Anda di halaman 1dari 115

BUKU AJAR

TINDAK PIDANA KORUPSI

DISUSUN OLEH
Dr. I GUSTI KETUT ARIAWAN, S.H., M.H.

UNIVERSITAS UDAYANA
FAKULTAS HUKUM
2015
RENCANA PROGRAM & KEGIATAN PEMBELAJARAN SEMESTER

(RPKPS)

1. NAMA MATA KULIAH : TINDAK PIDANA KORUPSI


2. KODE MATA KULIAH/SKS/STATUS MATA KULIAH :
Kode Mata Kuliah : WHI 4236
SKS : 2
Team Pengajar : 1. Dr. I Gusti Ketut Ariawan, S.H., M.H.
2. I Gusti Agung Ayu Dike Widyastuti, S.H., M.H.
Status Mata Kuliah : MK Wajib Institusional (Universitas/Fakultas).
Semester : V

3. DESKRIPSI SINGKAT MATA KULIAH

Mata Kuliah Tindak Pidana Korupsi termasuk materi Mata Kuliah Tindak Pidana
Khusus, Tindak Pidana Ekonomi, Tindak Pidana Narkotika dan Psikotropika. Materi
mata kuliah tindak pidana khusus, merupakan materi kuliah di luar tindak pidana
umum sebagaimana diatur dalam KUHP. Substansi pembahasan mata kuliah tindak
pidana korupsi, difokuskan pada 3 (tiga) permasalahan pokok, yakni : tindak pidana,
pertanggungjawaban pidana serta pidana dan pemidanaan.

4. TUJUAN PERKULIAHAN
a. Memberikan penguasaan norma substantif peraturan perundang-
undangan tindak pidana korupsi;
b. Memberikan pengetahuan teoritis dan praktis kepada mahasiswa
terkait korupsi sehingga mahasiswa bisa mengembangkan perilaku anti
korupsi
c. Mendidik mahasiswa untuk mengembangkan dan membudayakan
perilaku anti korupsi dalam kehidupannya sehari-hari

1
d. Mendidik kemampuan mahasiswa dalam menganalisis dan
memecahkan masalah-masalah hukum terkait pencegahan dan
pemberantasan korupsi.
e. Mendidik mahasiswa untuk memiliki kompetensi praktis di masa yang
akan datang.
f. Menyiapkan mahasiswa sebagai sarjana profesional yang memiliki
keterampilan di bidang penegakan hukum dalam kasus-kasus tindak
pidana korupsi

2. Tujuan Mata Kuliah.


Dengan konsep dan pemahaman terhadap mata kuliah tindak pidana korupsi
mahasiswa mampu memahami serta menjelaskan peraturan perundang-undangan
pencegahan dan pemberantasan tindak pidana korupsi, sebagai suatu peraturan
perundang-undangan yang bersifat khusus. Sebagai suatu perundang-undangan
yang bersifat khusus, dasar hukum maupun keberlakuannya, dapat menyimpang
dari ketentuan umum Buku I KUHP. Bahkan dalam hukum acara (hukum formal)
peraturan perundang-undangan tindak pidana khusus dapat menyimpang dari UU
No. 8 tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana. Kekhususan peraturan perundang-
undangan tindak pidana korupsi, dari aspek norma, jelas mengatur hal-hal yang
belum diatur dalam KUHP. Subyek tindak pidana diperluas karena tidak saja
meliputi orang pribadi tetapi juga badan hukum. Sedangkan dalam masalah
pemidanaan, dilihat dari pola perumusan maupun pola ancaman sanksi, juga dapat
menyimpang dari ketentuan KUHP.

3. Prasyarat Mata Kuliah.


Mahasiswa yang menempuh mata kuliah Tindak Pidanma Khusus, harus sudah
menempuh dan lulus dalam mata kuliah :
a. Hukum Pidana;
b. Hukum Pidana Lanjutan;
c. Tindak Pidana Tertentu dalam KUHP
2
4. Metode dan Strategi Proses Pembelajaran.
a. Metode Perkuliahan :
Metode perkuliahan adalah Problem Based Learning (PBL) pusat pembelajaran ada
pada mahasiswa. Metode yang diterapkan adalah “belajar” (Learning) bukan
“mengajar” (Teaching).
b. Strategi Pembelajaran :
Strategi pembelajaran : kombinasi perkuliahan 50 % ( 6 kali pertemuan
perkuliahan ) dan tutorial 50 % (6 kali pertemuan tutorial ). Satu kali pertemuan
untuk Tes Tengah semester, dan satu kali pertemuan untuk Tes Akhir Semester.
Total pertemuan 14 kali.
c. Pelaksanaan Perkuliahan dan Tutorial :
Perkuliahan dan tutorial dalam Mata Kuliah Tindak Pidana Khusus, masing-
masing direncanakan berlangsung sebanyak 6 kali pertemuan yaitu :
a. Perkuliahan dilakukan sebanyak 3x yaitu : pertemuan 1, 3, 5, dan tutorial
sebanyak 3x yaitu : pertemuan : 2, 4, 6. dilanjutkan dengan Satu kali
pertemuan untuk Ujian Tengah semester (UTS)
b. Perkuliahan dilakukan sebanyak 3x yaitu : pertemuan 7, 9, 11 dan tutorial
sebanyak 3x yaitu : pertemuan, 8, 10, 12. Dilanjutkan dengan satu kali
pertemuan untuk Ujian Akhir Semester (UAS).
d. Strategi Perkuliahan :
Strategi perkuliahan dilaksanakan dengan Perkuliahan tentang sub-sub pokok
bahasan dipaparkan dengan alat bantu media papan tulis, power point slide, serta
peyiapan bahan bacaan tertentu yang dipandang sulit diakses oleh mahasiswa.
Sebelum mengikuti perkuliahan mahasiswa sudah mempersiapkan diri (self
study) mencari bahan (materi), membaca dan memahami pokok bahasan yang
akan dikuliahkan sesuai dengan arahan (guidance) dalam Block Book. Tehnik
perkuliahan : pemaparan materi, tanya-jawab dan diskusi (proses pembelajaran
dua arah).

3
e. Strategi Tutorial :
1) Dalam kelas tutorial mahasiswa dibagi dalam group-group kecil, dengan
jumlah maksimal 20 orang;
2) Mahasiswa mengerjakan tugas-tugas: (Discussion task; Study Task dan Problem
Task) sebagai bagian dari self study (20 jam perminggu), kemudian berdiskusi
di kelas, tutorial, presentasi power point, dan diskusi.
3) Dalam 6 kali tutorial di kelas, mahasiswa diwajibkan :
a) Menyetor karya tulis berupa paper dan/atau tugas-tugas lain sesuai
dengan topik tutorial 1, 2, 3, 4, 5 dan 6.
b) Mempresentasikan tugas tutorial dalam bentuk power point presentation
ataupun slide head projector untuk tugas tutorial 1, 2, 3, 4, 5, dan 6.

5. Ujian dan Penilaian.


a. Ujian :
Ujian dilaksanakan dua kali dalam bentuk tertulis yaitu Ujian tengah Semester
(UTS) dan Ujian Akhir Semester (UAS)
b. Penilaian :
Penilaian Akhir dan proses pembelajaran ini berdasarkan Rumus Nilai Akhir
sesuai Buku Pedoman Fakultas Hukum Universitas Udayana, sebagai berikut :

(UTS + TT)
2 + 2(UAS)
________________ = Nilai Akhir
3

4
Skala Nilai Penguasaan Skala Nilai
Kompetensi

Huruf Angka 0 – 10 0 - 100

A 4 Sangat Baik 8,0 – 80 –100


B+ 3,5 Antara sangat baik dengan baik 10,07,0 – 70 – 79
B 3 Baik 7,9 65 – 69
C+ 2,5 Antara baik dan cukup 6,5 – 6,9 60 – 64
C 2 Cukup 6,0 – 6,4 55 – 59
D+ 1,5 Kurang 5,5 – 5,9 50 – 54
D 1 Sangat kurang 5,0 – 5,4 40 – 49
E 0 Gagal 4,0 – 4,9 0 – 39
0,0 – 3,9

6. Materi/Organisasi Perkuliahan.

1. Pengantar.
a. Kontrak Perkuliahan.
b. Kekhususan Peraturan perundang-undangan Tindak Pidana Khusus.
c. Dasar Hukum berlakunya Peraturan Perundang-undangan Tindak Pidana
Khusus.

2. Tindak Pidana Korupsi.


a. Pengertian Korupsi
b.Fase Pengaturan pencegahan dan pemberantasan tindak pidana
korupsi

5
3. Fase Pengaturan pencegahan dan pemberantasan tindak pidana
korupsi
a. Peraturan Penguasa Militer Nomor. Prt / Perpu / 1957 tentang
Pemberantasan Korupsi.
b. Peraturan Penguasa Perang Pusat Angkatan Darat Nomor Prt / Perpu /
013/1958.
c. Undang-undang Nomor 24/Prp/1960 dan Keputusan Presiden Nomor
228 Tahun 1967 tentang Tindak Pidana Korupsi.

4. Fase Pengaturan pencegahan dan pemberantasan tindak pidana


korupsi lanjutan
a. Undang-undang Nomor 3 Tahun 1971 tentang Pemberantasan Tindak
Pidana Korupsi.
b. Undang-undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak
Pidana Korupsi.

5. Kebijakan Kriminalisasi Tindak Pidana Korupsi


a. Kebijakan Kriminalisasi
b. Kebijakan kriminalisasi perbuatan sebagai tindak pidana korupsi dalam
peraturan perundang-undangan tindak pidana korupsi.

6. Kebijakan Legislatif menarik Unsur-unsur Tindak Pidana kedalam Delik


Korupsi
a. Kelompok delik tentang penyuapan
b. kelompok delik penggelapan

6
7. Kebijakan Legislatif menarik Unsur-unsur Tindak Pidana kedalam
Delik Korupsi
a. kelompok delik kerakusan (Knevelarij,extortion)
b. kelompok delik yang berkaitan dengan pemborongan, Leveransir, dan
Rekanan.
8. Pidana dan Pemidanaan UU Tindak Pidana Korupsi.
a. Pidana dan Pemidanaan
b. Pengertian Sistem Pemidanaan
c. Sistem Pemidanaan dalam UU Tindak Pidana Korupsi

9. Hukum Acara Tindak Pidana Korupsi


a. Penyidikan
b. Penuntutan
c. Pemeriksaan di Sidang Pengadilan

10. Pengadilan Tindak Pidana Korupsi


a. Dasar Hukum
b. Kewenangan Peradilan Tipikor

11. Pengembalian Asset Negara Pasca Ratifikasi Konvensi Anti Korupsi


(UNCAC 2003)

12. Kerjasama Internasional dalam Pengembalian Asset Hasil Korupsi

7. Bahan Bacaan.

Buku :
7
Atmasasmita, Romli 1995, Kapital Selekta Hukum Pidana dan Kriminologi,
Bandung : Mandar Maju.

---------2004, Sekitar Masalah Korupsi Aspek Nasional dan Aspek


Internasional, Cetakan I. Bandung : Mandar Maju.

Chazawi, Adami 2003. Hukum Pidana Materiil dan Formil Korupsi di


Indonesia. Malang : Banyumedia Publishing.

Hamzah, Andi 1984. Korupsi di Indonesia, Masalah dan Pemecahannya ,


Jakarta : Gramedia.

Klitgaard, Robert Membasmi Korupsi (Controlling Corruption) terjemahan oleh


Hermoyo, Jakarta : Yayasan Obor Indonesia.

Koeswadji, Harmien Hadiati 1994. Korupsi di Indonesia dari Delik Jabatan


Ketindak Pidana Korupsi, Bandung : PT Citra Aditya Bakti

Marpaung, Leden 2001, Tindak Pidana Korupsi Pemberantasan dan Pencegahan,


Jakarta : Bina Grafika.

Mulyadi, Lilik 2000, Tindak Pidana Korupsi (Tinjauan Khusus Terhadap


Proses Penyidikan, penuntutan, peradilan serta upaya hukumnya
menurut UU No. 31 Tahun 1999, Bandung : Citra Aditya Bakti.

Suwaryadi, 1999, Hukum Tindak Pidana Korupsi dan Upaya Pencegahannya,


Jakarta : Sinar Grafika

Yunara, Edi 2005, Korupsi dan Pertanggungjawaban Pidana Korupsi Berikut Studi
Kasus,Bandung, Citra Aditya Bakti.

Suwaryadi, 1999, Hukum Tindak Pidana Korupsi dan Upaya Pencegahannya ,


Jakarta : Sinar Grafika

Amiruddin, 2010. Korupsi dalam Pengadaan Barang dan Jasa, Yogyakarta :


Genta Publishing.

Makalah/Artikel

Mulya Lubis, Todung 2005. “Memerangi Korupsi di Peradilan Dari Sisi Advokat”,
Makalah pada Seminar Anti Corruption Summit diselenggarakan oleh
Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada Yogyakarta 11-12 Agustus2005.

8
Nasution, Bismar 2007. ”Stolen Asset Recovery Initiative dari Perspektif Hukum
Ekonomi di Indonesia” Makalah Narasumber dalam Seminar Pengkajian
Hukum Nasional (SPHN 2007), Jakarta 28 Nopember 2007.

Pratomo, Eddy 2007. Paparan Dirjen Hukum dan perjanjian Internasional mengenai
Inisiatif StAR dalam Perspektif Kerjasama Internasional.Makalah
Narasumber dalam Seminar Pengkajian Hukum Nasional (SPHN 2007),
Jakarta 28 Nopember 2007.

8. RENCANA PERKULIAHAN

MINGGU POKOK BAHASAN SUB POKOK BAHASAN METODE


KE - PEMBELAJAR
AN
1 Pengantar. - UU Tindak pidana Tatap muka,
a. Kontrak korupsi sebagai UU diskusi
Perkuliahan. Tindak Pidana Khusus
b. Kekhususan - Dasar Hukum
Peraturan
berlakunya UU Tindak
perundang-
Pidana Khusus
undangan Tindak
Pidana Khusus.
c. Dasar Hukum
berlakunya
Peraturan
Perundang-
undangan Tindak
Pidana Khusus.

2 Tindak Pidana - Landasan Hukum Tatap muka,


Korupsi. Peradilan Tindak diskusi
a. Pengertian Pidana Korupsi
Korupsi
- Sejarah Peradilan
b. Fase Korupsi
Pengaturan - Kekhususan dalam
pencegahan Peradilan Korupsi
dan - Mekanisme Peradilan
pemberantas
9
an tindak Tindak Pidana Korupsi
pidana
korupsi

3 Fase Pengaturan - Fase Pengaturan Tatap muka,


pencegahan dan tindak pidana korupsi diskusi
pemberantasan dalam peraturan
tindak pidana umum dan peraturan
korupsi khusus
a. Peraturan
Penguasa Militer
Nomor. Prt /
Perpu / 1957
tentang
Pemberantasan
Korupsi.
b. Peraturan
Penguasa Perang
Pusat Angkatan
Darat Nomor Prt /
Perpu / 013/1958.
c. Undang-undang
Nomor
24/Prp/1960 dan
Keputusan
Presiden Nomor
228 Tahun 1967
tentang Tindak
Pidana Korupsi.

4 Fase Pengaturan - Fase Pengaturan Tatap muka,


pencegahan dan tindak pidana korupsi diskusi
pemberantasan dalam peraturan
tindak pidana umum dan peraturan
korupsi lanjutan khusus
a. Undang-undang
Nomor 3 Tahun
1971 tentang
Pemberantasan
Tindak Pidana
10
Korupsi.
b. Undang-undang
Nomor 31 Tahun
1999 tentang
Pemberantasan
Tindak Pidana
Korupsi.

5 Kebijakan - Pengertian Kebijakan Diskusi, analisa


Kriminalisasi Tindak kriminalisasi kasus
Pidana Korupsi - Perbuatan-perbuatan
a. Kebijakan sebagai delik korupsi
Kriminalisasi
b. Kebijakan
kriminalisasi
perbuatan sebagai
tindak pidana
korupsi dalam
peraturan
perundang-
undangan tindak
pidana korupsi.

6 Kebijakan Legislatif Kebijakan legisatif Diskusi, analisa


menarik Unsur-unsur menarik unsur tindak kasus
Tindak Pidana pidana umum ke dalam
kedalam Delik
delik korupsi
Korupsi
a. Kelompok delik
tentang penyuapan
b. kelompok delik
penggelapan

7 UTS

8 Kebijakan Legislatif - Kebijakan legisatif Diskusi, analisa


menarik Unsur-unsur menarik unsur tindak kasus
11
Tindak Pidana pidana umum ke
kedalam Delik dalam delik korupsi
Korupsi
a. kelompok delik
kerakusan
(Knevelarij,extortion
)
b. kelompok delik
yang berkaitan
dengan
pemborongan,
Leveransir, dan
Rekanan.

9 Pidana dan - Sistem pemidanaan, Diskusi, analisa


Pemidanaan UU yang di dalamnya kasus
Tindak Pidana termasuk jenis pidana,
Korupsi. pola perumusan dalam
a. Pidana dan UU Tindak pidana
Pemidanaan korupsi
b. Pengertian Sistem
Pemidanaan
c. Sistem
Pemidanaan dalam
UU Tindak Pidana
Korupsi

10 Hukum Acara - Proses penyidikan, Diskusi, analisa


Tindak Pidana penuntutan dan kasus
Korupsi pemeriksaan dalam
a. Penyidikan tindak pidana korupsi
b. Penuntutan
c. Pemeriksaan di
Sidang Pengadilan

11 Pengadilan Tindak - Pengadilan Diskusi, analisa


Pidana Korupsi tindakpidana korupsi kasus
a. Dasar Hukum sebagai bagian dari
b. Kewenangan pengadilan umum,
12
Peradilan Tipikor yang secara khusus
memeriksa dan
mengadili terdakwa
tindak pidana korupsi
12 Pengembalian Asset - Asset hasil korupsi Diskusi, analisa
Negara Pasca yang disimpan di kasus
Ratifikasi Konvensi Negara lain,
Anti Korupsi memerlukan upaya
(UNCAC 2003) hukum pengembalian

13 Kerjasama Pengembalian asset Diskusi, analisa


Internasional dalam hasil korupsi kasus
Pengembalian Asset memerlukan suatu
Hasil Korupsi
kerjasama antar negara
14 UAS -

9. RESIKO KEGAGALAN DAN ANTISIPASI

NO RESIKO KEGAGALAN ANTISIPASI

1 Jika pertemuan tatap muka tidak Tugas mandiri


terlaksana

2 Rasio dosen lebih kecil dari Pembagian mahasiswa atas beberapa


mahasiswa kelompok

3 Jika mahasiswa tidak mengikuti Ujian susulan


UTS dan UAS dengan alasan yang
dapat dipertanggungjawabkan
dan ada disposisi PD I

13
10. DAFTAR BACAAN

1. Buku :

Ahmad Dinar Syaiful dan Syarif Fadillah Chaerudin, 2008, Strategi Pencegahan
dan Penegakan Hukum Tindak Pidana Korupsi, Refika Aditama,
Bandung
Ancel, Marc 1965. Social defence A Modern Approach Criminal Problem,
London: Rontledge & Kega Paul.

Andenaes, Johannes 1965. The General Parts of the Criminal Law of Norway,
London : Frend B Rthman & Co, Swett Maxwell.

Arif, Barda Nawawi, 1996, Kebijakan Legislatif Dalam Penanggulangan


Kejahatan Dengan Pidana Penjara, Semarang : Penerbit Universitas
Diponegoro.

--------2002, Bunga Rampai Kebijakan Hukum Pidana, Cetakan Kedua,


Edisi Revisi, Bandung : PT. Citra Aditya Bakti.

Atmasasmita, Romli 1995, Kapital Selekta Hukum Pidana dan


Kriminologi, Bandung : Mandar Maju.

---------2004, Sekitar Masalah Korupsi Aspek Nasional dan Aspek


Internasional, Cetakan I.

Abdurrachman.H, 1989, Perkembangan Pemikiran Tentang Pembinaan Hukum


Nasional di Indonesia, CV. Akademia, Pressindo, Jakarta.

Bassiouni, M. Cherif 1978, Substantive Criminal Law, Illionis USA : Charles C,


Thomas Publisher

Black, Henry Campbell, et al., 1979, Black’s Law Dictionary Fifth Edition,
St Paul Minn West Publishing, C.O.

Chazawi, Adami 2003. Hukum Pidana Materiil dan Formil Korupsi di


Indonesia. Malang : Banyumedia Publishing.

14
Danil, Elwi 2014, Korupsi : Konsep, Tindak Pidana dan Pemberantasannya, PT.
Raja Grafindo Persada, Jakarta
Dinino, Philip& Sahr John Kpundeh 1999. A Handbook of Fighting Corruption.
Washington DC : Center for Democracy and Governance.

Djaja, Ermansyah 2009, Memberantas Korupsi Bersama KPK, Sinar Grafika,


Jakarta
Graham, John 1990. Crime Prevention, Strategies in Europe and Morth Amerika,
Helsinki : HEUNI.

Hadisuprapto, Paulus 1997. Juvenile Delinquency Pemahaman dan


Penanggulangannya, Bandung : PT. Citra Aditya Bakti.

Hamzah, Andi 1984. Korupsi di Indonesia, Masalah dan Pemecahannya,


Jakarta : Gramedia.

--------1993, Sistem Pidana dan Pemindanaan Indonesia, Jakarta : PT


Pradnya Paramita.

--------1994, Azas-Azas Hukum Pidana, Jakarta : Rineka Cipta.

--------1996. Hukum Acara Pidana Indonesia, Jakarta : Sapta Artha Jaya.

----------2001, Analisis dan Evaluasi Hukum Tentang Wewenang Kepolisian dan


Kejaksaan di Bidang Penyidikan, Departemen Kehakiman dan HAM RI,
Jakarta.
Hariman, Satria, 2014, Anatomi Hukum Pidana Khusus, UII Press, Yogyakarta
Hartanti, Evi 2005, Tindak Pidana Korupsi, Sinar Grafika, Jakarta
Hoefnagels, G. Peter 1973. The Other Side of Criminology, (Holland,
Kluwer Deventer.

Ibrahim, Johny 2006, Teori dan Metodelogi Hukum Normatif, Malang : Bayu
Medik Pulishing.

Kartanegara, Satochid 1985, Hukum Pidana, ,Jakarta : Balai Lektur Mahasiswa.


15
Kelsen, Hans 1973, General Theory of Law and State New York : Russel and
Russel.

--------1995, Teori Hukum Murni Dasar-Dasar Ilmu Hukum Normatif Sebagai


Ilmu Hukum Empirik-Diskriptif, Jakarta : Rimdi Press.

Klitgaard, Robert Membasmi Korupsi (Controlling Corruption) terjemahan


oleh Hermoyo, Jakarta : Yayasan Obor Indonesia.

Koeswadji, Harmien Hadiati 1994. Korupsi di Indonesia dari Delik


Jabatan Ketindak Pidana Korupsi, Bandung : PT Citra Aditya Bakti

Lamintang, P.A.F. Dasar-dasar Hukum Pidana Indonesia, Bandung : Sinar


Baru.

Laporan Penelitian USAID (United States Agency for Internal Development) :


“Promoting Transparency and Accountability : USAID’S Anti –
corruption Experience”, Center Governance, Bureau for Global
Programs, Field Support, and Research, U. S. Agency for
International Development; Washington D. C; January 2000.

Mahfud MD, Moch 2001, Politik Hukum di Indonesia, Jakarta : Pustaka LP3ES.

Mahkamah Agung R.I 1993. Rangkuman Yurisprudensi Mahkamah Agung


Republik Indonesia, Mahkamah Agung R.I The Asia
Foundation,Jakarta

Mahmud Marzuki, Peter 2005, Penelitian Hukum, Jakarta : Fajar Interpratama,


Offset.

Marpaung, Leden 2001, Tindak Pidana Korupsi Pemberantasan dan Pencegahan,


Jakarta : Bina Grafika.

Marzuki, Peter Muhmud 2005. Penelitian Hukum, Jakarta: Fajar


Interpratama, Offset.

Muhamad, Abdulkadir 2004, Hukum dan Penelitian Hukum, Bandung : Citra


Aditya Bakti.

16
Moeljatno, 1980, Asas-asas Hukum Pidana, Jakarta : PT. Bina Aksara.

Muladi dan Barda Nawawi Arief, 1998, Teori-teori dan Kebijakan Pidana,
Bandung : Alumni.

--------1992, Teori dan kebijakan Pidana, Bandung : Alumni.

--------dan Barda Nawawi Arief, 1992, Bunga Rampai Hukum Pidana,


Bandung : Alumni.

--------1995, Kapita Selekta Sistem Peradilan Pidana, Semarang : Penerbit


Universitas Diponegoro

Mulyadi, Lilik 2000, Tindak Pidana Korupsi (Tinjauan Khusus Terhadap


Proses Penyidikan, penuntutan, peradilan serta upaya hukumnya
menurut UU No. 31 Tahun 1999, Bandung : Citra Aditya Bakti.

Mulya Lubis, Todung 2005. “Memerangi Korupsi di Peradilan Dari Sisi


Advokat”, Makalah pada Seminar Anti Corruption Summit
diselenggarakan oleh Fakultas Hukum Universitas Gajah Mada
Yogyakarta 11-12 Agustus 2005

Napitupulu, Diana, 2010, KPK in Action, Raih Asa Sukses, Jakarta


Packer, Herbert L. 1968, The Limits Of Criminal Sanction,Stranford California
University Press.

Prodjodikoro, Wirjono 1981, Asas-asas Hukum Pidana di Indonesia. Bandung :


Eresco.

Poerwadarminta, W.J.S. 1984, Kamus Umum Bahasa Indonesia, Jakarta :


Rajawali,

Saleh, Wantjik 1977, Tindak Pidana Korupsi, Jakarta : Ghalia Indonesia.

Setiadi, Edi dan Rena Yulia, 2005, Hukum Pidana Ekonomi, Graha Ilmu,
Yogyakarta
Setiawan, Deni 2008, KPK Memburu Koruptor, Pustaka Timur, Jakarta

17
sharkansky, Ira 1998. Policy Analisis in Political Science, Penyunting
Muhadjar Darwin, Yogyakarta : Penerbit Hanindita.

Sholehuddin,M 2003,Sistem Sanksi Dalam Hukum Pidana, Jakarta : PT


Raja Grafindo Persada.

--------2003,Sistem Sanksi Dalam Hukum Pidana Ide Dasar Double Track


System dan Implementasinya, Jakarta : PT Grafindo.

Siantury, S.R. 1986. Asas-asas Hukum Pidana di Indonesia dan


Penerapannya. Jakarta : Alumni AHAEM-PETEHAEM.

Soekanto, Soerjono dan Sri Mamudji, 1990, Penelitian Hukum Normatif suatu
Tinjauan Singkat, Jakarta : Rajawali Pers.

Sue Titus Reid,1987, Criminal Justice Procedure and Issues, New York :
West Publishing Company.

Sudarto, 1975 Hukum Pidana I, Semarang : Fakultas Hukum UNDIP.

--------, 1977, Hukum dan Hukum Pidana, Bandung, Mandar Maju

--------1981. Kapita Selekta Hukum Pidana, Bandung : Alumni.

--------1983. Hukum Pidana dan Perkembangan Masyarakat Terhadap


Perbaharuan Hukum Pidana, Bandung : Penerbit Sinar Baru

Sunggono, Bambang 2001, Metodelogi Penelitian Hukum, Jakarta : PT. Raja


Grafindo Persada.

Suwaryadi, 1999, Hukum Tindak Pidana Korupsi dan Upaya Pencegahannya,


Jakarta : Sinar Grafika
Syamsudin, Aziz 2011, Tindak Pidana Khusus, Sinar Grafika, Jakarta
Yunara, Edi 2005, Korupsi dan Pertanggungjawaban Pidana Korupsi Berikut
Studi Kasus,Bandung, Citra Aditya Bakti.

Suwaryadi, 1999, Hukum Tindak Pidana Korupsi dan Upaya


Pencegahannya, Jakarta : Sinar Grafika
.
18
Van Bemmelen. J.M. 1987. Hukum Pidana I, Hukum Materil Bagian
Umum, Jakarta : Bina Cipta.

Wahab, Solichin Abdul 1997, Analisis Kebijaksanaan Dari Formulasi ke


Implementasi Kebijakan Negara, Bandung : Bumi Aksara

Waluyadi 2003, Hukum Pidana Indonesia, Jakarta : Djambatan.

Zainal Abidin Farid, Andi 1986. Hukum Pidana, Jakarta : Sinar Grafika.

2. Makalah/Artikel :

Arief, Barda Nawawi 1998. Strategi Kebijakan Penanggulangan dan


Evaluasi Terhadap UU No.3 Tahun 1971, Makalah dalam Penataran
Nasional Hukum Pidana dan Kriminologi 23-30 November 1998,
Semarang.

Global Forum on Figting Corruption and Safeguarding Integrity II, Final


Declaration, The Hague Netherland, 31 May 2001.

Kennedy, Anthony 2006. “Designing a civil forfeiture system: an issues list for
policymakers and legislator” 13 (2) Journal of Financial Crime.

Loqman, Loebby 2004, ”Perkembangan Asas Legalitas dalam Hukum Pidana


Indonesia” Makalah

Prospek Penanggulangan Korupsi di Indonesia, Memasuki Abad XXI


Suatu Reorientasi Atas Kebijkan Hukum Pidana di Indonesia,
Pidato Pengukuhan Jabatan Guru Besar Dalam Ilmu Hukum
Pidana Pada Fakultas Hukum UIniversitas Padjajaran Bandung 23
September 1999.

Christiansen, Karl O. 1974, Some Consideration on the Possibility of a Rational


Criminal Policy, Tokyo : Resource Material Series No.7, UNAFEI.

Kumpulan Makalah Seminar, Mencari Solusi dan Model Pemberantasan


Korupsi, Kolusi dan Manupulasi di Lembaga Penegakan Hukum
Indonesia di Fakultas Hukum UNISULA Semarang tanggal 13
Agustus 1997.
19
Mulya Lubis, Todung 2005. “Memerangi Korupsi di Peradilan Dari Sisi
Advokat”, Makalah pada Seminar Anti Corruption Summit
diselenggarakan oleh Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada
Yogyakarta 11-12 Agustus2005.

Nasution, Bismar 2007. ”Stolen Asset Recavery Initiative dari Perspektif Hukum
Ekonomi di Indonesia” Makalah Narasumber dalam Seminar Pengkajian
Hukum Nasional (SPHN 2007), Jakarta 28 Nopember 2007.

Pratomo, Eddy 2007. Paparan Dirjen Hukum dan perjanjian Internasional


mengenai Inisiatif StAR dalam Perspektif Kerjasama
Internasional.Makalah Narasumber dalam Seminar Pengkajian Hukum
Nasional (SPHN 2007), Jakarta 28 Nopember 2007.

Ramelan, 2003, “Masalah Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi”,


disampaikan pada Diklat Pembinaan Tingkat Lanjutan Tahun 2002 ,
MakalahPusdiklat Kejaksaan Agung RI.

Siahaan, Monang 2005. ”Implementasi Penegakan Hukum Dalam Rangka


Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi di Provinsi Bali”, Dalam
Materi Sosialisasi dan Dialog Publik tentang Pemberantasan Tindak
Pidana Korupsi, kerjasama Departemen Komunikasi dan
Informatika RI Komisi Pemberantasan Korupsi Denpasar 1 -3
Desember 2005.

Zainal Abidin Farid, Andi 2000. “Catatan Pinggir Terhadap Undang -


Undang Tindak Pidana Korupsi Yang Baru”. Jurnal Ilmiah Hukum
Clavia Volume 1, Nomor 2, Edisi Juli.

3. Peraturan perundang-undangan dan Dokumen lain :

Kitab Undang-undang Hukum Pidana.

Undang-undang No. 24 / Prp / 1960 tentang Tindak Pidana Korupsi.

Undang-undang No. 3 Tahun 1971 Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.

20
Undang-undang No. 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana
Korupsi

Undang-undang No. 20 Tahun 2001 tentang Perubahan atas Undang-undang


No. 31 Tahun 1999

Undang-undang No.30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak


Pidana Korupsi.

Keputusan Presiden Nomor 228 Tahun 1967 tentang Tindak Pidana Korupsi

Keputusan Presiden Nomor 59 Tahun 2004 tentang Pembentukan Pengadilan


Tindak Pidana Korupsi pada Pengadilan Negeri Jakarta Pusat.

Undang-undang No.7 Tahun 2006 tentang Pengesahan United Nations


Convention Against Corruption, 2003 (Konvensi Perserikatan Bangsa-
Bangsa Anti Korupsi, 2003)

Sixth United Nations Congress on Crime Trends and Crime Prevention


Strategies, 1980, Caracas, Venezuela.

Sixth United Nations Congress on Crime Trends and Crime Prevention


Strategies, Report, 1981

Seventh United Nations Congres on Crime Prevention in the Context of


Development, 1985 Milan Doc. A. conf, 121 / L/ 9.

United Nations Convention Against Corruption, 2003 (Konvensi Perserikatan


Bangsa-Bangsa Anti Korupsi, 2003).

21
BAHAN AJAR MATA KULIAH TINDAK PIDANA

A. PENGERTIAN KORUPSI

Dilihat dari segi peristilahan, kata korupsi berasal dari bahasa


latincorruptio atau menurut Webster Student Dictionary adalah corruptus.
Selanjutnya disebutkan bahwa corruptio itu berasal dari kata asal corrumpere,
suatu kata Latin yang lebih tua. Dari bahasa Latin itulah turun ke banyak bahasa
du Eropa seperti Inggris: corruption, corrupt; Perancis corruption, dan Belanda
corruptie (koruptie). Dapat diduga istlah korupsi berasal dari bahasa Belanda ini
yang kemudian diadopsi ke dalam bahasa Indonesia “korupsi”.

Arti harfiah dari kata itu ialah kebusukan, keburukan, kebejatan,


ketidakjujuran, dapat disuap, tidak bermoral, penyimpangan dari kesucian, kata-kata
atau ucapan yang menghina atau memfitnah seperti dapat dibaca dalam The Lexicon
Webster Dictionary: corruption (L. Corruptio (n-) The act of corrupting or the state of being
corrupt;putrefactive decomposition. Putrid matter; moral perversion; depravity, perversion of
integrity; corrupt or dishonest proceeding, bribery; perversion from a state of purity; debasement,
as of a language; a debased from of a word”.
Henry Campbell Black, korupsi diartikan sebagai “an act done with an
intent to give some advantage inconsistent with official duty and the rights of others”,
(terjemahan bebasnya : suatu perbuatan yang dilakukan dengan maksud untuk
memberikan suatu keuntungan yang tidak sesuai dengan kewajiban resmi dan
hak-hak dari pihak lain). Termasuk dalam pengertian “corruption” menurut
Black adalah perbuatan seseorang pejabat yang secara melanggar hukum
menggunakan jabatannya untuk mendapatkan suatu keuntungan yang
berlawanan dengan kewajibannya.1

1 Black’s Law Dictionary with Pronouncation, 1983, Minn West Publishing co, St. Paul,
hlm. 182
22
A. S Hornby istilah korupsi diartikan sebagai suatu pemberian atau
penawaran dan penerimaan hadiah berupa suap (the offering and accepting of bribes), serta
kebusukan atau keburukan (decay).2 Beberapa batasan tentang korupsi yang

diberikan oleh beberapa pakar, antara lain :


1. David M. Chalmer menguraikan pengertian korupsi dalam berbagai bidang,
antara lain menyangkut masalah penyuapan yang berhubungan dengan
manipulasi di bidang ekonomi dan menyangkut bidang kepentingan umum.3
2. Wertheim4 yang menggunakan pengertian yang lebih spesifik. Menurutnya,
seorang pejabat dikatakan melakukan tindak pidana korupsi, adalah apabila ia
menerima hadiah dari seseorang yang bertujuan memengaruhinya agar
mengambil keputusan yang menguntungan kepentingan si pemberi hadiah.
Kadang-kadang pengertian ini juga mencakup perbuata menawarkan hadiah,
atau bentuk balas jasa yang lain. Pemerasan berupa meminta hadiah atau balas
jasa karena sesuatu tugas yang merupakan kewajiban telah dilaksanakan
seseorang, juga dikelompokkan oleh Wertheim sebagai perbuatan korupsi. Di
samping itu, masih termasuk ke dalam pengertian korupsi adalah penggunaan
uang negara yang berada di bawah pengawasan pejabat-pejabat pemerintahan
untuk kepentingan pribadi yang bersangkutan. Dalam hal yang terakhir ini, para
pejabat pemerintah dianggap telah melakukan penggelapan uang negara dan
masyarakat.5
3. David H Baley memberikan pengertian yang lebih luas tentang makna korupsi
bila dibandingkan dengan pengertian Wertheim. Ia mengatakan, korupsi
sementara dikaitkan dengan penyuapan adalah suatu istilah umum yang
meliputi penyalahgunaan wewenang sebagai akibat pertimbangan keuntungan
pribadi yang tidak selalu berupa uang. Batasan yang luas dengan titik berat pada
penyalahgunaan wewenang memungkinkan dimasukkannya penyuapan,

2OpCit., hlm. 4
3OpCit., hlm. 4
4 Wertheim dalam Elwi Danil, OpCit., hlm. 5
5OpCit., hlm. 6

23
pemerasan, penggelapan, pemanfaatan sumber dan fasilitas yang bukan milik
sendiri untuk mencapai tujuan-tujuan pribadi dan nepotisme ke dalam korupsi.
Dalam hal yang terakhir inilah agaknya bentuk korupsi yang tidak secara
langsung dapat menimbulkan kerugian berupa uang bagi negara dan
masyarakat.6
4. Robert Klitgaard memahami bahwa korupsi ada manakala seseorang secara
tidak halal meletakkan kepentingan pribadi di atas kepentingan rakyat, serta
cita-cita yang menurut sumpah akan dilayaninya.7 Korupsi muncul dalam
banyak bentuk dan membentang dari soal sepele sampai pada soal yang amat
besar. Korupsi dapat menyangkut penyalahgunaan instrument-instrument
kebijakan seperti soal tariff, pajak, kredit, sistem irigasi, kebijakan perumahan,
penegakan hukum, peraturan menyangkut keamanan umum, pelaksanaan
kontrak, pengambilan pinjaman dan sebagainya. Di samping itu, ditegaskan
pula bahwa korupsi itu dapat terjadi tidak saja di sector pemerintahan, tapi juga
di sector swasta, bahkan sering terjadi sekaligus di kedua sector tersebut.8
5. John A Gardiner dan David J Olson dalam bukunya “Theft of the City”, Reading
on Corruption in Urban America sebagaimana dikutip Soedjono Dirdjosisworo,
memberi pemahaman secara umum dari sumber-sumber pengertian korupsi,
dengan pengelompokan sebagai berikut :
a. Pengertian korupsi yang dijelaskan dalam Oxford English Dictionary;
b. Rumusan menurut perkembangan ilmu-ilmu sosial;
c. Rumusan yang lebih memberikan penekanan pada jabatan dalam
pemerintahan;
d. Rumusan korupsi yang dihubungkan dengan teori pasar;
e. Rumusan korupsi yang berorientasi kepada kepentingan umum.

6OpCit.
7 Robert Klitgaard, 1998, Memahami Korupsi, terjemahan Hermoyo, Yayasan Obor,
Jakarta, hlm. xix
8 Ibid.

24
6. Dari kategori perumusan secara umum yang dilihat dengan pengelompokkan
seperti dikemukakan John A. Gardiner dan David J Olson itu, Soedjono
Dirdjosisworo sampai pada sebuah kesimpulan bahwa korupsi menyangkut
segi-segi moral, sifat dan keadaan yang busuk, jabatan dalam instansi atau
aparatur pemerintahan, penyelewengan kekuasaan dalam jabatan karena
pemberian, faktor ekonomi dan politik, serta penempatan keluarga dan klik,
golongan ke dalam kedinasan dibawah kekuasaan jabatannya.9
Kemudian arti kata korupsi yang telah diterima dalam perbendaharaan kata
bahasa Indonesia itu, disimpulkan oleh Poerwadarminta dalam kamus Umum Bahasa
Indonesia “ Korupsi adalahperbuatan yang buruk seperti penggelapan uang,
penerimaan uang sogok dan sebagainya.

Di Malaysia terdapat juga peraturan antikorupsi. Akan tetapi di Malaysia


tidak dugunakan kata korupsi melainkan kata peraturan “ anti kerakusan”.
Sering pula malaysia menggunakan istilah resuab yang tentulah berasal dari
bahasa Arab (riswab). Menurut kamu Arab-Indonesia riswab artinya sama
dengan korupsi. Dengan pengertian korupsi secara harafiah itu dapat ditarik
suatu kesimpulan, bahwa sesungguhnya korupsi itu sebagai suatu istilah sangat
luas artinya.Seperti disimpulkan dalam Encyclopedia Americana, korupsi itu
adalah suatu hal yang bermacam ragam artinya, bervariasi menurut waktu,
tempat dan bangsa.

Dengan demikian, pendekatan yang dapat dilakukan terhadap masalah


korupsi bermacam-macam pula, dan artinya sesuai pula dari segi mana kita
mendekati masalah itu. Pendekatan sosiologi misalnya, seperti hal yang
dilakukan oleh Syed Hussein Alatas dalam bukunya The Sociology of Corruption,

9 Soedjono Dirdjosisworo, 1984, Fungsi Perundang-undangan Pidana dalam


Penanggulangan Korupsi di Indonesia, Sinar Baru, Bandung, hlm. 18-20 dalam Elwi Danil,
OpCit., hlm. 8-9
25
akan lain artinya kalau kita melakukan pendekatan normatif, begitu pula dengan
politik ataupun ekonomi. Misalnya Alatas memasukkan nepotisme sebagai
kelompok korupsi dalam klasifikasinya memasang keluarga atau teman pada
posisi pemerintahan tanpa memenuhi syarat untuk itu.Tentunya hal seperti ini
sangat sukar dicari normanya dalam hukum pidana. Begitu pula Mubyarto
menyorot korupsi dan penyuapan dari segi politik dan ekonomi yang mengutip
pendapat Smith sebagai berikut :Of the whole corruption in Indonesia appears to
present more of a recurring political problem than a economic one. It undermines the
legitimacy of the government in the eyes of the young, educated elite and most civil
servant. Corruption reduces support for the government among eliles at the province and
regency level.(Secara keseluruhan korupsi di Indonesia muncul lebih sering
sebagai masalah politik dari pada ekonomi.Ia menyentuh keabsahan (legitimasi)
pemerintah dimana generasi muda, kaum elite terdidik dan pegawai negeri pada
umumnya. Korupsi mengurangi dukungan pada pemerintah dari kelompok elite
di tingkat propinsi dan kabupaten).

Meluasnya kejahatan korupsi di Indonesia telah terjadi sejak orde lama


dan mencapai puncaknya pada masa Orde Baru.Hal ini setidaknya dapat dilihat
dari latar belakang munculnya beberapa peraturan tentang pemberantasan
korupsi.Setelah KUHP dirasakan tidak mampu lagi menjerat pelaku kejahatan
korupsi, peraturan perundangan yang menjadi dasar penanggulangan kejahatan
ini telah silih berganti.Upaya perbaikan yang menyangkut perumusan delik,
perluasan perbuatan, perluasan subyek delik, maupun hukum acara agar
mampu menjangkau pelaku korupsi telah dilakukan.

Berdasarkan keseluruhan pendapat tersebut di atas harus dipahami bahwa


dalam memahami korupsi, cara pandang setiap orang akan berbeda-beda. Artinya tidak
akan sama persis satu dengan yang lainnya. Kondisi ini sangat tergantung pada iklim
26
politik, budaya, kesadaran hukum masyarakat dan perkembangan sistem hukum
masing-masing.Oleh karena itu tidak jarang dijumpai adanya pengertian yang berbeda-
beda dalam memahami korupsi. Tidak jarang terjadi pula pandangan mengenai
perbuatan yang dianggap sebagai korupsi di suatu negara namun di negara lain belum
tentu itu termasuk dalam perbuatan korupsi bisa jadi hanya penggelapan atau
penyuapan biasa. Oleh karena itu harus dipahami bahwa dalam memahami makna
korupsi sangat tergantung dari politik hukum pidana yang dianut oleh suatu negara.

B. KORUPSI : EXTRAORDINARY CRIME


Memasuki abad ke 21, perhatian dan keprihatinan masyarakat dunia
internasional terhadap masalah korupsi kian meningkat.Ini bisa dilihat dari
semakin seringnya Kongres-Kongres Internasional khususnya yang diadakan
PBB/United Nations mengangkat isu tentang permasalahan korupsi.
Keprihatinan masyarakat internasional mencapai puncaknya dengan
dideklarasikannya United Declarations Convention Against Corruption
(UNCAC) yang disahkan dalam Konferensi Diplomatik di Merida Mexico pada
Desember 2003. Jadi dalam bagian pembukaan Konvensi PBB tersebut
ditegaskan, bahwa masyarakat internasional (peserta konvensi) prihatin atas
keseriusan (kegawatan) masalah-masalah dan ancaman-ancaman yang
ditimbulkan oleh korupsi terhadap stabilitas dan keamanan masyarakat, yang
melemahkan lembaga-lembaga dan nilai-nilai demokrasi, nilai-nilai etika dan
keadilann, serta membahayakan pembangunan berkelanjutan dan supremasi
hukum.Oleh karena itu perlu diyakininya suatu pendekatan komprehensif dan
multidisipliner untuk mencegah dan memerangi korupsi secara efektif.10

Dalam perspektif hukum pidana, tindak pidana korupsi tergolong sebagai


kejahatan yang sangat berbahaya, baik terhadap masyarakat, maupun terhadap

10OpCit., hlm. 64
27
bangsa dan negara.Kerugian keuangan negara dan perekonomian negara adalah
akibat nyata yang yang menjadi dasar pembenaran dilakukannya kriminalisasi
terhadap berbagai bentuk perilaku koruptif dalam kebijakan perundang-
undangan pidana.Akan tetapi, hilangnya kepercayaan masyarakat terhadap
pemerintah suatu negara justru merupakan akibat yang jauh lebih besar dan
lebih berbahaya daripada hanya sekedar kerugian dari sudut keuangan dan
ekonomi semata.11Hal ini dapat menjadi indicator berbahayanya tindak pidana
korupsi jika dibiarkan berkembang secara terus menerus.Sifat berbahaya dari
tindak pidana korupsi dan efek yang luas terhadap kehidupan bernegara dan
masyarakat juga telah ditegaskan dalam Kongres Perserikatan Bangsa-Bangsa
ke-9. Hasil kongres di Kairo ini kemudian dibicarakan oleh Commition on Crime
Prevention and Criminal Justice, di Wina yang menghasilkan resolusi tentang
Actions agains corruptions dan menegaskan korupsi merupakan masalah serius
karena dapat membahayakan stabilitas dan keamanan masyarakat, merusak
nilai-nilai demokrasi dan moralitas (underminded the values of democracy and
morality) dan membahayakan pembangunan sosial, ekonomi, dan politik
(jeopardized social, economic and political development).12

Dengan demikian dapat dipahami adapun sifat extraordinary crime dari


tindak pidana korupsi adalah adanya kerugian keuangan negara yang
berdampak pada kerugian perekonomian suatu bangsa.Dalam konteks ini
korban dari kerugian keuangan negara berimbas sangat luar biasa.Selain itu sifat
extraordinary crime dari korupsi juga dapat dilihat dari praktik yang dilakukan.
Kebanyakan menunjukkan korupsi yang berlangsung sistemik dan meluas

11 Mardjono Reksodiputro, 1998, Kemajuan Pembangunan Ekonomi dan Kejahatan, Pusat


Pelayanan Keadilan dan Pengabdian UI, Jakarta, dalam OpCIt., hlm. 70
12Edi Setiadi dan Rena Yulia, 2010, Hukum Pidana Ekonomi, Graha Ilmu, Yogyakarta,

hlm. 88
28
sehingga kerugian tidak hanya dialami oleh negara dalam bentuk kerugian
keuangan negara tetapi juga memberikan kerugian kepada hak-hak

Untuk di Indonesia, menurut Elwi Danil ada beberapa alasan-alasan yang


memposisikan korupsi sebagai kejahatan yang luar biasa yaitu :

a. Karena masalah korupsi sudah berurat akar dalam kehidupan


berbangsa dan bernegara di Indonesia. Korupsi tidak saja merugikan
keuangan negara atau perekonomian negara, tapi juga telah
“memorak porandakan” tatanan kehidupan berbangsa dan bernegara,
sehingga kondisi itu telah memprihatinkan masyarakat internasional;
b. Korupsi telah menimbulkan kemiskinan dan kesenjangan sosial yang
besar dalam kehidupan masyarakat, karena sebagian besar
masyarakat tidak dapat menikmati hak yang seharusnya dia peroleh;
c. Karena korupsi itu telah mengalami perkembangan dan pertumbuhan
yang sangat pesat, maka masalahnya tidak lagi merupakan masalah
hukum semata, tapi korupsi itu sudah dirasakan sebagai pelanggaran
terhadap hak sosial dan ekonomi masayrakat sebagai bagian dari hak
asasi manusia;
d. Karena adanya perlakuan diskriminatif di dalam penegakan hukum
terhadap tindak pidana korupsi;
e. Karena korupsi bukan lagi hanya berkaitan dengan sektor publik;
melainkan sudah merupakan kolaborasi antara sektor publik dengan
sektor swasta.

C. CIRI DAN TIPOLOGI KORUPSI


Berikut akan diuraikan mengenai ciri dan tipologi korupsi menurut
pandangan beberapa ahli.
29
Syed Hussein Alatas mengungkapkan beberapa ciri dari korupsi, yaitu :
a. Korupsi senantiasa melibatkan lebih dari satu orang;
b. Korupsi pada umumnya melibatkan keserbarahasiaan, kecuali ia telah
begitu merajalela, dan begitu mendalam berurat akar, sehingga
individu-individu yang berkuasa, atau mereka yang berada daalam
lingkungannya tidak tergoda untuk menyembunyikan perbuatan
mereka;
c. Korupsi melibatkan elemen kewajiban dan keuntungan timbale balik;
d. Mereka yang mempraktikkan cara-cara korupsi biasanya berusaha
untuk menyelubungi perbuatannya dengan berlindung di balik
pembenaran hukum;
e. Mereka yang terlibat korupsi adalah mereka yang menginginkan
keputusan-keputusan yang tegas dan mereka yang mampu untuk
memengaruhi keputusan-keputusan itu;
f. Setiap tindakan korupsi mengandung penipuan;
g. Setiap bentuk korupsi adalah suatu pengkhianatan kepercayaan;
h. Setiap bentuk korupsi melibatkan fungsi ganda yang kontradiktif dari
mereka yang melakukan tindakan itu;
i. Suatu perbuatan korupsi melanggar norma-norma tugas dan
pertanggungjawaban dalam tatanan masyarakat.13
Meskipun ciri-ciri di atas masih bisa diperluas, namun ciri-ciri korupsi yang
dikemukakan Syed Hussein Alatas itu sudah cukup dan dapat digunakan
sebagai kriteria untuk mengklasifikasikan korupsi.Dengan demikian dapat
dipahami, bahwa setiap perbuatan yang diklasifikasikan sebagai korupsi

13Elwi Danil., OpCit., hlm. 7


30
haruslah didekati dengan ciri-ciri tersebut, sehingga kita dapat menghindari
pemahaman yang sempit tentang makna korupsi.
Selanjutnya mengenai tipologi korupsi diketahui ada beberapa pandangan
antara lain menurut Piers Beirne dan James Messerschmidt yang memandang
korupsi sebagai sesuatu yang erat kaitannya dengan korupsi. Untuk itu mereka
menjelaskan adanya empat tipe korupsi, yakni political bribery, political kickbacks,
election fraud dan corrupt compaign practices. Political bribery berkaitan dengan
kekuasaan di bidang legislative sebagai badan pembentuk undang-undang.
Badan legislative tersebut dikendalikan oleh suatu kepentingan karena dana
yang dikeluarkan pada masa pemilihan umum sering berhubungan dengan
aktivitas perusahaan tertentu yang bertindak sebagai penyandang dana.
Individu pengusaha sebagai pemilik perusahaan berharap agar anggota
parlemen yang telah diberi dukungan dana pada saat pemilihan umum dapat
membuat peraturan perundang-undangan yang menguntungkan usaha atau
bisnis mereka. Sedangkan political kickbacks adalah kegiatan korupsi yang
berkaitan dengan sistem kontrak pekerjaan borongan antara pejabat pelaksana
atau pejabat terkait dengan pengusaha yang memberikan kesempatan atau
peluang untuk mendapatkan banyak uang bagi kedua belah pihak.Sementara
election fraud adalah korupsi yang berkaitan langsung dengan kecurangan-
kecurangan dalam pemilihan umum, baik yang dilakukan oleh calon penguasa
atau calon anggota parlemen ataupun oleh lembaga pelaksana pemilihan umum.
Sedangkan corrupt campaign practice adalah korupsi yang berkaitan kegiatan
kampanye dengan menggunakan fasilitas negara dan bahkan juga menggunakan
uang negara oleh calon penguasa yang saat itu memegang kekuasaan.14

14 OpCit., hlm 9 - 10
31
Kemudian Benveniste juga memandang korupsi dari berbagai aspek, dan
untuk itu beliau memberikan pemahaman terhadap korupsi atas empat jenis,
yaitu :

a. Discretionary corruption, yakni korupsi yang dilakukan karena adanya


kebebasa dalam menentukan kebijaksanaan, sekalipun tampaknya
bersifat sah, bukanlah praktik-praktik yang dapat diterima oleh para
anggota organisasi.
b. Illegal corruption, ialah suatu jenis tindakan yang bermaksud
mengacaukan bahasa atau maksud-maksud hukum, peraturan, dan
regulasi tertentu.
c. Mercenery corruption, yakni jenis tindak pidana korupsi yang dimaksud
untuk memperoleh keuntungan pribadi melalui penyalahgunaan
wewenang dan kekuasaan.
d. Ideological corruption, ialah jenis korupsi illegal maupun discretionary
yang dimaksudkan untuk mengejar tujuan kelompok.15
Tipologi terakhir dikembangkan oleh Vito Tanzi adalah sebagai berikut:
1. Korupsi transaksi, yaitu korupsi yang terjadi atas kesepakatan
diantara seorang donor dengan resipien untuk keuntungan kedua
belah pihak.
2. Korupsi ekstortif, yaitu korupsi yang melibatkan penekanan
pemaksaan untuk menghindari bahaya bagi mereka yang terlibat atau
orang-orang yang dekat dengan pelaku korupsi.
3. Korupsi investif, yaiut korupsi yang berawal dari tawaran yang
merupakan investasi untuk mengatisipasi adanya keuntungan di masa
datang.

15 Op.Cit., hlm 11 - 12
32
4. Korupsi nepotistik, yaitu korupsi yang terjadi karena perlakuan
khusus baik dalam pengangkatan kantor publik maupun pemberian
proyek-proyek bagi keluarga dekat.
5. Korupsi otogenik, yaitu korupsi yang terjadi ketika seorang pejabat
mendapat keuntungan karena memiliki pengetahuan sebagai orang
dalam (insiders information) tentang berbagai kebijakan publik yang
seharusnya dirahasiakan.
6. Korupsi supportif, yaitu perlindungan atau penguatan korupsi yang
menjadi intrik kekuasaan dan bahkan kekerasan.
7. Korupsi defensif, yaitu korupsi yang dilakukan dalam rangka
mempertahankan diri dari pemerasan.

D. FASE PENGATURAN PENCEGAHAN DAN PEMBERANTASAN


TINDAK PIDANA KORUPSI DI INDONESIA
Di dalam sejarah ketatanegaraan Indonesia, pengaturan pencegahan

tindak pidana korupsi, telah dimulai dengan ditetapkannya WvS/Wetboek van

Strafrecht sebagai Kitab Undang-undang Hukum Pidana yang dinyatakan

berlaku sebagai hukum positif di Indonesia berdasarkan UU No.1/1946 jo. UU

No.73/1958. Di dalam Kitab Undang-undang Hukum Pidana korupsi masuk

kedalam delik-delik jabatan (ambsdelicten) dalam Buku II. Perkembangan modus

operandi tindak pidana korupsi, telah melemahkan fungsi KUHP karena

rumusan normanya tidak lagi dapat memberantas tindak pidana korupsi (yang

pada waktu itu tidak lagi berkembang pada penyalahgunaan jabatan), sehingga

pemerinah Indonesia mulai mengeluarkan instrumen dalam bentuk peraturan


33
perundang-undangan di luar KUHP. Dalam garis besarnya, ada 6 (enam)

instrumen peraturan perundang-undangan pemberantasan tindak pidana

korupsi di luar KUHP pasca kemerdekaan, yaitu :

1. Peraturan Penguasa Militer Nomor. Prt/PM-06/1957 tanggal 9 April 1957

tentang Pemberantasan Korupsi.

2. Peraturan Penguasa Perang Pusat Angkatan Darat No. PRT / Peperpu /


013 / 1958 tentang Pengusutan, Penuntutan, dan Pemeriksaan Perbuatan
Pidana Korupsi.
3. Undang-undang Nomor 24/Prp/1960 dan Keputusan Presiden Nomor

228 Tahun 1967 tentang Tindak Pidana Korupsi.

4. Undang-undang Nomor 3 Tahun1971 tentang Pemberantasan Tindak

Pidana Korupsi.

5. Undang-undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak

Pidana Korupsi.

6. Undang-undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan atas Undang-

undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana

Korupsi.

Berturut-turut akan dideskripsikan kebijakan kriminalisasi tindak pidana

korupsi dalam masing-masing peraturan perundang-undangan tersebut di atas.

1. Peraturan Penguasa Militer Nomor. Prt / PM / 06 / 1957 tentang


Pemberantasan Korupsi.

34
Peraturan Penguasa Militer No. Prt/PM/06/1957 tentang pemberantasan

Korupsi, di dalam perkembangan selanjutnya menduduki posisi cukup berarti

karena Peraturan Penguasa Militer No. Prt/PM/06/1957 menyebutkan. “Bahwa

berhubung tidak adanya berbagai cara dalam usaha-usaha memberantas

perbuatan-perbuatan yang merugikan keuangan dan perekonomian negara yang

oleh kelayak ramai dinamakan korupsi, perlu negara menerapkan suatu tata

kerja untuk dapat menerobos kemacetan dalam usaha memberantas korupsi

yang sesuai dengan……..” dan seterusnya.

Kebijakan kriminalisasi suatu perbuatan sebagai tindak pidana korupsi

dalam peraturan penguasa Militer meliputi pengertian yang luas, yaitu meliputi

perbuatan-perbuatan yang merugikan keuangan dan perekonomian negara, dan

apabila disimak apa yang tercantum dalam bagian konsideran peraturan

tersebut, maka selain memberikan batasan rumusan/definisi tentang apa yang

diartikan dengan korupsi, juga sekaligus memberikan isi dan makna dari apa

yang di namakan korupsi. Selanjutnya, kebijakan kriminalisasi suatu perfbuatan

sebagai tindak pidana korupsi dapat dibaca dalam ketentuan Pasal 1 Peraturan

Penguasa Militer No. Prt/PM/06/1957 sebagai berikut :

a. Tiap perbuatan yang dilakukan oleh siapapun juga, baik untuk


kepentingan diri sendiri, untuk kepentingan orang lain atau untuk
kepentingan suatu badan yang langsung atau tidak langsung
menyebabkan kerugian bagi keuangan dan perekonomian negara.
35
b. Tiap perbuatan yang dilakukan oleh seorang pejabat yang menerima gaji
atau upah dari keuangan negara atau daerah atau pun dari suatu badan
yang menerima bantuan dari keuangan negara atau daerah yang dengan
mempergunakan kesempatan atau kewenangan atau kekuasaan yang
diberikan kepadanya oleh jabatan langsung atau tidak langsung.

Pengertian luas tersebut sebenarnya merupakan salah satu langkah untuk

memudahkan para petugas hukum untuk memproses segi hukum pidananya

terhadap siapa saja yang merugikan keuangan negara/perekonomian negara

tanpa suatu kriteria khusus apabila ia seorang pejabat atau bukan serta juga baik

orang maupun badan.16 Kebijakan tersebut tentunya tidak dapat dilepaskan

dengan kesadaran bahwa pengaturan delik jabatan dalam KUHP tidak

memadai lagi untuk mencegah korupsi yang semakin merajalela dalam

masyarakat Indonesia yang sedang membangun. Pengaturan dalam KUHP yang

dimaksud ialah yang terdapat dalam Buku II Bab XXVII, khususnya yang

mengatur delik yang dilakukan oleh pejabat yaitu :

a. Pasal 415 KUHP tentang penggelapan oleh pejabat.

b. Pasal 416 KUHP tentang pemalsuan buku oleh pejabat.

c. Pasal 418 tentang penerimaan suap.

d. Pasal 423, 425 dan 435 KUHP tentang menguntungkan diri sendiri secara

tidak sah.

16Harmien Hadiati Koeswadji 1994. Korupsi di Indonesia dari Delik Jabatan Ketindak
Pidana Korupsi, Bandung : PT Citra Aditya Bakti, hal 35
36
2. Peraturan Penguasa Perang Pusat Angkatan Darat No. PRT / Peperpu / 013
/ 1958 tentang Pengusutan, Penuntutan, dan Pemeriksaan Perbuatan Pidana
Korupsi.

Peraturan Penguasa Perang Pusat Angkatan Darat ini memuat substansi

yang lebih memadai apabila dibandingkan dengan Peraturan Penguasa Militer

Nomor. Prt / PM / 06 / 1957. Peraturan Penguasa Perang Pusat Angkatan Darat

No. PRT / Peperpu / 013 / 1958, selain mengatur tentang upaya

penanggulangan tindak pidana korupsi secara represif juga mengatur upaya

penanggulangan tindak pidana korupsi secara preventif (upaya prevensi salah

satunya dapat dicontohkan : sistem pendaftaran harta benda). Dalam peraturan

Penguasa Perang Pusat ini ditambahkan ketentuan-ketentuan yang ada dalam

KUHP tentang korupsi. Peraturan tersebut dilanjutkan untuk wilayah hukum

angkatan laut dengan surat Keputusan Kepala Staf Angkatan Laut Nomor

2/1/1/7, tanggal 17 April 1958 (diumumkan Dalam Berita Negara Nomor

42/58). Perbuatan korupsi menurut Pasal 1dibedakan menjadi 2 (dua) jenis

yaitu :

a. Perbuatan korupsi pidana (Pasal 2) adalah :

1) Perbuatan seseorang yang dengan atau karena melakukan kejahatan


atau pelanggaran memperkaya diri sendiri atau orang lain atau suatu
badan yang secara langsung atau tidak langsung merugikan keuangan
atau perekonomian negara atau daerah atau merugikan keuangan
suatu badan yang meneriman bantuan keuangan dari negara atau

37
daerah atau badan hukum lain yang mempergunakan modal atau
kelonggaran-kelonggaran dari masyarakat.
2) Perbuatan yang dengan atau karena melakukan suatu kejahatan atau
pelanggaran memperkaya diri sendiri atau orang lain atau suatu
badan yang dilakukan menyalahgunakan jabatan atau kedudukan.
3) Kejahatan yang tercantum dalam Pasal 41 sampai 50 Peraturan
Penguasa Perang Pusat ini dalam Pasal 209, 210, 418 dan 420 KUHP.

b. Perbuatan korupsi lainnya (Pasal 3) adalah :

1) Perbuatan seseorang yang dengan atau karena melakukan perbuatan


melawan hukum atau memperkaya diri sendiri atau orang lain atau
suatu badan yang secara langsung ataupun tidak langsung merugikan
keuangan negara atau daerah atau badan yang menerima bantuan dari
keuangan negara atau daerah atau badan lain yang mempergunakan
modaldan kelonggaran dari masyarakat.

2) Perbuatan seseorang yang dengan atau melakukan perbuatan


melawan hukum, memperkaya diri sendiri atau orang lain atau suatu
badan yang dilakukan dengan menyalahgunakan jabatan atau
kedudukan.

Mengenai korupsi yang diatur dalam Pasal 3 ini diberlakukan ketentuan

dalam bagian II sampai dengan Bagian V Peraturan Penguasa Perang Pusat

dimaksud antara lain melalui permintaan kepada Pengadilan Tinggi dapat

diputuskan perampasan harta benda yang diperoleh dari perbuatan korupsi

lainnya. Suatu kebijakan yang perlu dicatat dalam pearturan perundang-

undangan ini adalah pengembalian atau pengamanan harta kekayaan negara

sangat menonjol dengan adanya ketentuan Pasal 33 bahwa, ” Jika seorang dalam

jangka waktu 6 (enam) bulan setelah berlakunya Peraturan Penguasa Perang

Pusat ini dengan sukarela melaporkan kepada instansi yang berwajib perbuatan

38
korupsi yang telah dilakukan sebelum diadakan Peraturan Penguasa Perang

Pusat dengan disertai keterangan atau bukti-bukti yang lengkap, maka peruatan

itu tidak akan dituntut, asal harta benda yang diperoleh dengan atau karena

perbuatan tersebut diserahkan kepada negara” Dari ketentuan pasal tersebut

dapat dikemukakan bahwa seseorang atau tersangka atau terdakwa tidak akan

dituntut secara pidana bilamana secara sukarela melaporkan kepada instansi

yang berwajib tentang perbuatan korupsi yang telah dilakukan dan harta benda

yang diperoleh dengan atau karena perbuatan korupsi diserahkan kepada

negara”.

Selanjutnya dalam ketentuan Pasal 33 ayat (2) ditentukan : “Ketentuan

pada ayat (1) Pasal ini berlaku juga bagi tersangka dan terdakwa yang dalam

taraf pengusutan, penuntutan dan pemeriksaan perkara semacam perkara

korupsi pidana di muka sidang pengadilan dengan sukarela melaporkan hal-hal

dengan cara dan dalam waktu yang ditentukan dalam ayat itu”.

3. Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perpu) Nomor 24 Tahun


1960 tentang, Pengusutan, Penuntutan dan Pemeriksaan Tindak Pidana
Korupsi.

Peraturan Pemerintah Pengganti UU No. 24 Tahun 1960 mulai

diberlakukan tanggal 9 Juni 1960. Berdasarkan UU No. 1 Tahun 1961 ditetapkan

menjadi UU No. No. 24 / Prp / 1960. Undang-undang No.24/Prp/1960 dengan

39
tegas mencabut peraturan penguasa perang pusat (peperpu) terdahulu tentang

pemberantasan korupsi yang hanya berlaku 2 (dua) tahun. Sejak awal memang

diketahui bahwa peraturan penguasa perang pusat tentang pemberantasan

korupsi itu adalah bersifat temporer, yang bersifat darurat berdasarkan

Undang-undang Keadaan Bahaya Nomor 74 tahun 1957. UU No 24/Prp/1960

substansi/materi muatannya banyak diambil alih dari dari Peraturan Penguasa

Perang Pusat Angkatan Darat No. PRT / Peperpu / 013 / 1958 tentang

pengusutan, penuntutan, dan pemeriksaan perbuatan pidana korupsi, terutama

mengenai rumusan delik korupsi dengan perubahan istilah misalnya “perbuatan

korupsi pidana” diganti menjadi “tindak pidana korupsi”. Selanjutnya rumusan

tindak pidana korupsi ditentukan dalam rumusan Pasal 1 sebagai berikut :

a. Tindakan seseorang yang dengan atau karena melakukan sesuatu


kejahatan atau pelanggaran, memperkaya diri sendiri atau orang lain atau
suatu badan yang secara langsung maupun tidak langsung merugikan
keuangan atau perekonomian negara atau daerah atau merugikan
keuangan suatu badan yang menerima bantuan dari keuangan negara
atau badan hukum lainnya yang mempergunakan modal atau
kelonggaran dari negara atau masyarakat.

b. Perbuatan seseorang yang dengan atau karena melakukan perbuatan


melawan hukum memperkaya diri sendiri atau orang lain atau suatu
badan yang dilakukan dengan menyalahgunakan jabatan atau
kedudukan.

c. Kejahatan-kejahatan yang tercantum dalam Pasal 17 sampai 21 peraturan


ini, dalam Pasal 209, 210, 415, 416, 417, 418, 419, 420, 423, 425 dan 435
KUHP.

40
Selanjutnya di dalam Penjelasan Umum, penjelasan Pasal 1 UU No. 24/

Prp/1960, dijelaskan bahwa, ”Yang dimaksud dengan perbuatan korupsi apabila

terjalin unsur-unsur kejahatan atau pelanggaran sehingga berdasarkan itu dapat

dipidana dengan hukuman badan / atau denda yang cukup berat disamping

perampasan harta benda hasil korupsi”.

Apabila dikonstruksi dari rumusan kebijakan kriminalisasi dihubungkan dengan

penjelasan umum Pasal 1 huruf a dan huruf b , dapat disimpulkan bahwa

seseorang barulah dikatakan melakukan tindak pidana korupsi apabila

seseorang melakukan perbuatan melawan hukum memperkaya diri sendiri

atau orang lain atau suatu badan yang dilakukan dengan menyalahgunakan

jabatan atau kedudukan, memperkaya diri sendiri atau orang lain atau suatu

badan yang secara langsung maupun tidak langsung merugikan keuangan atau

perekonomian negara atau daerah atau merugikan keuangan suatu badan yang

menerima bantuan dari keuangan negara atau badan hukum lainnya yang

mempergunakan modal atau kelonggaran dari negara atau masyarakat.

Perbuatan dimaksud dilakukan dengan melakukan suatu kejahatan atau

pelanggaran.

4. Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1971 tentang Pemberantasan Tindak


Pidana Korupsi.
Dalam era tahun 70 an telah disadari bahwa instrumen perundang-

undangan pemberantasan tindak pidana korupsi tidak memadai lagi dalam


41
upaya pemberantasan tindak pidana korupsi. Pada tanggal 29 Maret 1971

diundangkanlah UU No 3 Tahun 1971 (L.N.1971 No. 19). Dikeluarkannya UU No

3 Tahun 1971 tidak dapat dilepaskan dengan kebijakan pemerintah, bahwa

tindak pidana yang terjadi selama kurun waktu tahun 60 an sampai tahun 70 an

tewlah terjadi secara meluas, tidak hanya merugikan keuangan negara tetapi

telah pula merupakan pelanggaran terhadap hak-hak sosial dan ekonomi

masyarakat secara luas. Kebijakan untuk mengkriminalsisasikan statu

perbuatan sebagai tindak pidana korupsi secara jelas dapat dilihat dalam

ketentuan Pasal 1 UU No. 3 Tahun 1971 sebagai berikut :

(1) a) Barang siapa dengan melawan hukum melakukan perbuatan


memperkaya diri sendiri atau orang lain atau suatu badan yang
secara langsung atau tidak langsung merugikan keuangan negara
atau perekonomian negara, atau diketahui atau patut disangka
olehnya bahwa perbuatan-perbuatan tersebut merugikan keuangan
negara atau perekonomian negara.

b) Barang siapa dengan tujuan menguntungkan diri sendiri atau orang


lain atau suatu badan, menyalahgunakan kewenangan, kesempatan
atau sarana yang ada padanya karena jabatan atau kedudukan, yang
secara langsung atau tidak langsung dapat merugikan keuangan
negara atau perekonomian negara.

c) Barang siapa yang melakukan kejahatan yang tercantum dalam Pasal


209, 210, 387, 416, 417, 418, 419, 420, 423, 425 dan 435 KUHP.

d) Barang siapa memberi hadiah atau janji kepada pegawai negeri


seperti dimaksud dalam Pasal 2 dengan mengingat suatu kekuasaan
atau suatu wewenang yang melekat pada jabatannya atau
kedudukannya atau oleh si pemberi hadiah atau janji dianggap
melekat pada jabatan atau kedudukan itu.

42
e) Barang siapa tanpaalasan yang wajar, dalam waktu yang sesingkat-
singkatnya setelah menerima pemberian atau janji yang diberikan
kepadanya seperti yang disebut dalam Pasal 218, 419 dan 420 KUHP
tidak melaporkan memberikan atau janji tersebut kepada yang
berwajib.

(2) Barangsiapa melakukan percobaan atau permufakatan untuk melakukan


tindak pidana tersebut dalam ayat (1) diatas.

Dilihat dari perumusan delik dalam UU No 3 Tahun 1971, nampak bahwa

kebijakan perumusan deliknya mengikuti Peraturan penguasa Militer No.

PRT/PM/011/1957 jo. PRT/PM/06/1957. Tindak pidana yang dimuat dalam

KUHP yang dijadikan tindak pidana korupsi bertambah dengan dimasukkannya

Pasal 387 (Penipuan dalam pelaksanaan pemborongan) dan Pasal 388 (perbuatan

curang yang membahayakan negara dalam keadaan perang).

Kebijakan merumuskan delik secara materil dalam UU No 3 Tahun 1971

merupakan kendala utama dalam masalah pembuktian, walaupun apabila

diteliti lebih lanjut tidak semua delik dirumuskan secara materiil, seperti

misalnya Pasal 1 ayat (1) poin b yang menggunakan kata “dapat”, sehingga

jaksa tidak perlu membuktikan adanya kerugian keuangan atau perekonomian

negara.

5. Undang-Undang Nomor 31 tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak


Pidana Korupsi.

43
Kebutuhan akan instrumen yang memadai dalam rangka

penanggulangan tindak pidana korupsi di era tahun 90-an sudah dirasakan kian

mendesak. UU No 3 Tahun 1971 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi

pada saat itu telah dirasakan sudah tidak sesuai lagi dengan perkembangan

modus operandi tindak pidana korupsi serta kebutuhan dalam masyarakat,

sehingga perlu diganti dengan UU yang baru.

Pada tanggal 16 Agustus 1999 UU No. 31 Tahun 1999 sebagai penganti

UU No. 3 Tahun 1971 diundangkan dalam LN 1999 No. 140. UU No. 31 Tahun

1999 diundangkan pasca terselenggaranya Konvensi PBB tentang The Prevention

of Crime and the Treatment of Offenders di Havana Tahun 1990 (kongres ke-8).

Kongres ini menekankan antara lain “Corruption” keterkaitannya dengan

economicv crime, organize crime, illicit trafficking in narcotic drugs and psychotropic

substances, termasuk juga masalah money lundering. Sangat perlunya

diperhatikan mengingat “Corrup activities of public official” itu :

a. Dapat menghancurkan efektivitas potensial dari semua jenis program


pemerintah (can destroy the potential effectiviness of all types of govermnental
programmes).

b. Dapat mengganggu dan menghambat pembangunan (hider development).

c. Menimbulkan korban bagi individu maupun kelompok (victimize


individual and groups). 17

17 Lilik Mulyadi, 2000, Tindak Pidana Korupsi (Tinjauan Khusus Terhadap Proses
Penyidikan, Penuntutan, Peradilan serta Upaya Hukumnya Menurut UU No. 31 Tahun
1999,Bandung : Citra Aditya Bakti, hal. 17.
44
Di dalam UU No 31 Tahun 1999 terlihat pengertian korupsi dirumuskan

sebagai delik formil yaitu dipidananya pelaku tindak pidana korupsi karena

perbuatan yang dilakukan bukan berdasarkan akibat yang ditimbulkan,

melainkan terpenuhinya unsur-unsur delik dalam Undang-undang yang

bersangkutan. Hal ini ditegaskan dalam penjelasan atas undang-undang

tersebut, bahwa : “dengan Undang-undang ini, tindak pidana korupsi secara

tegas dirumuskan sebagai delik formil. Hal ini sangat penting dalam rangkaian

upaya pembuktian tindak pidana korupsi.Dengan rumusan secara formil yang

dianut dalam Undang-undang ini, meskipun hasil korupsi telah dikembalikan

kepada negara, pelaku korupsi tetap diajukan kepengadilan dan tetap

dipidana.”

Perumusan delik korupsi dalam UU No. 31 Tahun 1999 apabila diteliti,

mengadopsi perumusan tindak pidana korupsi dalam UU No. 3 Tahun 1971

yang redaksinya disempurnakan dan beberapa ketentuan dari KUHP. Di dalam

sehingga apabila dicermati, UU No. 3 Tahun 1971 membedakan tipologi korupsi

sebagai berikut :

a. Pengertian korupsi tipe pertama terdapat dalam ketentuan Pasal 2 UU No

31 Tahun 1999, yaitu:

45
1. Setiap orang yang secara melawan hukum melakukan perbuatan
memperkaya diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi yang
dapat merugikan keuangan negara.
2. Dalam hal tindak pidana korupsi sebagaimana dimaksud Ayat (1)
dilakukan dalam keadaan tertentu, pidana mati dapat dijatuhkan.
Yang terdiri dari unsur-unsur, yaitu:
a) Perbuatan memperkaya diri sendiri atau orang lain atau suatu
korporasi.
b) Perbuatan tersebut sifatnya melawan hukum.
c) Dapat merugikan keuangan dan perekonomian negara.
d) Dalam hal tertentu pelaku tindak pidana dapat dijatuhi pidana
mati.

b. Pengertian korupsi tipe kedua, terdapat dalam Pasal 3 UU No. 31 Tahun

1999; “Setiap orang yang dengan tujuan menguntungkan diri sendiri atau

orang lain atau suatu korporasi menyalahgunakan kewenangan,

kesempatan atau sarana yang ada padanya karena jabatan atau

kedudukan yang dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian

negara. Dalam pengertian korupsi tipe 2 ini secara eksplisit disebutkan

”penyalahgunaan kewenangan, kesempatan atau sarana yang ada

padanya karena jabatan atau kedudukan. Untuk jelasnya, dapat

dikemkakan unsur-unsur pasal tersebut sebagai berikut :

1. Menyalahgunakan kewenangan, kesempatan atau sarana yang ada

padanya karena jabatan atau kedudukan.

2. Tujuan dari kegiatan tersebut menguntungkan diri sendiri atau

orang lain atau suatu korporasi.

46
3. Perbuatan tersebut dapat merugikan keuangan negara atau

perekonomian negara.

c. Pengertian korupsi tipe ketiga, terdapat dalam Pasal 5, 6, 7, 8, 9, 10, 11, 12,

13, yang merupakan penarikan pasal-pasal dalam KUHP yaitu:

1. Penyuapan (Pasal 209, 210, 418, 419, 420 KUHP) yang ditarik menjadi

Pasal 5, 6, 11, 12 dan l3 dari UU No. 31 Tahun 1999.

2. Penggelapan, yakni Pasal 415, 416 dan 417 KUHP yang diinventarisir

dalam Pasal 8, 9 dan 10 UU No. 31 Tahun. 1999.

3. Kerakusan dalam Pasal 423 dan 425 KUHP yang diinventarisir dalam

Pasal 12 UU No.31 Tahun 1999.

4. Perbuatan-perbuatan yang berkorelasi dengan pemborongan,

leverensir dan rekanan dalam Pasal 387, 388 dan 435 KUHP yang

dimasuakkan kedalam Pasal 7 dan 12 UU No. 31 Tahun 1999.

d. Pengertian korupsi tipe keempat, yaitu : percobaan. Pembantuan atau

pemufakatan jahat serta pemberian kesempalan, sarana atau keterangan

terjadinya tindak pidana korupsi oleh orang diluar wilayah Indonesia.

Yang diatur dalam Pasal 15 dan 16 UU No. 31 Tahun 1999.

47
e. Pengertian korupsi tipe kelima, adalah pengertian korupsi yang tidak

murni, karena dalam Bab II Pasal 21, 22, 23 dan 24 UU No. 31 Tahun 1999

diatur tindak pidana lain yang berkaitan dengan korupsi. 18

Kebijakan mengkriminalisasikan suatu perbuatan sebagai tindak pidana

korupsi dalam UU No.31 tahun 1999 dapat dilihat dalam ketentuan dalam Pasal

2, Pasal 3 Pasal 5, Pasal 6, Pasal 7, Pasal 8, Pasal 9, Pasal 10, Pasal 11, Pasal 12,

Pasal 13, dan Pasal 16.

6. Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan atas Undang-


undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Tindak Pidana Korupsi.

Secara kualitas tindak pidana korupsi di Indonesia telah merambah

berbagai sektor publik, karena tindak pidana korupsi tidak saja terjadi di

lembaga eksekutif tetapi telah merambah pula lembaga legislatif dan yudikatif.

Berbagai kasus tindak pidana korupsi yang mencuat ke permukaan merupakan

gambaran betapa tindak pidana korupsi telah terjadi secara sistematik, sebagai

suatu perbuatan yang sangat merugikan serta dapat merusak sendi-sendi

kehidupan perekonomian suatu negara.

Dampak yang ditimbulkan oleh tindak pidana korupsi telah

menimbulkan ide pemberantasannya dengan cara-cara luar biasa, kiranya dapat

dibenarkan mengingat tindak pidana korupsi tergolong sebagai suatu kejahatan

18Ibid.

48
luar biasa pula (extra ordinary crime). Bentuk serta akibat tindak pidana korupsi

inipun sebenarnya tidak luput dari perhatian dunia internasional. Kompleksnya

permasalahan tindak pidana korupsi, dengan munculnya berbagai kasus yang

terjadi di Indonesia, mengharuskan pemerintah Indonesia untuk kembali

melakukan perubahan perundang-undangan pemberantasan tindak pidana

korupsi. UU No. 31 Tahun 1999, di dalam beberapa bagiannya telah dirasakan

kurang memadai lagi dalam menunjang program pemerintah memberantas

tindak pidana korupsi. Untuk itulah Undang-undang ini kemudian dirubah

dengan diundangkannya UU No. 20 Tahun 2001 tentang Perubahan atas UU

No. 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Dalam

bagian konsideran Undang-undang ini, antara lain dijelaskan : bahwa tindak

pidana korupsi yang selama ini terjadi secara meluas tidak hanya merugikan

keuangan negara, tetapi juga telah merupakan hak-hak sosial ekonomi

masyarakat secara luas, sehingga tindak pidana korupsu perlu digolongkan

sebagai kejahatan yang pemberantasannya harus dilakukan secara luar biasa. Di

samping itu diundangkannya UU No. 20 Tahun 2001 ini dimaksudkan untuk

lebih menjamin kepastian hukum, menghindari keragaman penafsiran hukum

dan memberikan perlindungan secara adil terhadap hak-hak sosial dan ekonomi

masyarakat, serta perlakuan secara adil dalam memberantas tindak pidana

49
korupsi, perlu diadakan perubahan atas UU No. 31 Tahun 1999 tentang

Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.

Dengan diberlakukannya UU No. 20 Tahun 2001 sejak tanggal 21

November 2001, hanya tinggal 2 (dua) Pasal dalam UU No. 31 Tahun 1999 yang

ditarik menjadi delik korupsi, mulai dari Pasal 5 sampai Pasal 12. Perubahan

tersebut adalah tidak menyebutkan lagi Pasal-Pasal KUHP ke dalam rumusan

Undang-undang, tetapi langsung merumuskan unsur Pasal-Pasal KUHP

dimaksud, yang juga diatur pada Pasal 5 sampai Pasal 12 UU No. 20 Tahun

2001.

3. Kebijakan Legislatif Menarik Unsur-unsur Tindak Pidana dalam KUHP


Kedalam Rumusan Tindak Pidana Korupsi.
Perumusan tindak pidana yang tercantum dalam Pasal-Pasal KUHP yang ditarik

menjadi delik korupsi antara lain :

a. Kelompok delik tentang penyuapan ;

b. kelompok delik penggelapan ;

c. kelompok delik kerakusan (Knevelarij,extortion) ; dan

d. kelompok delik yang berkaitan dengan pemborongan, Leveransir, dan

Rekanan.

Berikut akan dijelaskan masing-masing kelompok delik dalam KUHP

dimaksud yang ditarik menjadi delik korupsi ke dalam UU No. 20 Tahun 2001

tersebut.
50
a. Kelompok pidana korupsi yang berkaitan dengan penyuapan

Kelompok tindak pidana ini menyangkut penyuapan yang bersifat aktif

(mereka yang memberi suap) maupun penyuapan yang bersifat pasif (mereka

yang menerima suap). Tindak pidana penyuapan dalam Pasal KUHP yang

ditarik menjadi tindak pidana korupsi, adalah pasal-pasal penyuapan yang aktif

dan penyuapan pasif. Terhadap hal permasalahan ini Andi

Hamzahmengemukakan bahwa, ”Pasal-pasal tersebut berpasangan satu dengan

yang lain. Pasal 209 (pemberi suap) berpasangan dengan Pasal 418 dan 419

(pegawai negeri yang menerima suap). Pasal 210 (pemberi suap kepada hakim)

berpasangan dengan Pasal 420 (hakim yang menerima suap mengenai perkara

yang ditanganinya)”19

Penyuapan terhadap pegawai negeri atau penyelenggara negara,

dirumuskan dalam Pasal 5 UU No. 31 Tahun 1999 jo. UU No. 20 Tahun 2001.

Semula dalam UU No. 31 Tahun 1999 Pasal 5 ini hanya menunjuk atau mengacu

ke Pasal 289 KUHP. Dengan UU No. 31 Tahun 1999 Pasal 5 ini dirubah dan

dirumuskan tersendiri, langsung menyebut unsur-unsur delik, sehingga

ketentuannya berubah menjadi :

Dipidana dengan pidana penjara paling singkat 1(satu) tahun dan paling lama 5
(lima) tahun atau dipidana denda paling sedikit Rp.50.000.000,00 (lima puluh
juta rupiah) dan paling banyak Rp.250.000.000,00(dua ratus lima puluh juta
rupiah) setiap orang:

19Ibid, hal 115


51
a. Memberi atau menjanjikan sesuatu kepada pegawai negeri atau
penyelenggara negara dengan maksud supaya pegawai negeri atau
penyelenggara negara tersebut berbuat atau tidak berbuat sesuatu dalam
jabatannya,yang bertentangan dengan kewajibannya; atau

b. Memberi sesuatu kepada pegawai negeri atau penyelenggara negara


karena atau berhubungan dengan sesuatu yang bertentangan dengan
kewajiban ,dilakukan atau tidak dilakukan dalam jabatannya”.

Sedangkan ketentuan Pasal 5 ayat (2) menentukan :”Bagi pegawai negeri

atau penyelenggara negara yang menerima pemberian atau janji sebagaimana

dimaksud dalam ayat (1) huruf a atau huruf b,dipidana dengan pidana yang

sama sebagaimana dimaksud dalam ayat (1)”.

Pasal 5 Rumusan Pasal 5 ayat (1) sama dengan rumusan Pasal 209

KUHP.Sedangkan Pasal 5 ayat (2) merupakan pasangan dari Pasal 5 ayat (1)

yang dalam UU No 31 Tahun 1999 tidak ada.

Apabila dijabarkan, dapatlah ditarik unsur-unsur dari rumusan pasal-pasal

tersebut di atas sebagai berikut :

1. Pasal 5 ayat (1) huruf a, unsur-unsurnya adalah :

a. Memberi atau menjanjikan sesuatu.

b. Pegawai negeri atau penyelenggara negara.

c. Dengan maksud supaya pegawai negeri atau penyelenggara negara

tersebut berbuat atau tidak berbuat sesuatu dalam jabatannya,yang

bertentangan dengan kewajibannya.


52
Tentang rumusan Pasal 5 ayat (1) huruf a ini dapat dijelaskan bahwa :

Penyuapan yang dimaksud disini adalah penyuapan dalam bentuk ”pemberian”

atau ”janji” saja kepada pegawai negeri atau penyelenggara negara, dan yang

diberikansebelum pegawai negeri atau penyelenggara negara tersebut

melakukan perbuatan atau tidak berbuat sesuatu dalam jabatannya yang

bertentangan dengan kewajibannya. Sesungguhnya penyuapan terhadap

pegawai negeri atau penyelenggara negara dikatakan telah terjadi, apabila

pemberian atau janji tersebut telah diterima oleh pegawai negeri atau

penyelenggara negara.akan tetapi tindak pidana penyuapan Pasal 5 ayat (1)

huruf a juga dikatakan telah terjadi sekalipun pemberian atau janji itu ditolak

oleh pegawai negeri atau penyelenggara negara yang bersangkutan .

Jadi, dengan rumusan Pasal 5 ayat (1) huruf a yang merumuskan :

”dengan maksud” ,mengandung arti bahwa tidaklah menjadi penting apakah

maksud si penyuap tercapai atau tidakakan tetapi cukup kalau penyuap tersebut

memberikan sesuatu atau menjanjikan sesuatu dimaksudkan untuk memperoleh

pelayanan dari pegawai negeri atau penyelenggara negara yang menyimpang

dari kewajibannya atau dari ketentuan yang seharusnya ditaati.

2. Pasal 5 ayat (1) huruf b, unsur-unsurnya :

a. Memberi sesuatu

b. Pegawai negeri atau penyelenggara negara

53
c. Karena atau berhubungan dengan sesuatu yang bertentangan dengan

kewajiban ,dilakukan atau tidak dilakukan dalam jabatannya.

Terhadap rumusan Pasal 5 ayat (1) huruf b dapat diberikan penjelasan

bahwa : dalam Pasal 5 ayat (1) huruf b tidak disebutkan rumusan unsur

”menjanjikan” yang dirumuskan hanya ”memberi” sesuatu. Memang tidak

lazim apabila setelah pegawai negeri melakukan perbuatan yang bertentangan

dengan kewajibannya, masih akan diberi ”janji-janji” saja tidak dapat

dipersalahkan melanggra Pasal 5 ayat (1) huruf b. Pelaku yang dapat dipidana

berdasar Pasal 5 ayat (1) huruf b ini adalah : apabila pemberian dari penyuap

disampaikan setelahpegawai negeri atau penyelenggara negara melakukan

perbuatan yang bertentangan dengan kewajibannya. Berbeda dengan Pasal 5

ayat (1) huruf a dimana pemberian atau janji diberikan oleh si penyuap sebelum

pegawai negeri atau penyelenggara negara berbuat atau tidak berbuat yang

bertentangan dengan kewajiban dalam jabatannya. Dalam Pasal 5 ayat (1) huruf

b yang penting harus dibuktikan adalah keterkaitan antara kepentingan si

penyuap dalam pemberian itu dengan perbuatan pegawai negeri atau

penyelenggara negara yang bertentangan dengan kewajibannya dalam

jabatannya.

3. Pasal 5 ayat (2), unsur-unsurnya :

a. Pegawai negeri atau penyelenggara negara

54
b. Menerima pemberian atau janji

c. Dengan maksud supaya berbuat atau tidak berbuat sesuatu dalam

jabatannya,yang bertentangan dengan kewajibannya atau Karena atau

berhubungan dengan sesuatu yang bertentangan dengan

kewajiban,dilakukan atau tidak dilakukan dalam jabatannya.

Rumusan Pasal 5 ayat (2) agak rancu, karena apabila dihubungkan

dengan ketentuan Pasal lain, yaitu rumusan Pasal 12 huruf a dan huruf b,

substansi yang diatur memiliki kesamaan dilihat dari kebijakan formulasinya.

Perbedaannya hanya terletak pada penggunaan beberapa frasa, yakni :

a Dalam Pasal 12 huruf a ada frasa :”hadiah atau janji tersebut diberikan

untuk menggerakkan agar melakukan atau tidak melakukan”,

sedangkan dalam Pasal 5 ayat (2) jo ayat (1) huruf a dirumuskan dengan

frasa (yang diambil dari Pasal 5 ayat (1) huruf a): ”dengan maksud

supaya berbuat atau tidak berbuat”.

b Dalam Pasal 12 huruf a terdapat frasa :”padahal diketahui atau patut

diduga ”yaitu rumusan delik dimana berlaku secara bersama

kesengajaan atau kealpaan, sebagian dipakai syarat kesengajaan dan

sebagian dipakai syarat kealpaan. Dalam Pasal 5 ayat (2) jo ayat (1)

huruf a : tidak ada frasa tersebut.

55
Sekalipun substansi yang diatur sama, tetapi ancaman pidananya

berbedayaitu ancaman pidana Pasal 5 ayat (2) adalah : ”pidana penjara paling

singkat 1(satu) tahun dan paling lama 5 (lima) tahun dan atau pidana denda

paling sedikit Rp.50.000.000,00 dan paling banyak Rp.250.000.000,00 sedangkan

ancaman pidana Pasal 12 huruf a lebih berat yaitu : ”pidana penjara seumur

hidup atau pidana penjara paling singkat 4 (empat) tahun dan paling lama 20

(dua puluh) tahun dan pidana denda paling sedikit Rp.200.000.000,00 dan paling

banyak Rp.1.000.000.000,00”.

Perbedaan rumusan Pasal 12 huruf b dengan Pasal 5 ayat (2) jo ayat (1) huruf b :

a Dalam Pasal 12 huruf b terdapat frasa ”diberikan sebagai akibat atau

disebabkan karena”, sedangkan dalam Pasal 5 ayat (2) jo ayat (1) huruf b

dirumuskan dengan frasa :”karena atau berhubungan dengan”.

b Dalam Pasal 12 huruf b terdapat frasa :”pada hal diketahui atau patut

diduga”, sedangkan dalam Pasal 5 ayat (2) huruf b tidak ditemukan

rumusan tersebut.

Dari paparan di atas kesimpulan yang dapat dikemukakan adalah : Ada

perbedaan antara ketentuan Pasal 5 ayat (2) jo Pasal (1) dengan Pasal 12 huruf a

dan huruf b, yaitu : Dalam Pasal 5 ayat (2) mutlak diperlukanadanya unsur

kesengajaanyaitu pegawai negeri atau penyelenggara negara yang menerima

pemberian atau janji sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 ayat (1) huruf a atau

56
huruf b benar-benar mengetahui bahwa pemberian atau janji itu dimaksudkan

agar dia melakukan perbuatan atau tidak berbuat sesuatu dalam jabatannya

yang bertentangan dengan kewajibannya (Pasal 5 ayat (1) huruf a) atau

mengetahui bahwa pemberian itu diberikan karena atau berhubungan dengan

sesuatu yang bertentangan dengan kewajiban. Sedangkan menurut Pasal 12

huruf a dan huruf b, pegawai negeri atau penyelenggara negara yang menerima

pemberian (hadiah) atau janji sudah dapat dipidana sekalipun dia tidak

mengetahui (tidak ada unsur kesengajaan ) tetapi dia dapat menduga (ada unsur

kealpaan) bahwa hadiah atau janji tersebut diberikan untuk menggerakkan agar

melakukan atau tidak melakukan sesuatu dalam jabatannya yang bertentangan

dengan kewajibannya (Pasal 12 huruf a) atau sebagai akibat atau disebabkan

karena telah melakukan atau tidak melakukan sesuatu dalam jabatannya yang

bertentangan ”dengan kewajibannya (Pasal 12 huruf b)”.

4. Pasal 6 :

1) Dipidana dengan pidana penjara paling singkat 3 (tiga) tahun dan paling
lama 15 (limabelas) tahun dan dipidana denda paling sedikit
Rp.150.000.000,00 (seratus lima puluh juta rupiah) dan paling banyak
Rp.750.000.000,00 (tujuh ratus lima puluh ribu rupiah) setiap orang yang :
a. Memberi atau menjanjikan sesuatu kepada hakim dengan maksud
untuk mepengaruhi putusan perkara yang diseahkan kepadanya
untuk diadili;atau
b. Memberi atau menjanjikan sesuatu kepada seseorang yang
menurut ketentuan peraturan perundang-undangan ditentukan
menjadi advokat untuk mengahdiri sidang pengadilan dengan
maksud untuk mempengaruhi nasihat atau pendapat yang akan

57
diberikan berhubung dengan perkara yang diserahkan kepada
pengadilan untuk diadili.

2) Bagi hakim yang menerima pemberian atau janji sebagaimana dimaksud


dalam ayat (1)huruf a atau advokat yang menerima pemberian atau janji
sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) huruf b,dipidana dengan pidana
yang sama sebagaimana dimaksud dalam ayat (1).

Rumusan Pasal 6 ayat (1) sama dengan rumusan Pasal 210 KUHP,

sedangkan Pasal 6 ayat (2) merupakan pasangan dari Pasal 6 ayat (1) yang

hampir sama dengan ketentuan Pasal 12 huruf c dan huruf d yang rumusannya

mengambil alih rumusan Pasal 420 KUHP. Pasal 6 ayat (1) huruf a, unsur-

unsurnya adalah :

a) Memberi atau menjanjikan sesuatu.

b) Hakim.

c) Dengan maksud untuk mempengaruhi putusan perkara yang diserahkan

padanya untuk diadili.

Sedangkan ketentuan Pasal 6 ayat (1) huruf b,unsur-unsurnya adalah :

a) Memberi atau menjanjikan sesuatu

b) Seseorang yang menurut ketentuan peraturan perundang-undangan

ditentukan menjadi advokat untuk menghadiri sidang pengadilan.

c) Dengan maksud untuk mempengaruhi nasihat atau pendapat yang akan

diberikan berhubung dengan perkara yang diserahkan kepada

pengadilan untuk diadili.


58
Pasal 6 ayat (2), unsur-unsurnya mencakup 2 (dua) tindak pidana yang

terpisah satu sama lain,yaitu menyangkut pejabat yang menerima pemberian

atau hadiah yang dimaksud dalam Pasal 6 ayat (1). Jadi Pasal 6 ayat (2)

merupakan tindak pidana penyuapan yang bersifat pasif, dan merupakan

pasangan dari Pasal 6 ayat (1).

5. Pasal 11 :

Dipidana dengan pidana penjara paling singkat 1 (satu) tahun dan paling lama 5
(lima) tahun dan atau pidana denda paling sedikit Rp.50.000.000,00 (lima puluh
juta rupiah) dan paling banyak Rp.250.000.000,00 (dua ratus lima puluh ribu
rupiah)pegawai negeri atau penyelenggara negara yang menerima hadiah atau
janji padahal diketahui atau patut diduga,bahwa hadiah atau janji tersebut
diberikan karena kekuasaan atau kewenangan yang berhubungan dengan
jabatannya,atau yang menurut pikiran orang yang memberikan hadiah atau janji
tersebut ada hubungan dengan jabatannya.

Unsur-unsurnya :

a. Pegawai negeri atau penyelenggara negara

b. Menerima hadiah atau janji

c. Pada hal diketahui atau patut diduga bahwa hadiah atau janji tersebut

diberikan karena kekuasaan atau kewenangan yang berhubungan

dengan jabatannya.

Dalam ketentuan pasal ini, yang perlu dicatat adalah : bahwa pemberian

hadiah atau janji tersebut berhubungan dengan jabatannya. Rumusan Pasal 11

ini mengambil alih rumusan Pasal 418 KUHP. Tentang ”pengertian” unsur

hadiah yang ada hubungannya dengan jabatannya, dalam penjelasan umum


59
pasalnya tidak diperoloeh suatu kejelasan. Terhadap permasalahan ini dalam

putusan Mahkamah Agung Nomor :127 K/Kr/1960 tanggal 12 Desember 1961,

diputuskan bahwa untuk menggunakan Pasal 418 KUHP, harus ditinjau dari

dua sudut yaitu :

1) Dari sudut pegawai yang menerima hadiah,dan

2) dari sudut orang yang memberikan hadiah itu.20

Kasus dimaksud menyangkut seorang Komis Kepala (Panitera Kepala)

pada Pengadilan Negeri yang telah menerima pemberian-pemberian berupa

uang 2 X Rp.500,- = Rp.1000,- dan mesin tulis merk Remington dari seorang yang

mempunyai perkara perdata. Keberatan alasan terdakwa ( penuntut kasasi )

yang menjabat sebagai Komis Kepala ( Panitera Kepala ) pada kantor pengadilan

Negeri bahwa membuat surat permohonan bahkan mengusahakan supaya

sesuatu perkara diperiksa dan diputus oleh pengadilan negeri,perbuatan-

perbuatan mana juga dilakukan oleh siapapun saja,bukanlah termasuk

kekuasaan atau wewenangseorang Komis Kepala pada kantor Pengadilan

Negeri, yang bertalian dengan jabatannya,seperti halnya bukan termasuk

kekuasaan atau wewenang seorang Komis Kepala pada Kantor Pengadilan

Negeri bertalian dengan jabatannya,jika ia ketika kebetulan

berbelanja,seandainya membelikan untuk seorang lain barang apapun dan ia

20Ibid, hal 258-260.


60
tidak melanggar Pasal 418 KUHP, jika untuk pembelian itu menerima hadiah

dari orang yang menyuruhnya membeli. Keberatan tersebut tidak dapat

dibenarkan oleh Mahkamah Agunng dengan pertimbangan bahwa penuntut

kasasi meninjaunya melulu dari sudut pegawai yang menerima hadiah.

Jika ditinjau dari sudut pemberi hadiah bahwa ternyata orang yang

memberi hadiah itu adalah orang sederhana sehingga dapat dimengerti bahwa

orang sederhana memandang penuntut kasasi sebagai pegawai yang

berkuasa.Dengan demikian dapat dimengerti pula,bahwa pemberian hadiah

tersebut mempunyai hubungan dengan jabatannya penuntut kasasi

menimbulkan harapan dan anggapan tertentu darinya. Tentang Pasal 418 KUHP

tersebut Wirjono Prodjodikoro menyatakan bahwa Pasal 418 mengenai apa yang

lazimnya dinamakan ”retour commissie”.disitu dikatakan :”Pegawai Negeri yang

menerima suatu pemberian atau suatu kesanggupan,yang ia tahu atau patut

dapat mengira,bahwa dilakukan berhubungan dengan suatu kekuasaan atau

wewenang yang melekat pada jabatan si pegawai negeri itu,atau yang menurut

pengiraan si pemberi atau si penyanggup melekat pada jabatan itu”.21

6. Pasal 12 :

Dipidana dengan pidana penjara seumur hidup atau pidana penjara paling

singkat 4 (empat)tahun dan paling lama 20 (dua puluh) tahun dan pidana denda

Wirjono Projodikoro 1974.Tindak-Tindak Pidana Tertentu di Indonesia, Jakarta-


21

Bandung : PT.Eresco, hal. 246.


61
paling sedikit Rp.200.000.000,00 (dua ratus juta rupiah) dan paling banyak

Rp.1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah).

Pasal ini menyangkut rumusan beberapa tindak pidana yang berkaitan

dengan penerimaan suap oleh pejabat ,baik pegawai negeri, hakim maupun

advokat.

7. Pasal 12 huruf a.

Pegawai negeri atau penyelengara negara yang menerima hadiah atau janji,

padahal diketahui atau patut diduga bahwa hadiah atau janji tersebut diberikan

untuk menggerakkan agar melakukan atau tidak melakukan sesuatu dalam

jabatannya,yang bertentangan dengan kewajibannya.

Unsur-unsur Pasal ini adalah :

a. pegawai negeri atau penyelenggara negara ;

b. menerima hadiah atau janji;

c. pada hal diketahui atau patut diduga bahwa hadiah atau janji tersebut

diberikan untuk menggerakkan agar melakukan atau tidak melakukan

sesuatu dalam jabatannya,yang bertentangan dengan kewajibannya.

Rumusan Pasal ini mirip dengan rumusan Pasal 5 ayat (2) jo ayat (1) huruf

a,akan tetapi yang jelas rumusan Pasal 12 huruf a ini mengambil alih rumusan

Pasal 419 ke-1 KUHP. Wiryono Prodjodikoromenyebutkan bahwa penerimaan

62
suap oleh pegawai negeri dari Pasal 419 KUHP adalah tanggapan dari

penyuapan seorang pegawai negeri dari Pasal 209 KUHP.22

8. Pasal 12 huruf b.

Pegawai negeri atau penyelenggara negara yang menerima hadiah,padahal

diketahui atau patut diduga bahwa hadiah tersebut diberikan sebagai akibat

atau disebabkan karena telah melakukan atau tidak melakukan sesuatu dalam

jabatannya yang bertentangan dengan kewajibannya.

Unsur-unsurnya adalah :

a. Pegawai negeri atau penyelenggara negara

b. Menerima hadiah

c. Pada hal diketahui atau patut diduga bahwa hadiah tersebut diberikan

sebagai akibat atau disebabkan karena telah melakukan atau tidak

melakukan sesuatu dalam jabatannya yang berhubungan dengan

kewajibannya.

Rumusan Pasal ini mengambil alih bunyi rumusan Pasal 419 ke 2 KUHP.

9. Pasal 12 huruf c.

Hakim yang menerima hadiah atau janji,padahal diketahui atau patut diduga

bahwa hadiah atau janji tersebut diberikan untuk mempengaruhi putusan

perkara yang diserahkan kepadanya untuk diadili.

22Ibid.

63
Unsur-unsur Pasalnya adalah :

a. Hakim

b. Menerima hadiah atau janji

c. Pada hal diketahui atau patut diduga bahwa hadiah atau janji tersebut

diberikan untuk mempengaruhi keputusan perkara yang diserahkan

kepadanya untuk diadili.

Rumusan ini mengambil alih rumusan Pasal 420 ayat (1) ke-1 KUHP.

10. Pasal 12 huruf d.

seseorang yang menurut ketentuan peraturan perundang-undangan ditentukan


menjadi advokat untuk menghadiri sidang pengadilan menerima hadiah atau
janji,pada hal diketahui atau patut diduga bahwa hadiah atau janji tersebut
untuk mempengaruhi nasihat atau pendapat yang akan diberikan,berhubung
dengan perkara yang diserahkan kepada pengadilan untuk diadili.

Unsur-unsur Pasalnya adalah :

a. Seseorang yang menurt ketentuan peraturan perundang-undangan

ditentukan menjadi advokat untuk menghadiri sidang pengadilan;

b. Menerima hadiah atau janji;

c. Pada hal diketahui atau patut diduga bahwa hadiah atau janji tersebut

untuk mempengaruhi nasihat atau pendapat yang akan

diberikan,berhubung dengan perkara yang diserhakan kepada

pengadilan untuk diadili.

Rumusan Pasal ini mengambil alih rumusan Pasal 420 ayat (1) ke-2 KUHP.

64
11. Pasal 12 B tentang Gratifikasi :

Pasal ini merupakan tambahan yang dirumuskan dalam UU No. 20 Tahun

2001. Rumusan Pasal 12 B menentukan :

(1) Setiap gratifikasi kepada pegawai negeri atau penyelenggara negara


dianggap pemberian suap,apabila berhubungan dengan jabatannya
dan yang berlawanan dengan kewajiban atau tugasnya, dengan
ketentuan sebagai berikut :

a. Yang nilainya Rp.10.000.000,00 (sepuluh juta rupiah) atau


lebih,pembuktian bahwa gratifikasi tersebut bukan merupakan
suap dilakukan oleh penerima gratifikasi;
b. Yang nilainya kurang dari Rp.10.000.000,00( supuluh juta
rupiah),pembuktian bahwa gratifikasi tersebut suap dilakukan oleh
penuntut umum.

(2) Pidana bagi pegawai negeri atau penyelenggara negara sebagaimana


dimaksud dalam ayat (1) adalah pidana penjara seumur hidup atau
pidana penjara paling singkat 4 (empat) athun dan paling lama 20 (dua
puluh) tahun,dan pidana denda paling sedikit Rp.200.000.000,00 (dua
ratus juta rupiah)dan paling banyak Rp.1.000.000.000,00 (satu miliar
rupiah).

Unsur-unsur perbuatan pidananya ialah :

a. Gratifikasi

b. Kepada pegawai negeri atau penyelenggara negara;

c. Berhubungan dengan jabatannya dan berlawanan dengan kewajibannya

atau tugasnya.

Yang dimaksud dengan gratifikasi menurut penjelasan Pasal 12 B ayat (1) adalah

”pemberian dalam arti luas”,yang meliputi pemberian uang, barang,

rabat(discount), komisi, pinjaman tanpa bunga, tiket perjalanan , fasilitas


65
penginapan , perjalanan wisata, pengobatan cumu-cuma, dan fasilitas lainnya.

Gratifikasi tersebut baik yang diterima di dalam negeri maupun di luar negeri

dan yang dilakukan dengan menggunakan sarana elektronik atau tanpa sarana

elektronik.

Dalam Pasal 12 B diatur pula tentang hukum acaranyayaitu mengenai

beban pembuktian :

a. Apabila gratifikasi nilainya Rp.10.000.000-( sepuluh juta rupiah) atau

lebih, pembuktian sebagai bukan suap dilakukan oleh penerima

gratifikasi.

b. Apabila gratifikasi nilainya kurang dari Rp.10.000.000,- (sepuluh juta

rupiah), pembuktian bahwa gratifikasi tersebut suap dilakukan oleh

penuntut umum.

Sebagaimana dikemukakan dalam Penjelasan Umum dari UU No. 20

Tahun 2001, terhadap tindak pidana gratifikasi diberlakukan ”pembuktian

terbalik”. Sedangkan dalam Pasal 12 C, diatur tentang syarat-syarat

penuntutannya,yaitu : Ketentuan Pasal 12 B ayat (1) tidak berlaku,jika penerima

melaporkan gratifikasi yang diterimanya kepada Komisi Pemberantasan Tindak

Pidana Korupsi paling lambat 30 (Tiga puluh) hari kerja sejak tanggal gratifikasi

tersebut diterima.

66
Dalam waktu paling lambat 30 (tiga puluh) hari kerja sejak tanggal

menerima laporan, Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi,Wajib

menetapkan gratifikasi dapat menjadi milik penerima atau milik negara.

Mengenai tata cara pelaporan dan penentuan status gratifikasi diatur dalam

Pasal 16 sampai dengan Pasal 18 UU No. 30 Tahun 2002 tentang Komisi

Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.

Tata cara pelaporan gratifikasi ditentukan dalam Pasal 16 tersebut bahwa

setiap pegawai negeri atau penyelenggara negara yang menerima gratifikasi

wajib melaporkan kepada Komisi Pemberantasan Korupsi dengan tata cara

sebagai berikut :

a. Laporan disampaikan secara tertulis dengan mengisi formulir

sebagaimana ditetapkan oleh Komisi Pemberantasan Korupsi dengan

melampirkan dokumen yang berkaitan dengan gratifikasi.

b. Formulir sebagaimana dimaksud sekurang-kurangnya memuat :

1) Nama dan alamat lengkap penerima dan pemberi gratifikasi.

2) Jabatan pegawai negeri atau penyelenggara negara.

3) Tempat dan waktu penerimaan gratifikasi.

4) Uraian jenis gratifikasi yang diterima; dan

5) Nilai gratifikasi yang diterima.

67
Penetuan status gratifikasi , di dalam ketentuan Pasal 17 dan Pasal 18 UU

No. 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi

menetukan tata cara penentuan status gratifikasi, sebagai berikut :

1) Komisi Pemberantasan Korupsi dalam waktu paling lama 30(tiga puluh)

hari kerja terhitung sejak tanggal laporan diterima menetapkan status

kepemilikan gratifikasi disertai pertimbangan.

2) Dalam menetapkan status kepemilikan gratifikasi dimaksud, Komisis

Pemberantasan Korupsi dapat memanggil penerima gratifikasi untuk

memberikan keterangan dengan penerimaan gratifikasi.

3) Status kepemilikan gratifikasi dimaksud ditetapkan dengan keputusan

Pimpinan Komisi Pemberantasan Korupsi.

4) Keputusan Pimpinan Komisi Pemberantasan Korupsi dapata berupa

penetapan status kepemilikan gratifikasi tersebut bagi penerima

gratifikasi atau menjadi milik negara.

5) Komisi Pemberantasan Korupsi wajib menyerahkan keputusan status

kepemilikan gratifikasi tersebut kepada penerima gratifikasi paling

lambat 7 (tujuh) hari kerja terhitung sejak tanggal ditetapkan.

6) Penyerahan gratifikasi yang menjadi milik negara kepada Menteri

Keuangan, dilakukan paling lambat 7 (tujuh) hari kerja terhitung sejak

tanggal ditetapkan.

68
7) Komisi Pmenberantasan Korupsi wajib mengumumkan gratifikasi yang

ditetapkan menjadi milik negara paling sedikit 1 (satu) kali dalam

setahun dalam Berita Negara.

12. Pasal 13

Di dalam ketentuan Pasal 13, ditentukan bahwa ”Setiap orang yang memberi

hadiah atau janji kepada pegawai negeri dengan mengingat kekuasaan atau

wewenang yang melekat pada jabatan atau kedudukannya, atau oleh pemberi

hadiah atau janji dianggap melekat pada jabatan atau kedudukan

tersebut,dipidana dengan pidana penjara paling lama 3 (tiga) tahun dan atau

denda paling banyak Rp.150.000.000,00 (seratus lima puluh juta rupiah)”.

Unsur-unsur perbuatan pidannya :

a. Memberi hadiah atau janji;

b. Kepada pegawai negeri;

c. Dengan mengingat kekuasaan atau wewenang yang melekat pada

jabatan atau kedudukan pegawai negeri yang bersangkutan;atau oleh

pemberi hadiah atau janji dianggap melekat pada jabatan atau

kedudukan pegawai negeri tersebut.

Pasal 13 ini rumusannya hampir sama dengan rumusan Pasal 1 ayat (1)

sub d UU No. 3 Tahun 1971 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.

Pasal ini merupakan pasangan dari Pasal 418 (Pasal 11 UU No. 31 Tahun 1999 jo.

69
UU No. 20 Tahun 2001), sebagaimana dimaksud dalam penjelasan Pasal 1 ayat

(1) sub d UU No. 3 Tahun yang menentukan : ”Dalam KUHP tidak diancam

dengan hukuman orang-orang yang memberikan hadiah kepada pegawai yang

dimaksud dalam Pasal 418 KUHP, juga tidak diancam dengan hukuman orang-

orang yang memberi hadiah kepada pegawai negeri seperti dimaksud dalam

Pasal-Pasal undang-undang ini. Untuk mengisi kekosongan itu maka diadakan

tindak pidana korupsi yang dalam Pasal 1 ayat (1) sub d”.

b. Tindak pidana korupsi yang berkaitan dengan penggelapan.

Selanjutnya, untuk tindak pidana korupsi yang berkaitan dengan

penggelapan adalah sebagai berikut :

1. Pasal 8 :

Dipidana dengan pidana penjara paling singkat 3 (tiga) tahun dan paling lama
15 (lima belas) tahun dan dipidana denda paling sedikit Rp.150.000.000,00
(seratus lima puluh juta rupiah) dan paling banyak Rp.750.000.000,00(tujuh ratus
lima puluh juta rupiah), pegawai negeri atau orang selain pegawai negeri yang
ditugaskan menjalankan suatu jabatan umum secara terus menerus atau untuk
sementara waktu,dengan sengaja menggelapkan uang atau surat berharga yang
disimpan karena jabatannya,atau membiarkan uang atau surat berharga tersebut
diambil atau digelapkan oleh orang lain,atau membantu dalam melakukan
perbuatan tersebut.

Unsur-unsur perbuatan pidananya :

a. Pegawai negeri atau orang selain pegawai negeri yang ditugaskan

menjalankan suatu jabatan umum secara terus menerus atau untuk

sementara waktu;

70
b. Dengan sengaja;

c. Menggelapkan uang atau surat berharga yang disimpan karena

jabatannya, atau membiarkan uang atau surat berharga diambil atau

digelapkan oleh orang lain, atau membantu dalam melakukan

perbuatan tersebut.

Rumusan ini seperti dalam Pasal 415 KUHP memuat unsur-unsur yang

bersifat alternatif yaitu terdakwa berbuat sendiri menggelapkan atau terdakwa

membiarkan orang lain menggelapkan atau menbantu orang lain menggelapkan

atau membantu orang lain melakukan penggelapan tersebut .

Menurut Wiryono Prodjodikorobahwa para penulis Belanda telah

menarik kesimpulan dari pembicaraan di parlemen Belanda tentang perumusan

Pasal 415 KUHP, yaitu :perbuatan si pelaku dalam Pasal 415 KUHP bukan

”memiliki”, melainkan ”menghilangkan” yang meliputi antara lain

”mempergunakan untuk lain tujuan dari pada yang seharusnya”.23

Sementara itu Mahkamah Agung dalam putusannya Nomor : 77/Kr/1973

Tanggal 19 November 1974 menyatakan bahwa :”Terdakwa dipersalahkan

melakukan korupsi c.q penggelapan walaupun ia tidak melakukannya sendiri

secara langsungmelainkan sengaka membiarkan orang lain menggelapkan uang

negara yang ada pada terdakwa karena jabatannya (dalam hal ini orang lain

23Ibid. hal 244.


71
tersebut menggunakan uang termaksud untuk tujuan-tujuan di luar tujuan

penggunaan semula) dan walaupun yang menguasai uang tersebut bukan

terdakwa melainkan Kepala Kantor Pembayaran yang atas perintah terdakwa

Kepala Kantor ini melakukan pembayaran secara langsung kepada leveransir.

Tidak dapat diterima anggapan terdakwa yang mengatakan bahwa ketidak

beresan prosedur pelaksanaan ada pada menteri, karena seorang Menteri hanya

bertanggung jawab terhadap politis-beleid, sedangkan technis-beleid (pelaksanaan)

tetap pada terdakwa”.24

2. Pasal 9 :

Dipidana dengan pidana penjara paling sigkat 1 (satu) tahun dan paling lama 5
(lima) tahun dan pidana denda paling sedikit Rp.50.000.000,00 (lima puluh juta
rupiah) dan paling banyak Rp.250.000.000,00 (dua ratus lima puluh juta rupiah)
peagawai negeri atau orang selain pegawai negeri yang diberi tugas
menjalankan suatu jabatan umum secara terus menerus atau untuk sementara
waktu, dengan sengaja memalsu buku-buku atau daftar-daftar yang khusus
untuk pemeriksaan administrasi.

Unsur-unsurnya adalah :

a. Pegawai negeri atau orang selain pegawai negeri yang diberi tugas

menjalankan suatu jabatan mum secara terus menerus atau untuk

sementara waktu;

b. Denngan sengaja

24 Mahkamah Agung R.I 1993. Rangkuman Yurisprudensi Mahkamah Agung Republik


Indonesia, Mahkamah Agung R.I The Asia Foundation,Jakarta, Cet.II, hal 42.
72
c. Memalsu buku-buku atau daftar-daftar yang khusus untuk pemerksaan

administrasi.

Rumusan Pasal ini mengambil alih rumusan Pasal 416 KUHP. Menurut

yurisprudensi, putusan Mahkamah agung Nomor : 152 K/Kr/1961 tanggal 17

Januari 1962 bahwa alasan kasasi karena perbuatan terdakwa tidak

menimbulkan kerugian negara dan terdakwa tidak mendapatkan keuntungan

tidak dapat diterima,karena hal tersebut bukanmerupakan unsur tindak pidana

Pasal 416 KUHP.

3. Pasal 10

Dipidana dengan pidana penjara paling singkat 2 (dua) tahun dan paling lama 7
(tujuh) tahun dan pidana denda paling sedikit Rp.100.000.000,00 (seratus juta
rupiah) dan paling banyak Rp.350.000.000,00 (tiga ratus lima puluh juta rupiah)
pegawai negeri atau orang selain pegawai negeri yang diberi tugas
menjalankan suatu jabatan umum secara terus menerus atau untuk sementara
waktu dengan sengaja :
a. Menggelapkan, menghancurkan, merusakkan, atau membuat tidak dapat
dipakai barang ,akta , surat, atau daftar yang digunakan untuk
meyakinkan atau mebuktikan di muka pejabat yang berwenang, yang
dikuasai karena jabatannya atau ;
b. Membiarkan orang lain menghilangkan , menghancurkan, merusakkan,
atau membuat tidak dapat dipakai baranag ,akta, surat, atau daftar
tersebut; atau
c. Membantu orang lain menghilangkan, menghancurkan, merusakkan, atau
membuat tidak dapat dipakai barang, akta, surat,atau daftar tersebut”.

Unsur-unsurnya adalah :

73
a. Pegawai negeri atau orang selain pagawai negeri yang diberi tugas

menjalankan suatu jabatan umum secara terus menerus atau untuk

sementara waktu.

b. Dengan sengaja

c. Menggelapkan , menghancurkan, merusakkan, atau membuat tidak

dapat dipakai barang, akta, surat atau daftar yang digunakan untuk

meyakinkan atau mebuktikan di muka pejabat yang berwenang, yang

dikuasai karena jabatannya;ataumembiarkan orang lain

menghilangkan, menghancurkan, merusakkan, atau membuat tidak

dapat dipakai barang, akta, surat atau daftar tersebut; ataumembantu

orang lain menghilangkan, menhancurkan, merusakkan atau

membuat tidak dapat dipakai barang, akta, surat atau daftar tersebut.

c. Tindak pidana korupsi yang berkaitan dengan permintaan paksa atau


pemerasan jabatan (kneveleraij)
Istilah kneveleraij menurut Wirjono Prodjodikoroadalah bahsa Belanda dan

berarti suatu perbuatan yang berupa ”knevelen”. Arti kata (letterlijk) dari

”knevelen” ialah memasukkan secara memaksa suatu benda, misalnya batang

kayu (dwars hout) atau suatu potong kain (prop) dalam mulut seorang, sehingga

orang itu tidak dapat bicara, atau mengikat badan atau tangan-tangan seorang

74
dengan tali. Arti biasa (figuurlijk) dari ”kneveleraij” ialah : memeras rakyat untuk

memberi uang.25

Wirjono Prodjodikoromenunjuk istilah ”knevelaraij” sebagai kualifikasi

dari tindak pidana yang diberikan dalam Pasal 425 KUHP. Sementara itu Andi

Hamzah mempergunakan istilah ”kneveleraij” dengan terjemahan

”kerakusan”,untuk delik-delik yang disebut dalam Pasal 423 KUHP dan Pasal

425 KUHP.

1. Pasal 12 huruf e.

Pegawai negeri atau penyelenggara negara yang dengan dimaksud

menguntungkan diri sendiri atau orang lain secara melawan hukum,atau

dengan menyalahgunakan kekuasaannya memaksa seseorang memberikan

sesuatu, membayar, atau menerima pembayaran dengan potongan, atau untuk

mengerjakan sesuatu bagi dirinya sendiri.

Unsur-unsurnya :

a. Pegawai negeri atau penyelenggara negara;

b. Dengan maksud menguntungkan diri sendiri atau orang lain secara

melawan hukum;

c. Dengan menyalahgunakan kekuasaannya;

25 Wiryono Prodjodikoro,Tindak-tindak Pidana...., op.cit, hal.250.


75
d. Memaksa seseorang untuk memberikan sesuatu, membayar, atau

menerima pembayaran dengan potongan, atau untuk mengerjakan

sesuatu bagi dirinya sendiri.

Rumusan Pasal ini mengambil alih rumusan Pasal 423 KUHP. Tentang

keberadaan Pasal ini dalam perundang-undangan pidana Indonesia

(KUHP),Andi Hamzahmenjelaskan bahwa menurut pertimbangan panitia

penyusun W.v.S. untuk Indonesia (Pemerintah Belanda) , Pasal 425 itu tidak

memadai untuk masyarakat Indonesia, karena di dalam Pasal itu terdapat unsur

”pada waktu menjalankan jabatannya”(in de uitoefening zijner

bediening),sedangkan pejabat Indonesia sebagai kepala yang berpengaruh doi

dalam masyarakat sulit ditentukan dengan pasti kapan ia menjalankan

jabatannya dan kapan tidak. Pejabat-pejabat Indonesia cenderung untuk

melakukan praktek knevelarij atau extortion yang dalam tulisan ini dipakai

istilah kerakusan, sehingga disisipkanlah Pasal 423 ini.26

2.Pasal 12 huruf f.

pegawai negeri atau penyelenggara negara yang pada waktu menjalankan tugas,
meminta, menerima, atau memotong pembayaran kepada pegawai negeri atau
penyelenggara negara yang lain atau kepada kas umum, seolah-olah pegawai
negeri atau penyelenggra negara yang lain atau kas umum tersebut mempunyai
utang kepadanya,padahal diketahui bahwa hal tersebut bukan merupakan
utang.

26Andi Hamzah 1984. Korupsi di Indonesia, Masalah dan Pemecahannya, Jakarta :


Gramedia, hal 127

76
Unsur-unsur Pasal ini :

a. Pegawai negeri atau penyelenggara negara

b. Pada waktu menjalankan tugas, meminta, menerima, atau memotong

pembayaran kepada pegawai negeri atau penyelenggara negara yang

lain atau kepada kas umum;

c. Seolah-olah pegawai negeri atau penyelenggara negara yang lain atau

kas umum tersebut mempunyai utang kepadanya pada hal diketahui

bahwa hal tersebut bukan merupakan utang.

Rumusan Pasal ini mengambil alih rumusan Pasal 425 ke-1 KUHP.

Menurut Wiryono Prodjodikorobahwa tindak pidana ini hanya dapat dilakukan

oleh pegawai negeri yang dalam jabatan berkewajiban atau berwenang menarik

iuran uang, seperti misalnya pegawai kantor pajak, melainkan juga oleh seorang

pegawai negeri yang sama sekali tidak berkewajiban atau berwenang untuk

itu.Hanya saja penarikan uang dan sebagainya itu harus dihubungkan dengan

suatu pekerjaan dalam jabatannya, seolah-olah pada pekerjaan itu melekat suatu

pembayaran uang oleh orang-orang yang harus dilayani. Termasuk pada tindak

pidana ini apa yang lazim dinamakan ”pemungutan-pemungutan liar” yang

dilakukan oleh seorang pegawai negeri.27

3. Pasal 12 huruf g :

27 Wirjono Prodjodikoro 1974. Tindak-tindak Pidana....op.cit, hal 251.


77
Pegawai negeri atau penyelenggara negara yang pada waktu menjalankan

tugas,meminta atau menerima pekerjaan, atau penyerahan barang, seolah-olah

utang kepada dirinya, padahal diketahui bahwa hal tersebut bukan merupakan

utang

Unsur-unsur Pasal ini :

a. Pegawai negeri itu atau penyelenggara negara;

b. Pada waktu menjalankan tugas, meminta atau menerima pekerjaan,atau

penyerahan barang;

c. Seolah-olah merupakan utang kepada dirinya, pada hal diketahui

bahwa hal tersebut bukan merupakan utang.

Rumusan Pasal ini mengambil alih rumusan Pasal 425 ke-2 KUHP.

4. Pasal 12 huruf h.

Pegawai negeri atau penyelenggara negara yang pada waktu menjalankan tugas,
telah menggunakan tanah negara yang diatasnya terdapat hak pakai, seolah-olah
sesuai dengan peraturan perundang-undang, telah merugikan orang yang
berhak, padahal diketahui bahwa perbuatan tersebut bertentangan dengan
peraturan perundang-undangan.

Unsur-unsur Pasal ini :

a. Pegawai negeri atau penyelenggara negara

b. Pada waktu menjalankan tugas, telah menggunakan tanah negara yang

diatasnya terdapat hak pakai,seolah-olah sesuai dengan peraturan

perundang-undangan;
78
c. Telah merugikan orang yang berhak;

d. Pada hal diketahui bahwa perbuatan tersebut bertentangan dengan

peraturan perundang-undangan.

Rumusan Pasal ini mengambil alih rumusan pasal 425 ke-3 KUHP.

d. Tindak pidana korupsi yang berkaitan dengan pemborongan, levelansir,


dan rekanan.
1. Pasal 7 ayat (1).

Dipidana dengan pidana penjara paling singkat 2(dua) tahun dan paling lama

7(tujuh) tahun dan atau pidana denda paling sedikit Rp.100.000.000,00 (seratus

juta rupiah) dan paling banyak Rp.350.000.000,00 (tiga ratus lima puluh juta

rupiah).

Pasal ini terdiri dari 4 (empat) tindak pidana yang unsur-unsurnya masing-

masing sebagai berikut :

a. Pasal 17 ayat (1) huruf a :

”Pemborong,ahli bangunan yang pada waktu membuat bangunan,atau penjual

bahan bangunan yang ada pada waktu menyerahkan bahan bangunan,

melakukan perbuatan curang yang dapat membahayakan keamanan orang atau

barang, atau keselamatan negara dalam keadaan perang”.

Unsur-unsurnya :

79
a. Pemborong ahli bangunan yang pada waktu menyerahkan bahan

bangunan, atau penjual bahan bangunan yang pada waktu

menyerahkan bahan bangunan;

b. Melakukan perbuatan curang;

c. Yang dapat membahayakan keamanan orang atau barang, atau

keselamatan negara dalam keadaan perang.

Rumusan Pasal ini mengambil alih rumusan Pasal 387 ayat (1) KUHP.

b. Pasal 7 ayat (1) huruf b :

Setiap orang yang bertugas mengawasi pembangunan atau penyerahan bahan

bangunan, sengaja membiarkan perbuatan curang sebagaimana dimaksud

dalam huruf a.

Unsur-unsurnya :

a. Setiap orang yang bertugas mengawasi pembangunan atau penyerahan

bahan bangunan;

b. Sengaja;

c. Membiarkan perbuatan curang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7

ayat (1) huruf a.

Rumusan Pasal ini mengambil alih rumusan Pasal 387 ayat (2) KUHP.

c. Pasal 7 ayat (1) huruf c.

80
Pasal orang yang pada waktu menyerahkan barang keperluan Tentara Nasional

Indonesia dan atau Kepolisian Negara Republik Indonesia melakukan perbuatan

curang yang dapat membahayakan keselamatan negara dalam keadaan perang

Unsur-unsurnya :

a. Setiap orang yang pada waktu menyerahkan barang keperluan Tentara

Nasional Indonesia dan atau Kepolisian Negara Republik Indonesia;

b. Melakukan perbuatan curang;

c. Yang dapat membahayakan keselamatan negara dalam keadaan perang.

Rumusan Pasal ini mengambil alih rumusan Pasal 388 ayat (1) KUHP.

d. Pasal 7 ayat (1) huruf d.

Setiap orang yang bertugas mengawasi penyerahan barang keperluan Tentara

Nasioanl Indonesia dan atau Kepolisian Negara Republik Indonesia dengan

sengaja membiarkan perbuatan curang sebagaimana dimaksud dalam huruf c.

Unsur-unsurnya :

a. Setiap orang yang bertugas mengawasi penyerahan barang keperluan

Tentara Nasional Indonesia dan atau Kepolisian Negara Republik

Indonesia;

b. Dengan sengaja;

c. Membiarkan perbuatan curang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7

ayat (1) huruf c.

81
Rumusan Pasal ini mengambil alih rumusan Pasal 388 ayat (2) KUHP.

2. Pasal 7 ayat (2)

Bagi orang yang menerima penyerahan bahan bangunan atau orang yang
menerima penyerahan barang keperluan Tentara Nasional Indonesia dan atau
Kepolisian Negara Republik Indonesia dan membiarkan perbuatan curang
sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) huruf a atau huruf c, dipidana yang sama
sebagaimana dimaksud dalam ayat (1).

Unsur-unsurnya :

a Orang yang menerima penyerahan bahan banngunan atau orang yang

menerima penyerahan barang keperluan Tentara Nasional Indonesia

dan atau Kepolisian Negara Republik Indonesia;

b Membiarkan perbuatan curang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7

ayat (1) huruf a atau Pasal 7 ayat (1) huruf c.

Rumusan Pasal ini sebagai rumusan baru dan dimaksudkan untuk

petugas yang menerima saat penyerahan barang dilakukan, seperti misalnya

Pimpinan Proyek atau Kepala pergudangan.Berbeda dengan Pasal 7 ayat (1)

huruf b dan Pasal 7 ayat (1) huruf d yang ditujukan kepada petugas yang secara

fungsional memang ditugasi untuk mengawasi pembangunan,penyerahan

pembangunan atau mengawasi penyerahan barang keperluan Tentara Nasional

Indonesia dan atau Kepolisian Negara Republik Indonesia.

3. Pasal 12 huruf i.

82
Pegawai negeri atau penyelenggara negara baik langsung maupun tidak

langsung dengan sengaja turt serta dalam pemborongan, pengadaan , atau

persewaan, yang pada saat dilakukan perbuatan, untuk seluruh atau sebagaian

ditugaskan untuk mengurus atau mengawasinya.

Unsur-unsurnya :

a Pegawai negeri atau penyelenggara negara;

b Dengan sengaja

c Secara langsung maupun tidak langsung turt serta dalam pemborongan,

pengadaan, atau persewaan;

d Yang pada saat dilakukan perbuatan, untuk seluruh atau sebagian

ditugaskan untuk mengurus atau mengawasinya.

Rumusan Pasal ini mengambil alih rumjusan Pasal 435 KUHP.

e. Tindak pidana menghambat upaya- upaya pemberantasan korupsi.

Tindak pidana yang diatur di sini bukan merupakan perbuatan yang bersifat

koruptif merugikan keuangan negara atau penyalahgunaan wewenang,

kedudukan dan jabatan, akan tetapi merupakan perbuatan yang dapat

menghambat upaya- upaya pemberantasan tindak pidana korupsi. Ketentuan-

ketentuan yang dimaksud tersebut adalah Pasal 21, 22, 23 dan 24.

4. Kebijakan Legislatif Perumusan Delik Korupsi dalam Perundang-


undangan Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.

83
Rumusan korupsi dalam peraturan pemerintah pengganti UU (perpu) No.

24 Tahun 1960 tentang pengusutan, penuntutan dan pemeriksaan tindak pidana

korupsi, tgl 9 juni 1960, judga menjerat rumusan korupsi yang ada dalam

perumusan penguasa perang pusat. Setahun kemudian Peraturan Pemerintah

pengganti UU No. 24 Prp Tahun 1960 disetujui oleh parlemen menjadi UU No.

24 Tahun 1960 tentang pengusutan, penuntutan dan pemeriksaan tindak pidana

korupsi (LN Nomor 72 th 1960).

Rumusan korupsi mengalami sedikit perubahan, yaitu pada unsur

melakukan perbuatan.melawan hukum diubah menjadi melakukan sesuatu

kejahatan dan pelanggaran, serta kata perbuatan diganti tindakan.

Lebih jelasnya, korupsi dirumuskan didalam Pasal 1 UU No. 24 Prp

Tahun 1960. Setelah Undang-undang ini diganti dengan UU No. 3 Tahun 1971

rumusan unsur-unsur korupsi juga menunjukkan adanya perbedaan dengan

rumusan yang ada pada Undang-undang korupsi sebelumnya, seperti pada

unsur melakukan kejahatan dan pelanggaran yang diatur pada Pasal 1 UU No.

24 Tahun 1960 diganti dengan unsur melawan hukum. Perbuatan UU No. 3

Tahun 1971 melakukan perubahan dan perbaikan yang sebelumnya begitu sulit

membuktikan kesalahan seseorang yang melakukan tindak pidana korupsi.

Namun setelah berlakunya UU No. 3 Tahun 1971, Korupsi tetap saja tidak

mampu diberantas sampai keakar-akarnya karena adanya kesulitan

84
membuktikan kesalahan seseorang yang melakukan tindak pidana korupsi salah

satu penyebabnya, karena rumusan delik korupsi digolongkan sebagai delik

materiil ehingga penuntut umum harus membuktikan adanya kerugian terhadap

keuangan atau perekonomian negara.

Unsur-unsur tindak pidana( delik) yang terdapat didalam Pasal 1 ayat (1)

huruf a UU No. 3 Tahun 1971, adalah,

1) Perbuatan memperkaya diri sendiri atau orang lain, atau suatu badan.

2) Dengan melawan hukum,

3) Langsung atau tidak langsung merugikan keuangan negara atau

perekonomian negara atau diketahui patut disangka olehnya bahwa

perbuatan tersebut merugikan keuangang negara atau perekonomian

negara.

Unsur-unsur “perbuatan memperkaya” menurut Zainal Abidin Farid

mengatakan pembuat undang-undang keliru memakai perkataan

“memperkaya” yang berarti bahwa “pembuat memang sudah kaya lalu

bertambah kaya, sehingga yang tidak kaya tidak dapat memenuhi syarat itu”,

dengan demikian hanya orang kaya yang memenuhi unsur-unsur

“memperkaya”, sedangkan orang miskin atau orang yang tidak kaya tidak boleh

85
dikenakan unsur tersebut, apabila seseorang dikatakan kaya tidak ada

ukurannya28.

Unsur “melawan hukum” yang dimaksudkan adalah melawan hukum

formil, yaitu perbuatan yang dilarang itu telah ditetapkan dalam undang-

undang (Pasal 1 ayat 1 sub-a UU No. 3 tahun 1971. Maksud melawan hukum

formil dikaitkan dengan ketentuan Pasal 1 ayat (1) KUH pidana, maka seseorang

hanya dapat dihukum apabila sebelumnya diatur dalam undang-undang

menurut belian juga, menjelaskan bahwa melawan hukum formil diartikan

berbeda-beda oleh para pakar hukum dan hakim.

Andi Hamzah, mengartikan melawan hukum adalah “terdakwa tidak

mempunyai hak sendiri untuk menikmati keuntungan itu”, Namun ada juga

yang mengartikan melawan hukum sebagai melanggar hak orang lain.29

Moeljatno memberikan pengertian melawan hukum secara lebih luas,

yaitu sama dengan pendapat HR dalam putusannya pada tahun 1919 dalam

perkara Lindenbaum dengan cohen mengenai perbuatan melawan hukum(

amrecht matigedaad) dalam Pasal 1365 KUH perdata). Hoge Road berpendapat

melawan hukum adalah “bertentangan dengan hak orang lain, tanpa

28 Andi Zainal Abidin Farid, Hukum Pidana, Jakarta : Sinar Grafika, , hal. 36
29 Andi Hamzah 1996. Hukum Acara Pidana. Indonesia, Jakarta : Sapta Artha Jaya, hal
119.
86
hak,bertentangan dengan undang-undang, serta kaidah-kaidah kesopanan yang

harus dijaya dalam pergaulan masyarakat”

Mengenai pengertian “ melawan hukum materiil”, sebetulnya unsur delik

yang tidak diatur atau di sebutkan dengan tegas dalam UU (Hukum tertulis),

tetapi diterima secara diam-diam.Pada awalnya, melawan hukum materiil tidak

diterima di Indonesia, tetapi Moeljatmo yang begitu gencar mengulasnya dalam

tulisan-tulisannya sehingga mulai diterima di Indonesia. Misalnya ditegaskan

pada penjelasan Pasal 2 ayat (1) UU No. 31 Tahun 1999 melawan hukum materiil

merupakan suatu perbuatan yang meskipun tidak diatur dalam Undang-undang

sebagai tindak pidana (delik) yang dapat dihukum. Hal ini sejalan dengan

maksud Pasal 28 ayat (1) UU No. 8 Tahun 2004 bahwa “hakim wajib menggali,

mengikuti dan memahami nilai-nilai hukum dan rasa keadilan yang hidup

dalam masyarakat”

Unsur “langsung atau tidak langsung” merupakan akibat dari suatu perbuatan

sebagai delik materiil, sehingga harus membuktikan akibat perbuatan yang

merugikan keuangan negara atau perekonomian negara.

Dalam unsur diatas terdapat kata-kata “tidak langsung” yang tidak

dikenal dalam hukum pidana Indonesia adanya akibat dari sebab yang tidak

langsung ini mengingatkan kepada teori Von Buri yang terkenal dengan nama

aequivalentie(ekivalensi)atau yang dinamakan “canditio sine qua non”sebagai

87
semua faktor yaitu semua syarat yang menyebabkan suatu akibat tidak dapat

dihilangkan, dan dari rangkaian faktor,tersebut bersama-sama harus dianggap

causa atau sebab-akibat. Tiap faktor yang dapat dihilangkan dari rangkaian

faktor-faktor yang adanya tidak perlu untuk terjadinya akibat yang

bersangkutan, tidak diberi nilai. Sebabnya, tiap faktor tidak dapat dihilangkan

dari rangkaian faktor-faktor tersebut yang adanya perlu untuk terjadinya akibat

yang bersangkutan, harus diberi nilai yang sama, semua faktor, besar atau kecil

sama dan sederajat.30

Teori kausalitas Von Buri diatas selain menerima beberapa sebab (causa),

juga mengganggap antara syarat (bedigung)dan sebab (causa) sama atau tidak

ada perbedaan. Secara umum, teori Van Buri tidak diterima oleh para sarjana

hukum,tetapi menurut Van Hamel dapat saja diterima dengan pembalasan yaitu

pada kesengajaan dan kelalaian bahwa diantara sekian banyak faktor penyebab

harus dipilih salah satu faktor bagi pembuat yang memenuhi unsur kesengajaan

atau kelalaian yang disyaratkan UU agar dapat dipidana pendapat Van Hamel

dinilai keliru oleh berbagai pakar hukum pidana, karena kesengajaan dan

kelalaian menyangkut sikap batin pembuat, bukan menyangkut perbuatan31.

30Andi Hamzah 1994. Azas-Azas Hukum Pidana, Jakarta : Rineka Cipta, hal.169
31Ibid hal 170.
88
Apabila teori van Buri digunakan dalam perkara korupsi menurut Pasal 1

ayat (1) huruf-a dan huruf b UU No. 31 Tahun 1999, maka akan banyak orang

yang dipidana karena korupsi.

Kata “diketahui” menurut Pasal, ayat (1) huruf-a UU No. 3 Tahun 1971

berarti perbuat korupsi mempunyai kesengajaan (dolus)” yang terdiri atas tiga

corak kesengajaan yaitu “sengaja sebagai niat,sengaja sadar akan keharusan dan

sengaja sadar akan keharusan dan sengaja sadar akan kemungkinan. Sedangkan

kata” patut disangka” berarti pembuat korupsi melakukan “ kealpaan atau culpa

yang disadari”

1. Pasal 2

Pasal 2 menentukan :

(1) Setiap orang yang secara melawan hukum melakukan


perbuatan/memperkaya diri sendiri atau orang lain atau suatu
korporasi yang dapat merugikan keuangan Negara atau perkonomian
Negara,dipidana dengan pidana penjara seumur hidup atau pidana
penjara paling singkat 4 (empat) tahun dan paling lama 20(dua puluh)
tahun dan denda paling sedikit Rp.200.000.000,00 (dua ratus juta
rupiah) dan paling banyak 1.000.000.000,00 (satu milyar rupiah).
(2) Dalam hal tindak pidana korupsi sebagaimana dimaksud dalam ayat
(1) dilakukan dalam keadaan tertentu,pidana mati dapat dijatuhkan.

Unsur-unsur perbuatan pidana yang dirumuskan dalam Pasal ini adalah :

a. melawan hukum.

b. memperkaya diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi.

c. “dapat” merugikan keuangan negara atau perekonomian negara.

89
Unsur-unsur tersebut hampir sama dengan yang disebut dalam Pasal 1 ayat (1)

sub a UU No. 3 tahun 1971.Perbedaanyang menonjol bahwa dalam Undang-UU

No. 31 Tahun 1999 jo UU No. 20 tahun 2001 unsur kerugian keuangan Negara

atau perekonomian Negara di-rumuskan dengan kata “dapat”, sedangkan

rumusan “secara langsung atau tidak langsung” dan rumusan “diketahui atau

patut disangka olehnya” yang dimuat dalam Undang-Undang Nomor 3 Tahun

1971 bahwa perbuatan tersebut merugikan keuangan Negara atau perekonomian

Negara telah dihapuskan dalam UU No. 31 Tahun 1999 jo UU No. 20 tahun 2001

Adapun pengertian dari masing-masing unsur dapat dijelaskan sebagai

berikut :

a. Melawan Hukum

Melawan hukum. Penjelasan umum Pasal 1 ayat (1) Undang-undang


Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi
sebagaimana diubah dan diperbaharui dengan Undang-undang Nomor 20
Tahun 2001 menjelaskan bahwa yang dimaksud secara melawan dalam Pasal ini
mencakup perbuatan melawan hukum dalam arti formil maupun materiil, yakni,
meskipun perbuatan tersebut tidak diatur dalam peraturan perundang-
undangan, namun apabila perbuatan tersebut dianggap tercela karena tidak
sesuai dengan rasa keadilan atau norma-norma kehidupan sosial dalam
masyarakat, maka perbuatan tersebut dapat dipidana. Dalam ketentuan ini, kata
“dapat” sebelum frasa “merugikan keuangan negara atau perekonomian negara”
menunjukkan bahwa tindak pidana korupsi merupakan delik formil, yaitu

90
adanya tindak pidana korupsi cukup dengan dipenuhinya unsur-unsur
perbuatan yang sudah dirumuskan, bukan dengan timbulnya akibat.
Di dalam perkembangan lebih lanjut, konsep melawan hukum materiil
(materiele wederrechtelijk) yang menunjuk pada hukum tidak tertulis dalam
ukuran kepatutan, kehati-hatian dan kecermatan dinyatakan bertentangan
dengan Pasal 28 D ayat (1) Undang-Undang Dasar 1945 dan tidak mempunyai
kekuatan hukum berdasarkan Putusan Mahkamah Konstitusi RI No. 003/PUU-
IV/2006. Oleh karena itu, sejak adanya Putusan Mahkamah Konstitusi RI No.
003/PUU-IV/2006, unsur melawan hukum dalam ketentuan Pasal 1 ayat (1)
Undang-undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana
Korupsi sebagaimana diubah dan diperbaharui dengan Undang-undang Nomor
20 Tahun 2001, sifat melawan hukumnya hanya sifat melawan hukum formil.

b. Memperkaya diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi :

UU No. 31 Tahun 1999 jo UU No. 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak

Pidana Korupsi tidak memberikan penjelasan tentang apa yang dimaksud

dengan memperkaya diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi. Oleh

karena itu untuk memperoleh pengertian dari unsure ini, perlu kita mencari

dengan mempergunakan penafsiran histories serta pendapat yang dikemukakan

dalam doktrin.

- Secara harfiah memperkaya berarti menjadikan bertambah kekayaan.

- Penjelasan Pasal 1 ayat (1) sub a UU No. 3 Tahun 1971menyatakan bahwa

perkataan memperkaya diri sendiri atau orang lain atau suatu badan dapat

91
dihubungkan dengan Pasal 18 ayat (2), yang memberi kewajiban kepada

terdakwa untuk memberi keterangan tentang sumber kekayaan-nya sedemikian

rupa, sehingga kekayaan yang tak seimbang dengan penghasilan atau

penambahan kekayaan tersebut, dapat digunakan untuk memperkuat

keterangan saksi lain bahwa terdakwa telah melakukan tindak pidana korupsi.

Penjelasan seperti ini tidak ditemukan dalam UU No. 20 Tahun 2001. Sekalipun

demikian menurut pendapat penulis, dengan menerapkan penafsiran histories

penjelasan yang dimaksud dalam UU No 3 Tahun 1971 tersebut diatas dapat

dijadikan pedoman dalam menafsirkan unsure memperkaya diri atau orang lain

atau suatu badan. Hal ini terkait dengan ketentuan Pasal 37A UU No. 31 Tahun

1999 jo UU No. 20 Tahun 2001 yang bunyinya hampir sama dengan ketentuan

Pasal 18 ayat (2) UU No. 3 Tahun 1971.

Pasal 37A UU No. 31 Tahun 1999 jo UU No. 20 Tahun 2001 menentukan

sebagai berikut :

(3) Terdakwa wajib memberikan keterangan tentang seluruh harat

bendanya dan harta benda istri atau suami, anak, dan harta benda

setiap orang atau korporasi yang diduga mempunyai hubungan

dengan perkara yang didakwakan.

(4) Dalam hal terdakwa tidak dapat membuktikan tentang kekayaan yang

tidak seimbang dengan penghasilannya atau sumber penambahan

92
kekayaannya, maka keterangan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1)

digunakan untuk memperkuat alat bukti yang sudah ada bahwa

terdakwa telah melakukan tindak pidana korupsi.

(5) Ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal (1) dan ayat (2)

merupakan tindak pidana atau perkara pokok sebagaimana dimaksud

dalam Pasal 2, Pasal 3, Pasal 4, Pasal 13, Pasal 14, Pasal 15, dan Pasal 16

UUU No. 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana

Korupsi dan Pasal 5 sampai dengan Pasal 12 Undang-undang ini,

sehingga penuntut umum tetap berkewajiban untuk membuktikan

dakwaannya.”

Andi Hamzah : “penafsiran istilah memperkaya antara yang harafiah dan

yang dari pembuat undang-undang hampir sama.Yang terang, keduannya

menunjukkan perubahan kekayaan seseorang atau penambahan keka-yaannya,

diukur dari penghasilan yang diperolehnya”.32 Kesimpulan Andi

Hamzahtentang “kekayaan yang tidak seimbang dengan penghasilannya atau

penambahan kekayaan tersebut dapat digunakan untuk memperkuat keterangan

saksi lain bahwa telah melakukan tindak pidana korupsi”, pada pokoknya

adalah :

1. Ketidakmampuan membuktikan keseimbangan antara kekayaan dan


penghasilannya tidaklah otomatismembuktikan “bahwa terdakwa telah

32Andi Hamzah 1984, Korupsi... op.cit, hal 94.


93
melakukan perbuatan korupsi yaitu memperkaya diri sendiri, tetapi itu
hanya memperkuat keterangan saksi lain, Jadi, penuntut umum harus
mencari bukti lain,misalnya keterangan saksi lain yang menyatakan
terdakwa pernah menerima atas pesanan barang yang diperuntukkan
bagi negara.
2. Menjadi keharusan penutut umum untuk mengetahui kemudian
membuktikan berapa besar penghasilan terdakwa yang sesungguhnya
dan berapa besar pertambahan kekayaan secara konkret.
3. Cukup jika penuntut umum dapat membuktikan sejumlah uang atau
harta benda tertentu yang diperoleh secara langsung dari perbuatan
melawan hukum sebagai suatu hal yang memperkaya tertuduh.33

Berbeda dengan UU No. 3 Tahun 1971 yang “tidak mengatur”tentang

kewajiban terdakwa untuk membuktikan sebaliknya terhadap harta benda

miliknya yang belum didakwakan, tetapi juga bersal dari tindak pidana korupsi,

dalam UU No. 31 Tahun 1999 jo UU No. 20 Rtahun 2001 Pasal 38 B menetukan

kewajiban terdakwa dimaksud sebagai berikut :

Ayat (1) :

“Setiap orang yang didakwa melakukan salah satu tindak pidana korupsi
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2, Pasal 3, Pasal 4, Pasal 13, Pasal 14, Pasal
15, dan Pasal 16 UU No. 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana
Korupsi dalam Pasal 5 sampai dengan Pasal 12 Undang-undang ini, Wajib
membuktikan sebaliknya terhadap harta benda miliknya yang belum
didakwakan, tetapi juga diduga berasal dari tindak pidana korupsi”.

Ayat (2) :

“Dalam hal terdakwa tidak dapat membuktikan bahwa harta benda

sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) diperoleh bukan karena tindak pidana

korupsi, harta benda tersebut dianggap diperoleh juga dari tindak pidana

33Ibid. hal 94.


94
korupsi dan hakim berwenang memutuskan seluruh atau sebagian harta benda

tersebut dirampas untuk negara”.

Ayat (3) :

“Tuntutan perampaan harta benda sebagaimana dimaksud dalam ayat (2)

diajukan oleh penuntut umum pada saat membacakan tuntutannya pada

perkara pokok”.

Ayat (4) :

“Pembuktian bahwa harta benda sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) bukan

bersal dari tindak pidana korupsi diajukan oleh terdakwa pada saat

membacakan pembelaanya dalam perkara pokok dan dapat diulangi pada

memori banding dan memori kasasi”.

Ayat (5) :

“Hakim wajib membuka persidangan yang khusus untuk memeriksa

pembuktian yang diajukan terdakwa sebagaimana dimaksud dalam ayat (4)”.

Ayat (6) :

“Apabila terdakwa dibebaskan atau dinyatakan lepas dari segala tuntutan

hukum dari perkara pokok, maka tuntuntan perampasan harta benda

sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dan ayat (2) harus ditolak oleh hakim”.

Penjelasan Pasal 38B menyatakan bahwa :

95
“Ketentuan dalam Pasal ini merupakan pembuktian terbalik yang dikhususkan

pada perampasan harta benda yang diduga keras juga berasal dari tindak pidana

korupsi berdasarkan salah satu dakwaan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2,

Pasal 3, Pasal 4, Pasal 13, Pasal 14, Pasal 15, Pasal 16 UU No. 31 Tahun 1999

tentang pemberantasan Tindak Pidana Korupsi dan Pasal 5 sampai dengan Pasal

12 Undang-Undang ini sebagai tindak pidana pokok”.

Pertimbangan apakah seluruh atau sebagaian harta benda tersebut

dirampas untuk negara diserahkan kepada hakim dengan pertimbangan

prikemanusiaan dan jaminan hidup bagi terdakwa.

Dasar pemikiran ketentuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (6) ialah

alasan logika hukum karena dibebaskannya atau dilepaskan terdakwa dari

segala tuntutan hukum dari perkara pokok, berarti terdakwa bukan pelaku

tindak pidana korupsi dalam kasus tersebut”.

Rumusan Pasal 38 B menurut pendapat saya agak membingungkan dan

penerapan dalam praktek akan menimbulkan persoalan sehingga memerlukan

penafsirkan tersendiri, yaitu :

1. Rumusan yang menentukan : “…….wajib membuktikan sebaliknya terhadap

harta benda miliknya yang belum didakwakan,tetapi juga diduga berasal

dari tindak pidana korupsi”, mengundang persoalan yaitu :

96
a. Bahwa dalam surat dakwaan biasanya tidak pernah disebutkan jumlah,

macam atau jenis harta benda milik terdakwa yang berasal dari tindak

pidana korupsi ataupun harta benda milik terdakwa yang di sita, sebab

hal-hal tersebut bukan merupakan unsur-unsur tindak pidana.Sesuai

dengan syarat yang ditentukan dalam Pasal 143 ayat (2) sub b K.U.H.A.P

(Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana) bahwa surat dakwaan

berisi uraian secara cermat, jelas dan lengkap mengenai tindak pidana

yang didakwakan maka uraian perbuatan harus sesuai dengan unsur-

unsur Pasal tindak pidana yang didakwakan. Uraian surat dakwaan

dalam perkara tindak pidana korupsi yang menyangkut

unsur”memperkaya atau menguntungkan diri sendiri, orang lain atau

korporasi” tidak menyebutkan jumlah macam atau jenis harta benda yang

telah disita dalam tingkat penyidikan atau harta benda milik terdakwa,

tetapi cukup menjelaskan tentang penggunaan uan g atau barang yang

dikorupsi untuk memperkaya atau menguntungkan diri sendiri, orang

lain atau korporasi, tidak memandang apakah barang tersebut telah disita

atau tidak. Dengan demikian rumusan Pasal 38 B tersebut tidak tepat,

tidak sejalan dengan ketentuan lain dalam hukum acara pidana,

khusunya Pasal 143 ayat (2) sub b K.U.H.A.P.

97
b. Berdasarkan hal tersebut, maka rumusan yang berbunyi : “…..wajib

membuktikan sebaliknya terhadap harta benda milliknya yang belum

didakwakan,tetapi juga berasal dari tindak pidana korupsi”,seharusnya

dirubahdengan rumusan : “…….wajib membuktikan sebaliknya terhadap

harta benda yang belum disita dalam tahap penyidikan,tetapi juga berasal

dari tindak pidana korupsi”.

c. Bagaimanakah penerapan Pasal tersebut dalam praktek peradilan, apakah

jaksa penuntut umum langsung melakukan penyitaan terhadap harta

benda yang diduga berasal dari tindak pidana korupsi tanpa ada

penetapan hakim, ataukah jaksa Penuntut Umum melaporkan dulu

kepada hakim yang menyidangkan perkaranya, baru hakim dimaksud

mengeluarkan penetapan penyitaan, untuk selanjutnya dilaksanakan oleh

Jaksa Penuntut Umum.

Persoalan tersebut perlu dikemukakan berkaitan dengan ketentuan Pasal 38 B :

a) Ayat (2) yang menyatakan bahwa hakim berwenang memutuskan

seluruh atau sebagian harta benda tersebut dirampas untuk negara;

b) Ayat (3) yang menyatakan bahwa tuduhan harta benda sebagaimana

dimaksud dalam ayat (2) diajukan oleh penuntut umum pada saat

membacakan tuntutannya pada perkara pokok;

98
c) Ayat (4) yang menyatakan bahwa pembuktian harta benda

sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) bukan bersal dari tindak

pidana korupsi diajukan oleh terdakwa pada saat membacakan

pembelaannya dalam perkara pokok dan dapat diulangi pada memori

banding dan memori kasasi;

d) Ayat (5) yang menyatakan bahwa hakim wajib membuka persidangan

yang khusus untuk memeriksa pembuktian yang diajukan terdakwa

sebagaimana dimaksud dalam ayat (4).

Jika memperhatikan rumusan Pasal 38 B, dapat dikemukakan bahwa

maksud ketentuan tersebut adalah untuk menampung permasalahan hukum

atas harta benda milik terdakwa yang tidak sempat disita dalam tahap

penyidikan, dan selama proses persidangan diketahui masih ada harta benda

milik terdakwa yang duga diperoleh dari tindak pidana korupsi belum disita

dan belum diajukan sebagai barang bukti.

Sesungguhnya praktek peradilan masih memungkinkan jaksa Penuntut

Umum mengajukan barang bukti baru dalam proses persidangan, sekalipun

barang bukti tersebut belum pernah disita dalam tahap penyidikan. Tegasnya,

jaksa penuntut umum tidak terikat kepada bukti-bukti yang diperoleh dan yang

disebut dalam berkas perkara hasil penyidikan. Apabila selama proses

persidangan, jaksa penuntut umum berhasil menemukan bukti baru atau bukti

99
tambahan, maka ia dapat mengajukannya kepada hakim di sidang pengadilan.

Hakim tidak berhak untuk melarang, sebab :

a) Jaksa penuntut umum memiliki beban kewajiban membuktikan surat

dakwaan, sehingga ia berhak mengajukan segala bukti ke persidangan;

b) Pasal 182 ayat (2) K.U.H.A.P. memberi kewenangan kepada hakim ketua

sidang untuk membuka kembali persidangan, setelah pemeriksaan

dinyatakan ditutup (setelah proses requisitoir, pledoi, replik dan duplik

selesai), baik karena jabatannya, maupun atas terdakwa atau penasihat

hukum dengan memberikan alsannya.

Menurut penjelasan Pasal 182 ayat (2) K.U.H.A.P bahwa sidang dibuka

kembali dimaksudkan untuk menampung data tambahan sebagai bahan untuk

musyawarah hakim.

Dengan adanya ketentuan Pasal 38 B UU No. 31 Tahun 1999 jo. UU No 20

Tahun 2001, maka hal-hal yang menyangkut hak jaksa penuntut umum

mengajukan bukti-bukti tambahan, khusus menyangkut harta benda milik

terdakwa yang diduga berasal dari tindak pidana korupsi, telah dipertgeas

landasan hukumnya. Bagaimana sebaiknya mekanisme yang tepat untuk

penerapan Pasal 38 B tersebut , menurut pendapat saya sebagai berikut :

1. Jaksa penuntut umum yang memperoleh data tentang harta benda milik

terdakwa yang diduga bersal dari tindak pidana korupsi dan belum sempat

100
di sita dalam tahap penyidikan, disampaikan hakim ketua sidang dengan

permohonan untuk mengeluarkan penetapan penyitaan.

2. Sebelum hakim ketua sidang mengeluarkan surat penetapan,jaksa penuntut

umum mengambil langkah-langkah pengamanan dengan memberitahukan

pihak-pihak yang berwenang lainnya untuk tidak melaksanakan proses

pemindah tanganan atau pemindahan hak kepemilikan atas harta benda

yang akan disita.

3. Hakim baik karena kewenangannya ataupun atas permohonan jaksa

penuntut umum mengeluarkan surat penetapan yang berisi perintah kepada

jaksa Penuntut Umum untuk melakukan penyitaan. Penetapan Hakim ini

dilaksanakan oleh Jaksa Penuntut Umum.

4. Setelah Jaksa penutntut Umum melakukan penyitaan atas harta benda milik

terdakwa yang diduga berasal dari tindak pidana korupsi, ia melaporkan dan

mengajukan harta benda tersebut ke persidangan sebagai barang bukti sesuai

dengan proses pemeriksaan persidangan yang ditentukan dalam Pasal 38 B

UU No. 31 Tahun 1999 jo. UU No. 20 Tahun 2001.

c. Keuangan Negara

Yang dimaksud dengan unsur keuangan negara disebutkan dalam Penjelasan

Umum UU No. 31 Tahun 1999, yaitu :

101
- Seluruh kekayaan negara dalam bentuk apapun, yang dipisahkan atau

yang tidak dipisahkan, termasuk didalamnya segala bagian kekayaan

negara dan segala hak dan kewajibannya yang timbul karena :

a. Berada dalam penguasaan, pengurusan dan pertanggung jawaban

pejabat lembaga negara, baik ditingkat pusat maupun daerah.

b. Berada dalam penguasaan, pengurusan dan pertanggung jawaban

BUMN / BUMD, yayasan, badan hukum dan perusahaan yang

menyertakan modal negara, atau perusahaan yang menyertakan

modal negara, atau perusahaan yang menyertakan modal pihak ketiga

berdasarkan perjanjian dengan negara.

d. Perekonomian Negara.

Penjelasan Umum UU No 31 Tahun 1999 juga memberikan penegasan

tentang pengertian perekonomian negara, yaitu : ”Kehidupan perekonomian

yang disusun sebagai usaha bersama berdasarkan asas kekeluargaan ataupun

usaha masyarakat mandiri yang didasarkan pada kebijakan pemerintah, baik di

tingkat pusat maupun di daerah sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-

undangan yang berlaku yang bertujuan memberikan manfaat, kemakmuran, dan

kesejahteraan kepada seluruh kehidupan rakyat”.

Tentang unsur kerugian keuangan negara atau perekonomian negara,

harus dibuktikan secara konkrit artinya yang betul-betul didasarkan alat bukti

102
yang sah. Asumsi-asumsi seperti perbuatan terdakwa yang dapat dibuktikan

dalam satu tahun sekian ratus juta rupiah maka karena perbuatan terdakwa

dilakukan dalam waktu 5 (lima) tahun kerugian keuangan negara atau

perekonomian negara menjadi 5 (lima) kali, tidak boleh dipergunakan untuk

pembuktian. Demikian juga kerugian-kerugian yang belum jelas, bersifat

prospektif tidak dapat digunakan untuk pembuktian.Misalnya kerugian negara

yang diakibatkan berjumlah sekian ratus juta rupiah, kalau di depositokan atau

dioprasionalkan untuk usaha akan berjumlah sekian kali lipat, tidak boleh

dihitung sebagai kerugian negara yang dibuktikan. Jadi tegasnya kerugian

negarahanya dihitung dan dibuktikan adalah kerugian yang secara konkrit

ditimbulkan akibat perbuatan terdakwa pada saat perbuatan dilakukan.

Sebaliknya, jika secara keseluruhan permodalan yang berkaitan dengan usaha

atau kegiatan institusi negara tersebut (misalnya badan usaha milik negara)

mendapat keuntungan berdasarkan neraca keuangan, tidak berarti perbuatan

terdakwa tidak merugikan keuangan negara. Sebab, jika seandainya uang

tersebut tidak dikorupsi maka keuntungan negara akan bertambah.

2. Pasal 3.

Rumusan Pasal 3 berbunyi :

“Setiap orang yang dengan tujuan menguntungkan diri sendiri atau orang lain

atau suatu korporasi, menyalahgunakan kewenangan, kesempatan atau sarana

103
yang ada padanya karena jabatan atau kedudukannya yang dapat merugikan

keuangan negara atau kedudukan yang dapat merugikan keuangan negara atau

kedudukan yang dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara,

dipidana dengan pidana penjara seumur hidup atau pidana penjara paling

singkat 1 (satu) tahun dan paling lama 20 (dua puluh tahun) tahun dan atau

denda paling sedikit Rp.50.000.000,00 (lima puluh juta) dan paling banyak

Rp.1.000.000.000,00 (satu milyar rupiah)”.

Unsur-unsur Pasal ini adalah :

a. Dengan tujuan menguntungkan diri sendiri atau orang lain atau suatu

korporasi;

b. Menyalahgunakan kewenangan, kesempatan atau sarana yang ada

padanya karena jabatan atau kedudukan;

c. Dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara.

Undang-undang tidak memberi penjelasan tentang pengertian dari pada

unsur-unsur Pasal ini. Rumusan Pasal ini hampir sama dengan rumusan Pasal 1

ayat (1) sub b UU No. 3 Tahun 1971. Oleh karena itu untuk memahami

pengertian unsur Pasal 3 UU No. 31 Tahun 1999 jo UU No. 20 Tahun 2001, Kita

dapat mempergunakan penafsiran historis ke UU No. 3 Tahun 1971 maupun

Undang-Undang Nomor 24/Prp/1960.

104
Dalam penjelasan Pasal 1 ayat (1) sub b UU No. 3 Tahun 1971 dikatakan

bahwa ketentuan dalam sub b ini adalah luas dalam rumusannya karena

mempergunakan istilah umum “menyalahgunakan” dan tidak mengadakan

perincian seperti halnya dalam Pasal 52 KUHP dengan kata “oleh karena

melakukan tindak pidana……..yang ia peroleh karena jabatannya”. Pada

umumnya pengertian kualitas sebagai pejabat atau mempunyai kedudukan

tersebut adalah dimaksudkan pejabat atau mereka yang mempunyai kedudukan

sebagai pegawai negeri atau sebagai penyelenggara negara atau pun yang

mempunyai kedudukan dan jabatan dalam pemerintahan atau penyelenggaraan

negara.

Pengertian unsur “menyalahgunakan kewenangan” dalam pasal 3

undang-undang No. 31 Tahun 1999 jo undang-undang no. 20 Tahun 2001,

Mahkamah Agung adalah berpedoman pada putusannya tertanggal 17 februari

1992, No. 1340 K/Pid/1992, yang telah mengambil alih pengertian

“menyalahgunakan kewenangan” yang pada pasal 52 ayat (2) huruf b undang-

undang No. 5 Tahun 1986, yaitu telah menggunakan wewenangnya untuk

tujuan lain dari maksud diberikan wewenang tersebut atau yang dikenal dengan

“detourment de pouvoir” Pendapat-pendapat Indriyanto Seno Adji, dalam

makalahnya “Antara Kebijakan Publik” (Publiek Beleid, Azas Perbuatan

Melawan Hukum Materiel dalam Prespektif Tindak Pidana Korupsi di

105
Indonesia)” yang pada pokoknya adalah Pengertian “menyalahgunakan

wewenang” dalam hukum pidana, khususnya dalam tindak pidana korupsi

tidak memiliki pengertian yang eksplisitas sifatnya. Mengingat tidak adanya

eksplisitas pengertian tersebut dalam hukum pidana, maka dipergunakan

pendekatan ektensif berdasarkan doktrin yang dikemukakan oleh H.A.

Demeersemen tentang kajian “De Autonomie van het Materiele Strafrecht”

(Otonomi dari hukum pidana materiel). Intinya mempertanyakan apakah ada

harmoni dan disharmoni antara pengertian yang sama antara hukum pidana,

khususnya dengan Hukum Perdata dan Hukum Tata Usaha Negara, sebagai

suatu cabang hukum lainnya. Di sini akan diupayakan keterkaitan pengertian

yang sama bunyinya antara cabang ilmu hukum pidana dengan cabang ilmu

hukum lainnya. Apakah yang dimaksud dengan disharmoni dalam hal-hal

dimana kita memberikan pengertian dalam Undang-Undang Hukum Pidana

dengan isi lain mengenai pengertian yang sama bunyinya dalam cabang hukum

lain, ataupun dikesampingkan teori, fiksi dan konstruksi dalam menerapkan

hukum pidana pada cabang hukum lain. Kesimpulannya dikatakan bahwa

mengenai perkataan yang sama, Hukum Pidana mempunyai otonomi untuk

memberikan pengertian yang berbeda dengan pengertian yang terdapat dalam

cabang ilmu hukum lainnya, akan tetapi jika hukum pidana tidak menentukan

lain, maka dipergunakan pengertian yang terdapat dalam cabang hukum

106
lainnya. Dengan demikian apabila pengertian “menyalahgunakan kewenangan”

tidak ditemukan eksplisitasnya dalam hukum pidana, maka hukum pidana

dapat mempergunakan pengertian dan kata yang sama yang terdapat atau

berasal dari cabang hukum lainnya ; Ajaran tentang “Autonomie van het Materiele

Strafrecht” diterima oleh Pengadilan Negeri Jakarta Utara yang selanjutnya

dikuatkan oleh Putusan Mahkamah Agung R.I. No. 1340 K/Pid/1992 tanggal 17

Pebruari 1992 sewaktu adanya perkara tindak pidana korupsi yang dikenal

dengan perkara “Sertifikat Ekspor” dimana Drs. Menyok Wijono didakwa

melanggar Pasal 1 ayat (1) sub b Undang-Undang No. 3 Tahun 1971 sebagai

Kepala Bidang Ekspor Kantor Wilayah IV Direktorat Jenderal Bea & Cukai

Tanjung Priok, Jakarta. Oleh Mahkamah Agung R.I. dilakukan penghalusan

hukum (rechtsvervijning) pengertian yang luas dari Pasal 1 ayat (1) sub b

Undang-Undang No. 3 Tahun 1971 dengan cara mengambil alih pengertian

“menyalahgunakan kewenangan” yang ada pada Pasal 52 ayat (2) huruf b

Undang-Undang No. 5 Tahun 1986 (tentang Peradilan Tata Usaha Negara), yaitu

telah menggunakan wewenangnya untuk tujuan lain dari maksud diberikannya

wewenang tersebut atau yang dikenal dengan detournement de pouvoir.

Memang pengertian detournement de pouvoir dalam kaitannya dengan Freies

Ermessen ini melengkapi perluasan arti berdasarkan Yurisprudensi di Prancis

107
yang menurut Prof. Jean Rivero dan Prof. Waline, pengertian penyalahgunaan

kewenangan dalam Hukum Administrasi dapat diartikan dalam 3 wujud, yaitu :

a. Penyalahgunaan kewenangan untuk melakukan tindakan-tindakan


yang bertentangan dengan kepentingan umum atau untuk
menguntungkan kepentingan pribadi, kelompok atau golongan ;
b. Penyalahgunaan kewenangan dalam arti bahwa tindakan pejabat
tersebut adalah benar ditujukan untuk kepentingan umum, tetapi
menyimpang dari tujuan apa kewenangan tersebut diberikan oleh
undang-undang atau peraturan-peraturan lain ;
c. Penyalahgunaan kewenangan dalam arti menyalahgunakan prosedur
yang seharusnya dipergunakan untuk mencapai tujuan tertentu, tetapi
telah menggunakan prosedur lain agar terlaksana.
Penyalahgunaan kewenangan mempunyai karakter atau ciri sebagai berikut:
a) Menyimpang dari tujuan atau maksud dari suatu pemberian
kewenangan……Setiap pemberian kewenangan kepada suatu badan
atau kepada pejabat administrasi negara selalu disertai dengan “tujuan
dan maksud” atas diberikannya kewenangan tersebut, sehingga
penerapan kewenangan tersebut harus sesuai dengan “tujuan dan
maksud” diberikannya kewenangan tersebut. Dalam hal penggunaan
kewenangan oleh suatu badan atau pejabat administrasi negara tersebut
tidak sesuai dengan “tujuan dan maksud” dari pemberian kewenangan,
maka pejabat administrasi Negara tersebut telah melakukan
penyalahgunaan kewenangan (detournement de power).
b) Menyimpang dari tujuan atau maksud dalam kaitannya dengan asas
legalitas……Asas legalitas merupakan salah satu prinsip utama yang
dijadikan dasar dalam setiap penyelenggaraan pemerintahan, terutama
108
dalam sisitem hukum kontinental. Pada negara demokrasi tindakan
pemerintah harus mendapatkan legitimasi dari rakyat yang secara
formal tertuang dalam undang-undang.
c) Menyimpang dari tujuan atau maksud dalam kaitannya dengan asas-
asas umum pemerintahan yang baik……Asas-asas hukum yang dipakai
untuk menilai kekuasaan bebas atau kekuasaan diskresi tersebut masih
dalam koridor “rechtmatigheid” atau dengan berpedoman pada
“Algemene Beginselen van Behoorlijk Bestuur” (ABBB), dalam kepustakaan
Indonesia diartikan sebagai “Asas-Asas Umum Pemerintahan Yang
Baik” (AAUPB).

Hakekat Penyalahgunaan Kewenangan……Indriyanto Seno Adji, dengan


mengutip pendapat Jean Rivero dan Waline dalam kaitannya “detournement de
pouvoir” dengan “freis ermessen”, memberikan pengertian mengenai
penyalahgunaan kewenangan dalam hukum administrasi dapat diartikan dalam
3 (tiga) wujud, yaitu:

a. penyalahgunaan kewenangan untuk melakukan tindakan-tindakan


yang bertentangan dengan kepentingan umum atau untuk
menguntungkan kepentingan pribadi, kelompok atau golongan;
b. penyalahgunaan kewenangan dalam arti bahwa tindakan pejabat
tersebut adalah benar ditujukan untuk kepentingan umum, tetapi
menyimpang dari tujuan kewenangan yang diberikan oleh undang-
undang atau peraturan-peraturan lainnya;
c. penyalahgunaan kewenangan dalam arti menyalahgunakan prosedur
yang seharusnya dipergunakan untuk mencapai tujuan tertentu, tetapi
telah menggunakan prosedur lain agar terlaksana.
109
Pada hakekatnya penyalahgunaan kewenangan sangat erat kaitan dengan
terdapatnya ketidaksahan (cacat yuridis) dari suatu keputusan dan atau
tindakan pemerintah/penyelenggara negara. Sadjijono, dengan menyitir
pendapat Phlipus M. Hadjon mengemukakan bahwa cacat yuridis keputusan
dan atau tindakan pemerintah/penyelenggara negara pada umumnya
menyangkut tiga unsur utama, yaitu unsur kewenangan, unsur prosedur dan
unsur substansi, dengan demikian cacat yuridis tindakan penyelenggara negara
dapat diklasifikasikan dalam tiga macam, yakni : cacat wewenang, cacat
prosedur dan cacat substansi. Ketiga hal tersebutlah yang menjadi hakekat
timbulnya penyalahgunaan kewenangan.

E. UU KORUPSI : UU KHUSUS
Hukum pidana khusus mempunyai ciri mengatur hukum pidana materiil

dan formil yang berada di luar hukum kodifikasi, dengan memuat norma,

sanksi, dan asas-asas hukum yang disusun secara khusus menyimpang karena

kebutuhan masyarakat terhadap hukum pidana yang mengandung

peraturan dari anasir-anasir kejahatan inkonvensional.

Perluasan serta penyimpangan hukum (hukum eksepsional) ini, meliputi

bidang hukum pidana materiil dan formil, misalnya yang menyangkut obyek

hukum, subyek (pembuat), perbuatan pidana, pertanggungjawaban pidana,

pemidanaan, pembuktian, pemeriksaan perkara, proses beracara serta berbagai

ketentuan lain yang bersifat khusus. Produk perundang-undangan masa

110
kolonial yang sampai saat ini diberlakukan, dalam kenyataannya telah muncul

sebagai fenomena legislatif, khususnya yang berkaitan dengan kebijakan

formulasi, yang telah tertingal dengan semakin berkembangnya modus operandi

kejahatan. Dalam rangkaian penegakan hukum pidana, tahap

formulasi/perumusan ketentuan-ketentuan hukum pidana, merupakan tahapan

strategis. Bagaimanapun juga, kelemahan-kelemahan yang terkandung dalam

produk perundang-undangan akan dapat menghambat upaya penegakan

hukum dalam tahap berikutnya, baik tahap aplikasi maupun tahap eksekusinya.

Undang-undang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi merupakan

peraturan perundang-undangan khusus, sehingga ketentuan dalam Buku I

KUHP, dapat saja tidak diberlakukan, sebagaimana ditentukan dalam ketentuan

Pasal 103 KUHP yang menentukan : “Ketentuan-ketentuan dalam Bab I sampai

Bab. VIII buku ini juga berlaku bagi perbuatan-perbuatan yang oleh ketentuan

perundang-undangan lainnya diancam dengan pidana, kecuali jika oleh undang-

undang ditentukan lain”.Bahkan dalam perlakuannya, undang-undang yang

bersifat khusus lebih diutamakan dibandingkan dengan hukum pidana umum,

sebagaimana ditentukan dalam Pasal 63 ayat (2) yang menentukan : “Jika suatu

perbuatan masuk dalam suatu aturan pidana yang umum, diatur pula dalam

aturan pidana yang khusus, maka hanya yang khusus itulah yang diterapkan”.

Adanya perundang-undangan yang bersifat khusus dapat tercipta karena:

111
1. Adanya proses kriminalisasi atas suatu perbuatan tertentu di dalam
masyarakat. Karena pengaruh perkembangan zaman, terjadi perubahan
pandangan dalam masyarakat, sesuatu yang semula dianggap bukan
sebagai tindak pidana, karena perubahan pandangan dan norma di
masyarakat, menjadi termasuk tindak pidana dan diatur dalam suatu
perundang-undangan hukum pidana.
2. Undang-undang yang ada dianggap tidak memadai lagi terhadap
perubahan norma dan perkembangan teknologi dalam suatu masyarakat,
sedangkan untuk perubahan undang-undang yang telah ada dianggap
memakan banyak waktu.
3. Suatu keadaan yang mendesak sehingga dianggap perlu diciptakan suatu
peraturan khusus untuk segera menanganinya.
4. Adanya suatu perbuatan yang khusus dimana apabila dipergunakan
proses yang diatur dalam peraturan perundang-undangan yang telah ada
akan mengalami kesulitan dalam pembuktian. 34

Sebagai Undang-undang khusus, Undang-undang Pemberantasan Tindak

Pidana Korupsi materi muatannya tidak saja berkenaan dengan ketentuan

hukum materiil tetapi juga dapat mengatur/memuat ketentuan hukum formal

(acara), sehingga dalam pemberlakuannya bisa menyimpang dari asas yang

secara umum diatur dalam Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP)

maupun Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) atau lex specialis

derogat lex generalis.

Pemberlakuan lex specialis derogat lex generalis,harus memenuhi kriteria:

1. Bahwa pengecualian terhadap Undang-undang yang bersifat umum,


dilakukan oleh peraturan yang setingkat dengan dirinya, yaitu Undang-
undang.
2. Bahwa pengecualian terrnaksud dinyatakan dalam Undang-undang
khusus tersebut, sehingga pengecualiannya hanya berlaku sebatas

34Loebby Loqman 2004, ”Perkembangan Asas Legalitas dalam Hukum Pidana


Indonesia” Makalah, hal. 98
112
pengecualian yang dinyatakan Dari bagian yang tidak dikecualikan tetap
berlaku sepanjang tidak bertentangan dengan pelaksanaan Undang-
undang khusus tersebut 35

35Ibid

113
114

Anda mungkin juga menyukai