Dosen Pembimbing:
Sri Mariya, S.Pd, M.Pd
Oleh
Kelompok 4
1. Kurnia Sari
2. Vivitri Alfira
3. Rizandi Hidayat
4. Yonanda Putri
5. Refina Aisya
Assalamualaikum Wr. Wb
Alhamdulillahi Robbil ‘Alamin, segala puji bagi Allah SWT Tuhan Semesta Alam, Atas segala
karunia nikmatNya sehingga kami dapat menyusun makalah ini dengan sebaik-baiknya. Makalah
yang berjudul “Keterkaian Ketimpangan dan Kemiskinan dengan Teori-Teori Pembangunan”
disusun dalam rangka memenuhi salah satu tugas mata kuliah Geografi Pembangunan yang
dibimbing oleh ibu Sri Mariya, S.Pd, M.Pd
Makalah ini berisi tentang bagaimana keadaan kemiskinan dan ketimpangan wilayah bisa
terjadi dan bagaimana keterkaitan kemiskinan dan ketimpangan dengan teori-teori pembangunan.
Meski telah disusun secara maksimal, namun penulis sebagai manusia biasa menyadari
bahwa makalah ini masih jauh dari kata sempurna. Karenanya penulis mengharapkan kritik dan
saran yang membangun dari pembaca sekalian.
Demikian yang bisa kami sampaikan semoga makalah ini dapat bermanfaat bagi kita
semua.
Wassalamualaikum Wr. Wb
Kelompok 4
i
DAFTAR ISI
Halaman
KATA PENGANTAR ...................................................................................................... i
DAFTAR ISI .................................................................................................................... ii
BAB I PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang .................................................................................................... 1
1.2 Rumusan Masalah ............................................................................................... 1
1.3 Tujuan ................................................................................................................. 1
BAB II PEMBAHASAN
2.1 Bagaimana keadaan kemiskinan dan ketimpangan wilayah bisa terjadi............. 2
2.2 Bagaimana keterkaitan kemiskinan dan ketimpangan dengan teori-
teori pembangunan .............................................................................................. 15
BAB III PENUTUP
3.1 Kesimpulan ......................................................................................................... 24
ii
BAB I
PENDAHULUAN
Indonesia telah melalui transformasi yang mengagumkan dalam lima belas tahun
terakhir. Angka kemiskinan nasional telah berkurang setengahnya, dari 24 persen di tahun 1999
menjadi 11.3 persen di tahun 2014. Rerata pertumbuhan ekonomi bertahan di angka sekitar 6
persen dalam dasawarsa terakhir. Indonesia juga menjadi anggota G-20, satu-satunya dari Asia
Tenggara.
Studi Kasus
b) Indeks Gini
Rasio Gini atau koefisien adalah alat mengukur derajat ketidakmerataan distribusi
penduduk. Ini didasarkan pada kurva Lorenz, yaitu sebuah kurva pengeluaran kumulatif yang
membandingkan distribusi dari suatu variable tertentu (misalnya pendapatan) dengan distribusi
uniform (seragam) yang mewakili persentase kumulatif penduduk.
Koefisien Gini (Gini Ratio) adalah ukuran ketidakmerataan atau ketimpangan agregat
(secara keseluruhan) yang angkanya berkisar antara nol (pemerataan sempurna) hingga satu
(ketimpangan yang sempurna). Koefisien Gini dapat diperoleh dengan menghitung rasio bidang
yang terletak antara garis diagonal dan kurva Lorenz dibagi dengan luas separuh bidang di mana
kurva Lorenz itu berada. Perhatikan gambar berikut:
Menurut Peraturan Menteri Tenaga Kerja Dan Transmigrasi Republik Indonesia Nomor
Per.25/MEN/IX/2009 Tentang Tingkat Pengembangan Pemukiman Transmigrasi, gini rasio
merupakan ukuran pemerataan pendapatan yang dihitung berdasarkan kelas pendapatan dalam 10
kelas pendapatan (decille)
Bila GR = 1 artinya ketimpangan pendapatan timpang sempurna atau pendapatan itu hanya
diterima oleh satu orang atau satu kelompok saja.
c) Indeks Wiliamson
d. Pembatasan pajak dan retribusi daerah yang merugikan usaha lokal dan orang miskin
Salah satu sumber penghasilan terpenting bagi penduduk miskin didaerah pedesaan
adalah wiraswasta dan usaha pendukung pertanian. Setengah dari penghasilan masyarakat
petani miskin berasal dari usaha pendukung pertanian. Untuk meningkatkan penghasilan
tersebut, terutama yang berasal dari usaha kecil dan menengah, perlu dibangun iklim usaha
yang lebih kondusif. Sayangnya, sejak proses desentralisasi dijalankan, pemerintah daerah
berlomba-lomba meningkatkan pendapatan mereka dengan cara mengenakan pajak dan
pungutan daerah yang lebih tinggi.
Usahawan pada saat ini harus mengeluarkan biaya yang tidak sedikit untuk
mengurus berbagai izin yang sebelumnya dapat mereka peroleh secara cuma-cuma. Belum
lagi beban dari berbagai pungutan liar yang harus dibayarkan untuk menjamin
pengangkutan barang berjalan secara lancar dan aman. Berbagai biaya ini menghambat
pertumbuhan usaha di tingkat local dan menurunkan harga jual yang diperoleh penduduk
miskin atas barang yang mereka produksi.
k. Perbaikan atas kualitas pendidikan dan penyediaan pendidikan transisi untuk sekolah
menengah
Indonesia telah mencapai hasil yang memuaskan dalam meningkatkan partisipasi di
tingkat pendidikan dasar. Hanya saja,banyak anak-anak dari keluarga miskin yang tidak
dapat melanjutkan pendidikan dan terpaksa keluar dari sekolah dasar sebelum
dapat menamatkannya. Hal ini terkait erat dengan masalah utama pendidikan di Indonesia,
yaitu buruknya kualitas pendidikan.
d) Teori Rostow
Rostow mencatat adanya tahap-tahap pertumbuhan ekonomi yaitu:
1. Tahap Masyarakat Tradisional
2. Tahap Prasyarat Untuk Lepas Landas
PENUTUP
3.1 Kesimpulan
Indonesia telah melalui transformasi yang mengagumkan dalam lima belas tahun terakhir.
Angka kemiskinan nasional telah berkurang setengahnya, dari 24 persen di tahun 1999 menjadi 11.3
persen di tahun 2014. Rerata pertumbuhan ekonomi bertahan di angka sekitar 6 persen dalam
dasawarsa terakhir. Indonesia juga menjadi anggota G-20, satu-satunya dari Asia Tenggara.
Namun, perjalanan menuju kesejahteraan bersama masih belum selesai. Indonesia berisiko
tidak membantu rakyat miskin dan rentannya. Pengentasan kemiskinan mulai stagnan, dengan
penurunan yang mendekati nol pada tahun 2014. Ketimpangan pendapatan naik dengan cepat dan
hampir sepertiganya berasal dari ketimpangan kesempatan. Anak-anak yang sehat dan terdidik hidup
berdampingan dengan anak-anak yang menderita malnutrisi, tidak mampu belajar di sekolah, dan
putus sekolah terlalu dini. Ketimpangan antar daerah juga mencolok: hanya 6 persen anak di Jakarta
yang tidak memiliki akses terhadap fasilitas sanitasi, sedangkan di Papua, 98 persen anak tidak
memiliki akses sanitasi yang layak.