teknik pengumpulan data dibagi menjadi dua yaitu melakukan studi lapangan
dengan wawancara mendalam kepada informan. Kedua, studi ini dilakukan dengan
mengumpulkan dan mempelajari data serta informasi yang terkait dengan PBB.
Dalam melakukan analisis data, penelitian ini tergolong penelitian yang menggunakan
analisis data kualitatif. Analisa data merupakan upaya yang dilakukan dengan jalan bekerja
dengan data, mengorganisasikan data, memilah-milahnya dalam satuan yang dapat dikelola,
mensistensikannya, mencari dan menemukan pola, menemukan apa yang penting dan apa
yang dipelajari, serta memutuskan apa yang dapat dipelajari, serta memutuskan apa yang
dapat diceritakan kepada orang lain (Moleong, 2006, p.116). Analisis data dilakukan setiap
saat pengumpulan data di lapangan secara berkesinambungan. Data yang digunakan oleh
penulis merupakan hasil wawancara penulis dengan sejumlah narasumber, data tersebut
menjadi dasar bagi penulis dalam menganalisis. Oleh karena itu, penelitian ini lebih banyak
menggunakan kata-kata daripada angka. Kata-kata yang digunakan bertujuan untuk
menggambarkan dengan jelas bagaimana kerangka pemikiran kebijakan tarif pada PBB
Perdesaan dan Perkotaan di DKI Jakarta.

4. Hasil Penelitian dan Pembahasan


Fokus pertama dalam penelitian ini adalah untuk mengetahui latar belakang
dirumuskannya kebijakan tarif PBB di DKI Jakarta. Dasar pemikiran yang menentukan
perumusan Perda Nomor 16 Tahun 2011 yang pertama adalah untuk dapat mengakomodir
semua tarif usulan eksekutif dan legislatif.
Pemilihan tarif PBB dimulai dengan pihak eksekutif dan legislatif memberikan usulan
masing-masing menurut perhitungannya. Pihak eksekutif memberikan tiga alternatif usulan
dan legislatif memberikan satu usulan dengan delapan macam golongan, yaitu.

Analisis formulasi…, Basania Sevita, FISIP UI, 2013


Tabel 4.1
Perbandingan Jenjang Usulan Tarif PBB Legislatif dan Eksekutif
Tarif PBB (UU Usulan Eksekutif
Usulan Legislatif
No.12 Tahun 1985) Alternatif I Alternatif II Alternatif III
- 1. 0% - - -
( < Rp.100 juta)

- 2. 0.05% - - 1. 0,05%
(Rp. 100 juta sampai ( < Rp.500 juta)
dengan Rp 250 juta)
- 3. 0,075% - - -
( Rp.250 juta sampai
dengan Rp. 500 juta)
1. 0,1% 4. 0,1% 1. 0,1% 1. 0,1% 2. 0,1%
( < Rp.1 Miliar) ( Rp. 500 juta sampai ( < Rp. 1 Miliar) ( < Rp. 2 Miliar) ( >Rp.500 juta sampai
dengan Rp 1 Miliar) dengan Rp.2 Miliar )
- 5. 0,15% - - -
(Rp. 1 Miliar sampai
dengan Rp. 2 Miliar)
2. 0,2% 6. 0,2 % 2.0,2% 2. 0,2% 3. 0,2%
( > Rp. 1 Miliar) (Rp. 2 Miliar sampai ( > Rp. 1 Miliar ( > Rp. 2 Miliar (> Rp. 2 Miliar
dengan Rp. 5 Miliar) sampai dengan Rp. sampai dengan Rp. 5 sampai dengan Rp, 5
5 Miliar) Miliar) Miliar)
- 7. 0,25% 3. 0,25% 3.0,25% 4. 0,25%
( Rp. 5 Miliar sampai ( > Rp. 5 Miliar) ( > Rp. 5 Miliar (> Rp. 5 miliar sampai
dengan Rp.10 sampai dengan dengan Rp. 15 Miliar)
Miliar) Rp.15 Miliar)
- 8. 0,3% - 4. 0,3% 5. 0,3%
( >Rp10 Miliar) ( > Rp. 15 Miliar) ( > Rp. 15 Miliar)
Sumber: hasil olahan peneliti

Agar dapat mengakomodir semua usulan tarif yang diajukan oleh eksekutif dan
legislatif, maka ada beberapa tarif yang dihapuskan, yaitu tarif 0%, 0,05%, 0,075%, 0,15%
dan 0,25%. Hilangnya tarif 0% dikarenakan akan mengurangi rasa gotong royong dalam
membayar PBB bagi rakyat yang kena tarif 0%. Selain itu, menyebabkan beberapa objek,
subjek, dan wajib pajak tidak mendapatkan SPPT PBB walaupun ketetapannya relatif kecil.
Apabila terhadap tanah tersebut tidak diterbitkan SPPT PBB maka akan sulit memonitor dan
mendeteksi perkembangan pemanfaatan tanah/bangunan. Dihapuskannya tarif 0,75% dan
0,15% disebabkan pemerintah daerah DKI Jakarta ingin menghilangkan interval NJOP kedua
tarif tersebut dan menaikkannya menjadi interval NJOP sampai dengan Rp. 2 Miliar yang
dikenakan tarif sebesar 0,1%. Pemakaian usulan tarif 0,1% yang menggantikan tarif 0,75%
dan 0,15% akan menghasilkan penerimaan sebesar Rp.534.902.343.376, sedangkan
pemakaian usulan tarif 0,75% dan 0,15% hanya dapat menghasilkan Rp.412.046.768.154.
Tarif 0,25% dihapuskan karena Pemprov DKI Jakarta ingin memakai tarif maksimal yaitu
0,3% untuk menutupi penerimaan menurun akibat diberlakukannya tarif 0,01%. Tetapi tarif

Analisis formulasi…, Basania Sevita, FISIP UI, 2013


0,01% dipercaya sewaktu saat akan berubah atau bergeser ke golongan berikutnya yaitu tarif
0,1% dan lama-kelamaan golongan 0,01% ini akan menurun. Hal tersebut dapat terjadi karena
suatu saat NJOP pada golongan pertama akan meningkat berdasarkan dengan keputusan
gubernur.Ini merupakan suatu taktik dari kebijakan fiskal yang menilai dari sisi pertumbuhan
ekonomi masyarakatnya. Pertumbuhan ekonomi diukur dengan perhitungan pertumbuhan
ekonomi di DKI Jakarta yang memungkinkan banyak investor masuk untuk menanamkan
modalnya termasuk dibidang properti. Pertumbuhan ekonomi diprediksi dengan mengukur
tingkat kapitalisasi pendapatan properti. Tingkat kapitalisasi adalah suatu angka tertentu yang
dapat dinyatakan dalam persen untuk mengkoversi atau menyetarakan jumlah nominal uang
yang diekspetasikan akan diterima di masa yang akan datang dengan nilai riil sekarang.
Tingkat kapitalisasi dapat ditentukan berdasarkan perbandingan dengan investasi alternatif
dan properti pembanding lainnya (Untung Supardi, Penentuan NJOP: Pendekatan Kapitalisasi
Pendpatan Properti Komersial, Apartemen di Jakarta, p.8, 2012). Dengan melakukan
perhitungan tersebut, maka informan yakin akan terjadi pertumbuhan yang tinggi dan akan
membuat harga properti di DKI Jakarta semakin mahal. Pernyataan ini juga didukung oleh
Joko Widodo sebagai Gubernur DKI Jakarta, yang mengatakan bahwa, "Bisa kita yang
pertumbuhannya paling tinggi, dan saya tidak suka dengan itu tapi properti Jakarta bisa
menjadi yang termahal di dunia” (www.beritajakarta.com, Sektor Properti Masih Potensial di
DKI, p.2, 20 Februari 2013). Ditambahkan bahwa paska 2015 akan muncul booming
perekonomian terutama di bidang properti. Jakarta akan menjadi kota dengan pertumbuhan
properti tertinggi di Indonesia. Selain itu, dengan meningkatnya kebutuhan properti
persaingan harga akan terjadi.
Latar belakang kedua yang menjadi dasar pemikiran perumusan kebijakan tarif adalah
adanya keberpihakkan kepada masyarakat. Penerapan keberpihakkan kepada masyarakat
kebijakan tarif PBB Perdesaan dan Perkotaan di DKI Jakarta lebih mengarah kepada pilihan
tarif 0,01%, sedangkan tarif 0,1% dan 0,2% hanya memberikan sedikit dampak penurunan
karena tarif ini sebenarnya sama pada saat tarif pada UU Nomor 12 Tahun 1985 diberlakukan.
Tarif 0,01% akan menyebabkan sebanyak 750.000 wajib pajak mengalami penurunan
pembayaran PBB Perdesaan dan Perkotaan. Nilai NJOP yang rendah disinyalir dimiliki oleh
masyarakat wajib pajak dengan penghasilan rendah. Keberpihakkan kepada masyarakat ini
dapat dikatakan adil karena Pemda DKI Jakarta membantu masyarakat wajib pajak golongan
bawah. Tarif 0,3% telah dibidik untuk tanah/bangunan yang bernilai diatas Rp. 10 Miliar,
yaitu sudah pasti wajib pajaknya dinilai mampu untuk membayarnya. Pemilihan tarif yang
tinggi untuk golongan atas yang dinilai mampu, pada dasarnya sesuai dengan teori

Analisis formulasi…, Basania Sevita, FISIP UI, 2013


kemampuan membayar pajak mensyaratkan bahwa individu dengan penghasilan tinggi dapat
membayar persentaseyang lebih tinggi dari penghasilan terhadap pajak.
Berdasarkan teori yang diungkap oleh Seligman (1911), untuk dapat menguji ability to
pay seseorang, Seligman memaparkan beberapa elemen untuk mengetesnya, salah satunya
adalah berdasarkan properti. Menurut Seligman, properti atau kekayaan yang dimiliki
seseorang merupakan piranti penguji yang sangat jelas dari ability to pay seseorang. Secara
mudah dapat terlihat bahwa seorang wajib pajak yang mempunyai beberapa rumah ataupun
memiliki tanah yang luas pasti mempunyai ability to pay yang lebih besar daripada wajib
pajak yang hanya mempunyai satu rumah. Teori tersebut tidak sepenuhnya dapat di
implementasikan, mengingat sifat dari PBB yang merupakan pajak objektif, yaitu dinilai
berdasarkan objeknya dan tidak melihat subjeknya.Youngman juga menambahkan bahwa
desain kebijakan dapat bersifat in rem, yaitu hanya memperhatikan properti dan tidak
mempedulikan pemiliknya adapula yang bersifat in persoam, yaitu memperhatikan keadaan
pemilik properti. Tetapi sebagai stakeholder, Pemda DKI Jakarta harus melihat kemampuan
pembayar pajak karena hal itu menentukan tercapainya tujuan pembangunan daerah atau
bersifat in persoam. Karena perlu diketahui, apabila tarif terlalu tinggi maka tidak akan ada
wajib pajak yang mampu membayar dan kebijakan yang dirancang tidak berhasil. Sebagai
tambahan, bentuk lain dari keberpihakkan masyarakat adalah kebijakan tarif ini tidak terlalu
banyak jenjang tarif yang diberlakukan, yaitu empat jenis tarif dengan memakai tarif
progresif. Alasan ini dipakai karena melihat keadilan yang lebih diciptakan dibanding dengan
memakai usulan delapan tarif yang diberikan oleh Legislatif. Selain itu, secara teoritis
berbicara mengenai kemampuan membayar pajak yang diukur berdasarkan pengorbanan atau
kehilangan guna. Perpajakan yang dinilai dari kemampuan membayarnya berbentuk dapat
berbentuk pajak progresif. Pendekatan pajak progresif menempatkan beban pajak yang
meningkat pada individu dengan pendapatan yang lebih tinggi.
Dasar pemikiran terakhir adalah, melaksanakan fungsi pajak yaitu fungsi budgetair.
Penerimaan PBB pada saat masih berada di pusat dahulu berasal dari dana bagi hasil yang
dibagikan kepada daerah, pada saat ini penerimaan PBB akan bersumber dari dana pendapatan
asli daerah. Pendapatan asli daerah tersebut diatur dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja
Daerah (APBD) setiap tahunnya untuk melaksanakan otonomi dan perwujudan desentralisasi
DKI Jakarta.

Analisis formulasi…, Basania Sevita, FISIP UI, 2013


Tabel 4.2
Penerimaan PBB di DKI Jakarta Tahun 2009-2013
Tahun Jumlah Wajib Pokok Ketetapan PBB Rencana Penerimaan Realisasi Penerimaan
Pajak (000) (000)
2009 1.762.612 Rp. 2.621.915.385 Rp. 2.100.000.000 Rp.2.150.090.574
2010 1.774.603 Rp. 2.788.885.850 Rp. 2.250.000.000 Rp.2.465.917.896
2011 1.806.026 Rp. 2.908.500.000 Rp. 2.400.000.000 Rp.2.878.262.272
2012 1.867.071 Rp.3.213.954.958 Rp.3.100.000.000 Rp.3.332.283.423
2013 1.876.270 Rp.3.259.126.529 Rp.3.600.000.000 Rp.199.165.309.
Sumber: DPP DKI Jakarta

Berdasarkan tabel 4.2, terlihat jelas penerimaan PBB yang diterima oleh Pemerintah
Provinsi DKI Jakarta saat belum menjadi pajak daerah dan penerimaan PBB di tahun 2013
saat telah di daerahkan dengan penerimaan yang telah dicapai sampai dengan 26 April 2013.
Rencana penerimaan setiap tahunnya selalu meningkat, dikarenakan jumlah wajib pajak yang
juga meningkat. Oleh karena itu, saat dialihkan menjadi pajak daerah Pemerintah Provinsi
DKI Jakarta tidak ingin penerimaannya malah menurun. Sesuai dengan prinsip pajak yang
dikatakan oleh Nurmantu (2005) yaitu revenue productivity yang menyangkut dua hal, yakni
principle of adequancy dan the principle of adaptability. Dengan prinsip ini berarti bahwa
sistem perpajakan dapat menjamin penerimaan untuk membiayai semua pengeluaran
pemerintah daerah. Dengan merujuk kepada local taxing empowerment yang merupakan salah
satu tujuan dari disahkan UU PDRD 2009, Perda ini hadir dengan tujuan untuk menjadikan
PBB sebagai alat untuk mengisi kas mereka dalam APBD serta dapat meningkatkan
kontribusi PBB dalam pos PAD.
Dalam menentukan kebijakan tarif ini, Pemda juga menghindari penerapan tarif yang
tinggi dan golongan atau layer tarif yang banyak belum tentu dapat menghasilkan ketetapan
yang tinggi. Pada dasarnya objektivitas dari pajak adalah penerimaan bukan tarif, karena yang
ditakutkan adalah adanya penghindaran pajak.Kurva Laffer menyebutkan bahwa Pemda
cenderung untuk menggunakan tarif yang tinggi agar diperoleh total penerimaan pajak daerah
yang maksimal. Apabila tarif pajak yang terlalu tinggi akan membunuh aktivitas ekonomi,
yang mengakibatkan pendapatan pajak menurun.
Selain fungsi budgetair, pemerintah juga seharusnya memperhatikan fungsi regulerend
dari PBB yang dapat dilaksanakan terkait dengan kebijakan tarif PBB Perdesaan dan
Perkotaan di DKI Jakarta. Selama ini, fungsi PBB di Indonesia masih sebatas sebagai alat

Analisis formulasi…, Basania Sevita, FISIP UI, 2013


untuk menghimpun dana bagi penerimaan negara, sedangkan fungsi pengaturan masih
dikesampingkan. Padahal, selain mempunyai fungsi penerimaan pajak, PBB sektor Perdesaan
dan Perkotaan ini pun mempunyai fungsi lain yang tidak kalah penting, yaitu pemerataan
pendapatan dan dapat mengatur atau menata kembali penggunaan penguasaan dan pemilikan
tanah sedemikian rupa sehingga pemanfaatan tanah dapat dilaksanakan secara optimal.
Fokus kedua dalam penelitian ini adalah untuk mengetahui proses formulasi kebijakan
tarif PBB di DKI Jakarta. Proses formulasi kebijakan tarif PBB di DKI Jakarta dilalui dengan
lima tahap. Tahap pertama, merumuskan draf rancangan Perda (RaPerda) PBB oleh eksekutif.
Tahap pertama ini dilakukan oleh pemerintah provinsi DKI Jakarta setelah menangkap isu
pengalihan PBB menjadi pajak daerah adalah melakukan penyusunan agenda dan melakukan
formulasi kebijakan, yakni agar dalam memilih tarif ada beberapa pilihan-pilihan kebijakan
tarif yang dapat diterapkan. Perumusan draf awal ini juga didasarkan kepada resume yang
dibuat dalam bentuk naskah akademik yang disusun dari hasil studi banding yang dilakukan
terhadap beberapa Negara, peraturan perundangan dan beberapa kota di Indonesia yang
terlebih dahulu telah menerapkan PBB menjadi pajak daerah.
Tahap kedua adalah pembahasan RaPerda PBB oleh Badan Legislatif. Setelah draf awal
dari kebijakan tarif PBB Perdesaan dan Perkotaan di DKI Jakarta telah terkonsep dengan baik
dan matang dalam bentuk naskah akademik, draf Rancangan Peraturan Daerah (RaPerda)
tersebut kemudian masuk ke dalam badan Legislatif. Pada tahap ini draf rancangan dibahas
dalam rapat Paripurna bersama dengan fraksi-fraksi DPRD DKI Jakarta. Fraksi-fraksi yang
memberi pandangan umum yang dijawab langsung oleh Gubernur DKI Jakarta. Berbeda
dengan kabupaten/kota lain, DKI Jakarta tidak memakai Panitia Khusus (Pansus) untuk
membicarakan pembuatan suatu Perda, tetapi diserahkan kepada Balegda (Badan Legislasi
Daerah). Tugas utama dari Balegda adalah kewenangan membuat Perda yaitu melahirkan
Perda, membahas dan menyetujui/menolak perda yang diusulkan eksekutif.
Tahap yang ketiga adalah pembahasan Raperda oleh Gabungan Pimpinan Dewan yang
berada di DPRD DKI Jakarta. Setelah Raperda diusulkan kepada semua anggota fraksi-fraksi,
draf tersebut masuk ke dalam pembahasan Balegda. Selain dibicarakan oleh Balegda, draf
juga dibicarakan dengan beberapa komisi di DPRD yang berhubungan dengan pelaksanaan
PBB kedepannya. Komisi yang berperan adalah dari Komisi A dari bidang pemerintahan,
Komis C dari bidang keuangan dan Komisi D dari bidang pembangunan.Dalam
pembahasannya DPRD juga melibatkan pihak-pihak yang memiliki kepentingan atas
perumusan kebijakan ini, seperti LSM Sigma (Sinergi Masyarakat), Lembaga Bantuan
Hukum (LBH) dan pers Pos Kota. Dalam proses isinilah ditemukan kendala, bagaimana

Analisis formulasi…, Basania Sevita, FISIP UI, 2013


menyatukan keinginan kedua kubu dan pihak-pihak kepentingan lain seperti dampak dalam
suatu perumusan kebijakan seperti yang dikatakan oleh Caiden dalam Islamy (1991, p.27).
Perumusan kebijakan merupakan aktivitas yang kompleks yang melibatkan aktor-aktor
kebijakan publik. Pada saat suatu kebijakan pada akhirnya diputuskan peran-peran aktor
tersebut menjadi kunci penentu dengan tekanan kepentingan yang dimiliki oleh setiap aktor
kebijakan publik.
Masuk tahap keempat, yaitu evaluasi hasil Raperda oleh Gubernur dan Menkeu. Sebelum
akhirnya kebijakan tarif PBB Perdesaan dan Perkotaan ini disahkan, Raperda harus terlebih
dahulu dikonsultasikan dengan instansi pemerintah yang terkait, yaitu Kementrian Keuangan
dan Gubernur DKI Jakarta untuk dievaluasi. Evaluasi yang dilakukan oleh Menkeu bersama
dengan Gubernur adalah melakukan screening setiap poin Raperda apakah telah sesuai
dengan batasan-batasan dan ketentuan yang ada dalam UU Nomor 28 Tahun 2009, terutama
dalam kebijakan tarif yaitu maksimal sebesar 0,3%.
Tahap terakhir adalah persetujuan Lembaga Legislatif dan Pengesahan oleh Gubernur
DKI Jakarta. Setelah Raperda dievaluasi oleh Kementrian Keuangan dan Gubernur DKI
Jakarta, hasil evaluasi kemudian disampaikan oleh Mendagri kepada Gubernur DKI Jakarta
untuk segera disahkan. Sejak awal pengalihan PBB sektor Perdesaan dan Perkotaan,
pemerintah provinsi DKI Jakarta telah mengambil keputusan untuk melaksanakan
pemungutan pada tahun 2012, tetapi karena terlambat dalam menyerahkan draf yang akan
dievaluasi, maka dilaksanakan pada tahun 2013. Alasan ditetapkannya batas waktu pelaporan
regulasi ini adalah agar pemerintah pusat tidak lagi mengalokasikan Dana Bagi Hasil PBB
sektor Perdesaan dan Perkotaan dalam RAPBN-nya.
Selama proses perumusan kebijakan tarif PBB di DKI Jakarta diatas, ada aktor-aktor
kebijakan yang berperan menentukan bagaimana kebijakan publik tersebut dirumuskan.
Menurut Winarno (2007, p.123) yang menyebutkan aktor-aktor resmi meliputi presiden
(eksekutif), legislatif, yudikatif, dan agen-agen pemerintah (birokrasi). Mereka dikatakan
resmi karena mempunyai kekuasaan yang secara sah diakui oleh konstitusi dan mengikat.
Dalam proses perumusan kebijakan tarif PBB di DKI Jakarta, pihak Dinas Pelayanan Pajak
(DPP) adalah aktor resmi yang merumuskan draf awal, melakukan perhitungan tarif sekaligus
merangkap sebagai konsultan dari Raperda PBB Perdesaan dan Perkotaan di DKI Jakarta.
Dinas Pelayanan Pajak bekerja sama dengan Badan Pendapatan Keuangan Daerah (BPKD),
yaitu pengemban utusan langsung yang diberikan perintah oleh Gubernur DKI Jakarta adalah
BPKD.BPKD “menggandeng” DPP untuk melakukan rancangan Perda bersama dengan
alasan suatu bentuk pembinaan karena selama di pusat dahulu berada dibawah BPKD dan

Analisis formulasi…, Basania Sevita, FISIP UI, 2013


sekarang dialihkan ke DPP.Pembinaan yang dberikan oleh BPKD sekaligus memberikan
kesiapan dalam pengawasan dan pengaturan PBB saat dipegang oleh DPP.
Aktor resmi selanjutnya adalah DPRD DKI Jakarta yang berperan sebagai lembaga
legislatif. Menurut Winarno, keterlibatan lembaga legislatif dalam perumusan kebijakan dapat
dilihat dari mekanisme dengar pendapat dan kontak-kontak yang mereka lakukan dengan
pejabat administrasi, kelompok-kelompok kepentingan. (Winarno, 2007, p.124). Lembaga
Legislatif adalah wakil rakyat dalam pembuatan keputusan kebijakan, dimana dalam suatu
kebijakan yang baru dapat dinyatakan sah apabila telah disahkan oleh lembaga legislatif.
Dalam proses perumusan kebijakan tarif PBB Perdesaan dan Perkotaan di DKI Jakarta ini
diwakili oleh Badan Legislasi Daerah (Balegda) yang bekerja sama dengan semua fraksi-
fraksi yang ada di DPRD DKI Jakarta
Kementerian Keuangan, Kementerian Dalam Negeri, dan Gubernur DKI Jakarta juga
termasuk aktor resmi dalam perumusan ini karena tiga pihak tersebut termasuk kedalam
lemaga yudikatif. Menurut Winarno, lembaga yudikatif mempunyai peran yang besar dalam
melakukan tinjauan yudisial dan menafsirkan ketentuan undang-undang. Pada dasarnya,
tinjauan yudisial merupakan kekuasaan pengadilan untuk menentukan apakah tindakan-
tindakan yang diambil oleh cabang-cabang eksekutif maupun legislatif sesuai dengan
konstitusi atau tidak (Winarno, 2007,p.125). Hal ini terbukti dalam Kementerian Keuangan,
Kementrian Dalam Negeri dan Gubernur telah turut campur dari mulai isu ini PBB Perdesaan
dan Perkotaan ini akan dialihkan menjadi pajak daerah sampai dalam tahap melakukan
evaluasi Raperda mengenai kesesuaian dengan UU Nomor 28 Tahun 2009.
Kanwil Ditjen Pajak juga termasuk kedalam aktor resmi dalam perumusan kebijakan ini.
Kanwil Ditjen Pajak disini berperan dalam memberikan pendapat bagaimana situasi PBB di
setiap Kota Administrasi DKI Jakarta dan memberikan tanggapan atas Raperda yang telah
dirumuskan oleh pihak eksekutif sebelum diberikan kepada pihak DPRD DKI Jakarta untuk
selanjutnya didiskusikan. Mengajak Kanwil Ditjen Pajak untuk memberikan saran merupakan
tindakan dalam pemilihan alternatif kebijakan. Saran yang diberikan oleh Kanwil Ditjen Pajak
akan membantu pihak aktor resmi lainnya dalam mengukur kekurangan dan kelebihan usulan
yang telah diberikan.
Aktor resmi terakhir dalam perumusan ini adalah dari bagian hukum. Dalam proses
perumusan kebijakan ini, bagian hukum memiliki tugas dan tanggung jawab untuk
memberikan konsultasi terkait dengan aturan-aturan yang harus disesuaikan dengan ketetapan
hukum yang ada dalam membuat suatu produk hukum terutama peraturan daerah. Tanpa
adanya bagian hukum ditakutkan kebijakan yang telah dirumuskan menyalahi peraturan

Analisis formulasi…, Basania Sevita, FISIP UI, 2013


dalam hal tata bahasa. Tata bahasa yang salah dalam Perda dapat dijadikan “senjata makan
tuan” apabila masyarakat wajib pajak mengajukan keberatan atau banding yang akan
mengarah kepada penghidaran pajak legal dikarenakan hukum yang tertulis dapat di cari celah
kelemahannya.
Selain aktor resmi yang telah disebutkan, menurut Anderson terdapat juga aktor tidak
resmi. Aktor tidak resmi adalah aktor yang tidak memiliki kewenangan yang sah dan
mengikat, seperti misalnya partai-partai politik, warganegara individu dan kelompok-
kelompok kepentingan. Mereka ini berperan dalam menyediakan informasi, memberikan
tekanan, serta mencoba untuk mempengaruhi (Anderson, 2006, p.103-109). Aktor tidak resmi
dalam perumusan kebijakan tarif ini adalah kelompok kepentingan. Kelompok-kelompok
kepentingan yang ikut turut berpartisipasi dalam proses perumusan kebijakan ini antara lain
beberapa anggota dari pihak Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) Sinergi Masyarakat
(SIGMA) yang beralirkan politik, Pers Pos Kota dan dua LBH (Lembaga Bantuan Hukum).
Para anggota kelompok kepentingan ini dianggap telah mewakili masyarakat luas, walaupun
pada dasarnya kewenangan mereka dalam proses perumusan kebijakan ini tidaklah besar
tetapi patut dipertimbangkan. Disini dinilai terjadi tidak keterbukaan dan memberi kesan in
design atau sengaja pada perumusan kebijakan tarif.Padahal dalam melakukan perumusan
kebijakan yang baik, aktor yang diundang harus mengerti masalah kebijakan tarif atau paling
tidak bergerak langsung dalam PBB. Pemilihan kelompok kepentingan yang ada memenuhi
tujuan dari pemerintah terhadap yang bersifat politis dengan melihat keuangan yang
dibutuhkan.Karena kebijakan tarif dapat sekaligus digunakan untuk alat politis. Sebagai alat
politis tarif dapat berpengaruh dalam partai-partai atau LSM poitik untuk mendapatkan
tujuannya.

5. Kesimpulan
Kesimpulan yang dapat diambil berdasarkan pembahasan yaitu, hal-hal yang menjadi latar
belakang dalam formulasi kebijakan tarif PBB Perdesaan dan Perkotaan di DKI Jakarta adalah
untuk mengakomodir semua usulan dari pihak Legislatif maupun Eksekutif agar tercapai
sebuah kesepakatan. Kemudian adanya keberpihakkan kepada masyarakat wajib pajak dengan
menerapkan prinsip keadilan yaitu, yaitu memberikan perlakukan perpajakan dengan melihat
kepada kemampuan wajib pajaknya. Selain itu, terkait dengan pelaksanaan fungsi budgeter,
dimana dengan adanya penetapan tarif PBB Perdesaan dan Perkotaan di DKI Jakarta ini dapat
meningkatkan Penerimaan Asli Daerah Provinsi DKI Jakarta. Kemudian, proses perumusan
kebijakan tarif PBB di DKI Jakarta ini melewati lima tahapan. Tahap pertama adalah

Analisis formulasi…, Basania Sevita, FISIP UI, 2013


membuat draf rancangan Raperda PBB atau perhitungan usulan kebijakan tarif. Tahap kedua
adalah pembahasan Raperda PBB oleh Badan Legislatif yaitu, DPRD DKI Jakarta. Tahap
ketiga adalah pembahasan oleh gabungan pimpinan dewan bersama dengan komisi di DPRD.
Pada pembahasan ini di salah satu rapatnya mengajak pihak-pihak kepentingan seperti LSM
dan Pers dengan tujuan untuk membahas lebih Raperda tersebut sesuai dengan peran PBB di
beberapa komisi dan pandangan wakil masyarakat. Sebelum akhirnya kebijakan
penggolongan tarif PBB ini menemukan kata final, Raperda tersebut terlebih dahulu
dievaluasi dan dikonsultasikan dengan pihak Departemen Keuangan, Departemen Dalam
Negeri, dan Gubernur DKI Jakarta. Tahap terakhir, setelah Raperda dievaluasi oleh pihak
Kementrian Keuangan dan Gubernur DKI Jakarta, hasil evaluasi kemudian disampaikan oleh
Mendagri kepada Gubernur DKI Jakarta untuk segera disahkan. Setelah disahkan Perda
Nomor 16 Tahun 2011 telah resmi di berlakukan dan pengalihan PBB menjadi pajak daerah
telah selesai dilaksanakan.

6. Saran
Saran yang dapat diberikan dalam penelitian ini yaitu, pertama, hal yang penting dalam
merumuskan kebijakan publik adalah untuk melibatkan seluruh pihak yang terkait agar
kebijakan dapat dibentuk secara comprehensive dan dapat mengakomodir semua tujuan-tujuan
yang ada. Seperti halnya dalam kebijakan tarif PBB di DKI Jakarta ini pihak kelompok
kepentingan yang diajak untuk ikut berdiskusi adalah LSM politik yang tidak bergerak
langsung dalam perpajakan. Kelompok kepentingan yang diundang bisa dari developer
konstruksi atau dari pihak akademisi yang bergerak langsung dan mempelajari mengenai
PBB. Kedua, PBB karena telah menjadi pajak daerah dan penentuan tarif dan peraturannya
berdasartkan atas kewenangan Pemerintah Daerah, maka penulis berharap agar kedepannya
nanti pemerintah tidak menjadikan PBB sebagai alat politis untuk menarik simpati masyarakat
semata tetapi tetap mengukur kebijakannya untuk pembangunan daerah. yang terakhir,
sebagai tindak lanjut dari hasil penelitian ini, ada baiknya dilakukan penelitian lanjutan baik
kuantitatif maupun kualitatif untuk melihat bagaimana implementasi dari diberlakukanya
kebijakan tarif PBB di DKI Jakarta untuk melihat tercapai atau tidaknya tujuan-tujuan dari
penerapan kebijakan tarif PBB di DKI Jakarta.

Analisis formulasi…, Basania Sevita, FISIP UI, 2013


DAFTAR PUSTAKA
Buku
Ahmad, Estiham dan Brosio,Giorgio. 2004. Handbook of Fiscal Federalism. Chletenham:
Edward Edgar Publisher.
Anderson, J. E. 2006. Public Policy Making. Boston: Houghton Mifflin Company. Asian
Development Bank TA 7010. 2008. Strategy and Roadmap for Developing The
Property Tax in Indonesia. Jakarta.

Creswell, John W. (1994). Research Design: Qualitative and Quantitave Approach.


California: Sage Publication, Inc.

Fischer, F. G. 2007. Handbook of Public Policy Analisys: Theory, Politics and Methods. Oca
Raton: CRC Press.

Islamy, M.I. 1991.Prinsip-Prinsip Perumusan Kebijakan Negara. Jakarta: Bumi Aksara.

Judisseno, Rimsky K. 2004. Perpajakan. Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama

Moleong, Lexy.J. 2006. Metode Penelitian Kualitatif, Bandung: PT. Remaja Rosdakarya.

Nurmantu, Safri. 2005. Perpajakan Perpajakan. Jakarta: Granit.

Prasetyo, Bambang dan Lina Miftahul Jannah. 2005. Metode Penelitian Kualitatif. Jakarta:
PT.Rajagrafindo Persada.

Sevilla, Consuelo G, Jesus A. Ochave, Twila G.Punsalam, Bella P.Regala dan Gabriel G .Uriarte.
1993. Pengantar Metode Peneletian. Jakarta: UI Press.

Seligman, Edwin R.A. 1911. The Shifting and Incidence of Taxation.Colombia University.

Winarno, Budi. 2007. Kebijakan Publik Teori & Proses. Jakarta: PT. Buku Kita.

Jurnal
Untung Supardi. 2012. Penentuan NJOP: Pendekatan Kapitalisasi Pendapatan Properti
Komersial, Apartemen di Jakarta. Universitas Gadjah Mada: Yogyakarta

Media Lain
www.antarasumbar.com
www.nationalaffairs.com
www.beritajakarta.com

Analisis formulasi…, Basania Sevita, FISIP UI, 2013

Anda mungkin juga menyukai