Anda di halaman 1dari 9

MAKALAH

PENGANTAR STUDI PEMIKIRAN ISLAM

Dosen Pembimbing : Ibnu Hasnul, MA

Oleh Kelompok 10 :

1. Khoirunnisa (1916040001)

2. Affika Duri (1916040007)

3. Adiva Hayati (1916040036)

AKUNTANSI SYARIAH A

FAKULTAS EKONOMI DAN BISNIS ISLAM

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI IMAM BONJOL

PADANG
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Tasawuf merupakan salah satu bidang studi Islam yang memusatkan perhatian pada
pembersihan aspek rohani manusia yang selanjutnya dapatmenimbulkan akhlak mulia.
Pembersihan aspek rohani atau batin ini selanjutnyadikenal sebagai dimensi esoterik dari diri
manusia. Hal ini berbeda dengan aspek Fiqih, khususnya bab thaharah yang memusatkan perhatian
pada pembersihanaspek jasmaniah atau lahiriah yang selanjutnya disebut sebagai dimensi
eksoterik.Islam sebagai agama yang bersifat universal dan menaku berbagai jawaban atas berbagai
kebutuhan manusia, selain menghendaki kebersihan lahiriah jugamenghendaki kebersihan batiniah,
lantaran penilaian yang sesungguhnya dalamIslam diberikan pada aspek batinnya. Hal ini misalnya
terlihat pada salah satusyarat diterimanya amal ibadah, yaitu harus disertai niat.
melalui studi tasawuf ini seseorang dapat mengetahui tentang cara-cara melakukan
pembersihan diri serta mengamalkannya dengan benar. Dari pengetahuan ini diharapkan ia
akan tampil sebagai orang yang pandai mengendalikan dirinya pada saat berinteraksi dengan
orang lain, atau pada saatmelakukan berbagai aktivitas dunia yang menuntut kejujuran,
keikhlasan, tanggung jawab, kepercayaan dan sebagainya. Dari suasana yang demikian itu,
tasawuf diharapkan dapat mengatasi berbagai penyimpangan moral yang mengambil bentuk
seperti manipulasi, korupsi, kolusi, penyalahgunaan kekuasaan dan kesempatan, penindasan.

B. Rumusan Masalah
1. Apa itu essensi Tasawuf?
2. Apa maksud dari pencerahan jiwa?
3. Apa makna al-akhwal dan tujuannya?
C. Tujuan
1. Menjelaskan apa itu Tasawuf
2. Menjelaskan maksud dari pencerahan
I jiwa
3. Menjelaskan makna Al-Akhwal dan tujuannya
BAB II

PEMBAHASAN

A. Essensi Tasawuf
Istilah tasawuf secara harfiyah diambil dari beberapa akar kata berikut: al-shuffah,
shufi, shaff, shuf, dan sophos.Shuffah berasal dari istilah ahl al-shuffah (penghuni ‘emper‘
masjid Nabawi),kata shufi berarti sekelompok orang yang disucikan), kata shaff berarti
barisan dalam shalat berjamaah, kata shuf berarti kain terbuat dari bulu yang biasa dipakai
para sufi, sementara kata sophos berasal dari istilah Yunani berarti bijaksana. Jika
dicermati, kelima istilah yang sering digunakan untuk dijadikan akar kata tasawuf itu,
maka ternyata semua mengandung arti kehidupan jiwa dan mental seseorang. Istilah ahl al-
shuffah secara sekilas seolah menjelaskan hal yang bersifat materi, padahal kata tersebut
menekankan pada makna kejiwaan. Para ahli shuffah masjid nabawi bukanlah sekelompok
sahabat Nabi yang berusaha mencari penderitaan hidup, melainkan sekelompok sahabat
yang berusaha menyucikan jiwanya untuk selalu siap mendapat siraman ruhani dari Nabi.
Demikian pula, ke empat istilah lainnya juga mengandung arti kondisi kejiwaan atau
mental seseorang. Shaff berarti barisan dalam salat berjama‘ah. Para sufi mencontoh para
sahabat yang senantiasa berrebut untuk menempati barisan shaff pertama, dengan harapan
hatinya dekat dengan Nabi, jiwanya suci seperti Nabi. Shuf berarti bulu juga
melambangkan hidup sederhana. Para sufi berusaha senantiasa hidup sederhana dalam
materi, dan berjuang keras dalam mencapai kesempurnaan ruhani1

Demikian pula, kata sophos yang berarti bijaksana melambangkan bahwa para
sufi selalu bersikap bijaksana terhadap siapapun. Sikap bijaksana merupakan sikap jiwa
yang adil dan seimbang, jauh dari jiwa lalim. Seiring dengan penafsiran dari berbagai
istilah di atas, Muhammad Aqil coba menghimpun beberapa rumusan hakekat tasawuf
sebagai berikut: (a) tasawuf merupakan kehidupan spiritual (hayat ruhiyat), (b) tasawuf
adalah kajian tentang hakekat, (c) tasawuf adalah bentuk dari ihsan, aspek ketiga setelah
Iman dan Islam, dan (d) tasawuf
1 merupakan jiwa Islam (ruh Islam). 2 Keempat rumusan

1
Harun Nasution, Filsafat dan Mistisisme Dalam Islam (Jakarta: Bulan Bintang, 1995), hal. 57
2
Muhammad Aqil bin Ali al-Mahdaliy, Madhal Ila al-Tasawuf alIslâmiy (Kairo: Dar al-Hadits, 1993), hal. 52
tasawuf itu secara keseluruhan menekankan pada aspek kejiwaan, spiritual, dan
kehidupan mental. Kesimpulan ini diambil berpijak pada makna-makna yang terkandung
dalam keempat rumusan tasawuf tadi. Kata spiritual, hakekat, ihsan, dan jiwa Islam
semua mengacu pada bahasan mengenai aspek esoterik Islam, bahkan berkaitan dengan
itu,3 al-Hujwiri mengatakan, tasawuf sangat berkaitan erat dengan usaha penyucian jiwa
manusia. Beberapa penjelasan tentang istilah dan pengertian tasawuf tersebut akan
semakin jelas bila dilihat dari sisi tujuan dan intisari ajaran tasawuf.

Menurut Harun Nasution4, tasawuf bertujuan untuk memperoleh hubungan


langsung dan disadari dengan Tuhan, sehingga disadari benar bahwa seseorang berada di
hadirat Tuhan. Sedangan intisari ajaran tasawuf adalah kesadaran akan adanya
komunikasi dan dialog antara ruh manusia dengan Tuhan. Kesadaran akan kedekatan
dengan Tuhan, kemampuan berkomunikasi, bahkan berdialog dengan Tuhan tidak
mungkin dilakukan oleh manusia, kecuali mereka yang mampu membersihkan dan
menyucikan jiwanya dari segala kotoran dan kejahatan. Kebersihan dan kesucian jiwa ini
tentu tidak dilihat dari sisi fisik, melainkan sisi jiwa, mental, dan spiritual. Oleh karena
itu, bila tasawuf diposisikan sebagai disiplin ilmu, maka tasawuf diartikan suatu kajian
mengenai cara dan jalan yang dilakukan seorang muslim untuk senantiasa berdekat-dekat
dengan Tuhannya, karena syarat utama untuk berdekat-dekat dengan Tuhan adalah
kesucian jiwa, mental, dan spiritual, maka semua cara dan jalan yang ditempuh haruslah
mengacu pada inti ajaran tersebut. Tasawuf sebagai ilmu tidaklah sama dengan ilmu
pengetahuan lain. Untuk itu secara gamblang Ibnu Khaldun5 menjelaskan, bahwa
perbedaan antara ilmu tasawuf dengan ilmu pengetahuan tentang Tuhan terletak pada
alat atau instrumen yang digunakan. Ilmu pengetahuan menggunakan data empirik, ilmu
tasawuf menggunakan data spiritual personal. Ilmu pengetahuan berangkat dari
keraguan, ilmu tasawuf berangkat dari keyakinan. Ilmu pengetahuan berpijak pada akal
rasional, ilmu tasawuf berpijak pada hati (al-qalb) atau rasa. Selanjut ilmu pengetahuan
tentang Tuhan bertujuan untuk mengetahui dan mengenal Tuhan, sedangkan ilmu
tasawuf bertujuan untuk tidak sekedar mengetahui dan mengenal Tuhan semata, tapi juga
untuk merasa dan menikmati bertaqorrub dengan Tuhan . Dari uraian tersebut, dapat
disimpulkan bahwa, tasawuf di samping sebagai ilmu untuk mendekatkan diri dengan
2

3
Oal-Hujwiri, Mahjûb (Bandung: Mizan, 1993), hal. 46
4
Harun Nasution, op. cit., hal. 58
5
Ibnu Khaldun, The Muqaddimah, An Introduction to History (London: Routledge & Kegan Paul, Ltd., 1967),
hal.. 358.
sedekatdekatnya terhadap Allah, dan juga merupakan ajaran tentang usaha penyucian
jiwa, mental, dan spiritual, sebagai syarat utama berdekat diri dengan Tuhan. Hal ini
senada dengan pendapat Martin Ling6,bahwa Kasyful tasawuf senantiasa berurusan
dengan usaha penyembuhan kalbu dan penyucian serta pemurnian jiwa dari segala
sesuatu yang dapat menghalangi seseorang bertaqorrub dengan Tuhan.

B. Pencerahan Jiwa
Sebagai ilmu tasawuf, merupakan media yang dapat mengantar manusia
mengenal penciptanya secara cepat, tepat dan dapat berhubungan dengan terus menerus.
Untuk mencapai tujuan tersebut maka mereka mengunakan instrument rasa (dzouq).
Disamping itu, juga ada pendapat yang mengatakan bahwa tasawuf adalah ilmu yang
berkaitan erat dengan taqwa, memelihara diri dari kesalahan, memakai pakaian wool
kasar. Pendapat yang ekstrim lagi adalah menempatkan tasawuf sebagai sumber
kesesatan dan zindik. 
Pengembaraan sipritual seseorang mencari Tuhan (salik) tidak mungkin
dilaksanakan, kecuali setelah melewati proses penyucian hati. Untuk mendapatkan
kebersihan hati maka langkah utama adalah menjalani proses:
Pertama, Takhalli, yaitu penyuciaan hati dari sifat-sifat tercela, baik tercela
dalam pengertian akhlak zahir demikian juga halnya pembersihan hati dari akhlak batin,
misalnya taubat, zuhud, dan wara’.
Kedua, Tahalli, yang memenuhi hati dengan sifat terpuji seperti shabar, tawakul,
faqir, taqwa, dan ridha.
Ketiga, Tajjali, yaitu adanya bukti konkrit hubungan manusia dengan Tuhan bisa
dalam bentuk ma’rifah, mahabbah, uns, wajd dan lainnya. Menurut Al-Kalabazi ada
sepuluh maqam, yaitu taubat, zuhud, sabar, faqir, tawadhu’, taqwa, tawakkul, ridha,
mahabbah dan makrifah. Al-Thusi mengajukan tujuh maqam, yaitu taubat, sabar, faqir,
zuhud, tawakkul, cinta, ma’rifah, ridha. Al-Ghazali menyebut delapan maqam, yaitu
taubat, shabar, faqir, zuhud, tawakul, mahabbah, ma’rifah dan ridha.

Pada diri manusia terdapat dua hal yang sangat pokok, yaitu jasmani dan rohani,
keduanya memiliki kebutuhan masing-masing. Jasmani memerlukan makan, minum,
berpakaian, pelampiasan syahwat,
3 tempat tinggal dan lain-lain. Sedangkan unsur rohani
yang ada pada diri manusia memerlukan ketenangan hati, kedamaian, kesejahteraan akan
tetapi kebahagian yang hakiki menurut para kalangan sufi kesucian hati dengan melalui
6
Martin Lings, What is Sufism? Membedah Tasawuf (Jakarta: Pedoman Ilmu Jaya, 1987), hal. 100
kedekatannya kepada tuhan.

Para sufi menegaskan hal yang terpenting yang menjadi ujung tombak dari segala
kehidupan terletak pada rohaninya. Karena kebahagiaan jasmani  tergantung pada
kebahagiaan rohaninya. Rohani manusia dapat terpenuhi jika selalu dapat mendekatkan
diri kepada tuhan dengan sedekat-dekat mungkin sehingga dapat memperoleh hubungan
khusus, seakan-seakan diri manusia selalu berada di kehadhiratnya. Dan tasawwuf tidak
lain mempunyai tujuan.
a. pola hidup sederhana dengan cara zuhud
b. memperoleh kedekatan dengan tuhan dengan cara melakukan semua amalan-amalan,
para sufi mengemukakan ibadah Wajib  saja tidak cukup untuk menambah kedekatan
terhadap tuhan harus ditambah dengan amalan-amalan sunnah.       
c. mensucikan hati dari hal keburukan.
d. menjauhi larangan Allah dan melaksanakan perintahnya serta menjauhi perilaku yang
hina yang tidak sesuai dengan Tatanan sosial.

C. Makna Akhwal Dan Tujuan


Al-Akhwal ahwal menurut bahasa adalah keadaan, sedangkan menurut istilah
yaitu keadaan jiwa dalam proses pendekatan diri kepada allah swt, dimana keadaan
tersebut masih temporer belum menetap dalam jiwa.Kondisi ini menuntut tindakan
untuk menyikapinya.
Adapun tujuan dari Akhwal adalah sebagai berikut:
a. Muhasabah dan Muraqabah
Muhasabah mempunyai arti ‘waspada’ juga dapat diartikan meyakini bahwa
Allah mengetahui segala pemikiran, perbuatan dan rahasia di dalam hati yang
membuat seseorang menjadi hormat, takut dan tunduk kepada Allah. Sedangkan
Muraqabah mempunyai arti ‘mawas diri’ juga dapat diartikan meneliti dengan
cermat apakah perbuatan sehari-hari telah sesuai atau telah menyimpang dari yang
dikehendaki Allah7
b. Mahabbah
Mahabbah mempunyai arti ‘cinta’. dalam pandangan Tasawuf, Mahabbah
4
merupakan pijakan bagi segenap kemuliaan Akhwal, sama seperti taubat yang
merupakan pijakan utama dalam muqamat. Mahabbah adalah kecenderungan hati

7
Rosihan Anwar dan Mukhtar Solihin, Ilmu Tasawuf, hlm. 74.
untuk memperhatikan keindahan.
c. Raja’ dan Khauf 
Raja’ dan khauf adalah dua hal yang saling berpengaruh. Raja’ sendiri
mempunyai arti berharap atau optimisme, yaitu perasaan senang hati karena
menanti sesuatu yangdiinginkan dan disenangi.
Demikian Allah berfirman:
َ ِ ‫يل اللَّهِ أُولَٰئ‬
‫ك‬ ِ ِ‫س ب‬ َ ‫جاهَ دُوا فِي‬ َ َ‫ج ُروا و‬ َ ِ ‫منُوا وَالَّذ‬
َ ‫ين هَا‬ َ ِ ‫ن الَّذ‬
َ ‫ين آ‬ َّ ِ ‫إ‬
‫م‬
ٌ ‫حي‬ ٌ ‫ه غَف‬
ِ ‫ُور َر‬ ُ َّ ‫ت اللَّهِ ۚ وَالل‬
َ ‫م‬
َ ‫ح‬
ْ ‫ن َر‬
َ ‫جو‬ ُ ‫ي َ ْر‬
Sesungguhnya orang-orang yang beriman, orang-orang yang berhijrah dan
berjihad dijalan Allah, mereka itu mengharapkan rahmat Allah, dan Allah
Maha Pengampun lagi Maha Penyayang. (QS. Al-Baqarah : 218)
Orang yang harapan dan penantiannya mendorongnya untuk berbuat ketaatan
dan mencegahnya dari kemaksiatan, berarti harapan tersebut adalah harapan yang
benar. Begitupun sebaliknya apabila berharap pada kemaksiatan berarti harapan
tersebut hanya angan-angan. Adapun syarat raja’ disini terdapat tiga perkara, yaitu
cinta kepada apa yang diharapkannya, takut bila harapannya hilang dan berusaha
untuk mencapai apa yangdiharapkan. Apabila raja’ tidak dibarengi dengan tiga
perkara itu berati harapannya hanyalah ilusi atau hayalan. Orang yang mengharap
ridha atau ampunan Tuhan, diiringi pula dengan rasa takut akan siksaan Tuhan.
Khauf adalah kesakitan hati karena membayangkan sesuatu yang ditakuti,
yang akan menimpa diri di masa yang akan datang. Khauf dapat mencegah
seseorang yang berbuat maksiat dan mendorongnya untuk senantiasa berada
dalam ketaatan. Apabila seseorang kekurangan keadaan khauf dalam jiwanya
menyebabkan seseorang lalai dan berani berbuat maksiat, sedangkan khauf yang
berlebihan akan menjadikannya putus asa dan pesimis. Begitupun pada keadaan
raja’ terlalu besar, hal itu akan membuat seseorang menjadi sombong dan
meremehkan amalan-amalan karena optimisnya yang berlebihan.8
d. Syauq

Syauq mempunyai arti rindu. Rindu adalah gairah hati yang berharap untuk
5
berjumpa. Rindu sendiri mempunyai tahapan-tahapannya. Menurut Abu Ali ad-
Daqaq yang dikutip oleh Imam Qusyairiy dimana ia membedakan antara rindu

8
Ibid., hlm. 75-76
dan hasrat yang bergelora. Karena rindu itu akan ditentramkan oleh perjumpaan
sedangkan hasrat yang bergelora itu tidak akan sirna dengan pertemuan. Dalam
hal ini para ahli tasawuf mengaitkan jiwanya dengan rasa rindu yang bergelora
untuk segera bertemu dengan Tuhan.9

9
Abu Qasim Al-Qusyairy An-Naisabury, Risalah Qusyairiyah, hlm. 413-418
DAFTAR PUSTAKA

Harun Nasution, Filsafat dan Mistisisme Dalam Islam (Jakarta: Bulan Bintang, 1995), hal. 57
Muhammad Aqil bin Ali al-Mahdaliy, Madhal Ila al-Tasawuf alIslâmiy (Kairo: Dar al-
Hadits, 1993), hal. 52
Oal-Hujwiri, Mahjûb (Bandung: Mizan, 1993), hal. 46
Harun Nasution, op. cit., hal. 58
Ibnu Khaldun, The Muqaddimah, An Introduction to History (London: Routledge & Kegan
Paul, Ltd., 1967), hal.. 358.
Martin Lings, What is Sufism? Membedah Tasawuf (Jakarta: Pedoman Ilmu Jaya, 1987), hal.
100
Rosihan Anwar dan Mukhtar Solihin, Ilmu Tasawuf, hlm. 74.
Ibid., hlm. 75-78
Abu Qasim Al-Qusyairy An-Naisabury, Risalah Qusyairiyah, hlm. 413-418

Anda mungkin juga menyukai