Anda di halaman 1dari 38

LAPORAN KASUS CHF

Pembimbing :

dr. H. Ahmad Fariz Malvi Zamzam Zein, Sp.PD

Disusun oleh:
Annida Putri Maharani 114170003
Elgin Dinda Agustin 114170018

SMF ILMU PENYAKIT DALAM


FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS SWADAYA
GUNUNG JATI
RSUD WALED – CIREBON
2019

1
KATA PENGANTAR

Puji dan syukur kami panjatkan ke hadirat Allah SWT, karena atas berkah

dan rakhmat-Nya kami dapat menyelesaikan tugas laporan kasus ini. Penulisan

laporan kasus ini dilakukan dalam rangka memenuhi salah satu tugas Pendidikan

Profesi Dokter di Rumah Sakit Umum Daerah Waled Kabupaten Cirebon. Kami

menyadari sangatlah sulit bagi saya untuk menyelesaikan laporan kasus ini tanpa

bantuan dan bimbingan dari berbagai pihak sejak penyusunan sampai dengan

terselesaikanya hasil laporan kasus ini. Bersama ini kami menyampaikan terimakasih

yang sebesar-besarnya kepada:

1. dr. Taufik M Waly, Sp. PD selaku SMF bagian Ilmu Penyakit Dalam yang

telah memberikan kesempatan kepada kami menyusun laporan kasus ini.

2. dr. Mohamad Luthfi, Sp.PD-KHOM, FINASIM, MMRS selaku pembimbing yang


telah menyediakan waktu, tenaga dan pikiran untuk membimbing kami dalam
laporan kasus ini.
3. dr. H. Ahmad Fariz Malvi Zamzam Zein, Sp.PD selaku pembimbing yang telah
menyediakan waktu, tenaga dan pikiran untuk membimbing kami dalam laporan
kasus ini.

Akhir kata, kami berharap Allah SWT berkenan membalas segala kebaikan

semua pihak yang telah membantu. Semoga laporan kasus ini bermanfaat bagi kita

semua.

Cirebon, November 2019

Penulis

2
LEMBAR PENGESAHAN

LAPORAN KASUS

Diajukan untuk memenuhi tugas Kepanitraan Klinik Ilmu Penyakit Dalam RSUD
Waled Kabupaten Cirebon

Telah disetujui

Pada tanggal: November 2019

Disusun oleh:

Annida Putri Maharani 114170003

Elgin Dinda Agustin 114170018

Cirebon, Oktober 2019

Dosen Pembimbing

dr. H. Ahmad Fariz Malvi Zamzam Zein, Sp.PD

3
LAPORAN KASUS

I. Identitas
Nama : Tn. S
Jenis kelamin : Laki - Laki
Usia : 60 tahun
Alamat : Cibogo Waled, Cirebon
Pekerjaan : Wiraswasta
Status perkawinan : Menikah
Agama : Islam
Pendidikan Terakhir : SD
MRS : 28 Oktober 2019

II. Anamesis
Keluhan Utama :
Bengkak pada kedua tungkai memberat sejak 1 hari SMRS

Riwayat Penyakit Sekarang :


Pasien datang ke IGD Umum RSUD Waled dengan keluhan bengkak pada
kedua tungkai, keluhan dirasakan sejak 10 hari SMRS, bengkak dirasakan terus
menerus dan memberat 1 hari SMRS disertai nyeri pada kaki sehingga pasien sulit
untuk berjalan. Keluhan disertai dengan sesak, dirasakan terus menerus, tidak
dipengaruhi oleh perubahan cuaca atau debu, memberat pada malam hari ketika
pasien tidur sehingga harus menggunakan 2-3 bantal saat tidur. Pasien mudah
lelah pada saat aktivitas, seperti menyapu dan membersihkan ruangan. Keluhan
dada berdebar baru dirasakan pasien 1 hari SMRS, tidak ada nyeri dada, mual
muntah (-), keringat dingin (-). BAK dan BAB tidak ada keluhan.

Riwayat Penyakit Dahulu


- Riwayat keluhan yang sama disangkal
- Riwayat hipertensi disangkal
- Riwayat diabetes mellitus disangkal
- Riwayat Stroke disangkal

4
- Riwayat penyakit jantung disangkal
- Riwayat pengobatan paru-paru disangkal
- Riwayat alergi obat dan makanan disangkal

Riwayat Keluarga
- Riwayat hipertensi disangkal
- Riwayat penyakit jantung disangkal
- Riiwayat diabetes mellitus disangkal

Riwayat Pribadi dan Sosial


- Riwayat merokok sejak usia 16 tahun, sehari 1 bungkus.
- Riwayat alcohol disangkal

III. Pemeriksaan Fisik


- Keadaan umum : Tampak Sakit Sedang
- Kesadaran : Compos Mentis
- Tekanan Darah : 130/80 Mmhg
- Nadi : 104 Kali Per Menit, Ireguler, Cukup
- Pernafasan : 24 Kali Per Menit, cepat dan dalam
- Suhu : 36,7o C infrared

Status Internus
Kepala
Mata : Konjungtiva Pucat (-/-), Sklera ikterik (-/-)
Hidung : pernafasan cuping hidung (-)
Mulut : Sianosis (-)
Leher : peningkatan JVP (-), limfadenopati (-), Pembesaran kelenjar getah
bening (-)
Thorax
Pulmo:
Inspeksi : Simetris kiri dan kanan, retraksi (-)
Palpasi : Massa tumor (-), nyeri tekan (-), vocal fremitus simetris
kesan normal

5
Perkusi : Sonor kiri = kanan
Batas paru-hepar : ICS V dekstra
Batas paru belakang kanan : CV Th. VIII dekstra
Batas paru belakang kiri : CV Th. IX sinistra
Auskultasi : Bunyi napas vesikuler, ronkhi -/-, wheezing -/-
Jantung:
Inspeksi : Ictus cordis tak tampak
Palpasi : Ictus cordis teraba
Perkusi :
Batas jantung atas : ICS II Linea parasternalis sinistra
Batas jantung kanan : ICS IV Linea parasternalis dextra
Batas jantung kiri : ICS V Linea aksilaris anterior sinistra
Auskultasi : S1 = S2 reguler murni, murmur (-), gallop (-)

Abdomen
Inspeksi : datar
Auskultasi : Peristaltik (+) kesan normal
Perkusi : Timpani (+) Ascites (-)
Palpasi : Massa tumor (-), nyeri tekan (-),
Ekstremitas
Ekstremitas atas : gerakan bebas, edema (-), jaringan parut (-), pigmentasi
normal, telapak tangan pucat (-), jari tabuh (-), turgor kembali lambat (-)
Ekstremitas bawah: gerakan bebas, jaringan parut (-), pigmentasi normal,
telapak kaki pucat (-), jari tabuh (-), turgor kembali lambat (-), edema pretibial
(+) kanan dan kiri.

IV. Resume
Seorang laki-laki dating dengan keluhan edema pretibial bilateral,
memberat 1 hari SMRS disertai nyeri pada ekstremitas inferior (+), dyspneu (+),
fatique (+), palpitasi (+).
Pada pemeriksaan fisik didapatkan, Nadi 104 Kali Per Menit, Ireguler,
Cukup, Pernafasan 24 Kali Per Menit. Pada perkusi didapatkan batas cor sinistra
di ICS V Linea aksilaris anterior sinistra, edema pretibial bilateral (+).

6
V. Diagnosis Banding
 CHF NYHA III
 Efusi pleura sinistra
 AKI

VI. Pemeriksaan penunjang


A. Darah rutin
28 Oktober 2019

Hb 11,3 gr%
Ht 33 %
Trombo 435 mm3
Leukosit 9,8 / mm3
MCV 87,5 mikro m3
MCH 29,9 pg
MCHC 34,2 g/dl
Eritrosit 3.77 mm3
Basofil 0
Eosinofil 3
Neutrofil Segmen 71
Neutrofil Batang 0
Limfosit% 13
Monosit% 13
GDS stick 1 88

Na 133,9 mg/dl
K 4,01mg/dl
Cl 95,0 mg/dl
Ureum 55,7 mg/dl
Kreatinin 1,62 mg/dl
SGOT 47,1 mg/dl
SGPT 50,8 mg/dl
B. Urin Lengkap
29 Oktober 2019
Urin Lengkap Hasil
Warna Kuning
Kekeruhan Jernih

7
Protein Urine Neg
Glucose Urine Norm
pH 5
Bilirubin urine Neg
Urobilinogen Norm
Berat jenis urine 1.015
Keton urine Neg
Lekosit 100
Eritrosit 150
Nitrit Neg
Epitel 2-3
Eritrosit 6-8
Lekosit 3-5
Silinder Negative
Kristal Negative
Lain-lain Negative

C. EKG
Tanggal 28 Oktober 2019

8
D. Rontgen Thorax

Hasil : - Efusi pleura sinistra


- Cardiomegali
E. USG

9
VII. Diagnosis Kerja
• CHF NYHA III + Efusi pleura sinistra

VIII. Penatalaksanaan
a. Penatalaksanaan Ruangan
-IVFD asering/24 jam
-Omeprazole 1x40 mg
-Ondansentron 3x4 mg K/P
-Santagesic 3x1 gr i.v
-Furosemid 2x40 mg
-Alopurinol 1x100 mg
-Renoguard 3x1 mg
b. Penatalaksanaan

IX. Prognosis
- Quo ad vitam : dubia
- Quo ad sanationam : dubia
- Quo ad functionam : dubia

10
BAB I
PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang


Gagal jantung didefinisikan sebagai kondisi dimana jantung tidak lagi
dapat memompakan cukup darah ke jaringan tubuh. Keadaan ini dapat timbul
dengan atau tanpa penyakit jantung. Gangguan fungsi jantung dapat berupa
gangguan fungsi diastolik atau sistolik, gangguan irama jantung, atau
ketidaksesuaian preload dan afterload. Keadaan ini dapat menyebabkan kematian
pada pasien.
Gagal jantung dapat dibagi menjadi gagal jantung kiri dan gagal jantung
kanan. Gagal jantung juga dapat dibagi menjadi gagal jantung akut, gagal jantung
kronis dekompensasi, gagal jantung merupakan tahap akhir dari seluruh penyakit
jantung dan penyebab peningkatan morbiditas dan mortalitas pasien jantung,
diperkirakan hampir lima persen dari pasien yang dirawat di rumah sakit, 4,7%
wanita dan 5,1% laki-laki. Insiden gagal jantung dalam setahun diperkirakan
2,3 - 3,7 perseribu penderita pertahun. Kejadian gagal jantung akan meningkat di
masa depan karena semakin bertambahnya usia harapan hidup dan berkembangnya
terapi penanganan infark miokard mengakibatkan perbaikan harapan hidup
penderita dengan penurunan fungsi jantung.

11
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Anatomi dan Fisiologi Jantung


Secara anatomi ukuran jantung sangatlah variatif. Beberapa referensi,
ukuran jantung manusia mendekati ukuran kepalan tangan atau dengan ukuran
panjang kira-kira 5" (12cm) dan lebar sekitar 3,5" (9cm). Jantung terletak di
belakang tulang sternum, tepatnya di ruang mediastinum diantara kedua paru-
paru dan bersentuhan dengan diafragma. Bagian atas jantung terletak dibagian
bawah sternal notch, 1/3 dari jantung berada disebelah kanan dari midline
sternum, 2/3 nya disebelah kiri dari midline sternum. Sedangkan bagian apek
jantung di interkostal ke-5 atau tepatnya di bawah puting susu sebelah kiri.
Jantung di bungkus oleh sebuah lapisan yang disebut lapisan perikardium, di
mana lapisan perikardium ini di bagi menjadi 3 lapisan, yaitu lapisan fibrosa,
lapisan parietal dan lapisan visceral.

Jantung dibagi menjadi 2 bagian ruang, yaitu : Atrium (serambi) dan


Ventrikel (bilik). Karena atrium hanya memompakan darah dengan jarak yang
pendek, yaitu ke ventrikel, maka otot atrium lebih tipis dibandingkan dengan
otot ventrikel. Ruang atrium dibagi menjadi 2, yaitu atrium kanan dan atrium
kiri, demikian halnya dengan ruang ventrikel, dibagi lagi menjadi 2 yaitu
ventrikel kanan dan ventrikel kiri.

12
Secara skematis, urutan perjalanan darah dalam sirkulasinya pada manusia,
yaitu : Darah dari seluruh tubuh – bertemu di muaranya pada vena cava superior
dan inferior pada jantung – bergabung di Atrium kanan – masuk ke ventrikel kiri
– arteri pulmonalis ke paru – keluar dari paru melalui vena pulmonalis ke atrium
kiri (darah yang kaya O2) – masuk ke ventrikel kiri, kemudian dipompakan
kembali ke seluruh tubuh melalui aorta. Keluar masuknya darah, ke masing-
masing ruangan, dikontrol juga dengan peran 4 buah katup di dalamnya, yaitu :
1. Katup trikuspidal (katup yang terletak antara atrium kanan dan ventrikel
kanan).
2. Katup mitral (katup yang terletak antara atrium kiri dan ventrikel kiri).
3. Katup pulmonalis (katup yang terletak antara ventrikel kanan ke arteri
pulmonalis).
4. Katup aorta (katup yang terletak antara ventrikel kiri ke aorta).
Arteri koroner adalah arteri yang bertanggung jawab dengan jantung
sendiri,karena darah bersih yang kaya akan oksigen dan elektrolit sangat penting
sekali agar jantung bisa bekerja sebagaimana fungsinya. Apabila arteri koroner
mengalami pengurangan suplainya ke jantung atau yang di sebut dengan
ischemia, ini akan menyebabkan terganggunya fungsi jantung sebagaimana
mestinya. Apalagi arteri koroner mengalami sumbatan total atau yang disebut
dengan serangan jantung mendadak atau miokardiac infarction dan bisa
menyebabkan kematian. Begitupun apabila otot jantung dibiarkan dalam
keadaan iskemia, ini juga akan berujung dengan serangan jantung juga atau
miokardiac infarction. Arteri koroner adalah cabang pertama dari sirkulasi
sistemik, dimana muara arteri koroner berada dekat dengan katup aorta atau
tepatnya di sinus valsava. Arteri koroner dibagi dua,yaitu: Arteri koroner kanan
dan Arteri koroner kiri.2
2.2 Definisi gagal jantung
Gagal jantung adalah suatu sindroma klinis yang kompleks yang
disebabkan oleh kelainan struktur dan fungsional jantung sehingga terjadi
gangguan pada ejeksi dan pengisian. Pada keadaan ini jantung tidak lagi mampu
memompa darah secara cukup ke jaringan untuk memenuhi kebutuhan
metabolisme tubuh.

13
Gagal jantung kongestif adalah ketidakmampuan jantung untuk memompa
darah dalam jumlah yang cukup untuk memenuhi kebutuhan jaringan terhadap
oksigen dan nutrient dikarenakan adanya kelainan fungsi jantung yang berakibat
jantung gagal memompa darah untuk memenuhi kebutuhan metabolisme
jaringan dan atau kemampuannya hanya ada kalau disertai peninggian tekanan
pengisian ventrikel kiri.
Beberapa Istlah Dalam Gagal Jantung
1) Gagal jantung sistolik dan diastolik
Kedua jenis ini terjadi secara tumpang tindih dan tidak dapat dibedakan
dari pemeriksaan jasmani, foto thoraks atau EKG dan hanya dapat dibedakan
dengan eko-Doppler.
Gagal jantung sistolik adalah ketidakmampuan kontraksi jantung
memompa sehingga curah jantung menurun dan menyebabkan kelemahan,
fatik, kemapuan aktivitas fisik menurun dan gejala hipoperfusi lainnya.
Gagal jantung diastolic adalah gangguan relaksasi dan gangguan pengisian
ventrikel. Gagal jantung diastolic didefinisikan sebagai gagal jantung dengan
fraksi ejeksi lebih dari 50%. Diagnosis dibuat dengan pemeriksaan Doppler-
ekokardiografi aliran darah mitral dan aliran vena pulmonalis. Tidak dapat
dibedakan dengan pemeriksaan anamnesis, pemeriksaan jasmani saja. Ada 3
macam gangguan fungsi diastolic:
- Gangguan relaksasi
- Pseudo-normal
- Tipe restriktif
Penatalaksanaan ditujukan untuk menghilangkan atau mengurangi
penyebab gangguan diastolic seperti fibrosis, hipertrofi, atau iskemia. Di
samping itu kongesti sistemik/pulmonal akibat dari gangguan diastolic tersebut
dapat diperbaiki dengan restriksi garam dan pemberian diuretic. Mengurangi
denyut jantung agar waktu untuk diastolic bertambah, dapat dilakukan dengan
pemberian beta atau penyekat kalsium non-dihidropiridin.
2) Low output dan high output heart failure
Low output HF disebabkan oleh hipertensi, kardiomiopati dilatasi,
kelainan katup dan perikard. High output HF ditemukan pada penurunan

14
resistensi vascular sistemik seperti hipertiroidisme, anemia, kehamilan, fistula
A-V, beri-beri dan penyakit Paget. Secara praktis, kedua kelainan ini tidak
dapat dibedakan.
3) Gagal jantung akut dan kronik
Contoh klasik gagal jantung akut (GJA) adalah robekan daun katup secara
tiba-tiba akibat endocarditis, trauma atau infark miokard luas. Curah jantung
yang menurun secara tiba-tiba menyebabkan penurunan tekanan darah tanpa
disertai edema perifer.
Contoh gagal jantung kronis (GJK) adalah kardiomiopati dilatasi atau
kelainan multivalvular yang terjadi secara perlahan-lahan. Kongesti perifer
sangat menyolok, namun tekanan darah masih terpelihara dengan baik.
4) Gagal jantung kanan dan gagal jantung kiri
Gagal jantung kiri akibat kelemahan ventrikel, meningkatkan tekanan vena
pulmonalis dan paru menyebabkan pasien sesak nafas dan ortopnea. Gagal
jantung kanan terjadi kalau kelainannya melemahkan ventrikel kanan seperti
pada hipertensi pulmonal primer/sekunder, tromboemboli paru kronik sehingga
terjadi kongesti vena sistemik yang menyebabkan edema perifer,
hepatomegaly, dan distensi vena jugularis. Tetapi karena perubahan biokimia
gagal jantung terjadi pada miokard kedua ventrikel, maka retensi cairan pada
gagal jantung yang sudah berlangsung bulanan atau tahun tidak lagi berbeda.
2.3 Etiologi Gagal Jantung
Ada beberapa penyebab dimana fungsi jantung dapat terganggu. Yang
paling sering menyebabkan kemunduran dari fungsi jantung adalah kerusakan
atau berkurangnya kontraktilitas otot jantung, iskemik akut atau kronik,
meningkatnya resistensi vaskuler dengan hipertensi, atau adanya takiaritmia
seperti atrial fibrilasi (AF).
Penyakit jantung koroner adalah yang paling sering menyebabkan penyakit
miokard, dan 70% akan berkembang menjadi gagal jantung. Masing -masing
10% dari penyakit jantung katup dan kardiomiopati akan menjadi gagal jantung
juga.
Penyebab dari gagal jantung dapat diklasifikasikan berdasarkan gagal
jantung kiri atau gagal jantung kanan dan gagal low output atau high output.

15
Tabel 1. Penyebab gagal jantung
Jantung kiri primer Jantung kanan primer
 Penyakit jantung iskemik  Gagal jantung kiri
 Penyakit jantung hipertensi  Penyakit pulmonari kronik
 Penyakit katup aorta  Stenosis katup pulmonal
 Penyakit katup mitral  Penyakit katup trikuspid
 Miokarditis  Penyakit jantung kongenital
 Kardiomiopati (VSD,PDA)
 Amyloidosis jantung 7  Hipertensi pulmonal
 Embolisme paru masif7
Gagal output rendah Gagal output tinggi
 Kelainan miokardium  Inkompetensi katup
 Penyakit jantung iskemik  Anemia
 Kardiomiopati  Malformasi arteriovenous
 Amyloidosis  Overload volume plasma
 Aritmia
 Peningkatan tekanan
pengisian
 Hipertensi sistemik
 Stenosis katup
 Semua menyebabkan gagal
ventrikel kanan disebabkan
penyakit paru sekunder
Sumber: Concise Pathology 3rd Edition
Gagal jantung kongestif dapat disebabkan oleh :
1. Kelainan otot jantung
Gagal jantung sering terjadi pada penderita kelainan otot jantung,
disebabkan menurunnya kontraktilitas jantung. Kondisi yang mendasari
penyebab kelainan fungsi otot mencakup aterosklerosis koroner, hipertensi
arterial, dan penyakit degeneratif atau inflamasi.
2. Aterosklerosis koroner

16
Mengakibatkan disfungsi miokardium karena terganggunya aliran darah ke
otot jantung. Terjadi hipoksia dan asidosis (akibat penumpukan asam laktat).
Infark miokardium (kematian sel jantung) biasanya mendahului terjadinya
gagal jantung. Peradangan dan penyakit miokardium degeneratif berhubungan
dengan gagal jantung karena kondisi yang secara langsung merusak serabut
jantung menyebabkan kontraktilitas menurun.
3. Hipertensi sistemik atau pulmonal
Meningkatkan beban kerja jantung dan pada gilirannya mengakibatkan
hipertrofi serabut otot jantung (peningkatan afterload), mengakibatkan
hipertropi serabut otot jantung. Efek tersebut (hipertropi miokard) dianggap
sebagai kompensasi karena meningkatkan kontraktilitas jantung, karena alasan
yg tidak jelas hipertropi otot jantung dapat berfungsi secara normal, akhirnya
terjadi gagal jantung.
4. Peradangan dan penyakit myocardium degeneratif, 
Berhubungan dengan gagal jantung karena kondisi ini secara langsung
merusak serabut jantung, menyebabkan kontraktilitas menurun.
5. Penyakit jantung lain
Gagal jantung dapat terjadi sebagai akibat penyakit jantung yang
sebenarnya, yang secara langsung mempengaruhi jantung. Mekanisme yang
biasanya terlibat mencakup gangguan aliran darah yang masuk jantung
(stenosis katup semiluner), ketidak mampuan jantung untuk mengisi darah
(tamponade, perikardium, perikarditif konstriktif, atau stenosis AV),
peningkatan mendadak after load.
6. Faktor sistemik
Terdapat sejumlah besar faktor yang berperan dalam perkembangan dan
beratnya gagal jantung. Meningkatnya laju metabolisme (misal : demam,
tirotoksikosis ), hipoksia dan anemia memerlukan peningkatan curah jantung
untuk memenuhi kebutuhan oksigen sistemik. Hipoksia dan anemia juga dapat
menurunkan suplai oksigen ke jantung. Asidosis respiratorik atau metabolik
dan abnormalitas elektrolit dapat menurunkan kontraktilitas jantung

2.4 Klasifikasi Gagal Jantung

17
Klasifikasi Gagal Jantung berdasarkan New York Heart Association
(NYHA).
Tabel 2. Klasifikasi gagal jantung berdasarkan NYHA
Klasifikasi Fungsional NYHA
(Klasifikasi berdasarkan Gejala dan Aktivitas Fisik)
Kelas I Tidak ada pembatasan aktivitas fisik. Aktivitas sehari – hari tidak
menyebabkan kelelahan, palpitasi atau sesak nafas.
Kelas Sedikit pembatasan aktivitas fisik. Berkurang dengan istirahat, tetapi
II aktivitas sehari – hari menyebabkan kelelahan, palpitasi atau sesak
nafas.
Kelas Adanya pembatasan yang bermakna pada aktivitas fisik. Berkurang
III dengan istirahat, tetapi aktivitas yang lebih ringan dari aktivitas
sehari – hari menyebabkan kelelahan, palpitasi atau sesak nafas.
Kelas Tidak dapat melakukan aktivitas sehari – hari tanpa adanya
IV kelelahan. Gejala terjadi pada saat istirahat. Jika melakukan aktivitas
fisik, keluhan akan semakin meningkat.

Klasifikasi Derajat Gagal Jantung berdasarkan American College of


Cardiology dan American Heart Association.
Tabel 3. Tahapan Gagal Jantung berdasarkan ACC/AHA
Tahapan Gagal Jantung berdasarkan ACC/AHA
(Derajat Gagal Jantung berdasarkan struktur dan kerusakan otot jantung)
Tahap A Risiko tinggi berkembang menjadi gagal jantung, tidak ada dijumpai
abnormalitas struktural dan fungsional, tidak ada tanda atau gejala.

Tahap B Berkembangnya kelainan struktural jantung yang berhubungan erat


dengan perkembangan gagal jantung, tetapi tanpa gejala atau tanda.

Tahap C Gagal jantung simptomatik berhubungan dengan kelainan struktural


jantung.

18
Tahap D Kelainan struktural jantung yang berat dan ditandai adanya gejala
gagal jantung saat istirahat meskipun dengan terapi yang maksimal.

Gagal jantung secara umum juga dapat diklasifikasikan menjadi gagal


jantung akut dan gagal jantung kronik.
1. Gagal jantung akut, didefinisikan sebagai serangan cepat dari gejala atau
tanda akibat fungsi jantung yang abnormal. Dapat terjadi dengan atau tanpa
adanya penyakit jantung sebelumnya. Disfungsi jantung dapat berupa
disfungsi sistolik atau disfungsi diastolik. Irama jantung yang abnormal, atau
ketidakseimbangan preload dan afterload dan memerlukan pengobatan segera.
Gagal jantung akut dapat berupa serangan baru tanpa ada kelainan jantung
sebelumnya atau dekompensasi akut dari gagal jantung kronis.
2. Gagal jantung kronik, didefinisikan sebagai sindrom klinik yang kompleks
yang disertai keluhan gagal jantung berupa sesak nafas, lelah, baik dalam
keadaan istirahat atau aktivitas, edema serta tanda objektif adanya disfungsi
jantung dalam keadaan istirahat.
2.5 Patofisiologi Gagal Jantung
Gagal jantung dapat terjadi karena beberapa hal, yaitu :
a. gangguan kontraktilitas ventrikel,
b. meningkatnya afterload, atau
c. gangguan pengisian ventrikel.
Gagal jantung yang dihasilkan dari abnormalitas pengosongan ventrikel
(karena gangguan kontraktilitas atau kelebihan afterload) disebut disfungsi
sistolik, sedangkan gagal jantung yang dikarenakan oleh abnormalitas relaksasi
diastol atau pengisian ventrikel disebut disfungsi diastolik.
Pada dasarnya terdapat perbedaan antara gagal jantung sistolik dengan gagal
jantung diastolik. Gagal jantung sistolik disebabkan oleh meningkatnya volume,
gangguan pada miokard, serta meningkatnya tekanan. Sehingga pada gagal
jantung sistolik, stroke volume dan cardiac output tidak mampu memenuhi
kebutuhan tubuh secara adekuat. Sementara itu gagal jantung diastolik
dikarenakan meningkatnya kekakuan pada dinding ventrikel.

19
Mekanisme fisiologis yang menyebabkan gagal jantung mencakup keadaan-
keadaan yang meningkatkan beban awal, beban akhir atau menurunkan
kontraktilitas miokardium. Keadaan-keadaan yang meningkatkan beban awal
meliputi : regurgitasi aorta dan cacat septum ventrikel. Dan beban akhir
meningkat pada keadaan dimana terjadi stenosis aorta dan hipertensi sistemik.
Kontraktilitas miokardium dapat menurun pada infark miokardium dan
kardiomiopati.
Faktor-faktor yang dapat memicu perkembangan gagal jantung melalui
penekanan sirkulasi yang mendadak dapat berupa : aritmia, infeksi sistemik dan
infeksi paru-paru dan emboli paru-paru. Penanganan yang efektif terhadap gagal
jantung membutuhkan pengenalan dan penanganan tidak saja terhadap
mekanisme fisiologis dan penyakit yang mendasarinya, tetapi juga terhadap
faktor-faktor yang memicu terjadinya gagal jantung.
Kelainan intrinsik pada kontraktilitas miokardium yang khas pada gagal
jantung akibat penyakit jantung iskemik, mengganggu kemampuan pengosongan
ventrikel yang efektif. Kontraktilitas ventrikel kiri yang menurun mengurangi
curah sekuncup dan meningkatkan volume residu ventrikel.
Tekanan arteri paru-paru dapat meningkat sebagai respon terhadap
peningkatan kronis tekanan vena paru. Hipertensi pulmonal meningkatkan
tahanan terhadap ejeksi ventrikel kanan. Serentetan kejadian seperti yang terjadi
pada jantung kiri, juga akan terjadi pada jantung kanan, dimana akhirnya akan
terjadi kongesti sistemik dan edema.
Jantung mengkompensasi dengan cara meningkatkan kekuatan kontraksi,
meningkatkan ukuran, memompa lebih kuat, dan menstimulasi ginjal untuk
mengambil natrium dan air. Penggunaan sistem secara berlebihan untuk
mengkompensasi tersebut menyebabkan kerusakkan pada ventrikel dan terjadi
remodeling.
Pada pasien CHF terjadi peningkatan level norefinefrine, angiotengsin II,
aldosteron, endotelin, dan vasopressin. Kesemuanya ini adalah faktor
neurohormonal yang meningkatkan stres hemodinamik pada ventrikel yang
menyebabkan retensi natrium dan vasokonstriksi periferal. Simptom yang ketiga
terjadi kelelahan, nafas pendek, dan retensi air. Nafas pendek (dyspnea) menjadi

20
lebih parah dan terjadi saat istirahat (orthopnea) atau pada malam hari (proxymal
nocturnal dyspnea). Retensi air terjadi pada paru-paru (kongesti) atau odema
periferal.
Beberapa mekanisme kompensasi alami terjadi pada pasien gagal jantung
untuk membantu mempertahankan tekanan darah yang adekuat untuk
memompakan darah ke organ – organ vital. Mekanisme tersebut adalah (1)
mekanisme Frank-Straling, (2) neurohormonal, dan (3) remodeling dan hipertrofi
ventrikular.
1. Mekanisme Frank-Starling
Meningkatkan stroke volume berarti terjadi peningkatan volume
ventricular end-diastolik. Bila terjadi peningkatan pengisian diastolik,
berarti ada peningkatan peregangan dari serat otot jantung, lebih optimal
pada filamen aktin dan miosin, dan resultannya meningkatkan tekanan pada
kontraksi berikutnya. Pada keadaan normal, mekanisme Frank-Starling
mencocokan output dari dua ventrikel.
Pada gagal jantung, mekanisme Frank-Starling membantu mendukung
cardiac output. Cardiac output mungkin akan normal pada penderita gagal
jantung yang sedang beristirahat, dikarenakan terjadinya peningkatan
volume ventricular end-diastolic dan mekanisme Frank-Starling. Mekanisme
ini menjadi tidak efektif ketika jantung mengalami pengisian yang
berlebihan dan serat otot mengalami peregangan yang berlebihan
Hal penting yang menentukan konsumsi energi otot jantung adalah
ketegangan dari dinding ventrikular. Pengisian ventrikel yang berlebihan
menurunkan ketebalan dinding pembuluh darah dan meningkatkan
ketegangan dinding pembuluh darah. Peningkatan ketegangan dinding
pembuluh darah akan meningkatkan kebutuhan oksigen otot jantung yang
menyebabkan iskemia dan lebih lanjut lagi adanya gangguan fungsi jantung.
2. Neurohumeral
a. Sistem saraf adrenergik
Pasien dengan gagal jantung terjadi penurunan curah jantung dikenali
oleh baroreseptor di sinus caroticus dan arcusaorta, kemudian dihantarkan
ke medulla melalui nervus IX dan X, kemudian mengaktivasi sistem saraf

21
simpatis, aktivasi sistem saraf simpatis ini akan menaikkan kadar
norepinefrin (NE). Hal iniakan meningkatkan frekuensi denyut jantung,
meningkatkan kontraksi jantung serta vasokonstriksi arteri dan vena
sistemik.
b. Sistem renin angiotensin aldosteron
Curah jantung yang menurun, akan terjadi aktivasi sistem renin-
angiotensin aldosteron berkurangnya natrium terfiltrasi yang mencapai
makula densa tubulus distal, dan meningkatnya stimulasi simpatis ginjal,
memicu peningkatan pelepasan renin dari apparatus juxtaglomerular.
Renin memecah empat asam amino dari angiotensinogen I, dan
Angiotensin -converting enzyme akan melepaskan dua asam amino dari
angiotensin I menjadi angiotensin II. Angiotensin II berikatan dengan 2
protein G menjadi angiotensin tipe 1, aktivasi reseptor angiotensin I akan
mengakibatkan vasokonstriksi, pertumbuhan sel, sekresi aldosteron dan
pelepasan katekolamin, sementara AT2 akan menyebabkan
vasodilatasi, inhibisi pertumbuhan sel, natriuresis dan pelepasan bradikinin.

c. Stres

oksidatif
Pada pasien gagal jantung terdapat peningkatan kadar reactive oxygen
species (ROS).Peningkatan ini dapat diakibatkan oleh rangsangan dari
ketegangan miokardium, stimulasi neurohormonal (angiotensin II,

22
aldosteron, agonis alfa adrenergik, endothelin-1) maupun sitokin inflamasi
(tumor necrosis factor, interleukin-1). Efek ROS ini memicu stimulasi
hipertrofi miosit, proliferasi fibroblast dan sintesis collagen. ROS juga
akan mempengaruhi sirkulasi perifer dengan cara menurunkan
bioavailabilitas NO.
d. Remodelling dan hipertrofi ventrikular
Model neurohormonal yang telah dijelaskan diatas gagal menjelaskan
progresivitas gagal jantung. Remodeling ventrikel kiri yang progresif
berhubungan langsung dengan bertambah buruknya kemampuan ventrikel
kiri di kemudian hari. Proses remodeling mempunyai efek penting
pada miosit jantung, perubahan volume miosit dan komponen
nonmiosit pada miokard serta geometri dan arsitektur ruangan ventrikel
kiri.
Remodeling berawal dari adanya beban jantung yang mengakibatkan
meningkatkan rangsangan pada otot jantung. Keadaan jantung yang
overload dengan tekanan yang tinggi, misalnya pada hipertensi atau
stenosis aorta, mengakibatkan peningkatan tekanan sistolik yang secara
parallel menigkatkan tekanan pada sarkomer dan pelebaran pada miosit
jantung, yang menghasilkan hipertrofi konsentrik.
Jika beban jantung didominasi dengan peningkatan volume ventrikel,
sehingga meningkatkan tekanan pada diastolik, yang kemudian secara
seri pada sarkomer dan kemudian terjadi pemanjangan pada miosit
jantung dan dilatasi ventrikel kiri yang mengakibatkan hipertrofi eksentrik.
Homeostasis kalsium merupakan hal yang penting dalam
perkembangan gagal jantung. Hal ini diperlukan dalam kontraksi dan
relaksasi jantung.
2.6 Gambaran Klinis Gagal Jantung
Tempat kongestif tergantung dari ventrikel yang terlibat :
1. Disfungsi ventrikel kiri atau gagal jantung kiri
Gagal jantung kiri atau gagal jantung ventrikel kiri terjadi karena adanya
gangguan pemompaan darah oleh ventrikel kiri sehingga curah jantung kiri

23
menurun dengan akibat tekanan akhir diastolik dalam ventrikel kiri dan volume
akhir diastolik dalam ventrikel kiri meningkat.
a. Tanda dan gejala:
- Dispnea: akibat penimbunan cairan dalam alveoli yang mengganggu
pertukaran gas, dapat terjadi saat istirahat atau dicetuskan oleh gerakan
yang minimal atau sedang.
- Ortopnea: kesulitan bernapas saat berbaring
- Paroximal nokturna dispnea (terjadi bila pasien sebelumnya duduk lama
dengan posisi kaki dan tangan dibawah, pergi berbaring ke tempat tidur)
- Batuk: biasa batuk kering dan basah yang menghasilkan sputum berbusa
dalam jumlah banyak kadang disertai banyak darah.
- Mudah lelah: akibat cairan jantung yang kurang, yang menghambat
cairan dari sirkulasi normal dan oksigen serta menurunnya pembuangan
sisa hasil katabolisme.
- Kegelisahan: akibat gangguan oksigenasi jaringan, stress akibat kesakitan
bernafas, dan pengetahuan bahwa jantung tidak berfungsi dengan baik.
2. Disfungsi ventrikel kanan atau gagal jantung kanan
Gagal jantung kanan karena gangguan atau hambatan pada daya pompa
ventrikel kanan sehingga isi sekuncup ventrikel kanan menurun tanpa
didahului oleh adanya gagal jantung kiri.
a. Tanda dan gejala:
- Edema ekstremitas bawah atau edema dependen.
- Hepatomegali dan nyeri tekan pada kuadran kanan batas abdomen.
- Anoreksia dan mual terjadi akibat pembesaran vena dan status vena
didalam rongga abdomen.
- Nokturna: rasa ingin kencing pada malam hari, terjadi karena perfusi
renal didukung oleh posisi penderita pada saat berbaring.
- Lemah: akibat menurunnya curah jantung, gangguan sirkulasi dan
pembuangan produk sampah katabolisme yang tidak adekuat dari
jaringan.
- Bendungan pada vena perifer (jugularis)

24
- Gangguan gastrointestinal (perut kembung, anoreksia dan nausea) dan
asites.
- Perasaan tidak enak pada epigastrium.
3. Gagal Jantung Kongestif
Bila gangguan jantung kiri dan jantung kanan terjadi bersamaan. Dalam
keadaan gagal jantung kongestif, curah jantung menurun sedemikian rupa
sehingga terjadi bendungan sistemik bersama dengan bendungan paru.
a. Tanda dan gejala:
Kumpulan gejala gagal jantung kiri dan kanan.
2.7 Diagnosis Gagal Jantung
Diagnosis dibuat berdasarkan anamnesis, pemeriksaan fisik, dan pemeriksaan
penunjang.
1. Anamnesis
Kriteria Framingham adalah kriteria epidemiologi yang telah digunakan
secara luas. Diagnosis gagal jantung kongestif mensyaratkan minimal dua
kriteria mayor atau satu kriteria mayor disertai dua kriteria minor, kriteria
minor dapat diterima jika kriteria minor tersebut tidak berhubungan dengan
kondisi medis yang lain seperti hipertensi pulmonal, PPOK, sirosis hati, atau
sindroma nefrotik.
Kriteria mayor

1. Paroksismal nokturnal dispnea

2. Distensi vena leher

3. Ronki paru

4. Kardiomegali

5. Edema paru akut

6. Gallop S3

7. Peninggian tekanan vena jugularis

8. Refluks hepatojugular

25
Kriteria minor

1. Edema ekstremitas

2. Batuk malam hari

3. Dispnea d’effort

4. Hepatomegali

5. Efusi pleura

6. Penurunan kapasitas vital 1/3 dari normal

7. Takikardi (>120/menit)

2. Pemeriksaan Fisik
A. Tekanan darah dan Nadi
Tekanan darah sistolik dapat normal atau tinggi pada HF ringan, namun
biasanya berkurang pada HF berat, karena adanya disfungsi LV berat.
Tekanan nadi dapat berkurang atau menghilang, menandakan adanya
penurunan stroke volume. Sinus takikardi merupakan tanda nonspesifik
disebabkan oleh peningkatan aktivitas adrenergik. Vasokonstriksi perifer
menyebabkan dinginnya ekstremitas bagian perifer dan sianosis pada bibir
dan kuku juga disebabkan oleh aktivitas adrenergik berlebih. Pernapasan
Cheyne-Stokes disebabkan oleh berkurangnya sensitivitas pada pusat
respirasi terhadap tekanan PCO2. Terdapat fase apneu, dimana terjadi pada saat
penurunan PO2 arterial dan PCO2 arterial meningkat. Hal ini merubah
komposisi gas darah arterial dan memicu depresi pusat pernapasan,
mengakibatkan hiperventilasi dan hipokapnia, diikuti rekurensi fase apnea.
Pernapasan Cheyne-Stokes dapat dipersepsi oleh keluarga pasien sebagai
sesak napas parah (berat) atau napas berhenti sementara
B. Jugular Vein Pressure
Pemeriksaan vena jugularis memberikan informasi mengenai tekanan
atrium kanan. Tekanan vena jugularis paling baik dinilai jika pasien berbaring
dengan kepala membentuk sudut 300. Tekanan vena jugularis dinilai dalam
satuan cm H2O (normalnya 5-2 cm) dengan memperkirakan jarak vena
jugularis dari bidang diatas sudut sternal. Pada HF stadium dini, tekanan vena

26
jugularis dapat normal pada waktu istirahat namun dapat meningkat secara
abnormal seiring dengan peningkatan tekanan abdomen  (abdominojugular
reflux positif). Gelombang v besar mengindikasikan keberadaan regurgitasi
trikuspid.
C. Ictus cordis
Pemeriksaan pada jantung, walaupun esensial, seringkali tidak
memberikan informasi yang berguna mengenai tingkat keparahan. Jika
kardiomegali ditemukan, maka apex cordis biasanya berubah lokasi dibawah
ICS V (interkostal V) dan/atau sebelah lateral dari midclavicular line, dan
denyut dapat dipalpasi hingga 2 interkosta dari apex.
D. Suara jantung tambahan
Pada beberapa pasien suara jantung ketiga (S3) dapat terdengar dan
dipalpasi pada apex. Pasien dengan pembesaran atau hypertrophy ventrikel
kanan dapat memiliki denyut Parasternal yang berkepanjangan meluas hingga
systole. S3 (atau prodiastolic gallop) paling sering ditemukan pada pasien
dengan volume overload yang juga mengalami takikardi dan takipneu, dan
seringkali menandakan gangguan hemodinamika. Suara jantung keempat (S4)
bukan indicator spesifik namun biasa ditemukan pada pasien dengan
disfungsi diastolic. Bising pada regurgitasi mitral dan tricuspid biasa
ditemukan pada pasien.
E. Pemeriksaan paru
Ronchi pulmoner (rales atau krepitasi) merupakan akibat dari transudasi
cairan dari ruang intravaskuler kedalam alveoli. Pada pasien dengan edema
pulmoner, rales dapat terdengar jelas pada kedua lapangan paru dan dapat
pula diikuti dengan wheezing pada ekspirasi (cardiac asthma). Jika ditemukan
pada pasien yang tidak memiliki penyakit paru sebelumnya, rales tersebut
spesifik untuk CHF. Perlu diketahui bahwa rales seringkali tidak ditemukan
pada pasien dengan CHF kronis, bahkan dengan tekanan pengisian ventrikel
kiri yang meningkat, hal ini disebabkan adanya peningkatan drainase
limfatik dari cairan alveolar. Efusi pleura terjadi karena adanya peningkatan
tekanan kapiler pleura dan mengakibatkan transudasi cairan kedalam rongga
pleura. Karena vena pleura mengalir ke vena sistemik dan pulmoner, efusi

27
pleura paling sering terjadi dengan kegagalan biventrikuler. Walaupun pada
efusi pleura seringkali bilateral, namun pada efusi pleura unilateral
yang sering terkena adalah rongga pleura kanan.
F. Pemeriksaan hepar dan hepatojugular reflux
Hepatomegali merupakan tanda penting pada pasien CHF. Jika
ditemukan, pembesaran hati biasanya nyeri pada perabaan dan dapat
berdenyut selama systole jika regurgitasi trikuspida terjadi. Ascites sebagai
tanda lajut, terjadi sebagai konsekuensi peningkatan tekanan pada vena
hepatica dan drainase vena pada peritoneum. Jaundice, juga merupakan tanda
lanjut pada CHF, diakibatkan dari gangguan fungsi hepatic akibat kongesti
hepatic dan hypoxia hepatoseluler, dan terkait dengan peningkatan bilirubin
direct dan indirect.
G. Edema tungkai
Edema perifer merupakan manifestasi cardinal pada CHF, namun
namun tidak spesifik dan biasanya tidak ditemukan pada pasien yang diterapi
dengan diuretic. Edema perifer biasanya sistemik dan dependen pada CHF
dan terjadi terutama pada daerah Achilles dan pretibial pada pasien yang
mampu berjalan. Pada pasien yang melakukan tirah baring, edema dapat
ditemukan pada daerah sacral (edema presacral) dan skrotum. Edema
berkepanjangan dapat menyebabkan indurasi dan pigmentasi ada kulit.
H. Cardiac Cachexia
Pada kasus HF kronis yang berat, dapat ditandai dengan penurunan
berat badan dan cachexia yang bermakna. Walaupun mekanisme dari
cachexia pada HF tidak diketahui, sepertinya melibatkan banyak faktor dan
termasuk peningkatan resting metabolic rate; anorexia, nausea, dan muntah
akibat hepatomegali kongestif dan perasaan penuh pada perut; peningkatan
konsentrasi sitokin yang bersirkulasi seperti TNF, dan gangguan absorbsi
intestinal akibat kongesti pada vena di usus. Jika ditemukan, cachexia
menandakan prognosis keseluruhan yang buruk.

28
3. Pemeriksaan Laboratorium
Pemeriksaan laboratorium dibutuhkan untuk mengetahui sejauh mana gagal
jantung telah mengganggu fungsi-fungsi organ lain seperti : hati, ginjal dan
lain-lain. Pemeriksaan hitung darah dapat menunjukan anemia, karena anemia
ini merupakan suatu penyebab gagal jantung output tinggi dan sebagai faktor
eksaserbasi untuk bentuk disfungsi jantung lainnya.
4. Pemeriksaan Penunjang
a. Radiologi/Rontgen.
Pada pemeriksaan rontgen dada ini biasanya yang didapatkan bayangan
hilus paru yang tebal dan melebar, kepadatan makin ke pinggir berkurang,
lapangan paru bercak-bercak karena edema paru, pembesaran jantung, cardio-
thoragic ratio (CTR) meningkat, distensi vena paru.
b. Pemeriksaan EKG.
Dari hasil rekaman EKG ini dapat ditemukan kelainan primer jantung
( iskemik, hipertrofi ventrikel, gangguan irama ) dan tanda-tanda faktor
pencetus akut ( infark miocard, emboli paru ).
c. Ekhokardiografi.
Pemeriksaan ini untuk mendeteksi gangguan fungsional serta anatomis yang
menjadi penyebab gagal jantung
2.8 Penatalaksanaan gagal jantung kongestif
A. Terapi non farmakologi
a. Diet : Pasien gagal jantung dengan diabetes, dislipidemia atau obesitas
harus diberi diet yang sesuai untuk menurunkan gula darah, lipid darah,
dan berat badannya. Asupan NaCl harus dibatasi menjadi 2-3 g Na/hari,
atau < 2 g/hari untuk gagal jantung sedang sampai berat. Restriksi
cairan menjadi 1,5-2 L/hari hanya untuk gagal jantung berat.
b. Merokok : Harus dihentikan.
c. Aktivitas fisik olahraga yang teratur seperti berjalan atau bersepeda
dianjurkan untuk pasien gagal jantung yang stabil (NYHA kelas II-III)
dengan intensitas yang nyaman bagi pasien.
d. Istirahat : dianjurkan untuk gagal jantung akut atau tidak stabil.

29
e. Bepergian : hindari tempat-tempat tinggi dan tempat-tempat yang
sangat panas atau lembab
B. Terapi farmakologi
a. Algoritma

. Gambar 3. Algoritma Pemilihan terapi

30
b. Jenis dan tempat obat

31
1. Diuretik
KELAS DAN CONTOH: KEUNTUNGAN KERUGIAN
THIAZIDES: Perananannya telah Dihubungkan dengan
 Hydrochlorothiazide dikembangkan dalam hypomagnes-aemia,
 Indapamide pengobatan hipertensi, hyperuricaemia , hyper-

 Chlorthalidone khususnya pada orang- glycemia, atau


tua. hyperlipidaemia.
LOOP DIURETICS: Mempunyai efek yang Dapat menyebabkan
 Furosemide kuat, onset cepat hypokalemia atau
 Ethacrynic acid hypomagnesaemia

 Bumetamide dihubung-kan dengan


kekurang patuhan
pemakaian obat.
POTASSIUM-SPARING Hasil positif terhadap Dapat menyebabkan
DIURETICS: survival tampak pada hyperkalemia dan azotemia,
 Spironolactone pemakaian spirono- khususnya jika pasien juga
 Amiloride lactone; menghindari memakai ACE-inhibitor.

 Triamterene kehilangan potassium


dan magnesium

2. Angiotensin-Converting Enzyme Inhibitors


ACE-Inhibitors sekarang dipakai sebagai dasar (cornerstone) terapi untuk
penderita dis-fungsi sistolik, dengan tidak memandang beratnya
gejala.Tetapi,dengan pertimbangkan side effects seperti simtomatik hipotensi,
perburukan fungsi ginjal, batuk dan angioedema, maka terdapat hambatan
pada pemakaiannya baik underprescribing maupun underdosing obat tersebut,
khususnya pada orang-orang tua. Pada penelitian klinik menunjukkan bahwa
hal yang menimbulkan ketakutan-ketakutan tersebut tidak ditemui,
dikarenakan obat tersebut diberikan dengan dosis yang rendah dan dititrasi
pelahan sampai mencapai dosis target memberi hasil yang efektif sehingga
ACE-inhibitor umumnya dapat ditolerir dengan baik.

32
 ACE inhibitor diindikasikan pada semua pasien gagal jantung sistolik, tanpa
memandang beratnya simptom.
 Awali pengobatan dengan dosis yang rendah dan dititrasi sampai dosis
maksimum yang dapat ditoleris dalam 3-4 minggu.
 Nasehati pasien yang sedang memakai ACE inhibitor, bahwa mungkin
mengalami batuk-batuk; keadaan ini terjadi pada 15% sampai 20% pasien
yang memakai ACE inhibitors.
 Sebelum mengawali pengobatan dan selama serta setelah titrasi, periksa
Natrium ,Kalium dan Creatinine serum.
 Waspada terhadap dapat terjadinya ’first-dose hypotension’ pada hiponatremia,
dosis diuretika yang tinggi, hipotensi (tekanan darah sistolik <100 mmHg)
sebelum meng-awali terapi ACE inhibitor.
Tabel 7. Pemakaian ACE inhibitor pada Pasien CHF
3. Angiotensin Receptor Blockers

Indikasi pemakaian angiotensin II receptor antagonists (ARAs) pada


CHF yang telah diterima saat ini adalah pada pasien-pasien yang intolerans
terhadap ACE inhibitor yang menyebabkan batuk. Manfaat ARAs pada
populasi ini telah dikembangkan CHARM-Alternative study (Candesartan in
Heart failure Assessment of reduction in Mortality and Morbidity-
Alternative study). Pada penelitian ini , ARA candesartan secara signifikan
menurunkan ‘combined endpoint’ kematian kardiovaskular ataupun
hospitalisasi pasien-pasien CHF yang sebelumnya diketahui intolerans
terhadap ACE inhibitor.
Dua perbandingan langsung antara ARA dan ACE inhibitor yang
dilaksanakan pada pasien CHF. Penelitian yang lebih besar , ELITE II (the
Evaluation of Losartan in the Elderly II) melaporkan bahwa tidak ditemukan
perbedaan antara pemakaian losartan dan captopril, tetapi ’survival curve’
menunjukkan kecenderungan ‘survival’ yang lebih baik pada pemakaian
ACE inhibitor. Penelitian yang di-design serupa pada pasien gagal jantung
setelah miokard infark akut OPTIMAAL (the Optimal Trial in Myocardial
Infarction with the Angiotensin II Antagonist Losartan) melaporkan outcome
yang serupa.

33
VALIANT (the Valsartan in Acute Myocardial Infarction Trial), salah
satu penelitian besar pada pasien Gagal Jantung post-AMI melaporkan
terdapat ‘survival outcome’ yang identik antar 3 group
pengobatan :”Valsartan (suatu ARA) dosis tinggi”, ”Captopril dosis tinggi”
dan ”Kombinasi keduanya”.
Dua penelitian besar lain (the CHARM Added Trial and the
Valsartan Heart Failure Trial [Val-Heft]) meneliti impact ‘penambahan suatu
ARA pada ACE inhibitor pada pasien CHF’. Kedua penelitian tersebut
menunjukkan bahwa penambahan suatu ARA dengan signifikan menurunkan
risiko hospitalisasi CHF selanjutnya; tetapi impact-nya pada mortality tidak
tegas.
Kesimpulan dari penelitian-penelitian diatas bersama-sama,
menunjukkan bahwa ARAs dan ACE inhibitor bilamana dipakai dengan dosis
yang ekuivalent, akan memberi outcome yang sama, bila dipakai sebagai
terapi alternatif pada pasien CHF. Manfaat utama yang didapat dengan
penggabungan terapi ini pada pasien CHF tampaknya dalam ”penurunan
hospitalisasi”

4. β Receptor Blockers

Hampir semua pengobatan ’standard’ penderita gagal jantung,


mempunyai mekanisme kerja memperbaiki hemodinamika dan simptomatik
secara akut. Efek segera dari β-bloker sebaliknya dapat memperburuk
hemodinamik, kadang-kadang menyebabkan peburukan gejala yang berat,
makanya sudah sejak lama pemakaian obat ini di-kontra-indikasikan pada
pasien-pasien CHF. Meskipun demikian, bukti-bukti bahwa pemberian
secara kronik dari β-bloker memperbaiki fungsi jantung dan menurunkan
morbiditas serta mortalitas pasien CHF. Sesungguhnya bukti-bukti
pemakaian β-bloker pada pasien CHF yang ditunjukkan pada banyak
randomized controlled trials jauh lebih banyak daripada dengan trial-trial
ACE inhibitor.
Tiga β-bloker yang akhir-akhir ini di-approved untuk pengobatan
gagal jantung di Australia, yaitu bisoprolol, carvedilol dan slow-release

34
metoprolol succinate. Setiap jenis obat tersebut telah menunjukkan penurunan
mortalitas dan hospitalisasi pasien CHF seperti ditunjukkan pada suatu trial
besar placebo-controlled. Manfaat seperti ini tidak selalu ditampakkan pada
pemakaian β-bloker lain. Cardevilol atau Metoprolol European Trial
(COMET), membandingkan carvedilol dan standard-release metoprolol
tartrate, didapat hasil survival yang lebih baik pada pasien-pasien yang
mendapat carvedilol.

5. Additional Therapies
Digitalis
Faktor keamanan dan efektifitas digoxin yang telah dipakai dalam
pengobatan gagal jantung selama 300 tahun, baru akhir-akhir ini diketahui.
Penelitian The Digitalis Investigation Group (DIG) menunjukkan bahwa
digoxin secara signifikan menurunkan hospitalisasi pada pasien CHF yang
sinus rhythm sejak awalnya dan pada pasien-pasien CHF yang telah dengan
maintenans ACE inhibitor dan diuretik. Pada penelitian ini Digoxin
mempunyai efek netral(tidak mempengaruhi) terhadap mortalitas.Maka
penelitian berdasarkan evidence based meng-indikasikan pemakaian digoxin
pada pasien CHF adalah sebagai pereda simptom-simptom yang masih tetap
ada walau sudah memakai ACE inhibitor dan diuretika.
Dosis median harian adalah 0,25 mg/hari dan trough blood level
digoxin pada DIG study adalah 0,9 ng/mL. Terdapat bukti bahwa
peningkatan risiko intiksikasi digoxin (termasuk kematian) meningkat dengan
cepat bilamana dosis harian rata-rata melebihi 0,25 mg/hari atau bila trough
serum digoxin level melebihi 1,0 ng/mL. Pemakaian dosis maintenans
digoxin yang rendah (0,125 sampai 0,25 mg/hari) kususnya penting pada
pasien wanita dan pasien usia lanjut, dikarenakan terdapatnya penurunan
fungsi ginjal semakin bertambahnya umur.Hal ini menjadi penting
dikarenakan pada praktek klinik pasien populasi gagal jantung usia lanjut
merupakan porsi yang terbesar.Selain itu, intoksikasi digoxin pada usia lanjut
sukar dikenali. Adanya obat-obat lain yang dipakai bersamaan (misal
amiodarone, verapamil) yang dapat meningkatkan kadar serum digoxin
menyebabkan perlunya penurunan dosis maintenans.

35
Digoxin dapat juga dipakai untuk meng-kontrol atrial fibrillasi, yang
terdapat pada sampai sepertiga pasien CHF. Perlunya pemakaian digoxin
untuk meng-kontrol heart rate pada pasien-pasien atrial fibrilasi telah
dipertanyakan sejak ditemukannya b-bloker; tetapi pada penelitian pada
pasien CHF dan atrial fibrilasi kronis baru-baru ini menunjukkan outcome
yang lebih baik didapat pada pemakaian digoxin bersama carvedilol
dibandingkan dengan terapi obat tersebut sendiri-sendiri.
Komplikasi kardiovaskuler umumnya jarang terjadi, namun ini
merupakan jenis komplikasi yang sangat serius. Komplikasi yang paling
serius adalah kematian tiba-tiba (sudden death). Kematian tiba-tiba selama
latihan biasanya berhubungan dengan penyakit jantung struktural dan
mekanisme yang paling umum adalah fibrilasi ventrikel. Kebanyakan
kematian karena latihan pada pasien jantung terjadi pada saat aktivitas yang
melebihi latihan normal karena kurangnya perhatian akan gejala-gejala yang
ditimbulkan oleh latihan.
2.9 Prognosis

CLAS SYMPTOMS 1-YEAR


S MORTALITY*
I None, asymptomatic left ventricular dysfunction 5 %
II Dyspnoea or fatigue on moderate physical 10 %
exertion
III Dyspneoea or fatigue on normal daily activities 10 % - 20 %
IV Dyspnoea or fatigue at rest 40 % - 50 %.
Tabel 8. New York Heart Association Classification

BAB IV

KESIMPULAN

Gagal jantung kongestif merupakan tahap akhir penyakit jantung yang


dapatmenyebabkan meningkatnya mortalitas dan morbiditas penderita penyakit
jantung. Sangat penting untuk mengetahui gagal jantung secara klinis.

36
Penatalaksanaan meliputi penanganannon medikamentosa, dan obat ± obatan serta
dengan menggunakan terapi invasif. Meskipun pengobatan farmakologis dan operatif
yang saat ini tersedia untuk pasien CHF dapat memperpanjang dan memperbaiki
kualitas hidup, prognosis keseluruhan dari pasien CHF masih tetap buruk.
Dikarenakan proporsi pasien usia lanjut diperkirakan akan terus meningkat dalam
dekade mendatang , CHF diperkirakan juga akan menjadi mayor epidemik. Jadi,
untuk pasien-pasien CHF sangat memerlukan pendekatan terapi baru yang dapat
dipergunakan secara individual, yang akan meningkatkan kualitas hidup dan
mengurangi beban ekonomi pada masyarakat. Pengobatan efektif terhadap
antecedent utama CHF-seperti hipertensi, ischaemic heart disease dan diabetes-
mungkin merupakan kunci pencegahan terhadap perburukan penyakit tersebut.

DAFTAR PUSTAKA

1. Sylvia Anderson Price, RN, Phd; Lorraine Mccarty Wilson, RN, PhD. 2005.
Patofisiologi konsep klinis proses-proses penyakit. EGC: Jakarta

37
2. Sudoyo, Aru W. 2014. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Jilid II Ed. V.
Departemen Ilmu Penyakit Dalam Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia:
Jakarta.
3. Dickstain A, Filippatos G, Cohen SA, et al. 2008. Guidelines for the diagnosis
and treatment of acute and chronic heart failure . European heart journal.
4. Katzung BG. Farmakologi Dasar Klinik. Salemba Medika. 2011
5. Lee Goldman and Andrew I. Schafer, Goldman-Cecil Medicine ed 25.
Elseveir,2012

38

Anda mungkin juga menyukai