Anda di halaman 1dari 14

TUGAS MATA KULIAH HUKUM PERKAWINAN DAN KELUARGA

“Larangan Perkawinan Menurut Prespektif UU No 1 Tahun 1974 Tentang


Perkawinan, KUH Perdata Dan Kompilasi Hukum Islam“

KELOMPOK 7 :

DESTY ARDIANTI 21902022021

YURIDIKA GALIH PRATAMA 21902022022

RIZQY AULIA FITRI 21902022023

AHMAD SHIDDIQ RIDHA 21902022024

YUNIAR AHMAD A.P.P. 21902022025

M. DHAFAN FIRMANSYAH 21902022027

NIZAR MAISYA RAHMAN 21902022028

SYUKRON ZAMZAMI 21902022029

MAGISTER KENOTARIATAN

UNIVERSITAS ISLAM MALANG

TAHUN 2019
DAFTAR ISI

DAFTAR ISI............................................................................................................ii

KATA PENGANTAR............................................................................................iii

BAB I PENDAHULUAN........................................................................................1

A. Latar Belakang....................................................................................................1

BAB II PEMBAHASAN.........................................................................................4

2.1 Larangan perkawinan menurut UU NO 1 Tahun 1974 Tentang


Perkawinan..........................................................................................................4

2.2 Larangan perkawinan menurut KUH Perdata..................................................6

2.3 Larangan perkawinan menurut Kompilasi Hukum Islam (KHI)...................7

BAB III PENUTUP...............................................................................................10

A. Kesimpulan........................................................................................................10

DAFTAR PUSTAKA............................................................................................11

ii
KATA PENGANTAR

            Segala puji syukur senantiasa kami panjatkan ke hadirat Tuhan Yang


Maha Esa, karena bekat dan rahmatnya kami kelompok  tiga bisa menyelesaikan
makalah ini yang berjudul “Larangan Perkawinan Menurut Prespektif UU No
1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan, KUH Perdata Dan Kompilasi Hukum
Islam”. Penyusunan Makalah ini bertujuan untuk memenuhi tugas Hukum
Perkawinan dan Keluarga.

Dalam penulisan Makalah ini, kami bekerjasama dengan teman-teman


sekelompok dan juga  bantuan dari berbagai sumber literatur lainnya sehingga
kami bisa mengembangkan judul ini menjadi sebuah makalah

Kami menyadari sepenuhnya dalam penulisan ini masih jauh dari


kesempurnaan untuk itu kritik dan saran yang bersifat membangun sangat kami
harapkan. Semoga Makalah ini dapat bermanfaatkan dalam mengembangkan ilmu
yang berkaitan dengan judul makalah tersebut, selanjutnya dan menjadi bahan
bacaan bagi setiap orang. Akhir kata kami ucapkan terimakasih

Malang, 14 Oktober 2019

iii
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Dalam bahasa Indonesia, perkawinan berasal dari kata “kawin” yang


menurut bahasa artinya membentuk keluarga dengan lawan jenis;
melakukan hubungan kelamin atau bersetubuh1. Perkawinan menurut Kitab
Undang-Undang Hukum Perdata adalah pertalian yang sah antara seorang
laki-laki dengan seorang perempuan untuk waktu yang lama. Dalam Pasal 1
Undang-Undang No 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan dinyatakan
perkawinan adalah ikatan lahir batin antara seorang pria dengan seorang
wanita sebagai seorang suami-istri dengan tujuan membentuk keluarga
(rumah-tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha
Esa.

Perkawinan menurut hukum islam adalah akad atau persetujuan antara


calon suami dan calon istri karena berlangsung melalui ijab dan qobul atau
serah terima. Apabila seorang laki-laki dan seorang perempuan sepakat
untuk membentuk suatu rumah tangga, hendaknya keduanya melakukan
akad nikah terlebih dahulu2. Perkawinan merupakan perikatan antara wali
perempuan dengan suami perempuan itu, bukan hanya perikatan antara
seorang pria dengan wanita saja seperti yang disebutkan dalam Pasal 1
Undang-Undang No 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan3 selanjutnya disebut
UUP.

Tujuan perkawinan menurut UUP menyatakan bahwa untuk


membentuk keluarga yang bahagia dan kekal berdasarkan ketuhanan yang
maha esa. Sebagaimana penjelasan pasal 1 UUP bahwa perkawinan
memiliki hubungan yang erat sekali dengan agama/kerohanian, sehingga

1
Dikbud. 1994. Kamus Besar Bahasa Indonesia. Jakarta. Balai Pustaka. hlm. 456.
2
MR. Martiman Prodjohamidjojo. 2011. Hukum Perkawinan Indonesia. Jakarta.
Indonesia Legal Center Publishing. hlm. 11.
3
Hilman Hadi Kesuma. 2007. Hukum Perkawinan Indonesia. Bandung. Mandar Maju.
hlm 11.

1
perkawinan bukan saja mempunyai unsur lahir/jasmana, tapi unsur
batin/rohani juga mempunyai peranan yang penting.

Tujuan perkawinan menurut hukum agama islam adalah untuk


menegakkan agama, memperoleh keturunan, mencegah maksiat dan
membina rumah tangga yang damai dan teratur 4. Selain itu juga untuk
memelihara keluarga dan memelihara serta meneruskan keturunan dalam
menjadikan hidupnya di dunia ini, juga mencegah perzinahan, agar tercipta
ketenangan dan ketentraman jiwa bagi yang bersangkutan, ketentraman
keluarga dan masyarakat5.

Perkawinan sangat penting bagi manusia karena perkawinan merupakan

benteng agar manusia tidak terjerumus pada jurang kehinaan dan kenistaan

dalam mengendalikan dan menyalurkan nafsu biologisnya. Menurut Imam

Ali Gazali, ada lima manfaat yang bisa diperoleh dari perkawinan yaitu

keturunan, pengendalian hawa nafsu syahwatnya, mempunyai teman hidup,

membina rumah tangga dan berjuang dalam menghadapi hidup.6

Dalam Pasal 1 Undang-Undang Perkawinan Nomor 1 Tahun 1974


tentang Perkawinan dikatakan bahwa:

“Perkawinan adalah ikatan lahir batin antara seorang pria dengan


wanita sebagai suami isteri dengan tujuan membentuk keluarga
(rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan
Yang Maha Esa.”

Secara yuridis dapat dilihat bahwa menurut Undang-Undang Perkawinan


barulah ada perkawinan apabila dilakukan antara seorang pria dan seorang
wanita, berarti perkawinan sama dengan perikatan (Verbindtenis)7. Didalam

4
Ibid. Hlm 23.
5
Mardani. 2011. Hukum Perkawinan Islam. Surabaya. Graha Ilmu. hlm. 11.
6
Bahder Johan Nasution dan Sri Warjiyari. 1997. Hukum Perdata Islam “Kompetensi
Peradilan Agama tentang Perkawinan, Waris, Wasiat, Hibah, Wakaf, dan Shodaqah. Bandung.
Mandar Maju.
7
Hilman Hadi Kesuma. Op.Cit. hlm. 123.

2
Bab ke IV Buku I KUHPerdata disebutkan bahwa undang-undang
memandang soal perkawinan hanya dalam hubungan perdata, jadi sah atau
tidaknya suatu perkawinan menurut hukum perdata. Perkawinan menurut
KUHPerdata adalah perbuatan hukum dari seorang laki-laki dan seorang
perempuan yang dilangsungkan menurut cara-cara sebagaimana ditentukan
dalam undang-undang dengan maksud untuk hidup bersama.

Menurut Hilman Hadikusumo, berdasarkan ketentuan Pasal 1 UUP,


dapat diuraikan bahwa sendi-sendi dan unsur-unsur utama dari perkawinan
adalah:

1. Perkawinan merupakan persekutuan hidup antara seorang pria dengan


seorang wanita. Artinya Undang-Undang Perkawinan menutup
kemungkinan dilangsungkannya perkawinan antara orang-orang yang
berjenis kelamin sama meskipun dalam Pasal 8 dari Undang-Undang
Perkawinan, yang mengatur mengenai larangan perkawinan, tidak
dicantumkan secara eksplisit tentang larangan perkawinan sesama jenis.

2. Perkawinan harus dilakukan berdasarkan peraturan perundangundangan


yang berlaku di Indonesia. Keabsahan perkawinan hanya terjadi jika
memenuhi syarat formil dan materil berserta prosedur dan tata cara yang
ditentukan oleh undang-undang dan peraturan pelaksanaannya.

3. Perkawinan mempunyai hubungan erat dengan agama. Agama merupakan


sendi utama kehidupan bernegara di Indonesia.8

8
Ibid. hlm.7.

3
BAB II

PEMBAHASAN

2.1 Larangan perkawinan menurut UU NO 1 Tahun 1974 Tentang


Perkawinan

Larangan perkawinan di dalam Undang-Undang Perkawinan termasuk


dalam syarat-yarat perkawinan. Pasal 8 Undang-Undang Perkawinan
menyebutkan bahwa perkawinan dilarang antara dua orang yang :

1. Berhubungan darah dalam garis keturunan lurus ke bawah ataupun ke


atas;

2. Berhubungan darah dalam garis keturunan menyamping yaitu antara


saudara, antara seorang dengan saudara orang tua dan antara seorang
dengan saudara neneknya;

3. Berhubungan semenda, yaitu mertua, anak tiri menantu dan ibu/bapak


tiri;

4. Berhubungan susuan, yaitu orang tua susuan, anak susuan, saudara


susuan dan bibi/paman susuan;

5. Berhubungan saudara dengan isteri atau sebagai bibi atau kemenakan


dari isteri, dalam hal seorang suami beristeri lebih dari seorang;

6. Mempunyai hubungan yang oleh agamanya atau peraturan lain yang


berlaku, dilarang kawin.

Pasal tersebut menjelaskan mengenai enam hal yang dilarang dalam


perkawinan diantaranya berhubungan darah dalam garis keturunan lurus
kebawah atau keatas, berhubungan darah dalam garis keturunan
menyamping, berhubungan semenda, berhubungan susuan, berhubungan
saudara dengan isteri atau sebagai bibi atau kemenakan dari isteri, dan
mempunyai hubungan yang oleh agamanya atau peraturan lain yang berlaku
dilarang kawin.

4
Selain larangan diatas, terdapat larangan-larangan lain yang diatur
dalam Undang-Undang Perkawinan, yaitu :

a. Larangan kawin terhadap seseorang yang masih terikat tali perkawinan


dengan orang lain (pasal 9)

Larangan ini bersifat sepihak artinya larangan berlaku secara


mutlak kepada pihak perempuan saja yaitu seorang perempuan yang
masih terikat dalam perkawinan. Larangan Pasal 9 tidak mutlak berlaku
kepada seorang laki-laki yang sedang terikat dengan perkawinan atau
seoramg laki-laki yang beristeri tidak mutlak dilarang untuk melakukan
perkawinan dengan isteri kedua.
b. Larangan kawin terhadap pasangan suami isteri yang telah bercerai
sebanyak dua kali (Pasal 10)

Menurut Pasal 10 diatur larangan kawin bagi suami isteri yang


telah bercerai sebanyak 2 (dua) kali. Perkawinan yang mempunyai
maksud agar suami isteri dapat membentuk keluarga yang kekal maka
suatu tindakan yang mengakibatkan putusnya suatu perkawinan harus
benar-benar dipertimbangkan. Pasal 10 bermaksud untuk mencegah
tindakan kawin cerai berulang kali, sehingga suami maupun isteri saling
menghargai satu sama lain.
c. Larangan kawin terhadap seseorang wanita yang masih dalam waktu
tunggu (Pasal 11)

Larangan dalam Pasal 11 bersifat sementara yang dapat hilang


dengan sendirinya apabila masa tunggu telah lewat waktunya sesuai
dengan ketentuan masa lamanya waktu tunggu. Masa tunggu terjadi
karena perkawinan perempuan telah putus karena:
a. Suaminya meninggal dunia.
b. Perkawinan putus karena perceraian.
c. Isteri kehilangan suaminya.
Sedangkan masa tunggu itu sendiri diatur di dalam Peraturan
Pemerintah No. 9 Tahun 1975 tentang Pelaksanaan Undang- Undang
No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan:

5
Pasal 39
(1) Waktu tunggu bagi seorang janda sebagai dimaksud dalam Pasal 11
ayat (2) Undang-undang ditentukan sebagai berikut:
a. Apabila perkawinan putus karena kematian, waktu tunggu
ditetapkan 130 (seratus tiga puluh) hari;
b. Apabila perkawinan putus karena perceraian, waktu tunggu
bagi yang masih berdatang bulan ditetapkan 3 (tiga) kali suci
dengan sekurang-kurangnya 90 (sembilan puluh) hari dan bagi
yang tidak berdatang bulan ditetapkan 90 (sembilan puluh) hari;
c. Apabila perkawinan putus sedang janda tersebut dalam keadaan
hamil, waktu tunggu ditetapkan sampai melahirkan.
(2) Tidak ada waktu tunggu bagi janda yang putus perkawinan karena
perceraian sedang antara janda tersebut dengan bekas suaminya
belum pernah terjadi hubungan kelamin.
(3) Bagi perkawinan yang putus karena perceraian, tenggang waktu
tunggu dihitung sejak jatuhnya putusan Pengadilan yang
mempunyai kekuatan hukum yang tetap, sedangkan bagi
perkawinan yang putus karena kematian, tenggang waktu tunggu
dihitung sejak kematian suami

2.2 Larangan perkawinan menurut KUH Perdata

Perkawinan dilarang antara mereka yang satu sama lainnya


mempunyai hubungan darah dalam garis ke atas maupun garis ke bawah,
baik karena kelahiran yang sah maupun karena kelahiran yang tidak sah,
atau karena perkawinan; dalam garis ke samping, antara kakak beradik laki
perempuan, sah atau tidak sah.

Pasal 30

Perkawinan dilarang antara mereka yang satu sama lainnya mempunyai


hubungan darah dalam garis ke atas maupun garis ke bawah, baik karena
kelahiran yang sah maupun karena kelahiran yang tidak sah, atau karena
perkawinan; dalam garis ke samping, antara kakak beradik laki perempuan,
sah atau tidak sah.

6
Pasal 31

Juga dilarang perkawinan:

1. antara ipar laki-laki dan ipar perempuan, sah atau tidak sah, kecuali bila
suami atau istri yang menyebabkan terjadinya periparan itu telah
meninggal atau bila atas dasar ketidakhadiran si suami atau si istri telah
diberikan izin oleh Hakim kepada suami atau istri yang tinggal untuk
melakukan perkawinan lain;

2. antara paman dan atau paman orang tua dengan kemenakan perempuan
kemenakan, demikian pula antara bibi atau bibi orang tua dengan
kemenakan laki-laki kemenakan, yang sah atau tidak sah. Jika ada
alasan-alasan penting, Presiden dengan memberikan dispensasi, berkuasa
menghapuskan larangan yang tercantum dalam pasal ini.

Pasal 32

Seseorang yang dengan keputusan pengadilan telah dinyatakan melakukan


zina, sekali-kali tidak diperkenankan kawin dengan pasangan zinanya itu.

Pasal 33

Antara orang-orang yang perkawinannya telah dibubarkan sesuai dengan


ketentuan Pasal 199 nomor 3e atau 4e, tidak diperbolehkan untuk kedua
kalinya dilaksanakan perkawinan kecuali setelah lampau satu tahun sejak
pembubaran perkawinan mereka yang didaftarkan dalam daftar Catatan
Sipil. Perkawinan lebih lanjut antara orang-orang yang sama dilarang.

2.3 Larangan perkawinan menurut Kompilasi Hukum Islam (KHI)

Pasal 18 Kompilasi Hukum Islam telah mengatur bahwa untuk


melangsungkan perkawinan, diantara pasangan suami isteri tidak boleh ada
halangan perkawinan. Hal ini berarti sebuah perkawinan tidak dapat

7
berlangsung jika terdapat larangan-larangan tertentu seperti yang telah
diatur dalam Kompilas Hukum Islam sebagai berikut :

a. Dilarang melangsungkan perkawinan antara seorang pria dengan seorang


wanita disebabkan (Pasal 39) :

1) Karena Pertalian Nasab

a) Dengan seorang wanita yanng melahirkan atau menurunkannya


atau keturunannya

b) Dengan seorang wanita keturunan ayah atau ibu

c) Dengan seorang wanita saudara yang melahirkan

2) Karena Pertalian Kerabat Semenda:

a) Dengan seorang wanita yang melahirkan isterinya atau bekas


isterinya

b) Dengan seorang wanita bekas istri yang menurunkanya

c) Dengan seorang wanita keturunan isteri atau bekas isterinya,


kecuali putusnya hubungan perkawinan dengan bekas isterinya itu
qabla ad dukhul

d) Dengan seorang wanita bekas isteri keturunannya

3) Karena Pertalian Sesusuan:

a) Dengan wanita yang menyusuinya dan seterusnya menurut garis


lurus ke atas

b) Dengan seorang waita sesusuan dan seterusnya menurut garis


lurus kebawah

c) Dengan seorang wanita saudara sesusuan dan kemenakan


sesusuan ke bawah

d) Dengan seorang wanita bibi sesusuan dan nenek bibi sesusuan ke


atas

e) Dengan anak yang disusui oleh istrinya dan keturunannya

8
Jadi, dilarangnya melangsungkan perkawinan antara seorang pria
dengan seorang wanita karena adanya 3 (tiga) sebab yaitu, karena adanya
pertalian nasab, karena adanya pertalian kerabat semenda, dan karena
adanya pertalian sesusuan.

b. Dilarang melangsungkan perkawinan antara seorang pria dengan seorang


wanita karena keadaan tertentu (Pasal 40) :

1) Karena wanita yang bersangkutan masih terkait satu perkawinan


dengan pria lain;

2) Seorang wanita yang masih berada dalam masa iddah dengan pria
lain;

3) Seorang wanita yang tidak beragama Islam.

c. Seorang pria dilarang memadu isterinya dengan seorang wanita yang


mempunyai hubungan pertalian nasab atau sesusuan dengan isterinya
(Pasal 41)

1) Saudara kandung, seayah atau seibu atau kemenakannya

2) Wanita dengan bibinya atau kemenakannya

d. Seorang pria dilarang melangsungkan perkawinan dengan seorang wanita


apabila pria tersebut sedang mempunyai 4 (empat) orang isteri yang
keempat-empatnya masih terkait tali perkawinan atau mash dalam masa
iddah talaq raj’i ataupun salah seorang diantara mereka masih terikat tali
perkawinan sedang yang lainnya dalam masa iddah talaq raj’i (Pasal 42).

e. Dilarang melangsungkan perkawinan antara seorang pria dengan seorang


wanita bekas isterinya yang ditalaq tiga kali, atau dengan seorang wanita
bekas isterinya yang dili’an. Larangan tersebut gugur jika bekas isteri
tersebut telah kawin dengan pria lain, kemudian perkawinan tersebut
putus ba’da dukhul dan telah habis masa iddahnya (Pasal 43).

f. Seorang wanita islam dilarang melangsungkan perkawinan dengan


seorang pria yang tidak beragama islam (Pasal 44).

9
BAB III

PENUTUP

A. Kesimpulan

Persamaan larangan perkawinan menurut KHUPerdata, UU


Perkawinan dan KHI adalah tidak boleh melakukan pernikahan dengan
hubungan sedarah. Karena dapat menyebabkan hal-hal yang tidak
diinginkan, secara medis dapat menyebabkan timbulnya penyakit dan
kecacatan.

10
DAFTAR PUSTAKA

BUKU

Dikbud. 1994. Kamus Besar Bahasa Indonesia. Jakarta. Balai Pustaka

Kesuma, Hilman Hadi. 2007. Hukum Perkawinan Indonesia. Bandung. Mandar


Maju

Mardani. 2011. Hukum Perkawinan Islam. Surabaya. Graha Ilmu.

Nasution, Bahder Johan dan Sri Warjiyari. 1997. Hukum Perdata Islam
“Kompetensi Peradilan Agama tentang Perkawinan, Waris, Wasiat,
Hibah, Wakaf, dan Shodaqah. Bandung. Mandar Maju.

Prodjohamidjojo, MR. Martiman. 2011. Hukum Perkawinan Indonesia. Jakarta.


Indonesia Legal Center Publishing

PER UNDANG-UNDANGAN

Kitab Undang-Undang Hukum Perdata

Kompilasi Hukum Islam

Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan

11

Anda mungkin juga menyukai