Bab Ii
Bab Ii
PEMBAHASAN
1Prof. Dr. H. Amir Syarifuddin, Ushul Fiqh Jilid 2, (Jakarta: Kencana, 2009), Edisi Pertama,
Cetakan ke-5, hal.237-238.
2Wardah Cheche, Ijtihad, Blogger, 2014, dikutip 05 Oktober 2017.
2
memenuhi keperluan umat manusia akan pegangan hidup dalam
beribadah kepada Allah di suatu tempat tertentu atau pada suatu waktu
tertentu.
2. Ijma’
3Prof. Dr. H. Amir Syarifuddin, Ushul Fiqh Jilid 2, (Jakarta: Kencana, 2009), Edisi Pertama,
Cetakan ke-5, hal.238-240.
3
c. Ulama Syi’ah ijma’ diartikan “kesepakatan suatu komunitas
yang kesepakatan mereka memiliki kekuatan dalam
menetapkan hukum syara”.
d. Al-Nazham mengartikan ijma’ dengan artian “Setiap perkataan
yang hujjahnya tidak dapat dibantah”.4
4Prof. Dr. H. Amir Syarifuddin, Ushul Fiqh Jilid 1, (Jakarta: Kencana, 2009), Edisi Pertama,
Cetakan ke-4, hal.131-136.
4
a. Surat Al-Hasyr (59): 2
Artinya:
ۖ ُول َوأُولِي اأْل َ ْم ِر ِم ْن ُك ْمَ يَا أَيُّهَا الَّ ِذينَ آ َمنُوا أَ ِطيعُوا هَّللا َ َوأَ ِطيعُوا ال َّرس
ِ ُول إِ ْن ُك ْنتُ ْم تُ ْؤ ِمنُونَ بِاهَّلل
ِ فَإ ِ ْن تَنَا َز ْعتُ ْم فِي َش ْي ٍء فَ ُر ُّدوهُ إِلَى هَّللا ِ َوال َّرس
َ َِو ْاليَوْ ِم اآْل ِخ ِر ۚ ٰ َذل
ك خَ ْي ٌر َوأَحْ َس ُن تَأْ ِوياًل
Artinya:
5
Quran) dan Rasul (sunnahnya), jika kamu benar-benar beriman
kepada Allah dan hari kemudian. Yang demikian itu lebih utama
(bagimu) dan lebih baik akibatnya. “5
5Prof. Dr. H. Amir Syarifuddin, Ushul Fiqh Jilid 2, (Jakarta: Kencana, 2009), Edisi Pertama,
Cetakan ke-5, hal.240-243.
6Dr. Mardani, Ushul Fiqh/Mardani, ( Jakarta: Rajawali Pers, 2013), Edisi Pertama, Cetakan
Pertama, hal.
7Prof. Dr. H. Amir Syarifuddin, Ushul Fiqh Jilid 2, (Jakarta: Kencana, 2009), Edisi Pertama,
Cetakan ke-5, hal.243.
6
2. Dasar Hukum Ijma’ dan Kehujjahannya
ۖ ُول َوأُولِي اأْل َ ْم ِر ِم ْن ُك ْمَ يَا أَيُّهَا الَّ ِذينَ آ َمنُوا أَ ِطيعُوا هَّللا َ َوأَ ِطيعُوا ال َّرس
ِ ُول إِ ْن ُك ْنتُ ْم تُ ْؤ ِمنُونَ بِاهَّلل
ِ فَإ ِ ْن تَنَا َز ْعتُ ْم فِي َش ْي ٍء فَ ُر ُّدوهُ إِلَى هَّللا ِ َوال َّرس
َ َِو ْاليَوْ ِم اآْل ِخ ِر ۚ ٰ َذل
ك خَ ْي ٌر َوأَحْ َس ُن تَأْ ِوياًل
Artinya:
Artinya:
7
atas (perbuatan) kamu. Dan Kami tidak menetapkan kiblat yang
menjadi kiblatmu (sekarang) melainkan agar Kami mengetahui
(supaya nyata) siapa yang mengikuti Rasul dan siapa yang
membelot. Dan sungguh (pemindahan kiblat) itu terasa amat berat,
kecuali bagi orang-orang yang telah diberi petunjuk oleh Allah;
dan Allah tidak akan menyia-nyiakan imanmu. Sesungguhnya
Allah Maha Pengasih lagi Maha Penyayang kepada manusia”.8
8Prof. Dr. H. Amir Syarifuddin, Ushul Fiqh Jilid 1, (Jakarta: Kencana, 2009), Edisi Pertama,
Cetakan ke-4, hal.138-142.
9Ijma Sebagai Sumber Hukum Islam. http://penertianijmadanqiyassertarukundansyarat. Dikutip
06 Oktober 2017.
10Buchoriahmad12. Pengertian Ijtihad, Objek dan Macam-Macamnya, 2011, eling-
buchoriahmad12.blogspot.com., dikutip 07 Oktober 2017
8
2. Syarat-Syarat dan Tingkatan Mujtahid
a. Syarat-Syarat Menjadi Mujtahid
11Prof. Dr. H. Amir Syarifuddin, Ushul Fiqh Jilid 2, (Jakarta: Kencana, 2009), Edisi Pertama,
Cetakan ke-5, hal.270-283.
9
1) Mujtahid dalam hukum syara’. Mujtahid ini menggali,
menemukan dan mengeluarkan hukum langsung dari
sumbernya.
2) Mujtahid muntasib. Mujtahid ini dalam berijtihad, memilih dan
mengikuti ilmu ushul serta metode yang telah ditetapkan oleh
mujtahid terdahulu, namun ia tidak harus terkait kepada
mujtahid tersebut dalam menetapkan hukum furu’ meskipun
hasil temuan yang ditetapkannya ada yang kebetulan sama
dengan yang telah ditetapkan oleh imam mujtahid yang
dirujuknya.
3) Mujtahid mazhab. Ia mengikuti temuan yang dicapai imam
mazhab dan tidak menyalahi apa yang telah ditetapkan oleh
imamnya, tetapi memungkinkan untuk mengeluarkan hukum
dengan cara menghubungkannya kepada apa yang telah
digariskan oleh imamnya dengan pengetahuan dan ilmu yang
luas tentang mazhabnya.
4) Mujtahid murajjih. Mujtahid yang berusaha menggali dan
mengenal hukum furu’, namun tidak sampai mengistinbatkan
sendiri hukum dari dalil syar’i maupun dari nash imannya.
5) Mujtahid muwazzin. Ulama yang tidak mempunyai
kemapaman untuk men-tarjih diantara beberapa pendapat
mazhab, hanya sekedar membandingkan pendapat dalam
mazhab kemudian berdalil dengan apa yang lebih tepat untuk
diamalkan.
6) Golongan huffaz. Golongan ini tidak melakukan ijtihad dalam
pengertian istilah, tetapi mempunyai kemampuan untuk
menghafal dan mengingat hukum-hukum yang telah ditemukan
imam mujtahid terdahulu secara langsung dari nash atau apa
yang ditemukan mujtahid mazhab dengan men-takhrij-kannya
dari pendapat imam mazhab.
7) Golongan muqallid. Kalangan umat yang tidak mempunyai
kemampuan dalam melakukan ijtihad dalam pengertian istilah,
10
juga tidak mempunyai kemampuan untuk men-tahrij-kan
pendapat imam, ia juga tidak memahami dalil-dalil, hanya
megikuti apa yang dikatakan imam mazhab.12
3. Pembagian Ijtihad
12Prof. Dr. H. Amir Syarifuddin, Ushul Fiqh Jilid 2, (Jakarta: Kencana, 2009), Edisi Pertama,
Cetakan ke-5, hal.293-297.
11
a) Takhrij Al-Ahkam, yaitu menetapkan hukum terhadap
suatu kejadian yang baru dengan cara menghubungkannya
kepada hukum yang pernah ditetapkan imam mujahid
terdahulu.
b) Tarjih, yaitu untuk menemukan kejelasan sebagai pegangan
di kemudian hari bagi para pengikut seorang imam mujahid
dengan memilih dan memilah mana yang terkuat diantara
pendapat yang berkembang di antara berbagai pendapat
ulama mujtahid untuk diikuti dan dijalankan.
4. Macam-Macam Ijtihad
12
a) Ijtihad yang tidak mungkin terhenti kegiatannya, ijtihad
dalam bentuk ini ialah disebut tahqiq al-manath atau ijtihad
dalam menjelaskan hukum. Bentuk ijtihad ini adalah apa
yang disebut dengan ijtihad bayani yang dikemukakan oleh
Salam Madzkur di atas, yang keberadaannya di akui oleh
semua pihak.
b) Ijtihad yang mungkin terhenti kegiatannya. Ijtihad dalam
hal ini ada dua macam, yaitu: tanqih al-manath dan takhrij
al-manath.
3) Dari segi hasil yang dicapai melalui ijtihad,al-Syatibi membagi
ijtihad itu ke dalam dua bentuk:
a) Ijtihad mu’tabar, yaitu ijtihad yang secara hukum dapat
dipandang sebagai penemuan hukum, yaitu ijtihad yang
dihasilkan oleh pakar yang mempunyai kemampuan untuk
berijtihad berdasarkan syarat-syarat yang ditetapkan.
b) Ijtihad ghairu mu’tabar, yaitu ijtihad yang secara hukum
tidak apat dipandang sebagai cara dalam menemukan
hukum. Ijtihad dalam bentuk ini adalah ijtihad yang
dilakukan oleh orang-orang yang tidak mempunyai
kemampuan untuk berijtihad berdasarkan syarat-syarat
yang telah ditentukan.
4) Al-Mawardi membagi ijtihad dari sudut kegiatan ijtihad dalam
kaitannya dengan cara yang digunakan. Menurut titik pandang
ini, ijtihad itu ada 8 macam:
a) Ijtihad yang kegiatannya mengeluarkan hukum dari makna
tujuan yang terdapat dalam nash.
b) Ijtihad yang kegiatannya mengeluarkan hukum dari
keiripan yang terdapat dalam nash.
c) Ijtihad yang kegiatannya mengeluarkan hukum dari
keumuman lafaz nash. Umpamanya menetapkan pihak
yang berhak memaafkan suami yang menceraikan istrinya
sebelum dicampuri.
13
d) Ijtihad yang kegiatannya mengeluarkan hukum dari
kumpulan nash. Umpamanya ijtihad dalam menetapkan
kadar mut’ah, yaitu kewajiban mahar yang harus dibayar
suami yang menceraikan istrinya sebelum dicampuri,
sedangkan besarnya mahar tersebut belum ditetapkan.
e) Ijtihad yang kegiatannya mengeluarkan hukum dari
keadaan keadaan yang terdapat dalam nash. Umpamanya
ijtihad dalam menetapkan dam (denda) pada haji tamattu’.
f) Ijtihad yang kegiatannya mengeluarkan hukum dari dalil
(petunjuk yang kuat) dalam nash. Umpamanya ijtihad
dalam menetapkan ukuran kewajiban suami atas nafkah
istrinya.
g) Ijtihad yang kegiatannya mengeluarkan hukum dari ‘amarat
(petunjuk yang kurang kuat) dalam nash. Umpamanya
ijtihad dalam menetapkan arah kiblat bagi orang yang
samar tentang kiblat.
h) Ijtihad yang kegiatannya mengeluarkan hukum bukan dari
nash juga bukan dari prinsip nash. Bentuk ijtihad ini lepas
dari keterkaitannya dengan nash baik secara langsung
maupun tidak langsung.
5) Macam ijtihad dilihat dari segi pelakasanaannya atau dari segi
siapa yang terlibat langsung dalam melakukan penggalian dan
penemuan hukum untuk kasus tertentu. Dalam hal ini
mengandung kemungkinan bahwa yang melakukan ijtihad
dapat lebih dari satu orang. Dilihat dari kasus ini, ijtihad ada
dua macam:
a) Ijtihad fardi atau ijtihad perseorangan, yaitu ijtihad yang
pelakunya hanya satu orang.
b) Ijtihad jama’i atau ijtihad kolektif, yaitu ijtihad yang
dilakukan oleh beberapa orang secara kolektif (bersama).13
D. Ijma’ di Zaman Kontemporer
13Prof. Dr. H. Amir Syarifuddin, Ushul Fiqh Jilid 2, (Jakarta: Kencana, 2009), Edisi Pertama,
Cetakan ke-5, hal.283-293.
14
1. Ijma’ Pada Masa Klasik
Sejarah tasyri’ Islam telah menorehkan tintanya bahwa ijtihad
pernah terjadi di masa kekhalifahan Abu Bakar dan Umar dan tidak
seorangpun sahabat yang menafikan kenyataan itu. Sebagaimana yang
diriwayatkan oleh Maimun bin Mahran bahwa jika khalifah Abu Bakar
dan Umar dihadapkan dengan suatu pertentangan atau masalah, maka
akan mencari jawabannya di dalam al-Qur’an atau sunnah Nabi, dan
jika tidak menemukan jawaban maka mereka akan memanggil dan
mengumpulkan para tokoh kaum muslimin pada saat itu dan para
ulama’ untuk diajak musyawarah, berijtihad dan mencari jawaban, dan
hal ini juga dikatakan oleh al-Juwaini. Dan merupakan bukan hal yang
meragukan lagi bahwa pada waktu itu tidak semua para ulama’ yang
dikumpulkan, karena para ulama’ tidak dalam satu tempat tetapi
tersebar di berbagai daerah seperti di Makkah, di Syam dan di Yaman
dan jika menunggu keseluruhan para ulama’ terkumpul maka akan
membutuhkan waktu yang lama.
Contoh ijma’ yang dilakukan pada masa sahabat seperti ijma’
yang dilandaskan pada al-Qur’an adalah kesepakatan para ulama’
tentang keharaman menikahi nenek dan cucu perempuan berdasarkan
QS. An-Nisa’ ayat 23. Para ulama’ sepakat bahwa kata ummahat (para
ibu) dalam ayat tersebut mencakup ibu kandung dan nenek, sedangkan
kata banat (anak-anak wanita) dalam ayat tersebut mencakup anak
perempuan dan cucu perempuan.
Sebagaimana dijelaskan di atas, bahwa jika ada masalah yang
tidak ditemukan jawabannya baik dalam al-Qur’an maupun Sunah
maka bermusyawarah dengan para ulama’ untuk menyelesaikan
permasalahan tersebut. Seperti khalifah Umar ketika itu
mengumpulkan para sahabat untuk membahas masalah pembagian
penghasilan hasil bumi Irak dan tanah-tanah taklukan lainnya yang
merupakan ghanimah perang. Ternyata mereka sepakat untuk
membiarkan tanah itu diolah penduduk aslinya dan tidak
membagikannya kepada para pasukan. Demikianlah yang mereka
15
lakukan sepanjang masa hayat hingga masa itu berganti dan orang-
orang sepeninggal mereka menjalankan apa yang telah disepakati.
2. Ijma’ Pada Masa Modern
Salah satu hikmah yang dilimpahkan oleh Allah adalah bahwa
Allah tidak menjadikan kandungan al-Qur’an berupa materi-materi
yudisial yang terbatas sebagaimna dunia matematika yang tidak
memberi kemungkinan inovasi pemikiran kreatif (ijtihad).Seiring
perputaran yang terus-menerus dan perjalanan yang cepat, muncullah
persoalan-persoalan baru yang belum dikenal oleh ulama terdahulu
bahkan belum tersirat di benak para ulama’ salaf, sehingga hukum dan
fatwa yang ditetapkan oleh ulama’ terdahulu tidak relevan lagi, dan hal
inilah yang memotivasi untuk berijtihad lantaran berubahnya masa,
tempat, adat dan kondisi serta keadaan masyarakat yang selalu berubah
dan berkembang.
Para ulama’ sepakat bahwa ijma’ merupakan dasar
pengambilan hukum setelah al-Qur’an dan hadits Nabi, namun dalam
aplikasinya masih terdapat perbedaan pandangan apakah ijma’ hanya
terjadi pada masa sahabat saja atau apakah ijma’ dapat dilakukan pada
masa sekarang.14
16