Anda di halaman 1dari 17

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Berbicara mengenai Hak Asasi Manusia (HAM) dalam kehidupan
demokrasi kita terasa makin mencuat, meski pemahaman terhadapnya belum
memuaskan karena banyak konsepsi yang dikembangkan masih dipahami
secara beragam mulai dari orang/masyarakat awam hingga kalangan yang
'melek' HAM. HAM yang bersifat kodrati dan berlaku universal itu pada
hakikatnya berisi pesan moral yang menghendaki setiap orang baik secara
individu ataupun kelompok bahkan penguasa/pemerintah (negara) harus
menghormati dan melindunginya.
Pesan moral yang ada, memang belum mengikat atau belum mempunyai daya
ikat secara hukum untuk dipaksakan pada setiap orang. Ketika ia dimuat
(dicantumkan dan ditegaskan) melalui berbagai piagam dan konvensi
internasional, maka semua orang harus menghormatinya. Paling tidak negara
(sebagai yang bertanggung jawab dalam rangka penghormatan dan
pelaksanaan HAM) yang ikut terlibat dalam atau sebagai peserta konvensi dan
terlibat dalam penandatanganannya, juga terhadap piagam yang telah disetujui
bersama itu, akan terikat dan berkewajiban untuk meratifikasinya ke dalam
peraturan perundangan masimng-masing negara bersangkutan. Dalam proses
demikian, HAM telah diakomodasi ke dalam hukum. Dengan kata lain, pesan
HAM tersebut telah menjelma menjadi pesan hukum karena ia telah
dinormakan yakni melalui peraturan perundangan. Dengan demikian, konsepsi
HAM yang dimuat dalam berbagai peraturan perundangan itu akan berfungsi
sebagai suatu norma yang mengikat, sehingga harus ditaati dan dilaksanakan.
Meski demikian, fungsi hukum yang mengatur tentu selalu ada dan tampak
ketika fenomena sosial itu harus diatur, karena pertama, ia harus dilindungi
dari tindakan atau perbuatan sewenang-wenang, ketidakseimbangan dan
ketidakpastian, dan sebagainya. Kedua, karena persoalan pelaksanaan
(implementasi) yang memang harus diatur pula.

1
Semua harus berlangsung tertib dan teratur di bawah aturan hukum yang
berlaku. Dengan demikian, fungsi mengatur dan menertibkan hukum (yang
ada dalam peraturan perundangan) itu, terdapat upaya 'membatasi' dalam
pelaksanaannya.
1.2 Rumusan Masalah

1. Bagaimana hakikat tentang HAM dan hukum pidana mati?

2. Bagaimana hukuman mati di Indonesia?

3. Apa saja macam-macam hukuman mati yang terdapat di Indonesia?

4. Bagaimana hukum pidana mati dalam perspektif HAM.

1.3 Tujuan Penulisan


Adapun tujuan dari penulisan makalah ini adalah untuk memenuhi tugas
mata kuliah pendidikan kewarganegaraan sebagai pengganti presensi dan
untuk mengetahui bagaimana hakekat sebenarnya tentang hukum pidana mati
dan hukum HAM yang ada di Negara kesatuan Republik Indonesia. Selain
itupun kita dapat mengetahui bagaimana sejarah munculnya hukuman mati di
indonedia dan bagaimana Hukum HAM dalam memandang hukuman tersebut.
1.4 Manfaat Penulisan

Semoga hasil penulisan dari makalah ini dapat bermanfaat bagi pembaca
dan bagi penulis khususnya, karena pada dasarnya kita semua adalah seorang
yang masih membutuhkan banyak ilmu dan pengetahuan untuk mengetahui
segala hal yang ada di dalam kehidupan kita, dalam makalah inipun
menjelaskan beberapa pendapat pakar terhadap hukum pidana yang nantinya
akan menjadikan referensi tersendiri bagi para pembaca dalam memaknai
hukum pidana tersebut.

2
BAB II

PEMBAHASAN

2.1 Hakikat HAM dan Hukum pidana mati

1.) HAM

Dalam Hak Asai Manusia terkandung pengertian hak kewajiban yang


dimiliki oleh setiap orang dalam tata pergaulan hidupnya serta dengan
lingkungan. Kehidupannya serta dengan Tuhannya, terdapat beberapa tata
kehidupan yang bersumber dari Tuhan atau agama (hak kodrat) yaitu hak
hidup, kebebasan (freedom) serta hak jiwa raga yaitu hak menikmati kekayaan
kebahagiaan (pursult of happiness) ketiga hak kodrati diatas diturunkan tuhan
kepada setiap umatnya tanpa pilih kasih untuk melengkapi hidupnya
sedangkan kewaiban yang dipikul oleh kita yaitu kewajiban bersyukur,
beriman dan bertakwa kepada-Nya. Di sisi lain terdapat hak kewajiban yang
bersuber daeri kehidupan sesame manusia, ingkungan hidup dimana kita hidup
dimasyarakat. Sumber ini kita kenla dengan sebutan kaidah atau norma social,
kebiasaan atau adapt istiadat, hak dan kewajiban yang lain di tentukan oleh
Negara dan organisasi-organisasi seperti PBB dan lain-lain.

Secara khusus hak asasi manusia ini dapat dirinci yaitu:

a. Hak asasi pribadi, yang meliputi hak kemerdekaan m,emeluk agama,


menyatakan pendapat, dan kebebasan berorganisasi atyau berpartai.

b.Hak asasi ekonomi, yang meliputi hak kebebasan memiliki sesuatu, hak
membeli atau menjual sesuatu, dan hak mengadakan suatu perjanjian atau
kontrak.

c. Hak asasi mendapat pengayoman dan perlkauan yang sama dalam keadilan
dan pemerintahan (hak persamaan hukum).

3
HAM merupakan hak-hak kodrati yang diperoleh setiap manusia berkat
pemberian Tuhan semesta alam, sesungguhnnya tidak dapat dipisahkan dari
hakikatnnya oleh karena itu setiap manusia berhak mendapat kehidupan yang
layak, kebebesan, keselamatan dan kebahagiaan. Didalam Negara merdeka
hak-hak asasi manusia seharusnnya secara keselruruhan terjamin, Karena pada
hakikatannya kemerdekaan negara dan bangsa berarti kemerdekaan pula bagi
warga negara oleh karena itu setiap wargan gera sudah sewajarnya menikmati
kemerdekaan nasionalnya yang berwujud kebebesan dalam fitrahnnya
misalnnya : hak mmilih dan dipilih, hak mendapat perlindungan dan perlakuan
yang baik/adil, hanya mendapat pendidikan dan pengajaran, serta hak
mendapat pekerjaan dan penghidupan yang layak dan kesejahteraan hidup,
kesadaran menghormati hak asasi dalam pergaulan, mencerminkan
kedewasaan dan kebijakan seseorang,. Kritik dan penyampaian juga
menunjukan kematangan seseorang. Masalah hak asasi manusia adalah hak
masalah sesama manusia, hal ini mengandung arti akan menyangkut masalah
hak dan kewajiban tugas dan tangung jawab, serta penghormatan dan
perlakuan terhadap sesama manusia. Setiap pelanggaran terhadap hak asasi
oleh sesama warga negera, mengakibatkan tidak adannya tertib sosial dan
tertib hukum. [2]

1. Hak asasi manusia menurut UUD 1945

Dalam UUD 1945 pokok-pokok yang dirumuskan dalam UUD 1945,


terutama dalam pembukaan maupun dalam bartang tubuhnya yaitu merupakan
hak bangsa atas kemerdekaan atau kebebasan terlepasa dari segala bentuk
penjajahan tidak saja berlaku bagi bangsa indonesia saja tapi bagio semua
bangsa di dunia (alinea I pembukaan) dan yang penting bagi bangsa indonesia
adalah yang tercantum, pada (alinea IV pembukaan) bahwa tujuan pemerintah
Ri terhadap dunia internasional adalah ”ikut melaksanakan ketertiban dunia
yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan sosial”, dan
yang khas bagi negara dan bangsa indonesia adalah bahwa kemerdekaan dan

4
kebangsan indonesia itu dalam satu negara hukum yang berdasarkan
”pancasila”

Mengenai hak-hak asasi manusia dalam UUD 1945, dalam penjelasanya


tiudak diberikan ketegasan lebih lanjut, meskipun ketika rancangan UUD ini
disusun tela beberapa kali disinggung dalam sidang-sidang badan penyelidian
usaha persiapan kemerdekaan Indonesia (BPUPKI) oleh beberapa ahliu seperti
moh hata, moh Yamin. Hal tersebut tidaklah mengherankan menginagt bahwa
masalah UUD 1945 disusun pada akhir pada masa pendudukan jepang dalam
suasana mendesak yang waktrunya sangat terbatas untuk membiarakan ak-hak
asasi secara mendalam, sedang kehadiran jepang di bumi Indonesia kurang
mendukung untuk merumuskan hak-hak asasi manusia disamping itu lahir
UUD 1945, beberapa tahun sebelum perntyataan hak-hak asasi diterima oleh
PBB walaupun sebelumnnya telah banyak piagam-piagam yang berkaitan
dengan hak-hak asasi manusia.

Diterimanya pernyataan HAM oleh PBB, sekaligus menunjukan dengan


jelas bahwa gagasan mengenai perluannya HAM dijamin, hal ini benara-benar
didukung oleh seluruh umat manusia seluruh dunia. Hala ini pun dirasakan
oleh bangsa indonesia, dapat kita buktikan dalam UU berkonstitusi
berikutnnya yang pernah digunakan di Indonesia: yaitu konstitusi RI serikat
1949 dan UUD sementara 1950 bahwa hak asasi ditambah dan diperlengkap.

Secara garis besar dasar pemikiran HAM dalam pembukaan UUD 1945
mengandung prinsip :

1. Kemerdekaan indonesia sesungguhnya adalah berkat Rahmat allah yang


Maka kuasa.

2. Segenap bangsa indonesia dan seluruh tumpah indonesia di lindungi.

3. Negara memajukan kesejahteraan umum dan mencerdaskan kehidupan


bangsa

5
4. Negara ikut serta melaksanakan ketertiban dunia berdasarkan kemerdekaan,
perdaaian abadi, dan keadilan sosial.

5.Negara republik indonesia adalah negara hukum berdasarkan pancasila.

Hak dan kewajiban yang tercantum dalam UUD 1945, yaitu:

a. pasal 27, ayat (1) menyatakan bahwa ”segala warga negara bersamaan
kedudukannya didalam hukum dan pemerintahan. Dan wajib menjungjung
hukum dan pemerintahan itu dengan tidak ada kecualinya”.

Ayat (2), menyatakan bahwa : ”tiap-tiap warga negara berhak atas


pekerjaan dan penghidupan yang layak bagi manusia”.

b. Pasal 28 menyatakan bahwa ”kemerdekaan berserikat dan bverkumpul


mengeluarkan pikioran dengan lisan maupun tulisan dan sebagainnya
ditetapkan dengan UU”

c. Pasal 29 ayat (2), menyaakan bahwa ”negara menjamin kemerdekaan


penduiduk untuk memeluk agamanya masing-masing dan untuk beribdah dan
kepercayaannya itu”.

2. Pemahaman tentang Hak Asasi Manusia

Didalam mukadimah deklarasi universal tentang HAM yang telah disetujui


dan diumumkan oleh Resolusi Majelis Umum PBB No. 217 A(III)
tanggal 10 – 12 -1948 terdapat pertindang-pertindangan berikut :

1. Menimbang bahwa pengakuan atas martabat yang melekat dan hak-


hak yang sama yang tidak terasingkan dari semua anggota keluarga
manusia, keadilan dan perdamaian di dunia.

2. Menimbang bahwa mengabaikan dan memandang rendah pada hak-


hak asasi manusia telah mengakibatkan perbuatan-perbuatan bengis yang
menimbulkan rasa kemarahandalam hati nurani umat manuysia dan bahwa
terbentuknya suatu dunia dimana manusia akan m,engecap kenikmatan

6
kebebasan dari rasa takut dan kekurangan telah dinyatakan sebagai aspirasi
tertingi dari rakyat jelata.

2.) Pidana Mati

Pidana mati merupakan hukuman yang terberat dari jenis-jenis ancaman


hukuman yang tercantum dalam KUHP bab 2 pasal 10 karena pidana mati
merupakan pidana terberat yaitu yang pelaksanaannya berupa perampasan
terhadap kehidupan manusia, maka tidaklah heran apabila dalam menentukan
hukuman mati terdapat banyak pendapat yang pro dan kontra dikalangan ahli
hukum ataupun masyarakat itu sendiri.

Sebagian orang berpendapat bahwa pidana mati dibenarkan dalam hal-hal


tertentu yaitu, apabila si pelaku telah memperlihatkan dengan perbuatannya
bahwa dia adalah orang yang sangat membahayakan kepentingan umum, dan oleh
karena itu untuk menghentikan kejahatannya dibutuhkan suatu hukum yang tegas
yaitu dengan hukuman mati. Dari pendapat ini tampak jelas bahwa secara tidak
langsung tujuan pidana yang dikatakan oleh Van Hammel adalah benar yaitu
untuk membinasakan.

Pendapat yang yang lain mengatakan bahwa hukuman mati sebenarnya


tidak perlu, karena mempunyai kelemahan. Apabila pidana mati telah dijalankan,
maka tidak bisa memberikan harapan lagi untuk perbaikan, baik revisi atas
pidananya maupun perbaikan atas dirinya sendiri. Karena salah satu tujuan adanya
pidana adalah untuk mendidik ataupun memberikan rasa jera agar si pelaku tidak
mengulangi pada tindakan yang sama.

Sedangkan untuk tujuan pidana mati itu sendiri selalu ditujukan pada khalayak
ramai agar mereka dengan ancaman hukuman akan merasa takut apabila
melakukan perbuatan-perbuatan kejam.

7
2.2 Konsepsi HAM dalam Perundangan RI

Penuangan konsep HAM dalam pelbagai peraturan perundangan tidak


boleh dikatakan purna atau tidak purna, karena sesungguhnya pencantuman
pernyataan HAM di dalam peraturan perundangan itu bermaksud awal,
menegaskan kembali hak yang telah ada dan mungkin lebih dahulu disebut dalam
beragam peraturan perundangan lain. Meski, akomodasi mengenai HAM dalam
berbagai peraturan perundangan lain itu tidak langsung dan agak samar-samar.
Mengapa konstitusi kita (UUD 1945) tidak banyak memuat ketentuan mengenai
HAM, mulanya adalah karena pada waktu itu awal pembentukan negara dan
Konstitusi itu sendiri. Kita beranggapan, cukup 'diwakili' oleh Pembukaan UUD
1945 sehingga dalam Batang Tubuh (pasal-pasal)-nya tidak dijabarkan lagi.

Akan tetapi kini ternyata kita 'terpaksa'. mencantumkan/menjabarkannya


ke dalam pasal-pasal UUD 1945. Bahkan melalui amandemen kedua, kita
menambah dan memperjelas ketentuan berkenaan HAM dalam satu bab tersendiri,
yakni Bab XA dari pasal 28A hingga 28 J UUD 1945. Hal ini bisa jadi dapat
dianggap masih kurang, meski sebenarnya telah cukup karena nantinya secara
rinci juga akan dijabarkan ke dalam peraturan perundangan khusus berkenaan
HAM. Lahirnya UU Nomor 33 Tahun 1999 tentang HAM dan seperangkat
peraturan perundangan yang ada mengenai HAM sebagai penjabaran lebih
lanjutnya, termasuk UU yang berasal dari ratifikasi konvensi internasional
mengenai HAM, sesungguhnya menguatkan adanya indikasi bahwa RI berupaya
sungguh-sungguh memperhatikan persoalan yang berkenaan dengan HAM. Meski
demikian, karena konsepsi HAM yang tidak harus sama antara satu negara dengan
negara lainnya terutama karena persoalan ideologi dan sebagainya, maka yang
disebut sebagai 'pengakuan' HAM itu menjadi berbeda pula. Dengan kata lain,
terdapat batasan dalam penerimaan konsepsi HAM tersebut.

8
Nilai persamaan dan kebebasan yang ada dalam konsepsi HAM khususnya
yang berasal dari negara Barat, berbeda dengan negara Timur dan RI. Landasan
yang dipergunakan Indonesia dalam memahami HAM adalah agama, nilai luhur
budaya bangsa yang berakar pada Pancasila sebagai ideologi negara, juga nilai
moral yang berlaku universal. Jika fungsi peraturan perundangan membatasi
HAM dalam pelaksanaannya, maka tentu dimaknai lebih dahulu bahwa tujuannya
adalah dalam rangka perlindungan dan jaminan bagi pelaksanaan HAM. Tegak
dan terlaksananya HAM bila kewajiban asasi dilaksanakan, dan untuk
melaksanakan semua ini diperlukan peraturan perundangan. Membatasi
pelaksanaan HAM tidak sama dengan menghilangkan atau merampas hak azasi
orang, karena pada dasarnya HAM itu bersifat inviolable (tidak boleh diganggu
gugat keabsahannya) dan inelienable (tidak boleh dicabut atau diserahkan pada
siapa pun yang berkuasa).

2.3 Hukuman Mati di Indonesia

Indonesia merupakan salah satu negara yang banyak menjatuhkan pidana


mati. Berdasarkan catatan berbagai Lembaga Hak Asasi Manusia Internasional,
Indonesia termasuk salah satu negara yang yang masih menerapkan ancaman
hukuman mati pada sistem hukum pidananya (Retentionist Country). Retentionist
maksudnya de jure secara yuridis, de facto menurut fakta mengatur pidana mati
untuk segala kejahatan. Tercatat 71 negara yang termasuk dalam kelompok ini.
Salah satu negara terbesar di dunia yang termasuk dalam retentionist country ini
adalah Amerika Serikat. Dari 50 negara bagian, ada 38 negara bagian yang masih
mempertahankan ancaman pidana mati . Padahal seperti diketahui, Amerika
Serikat merupakan salah satu negara yang paling besar gaungnya dalam
menyerukan perlindungan hak asasi manusia di dunia. Namun dalam
kenyataannya masih tetap memberlakukan ancaman pidana mati, juga dalam
hukum militernya.

9
Angka orang yang dihukum mati di Indonesia, termasuk cukup tinggi
setelah Cina, Amerika Serikat, Kongo, Arab Saudi, dan Iran. Di Indonesia sendiri,
sejak 1982 hingga 2004, tidak kurang dari 63 yang berstatus sedang menunggu
eksekusi, atau masih dalam proses upaya hukum di pengadilan lanjutan . Alasan
yang banyak dikemukakan berkaitan dengan resistensi politik agar setiap negara
menghormati pemikiran bahwa masalah sistim peradilan pidana merupakan
persoalan kedaulatan nasional yang merupakan refleksi dari nilai-nilai kultural
dan agama, dan menolak argumen bahwa pidana mati merupakan pelanggaran
terhadap hak asasi manusia. Terkecuali Cina dan Amerika Serikat, negara yang
masih mempertahankan ancaman pidana mati adalah negara yang didominasi oleh
penduduk muslim. Sedangkan Indonesia adalah negara yang notabene merupakan
negara yang penduduknya juga didominasi oleh penduduk muslim.

Hasil sejumlah studi tentang kejahatan tidak menunjukkan adanya korelasi


antara hukuman mati dengan berkurangnya tingkat kejahatan. Beberapa studi
menunjukkan, mereka yang telah dipidana karena pembunuhan (juga yang
berencana) lazimnya tidak melakukan kekerasan di penjara. Begitu pula setelah ke
luar penjara mereka tidak lagi melakukan kekerasan atau kejahatan yang sama.
Sebaliknya sejumlah ahli mengkritik, suatu perspektif hukum tidak dapat
menjangkau hukum kerumitan kasus-kasus kejahatan dengan kekerasan di mana
korban bekerjasama dengan pelaku kejahatan, di mana individu adalah korban
maupun pelaku kejahatan, dan dimana orang yang kelihatannya adalah korban
dalam kenyataan adalah pelaku kejahatan.

2.4 Macam – Macam Pidana Mati yang Ada di Indonesia

Untuk pelaksanaan pidana mati di Indonesia pada mulanya dilaksanakan


menurut ketentuan dalam pasal 11 KUHP yang menyatakan bahwa “pidana mati
dijalankan oleh algojo atas penggantungan dengan mengikat leher si terhukum
dengan sebuah jerat pada tiang penggantungan dan menjatuhkan papan dari
bawah kakinya”.

10
Karena dirasa kurang sesuai maka kemudian pasal tersebut di atas diubah
dengan ketentuan dalam S. 1945 : 123 dan mulai berlaku sejak tanggal 25 agustus
1945. Pasal 1 aturan itu menyatakan bahwa: “menyimpang dari apa tentang hal ini
yang ditentukan dalam undang-undang lain, hukuman mati dijatuhkan pada orang-
orang sipil (bukan militer), sepanjang tidak ditentukan lain oleh gubernur jenderal
dilakukan dengan cara menembak mati”.untuk ketentuan pelaksanaannya secara
rinci di jelaskan pada UU No. 2 (PNPS) tahun 1964.

Berdasarkan keterangan tersebut di atas dapat disimpulkan bahwa eksekusi


hukuman mati di Indonesia yang berlaku saat ini dilakukan dengan cara
menembak mati bukan dengan cara menggantungkan si terpidana pada tiang
gantungan.

Beberapa ketentuan terpenting dalam pelaksanaan pidana mati adalah


sebagai berikut:

1) Tiga kali 24 jam sebelum pelaksanaan pidana mati, jaksa tinggi atau jaksa yang
bersangkutan memberitahukan kepada terpidana dan apabila ada kehendak
terpidana untuk mengemukakan sesuatu maka pesan tersebut diterima oleh jaksa;

2) Apabila terpidana sedang hamil harus ditunda pelaksanaannya hingga


melahirkan;

3) Tempat pelaksanaan pidana mati ditentukan oleh Menteri Kehakiman di


daerah hukum pengadilan hukum pengadilan tingkat 1 yang bersangkutan;

4) Kepala Polisi Daerah yang bersangkutan bertanggungjawab mengenai


pelaksanaannya;

5) Pelaksanaan pidana mati dilaksanakan oleh suatu regu penembak polisi di


bawah pimpinan seorang perwira polisi;

6) Kepala Polisi Daerah yang bersangkutan harus menghadiri pelaksanaan


tersebut;

7) Pelaksanaan tidak boleh dimuka umum;

11
8) Penguburan jenazah diserahkan pada keluarga;

9) Setelah selesai pelaksanaan pidana mati tersebut Jaksa yang bersangkutan harus
membuat berita acara pelaksanaan pidana mati tersebut, yang kemudian salinan
surat putusan tersebut harus dicantumkan ke dalam surat putusan pengadilan.

2.5 Hukum Pidana Mati dalam Perspektif HAM

Perdebatan hukum terhadap absah tidaknya pidana mati berangkat dari


peraturan-peraturan di atas, yang pada satu sisi masih mengakui pidana mati dan
sisi lain mengakui hak hidup. Bagi pihak yang menolak pidana mati, berpendapat
bahwa pidana mati secara hukum adalah inkonstitusional, karena bertentangan
dengan konstitusi. Dalam tata urutan peraturan perundangan di Indonesia, setiap
peraturan yang berada di bawah tidak boleh bertentangan dengan yang di atasnya.
Undang-undang yang memuat pidana mati bertentangan dengan konstitusi yang
mengakui hak hidup. Karena konstitusi dalam tata hukum Indonesia lebih tinggi
dibanding dengan undang-undang, maka pidana mati dalam undang-undang itu
harus amandemen. Pro kontra penerapan Pidana Hukuman Mati di Indonesia
secara garis besar mengerucut ke dalam dua bagian besar yaitu;

(1) Bahwa hukuman mati tidak melanggar HAM karena pelaku telah melanggar
HAM korban dan HAM masyarakat. Parahnya tudingan mengenai hukuman mati
melangar HAM dinilai sebagai sebuah pernyataan sepihak yang tidak melihat
bagaimana HAM korban kejahatan itu di langgar. Selanjutnya

(2) Hukuman mati dinilai melanggar HAM karena dicabutnya hak hidup
seseorang yang sebetulnya hak itu sangat dihargai dan tiada seorangpun yang
boleh mencabutnya. Oleh karena itu hukuman mati harus dihapuskan dalam
perundang-undangan yang ada.

Pihak-pihak yang kurang menyetujui penerapan hukuman mati, kemudian


merekomendasikan apa yang disebut sebagai conditional capital punisment

12
menjadi alternatif apabila negara masih memberlakukan hukuman mati. Karena
itu hukuman mati bisa dilakukan dengan syarat-syarat tertentu. Sehingga
hukuman mati diterapkan sebagai upaya terakhir untuk mengayomi masyarakat.
Di samping itu rekomendasi juga diarahkan agar pemerintah bersikap tegas.
Proses hukum yang lamban dan cenderung berlarur-larut membuat timbulnya rasa
kasihan dan iba dikalangan masyarakat terhadap mereka yang di pidana mati.
Walaupun di satu sisi terdapat anggapan bahwa proses hukum yang lama tersebut
adalah upaya memberi kesempatan bagi terpidana mati, namun kondisi ini tanpa
disadari justru mempunyai sisi ketidak pastian hukum bagi terpidana mati.

Meski hukuman mati masih melekat pada beberapa produk hukum nasional,
agaknya harus diyakini jika penerapan hukuman mati adalah jelas-jelas melanggar
Konstitusi RI UUD 1945 sebagai produk hukum positif tertinggi di negeri ini.
Pasal 28A UUD ‘45 (Amandemen Kedua) telah menyatakan bahwa setiap orang
berhak untuk hidup serta berhak mempertahankan hidup dan kehidupannya.
Sementara itu pasal 28I ayat (1) UUD ‘45 (Amandemen Kedua) menyatakan
bahwa hak untuk hidup, hak untuk tidak disiksa, hak kemerdekaan pikiran dan
hati nurani, hak beragama, hak untuk tidak diperbudak, hak untuk diakui sebagai
pribadi di hadapan umum, dan hak untuk tidak dituntut atas dasar hukum yang
berlaku surut adalah hak asasi manusia yang tidak dapat dikurangi dalam keadaan
apapun.

13
BAB III

PENUTUP

3.1 Kesimpulan

Dari penjelasan dan pemaparan dalam bab pembahasan, maka dapat


disimpulkan bahwa HAM merupakan hak-hak kodrati yang diperoleh setiap
manusia berkat pemberian Tuhan semesta alam, sesungguhnnya tidak dapat
dipisahkan dari hakikatnnya oleh karena itu setiap manusia berhak mendapat
kehidupan yang layak, kebebesan, keselamatan dan kebahagiaan.

Perdebatan hukum terhadap absah tidaknya pidana mati berangkat dari perbedaan
pendapat mengenai hukum mati dalam pandangan HAM, yang pada satu sisi
masih mengakui pidana mati dan sisi lain mengakui hak hidup. Bagi pihak yang
menolak pidana mati, berpendapat bahwa pidana mati secara hukum adalah
inkonstitusional, karena bertentangan dengan konstitusi. Dalam tata urutan
peraturan perundangan di Indonesia, setiap peraturan yang berada di bawah tidak
boleh bertentangan dengan yang di atasnya. Undang-undang yang memuat pidana
mati bertentangan dengan konstitusi yang mengakui hak hidup. Karena konstitusi
dalam tata hukum Indonesia lebih tinggi dibanding dengan undang-undang, maka
pidana mati dalam undang-undang itu harus diamandemen. Pro kontra penerapan
Pidana Hukuman Mati di Indonesia secara garis besar mengerucut ke dalam dua
bagian besar yaitu;

14
(1) Bahwa hukuman mati tidak melanggar HAM karena pelaku telah melanggar
HAM korban dan HAM masyarakat. Parahnya tudingan mengenai hukuman mati
melangar HAM dinilai sebagai sebuah pernyataan sepihak yang tidak melihat
bagaimana HAM korban kejahatan itu dilanggar.

(2) Hukuman mati dinilai melanggar HAM karena dicabutnya hak hidup
seseorang yang sebetulnya hak itu sangat dihargai dan tiada seorangpun yang
boleh mencabutnya. Oleh karena itu hukuman mati harus dihapuskan dalam
perundang-undangan yang ada.

Pihak-pihak yang kurang menyetujui penerapan hukuman mati, kemudian


merekomendasikan apa yang disebut sebagai conditional capital punisment
menjadi alternatif apabila negara masih memberlakukan hukuman mati. Karena
itu hukuman mati bisa dilakukan dengan syarat-syarat tertentu. Sehingga
hukuman mati diterapkan sebagai upaya terakhir untuk mengayomi masyarakat.
Di samping itu rekomendasi juga diarahkan agar pemerintah bersikap tegas.
Proses hukum yang lamban dan cenderung berlarur-larut membuat timbulnya rasa
kasihan dan iba dikalangan masyarakat terhadap mereka yang di pidana mati.
Walaupun di satu sisi terdapat anggapan bahwa proses hukum yang lama tersebut
adalah upaya memberi kesempatan bagi terpidana mati, namun kondisi ini tanpa
disadari justru mempunyai sisi ketidak pastian hukum bagi terpidana mati.

Meski hukuman mati masih melekat pada beberapa produk hukum nasional,
agaknya harus diyakini jika penerapan hukuman mati adalah jelas-jelas melanggar
Konstitusi RI UUD 1945 sebagai produk hukum positif tertinggi di negeri ini.
Pasal 28A UUD ‘45 (Amandemen Kedua) telah menyatakan bahwa setiap orang
berhak untuk hidup serta berhak mempertahankan hidup dan kehidupannya.
Sementara itu pasal 28I ayat (1) UUD ‘45 (Amandemen Kedua) menyatakan
bahwa hak untuk hidup, hak untuk tidak disiksa, hak kemerdekaan pikiran dan
hati nurani, hak beragama, hak untuk tidak diperbudak, hak untuk diakui sebagai
pribadi di hadapan umum, dan hak untuk tidak dituntut atas dasar hukum yang
berlaku surut adalah hak asasi manusia yang tidak dapat dikurangi dalam keadaan
apapun.

15
DAFTAR PUSTAKA

Bachsan Mustofa, Sistem Hukum Indonesia,Remaja karya, Bandung; 1984

Azyumardi azra, Demokrasi HAM dan masyarakat madani, Tim ICCE UIN
Jakarta; 2003

Prof. Mr Dr L.J.van Apeldoorn, Pengantar Ilmu Hukum, Jakarta; PT. Pradinya


Paramita, 1999

http://witantra.wordpress.com/2008/05/30/ertikel-HAM

http://sofian.staff.ugm.ac.id/artikel-hukum pidana

http://www.indomedia.com/bpost/052005/24/opini/opini1.htm

16
17

Anda mungkin juga menyukai