Populisme Agraria dan Dinamika Agraria di Indonesia
Chayanov dalam dalam teorinya “Peasant Economy” menggambarkan petani sebagai
komunitas yang homogen dan egaliter dalam artian bahw tidak ada bentuk pengklasifikasian petani. Adapun model ekonomi yang mereka jalankan adalah subsisten yaitu sekedar memenuhi kebutuhan hidup semata. Disini Chayanov melihat pada pengamatannya atas realitas petani rusia di awal abad 20. Melihat tersebar luasnya pekerja anggota rumah tangga yang tidak dibayar dalam produksi pertanian. Chayanov beranggapan bahwa upa sebagai kategori penting ekonomi kapitalis tidak eksis di pertanian Rusia saat itu, sehingga kategori ekonomi kapitalis lain seperti sewa, bunga dan profit juga tidak esksis dalam produksi pertanian. Karena ekonomi mereka sebatas pada persoalan pemenuhan kebutuhan hidup semata, petani rusia tidak mendasarkan proses produksi mereka pada rasio kalkukasi untung-rugi (laba) sebagaimana dalam ekonomi kapitalis. Mereka mendasarkan kalkulasinya pada rasio pekerja-konsumen (labor-consumer ratio). Maksudnya rumah tangga petani akan menghitung produksi pertanian mereka berdasarkan jumlah pekerja (orang dewasa usia kerja) yang tersedia di rumah tangga dengan kebutuhan konsumen (pekerja ditambah tanggungannya : anak-anak dan orang tua yang sudah tidak bekerja) pada masing-masing unit rumah tangga mereka. Dalam kondisi normal, jika jumlah tenaga kerja dalam rumah tangga petani relatif setara dengan jumlah konsumen yang harus ditanggung (rasio ketergantungan rendah), maka tiap pekerja dari rumah tangga tersebut dapat bekerja secara wajar untuk sekedar memenuhi kebutuhan mereka. Mereka tidak memiliki intensif untuk memproduksi dalam jumlah yang lebih besar dari kebutuhan rumah tangganya karena untuk memproduksi lebih besar, tiap pekerja mesti menanggung beban kerja yang lebih besar. Dalam ungkapan chayanov, kondisi seperti itu hanya menjadikan pekerjaan menjadi sia-sia belaka. Namun, jika jumlah pekerja lebih kecil dari jumlah konsumen (rasio ketergantungan tinggi). Tiap pekerja mesti bekerja lebih keras untuk sekedar memenuhi kebutuhan rumah tangga mereka. Keadaan akan menjadi buruk jika terjadi kondisi krisis (bencana alam atau sosial). Dalam kondisi ini, rumah tangga petani akan dipaksa memaksimalkan tenaga kerja mereka (intensifikasi) yang dalam keadaan normal dapat dipenuhi tanpa melakukan intensifikasi pekerjaan. Demi tetap terpenuhinya kebutuhan rumah tangga mereka, pekerja dalam rumah tangga akan melakukan apa yang yang disebut Chayanov sebaga “self- exploitation”, dengan mengurangi jumlah asupan konsumsi atau dengan menambah beban kerja per tenaga kerja atau melakukan keduanya sekaligus. Dengan begitu, mereka juga dapat menghindari dari kehilangan tanah. Chayanov yang meyakini bahwa watak petani yang akan terus bersifat subsisten menjadi dasar dalam penggambaran petani sebgai suatu komunitas yang relatif homogen. Karena sifatnya yang homogeny petani juga digambarkan sebagai suatu komunitas yang bersifat egaliter dan menjunjung tinggi rasa solidaritas. Sehingga untuk menjaga watak tersebut serta melindungi mereka dari watak kapitalisme, maka dilakukanlah upaya Lamdreform atau reforma agrarian. Tentu saja pandangan Chayanov tersebut tak luput dari kritikan. Kritik atas pandangan Chayanov itu lahir dari kaum sosialis (Lenin) yang dimana mereka melihat petani sebagai komunitas yang telah mengalami difernsiasi kedalam beberapa kelas yaitu kelas petani pemodal, kelas buruh tani dan kelas petani independen (mandiri). Karena perbadaan pandangan tersebut melihat kaum petani sehingga melahirkan panagan yang berbeda dalam melihat agenda landreform. Chayaov yang dianggap mewakili kaum populisme menganggap agenda landreform sebagai suatu tujuan yang dalam artian sebatas untuk mengembalikan tanah petani yang telah dirampas oleh para kapital. Sedangkan dalam pandangan kaum sosialis menganggap bahwa agenda landreform hanya sebagai alat untuk agenda pembangungan selanjutnya (industrialisasi).
Agenda Landreform di Indonesia
Sejak berlakunya Agrarische Wet tahun 1870, Pemerintah Kolonial Belanda
mengeluarkan Ordonansi Staatblad 1823 Nomor 164 yang menyebutkan bahwa penyelenggaraan kadasteral diserahkan kepada lembaga yang diberi nama Kadasteral Dient. Perannya yang strategis membuat pejabatnya diangkat dan diberhentikan langsung oleh Gubernur Jenderal. Ketika masa penjajahan Belanda digantikan oleh Jepang pada 1942, tidak diadakan perombakan besar atas peraturan pertanahan. Kadasteral Dient, misalnya, masih tetap di bawah Departemen Kehakiman, hanya namanya diganti menjadi Jawatan Pendaftaran Tanah dan kantornya bernama Kantor Pendaftaran Tanah. Namun demikian, pada masa penjajahan Jepang dikeluarkan peraturan yang melarang pemindahan hak atas benda tetap/ tanah (Osamu Sierei Nomor 2 Tahun 1942). Penguasaan tanah partikelir juga dihapuskan oleh pemerintahan Dai Nippon. Pasca proklamasi kemerdekaan, sesuai dengan semangat membentuk negara baru yang merdeka, Pemerintah Republik Indonesia bertekad membenahi dan menyempurnakan pengelolaan pertanahan. Landasan hukum pertanahan yang masih menggunakan produk hukum warisan pemerintah Belanda mulai diganti. Melalui Departemen Dalam Negeri, pemerintah mempersiapkan landasan hukum pertanahan yang sesuai dengan UUD 1945. Pada 1948, berdasarkan Penetapan Presiden Nomor 16 Tahun 1948, Pemerintah membentuk Panitia Agraria Yogyakarta. Tiga tahun kemudian, terbit Keputusan Presiden Nomor 36 Tahun 1951, yang membentuk Panitia Agraria Jakarta, sekaligus membubarkan Panitia Agraria Yogyakarta. Pembentukan kedua Panitia Agraria itu sebagai upaya mempersiapkan lahirnya unifikasi hukum pertanahan yang sesuai dengan kepribadian Bangsa Indonesia. Selanjutnya, lewat Keputusan Presiden Nomor 55 Tahun 1955, Pemerintah membentuk Kementerian Agraria yang berdiri sendiri dan terpisah dari Departemen Dalam Negeri. Pada 1956, berdasarkan Keputusan Presiden Nomor 1 Tahun 1956 dibentuk Panitia Negara Urusan Agraria Yogyakarta yang sekaligus membubarkan Panitia Agraria Jakarta. Tugas Panitia Negara Urusan Agraria ini antara lain adalah mempersiapkan proses penyusunan Undang-Undang Pokok Agraria (UUPA). Pada 1 Juni 1957, Panitia Negara Urusan Agraria selesai menyusun rancangan UUPA. Pada saat yang sama, berdasarkan Keputusan Presiden Nomor 190 Tahun 1957, Jawatan Pendaftaran Tanah yang semula berada di Kementerian Kehakiman dialihkan ke Kementerian Agraria. Tahun 1958, berdasarkan Keputusan Presiden RI Nomor 97 Tahun 1958, Panitia Negara Urusan Agraria dibubarkan. Selanjutnya pada 24 April 1958, Rancangan Undang Undang Agraria Nasional diajukan ke Dewan Perwakilan Rakyat. Titik tolak reformasi hukum pertanahan nasional terjadi pada 24 September 1960. Pada hari itu, rancangan Undang-Undang Pokok Agraria disetujui dan disahkan menjadi Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960. Dengan berlakunya UUPA tersebut, untuk pertama kalinya pengaturan tanah di Indonesia menggunakan produk hukum nasional yang bersumber dari hukum adat. Dengan ini pula Agrarische Wet dinyatakan dicabut dan tidak berlaku. Tahun 1960 ini menandai berakhirnya dualisme hukum agraria di Indonesia. Pada 1964, meIalui Peraturan Menteri Agraria Nomor 1 Tahun 1964, ditetapkan tugas, susunan, dan pimpinan Departemen Agraria. Peraturan tersebut nantinya disempurnakan dengan Peraturan Menteri Agraria Nomor 1 Tahun 1965 yang mengurai tugas Departemen Agraria serta menambahkan Direktorat Transmigrasi dan Kehutanan ke dalam organisasi. Pada periode ini, terjadi penggabungan antara Kantor Inspeksi Agraria- Departemen Dalam Negeri, Direktorat Tata Bumi-Departemen Pertanian, Kantor Pendaftaran Tanah-Departemen Kehakiman. Semenjak diberlakukannya UUPA, sesungguhnya secara formal-yudiris ada keinginan kuat untuk memfungsikan hukum agrarian nasional sebagai ala untuk menciptakan kemakmuran, kebahagiaan dan keadilan bagi rakyat terutama rakyat tani, dalam rangka masyarakat adil dan makmur. Meskipun kekuatan-kekuatan politik parlemen telah mendapatkan konsesnsus mengenai UUPA, namun dalam pelaksanaan landreform menimbulkan keidakpuasan, terutama bagi mereka yang akan dikurangi hak-haknya dengan mereka yang diandaikan akan menerima hak-hak baru. Dari keseluruhan pengalaman Indonesia mengimplementasikan UUPA sepanjang 1960-1965 jelas sekali adanya hambatan nyata yang berasal dari dinamika empat faktor : 1) kelambanan praktek-praktek pemerintah melaksanakan Hak Menguasai dari Negara (HMN); 2) tuntunan dari organisasi massa petani yang ingin mendistribusikan tanah secara segera, sehingga menimbulkan gerakan “aksi sepihak”; 3) adanya unsur-unsur anti-landreform yang melakukan mobilisasi kekuatan tanding dan siasat mengelak bahkan menggagalkan landreform yang sebenranya data dinilai juga sebgai gerakan aksi sepihak; dan 4) terlibatnya kekerasan antara unsur pro-landform dengan unsur anti-landreform yang beresonansi dengan konflik kekerasan pada tingkat elit. Pengalaman implementasi UUPA yang diwarnai oleh kekerasan politik menjadi mimpi buruk dan puncak pergolakan politik yang berakhir dengan tumbangnya rezim orde lama dan korban manusia yang luar biasa. Kejadian ini menjadi alas an pembenar penguasa politik baru memanfaatkan trauma itu untuk membalikkan hasil landreform dan untuk selanjutnya trauma ini di produksi terus menerus oleh rezim orde baru. Nasib implementasi UUPA yang memandatkan pembaruan agraria menjadi kandas ketika pemegang kekuasaan Negara berubah sama sekali. sejak awal, terdapat kesepakatan atau konsensus diantara para pendukung orde baru tentang perlunya stabilisasi, rehabilitasi dan pembangungan ekonomi model kapitalis. Koalisi orde baru menolak apayang disebut dengan sosialisme ala Indonesia yang akan mengubah struktur sosial-ekonomi secara radikal.