KELOMPOK 7 :
MAGISTER KENOTARIATAN
TAHUN 2019
DAFTAR ISI
DAFTAR ISI............................................................................................................ii
KATA PENGANTAR............................................................................................iii
BAB I PENDAHULUAN........................................................................................1
A. Latar Belakang....................................................................................................1
BAB II PEMBAHASAN.........................................................................................4
A. Kesimpulan........................................................................................................10
DAFTAR PUSTAKA............................................................................................11
ii
KATA PENGANTAR
iii
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
1
Dikbud. 1994. Kamus Besar Bahasa Indonesia. Jakarta. Balai Pustaka. hlm. 456.
2
MR. Martiman Prodjohamidjojo. 2011. Hukum Perkawinan Indonesia. Jakarta.
Indonesia Legal Center Publishing. hlm. 11.
3
Hilman Hadi Kesuma. 2007. Hukum Perkawinan Indonesia. Bandung. Mandar Maju.
hlm 11.
1
perkawinan bukan saja mempunyai unsur lahir/jasmana, tapi unsur
batin/rohani juga mempunyai peranan yang penting.
benteng agar manusia tidak terjerumus pada jurang kehinaan dan kenistaan
Ali Gazali, ada lima manfaat yang bisa diperoleh dari perkawinan yaitu
4
Ibid. Hlm 23.
5
Mardani. 2011. Hukum Perkawinan Islam. Surabaya. Graha Ilmu. hlm. 11.
6
Bahder Johan Nasution dan Sri Warjiyari. 1997. Hukum Perdata Islam “Kompetensi
Peradilan Agama tentang Perkawinan, Waris, Wasiat, Hibah, Wakaf, dan Shodaqah. Bandung.
Mandar Maju.
7
Hilman Hadi Kesuma. Op.Cit. hlm. 123.
2
Bab ke IV Buku I KUHPerdata disebutkan bahwa undang-undang
memandang soal perkawinan hanya dalam hubungan perdata, jadi sah atau
tidaknya suatu perkawinan menurut hukum perdata. Perkawinan menurut
KUHPerdata adalah perbuatan hukum dari seorang laki-laki dan seorang
perempuan yang dilangsungkan menurut cara-cara sebagaimana ditentukan
dalam undang-undang dengan maksud untuk hidup bersama.
8
Ibid. hlm.7.
3
BAB II
PEMBAHASAN
4
Selain larangan diatas, terdapat larangan-larangan lain yang diatur
dalam Undang-Undang Perkawinan, yaitu :
5
Pasal 39
(1) Waktu tunggu bagi seorang janda sebagai dimaksud dalam Pasal 11
ayat (2) Undang-undang ditentukan sebagai berikut:
a. Apabila perkawinan putus karena kematian, waktu tunggu
ditetapkan 130 (seratus tiga puluh) hari;
b. Apabila perkawinan putus karena perceraian, waktu tunggu
bagi yang masih berdatang bulan ditetapkan 3 (tiga) kali suci
dengan sekurang-kurangnya 90 (sembilan puluh) hari dan bagi
yang tidak berdatang bulan ditetapkan 90 (sembilan puluh) hari;
c. Apabila perkawinan putus sedang janda tersebut dalam keadaan
hamil, waktu tunggu ditetapkan sampai melahirkan.
(2) Tidak ada waktu tunggu bagi janda yang putus perkawinan karena
perceraian sedang antara janda tersebut dengan bekas suaminya
belum pernah terjadi hubungan kelamin.
(3) Bagi perkawinan yang putus karena perceraian, tenggang waktu
tunggu dihitung sejak jatuhnya putusan Pengadilan yang
mempunyai kekuatan hukum yang tetap, sedangkan bagi
perkawinan yang putus karena kematian, tenggang waktu tunggu
dihitung sejak kematian suami
Pasal 30
6
Pasal 31
1. antara ipar laki-laki dan ipar perempuan, sah atau tidak sah, kecuali bila
suami atau istri yang menyebabkan terjadinya periparan itu telah
meninggal atau bila atas dasar ketidakhadiran si suami atau si istri telah
diberikan izin oleh Hakim kepada suami atau istri yang tinggal untuk
melakukan perkawinan lain;
2. antara paman dan atau paman orang tua dengan kemenakan perempuan
kemenakan, demikian pula antara bibi atau bibi orang tua dengan
kemenakan laki-laki kemenakan, yang sah atau tidak sah. Jika ada
alasan-alasan penting, Presiden dengan memberikan dispensasi, berkuasa
menghapuskan larangan yang tercantum dalam pasal ini.
Pasal 32
Pasal 33
7
berlangsung jika terdapat larangan-larangan tertentu seperti yang telah
diatur dalam Kompilas Hukum Islam sebagai berikut :
8
Jadi, dilarangnya melangsungkan perkawinan antara seorang pria
dengan seorang wanita karena adanya 3 (tiga) sebab yaitu, karena adanya
pertalian nasab, karena adanya pertalian kerabat semenda, dan karena
adanya pertalian sesusuan.
2) Seorang wanita yang masih berada dalam masa iddah dengan pria
lain;
9
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
10
DAFTAR PUSTAKA
BUKU
Nasution, Bahder Johan dan Sri Warjiyari. 1997. Hukum Perdata Islam
“Kompetensi Peradilan Agama tentang Perkawinan, Waris, Wasiat,
Hibah, Wakaf, dan Shodaqah. Bandung. Mandar Maju.
PER UNDANG-UNDANGAN
11