Anda di halaman 1dari 25

Kreatifitas Intelektual

Kreatifitas Saintifik:
Apakah semua lulusan Fakultas Filsafat dan profesor-profesor mereka telah menulis
dan menciptakan produk-produk filosofis? Apakah mereka telah menciptakan buku-
buku filsafat yang orisinil? Mari kita ambil, sebagai sampel, seorang filosof
profesional terkenal di Fakultas Filsafat Universitas Indonesia yang telah menulis
beberapa buku dan diterbitkan oleh penerbit-penerbit terkenal, yaitu Dr. Akhyar
Yusuf Lubis. Pak Akhyar telah menulis banyak buku, yakni:
 Pemikiran Kritis Kontemporer: Dari Teori Kritis, Culture Studies, Feminisme,
Postkolonial Hingga Multikulturalisme
 Setelah Kebenaran & Kepastian Dihancurkan, Masih Adakah Tempat Berpijak
Bagi Ilmuan: Sebuah Uraian Filsafat Ilmu Pengetahuan Kaum Posmodernis
 Pengantar Filsafat Ilmu Pengetahuan: Dari David Hume Sampai Thomas Kuhn
 Teori dan Metodologi Ilmu Pengetahuan Sosial dan Budaya Kontemporer
 Metodologi Posmodernis
 Dekonstruksi Epistemologi Modern: Dari Posmodernisme, Teori Kritis,
Poskolonialisme Hingga Cultural Studies
 Postmodernisme: Teori dan Metode
 Filsafat Ilmu Klasik Hingga Kontemporer
 Paul Feyerabend: Penggagas Antimetode

Hebat, bukan? Tapi tunggu dulu. Kita bisa bertanya “Sampai se-level manakah
tingkatan filosofitas karya-karya Pak Akhyar tersebut?” Inilah yang disebut “kritik
level filosofitas”. Dalam kritik level filosofitas, kita akan menilai sejauh manakah level
atau tingkat filosofitas karya-karya seorang filosof.

Dengan ukuran apakah dan kriteria apakah yang kita gunakan untuk mengukur level
filosofitas tadi? Salah satu tolok-ukur yang dapat kita pakai untuk mengritik tingkat
filosofitas karya-karya seorang filosof adalah Taksonomi Bloom (Bloom’s Taxonomy).

Bloom’s Taxonomy

Bloom’s Taxonomy adalah levelitas yang dibuat Benjamin Bloom di dalam bukunya,
Taxonomy of Educational Objectives: The Classification of Educational Goals (1956).
Levelitas yang dibuatnya ialah levelitas keterampilan berpikir (thinking skill). Menurut
Bloom, keterampilan berpikir manusia dapat diurutkan ke dalam 6 (enam) level:
remembering (menghapal), understanding (memahami), applying (mengaplikasikan),
analyzing (menganalisa), evaluating (mengevaluasi), dan creating (mencipta). Level
tertinggi adalah creating, sementara level yang terendah ialah remembering.

Mari kita jelaskan satu persatu dari level yang paling rendah ke yang paling tinggi.
Level yang paling rendah dari keterampilan berpikir manusia adalah remembering
(menghapal). Mengapa? Karena menghapal informasi adalah keterampilan yang
paling gampang dikuasai. Anda cukup menggunakan daya memori anda, dan bingo!
Anda pun hapal informasi tersebut. Misalnya, anda ingin menghapal Filsafat Etikanya
Santo Augustinus, maka anda pun cukup mencari bukunya yang membahas Filsafat
Etika, lalu menghapal kata-kata atau kalimat-kalimat yang ditulis oleh Santo
Agustinus di dalam buku tersebut. Titik!

Level keterampilan berpikir yang lebih tinggi daripada remembering adalah


understanding. Pada tingkat ini, Anda tidak hanya hapal kata-kata atau kalimat-
kalimat Santo Augustinus, tapi juga mengerti artinya dan memahami maksudnya
seratus persen, sehingga bila anda ditanya mengenai maksud dari kata-kata
tersebut, anda dapat langsung menjawabnya karena anda sudah mengerti.

Di atas level understanding ada level applying, yaitu mengaplikasikan Filsafat Etika
Santo Augustinus yang sudah anda hapal dan yang sudah anda pahami untuk
membahas satu kasus riel, misalnya, ada orang yang suka mencuri. Bagaimana Santo
Augustinus memandang persoalan ini? Anda pun menggunakan hapalan Anda tadi
(remembering) dan pemahaman anda tadi (understanding) untuk membahas soal ini.
Inilah yang disebut applying.

Di atas level applying ada level analyzing, yaitu menganalisa buku-buku Filsafat Etika
Santo Augustinus. Anda pun mengumpulkan semua buku-buku tentang Etika yang
ditulis oleh Santo Augustinus, lalu anda menganalisa apa saja ajaran-ajaran etis yang
beliau ajarkan, lalu anda ringkas dan anda simpulkan. Ini disebut analyzing.

Di atas level analyzing ada level evaluating, yaitu mengevaluasi buku-buku Filsafat
Etika Santo Agustinus. Anda cari kelemahan, kekurangan, kesalahan, kekeliruan dari
buku-buku tersebut.

Terakhir dan yang paling tinggi adalah level keterampilan berpikir creating, yaitu
menciptakan Filsafat Etika baru ciptaan anda sendiri yang menyempurnakan
kelemahan dan kekurangan daripada Filsafat Etika Santo Agustinus, bahkan anda
mencipta Filsafat Etika yang lebih kuat, lebih benar, lebih baik daripada Filsafat Etika
Santo Agustinus.

Mengaplikasikan Bloom’s Taxonomy

Sekarang, mari kita balikkan perhatian kita kembali ke buku-buku filsafat yang ditulis
Dr. Akhyar Yusuf Lubis di atas. Buku no.1, jika diukur dengan Bloom’s Taxonomy,
hanya mencapai level keterampilan berpikir remembering-understanding-analyzing
saja. Lubis hapal betul semua Filsafat Kontemporer (Critical Theory, Cultural Studies,
Feminism, Postcolonialism, dan Multiculturalism), dan dia juga mengerti betul
semuanya, dan dia juga menganalisa, meringkas dan menyimpulkan buku-buku
rujukan yang dibacanya mengenai Filsafat Kontemporer tadi. Sayangnya, dia tidak
applying Filsafat Kontemporer itu untuk memotret kasus-kasus riel di masyarakat,
misalnya; dia tidak evaluating Filsafat Kontemporer itu dan menunjukkan kelemahan-
kelemahannya; dan yang lebih parah, dia tidak creating Filsafat Kontemporer apapun
dengan pikirannya sendiri, padahal dia sudah remembering-understanding-
analyzing banyak hal. Seyogianya, ia sudah mulai melakukan applying-evaluating-
creating, mengingat ia sudah lama malang melintang di dunia akademis filsafat dan
sudah mendapat gelar Doktor pula!
Sekarang, coba anda lakukan “kritik filsafat” atas buku-buku Dr. Akhyar Yusuf Lubis
yang lain. Silahkan dicoba . Bayangkan! Seorang Doktor Filsafat saja, yang sekaliber
beliau, karya-karyanya kok Cuma bisa mencapai level filosofitas remembering-
understanding-analyzing. Lalu, bagaimana dengan para Profesor Filsafat di negeri
kita???? Krisis kreatifitas intelektual???
Semua ilmuwan asing yang datang ke Indonesia membawa pulang temuannya, lalu
merauk prestasi kesarjanaan tertinggi di negeri mereka. Mereka datang, “mencuri
data” dari negeri kita, dan begitu mereka pulang eh malah dapat ketenaran. Masak
iya? Mau bukti? Berikut ini adalah daftar ilmuwan asing yang pernah datang ke
Indonesia, melakukan riset di situ, dan begitu pulang kampung eh jadi bintang sains
terkenal:

 Alfred Russell Wallace (1823-1913). Seorang ahli biologi Inggris yg datang ke


Indonesia utk meneliti keanekaragaman fauna. Setelah bertahun-tahun
meneliti, beliau pun menemukan bhw fauna di Indonesia dapat dibagi ke
dalam Dua wilayah geografis: wilayah Barat Dan wilayah Timur. Fauna di
wilayah Barat adlh fauna khas Asia, sedangkan fauna di wilayah Timur adlh
fauna khas Australasia. Lalu, beliau menciptakan satu garis virtual yg
memisahkan kedua wilayah tadi, yg disebutnya "Wallace Line". Semua
penemuannya tadi ia rekam dlm bukunya, The Malay Archipelago (1869). Ia
pulang ke Inggris, menerbitkan bukunya, mendapat kehormatan dari Kerajaan
Inggris Dan dikenal di dunia sains sbg Pencipta Dua ilmu baru, Geobiologi
Dan Biogeografi.

 Eugene Dubois (1858-1940). Seorang ahli geologi Dan arkeologi Belanda yang
datang ke Indonesia utk meneliti situs arkeologis. Setelah bertahun-tahun
meneliti fosil-fosil, terutama di daerah Trinil Dan Sangiran, beliau menemukan
"makhluk perantara" (the missing link) yg merupakan evolusi dari kera
menjadi manusia, yg disebutnya "manusia kera yg berjalan tegak"
(Pithecanthropus Erectus). Penemuannya direkam dlm bukunya
Pithecanthropus Erectus Eine Meinschenaehnliche Uebergangsform Aus Java
(1894). Begitu beliau pulang ke Belanda, menerbitkan bukunya, mendapat
penghormatan saintifik dari Kerajaan Belanda Dan ia dikenang oleh para ahli
biologi Darwinian sebagai ilmuwan yg membuktikan teori Evolusi Charles
Darwin dgn bukti-bukti arkeologis yg valid.

 Clifford Geertz (1926-2006). Seorang ahli Antropologi Amerika yg datang ke


Indonesia utk meneliti kebudayaan Jawa Dan Bali. Setelah bertahun-tahun
meneliti, beliau menemukan bhw agama yg dianut org Jawa dpt dibagi ke
dalam Dua kategori: agama kaum abangan Dan agama kaum santri. Beliau
juga menemukan bhw di Bali upacara "sabung ayam" adlh cerminan Dr
keseluruhan manifestasi budaya Bali. Penemuannya direkamnya dlm Dua
bukunya, The Religion of Java (1960) Dan The Interpretation of Cultures
(1973). Begitu pulang ke Amerika, beliau menerbitkan kedua bukunya itu Dan
mendapat kehormatan Dan penghargaan di dunia Antropologi sebagai
Pencipta Ilmu Antropologi aliran baru, yakni "Antropologi Simbolik" (Symbolic
Anthropology).
Dan masih banyak lagi ilmuwan asing lainnya yg tdk disebut disini yg datang ke
Indonesia, meneliti Dan menambang data, lalu begitu pulang ke kampung halaman
mereka mencuri keuntungan ilmiah dari Kita.

Jika Kita renungkan keterangan di atas, Kita bisa berkesimpulan bhw negeri Kita ini
adlh tambang emas data ilmiah dan tambang emas penciptaan Ilmu-Ilmu baru, yg
hanya bisa diperoleh jika para ilmuwan rajin menggali.

Anehnya, jika ilmuwan-ilmuwan asing sangat rajin jauh jauh ke Indonesia utk
menambang data ilmiah, kok Kita para imuwan tanah air sendiri tidak menambang
data data ilmiah dari negerinya sendiri lalu dari situ menciptakan Ilmu-Ilmu Dan
sains-sains baru ya? Lalu dimanakah kreatifitas intelektual-saintifik Kita?
Ada satu "peristiwa intelektual" yg membuat Jepang maju, yakni yg terjadi di jaman
Kaisar Meiji (abad 19). Kaisar Meiji mengadakan revolusi di pelbagai bidang,
utamanya bidang sains dan teknologi. Ia memerintahkan beberapa pelajar terpilih
utk kuliah di negara-negara asing, menerjemahkan buku-buku sains penting di
negara tersebut ke bhs Jepang, lalu menerbitkan terjemahannya di percetakan
Jepang. Setelah selesai kuliah, mereka kembali ke Jepang, mengajarkan ilmu yg
mereka timba dari negeri asing kepada teman teman Jepangnya, lalu mereka disuruh
memilih pelajar lain yg akan dikirim belajar ke negeri asing. Penerjemahan buku
sains Barat ke bhs Jepang terus dilakukan selama bertahun-tahun hingga Jepang
menguasai sains-sains Barat di masa itu dan teknologi Barat di era itu. Dalam bhs
jaman now, peristiwa itu disebut "transfer of knowledge".

Yg membuat org Jepang hebat di masa kekaisaran Meiji adalah mereka tidak hanya
menerjemahkan buku-buku sains Barat dan memberi beasiswa bagi pelajar Jepang
yg ditugasi belajar di universitas Barat, tapi juga menindaklanjutinya dgn penelitian
mandiri dan pengembangan ilmiah sendiri sehingga mereka menemukan banyak
penemuan baru dan menciptakan sains-sains baru. Mereka sudah tidak lagi
mengekor Barat tapi malah melampaui guru-guru Barat mereka. Wikipedia
mendaftar penemuan saintifik mereka yg mencapai jumlah 176 sejak masa Meiji
hingga detik ini.

Bagaimana dengan kondisi kesarjanaan kita? Kita masih dalam kondisi


menerjemahkan buku-buku sains Barat, menerbitkannya, lalu menggunakannya di
perguruan tinggi kita, lalu menghapalkannya untuk menghadapi ujian Semester, lalu
mengutipnya di dalam artikel ilmiah, mengutipnya di dalam skripsi, dalam Tesis Dan
disertasi Kita. Kita tidak menindaklanjutinya dgn mengadakan penelitian mandiri.
Kita tdk mengembangkan sains-sains sendiri dari pembacaan kita atas buku-buku
sains Barat. Kita bahkan tidak punya rencana apalagi cita-cita utk menciptakan
penemuan-penemuan ilmiah. Tak ada sarjana kita yg mendapatkan Hadiah Nobel di
bidang sains, apatah lagi di bidang penemuan baru teknologi.

Lalu, Kita bisa bertanya, "manakah kreatifitas intelektual dan kreatifitas saintifik kita
sejak merdeka hingga masa pascakolonial detik ini?
Ada banyak "kejanggalan ilmiah" yg dibiarkan terjadi oleh ilmuwan kita. Apa sajakah
itu? Berikut ini adalah daftar sebagian kejanggalan tersebut:

 Periodisasi generasi. Generasi dibagi menjadi beberapa kategori: Generasi


"Baby Boom", Generasi X, Generasi Y, Generasi Z, Generasi Alpha. Periodisasi
generasi ini sungguh sungguh lahir di sejarah Barat tapi, begitu buku-buku
Barat menjelaskannya, ilmuwan-ilmuwan kita (terutama Psikolog, Ahli
Manajemen SDM) mengadopsinya dengan taklid buta.
 Teori Evolusi. Teori bahwa manusia adalah hasil evolusi biologis dan evolusi
seksual dari primata yg digagas Charles Darwin dan dibuktikan secara
arkeologis oleh Eugene Dubois sudah banyak dikritik oleh ahli biologi pasca-
Darwinian dan dinyatakan cacat secara ilmiah. Tapi anehnya, dalam buku buku
biologi kita dan buku-buku arkeologi kita (termasuk eksistensi Museum Pusat
di Jakarta), teori evolusi tetap dicantumkan dan tidak pernah dihapus, seperti
persetujuan tapi secara diam-diam (silent consensus).
 IQ (intelligence quotient). Tingkat kecerdasan manusia yg diukur lewat Tes IQ
yg diciptakan pertama kali oleh William Stern. Walaupun sudah sering dikritik
lantaran Tes ini sangat Eurosentris (erat kaitannya dgn konsep ruang, konsep
matematis, konsep Linguistik Barat) Dan sangat parsial (tdk bisa
merepresentasikan seluruh potensi kemanusiaan Kita), Kita masih saja
menggunakannya, terutama dalam Ilmu Manajemen SDM, Psikologi, Dan Ilmu
Pendidikan.

Dan masih banyak lagi kejanggalan ilmiah lainnya yg luput dari pisau analisa
ilmuwan-ilmuwan kita. Mereka hanya membebek saja, menggunakan saja yg sudah
Ada tanpa menganalisa, mengevaluasi, mengritik, lalu akhirnya menghapus
kejanggalan ilmiah tadi dengan menciptakan produk-produk ilmiah baru yg lebih
valid untuk diterapkan dlm konteks Indonesia.

Lalu, manakah kreatifitas intelektual & kreatifitas saintifik para profesor-profesor


Kita?
Walau di abad 7 M ditinggal pemimpinnya, Umat Muslim terus melangkah maju dlm
peradaban Dan budaya. Kitab Sucinya Dan Sabda Suci Nabinya terus mengajak-ajak,
memanggil-manggil, memotivasi Dan menggalakkan pengembangan ilmiah. Lahir
dari penelaahan Kitab Suci Dan Sabda Nabi beribu-ribu ilmu baru dan sains baru, yg
sebelum lahirnya Islam bahkan Tak terpikirkan oleh akal Arab yg gersang.

Maka, lahirlah dari Quran, Ilmu-Ilmu Baru seperti Ilmu Nahwu, Ilmu Sharaf, Ilmu
Balaghah, Ilmu Badi', Ilmu Ma'ani, Ilmu Makki & Madani, Ilmu Qira'ah, Ilmu Tajwid,
Ilmu Tafsir, Ilmu Fiqh, Ilmu Tasawwuf, Ilmu Akhlaq, Falsafah Al-Ula, Ilmu Ushuluddin,
Ilmu Perbandingan Agama, Ilmu Sejarah, Ilmu Biologi, Ilmu Jafr, Ilmu Astronomi, Ilmu
Geologi, Ilmu Fisika, dll.

Dari Sabda Suci Nabinya lahir sains-sains baru seperti Ilmu Kedokteran, Ilmu
Psikologi, Ilmu Pendidikan, Ilmu Politik, Ilmu Zoologi, Ilmu Jarh wat Ta'dil, Ilmu
Mustalah Hadits, Filsafat Islam, Ilmu Ikhtilaaf Hadits, Ilmu Tazkiyatun Nafs, Ilmu
Ekonomi, dll.

Kreatifitas ilmiah Dan penciptaan sains-sains baru terus berlanjut berabad-abad,


sejak abad 7 hingga Abad 17. Panggilan Quran Dan Hadits utk riset Dan riset Dan
riset lagi menyebabkan Umat Muslim Kian maju dalam kegiatan ilmiah. Semua Ilmu-
Ilmu dari khazanah kuno Grik, India, Mesir, Dan Persia dikunyah habis lalu
dikeluarkan menjadi sains-sains yg disempurnakan. Lahir dari Umat Muslim yg gila
belajar Dan gila riset itu sains-sains baru seperti Ilmu Aljabar, Ilmu Aritmatika, Ilmu
Matematika, Ilmu Geometri, Ilmu Astronomi, Ilmu Fisiognomi, Ilmu Kimia, Ilmu
Metalurgi, Ilmu Mineralogi, Ilmu Alkemi, Ilmu Filologi, Ilmu Arsitektur, Ilmu Navigasi,
Ilmu Optik, Ilmu Tafsir Mimpi, Metafisika, dll.

Begitu negeri-negeri Barat mencabik-cabik Imperium Turki-Utsmani di Abad 20,


kegiatan ilmiah memang sempat terhenti, tapi saat kemerdekaan politis diraih Dan
Imperium yg Akbar digantikan dgn negara-bangsa (nation state) yg kecil-kecil, Umat
Muslim dgn tertatih-tatih masih juga aktif giat dlm pelestarian budaya belajar Dan
budaya ilmiah.

Bagaimana andil Umat Muslim Indonesia dlm pengembangan saintifik di Dunia


Islam? Dalam Hal pelestarian khazanah Ilmu-Ilmu lama Abad 7-17, Umat Muslim
Indonesia cukup berperan. Hanya saja, dalam pengembangan ilmiah, apatah lagi
dalam produksi Ilmu-Ilmu baru, Umat Muslim Indonesia belum terdengar, untuk
tidak menyebut tidak Ada suaranya sama sekali.

Lalu, Kita bisa refleksi-diri, "manakah kreatifitas intelektual & kreatifitas saintifik umat
Muslim Indonesia di kancah Dunia Islam global?"
Dulu, setiap memberi tugas membuat makalah pada matakuliah Filsafat Estetika dan
Filsafat Etika, saya selalu merasa sedih. Pasalnya, semua mahasiswa menulis makalah
dengan cara "copy-paste" dari artikel/makalah orang yang ditemukan di Google.
Semua mahasiswa!

Dengan begitu, sesungguhnya mereka sudah melewatkan banyak hal: 1) mereka


tidak terlatih meringkas bacaan, 2) mereka tidak terlatih mengutip (kuotasi), 3)
mereka tidak terlatih menghindari plagiarisme, 4) mereka tidak terlatih menuliskan
pikiran mereka.

Yang membuat saya kian sedih adalah saat makalah yg dicopas tadi dipresentasikan,
mereka pun tidak mampu mempresentasikannya Dengan Baik. Mereka mengira-
ngira, menebak-nebak makna suatu kalimat yg mereka sendiri tdk mengerti. Dan
diskusi kelas pun berubah dari ilmiah menjadi astrologis (nujum).

Saat saya menjadi pembimbing skripsi, hal yg sama pun terjadi. Banyak dari mereka
menulis skripsi secara copas pula. Copas di sana, copas disini, lalu dirangkai jadi satu
skripsi. Karena gado-gado, begitu saya membaca skripsi mereka dari A hingga Z,
ketidaksinkronan topik dari satu bagian ke bagian lainnya sungguh akut.

Yang juga amat aneh adalah mereka kok bisa lulus jadi sarjana. Pesta plagiarisme
terjadi di depan mata, kok pihak akademis bisa bisanya tutup mata?

Yang lebih mengejutkan dari itu ialah saya pernah dimintai pendapat oleh seorang
calon Master ttg tesisnya. Tesisnya penuh dgn copas sana dan copas sini, lalu
dirangkainya pula jadi tesis. Setelah saya memberi koreksian dan ia bilang akan
mengoreksi tesisnya sesuai arahan saya, kami pun pisah. Setelah 2 bulan, saat saya
mengunjungi perpustakaan jurusan, secara tdk sengaja saya menemukan Tesis yg
ditulisnya (dia sdh bergelar Master). Tak ada satupun koreksian saya yg dimuatnya!

Yg paling mengejutkan dari itu semua adalah apa yg dilakukan oleh seorang calon
Doktor. Seperti si calon Master tadi, dia copas sana-sini dari disertasi-disertasi orang
(yg entah darimana kok ia bisa dapat), lalu ia rangkai jadi satu disertasi. Begitu saya
tahu, karena ia teman baik saya, saya pun menegurnya bhw itu adalah plagiarisme
dan suatu pelanggaran ilmiah tak terampuni di dunia akademis, ia pun tertawa kecil
dan bilang bhw ini darurat karena ia sibuk bekerja dan tdk mungkin bisa
menyempatkan waktu utk membenamkan diri ke dalam dunia buku. Saya terus
menegur dia tapi dia terus tak bergeming. Setahun kemudian kami bertemu lagi, dan
dia menyandang gelar Doktor dgn disertasi macam itu.

Terjadinya hal ini bikin saya refleksi diri, "bagaimana dunia akademis dan dunia
saintifik Indonesia bakal maju jika sarjana-sarjananya "sarjana copas". Lalu, manakah
kreatifitas intelektual & kreatifitas saintifik kita?,
Epistemologi Islam bersumber dari Quran suci dan Sunnah Nabi suci. Karena itu, cara
berpikir, cara bernalar, dan cara menimbang, serta cara memutuskan dituntun oleh
Wahyu Ilahi dan Sunnah nabawi. Obyek pemikiran, obyek nalar dan obyek studi,
obyek analisa, dan obyek observasi semuanya diproses lewat otak dan akal Muslim
yg dituntun Wahyu dan Sunnah. Jadi, insya Allah, output nalar, output logika, dan
output pertimbangannya tidak keluar dari rambu-rambu serta koridor Wahyu dan
Sunnah.

Begitu Filsafat Modern Barat disebarluaskan penjajah Barat di negeri-negeri Muslim


jajahan mereka sejak abad 18, maka terjadilah infiltrasi pemikiran Barat ke jantung
epistemologi Islam. Epistemologi Barat Modern yg sekuler dan atheistik meracuni
otak-otak Muslim. Oleh penjajah Barat, sumber epistemologis ditambah satu lagi:
Filsafat Barat Modern. Wahyu dan Sunnah suci pun bercampurbaur dgn Rasio sekuler
& atheistik.

Masuknya Epistemologi Barat yg sekuler dan atheistik tersebut menyebabkan


"kesemrawutan epistemologis" dalam struktur pemikiran Muslim di era pasca-
kolonial. Quran yg dulu aman dipahami lewat tradisi Tafsir, kini dipahami lewat
Hermeneutika & Semiotika Barat yg sekuler dan atheistik. Akibatnya, timbul
penafsiran Quran yg bercorak sekuler & atheistik. Fiqih yg dulu aman dipahami lewat
tradisi Ushul Fiqih, kini dipahami lewat Filsafat Hukum (Philosophy of Law) ala
Modernisme sekuler & atheistik. Akibatnya, timbul kesimpulan fiqhiyah yg bercorak
sekuler dan atheistik. Filsafat Islam yg dulunya aman dipahami lewat Teosofi (Al-
Hikmah Al-Muta'aliyah), kini dipahami lewat Rasionalisme, Empirisme, Marxisme,
Feminisme, Queer Studies (Kajian LGBT) yg sekuler dan atheistik. Akibatnya, timbul
tren filosofis yg berwarna sekuler dan atheistik.

Hingga detik ini, kesemrawutan epistemologis masih terus berjalan dan berlangsung
di negara-negara Islam bekas jajahan Barat (termasuk Indonesia). Sementara beribu-
ribu Muslim menjadi sarjana-sarjana dari perguruan tinggi negeri atau swasta. Jika
kesemrawutan epistemologis ini tidak ditantang, tidak dijawab, tidak dkritisi, tidak
disadari, dan bahkan setidaknya tidak dikembalikan kembali ke Epistemologi Islam
murni pra-penjajahan, maka komitmen keislaman mereka perlu dipertanyakan dan
itu merupakan tanda bhw virus epistemologis sekuler dan atheistik Barat sudah
bermutasi dalam darah dan daging Umat kita.

Kalau itu masih terjadi juga dalam satu dua tahun mendatang dalam Kesarjanaan
Muslim Kita, maka Kita perlu bertanya, manakah kreatifitas intelektual & kreatifitas
saintifik kita?
Walaupun Kita telah hidup di jaman pascakolonial (pascakemerdekaan), sains dan
teknologi kita msh saja berkarakter kolonial. Sains dan teknologi kita belum
berkarakter pascakolonial. Sains dan teknologi Kita belum bisa keluar dari kondisi
keterjajahan. Kita baru bisa keluar dari kondisi keterjajahan di bidang geopolitik di
abad 20 lalu, tapi kita belum bisa terbebaskan dari keterjajahan di bidang saintifik
dan teknologis hingga jaman now.

Yuk kita lihat buku-buku teks kuliah Kita: buku-buku itu terjemahan dari buku
karangan ilmuwan Eropa dan Amerika. Kita lihat lagi Metodologi penelitian ilmiah
Kita: metodologi penelitian ilmiah Kita mentaklid habis-habisan dari yg ditulis Dan
diajarkan ilmuwan Eropa dan Amerika. Kita lihat pula Filsafat Ilmu (Philosophy of
Science) yg diajarkan akademisi Kita: Filsafat Ilmu Kita dicopas seluruhnya dari
Filsafat Ilmu yg dianut filosof Eropa Dan Amerika. Kita lihat pula Sistematika
Penulisan Skripsi Kita: Sistematika Penulisan Skripsi Kita menelan bulat-bulat yg
diajarkan universitas Eropa dan Amerika. Kita lihat Teori-Teori Psikologi Pendidikan
Kita: Teori-Teori tersebut disalin apa adanya dari buku karangan Psikolog Eropa dan
Amerika hasil timbaan data di Eropa & Amerika pula. Bahkan, Mari Kita lihat Metode
Tafsir Quran yg Kita pakai saat ini: Metode Tafsir Quran kita menyontek sepenuhnya
dari Teori Kritik Sastra, Teori Sosiologis, Teori Antropologis, Teori Psikologis, Teori
Historis, Teori Filosofis, dan Teori Linguistik ciptaan ilmuwan dan filosof Eropa dan
Amerika, baik secara langsung dari mereka maupun yg tidak secara langsung (dari
kolaborator sains dan Ilmu Eropa/Amerika dari negeri kita sendiri, "org berkulit sawo
matang tapi berotak bule asing").

Anda pasti bertanya "Lho! Kalau Kita tetap dijajah secara saintifik oleh ilmuwan-
ilmuwan mantan penjajah Kita, mengapakah Kita tidak merasa sedikitpun bhw kita
masih sedang dijajah? Jangan-jangan Kita hanya sekadar su'udzon saja atau kita
mengidap xenofobia!" Bhw kita msh dijajah secara saintifik Dan intelektual Dan bhw
mantan penjajah Kita msh menjajah Kita dlm bidang sains dan kefilsafatan, beberapa
filosof Eropa/Amerika sendiri mengakuinya:

 Ivan Timofeevich Frolov. Dalam bukunya "Dictionary of Philosophy" (1984),


Frolov mengungkap bhw Filsafat seperti Pragmatisme, Fenomenologi,
Eksistensialisme, Structuralisme, Positivisme-Logis, juga sains-sains seperti
Antropologi, Sosiologi, Psikologi, Ekonomi, Politik, kesemuanya diciptakan
mantan penjajah Barat utk menyokong ideologi mereka jaman now, yaitu
Kapitalisme Global.
 Enrique Dussel. Lewat bukunya "Philosophy of Liberation" (1985), Dussel
menguliti isi jeroan sejarah Filsafat Eropa/Amerika Dan menemukan fakta bhw
Filsafat Eropa/Amerika bisa survive hingga detik ini lantaran ia
menghancurkan tradisi Filsafat lokal di negara-negara Timur yg dijajahnya.
Lalu, Filsafat lokal yg dimiliki negeri jajahan dipersetankan, dihinakan,
disepelekan, disudutkan, bahkan dihilangkan secara paksa Dengan kekerasan
Dan ancaman senjata. Dulu, di Amerika Latin, Filsafat lokalnya amat
berpengaruh Dan berperan dlm hidup org Amerika Latin. Tapi begitu org
Spanyol Dan org Portugis menjajah negeri mereka, penjajah tersebut
membunuhi filosof-filosof lokal, melarang pengajaran Filsafat lokal di negeri
jajahan, lalu mengajarkan Filsafat Eropa Modern sebagai gantinya, yakni
Filsafat penjajah yg menang perang. Karena yg menang perang ialah kaum
penjajah kapitalis global, maka Filsafat yg mereka ajarkan di negeri jajahan
mereka adlh Filsafat yg mendukung kapitalisme global.
 David Skyrme & Riccardo Viale. Dalam bukunya "Capitalizing on Knowledge:
From E-Business to K-Business" (2001), Skyrme menegaskan bhw perusahaan
Siemens, Chase Manhattan, Teltech, Digihub dll adalah perusahaan yg hingga
saat ini menjalankan K-Business (Bisnis Ilmu Pengetahuan) berupa training,
seminar, buku panduan pelatihan, pengiriman trainer utk pelatihan ke seluruh
dunia yg meraup keuntungan hingga 20 milyar setiap bulan. Sedangkan
Riccardo Viale, dalam bukunya "The Capitalization of Knowledge: A Triple
Helix of University-Industry-Government" (2010), menegaskan bhw
pemerintah negara kapitalis global bekerjasama dgn pemilik perusahaan Dan
akademisi mereka utk memproduksi ilmu pengetahuan bagi penduduk
mereka sendiri Dan penduduk di negara konsumen mereka di Timur untuk
meraup keuntungan ekonomis tinggi.
Kehormatan bagi Penemu

Ada satu peribahasa Arab yang sangat inspiratif bunyinya begini: al-fadhl li’l-
mubtadi wa in ahsana’l-muqtadi. Parafrasenya: setiap pelopor/penemu mendapat
tribut kehormatan walaupun generasi berikutnya menciptakan penemuan yang lebih
baik.

Peribahasa ini rupanya bukan peribahasa bohong; bukti kebenarannya amat banyak
dalam kehidupan. Pembaca tahu apa itu Aljabar? Itu salah satu cabang ilmu
Matematika. Orang Inggris menyebutnya Algebra, diambil langsung dari bahasa Arab
Aljabr. Bagaimana sejarahnya, kok orang seluruh dunia bisa mengenal ilmu ini? Siapa
sih pencipta ilmu ini? Rupanya kita temukan datanya dari sejarah: ilmu itu terkenal
karena dibukukan oleh matematikawan Muslim bernama al-Khawarizmi (sekitar 780-
850 M). Beliau menulis satu buku yang berjudul Kitâb al-jabr wa’l-muqâbalah; dari
buku inilah ilmu Aljabar menjadi terkenal. Pertama-tama buku ini diterjemahkan ke
bahasa Latin, dari Latin ke Perancis, Perancis ke Jerman, Jerman ke Inggris dan dari
Inggris ke seluruh dunia. Mereka memang tidak menyebut-nyebut nama penemunya
(penulisnya), tapi bukunya (ilmunya) terkenal di seluruh dunia. Tapi, tunggu! Siapa
bilang penemunya tidak terkenal? Pembaca pasti pernah dengar kata Algoritma
khan? Orang yang berkutat dengan computer programming pasti tahu Algoritma.
Orang yang belajar Matematika dan Aritmetika apalagi! Sejarah menyingkap bahwa
Algoritma (dalam bahasa Inggris, Algorithm) adalah sebutan Barat untuk al-
Khawarizmi, sang penemu Aljabar tadi! Begitulah cara orang Barat memberi tribut
kehormatan bagi penemu ilmu Aljabar yang seorang Muslim, al-Khawarizmi. Bahwa
ilmu Aljabar hingga detik ini dipelajari semua orang di dunia merupakan bukti
penghargaan tinggi akan prestasi penemuan al-Khawarizmi. Begitulah kebenaran
peribahasa al-fadhl li’l-mubtadi wa in ahsana’l-muqtadi.

Contoh lainnya ialah Alfred Russel Wallace (1823-1913). Beliau ahli biologi Inggris
yang hidup sejaman dengan Charles Darwin, penemu teori evolusi dan teori seleksi
alam. Wallace sendiri dikenal dunia sebagai penemu ilmu Zoogeografi atau Ilmu
Geografi Binatang. Banyak buku yang ia tulis, tapi yang amat dikenal luas ialah
bukunya yang berjudul The Malay Archipelago dan The Geographical Distribution of
Animals. Dari kedua buku ini, orang seluruh dunia mengenal Garis Wallacea (The
Wallace Line)—satu garis virtual yang membagi daerah hunian binatang-binatang di
dua bagian dunia berbeda (di Asia dan di Australasia). Penghormatan akan
penemuan beliau ini terus dilakukan orang seluruh dunia. Hanya orang Indonesia
yang menghormati beliau secara tanpa sadar! Lho, kok gitu? Anak SD, SMP, dan
SMA, dari Aceh hingga Papua pasti pernah belajar Peta Dunia, Peta Bumi atau
Peta Buta, khan?. Ada peta yang berbentuk buku hitam-putih. Ada yang berwarna-
warni. Ada juga yang berbentuk standing globe. Begitu kita melihat peta Indonesia,
kita akan menemukan garis kecil merah putus-putus yang membelah kepulauan
Sumatera-Jawa-Bali-Nusa Tenggara-Kalimantan dengan kepulauan Sulawesi-Papua.
Trus, ada tulisan yang juga kecil berbunyi Garis Wallacea. Sayangnya, kebanyakan
anak SD, SMP, dan SMA kita tidak sadar itu warisan penemuan Alfred Russel Wallace.
Juga tidak sadar akan arti pentingnya garis merah kecil yang ada di peta itu (guru
geografi mereka pada kemana, hayo!).

Kalau dua penemu tadi terkenal karena penemuan mereka yang bersifat positif, ada
satu penemu yang diberi kehormatan justru karena penemuannya yang negatif:
Marquis de Sade (1740-1814). Pembaca tahu kata ‘Sadisme’ dan ‘Sadomasokisme’,
khan? Dua kata itu hingga detik ini dikenal semua orang di seluruh dunia sebagai
penghormatan (atau tepatnya peringatan?) untuk Marquis de Sade, bangsawan
Perancis begajulan yang dikenal karena semua buku-bukunya (seperti Juliette dan
120 Days of Sodom) menganjurkan tindakan kekerasan brutal untuk mencapai
kenikmatan seksual. Sayang sekali, penemuannya hanya dikenal untuk dibenci dan
dimaki-maki, diumpat-diumpat, dibuang, ditakuti, dan disumpahi.

Tapi sekali lagi, mereka-mereka tadi adalah para pelopor dan para penemu ilmu.
Nama mereka ada yang harum, ada yang bau busuk. Tapi mereka patut dihormati;
mereka berani menentang arus utama, menulis apa yang mereka yakini, membuat
sesuatu yang baru. Setelah upaya berani itu, sejarah kemanusiaanlah yang akan
menilai apakah penemuan itu baik atau buruk, positif atau negatif, diwarisi atau
dikritisi, dipakai atau dibuang. Mereka telah mewariskan ilmu-ilmu baru kepada
dunia.

Sekarang, bagaimana dengan Anda, pembaca? Apakah Anda ingin turut pula
mewariskan ilmu-ilmu baru kepada dunia? Sebagai ‘amal jariah (dharma abadi)
bukan hanya untuk anak cucu kita sendiri, tapi untuk anak cucu seluruh umat
manusia sedunia? Sebagai kehormatan yang bakal kita dapatkan di mata Tuhan?

Saya takut apa yang saya anjurkan kepada Anda, pembaca, justru tidak saya lakukan.
Maka, ijinkan saya untuk mengatakan bahwa saya pun telah membuat ilmu baru. Ini
bukan untuk self-promotion, tapi untuk mencambuk kekerasan hati Anda agar
berani dan mau membuat ilmu-ilmu baru. Kehendak kuat untuk mewariskan ilmu
baru kepada dunia memaksa saya untuk membuat ilmu baru. Apa saja ilmu baru
yang telah saya buat? Ada 3 ilmu baru: Pertama, ilmu Filsafat Indonesia. Kedua, ilmu
Sejarah Filsafat Indonesia. Ketiga, ilmu Antropologi Adat. Masing-masing ilmu baru
tersebut dibukukan dalam beberapa karya tulis. Silahkan Anda unduh dan baca di
situs ini: https://independent.academia.edu/FerryHidayat.

Sekarang, saya tantang Anda, pembaca, untuk juga membuat ilmu-ilmu baru. Karena
apa? Setiap pelopor/penemu mendapat tribut kehormatan walaupun generasi
berikutnya menciptakan penemuan yang lebih baik.

Tidak Banyak Pencipta Ilmu Baru

Indonesia punya banyak profesor, tapi anehnya tidak banyak profesor yang mencipta
ilmu-ilmu baru. Betul, khan? Kenapa? Ada yang salah dalam pendidikan kita di
sekolah. Sekolah-sekolah kita dari jenjang rendah hingga jenjang tinggi tidak
memotivasi siswa-siswanya untuk membuat ilmu-ilmu baru. Sekolah-sekolah
kita secara implisit dan eksplisit malah mengukuhkan sikap konservatif (konservasi =
melestarikan/memelihara yang sudah ada saja) dalam hal produksi ilmu. Alhasil,
jarang ada (atau tepatnya, tidak ada?) sekolah yang visi dan misinya menciptakan
ilmu-ilmu baru.

Yuk kita bedah buku-buku di sekolah kita. Terlihat buku-buku itu olahan dari buku-
buku Barat dan buku-buku negara lain dari disiplin ilmu yang sudah dikenal di Barat
atau di negara lain, seperti Ilmu Kimia, Ilmu Matematika, Ilmu Sosiologi, Ilmu
Antropologi, Ilmu Ekonomi, Ilmu Manajemen, Ilmu Komputer, Ilmu Akuntansi, dan
seabreg ilmu-ilmu lainnya yang sudah amat terkenal di dunia dan di Indonesia.
Pernahkah guru-guru kita mengajak kita mengritisi isi buku-buku itu, lalu menyuruh
kita membuat buku-buku tandingan yang isinya mengevaluasi dan membuat
penjelasan baru yang mengoreksi buku-buku yang sudah ada? Guru-guru saya tidak
pernah. Wallahi! Pernahkah guru-guru Anda begitu? Kalau jawabannya tidak pernah,
begitulah jamaknya fenomena konservatifisme dalam pendidikan kita.

Konservatifisme keilmuan juga dibuktikan dari masih adanya buku yang memuat
teori evolusi Charles Darwin, padahal teori itu sudah dikritik kebenarannya oleh
ratusan ilmuwan Barat sendiri! Lihat saja buku sejarah kita. Kita selalu diajar tentang
Manusia Sangiran atau Pithecanthropus Erectus (Manusia Kera yang Berjalan Tegak).
Padahal itu sisa-sisa ajaran Darwin bahwa di antara Homo Sapien (Manusia yang
Berjalan Tegak) dan Apes (Kera) ada makhluk-antara yang merupakan missing link
yang hendak dibuktikan Darwin, ialah Pithecanthropus Erectus (Manusia Kera yang
Berjalan Tegak) di Trinil dan Sangiran itu! Tapi teks-teks itu tak pernah dihapus oleh
guru-guru kita, apalagi dibakar atau dibredel. Anehnya, di pesantren atau seminari
atau di kuil, kok tetap saja buku sejarah Indonesia yang memuat ajaran konyol
Darwinisme dipelajari dan dicetak ulang, hatta di Gontor sekalipun, tempat saya
pernah nyantren dulu!

Bagaimana dengan produksi ilmu baru di negara-negara maju, semisal Amerika


Serikat dan Inggris? Sekolah-sekolah mereka sudah dari dulu memotivasi siswa-
siswanya membuat ilmu-ilmu baru. Makanya, tak usah kita heran kalau Clifford
Geertz bisa mencipta ilmu baru: Antropologi Simbolik. Tak usah heran Alfred Russel
Wallace bisa mencipta ilmu baru Zoogeografi. Tak usah heran kalau ilmu-ilmu baru
dari tahun ke tahun diproduksi mereka, seperti Women Studies, Global Studies,
Peace Studies, Cultural Studies, Science Studies, dan seabreg lainnya. Tak usah heran
kalau ada pakar-pakar kreatifitas seperti Ken Robinson, Tony Wagner, dan John Holt
yang selalu menganjurkan para siswa AS dan Inggris untuk mencipta, dan mencipta,
dan mencipta, dan mencipta lagi. Tak usah heran kalau di sana ada banyak penemu,
banyak pencipta ilmu-ilmu baru. Sementara kita di Indonesia duduk-duduk saja; jadi
konsumen paling setia dari setiap produksi ilmu-ilmu AS dan Inggris. Cukup kita beli
buku-buku mereka, kita terjemahkan ke bahasa Indonesia, kita ulas, kita populerkan,
kita lestarikan keabsahannya di perguruan tinggi kita dan keprofesoran kita, kita
kasih gelar profesor, dan stop sampai di situ. Tak perlu dikritisi, tak perlu dievaluasi,
tak perlu ditandingi, apalagi diburuk-burukkan. Jadi, sebenarnya dalam hal produksi
ilmu, kita ini mandeg, jalan di tempat, stagnant, letoy, lesu, frigid, impoten. Profesor
sana membuat ilmu-ilmu baru; profesor Indonesia menulis buku ulasannya saja.
Stuart Hall di Inggris membuat ilmu baru Cultural Studies; profesor sini menulis buku
berjudul Pengantar Cultural Studies. Michel Foucault di Perancis mencipta ilmu
History of Systems of Thought (Sejarah Sistem Pemikiran); profesor di sini menulis
Pengantar ke Pemikiran Foucault. Duh Gusti! Semoga saja tidak sampai mati
produksi ilmu kita ya hehehe.

Mencipta itu Tingkatan Tertinggi

Mari belajar dari pengalaman sehari-hari. Seseorang belajar musik selama 10 tahun.
Setelah belajar selama itu, ia pun menguasai teknik permainan segala jenis musik,
menguasai teknik memainkan segala alat musik, dan menguasai segala hal mengenai
musik. Tapi belajar 10 tahun itu secara logis bisa disimpulkan sia-sia apabila dia tidak
bisa mencipta atau membuat satu-dua lagu dengan aransemen musik yang sungguh
mencerminkan dan merefleksikan ‘sudah belajar 10 tahun’. Begitu pun dengan
seseorang yang belajar memasak. Seseorang yang belajar memasak selama 10 tahun
pasti diasumsikan telah menguasai segala teknik memasak, menguasai aneka resep
masakan dari ratusan negara, menguasai teknik meracik bumbu-bumbu, menguasai
segala hal berkaitan dengan memasak. Logika kita mengatakan “alangkah sia-sianya
belajar memasak 10 tahun bila ia tidak mampu mencipta atau membuat satu-dua
resep masakan baru ciptaannya.”

Dua contoh pengalaman sehari-hari tadi memberi kita satu kesimpulan logis
berharga: mencipta adalah konsekuensi ultimat dari belajar. Seseorang yang belajar
akan mencipta sesuatu dari yang ia pelajari. Seorang yang belajar musik akan
mencipta lagu. Seorang yang belajar masak akan mencipta resep. Seorang yang
belajar bela diri akan mencipta jurus. Seorang yang belajar menulis novel akan
mencipta novel. Seorang yang belajar melukis akan mencipta lukisan. Seorang yang
belajar menyulam akan mencipta sulaman. Seorang yang belajar menenun songket
akan mencipta satu songket nan indah. Seorang yang belajar filsafat akan
mencipta filsafat baru.

Lalu, bagaimana dengan orang yang belajar bertahun-tahun tapi tidak mencipta
apapun dari yang ia pelajari? Apakah sia-sia belajarnya? Apakah sia-sia umurnya?
Apakah sia-sia waktunya? Tak perlu cepat mengambil kesimpulan. Biarkan Lorin
Anderson dan David Krathwohl yang menjawabnya. Dalam karya mereka, Bloom’s
Revised Taxonomy (2001), Anderson & Krathwohl mengatakan bahwa mencipta
(creating) adalah tingkat tertinggi dari keterampilan berpikir manusia (high order
thinking skills). Jadi, simpul mereka, tak semua orang yang belajar mampu mencipta.
Paling banter, orang yang belajar bisa mempergunakan apa yang mereka tahu untuk
mengerjakan sesuatu (applying), atau menganalisa dari yang mereka tahu
(analysing), atau mengevaluasi sesuatu dari yang mereka tahu (evaluating). Dari situ,
kita bisa mengerti bahwa tidak semua orang yang belajar bertahun-tahun
bisa mencipta (creating).

Meski begitu, keterampilan mencipta rupanya bisa ditumbuhkembangkan sejak dini.


Pakar-pakar kreatifitas seperti Ken Robinson, Tony Wagner, John Holt, dan Patrick
Farenga memberikan tip-tip berharga bagaimana cara mengembangkan kreatifitas
(daya cipta) anak sejak dini. Silahkan baca buku-bukunya.
Penjajah yang Mencipta Ilmu

Edward W. Said dalam bukunya Orientalism (1978) menceritakan bagaimana


penjajah Barat mencipta ilmu-ilmu baru demi tujuan suksesnya penjajahan. Mereka
membuat ilmu mengenai negeri-negeri Timur sembari mereka menjajah negeri-
negeri itu. Mereka pun mengirim ilmuwan-ilmuwan andalan mereka ke negeri-negeri
Timur. Antropolog disuruh mempelajari budaya setempat; sosiolog disuruh
mempelajari sistem sosialnya; sejarawan mempelajari sejarahnya; filolog mempelajari
bahasa-bahasa yang digunakan di dalamnya. Setelah semua penelitian selesai, maka
mulailah para ilmuwan penjajah itu memproduksi ilmu-ilmu baru tentang Timur.
Lahirlah Sosiologi Negeri Timur, Antropologi Negeri Timur, Sejarah Negeri Timur,
Etnografi Negeri Timur, Ilmu Bahasa Negeri Timur, dan lain-lain (dalam buku Said,
semua ilmu-ilmu baru itu disebut Orientalisme).

Ingat! Mereka memproduksi ilmu-ilmu baru tersebut untuk melanggengkan


penjajahan mereka atas negeri-negeri Timur. Lewat ilmu-ilmu baru ciptaan mereka,
mereka memanipulasi budaya setempat, menyelewengkan sistem sosial negeri
jajahan, melacurkan sejarahnya, memperalat bahasanya; semua dibuat agar
penduduk jajahan merasa inferior, lemah, kolot, barbar, jijik, dan akhirnya membenci
budaya mereka sendiri. Jika penduduk negeri jajahan sudah dilemahkan secara
kultural, maka sungguh mudahlah bagi penjajah itu untuk masuk ke dalam otak dan
hati sanubari si terjajah. Mereka masuk ke otak si terjajah lewat sekolah-sekolah yang
sengaja penjajah bangun di negeri jajahan; mereka masuk ke hati si terjajah lewat
gereja-gereja Katolik-Protestan yang mereka bangun. Dan penjajahan pun akhirnya
dirasa si terjajah bukan sebagai tindakan paling jahat bagi kemanusiaan, tapi sebagai
program pendidikan, pencerdasan, pembangunan, dan pemeradaban penduduk
yang belum beradab (civilizing the savage people), bahkan kedatangan penjajah pun
akhirnya dipahami si terjajah sebagai berkah dan kasih Tuhan. Gile bener!

Apakah Indonesia pernah mengalami hal serupa? Tentu saja! Kita pernah dijajah oleh
Portugis, Spanyol, Belanda, dan Inggris, khan? Syed Hussein Alatas menceritakannya
dalam buku berjudul amat panjang, The Myth of the Lazy Native: A Study of the
Image of the Malays, Filipinos and Javanese from the 16th to the 20th Century and its
Function in the Ideology of Colonial Capitalism (1977). Terjemahan judulnya: Mitos
Pribumi Malas: Suatu Penelitian tentang Citra Penduduk Malaysia, Penduduk Filipina
dan Penduduk Jawa dari Abad 16 hingga Abad 20 dan Fungsinya dalam Ideologi
Kapitalisme Negeri Jajahan. Hampir serupa dengan studi Edward W. Said, studi Syed
Hussein Alatas menjelaskan bagaimana penjajah Portugis, Spanyol, Belanda dan
Inggris menciptakan ilmu-ilmu baru mengenai jajahan-jajahan mereka di Asia
Tenggara. Mereka mengirim sosiolog, antropolog, sejarawan, dan filolog mereka
untuk menguasai ilmu-ilmu setempat, kemudian memanipulasinya,
menyelewengkannya, mengubahnya, dan akhirnya menciptakan ilmu-ilmu baru (di
Indonesia, ilmu-ilmu baru itu disebut Indologie—‘ilmu-ilmu tentang Hindia-Belanda’)
untuk tujuan melanggengkan penjajahan mereka di Indonesia. Lewat Indologie tadi,
para ilmuwan penjajah pun menyebarkan paham bahwa orang Indonesia adalah
orang barbar yang mesti diperadabkan lewat sekolah dan gereja mereka. Lewat
Indologie pula mereka mengkerdilkan harga diri orang Indonesia, memperendah
martabat orang Indonesia, dan memperbodoh-bodohi orang Indonesia, serta
‘mempermalas’ (= membuat kesan bahwa orang Indonesia malas bekerja) mereka.
Apakah mereka berhasil mengelabui orang Indonesia dengan Indologie tadi?
Berhasil sekali! Karena mereka berhasil menciptakan imaji buruk dan citra negatif
atas orang Indonesia, maka orang Indonesia pun mulai membenci budaya mereka
sendiri, lalu berbondong-bondong masuk Scoola (Sekolah Belanda), seperti H.I.S,
STOVIA, A.M.S, H.B.S, dan lain-lain. Di dalam sekolah-sekolah itu diajarilah ilmu-ilmu
yang sudah berkembang di negeri Belanda, seperti Ilmu Botani (ingat Kebun Raya
Bogor, khan?), Ilmu Astronomi (ingat Boscha di Bandung, khan?), Ilmu Biologi
Evolusionis (ingat Museum Gajah, khan?), dan tentu saja Ilmu Ekonomi Kapitalistik
(ingat V.O.C., khan?), Ilmu Manajemen dan Administrasi Perkantoran (ingat kantor
Adviseur voor Inlandsche zaken, khan?), Ilmu Kedokteran (ingat RS Cipto
Mangunkusumo di Jakarta, khan?), Ilmu Hukum, dan lain-lain. Mereka pun
mendirikan universitas (Universitas Indonesia [UI] adalah ciptaan mereka!),
mendirikan kantor-kantor, mendirikan pabrik-pabrik (Unilever, tahu khan?), dan
tentu saja terus memproduksi ilmu-ilmu baru di tanah jajahan—semua untuk tujuan
mengekalkan penjajahan.

Dari dua cerita di atas, kita bisa refleksi: para penjajah saja menciptakan ilmu-ilmu
baru sambil asyik menjajah kita, masakan kita tidak mencipta ilmu-ilmu baru setelah
para penjajah itu pergi? Perlukah si penjajah itu kita panggil lagi untuk menjajah
negeri kita sekali lagi supaya produksi ilmu kita bangkit dan giat kembali? Mumpung
para penjajah sudah pergi, yuk mari kita ciptakan ilmu-ilmu baru untuk kepentingan
Indonesia sendiri, yang bisa memajukan Indonesia, yang bisa meningkatkan
martabat Indonesia, sehingga negeri-negeri lain tidak lagi memandang negeri
kita dengan sebelah mata; semata-mata sebagai negeri konsumen pemakai dan
penikmat segala ilmu-ilmu negeri lain—kalau justru bukan sebagai ‘jajahan
keilmuan’ (scientific colony) negeri-negeri lain!

Salah Asuhan

Dua budayawan kita, Darmanto Jatman dan Jakob Sumardjo, pernah mengeluhkan
hal yang sama: pendidikan kita sudah bersalah dan anak-didik kita salah asuhan.
Maksudnya gimana? Dalam bukunya Sekitar Masalah Kebudayaan (1986), Darmanto
Jatman mengeluhkan kebiasaan buruk kita yang selalu meniru-niru negara asing,
terutama di bidang kependidikan. Belanda punya Sekolah Teknik, kita lalu
mendirikan Sekolah Teknik yang 100% serupa dengan bikinan Belanda. John Dewey
di AS punya Experimental School, kita lalu mendirikan Lab School. Celakanya, hobi
meniru dan mengkopi bukan hanya dalam hal sekolah, tapi juga jurusan-jurusannya
dan ilmu-ilmunya. Di universitas Barat ada Jurusan Ekonomi, kita lalu mendirikan
juga Jurusan Ekonomi. Buku-bukunya juga diimpor dari Barat. Ilmu-ilmunya juga
pasti diimpor dari Barat. Jadi, sekolah-sekolah kita itu imporan dari Barat; Jurusan-
Jurusan kita juga imporan dari Barat; ilmu-ilmu kita pun imporan Barat. Apa akibat
dari impor keilmuan itu? Ilmu-ilmu itu tidak bisa diterapkan dalam kenyataan hidup
di Indonesia. Ilmu-ilmu itu jadi mubazir. Ilmu-ilmu itu jadi tidak applicable. Yang
paling parah, ilmu-ilmu imporan itu tabrakan keras dengan kenyataan budaya kita.
Masa iya? Coba perhatikan: Ilmu Ekonomi Barat dan Ilmu Manajemen Barat
menyuruh kita berkompetisi, sementara kita punya budaya gotong-royong. Ilmu
Ekonomi Barat menyuruh kita mengeruk keuntungan sebanyak-banyaknya,
sementara kita punya konsep welas asih. Ilmu Manajemen Barat menyuruh kita
mengevaluasi dan berinovasi, sementara kita punya budaya ewuh-pakewuh. Ilmu
Manajemen Barat menyuruh kita profesional dan dingin-kalkulasi, sedangkan kita
punya budaya kasihan. Ilmu Ekonomi Barat menyuruh kita terus mengejar profit
sebesar-besarnya dan mengakumulasi kekayaan, sementara kita punya budaya
untung (Untung kita masih begini… Untung kita masih punya ini…). Kalau kita
terapkan semua ajaran ilmu-ilmu Barat itu, artinya kita harus mencopot budaya kita
dan mengubahnya jadi budaya Barat. Wah! Kalau itu terjadi, semua budaya lokal asli
kita hilang semua, seiring dengan penerapan semua ajaran ilmu-ilmu Barat itu. Maka,
kita tidak akan menemukan lagi kekhasan budaya kita; budaya di sini akan sama
dengan budaya di sana di Barat. Maka, penjajahan kebudayaan pun terjadi. Itulah
kesalahan paling parah yang telah dilakukan pendidikan kita!

Jakob Sumardjo, dalam bukunya Mencari Sukma Indonesia (2003), juga mengeluh
bahwa anak-didik kita salah asuhan. Mereka salah asuhan karena mereka masuk ke
sekolah (TK, SD, SMP, SMA, Perguruan Tinggi), sementara sekolah itu didirikan tanpa
mengindahkan budaya setempat. Jelasnya begini: manusia Indonesia itu terbagi jadi
3 kategori habitatnya. Ada ‘manusia ladang’, ‘manusia sawah’, dan ‘manusia laut’.
Berdasarkan habitatnya pula, budaya manusia Indonesia terbagi jadi 3 kategori
budaya. Ada ‘budaya laut’, ‘budaya sawah’, dan ‘budaya ladang’. Idealnya, menurut
Jakob, ‘manusia ladang’ yang lahir dalam ‘budaya ladang’ memasuki sekolah yang
bisa memajukan peradaban perladangan, sementara ‘manusia laut’ dalam ‘budaya
laut’ memasuki sekolah yang bisa memajukan peradaban kelautan. Juga, ‘manusia
sawah’ dalam ‘budaya sawah’ semestinya memasuki sekolah yang bisa memajukan
peradaban persawahan. Dengan kata lain, semestinya sekolah-sekolah itu harus
dibagi 3 kategori berdasarkan habitat dan budaya. Ada ‘sekolah ladang’, ‘sekolah
sawah’ dan ‘sekolah laut’. ‘Manusia sawah’ dari ‘budaya sawah’ harusnya memasuki
‘sekolah sawah’. Tapi kenyataannya tidak begitu. Anak-didik dari ‘budaya sawah’
malah belajar di ‘sekolah ladang’; anak-didik dari ‘budaya laut’ malah masuk ‘sekolah
sawah’. Akibatnya, terjadilah salah asuhan. Salah asuhan yang paling parah ialah
‘manusia sawah’ dari ‘budaya sawah’ malah belajar teknologi pesawat ulang-alik dan
rekayasa genetis (genetic engineering) di sekolah Amerika!

Salah asuhan semacam ini sering terjadi di sekitar kita. Saya punya teman dari
Magelang. Kakeknya, bapaknya, pamannya petani (jadi, dia ‘manusia sawah’ dari
‘budaya sawah’). Dia merantau ke Jakarta, belajar di Jurusan Teknik Arsitektur. Selesai
kuliah, dia pulang kampung. Di kampung, ia luntang-lantung. Mau menggarap
sawah, dia gak bisa bertani; mau bisnis Real Estate, dia bingung. Kemana-mana yang
dia lihat cuma sawah dan sawah dan sawah. Tak betah di kampung, ia balik lagi ke
Jakarta. Ia bekerja dengan gaji lumayan, punya 1 istri baik, punya 3 anak. Bekerja
sebagai apa? Sebagai agen asuransi! Semestinya ia memilih Jurusan Teknik Pertanian
atau Teknologi Pertanian, belajar segala ilmu-ilmu pertanian, menguasainya,
membuat inovasi pertanian, membuat ilmu baru di bidang pertanian. Jadi, begitu dia
pulang kampung, dia bisa membuat satu bisnis pertanian dengan menggunakan
ilmu-ilmu pertanian yang dipelajarinya. Dia bisa sukses sebagai petani modern;
menggunakan teknologi pertanian untuk menyulap pertanian tradisional jadi
pertanian modern di kampungnya. Kampungnya pun bukan lagi kampung
tradisional, tapi jadi kampung modern, karena penerapan teknologi dan inovasi
teknologi pertanian yang dia lakukan.

Dari dua budayawan tadi, kita bisa refleksi: kita harus segera menyetop kebiasaan
buruk kita yang suka mengkopi ilmu-ilmu negeri lain tanpa memperhatikan budaya
lokal kita. Mari kita bikin ilmu-ilmu baru yang sesuai dengan iklim tropis kita, yang
sesuai dengan latar budaya kita, yang sesuai dengan kebutuhan riel kita saat ini,
kebutuhan riel masyarakat kita sendiri; ilmu-ilmu yang sungguh-sungguh menjawab
kebutuhan kita yang riel sekarang ini; ilmu-ilmu yang menjawab soal-soal riel
nasional kita detik ini. Saya ingat dengan kasus vaksin palsu yang tersebar di rumah
sakit-rumah sakit kita yang belakangan ini terjadi. Ratusan anak-anak kecil innocent
diberi vaksin palsu oleh oknum-oknum rumah sakit yang tak berhati dan tak berotak,
yang lebih memikirkan keuntungan finansial sesaat daripada akibat jangka panjang
vaksin palsu tersebut terhadap kesehatan bayi-bayi mungil-imut kita. Soal itu butuh
pemecahan dari ilmu-ilmu baru; bukannya ilmu-ilmu kuno. Ilmu apa yang diperlukan
untuk pemecahan soal nasional yang riel itu? Ilmu-ilmu baru itu bisa saja disebut
Ilmu Kriminologi Farmasi, Ilmu Sosiologi Farmasi, Ilmu Kriminologi Medis, Ilmu
Politik Medis, Ilmu Antropologi Medis, Ilmu Psikologi Kedokteran, Ilmu Psikologi
Farmasi, Ilmu Politik Farmasi, Ilmu Verifikasi Vaksin, Ilmu Kritik Vaksin, Ilmu
Otentifikasi Vaksin, Ilmu Vaksinologi Kritis, dan ilmu-ilmu baru lainnya (Silahkan
pembaca tambah seribu lagi ).

Marc Chun, seorang pakar Deeper Learning, menegaskan bahwa di abad 21, soal-
soal abad 21 hanya bisa diselesaikan oleh ilmu-ilmu baru khas abad 21; bukannya
ilmu-ilmu kuno abad 20, apalagi ilmu-ilmu abad 19! Apa saja ilmu-ilmu baru abad 21
yang bisa kita buat? Marc Chun menulis satu daftar ilmu-ilmu baru yang wajib
dikembangkan untuk kesuksesan karir di abad 21: Blogging, Content Management,
Patient Advocacy, Social Media Strategy, User Experience Analysis, Video Journalism,
Online Advertising Management, Search Engine Optimization, dan Ilmu Sustainability
Management. Keren yah!

Islamisasi yang Gagal

Di tahun 1982, Ismail Raji al-Faruqi, cendekiawan Muslim Palestina-Amerika, menulis


buku The Islamization of Knowledge; isinya mengajak kaum Muslim mengkritisi
semua ilmu-ilmu Barat yang mulai masuk, dipelajari, dikuasai, dan dilestarikan dalam
lembaga-lembaga pendidikan di negeri-negeri berpenduduk mayoritas Muslim.
Kenapa harus dikritisi? Karena ilmu-ilmu Barat itu tidak bebas-nilai, tidak value-free,
100% obyektif murni, tapi malah mengandung nilai-nilai (value-laden), yakni nilai-
nilai Barat yang amat sekuler dan atheistik. Kalau ilmu-ilmu Barat yang kadung
dipelajari dan dikuasai kaum Muslim itu tidak segera di-islam-kan (Islamization),
maka muncullah generasi Muslim di negeri Muslim tapi di bawah sadarnya malah
menjunjung nilai-nilai sekuler Barat.

Gagasan beliau ditanggapi amat serius oleh semua otoritas Muslim. Ada yang pro;
tak sedikit yang kontra. Tapi karena gagasan beliau, muncullah ilmu-ilmu baru
made-in dan made-by umat Islam, semisal Ilmu Ekonomi Islam (Ilmu Ekonomi
Syari’ah), Ilmu Perbankan Islam (Ilmu Perbankan Syari’ah), Ilmu Manajemen Syari’ah,
Ilmu Psikologi Islam, Ilmu Antropologi Islam, Ilmu Epistemologi Islam, de-el-el.
Imbasnya malah memunculkan fenomena yang tidak kalah serunya: Salon Islami,
Kolam Renang Islami, bahkan Ojek Islami (Diskotik Islami, jugakah??).

Sayangnya, proyek mega-raksasa Islamisasi Ilmu tersebut lebih merupakan tren


tahun 1990an daripada program mondial umat Islam yang riel dan berkelanjutan. Di
tahun 2016an ini sudah tidak terdengar lagi produksi ilmu-ilmu baru hasil islamisasi
ini. Everything, then, turns normal as always. Segalanya pun berjalan seperti biasa
kembali. Ilmu-ilmu produksi Barat terus diimpor di dunia Islam. Yang sudah
diislamkan, tetap hidup (seperti Ilmu Perbankan Syari’ah), tapi ilmu-ilmu Barat baru
yang belum sempat diislamkan (mungkin karena umat Islam sudah sibuk cari posisi
di partai politik lokalnya), terus diimpor, terus dipelajari, terus dikuasai. Tak ada kritik.
Tak ada keluhan. Sudah ‘lâ ba’tsa!’. Sudah dianggap tak berbahaya!

Lagipula, semua buku-buku (baca, ilmu-ilmu) di kebanyakan (tepatnya mungkin,


semua) SDIT, SMPIT, SMAIT, di Universitas Islam, yang sempat saya teliti dan survei,
tetap saja buku-buku Barat yang berisi ilmu-ilmu Barat. Kalau pun ada, paling banter
di kover depannya diberi kaligrafi indah bertulisan ‘Bismillah’ dan di kover
belakangnya ‘Alhamdulillah’, tapi isinya ya itu-itu juga: ilmu-ilmu Barat yang sudah
tidak sempat diislamkan. Wajar saja kalau ada yang mencari nafkah sebagai ustadz
atau kyai; Wong yang dia baca buku Ekonomi Kapitalis dan yang dia kuasai Ilmu
Ekonomi Kapitalis! Kalau kyai dan ustadz itu sejenis profesi, maka semua keturunan
Muhammad SAW seharusnya dapat royalty bulanan dari copyright hadits dan ayat
yang mereka pakai dalam semua ceramah mereka. Iyya dong! Coba baca lagi deh
Undang-Undang HAKI, yang memang terinspirasi dari Kapitalisme Global!

Semestinya, yang dilakukan bukan hanya islamisasi ilmu, tapi produksi ilmu-ilmu
baru. Daripada sekedar mengislamkan Ilmu Ekonomi Kapitalis Barat, mengapa kita
tidak membuat saja seribu satu ilmu baru yang riel menjawab seribu-satu tantangan
dan soal kontemporer kita detik ini? Soal-soal umat Islam kontemporer
membutuhkan ilmu-ilmu yang juga kontemporer. Banyak umat Islam di Indonesia
yang masih miskin, ayo coba buat ‘Fiqih Mengentaskan Kemiskinan’. Banyak umat
Islam Indonesia yang korupsi, ayo coba buat ‘Tafsir Menghapus Korupsi’. Banyak
anak Muslim kita yang menjadi korban pelecehan seksual di pesantren-pesantren
(ironis, bukan?), ayo coba buat ‘Tasawuf Membebaskan Pelecehan Seksual’. Terlalu
banyak pedagang Muslim tapi berkelakuan kafir (seperti pedagang Bakso Borax
Segunung, pedagang kue-kue basah beracun, de-el-el), ayo coba bikin ‘Fiqih
Menghapus Kelakuan Kafir dalam Perdagangan Muslim’. Terlalu banyak pemimpin
politik Muslim tapi berakhlak kafir (seperti politisi partai Muslim yang ikutan korupsi,
ikutan berzina dengan PSK cantik, ikutan nonton pertunjukan belly dance,
menghabiskan uang rakyat untuk hedonisme, de-el-el), ayo coba buat ‘Fiqih
Menghapus Kelakuan Kafir dalam Politik Islam’. Itu lebih berdayaguna nyata daripada
sekadar menempelkan ayat-ayat dan hadits-hadits dalam semua baris halamannya,
tapi kandungan inti bukunya tetap berisi ajaran-ajaran dari Ilmu Ekonomi Kapitalis!
Cara-Cara Membuat Ilmu Baru

Ada banyak cara mencipta ilmu-ilmu baru, tapi di ruang dan waktu yang sesak-
sempit ini, ijinkan saya menyebut beberapa cara saja (selebihnya bisa pembaca
dapatkan dalam ‘Training Motivasi Mencipta 1001 Ilmu Baru, Mencetak 1001 Profesor
Baru’, pastinya!).

Cara pertama ialah unifikasi atau menyatukan dua ilmu yang sudah ada sehingga
menjadi satu ilmu baru. Contohnya banyak sekali, semisal Ilmu Zoologi digabung
dengan Ilmu Geografi, sehingga jadi ilmu baru Zoogeografi. Ilmu Politik digabung
dengan Ilmu Ekonomi, sehingga jadi Ilmu Politik Ekonomi atau Ilmu Ekonomi Politik.
Ilmu Linguistik digabung dengan Ilmu Neurologi, sehingga jadi Ilmu Neurolinguistik.
Ilmu Neurologi digabung dengan Ilmu Ekonomi, sehingga jadi Ilmu Neuroekonomi.
Begitulah seterusnya.

Cara kedua ialah adaptasi. Maksudnya, mengadaptasi ilmu yang sudah ada
sebelumnya dengan mengubah subyek-materia nya dengan subyek-materia yang
baru. Misalnya, Ilmu Sosiologi kan sudah ada, tapi kita ganti subyek-materia nya
dengan Agama, sehingga melahirkan ilmu baru Sosiologi Agama. Ilmu Antropologi
kan sudah ada, maka kita ganti saja subyek-materia nya jadi Agama, sehingga
melahirkan ilmu baru Antropologi Agama. Ilmu Ekonomi kan sudah ada, maka
tinggal diganti subyek-materia nya dengan Pembangunan, maka lahirlah Ekonomi
Pembangunan. Ilmu Matematika diubah subyek-materia nya dengan Kebahagiaan,
maka lahirlah ilmu baru Matematika Kebahagiaan. Begitu seterusnya.

Cara ketiga ialah dialektika. Maksudnya, satu ilmu baru lahir dan tercipta karena
perbenturan satu ilmu lama yang sudah mapan (thesis) dengan satu lagi ilmu lama
yang menentangnya (antithesis). Misalnya, Ilmu Ekonomi Kapitalis yang mapan
(thesis) dilawan dan ditantang kebenarannya oleh Ilmu Ekonomi Sosialis (antithesis),
sehingga melahirkan ilmu baru Ekonomi Campuran (Mixed Economics) atau di
Indonesia, lahirlah Ilmu Ekonomi Pancasila (a tribute to Mubyarto!) atau Ekonomi
Sosialis Pancasila (thanks toAbdul Haris Nasution!).

Cara keempat ialah dengan re-packaging. Membungkus dengan bungkus baru, tapi
isinya kurang lebih sama. Misalnya, Muslim tradisional punya Fiqih Perdagangan
(Fiqh al-Tijârah), tapi Muslim modern membungkusnya dengan bungkus baru, jadi
disebut ‘Ilmu Ekonomi Islam’ atau ‘Ilmu Ekonomi Syari’ah’. Orang Muslim dulu punya
Fiqih Politik (Fiqh al-Siyâsah), tapi Muslim modern membungkusnya dengan bungkus
baru, jadi disebut “Ilmu Politik Islam’ atau ‘Ilmu Politik Syari’ah’. Begitu seterusnya.

Cara kelima ialah dengan cara creatio ex nihilo. Apa tuh maksudnya? Well, mengenai
cara kelima, cara keenam, dan seterusnya saya tidak akan menjelaskannya di sini.
Saya sengaja biarkan pembaca penasaran dan bertanya-tanya. Saya persilahkan
pembaca hubungi nomor kontak saya untuk booking dalam ‘Training Motivasi
Mencipta 1001 Ilmu Baru’ (promosi nih ye…).
Internet yang Revolusioner

Sudah saatnya kita stop konservatifisme keilmuan. Ilmu-ilmu lama yang sudah
kadaluarsa dan sudah tidak relevan dengan situasi abad 21 ini sudah semestinya
dienyahkan dan dibuang dari sekolah-sekolah kita, lalu diganti dengan ilmu-ilmu
baru yang lebih relevan dan lebih updated.

Jika sekolah adalah jalan utama untuk mencetak para profesor ilmu baru, maka
sudah saatnyalah kita bangun sekolah yang memang bervisi-misi mencipta ilmu
baru—suatu ‘Sekolah Cipta Ilmu’—di mana siswa-siswanya sedini mungkin diajari
berkreasi dan berkreasi, diberitahu bagaimana meningkatkan kreatifitas, termasuk
kreatifitas mencipta ilmu baru. ‘Sekolah Cipta Ilmu’ ini, jika berhasil, sungguh akan
mampu mencetak 1001 profesor baru yang mumpuni dalam masing-masing bidang
kepakarannya.

Sudah saatnya kita berhenti jadi konsumen ilmu-ilmu negeri lain. Sudah saatnya pula
kita berhenti jadi ‘jajahan keilmuan’ negeri lain. Sudah saatnya kita memproduksi
ilmu-ilmu sendiri, yang kelak kita impor ke negeri-negeri lainnya.

Sudah saatnya kita menghentikan kebiasaan meniru, mengekor, dan menjiplak ilmu-
ilmu Barat, dengan tanpa memperhatikan dan mengindahkan budaya setempat dan
kearifan lokal kita sendiri.

Sudah saatnya kita mencipta ilmu-ilmu baru demi menjawab tantangan dan soal-
soal kontemporer yang riel terjadi di depan mata kita, karena kehidupan kian lama
kian kompleks, sehingga membutuhkan ilmuwan-ilmuwan baru, profesor-profesor
baru, pakar-pakar baru, untuk memberikan solusi atas segala masalah-masalah baru
yang timbul.

Sudah saatnya umat beragama di Indonesia (baik Muslim, Kristiani, Buddhist, Hindu,
dan Konghucu) menghentikan konsumsi mereka akan ilmu-ilmu imporan Barat yang
sudah nyata-nyatanya bertolak belakang dengan ajaran-ajaran relijius mereka,
karena rupa-rupanya ilmu-ilmu dari Barat itu tidak value-free tapi value-laden,
mengandung ajaran atheistik dan sekuler. Sudah saatnya mereka membuat ilmu-
ilmu baru berlandaskan ajaran-ajaran relijius yang menjawab soal-soal keumatan
yang kontemporer; bukannya islamisasi ilmu, kristenisasi ilmu, budhisasi ilmu,
hinduisasi ilmu, bahkan konghucuisasi ilmu yang dilakukan setengah-hati dan
malas-malasan. Soal-soal keumatan kontemporer kian hari kian kompleks, yang
membutuhkan solusi dari ilmu-ilmu baru hasil kreatifitas umat itu sendiri.

Kalau birokrasi keilmuan konvensional kita tidak bisa mendukung program ‘mencipta
ilmu-ilmu baru’ yang kita anjurkan ini. Maka, kita pun mesti membuat satu birokrasi
keilmuan revolusioner baru yang memungkinkan proses penciptaan ilmu-ilmu baru
sukses dibuat. Dengan bantuan teknologi informasi/komunikasi mutakhir, maka
birokrasi baru tersebut mungkin dibuat. Dulu, penulis artikel Encyclopaedia
Britannica mestilah seorang profesor tua kawakan dan berpengalaman dan
berjabatan akademis yang harus wow. Dia harus rajin ke perpustakaan, berkutat
dengan buku-buku tebal berdebu dan ber-rayap, demi pengakuan akan ke-guru-
besar-an artikel yang ditulisnya, sehingga artikelnya memiliki otoritas absolut penuh
yang tak bisa lagi dipertanyakan. Tapi kini, zaman kuno—zaman feodalisme ilmu—
itu sudah berlalu. Di zaman Internet, di mana fungsi perpustakaan fisikal digeser
jauh-jauh dari perpustakaan dijital (semisal Google Search); di mana artikel
ensiklopedia bisa ditulis secara kolaboratif oleh berpuluh-puluh profesor muda
kritis dari Generasi Y dan Generasi Z yang sedang online di waktu real time (seperti
Wikipedia); di mana mereka bebas berdebat dan saling mengritisi satu sama lain; di
mana kemutlakan otoritas satu artikel bisa dipertanyakan oleh profesor sedunia yang
lagi online; di mana topik-topik tabu yang dianggap ‘sampah intelektual’ justru
malah diterima jika sidang editor menerimanya; di mana kebekuan dan kekakuan
birokrasi keilmuan malah jadi cair dan solvent; maka, proses penciptaan ilmu-ilmu
baru benar-benar mungkin dilakukan.

Intinya begini: di zaman Internet berkuasa, kita tidak perlu memakan waktu belajar
bertahun-tahun; kita tidak perlu memakan biaya belajar bermilyar-milyar; kita tidak
perlu pula menulis skripsi, lalu tesis, lalu disertasi, hanya untuk mendapat titel
keprofesoran. Sekarang ada jalan pintas atau ada shortcut untuk mendapatkan gelar
keprofesoran dengan mudah dan murah. Untuk menjadi profesor baru di zaman
Internet, kita cukup membuat ilmu baru, melakukan riset komplit, menulis satu karya
serius dan dalam mengenainya, mengunggahnya, lalu membiarkan pembaca di
seluruh dunia mengunduhnya. Jika seribu orang mengunduh buku kita, itu pertanda
buku kita sangat otoritatif, dan gelar profesor pun layak kita dapat. Tidak perlu acara
seremonial konvensional yang mubazir. Cukup 1000 likes dengan tanda jempol
seperti ini: . Bisakah profesor-profesor tua-botak-tumpul-beku-diabetes dalam
sistem birokrasi keilmuan konvensional menghalangi perkembangan keilmuan yang
amat revolusioner ini? Tentu saja tidak; Wong mereka digital dinosaurs! Kirim SMS
saja mereka masih minta diketikin sama cucu . Selamat mencipta ilmu-ilmu baru
dan menjadi profesor-profesor baru di alam Internet detik ini juga!

Anda mungkin juga menyukai