Anda di halaman 1dari 32

LAPORAN TEKNOLOGI DAGING

SOSIS AYAM

OLEH:

KELOMPOK 4

FEBRIAN RAHMA PUTRA 1710511055


NANDA AYU MARDIANA 1710511056
YOSSINTA CRISTIN CANDRA K. 1710511057
WINDA VISHA ASTARI 1710511058
FAHMY KAFA HAKIKI 1710511059
YUSTIKA AYU TRIWAHYUNI 1710511060
NI PUTU INTARIANI 1710511061
JUAN MARASUKMA HASIBUAN 1710511062
SANDHIKA WAHYU ADHINUGRAHA 1710511063
NI LUH GEDE MAHIRA O. 1710511065
EMMA RAHMASARI 1710511066
AGNES MONIKA GANDHES S. 1710511068
EAZY NATASYA PUTRI 1710511069

PROGRAM STUDI ILMU DAN TEKNOLOGI PANGAN

FAKULTAS TEKNOLOGI PERTANIAN

UNIVERSITAS UDAYANA

2020
BAB I. PENDAHULUAN

1.1 Pendahuluan
Dewasa ini kebutuhan makanan yang bersifat cepat saji (ready to cook)
semakin tinggi. Frozen food (makanan beku) merupakan salah satu pilihan
makanan cepat saji yang sering dipilih masyarakat. Tingginya permintaan
konsumen akan makanan beku membuat semakin banyak industri yang
mengolah bahan pangan menjadi makanan praktis cepat saji, salah satunya
adalah sosis, baik sosis sapi, ayam ikan, babi maupun udang. Olahan daging ini
merupakan makanan yang mendunia, dimana hampir di setiap negara pasti
mengonsumsi sosis karena cita rasa sosis yang enak dan pengolahannya juga
relatif mudah.
Sosis terbuat dari daging ayam, sapi, babi, ikan bahkan udang yang
dihaluskan sebagai bahan baku utama, menggunakan bumbu, bahan pengisi
(filler), dan bahan pengikat (binder) sebagai bahan tambahan, kemudian
dimasukan kedalam selongsong atau pembungkus berupa usus hewan maupun
pembungkus buatan (Hadiwiyoto, 1983). Komposisi sosis berbeda-beda,
tergantung pada jenis daging yang digunakan dan proses pengolahannya.
Daging yang paling umum diolah menjadi sosis adalah daging ayam.
Sosis ayam merupakan jenis sosis yang paling banyak beredar di
kalangan masyarakat. Daging ayam merupakan bahan pangan hewani yang
memiliki nilai gizi tinggi karena kaya akan protein, lemak, mineral serta zat-zat
lain yang sangat dibutuhkan tubuh. Sosis ayam mempunyai ciri-ciri khusus
antara lain berwarna keputihan atau merah pucat, mempunyai serat yang halus,
ukuran serat lebih panjang, lemak terdapat dibawah kulit dan berwarna kuning
(Rosyidi, 2009). Jumlah peminat sosis ayam di Indonesia cukup tinggi yang
dapat dilihat dari ketersediaan sosis ayam di hampir setiap toko atau swalayan.

1.2 Tujuan
1. Untuk mengetahui proses pembuatan sosis ayam.
2. Untuk mengetahui penilaian panelis terhadap sosis ayam melalui uji
sensoris.
BAB II. TINJAUAN PUSTAKA
2. 1. Daging Ayam
Daging adalah otot (urat daging) atau jaringan lunak yang melekat
pada tulang kerangka, kecuali urat daging bagian bibir, hidung, dan telinga
yang berasal dari hewan ternak yang sehat setelah dipotong atau disembelih
(Muchtadi, dkk., 2013). Daging banyak dikonsumsi karena merupakan
sumber protein hewani yang sangat dibutuhkan oleh manusia. Protein
merupakan komponen kimia terpenting yang ada di dalam daging yang
diperlukan untuk proses pertumbuhan, perkembangan, dan pemeliharaan
kesehatan. Salah satu jenis daging yang paling sering dikonsumsi adalah
daging ayam. Jenis ayam yang biasa dikonsumsi adalah jenis ayam potong
yaitu ayam pedaging atau ayam broiler. Menurut Bintoro, dkk (2006),
bahwa ayam pedaging memiliki harga yang lebih murah dibandingkan ayam
kampung, meskipun rasanya sedikit berbeda.
Kualitas daging ayam dapat dipengaruhi oleh proses pemotongan
ayam. Dalam melakukan pemotongan ayam, diharuskan tidak diperlakukan
secara kasar, ayam tidak mnengalami stress, pengeluaran darah harus
sempurna, kerusakan daging harus diminimalkan, bersih, dan juga aman
(Soeparno, 2009). Pemotongan ayam dilakukan dengan memotong saluran
arteri karotis dan vena jugularis yang ada pada bagian leher karena jantung
yang memompa darah masih berfungsi normal sehingga pengeluaran darah
dapat berlangsung dengan sempurna. Daging ayam setelah dilakukan
pemotongan akan dibersihkan bulu dan isi perutnya (jeroan) kemudian
dicuci sampai benar-benar bersih dan selanjutnya siap untuk dijual. Daging
ayam biasa disajikan dalam bentuk segar dan dalam bentuk dingin ataupun
beku. Adapun ciri-ciri daging ayam segar, yaitu warna daging putih
kekuningan, warna lemak kekuningan dan merata dibawah kulit, bau segar
khas ayam, kenyal (ditekan dengan jari akan kembali seperti semula), tidak
ada tanda-tanda memar, dan serat daging halus. Warna daging ayam yang
putih kekuningan disebabkan karena adanya provitamin A yang terdapat
pada lemak daging dan pigmen oksimioglobin (pigmen yang hanya ada
pada permukaannya saja).
Ayam jika dipotong dengan cara yang baik dan benar, maka akan
menghasilkan daging dengan kualitas dan nilai gizi yang baik. Dagingayam
memiliki protein yang cukup tinggi, bahkan lebih tinggi dibandingkan
daging sapi. (Kemenkes, 2017). Menurut Campbell dan Lasley (1975) yang
dikutip Anggorodi (1995), komposisi daging ayam yaitu 73.7% air, 20.6%
protein, 4.7% lemak, dan 1% abu. Kandungan protein daging ayam lebih
tinggi dibandingkan daging sapi. Menurut Murtidjo (2003), secara umum,
protein dalam daging ayam terdiri atas tiga bagian, yaitu:
- Protein yang terdapat di dalam miofibril, merupakan gabungan dari
aktin dan miosin, biasa disebut dengan aktinmiosin
- Protein yang terdapat di dalam sarkoplasma, yaitu albumin dan globulin
- Protein yang terdapat di dalam jaringan ikat, yaitu kolagen dan elastin.
Berdasarkan data Kementerian Kesehatan RI, komposisi daging
ayam mentah dalam 100 g bahan yaitu:

Komposisi Jumlah
Air 55.9 g
Energi 298 Kal
Protein 18.2 g
Lemak 25.0 g
Karbohidrat 0.0 g
Serat 0.0 g
Abu 0.9 g
Kalsium (Ca) 14 mg
Fosfor (P) 200 mg
Besi (Fe) 1.5 mg
Natrium Na) 109 mg
Kalium (K) 385.9 mg
Tembaga (Cu) 0.11 mg
Seng (Zn) 0.6 mg
Retinol (Vit. A) 245 mcg
Beta-Karoten 0 mcg
Thiamin (Vit. B1) 0.08 mg
Riboflavin (Vit. B12) 0.14 mg
Niasin 10.4 mg
Vitamin C 0 mg
Selain kaya dengan protein, daging ayam juga mengandung energi
yang ditentukan oleh kandungan lemak intraseluler di dalam serabut-serabut
otot. Daging ayam juga merupakan sumber vitamin dan mineral yang sangat
baik, seperti kalsium, fosfor, zat besi, dan vitamin B kompleks tetapi rendah
vitamin C (Murtidjo, 2003).

2. 2. SOSIS AYAM
Daging merupakan salah satu bahan pangan yang mudah rusak oleh
mikroorganisme karena memiliki kadar air yang cukup tinggi. Oleh karena
itu, perlu dilakukan penanganan dan pengolahan daging dengan tujuan
untuk memperpanjang masa simpan daging. Salah satu cara tersebut yaitu
dengan mengolahnya menjadi sosis. Sosis merupakan salah satu olahan
daging yang dicetak menggunakan selongsong atau casing dan dapat dibuat
atau diolah dari daging ayam, sapi, maupun babi. Akan tetapi, banyak
masyarakat yang lebih sering mengonsusmi sosis ayam karena memiliki
kandungan protein yang cukup tinggi dan dapat diterima oleh semua
golongan masyarakat dan agama.
Sosis ayam merupakan salah satu olahan daging ayam yang diolah
dengan cara menghancurkan atau menghaluskan daging ayam kemudain
ditambah dengan bumbu, bahan pengisi (filler), dan bahan pengikat (binder)
sebagai bahan tambahan, kemudian dicetak di dalam selongsong yang dapat
dimakan maupun tidak dapat dimakan (Meliasari et al., 2016). Menurut
Soeparno (2004), bahwa daging ayam yang digunakan dalam pembuatan
sosis harus bermutu baik sebab sangat menentukan kualitas dan kuantitas
produk sois yang dihasilkan. Oleh karena itu, penanganan sebelum dan
sesudah pemotongan ayam harus sangat diperhatikan. Jenis daging ayam
yang biasa digunakan sebagai bahan membuat sosis adalah daging ayam
broiler. Hal ini karena daging ayam broiler mempunyai sifat daging
berwarna keputih-putihan, memiliki serat yang halus dan Panjang, kulit
berlemak, tekstur kenyal, serta tulang rawan dada belum menjadi tulang
keras dengan bentuk melebar ke samping dan padat berisi (Rasyaf, 2004).
Komponen yang sangat penting dalam pembuatan sosis ayam adalah
protein. Protein dapat berfungsi untuk membentuk tekstur yang kompak dan
juga sebagai pengemulsi minyak. Protein berupa aktin dan miosin berperan
dalam peningkatan hancuran daging selama pemasakan sehingga dapat
membentuk tekstur yang kompak dan tidak pecah. Protein juga berperan
sebagai emulsifier untuk menjaga kestabilan tekstur, adonan lebih homogen,
mudah mengikat air, kemampuan koagulasi yang baik ditandai dengan
perubahan bentuk cair ke gel dan perubahan warna dari bening menjadi
putih keruh (Rahardjo, 2003). Dalam pembuatan sosis, diperlukan bumbu-
bumbu seperti bawang putih, garam, gula, ketumbar, dan lada dengan tujuan
untuk menambah citarasa sosis ayam. Selain itu, dalam pembuatan sosis
juga dibutuhkan bahan pengisi dan bahan pengikat, yang mana bahan
pengikat berupa putih telur dan bahan pengisi berupa tepung tapioka.
Menurut Susrini dan Thohari (1989) menyatakan bahwa putih telur sebagai
bahan pengikat mempunyai kemampuan mengikat molekul-molekul air
yang cukup tinggi karena adanya gugus reaktif asam amino yang terkandung
dalam protein putih telur sehingga air akan sulit untuk menguap. Selain itu,
penambahan putih telur juga memberikan efek dalam pengembangan
volume sosis ayam karena putih telur mengandung protein utama yaitu
albumin yang bersifat larut air, dapat menyerap dan memerangkap berbagai
bahan pencita rasa, mengikat butiran lemak, memerangkap air dan gas/udara
yang masuk dalam matriks protein, sehingga dapat menambah volume
produk. (Muwarni, 2008). Selanjutnya, tepung tapioka banyak digunakan
sebagia bahan pengisi karena kemampuan menyerap air dan dalam suhu
panas akan membentuk gel, sehingga dapat dimanfaatkan untuk
memperbaiki tekstur produk (Mc. Williams, 1997 dalam Widyastuti, dkk.,
2000).
BAB III. METODOLOGI PENELITIAN

3. 1. Alat
1) Blender 5) Panci
2) Pisau 6) Kompor
3) Talenan 7) Viekan
4) Timbangan

3. 2. Bahan
1) 200 g daging ayam 7) ½ sdt gula
2) 50 g es batu 8) ½ sdt lada
3) 10 g bawang putih 9) ¾ garam
4) 1 butir putih telur 10) 25 ml minyak goreng
5) 3 sdm tapioca 11) Casing sosis
6) ½ sdt ketumbar 12) Plastik segitiga

3. 3. Prosedur Kerja
1) Dicuci daging ayam di air mengalir
2) Dicincang daging ayam
3) Dicampur atau diblender ayam cincang dengan garam dan sebagian es
serut, aduk hingga rata
4) Ditambahkan minyak, aduk rata kemudian masukan tapioka, gula, lada,
ketumbar, bawang putih, putih telur, dan sisa es serut. Aduk sampai rata
dan kesat
5) Dimasukan ke plastik segitiga / piping bag dan masukan kedalam casing
sosis, ikat ke atas bawah 10 cm atau sesuai selera
6) Dididihkan air, dimasukan sosis dimasak 20-30 menit
7) Diangkat dan dimasukan ke air es agar bentuk tidak berubah
8) Diangkat, ditiriskan, dipotong ujungnya kemudian dimasukan kedalam
freezer atau langsung diolah
BAB IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

4.1.Hasil Pengamatan
4.1.1 Uji Sensoris Hedonik (sebelum dan sesudah digoreng) kecuali untuk
rasa

Penerimaan
Nama Warna Aroma Tekstur
No. Rasa Keseluruhan
Panelis
Sebelum Sesudah Sebelum Sesudah Sebelum Sesudah Sebelum Sesudah
1. Febrian 3 4 3 4 3 3 2 3 2
2. Nanda 3 4 5 5 3 4 2 3 3
3. Yossinta 3 4 4 4 3 2 1 3 3
4. Winda 4 4 4 3 3 3 3 3 3
5. Fahmy 4 4 4 4 3 3 2 2 2
6. Yustika 3 4 4 4 3 3 1 3 3
7. Intariani 3 3 3 3 3 3 2 3 3
8. Juan 4 4 4 4 3 4 1 3 3
9. Dhika 3 4 3 4 3 3 2 3 3
10. Mahira 3 4 4 4 3 4 2 3 3
11. Emma 3 4 4 4 3 3 2 3 3
12. Agnes 3 4 4 4 3 3 1 3 3
13. Eazy 3 4 4 4 3 3 1 3 3

Keterangan:
1 = tidak suka
2 = agak tidak suka
3 = netral
4 = suka
5 = sangat suka
4.1.2 Uji Sensoris Skoring Warna
Warna
No. Nama Panelis
Sebelum Sesudah
1. Febrian 1 1
2. Nanda 2 2
3. Yossinta 1 1
4. Winda 1 1
5. Fahmy 2 1
6. Yustika 1 1
7. Intariani 1 1
8. Juan 1 1
9. Dhika 1 1
10. Mahira 1 1
11. Emma 1 1
12. Agnes 2 1
13. Eazy 2 1

Keterangan:
1 = agak kenyal
2 = kenyal
3 = sangat kenyal
4 = amat sangat kenyal

4.2. Pembahasan
Kelompok 4 melakukan praktikum pengolahan daging ayam
menjadi sosis ayam dengan bahan lainnya seperti tapioka, es batu, garam,
bawang putih, ketumbar, gula, lada, minyak goreng yang nantinya setelah
dicampurkan diisi ke dalam casing sosis yang dalam praktikum kali ini
menggunakan casing non-edible. Setelah sosis ayam selesai diolah,
dilakukan pengujian sensoris secara hedonik terhadap sosis ayam sebelum
digoreng (yang sudah direbus terlebih dahulu) dan sesudah digoreng.
Karakteristik yang dinilai dalam pengujian sensoris secara hedonik ini
meliputi warna, aroma, tekstur, rasa, dan penilaian keseluruhan. Selain
pengujian sensoris secara hedonik, dilakukan juga pengujian sensoris secara
skoring untuk warna sosis ayam sebelum dan sesudah digoreng. Pengujian
sensoris dilakukan oleh panelis yang merupakan anggota kelompok 4 itu
sendiri.
Dari segi warna, panelis rata-rata memberikan nilai 3 (netral) untuk
sosis ayam yang belum digoreng dan rata-rata memberikan nilai 4 (suka)
untuk sosis ayam yang sudah digoreng. Dari segi aroma, panelis
memberikan nilai 4 (suka) baik untuk sosis ayam yang belum digoreng dan
sudah digoreng. Dari segi tekstur, panelis memberikan nilai 3 (netral) untuk
sosis ayam yang belum digoreng dan nilai 4 (suka) untuk sosis ayam yang
sudah digoreng. Dari segi rasa, rata-rata panelis memberikan nilai 2 (agak
tidak suka). Untuk penilaian keseluruhan, panelis memberikan nilai 4 (suka)
baik untuk sosis ayam yang belum digoreng dan sudah digoreng. Kemudian,
untuk pengujian sensoris secara skoring terhadap warna sosis ayam, panelis
memberikan nilai 1 (agak kenyal) baik untuk sosis ayam yang belum
digoreng dan sudah digoreng.
Penilaian sensoris yang dilakukan sebenarnya dipengaruhi oleh
teknik atau cara pengolahan sosis ayam itu sendiri. Untuk warna, sosis ayam
yang sudah digoreng bisa menghasilkan warna coklat keemasan yang sangat
cantik atau menarik apabila digoreng dengan suhu tertentu yang sudah
ditentukan sehingga tidak menghasilkan warna yang terlalu coklat atau
kurang menarik. Untuk aroma, juga bisa tergantung dari bumbu atau bahan
yang ditambahkan. Jika menilai dari segi tekstur, sosis ayam yang dijual di
pasaran dengan harga yang tidak terlalu mahal menggunakan daging yang
jumlahnya lebih sedikit biasanya menambahkan bahan pengikat atau
pengisi seperti natrium tripolifosfat sehingga karakteristik produk sosis
ayam atau daging lainnya tetap terjaga (Anggraeni et al., 2014) serta diikuti
dengan penggunaan bumbu-bumbu lainnya untuk menambahkan cita rasa.
Namun, penggunaaan natrium tripolifosfat yang merupakan bahan
tambahan pangan yang merupakan bahan kimia sintetis apabila dikonsumsi
secara terus menerus dan dalam jangka waktu yang panjang akan dapat
menimbulkan efek samping yang membahayakan kesehatan. Di dalam
praktikum kali ini, bahan pengikat yang digunakan merupakan bahan
pengikat alami yang berasal dari bahan makanan juga, yaitu putih telur.
Oleh sebab itu, karakteristik sosis ayam yang dihasilkan dari praktikum kali
ini mungkin tidak sebaik produk sosis ayam lainnya di pasaran yang
menggunakan bahan pengikat sintetis lainnya yang dapat memperbaiki
karakteristik sosis dengan sangat baik. Dan untuk segi rasa pada produk
sosis ayam yang dihasilkan, tergantung dari kesesuaian perbandingan
jumlah komponen bumbu dan berat daging ayam yang digunakan. Pada
akhirnya, penilaian keseluruhan terhadap produk sosis ayam yang
dihasilkan oleh kelompok 4 dalam praktikum kali ini masih layak untuk
dikonsumsi meskipun tidak memiliki karakteristik terbaik.
BAB V. KESIMPULAN

Dari data diatas dapat disimpulkan, yaitu :

1. Pada pengujian sensoris hedonik (sebelum dan sesudah digoreng) kecuali


untuk rasa menghasilkan data ialah
a. Segi warna, panelis rata-rata memberikan nilai 3 (netral) untuk sosis
ayam yang belum digoreng dan rata-rata memberikan nilai 4 (suka)
untuk sosis ayam yang sudah digoreng.
b. Segi aroma, panelis memberikan nilai 4 (suka) baik untuk sosis ayam
yang belum digoreng dan sudah digoreng.
c. Segi tekstur, panelis memberikan nilai 3 (netral) untuk sosis ayam yang
belum digoreng dan nilai 4 (suka) untuk sosis ayam yang sudah
digoreng.
d. Segi rasa, rata-rata panelis memberikan nilai 2 (agak tidak suka).
2. Untuk penilaian keseluruhan, panelis memberikan nilai 4 (suka) baik untuk
sosis ayam yang belum digoreng dan yang sudah digoreng.
3. Pada uji sensoris skoring warna dimana panelis meberikan nilai 1 (agak
kenyal) baik untuk sosis ayam yang belum digoreng dan sudah digoreng.
DAFTAR PUSTAKA

Anggraeni D. A, Widjanarko S. B. dan Ningtyas D. W. 2014. Proporsi Tepung


Porang dan Maizena terhadap Karakteristik Sosis Ayam. Jurnal Pangan dan
Agroindustri Vol. 2 No 3 p.214-223, Juli 2014.
Departemen Pertanian Liptan (Lembar Informasi Pertanian). (2017). Lembar
Informasi Pertanian . Retrieved from litbang.pertanian:
http://yogya.litbang.pertanian.go.id/ind/images/liptan/Daging%20Ayam%
20:%20Sumber%20protein%20hewani%20yang%20murah%20dan%20m
udah%20didapat.pdf
Farid, Muhammad. (2017). Skripsi . Retrieved from etheses. uin-malang:
http://etheses.uin-malang.ac.id/11058/1/13640056.pdf
Khotimah, Khusnul dan Endang Sri Hartatie. (2013). Kualitas Fisika Kimia Sosis
Ayam dengan Penggunaan Labu Merah (Cucurbita Moschata) sebagai
Alternatif Pengganti Pewarna dan Antioksidan. Jurnal Ilmu Ternak , 35-36.
Undip . (2019). II. TINJAUAN PUSTAKA . Retrieved from epints. undip:
http://eprints.undip.ac.id/55233/3/Bab_II.pdf
Unpad. (2019). II. KAJIAN KEPUSTAKAAN. Retrieved from media.unpad:
http://media.unpad.ac.id/thesis/200110/2011/200110110295_2_6474.pdf
Wulandari, Dina, Nur Komar dan Sumardi Hadi Sumarlan. (2013). Perekayasa
Pangan Berbasis Produk Lokal INdonesia (Studi Kasus Sosis Berbahan
Baku Tempe Kedelai). Jurnal Bioproses Komoditas Tropis, 73-80.
LAMPIRAN
LAPORAN TEKNOLOGI DAGING

DENDENG SAPI

OLEH: KELOMPOK 4

FEBRIAN RAHMA PUTRA 1710511055


NANDA AYU MARDIANA 1710511056
YOSSINTA CRISTIN CANDRA K. 1710511057
WINDA VISHA ASTARI 1710511058
FAHMY KAFA HAKIKI 1710511059
YUSTIKA AYU TRIWAHYUNI 1710511060
NI PUTU INTARIANI 1710511061
JUAN MARASUKMA HASIBUAN 1710511062
SANDHIKA WAHYU ADHINUGRAHA 1710511063
NI LUH GEDE MAHIRA O. 1710511065
EMMA RAHMASARI 1710511066
AGNES MONIKA GANDHES S. 1710511068
EAZY NATASYA PUTRI 1710511069

PROGRAM STUDI ILMU DAN TEKNOLOGI PANGAN

FAKULTAS TEKNOLOGI PERTANIAN

UNIVERSITAS UDAYANA

2020
BAB I. PENDAHULUAN

1.1 Pendahuluan
Daging merupakan salah satu bahan pangan bergizi tinggi yang sangat
bermanfaat bagi manusia terutama sebagai sumber protein hewani yang
dibutuhkan oleh tubuh. Kualitas daging secara keseluruhan dipengaruhi oleh
faktor-faktor seperti pakan saat ternak masih hidup, kondisi kesehatan ternak,
perlakuan terhadap ternak sebelum dipotong dan sesaat setelah dipotong,
kualitas mikroorganisme serta nilai palatabilitasnya. Untuk memperpanjang
umur simpan daging dapat dilakukan dengan cara pengolahan. Pengawetan
daging segar merupakan cara untuk memperpanjang umur simpan sehingga
kerusakan pada daging dapat dicegah, karena daging segar yang lama disimpan
pada suhu kamar akan menurunkan nilai jual. Pengawetan daging dapat
dilakukan dengan cara pengolahan daging menjadi dendeng,
Dendeng merupakan salah satu produk olahan daging yang telah dikenal
luas oleh masyarakat Indonesia, dapat terbuat dari daging sapi, ayam, babi,
kambing maupun itik. Proses pembuatan dendeng umumnya dilakukan dengan
cara daging diiris tipis atau dihancurkan kasar kemudian dicetak. Tapi pada
praktikum kali ini daging dipotong dengan cara dipotong mengikuti garis serat
kemudian dioalah dengan penambahan bumbu dan daging yang digunakan
adalah daging sapi. Proses penggilingan mampu meningkatkan flavor dan
tekstur dendeng yang dihasilkan karena bumbu yang ditambahkan akan meresap
lebih merata ke seluruh permukaan dendeng. Proses penggilingan juga akan
meningkatkan kecernaan protein dendeng melalui pemotongan serat-serat otot
sehingga mudah terdegradasi oleh aktivitas proteolitik mikroorganisme menjadi
bentuk yang lebih sederhana yakni asam amino. Menurunnya kadar air juga
dapat menyebabkan berkurangnya kandungan beberapa zat gizi seperti
karbohidrat dan vitamin-vitamin larut air.
1.2 Tujuan
Adapun tujuan dalam pembuatan dendeng kali ini adalah
1) Untuk mengetahui proses pembuatan dendeng sapi
2) Untuk mengetahui penilaian panelis terhadap dendeng sapi melalui uji
sensoris
BAB II. TINJAUAN PUSTAKA
2. 1. Daging Sapi
Daging sapi adalah bagian otot skeletal dari karkas sapi yang aman,
layak dan lazim dikonsumsi oleh manusia, dapat berupa daging segar, daging
segar dingin, atau daging beku (Badan Standardisasi Nasional, 2008). Daging
sapi memiliki warna merah terang, tidak pucat dan mengkilap. Secara kasat
mata fisik daging sedikit kaku, elastis dan tidak lembek, jika dipegang masih
terasa basah dan tidak lengket di tangan, dari segi aroma daging sapi sangat
khas (gurih). Kandungan protein daging sapi sebesar 18,80 % (Usmiati,
2010). Bagian-bagian daging sapi terdiri dari: sampil (chuck), sandung lamur
(brisket), has luar (sirloin), has dalam (tenderloin), samcan (flank), plate,
(penutup, tanjung, kelapa, gandik (round)), dan sengkel (shank).
Daging paha (topside atau round) adalah bagian daging sapi yang
terletak di bagian paha belakang sapi yang besar dan tebal (6.2% dari berat
karkas) dan sudah mendekati area pantat sapi. Potongan daging sapi di bagian
ini sangat tipis dan sangat alot. Bentuknya besar melebar dan terbungkus
lapisan lemak. Daging paha dapat untuk keperluan, mulai dari rendang,
dendeng, rollade, empal, dan oseng-oseng (Nurani, 2010).
2. 2. Dendeng Sapi
Dendeng sapi adalah produk yang berbentuk lempengan terbuat dari
daging sapi segar dan atau daging sapi beku, yang diiris atau digiling,
ditambah bumbu dan dikeringkan dengan sinar matahari atau alat pengering,
dengan atau tanpa penambahan bahan pangan lain dan bahan tambahan
pangan yang diizinkan (Badan Standardisasi Nasional, 2013). Dendeng
biasanya disajikan dengan cara digoreng. Curing merupakan tahapan dari
pengolahan daging yang biasa dilakukan industri pembuatan dendeng. Curing
didefinisikan sebagai penambahan garam dapur, garam nitrat atau garam
nitrit, gula, atau bumbu-bumbu pada daging dengan tujuan memperoleh
warna merah yang stabil serta menghasilkan karakteristik yang khas pada
daging (Soeparno, 1994). Pengolahan daging menjadi dendeng bertujuan
meningkatkan umur simpan daging sapi (Kosim, et al., 2015).
2. 3. Garam
Garam dipergunakan manusia secara luas untuk mengawetkan
berbagai macam makanan. Garam berperan sebagai penghambat selektif pada
mikroorganisme pencemar tertentu. Mikroorganisme pembusuk atau
proteolitik dan juga pembentuk spora adalah yang paling mudah terpengaruh
walau dengan kadar garam yang rendah sekalipun (yaitu sampai 6%). Garam
juga mempengaruhi aktivitas air (aw) dari bahan, jadi mengendalikan
pertumbuhan mikroorganisme dengan suatu metode yang bebas dari
pengaruh racunnya. Beberapa organisme seperti bakteri halofilik dapat
tumbuh dalam larutan garam yang hampir jenuh, tetapi mikroorganisme ini
membutuhkan waktu penyimpanan yang lama untuk tumbuh dan selanjutnya
terjadi pembusukan (Buckle, 2009)
2. 4. Gula Merah
Gula merah merupakan gula spesifik yang dihasilkan dari tanaman
aren yang didapatkan melalui proses penyadapan bunga aren dan
pemasakan, rasa dari gula ini manis dan lebih sedap dari gula pasir. Batas
standar penambahan gula pada produk olahan daging sekitar 25% dari
jumlah daging yang dipakai, ditambahkan pula oleh (Bintoro, 2008), pada
proses pembuatan dendeng gula yang digunakan 15% dari jumlah daging
keseluruhan. Fungsi gula merah dalam pembuatan dendeng adalah sebagai
bahan pengawet alami, memperbaiki warna, rasa, tekstur dan aroma. Gula
dapat berfungsi sebagai bahan pengawet karena gula merupakan salah satu
bahan humektan yang mampu menurunkan nilai aW yang akan berimbas
pada penurunan jumlah bakteri karena tempat hidup bakteri yang sudah
tidak nyaman. Syarat tempat hidup bakteri adalah adanya ketersediaan
nutrient sebagai bahan makanan, kelembaban yang sangat erat hubungannya
dengan ketersediaan air dalam suatu media (Anonim, n.d.).
BAB III. METODOLOGI PENELITIAN

3. 1. Alat
1) Pisau 5) Oven
2) Talenan 6) Wajan
3) Timbangan 7) Kompor
4) Ulekan

3. 2. Bahan
1) 100 gram daging sapi 4) 4% bawang putih
2) 25% gula merah 5) 4% ketumbar
3) 3% garam 6) Minyak goreng

3. 3. Prosedur Kerja
1) Daging sapi dibersihkan dengan air yang mengalir
2) Daging sapi diiris tipis searah denga serat daging (memanjang)
3) Bahan-bahan bumbu dihaluskan seperti ketumbar, bawang putih, gula
merah dan garam
4) Daging sapi dilumuri dengan bumbu yang sudah dihaluskan
5) Meletakkan daging sapi yang telah dilumuri bumbu diatas loyang, kemudian
oven selama 3-4 jam suhu 50oC
6) Menggoreng dendeng sapi yang telah dioven hingga matang.
BAB IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

4.1.Hasil Pengamatan
a. Rendemen
Diketahui:
Bobot awal = 100 gram
Bobot akhir = 57,9 gram
Ditanya:
Rendemen (%)?
Dijawab:
Bobot akhir
Rendemen (%) = 𝑥 100%
Bobot awal
57,9
Rendemen (%) = 𝑥 100%
100
Rendemen = 57,9%
b. Uji Sensoris Hedonik (Sebelum dan sesudah digoreng) kecuali untuk
rasa
No. Nama Warna Aroma Tekstur Rasa Penerimaan
Panelis Keseluruhan
Sebelum Sesudah Sebelum Sesudah Sebelum Sesudah Sebelum Sesudah
1. Febrian 4 3 2 4 4 4 4 3 4
2. Nanda 3 4 3 4 4 4 5 3 4
3. Yossinta 3 4 3 4 3 3 3 4 4
4. Winda 4 3 4 4 3 3 4 4 4
5. Fahmy 3 4 3 4 4 4 4 3 4
6. Yustika 3 2 3 4 3 4 4 3 4
7. Intariani 3 3 3 4 3 3 5 3 4
8. Juan 3 3 3 4 3 3 5 3 4
9. Sandhika 4 4 3 4 4 3 5 4 5
10. Mahira 3 4 3 4 4 4 4 3 4
11. Emma 4 4 4 4 4 4 5 4 4
12. Agnes 4 4 3 4 3 4 4 4 4
13. Eazy 4 4 3 4 3 4 5 4 4
Keterangan.
1 = Tidak suka
2 = Agak tidak suka
3 = Netral
4 = Suka
5 = Sangat suka

c. Uji Sensoris Skoring Warna


No. Nama Panelis Warna
Sebelum Sesudah
1. Febrian 3 1
2. Nanda 3 1
3. Yossinta 3 1
4. Winda 3 1
5. Fahmy 3 1
6. Yustika 3 1
7. Intariani 3 1
8. Juan 3 1
9. Sandhika 3 1
10. Mahira 3 1
11. Emma 3 1
12. Agnes 3 1
13. Eazy 3 1
Keterangan.
1 = Sangat Coklat
2 = Coklat
3 = Coklat Kemerahan
4 = Merah Tua
4.2.Pembahasan
Dendeng merupakan salah satu olahan daging sapi yang
menggunakan salah satu teknik pengawetan yaitu pengeringan bertujuan
untuk memperpanjang masa simpan daging. Dalam pengolahan dendeng,
daging sapi biasanya disayat tipis – tipis lalu diberi bumbu dan kemudian
dikeringkan menggunakan sinar matahari langsung maupun oven. Proses
pengeringan menggunakan sinar matahari langsung dapat memakan waktu
hingga 2 – 3 hari, sedangkan jika menggunakan oven waktu yang
dibutuhkan sekitar 3 – 5 jam.
Pada pengolahan dendeng sapi ini, bumbu yang banyak digunakan
adalah garam serta gula merah. Penambahan garam dan gula merah pada
dendeng memiliki tujuan tertentu yaitu untuk memperkaya rasa, dan
menurunkan kadar air pada dendeng daging sapi sehingga dapat menambah
umur simpan. Garam mengikat air di dalam daging hingga mencapai
keseimbangan tekanan osmosis antara bagian luar dan dalam daging. Tidak
hanya itu saja, garam pula dapat menghambat pertumbuhan mikroba
pembusuk. Sedangkan penambahan gula merah pada daging bertujuan
untuk memperbaiki tekstur dengan mengurangi efek pengerasan yang
disebabkan oleh garam sehingga daging menjadi lebih lembut. Gula merah
pula dapat menambah rasa dan memperbaiki aroma pada dendeng.
Pada kesempatan kali ini, dendeng yang dibuat menggunakan
perlakuan yang bervariasi diantaranya yaitu tanpa bumbu (kelompok 1);
garam 3% (kelompok 2); gula merah 25% (kelompok 3); garam 3% dan gula
merah 25% (kelompok 4); dan bumbu lengkap (kelompok 5). Masing –
masing perlakuan tersebut menghasilkan rendemen yang berbeda – beda.
Pada perlakuan tanpa bumbu (kelompok 1) mendapatkan rendemen sebesar
44,7%, lalu pada perlakuan hanya garam 3% (kelompok 2) mendapatkan
rendemen dengan nilai 45,03%, perlakuan dengan gula merah 25%
(kelompok 3) dengan nilai rendemen 44,7%, lalu pada perlakuan garam 3%
dan gula merah 25% (kelompok 4) dengan nilai rendemen sebesar 57,9%,
dan perlakuan terakhir yaitu bumbu lengkap (kelompok 5) dengan nilai
rendemen 55,6%. Perbedaan kadar rendemen pada dendeng sapi
dikarenakan oleh ketebalan irisan daging yang berbeda – beda pada setiap
kelompok. Irisan daging jika diolah menjadi dendeng haruslah tipis searah
dengan serat daging agar proses pengeringan menjadi lebih cepat dan
merata serta dendeng tidak menjadi hancur. Hal ini pula dapat dipengaruhi
oleh berat awal daging sapi yang digunakan sehingga menghasilkan
dendeng dengan rendemen yang tinggi.
Hasil rendemen dendeng sapi mengalami penurunan sebesar 43,1%
selama proses pengovenan. Hal ini dapat terjadi karena air yang terkandung
pada daging sapi menguap selama proses pengovenan yang menyebabkan
terjadinya susut masak.
Uji sensoris Hedonik pada warna,aroma dan tekstur dendeng sapi
sebelum digoreng mendapatkan nilai rata-rata 3 (netral) oleh panelis karena
warna, aroma dan tekstur dendeng sapi sesuai seperti dendeng sapi yang
belum digoreng pada umumnya yaitu berwarna merah segar, yang berasal
dari warna daging sapi, beraroma daging sapid an bertekstur
lunak.Sedangkan setelah digoreng panelis rata-rata menilai 4 (suka) hal ini
dikarenakan setelah digoreng warna menjadi lebih coklat, lebih beraroma
manis karena penambahan gula merah dan gurih karena penambahan garam
serta memiliki tekstur yang lebih keras. Untuk penilaian pada rasa dendeng
sapi, panelis menilai 4 (suka) karena panelis menyukai rasa yang manis dan
gurih dari dendeng sapi. Jadi secara keseluruhan panelis memberikan nilai
3 (netral) dan memberikan nilai 4 (suka) setelah dendeng sapi digoreng.
Uji sensoris skoring warna pada dendeng sapi panelis memberikan
nilai 3 (coklat kemerahan) sebelum dilakukan penggorengan dan
memberikan nilai 1 (coklat) setelah dilakukan penggorengan. Hal ini
dikarenakan dendeng sapi sebelum digoreng berwarna coklat kemerahan
karena dilakukan pengovenan yang membuat warna daging sapi yang merah
segar menjadi merah kecoklatan dan setelah dilakukan penggorengan lagi
warna dari dendeng sapi menjadi lebih coklat. Namun hal tersebut juga
menandakan bahwa dendeng sapi sudah matang dan siap untuk dikonsumsi.
BAB V. KESIMPULAN

Jumlah garam, gula merah dan bumbu lengkap terbukti berpengarih pada
banyak rendemen yang dihasilkan, namun rendemen yang dihasilkan juga masih
harus melewati percobaan kembali karena adanya faktor irisan yang dipotong tidak
sama tipis, ada kemungkinan semakin tebal irisan daging semakin besar pula
rendemen yang dihasilkan.
DAFTAR PUSTAKA

Anonim, n.d. Tinjauan Pustaka. [Online] Available at:


http://eprints.undip.ac.id/52831/3/Bab_II.pdf [Accessed 13 Maret 2020].
Badan Standardisasi Nasional, 2008. SNI 3932:2008. Mutu Karkas dan Daging
Sapi. Jakarta: BSN.
Badan Standardisasi Nasional, 2013. SNI 2908:2013. Dendeng Sapi. Jakarta:
BSN.
Bintoro, 2008. Teknologi Pengolahan Daging dan Analisis Produk. Semarang:
Universitas Diponegoro.
Buckle, K.A. et al. 2009. Ilmu pangan. Jakarta: UI-Press.
Husna, N.E., Suwarjana, A.G. 2014. Dendeng Ikan Leubiem (Canthidermis
Maculatus) Dengan Variasi Metode Pembuatan, Jenis Gula, dan Metode
Pengeringan. Jurnal Teknologi dan Industri Pertanian Indonesia, Vol
06(03):76-81.

Kosim, A., Suryati, T. & Gunawan, A., 2015. Sifat Fisik dan Aktivitas
Antioksidan Dendeng Daging Sapi dengan Penambahan Stroberi (Fragaria
ananassa) sebagai Bahan Curing. Jurnal Ilmu Produksi dan Teknologi
Hasil Peternakan, 3(3), pp. 189-196.
Nurani, A. S., 2010. Meat (Daging). [Online] Available at:
http://file.upi.edu/Direktori/FPTK/JUR._PEND._KESEJAHTERAAN_KE
LUARGA/196002251988032-
ATAT_SITI_NURANI/MEAT_2_MAINCOURSE.pdf [Accessed 13
Maret 2020].
Pursudarsono, F., Rosyidi, D., Widati, A.S. 2015. Pengaruh Perlakuan Imbangan
Garam dan Gula Terhadap Kualitas Dendeng Paru-Paru Sapi. Jurnal Ilmu
dan Teknologi Hasil Ternak, Vol 10(1):35-45.

Soeparno, 1994. Ilmu dan Teknologi Daging. Yogyakarta: UGM.


Usmiati, S., 2010. Pengawetan Daging Segar dan Olahan. Bogor: Balai Besar
Penelitian dan Pengembangan Pascapanen Pertanian.
Veerman, M., Setiyono, dan Rusman. 2013. Pengaruh Metode Pengeringan dan
Konsentrasi Bumbu Serta Lama Perendaman Dalam Larutan Bumbu
Terhadap Kualitas Fisik dan Sensori Dendeng Babi. Buletin Peternakan,
Vol 37(1): 34-40.
LAMPIRAN

Anda mungkin juga menyukai