DISUSUN OLEH
Dr. I GUSTI KETUT ARIAWAN, S.H., M.H.
UNIVERSITAS UDAYANA
FAKULTAS HUKUM
2015
RENCANA PROGRAM & KEGIATAN PEMBELAJARAN SEMESTER
(RPKPS)
Mata Kuliah Tindak Pidana Korupsi termasuk materi Mata Kuliah Tindak Pidana
Khusus, Tindak Pidana Ekonomi, Tindak Pidana Narkotika dan Psikotropika. Materi
mata kuliah tindak pidana khusus, merupakan materi kuliah di luar tindak pidana
umum sebagaimana diatur dalam KUHP. Substansi pembahasan mata kuliah tindak
pidana korupsi, difokuskan pada 3 (tiga) permasalahan pokok, yakni : tindak pidana,
pertanggungjawaban pidana serta pidana dan pemidanaan.
4. TUJUAN PERKULIAHAN
a. Memberikan penguasaan norma substantif peraturan perundang-
undangan tindak pidana korupsi;
b. Memberikan pengetahuan teoritis dan praktis kepada mahasiswa
terkait korupsi sehingga mahasiswa bisa mengembangkan perilaku anti
korupsi
c. Mendidik mahasiswa untuk mengembangkan dan membudayakan
perilaku anti korupsi dalam kehidupannya sehari-hari
1
d. Mendidik kemampuan mahasiswa dalam menganalisis dan
memecahkan masalah-masalah hukum terkait pencegahan dan
pemberantasan korupsi.
e. Mendidik mahasiswa untuk memiliki kompetensi praktis di masa yang
akan datang.
f. Menyiapkan mahasiswa sebagai sarjana profesional yang memiliki
keterampilan di bidang penegakan hukum dalam kasus-kasus tindak
pidana korupsi
3
e. Strategi Tutorial :
1) Dalam kelas tutorial mahasiswa dibagi dalam group-group kecil, dengan
jumlah maksimal 20 orang;
2) Mahasiswa mengerjakan tugas-tugas: (Discussion task; Study Task dan Problem
Task) sebagai bagian dari self study (20 jam perminggu), kemudian berdiskusi
di kelas, tutorial, presentasi power point, dan diskusi.
3) Dalam 6 kali tutorial di kelas, mahasiswa diwajibkan :
a) Menyetor karya tulis berupa paper dan/atau tugas-tugas lain sesuai
dengan topik tutorial 1, 2, 3, 4, 5 dan 6.
b) Mempresentasikan tugas tutorial dalam bentuk power point presentation
ataupun slide head projector untuk tugas tutorial 1, 2, 3, 4, 5, dan 6.
(UTS + TT)
2 + 2(UAS)
________________ = Nilai Akhir
3
4
Skala Nilai Penguasaan Skala Nilai
Kompetensi
6. Materi/Organisasi Perkuliahan.
1. Pengantar.
a. Kontrak Perkuliahan.
b. Kekhususan Peraturan perundang-undangan Tindak Pidana Khusus.
c. Dasar Hukum berlakunya Peraturan Perundang-undangan Tindak Pidana
Khusus.
5
3. Fase Pengaturan pencegahan dan pemberantasan tindak pidana
korupsi
a. Peraturan Penguasa Militer Nomor. Prt / Perpu / 1957 tentang
Pemberantasan Korupsi.
b. Peraturan Penguasa Perang Pusat Angkatan Darat Nomor Prt / Perpu /
013/1958.
c. Undang-undang Nomor 24/Prp/1960 dan Keputusan Presiden Nomor
228 Tahun 1967 tentang Tindak Pidana Korupsi.
6
7. Kebijakan Legislatif menarik Unsur-unsur Tindak Pidana kedalam
Delik Korupsi
a. kelompok delik kerakusan (Knevelarij,extortion)
b. kelompok delik yang berkaitan dengan pemborongan, Leveransir, dan
Rekanan.
8. Pidana dan Pemidanaan UU Tindak Pidana Korupsi.
a. Pidana dan Pemidanaan
b. Pengertian Sistem Pemidanaan
c. Sistem Pemidanaan dalam UU Tindak Pidana Korupsi
7. Bahan Bacaan.
Buku :
7
Atmasasmita, Romli 1995, Kapital Selekta Hukum Pidana dan Kriminologi,
Bandung : Mandar Maju.
Yunara, Edi 2005, Korupsi dan Pertanggungjawaban Pidana Korupsi Berikut Studi
Kasus,Bandung, Citra Aditya Bakti.
Makalah/Artikel
Mulya Lubis, Todung 2005. “Memerangi Korupsi di Peradilan Dari Sisi Advokat”,
Makalah pada Seminar Anti Corruption Summit diselenggarakan oleh
Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada Yogyakarta 11-12 Agustus2005.
8
Nasution, Bismar 2007. ”Stolen Asset Recovery Initiative dari Perspektif Hukum
Ekonomi di Indonesia” Makalah Narasumber dalam Seminar Pengkajian
Hukum Nasional (SPHN 2007), Jakarta 28 Nopember 2007.
Pratomo, Eddy 2007. Paparan Dirjen Hukum dan perjanjian Internasional mengenai
Inisiatif StAR dalam Perspektif Kerjasama Internasional.Makalah
Narasumber dalam Seminar Pengkajian Hukum Nasional (SPHN 2007),
Jakarta 28 Nopember 2007.
8. RENCANA PERKULIAHAN
7 UTS
13
10. DAFTAR BACAAN
1. Buku :
Ahmad Dinar Syaiful dan Syarif Fadillah Chaerudin, 2008, Strategi Pencegahan
dan Penegakan Hukum Tindak Pidana Korupsi, Refika Aditama,
Bandung
Ancel, Marc 1965. Social defence A Modern Approach Criminal Problem,
London: Rontledge & Kega Paul.
Andenaes, Johannes 1965. The General Parts of the Criminal Law of Norway,
London : Frend B Rthman & Co, Swett Maxwell.
Black, Henry Campbell, et al., 1979, Black’s Law Dictionary Fifth Edition,
St Paul Minn West Publishing, C.O.
14
Danil, Elwi 2014, Korupsi : Konsep, Tindak Pidana dan Pemberantasannya, PT.
Raja Grafindo Persada, Jakarta
Dinino, Philip& Sahr John Kpundeh 1999. A Handbook of Fighting Corruption.
Washington DC : Center for Democracy and Governance.
Ibrahim, Johny 2006, Teori dan Metodelogi Hukum Normatif, Malang : Bayu
Medik Pulishing.
Mahfud MD, Moch 2001, Politik Hukum di Indonesia, Jakarta : Pustaka LP3ES.
16
Moeljatno, 1980, Asas-asas Hukum Pidana, Jakarta : PT. Bina Aksara.
Muladi dan Barda Nawawi Arief, 1998, Teori-teori dan Kebijakan Pidana,
Bandung : Alumni.
Setiadi, Edi dan Rena Yulia, 2005, Hukum Pidana Ekonomi, Graha Ilmu,
Yogyakarta
Setiawan, Deni 2008, KPK Memburu Koruptor, Pustaka Timur, Jakarta
17
sharkansky, Ira 1998. Policy Analisis in Political Science, Penyunting
Muhadjar Darwin, Yogyakarta : Penerbit Hanindita.
Soekanto, Soerjono dan Sri Mamudji, 1990, Penelitian Hukum Normatif suatu
Tinjauan Singkat, Jakarta : Rajawali Pers.
Sue Titus Reid,1987, Criminal Justice Procedure and Issues, New York :
West Publishing Company.
Zainal Abidin Farid, Andi 1986. Hukum Pidana, Jakarta : Sinar Grafika.
2. Makalah/Artikel :
Kennedy, Anthony 2006. “Designing a civil forfeiture system: an issues list for
policymakers and legislator” 13 (2) Journal of Financial Crime.
Nasution, Bismar 2007. ”Stolen Asset Recavery Initiative dari Perspektif Hukum
Ekonomi di Indonesia” Makalah Narasumber dalam Seminar Pengkajian
Hukum Nasional (SPHN 2007), Jakarta 28 Nopember 2007.
20
Undang-undang No. 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana
Korupsi
Keputusan Presiden Nomor 228 Tahun 1967 tentang Tindak Pidana Korupsi
21
BAHAN AJAR MATA KULIAH TINDAK PIDANA
A. PENGERTIAN KORUPSI
1 Black’s Law Dictionary with Pronouncation, 1983, Minn West Publishing co, St. Paul,
hlm. 182
22
A. S Hornby istilah korupsi diartikan sebagai suatu pemberian atau
penawaran dan penerimaan hadiah berupa suap (the offering and accepting of bribes), serta
kebusukan atau keburukan (decay).2 Beberapa batasan tentang korupsi yang
2OpCit., hlm. 4
3OpCit., hlm. 4
4 Wertheim dalam Elwi Danil, OpCit., hlm. 5
5OpCit., hlm. 6
23
pemerasan, penggelapan, pemanfaatan sumber dan fasilitas yang bukan milik
sendiri untuk mencapai tujuan-tujuan pribadi dan nepotisme ke dalam korupsi.
Dalam hal yang terakhir inilah agaknya bentuk korupsi yang tidak secara
langsung dapat menimbulkan kerugian berupa uang bagi negara dan
masyarakat.6
4. Robert Klitgaard memahami bahwa korupsi ada manakala seseorang secara
tidak halal meletakkan kepentingan pribadi di atas kepentingan rakyat, serta
cita-cita yang menurut sumpah akan dilayaninya.7 Korupsi muncul dalam
banyak bentuk dan membentang dari soal sepele sampai pada soal yang amat
besar. Korupsi dapat menyangkut penyalahgunaan instrument-instrument
kebijakan seperti soal tariff, pajak, kredit, sistem irigasi, kebijakan perumahan,
penegakan hukum, peraturan menyangkut keamanan umum, pelaksanaan
kontrak, pengambilan pinjaman dan sebagainya. Di samping itu, ditegaskan
pula bahwa korupsi itu dapat terjadi tidak saja di sector pemerintahan, tapi juga
di sector swasta, bahkan sering terjadi sekaligus di kedua sector tersebut.8
5. John A Gardiner dan David J Olson dalam bukunya “Theft of the City”, Reading
on Corruption in Urban America sebagaimana dikutip Soedjono Dirdjosisworo,
memberi pemahaman secara umum dari sumber-sumber pengertian korupsi,
dengan pengelompokan sebagai berikut :
a. Pengertian korupsi yang dijelaskan dalam Oxford English Dictionary;
b. Rumusan menurut perkembangan ilmu-ilmu sosial;
c. Rumusan yang lebih memberikan penekanan pada jabatan dalam
pemerintahan;
d. Rumusan korupsi yang dihubungkan dengan teori pasar;
e. Rumusan korupsi yang berorientasi kepada kepentingan umum.
6OpCit.
7 Robert Klitgaard, 1998, Memahami Korupsi, terjemahan Hermoyo, Yayasan Obor,
Jakarta, hlm. xix
8 Ibid.
24
6. Dari kategori perumusan secara umum yang dilihat dengan pengelompokkan
seperti dikemukakan John A. Gardiner dan David J Olson itu, Soedjono
Dirdjosisworo sampai pada sebuah kesimpulan bahwa korupsi menyangkut
segi-segi moral, sifat dan keadaan yang busuk, jabatan dalam instansi atau
aparatur pemerintahan, penyelewengan kekuasaan dalam jabatan karena
pemberian, faktor ekonomi dan politik, serta penempatan keluarga dan klik,
golongan ke dalam kedinasan dibawah kekuasaan jabatannya.9
Kemudian arti kata korupsi yang telah diterima dalam perbendaharaan kata
bahasa Indonesia itu, disimpulkan oleh Poerwadarminta dalam kamus Umum Bahasa
Indonesia “ Korupsi adalahperbuatan yang buruk seperti penggelapan uang,
penerimaan uang sogok dan sebagainya.
10OpCit., hlm. 64
27
bangsa dan negara.Kerugian keuangan negara dan perekonomian negara adalah
akibat nyata yang yang menjadi dasar pembenaran dilakukannya kriminalisasi
terhadap berbagai bentuk perilaku koruptif dalam kebijakan perundang-
undangan pidana.Akan tetapi, hilangnya kepercayaan masyarakat terhadap
pemerintah suatu negara justru merupakan akibat yang jauh lebih besar dan
lebih berbahaya daripada hanya sekedar kerugian dari sudut keuangan dan
ekonomi semata.11Hal ini dapat menjadi indicator berbahayanya tindak pidana
korupsi jika dibiarkan berkembang secara terus menerus.Sifat berbahaya dari
tindak pidana korupsi dan efek yang luas terhadap kehidupan bernegara dan
masyarakat juga telah ditegaskan dalam Kongres Perserikatan Bangsa-Bangsa
ke-9. Hasil kongres di Kairo ini kemudian dibicarakan oleh Commition on Crime
Prevention and Criminal Justice, di Wina yang menghasilkan resolusi tentang
Actions agains corruptions dan menegaskan korupsi merupakan masalah serius
karena dapat membahayakan stabilitas dan keamanan masyarakat, merusak
nilai-nilai demokrasi dan moralitas (underminded the values of democracy and
morality) dan membahayakan pembangunan sosial, ekonomi, dan politik
(jeopardized social, economic and political development).12
hlm. 88
28
sehingga kerugian tidak hanya dialami oleh negara dalam bentuk kerugian
keuangan negara tetapi juga memberikan kerugian kepada hak-hak
14 OpCit., hlm 9 - 10
31
Kemudian Benveniste juga memandang korupsi dari berbagai aspek, dan
untuk itu beliau memberikan pemahaman terhadap korupsi atas empat jenis,
yaitu :
15 Op.Cit., hlm 11 - 12
32
4. Korupsi nepotistik, yaitu korupsi yang terjadi karena perlakuan
khusus baik dalam pengangkatan kantor publik maupun pemberian
proyek-proyek bagi keluarga dekat.
5. Korupsi otogenik, yaitu korupsi yang terjadi ketika seorang pejabat
mendapat keuntungan karena memiliki pengetahuan sebagai orang
dalam (insiders information) tentang berbagai kebijakan publik yang
seharusnya dirahasiakan.
6. Korupsi supportif, yaitu perlindungan atau penguatan korupsi yang
menjadi intrik kekuasaan dan bahkan kekerasan.
7. Korupsi defensif, yaitu korupsi yang dilakukan dalam rangka
mempertahankan diri dari pemerasan.
rumusan normanya tidak lagi dapat memberantas tindak pidana korupsi (yang
pada waktu itu tidak lagi berkembang pada penyalahgunaan jabatan), sehingga
Pidana Korupsi.
Pidana Korupsi.
Korupsi.
34
Peraturan Penguasa Militer No. Prt/PM/06/1957 tentang pemberantasan
oleh kelayak ramai dinamakan korupsi, perlu negara menerapkan suatu tata
dalam peraturan penguasa Militer meliputi pengertian yang luas, yaitu meliputi
diartikan dengan korupsi, juga sekaligus memberikan isi dan makna dari apa
sebagai tindak pidana korupsi dapat dibaca dalam ketentuan Pasal 1 Peraturan
tanpa suatu kriteria khusus apabila ia seorang pejabat atau bukan serta juga baik
dimaksud ialah yang terdapat dalam Buku II Bab XXVII, khususnya yang
d. Pasal 423, 425 dan 435 KUHP tentang menguntungkan diri sendiri secara
tidak sah.
16Harmien Hadiati Koeswadji 1994. Korupsi di Indonesia dari Delik Jabatan Ketindak
Pidana Korupsi, Bandung : PT Citra Aditya Bakti, hal 35
36
2. Peraturan Penguasa Perang Pusat Angkatan Darat No. PRT / Peperpu / 013
/ 1958 tentang Pengusutan, Penuntutan, dan Pemeriksaan Perbuatan Pidana
Korupsi.
angkatan laut dengan surat Keputusan Kepala Staf Angkatan Laut Nomor
yaitu :
37
daerah atau badan hukum lain yang mempergunakan modal atau
kelonggaran-kelonggaran dari masyarakat.
2) Perbuatan yang dengan atau karena melakukan suatu kejahatan atau
pelanggaran memperkaya diri sendiri atau orang lain atau suatu
badan yang dilakukan menyalahgunakan jabatan atau kedudukan.
3) Kejahatan yang tercantum dalam Pasal 41 sampai 50 Peraturan
Penguasa Perang Pusat ini dalam Pasal 209, 210, 418 dan 420 KUHP.
sangat menonjol dengan adanya ketentuan Pasal 33 bahwa, ” Jika seorang dalam
Pusat ini dengan sukarela melaporkan kepada instansi yang berwajib perbuatan
38
korupsi yang telah dilakukan sebelum diadakan Peraturan Penguasa Perang
Pusat dengan disertai keterangan atau bukti-bukti yang lengkap, maka peruatan
itu tidak akan dituntut, asal harta benda yang diperoleh dengan atau karena
dapat dikemukakan bahwa seseorang atau tersangka atau terdakwa tidak akan
yang berwajib tentang perbuatan korupsi yang telah dilakukan dan harta benda
negara”.
pada ayat (1) Pasal ini berlaku juga bagi tersangka dan terdakwa yang dalam
dengan cara dan dalam waktu yang ditentukan dalam ayat itu”.
39
tegas mencabut peraturan penguasa perang pusat (peperpu) terdahulu tentang
pemberantasan korupsi yang hanya berlaku 2 (dua) tahun. Sejak awal memang
Perang Pusat Angkatan Darat No. PRT / Peperpu / 013 / 1958 tentang
40
Selanjutnya di dalam Penjelasan Umum, penjelasan Pasal 1 UU No. 24/
dipidana dengan hukuman badan / atau denda yang cukup berat disamping
atau orang lain atau suatu badan yang dilakukan dengan menyalahgunakan
jabatan atau kedudukan, memperkaya diri sendiri atau orang lain atau suatu
badan yang secara langsung maupun tidak langsung merugikan keuangan atau
perekonomian negara atau daerah atau merugikan keuangan suatu badan yang
menerima bantuan dari keuangan negara atau badan hukum lainnya yang
pelanggaran.
tindak pidana yang terjadi selama kurun waktu tahun 60 an sampai tahun 70 an
tewlah terjadi secara meluas, tidak hanya merugikan keuangan negara tetapi
perbuatan sebagai tindak pidana korupsi secara jelas dapat dilihat dalam
42
e) Barang siapa tanpaalasan yang wajar, dalam waktu yang sesingkat-
singkatnya setelah menerima pemberian atau janji yang diberikan
kepadanya seperti yang disebut dalam Pasal 218, 419 dan 420 KUHP
tidak melaporkan memberikan atau janji tersebut kepada yang
berwajib.
Pasal 387 (Penipuan dalam pelaksanaan pemborongan) dan Pasal 388 (perbuatan
diteliti lebih lanjut tidak semua delik dirumuskan secara materiil, seperti
misalnya Pasal 1 ayat (1) poin b yang menggunakan kata “dapat”, sehingga
negara.
43
Kebutuhan akan instrumen yang memadai dalam rangka
penanggulangan tindak pidana korupsi di era tahun 90-an sudah dirasakan kian
pada saat itu telah dirasakan sudah tidak sesuai lagi dengan perkembangan
UU No. 3 Tahun 1971 diundangkan dalam LN 1999 No. 140. UU No. 31 Tahun
of Crime and the Treatment of Offenders di Havana Tahun 1990 (kongres ke-8).
economicv crime, organize crime, illicit trafficking in narcotic drugs and psychotropic
17 Lilik Mulyadi, 2000, Tindak Pidana Korupsi (Tinjauan Khusus Terhadap Proses
Penyidikan, Penuntutan, Peradilan serta Upaya Hukumnya Menurut UU No. 31 Tahun
1999,Bandung : Citra Aditya Bakti, hal. 17.
44
Di dalam UU No 31 Tahun 1999 terlihat pengertian korupsi dirumuskan
sebagai delik formil yaitu dipidananya pelaku tindak pidana korupsi karena
tegas dirumuskan sebagai delik formil. Hal ini sangat penting dalam rangkaian
dipidana.”
sebagai berikut :
45
1. Setiap orang yang secara melawan hukum melakukan perbuatan
memperkaya diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi yang
dapat merugikan keuangan negara.
2. Dalam hal tindak pidana korupsi sebagaimana dimaksud Ayat (1)
dilakukan dalam keadaan tertentu, pidana mati dapat dijatuhkan.
Yang terdiri dari unsur-unsur, yaitu:
a) Perbuatan memperkaya diri sendiri atau orang lain atau suatu
korporasi.
b) Perbuatan tersebut sifatnya melawan hukum.
c) Dapat merugikan keuangan dan perekonomian negara.
d) Dalam hal tertentu pelaku tindak pidana dapat dijatuhi pidana
mati.
1999; “Setiap orang yang dengan tujuan menguntungkan diri sendiri atau
46
3. Perbuatan tersebut dapat merugikan keuangan negara atau
perekonomian negara.
c. Pengertian korupsi tipe ketiga, terdapat dalam Pasal 5, 6, 7, 8, 9, 10, 11, 12,
1. Penyuapan (Pasal 209, 210, 418, 419, 420 KUHP) yang ditarik menjadi
2. Penggelapan, yakni Pasal 415, 416 dan 417 KUHP yang diinventarisir
3. Kerakusan dalam Pasal 423 dan 425 KUHP yang diinventarisir dalam
leverensir dan rekanan dalam Pasal 387, 388 dan 435 KUHP yang
47
e. Pengertian korupsi tipe kelima, adalah pengertian korupsi yang tidak
murni, karena dalam Bab II Pasal 21, 22, 23 dan 24 UU No. 31 Tahun 1999
korupsi dalam UU No.31 tahun 1999 dapat dilihat dalam ketentuan dalam Pasal
2, Pasal 3 Pasal 5, Pasal 6, Pasal 7, Pasal 8, Pasal 9, Pasal 10, Pasal 11, Pasal 12,
berbagai sektor publik, karena tindak pidana korupsi tidak saja terjadi di
lembaga eksekutif tetapi telah merambah pula lembaga legislatif dan yudikatif.
gambaran betapa tindak pidana korupsi telah terjadi secara sistematik, sebagai
18Ibid.
48
luar biasa pula (extra ordinary crime). Bentuk serta akibat tindak pidana korupsi
pidana korupsi yang selama ini terjadi secara meluas tidak hanya merugikan
dan memberikan perlindungan secara adil terhadap hak-hak sosial dan ekonomi
49
korupsi, perlu diadakan perubahan atas UU No. 31 Tahun 1999 tentang
November 2001, hanya tinggal 2 (dua) Pasal dalam UU No. 31 Tahun 1999 yang
ditarik menjadi delik korupsi, mulai dari Pasal 5 sampai Pasal 12. Perubahan
dimaksud, yang juga diatur pada Pasal 5 sampai Pasal 12 UU No. 20 Tahun
2001.
Rekanan.
dimaksud yang ditarik menjadi delik korupsi ke dalam UU No. 20 Tahun 2001
tersebut.
50
a. Kelompok pidana korupsi yang berkaitan dengan penyuapan
(mereka yang memberi suap) maupun penyuapan yang bersifat pasif (mereka
yang menerima suap). Tindak pidana penyuapan dalam Pasal KUHP yang
ditarik menjadi tindak pidana korupsi, adalah pasal-pasal penyuapan yang aktif
yang lain. Pasal 209 (pemberi suap) berpasangan dengan Pasal 418 dan 419
(pegawai negeri yang menerima suap). Pasal 210 (pemberi suap kepada hakim)
berpasangan dengan Pasal 420 (hakim yang menerima suap mengenai perkara
yang ditanganinya)”19
dirumuskan dalam Pasal 5 UU No. 31 Tahun 1999 jo. UU No. 20 Tahun 2001.
Semula dalam UU No. 31 Tahun 1999 Pasal 5 ini hanya menunjuk atau mengacu
ke Pasal 289 KUHP. Dengan UU No. 31 Tahun 1999 Pasal 5 ini dirubah dan
Dipidana dengan pidana penjara paling singkat 1(satu) tahun dan paling lama 5
(lima) tahun atau dipidana denda paling sedikit Rp.50.000.000,00 (lima puluh
juta rupiah) dan paling banyak Rp.250.000.000,00(dua ratus lima puluh juta
rupiah) setiap orang:
dimaksud dalam ayat (1) huruf a atau huruf b,dipidana dengan pidana yang
Pasal 5 Rumusan Pasal 5 ayat (1) sama dengan rumusan Pasal 209
KUHP.Sedangkan Pasal 5 ayat (2) merupakan pasangan dari Pasal 5 ayat (1)
atau ”janji” saja kepada pegawai negeri atau penyelenggara negara, dan yang
pemberian atau janji tersebut telah diterima oleh pegawai negeri atau
huruf a juga dikatakan telah terjadi sekalipun pemberian atau janji itu ditolak
maksud si penyuap tercapai atau tidakakan tetapi cukup kalau penyuap tersebut
a. Memberi sesuatu
53
c. Karena atau berhubungan dengan sesuatu yang bertentangan dengan
bahwa : dalam Pasal 5 ayat (1) huruf b tidak disebutkan rumusan unsur
dipersalahkan melanggra Pasal 5 ayat (1) huruf b. Pelaku yang dapat dipidana
berdasar Pasal 5 ayat (1) huruf b ini adalah : apabila pemberian dari penyuap
ayat (1) huruf a dimana pemberian atau janji diberikan oleh si penyuap sebelum
pegawai negeri atau penyelenggara negara berbuat atau tidak berbuat yang
bertentangan dengan kewajiban dalam jabatannya. Dalam Pasal 5 ayat (1) huruf
jabatannya.
54
b. Menerima pemberian atau janji
dengan ketentuan Pasal lain, yaitu rumusan Pasal 12 huruf a dan huruf b,
a Dalam Pasal 12 huruf a ada frasa :”hadiah atau janji tersebut diberikan
sedangkan dalam Pasal 5 ayat (2) jo ayat (1) huruf a dirumuskan dengan
frasa (yang diambil dari Pasal 5 ayat (1) huruf a): ”dengan maksud
sebagian dipakai syarat kealpaan. Dalam Pasal 5 ayat (2) jo ayat (1)
55
Sekalipun substansi yang diatur sama, tetapi ancaman pidananya
berbedayaitu ancaman pidana Pasal 5 ayat (2) adalah : ”pidana penjara paling
singkat 1(satu) tahun dan paling lama 5 (lima) tahun dan atau pidana denda
ancaman pidana Pasal 12 huruf a lebih berat yaitu : ”pidana penjara seumur
hidup atau pidana penjara paling singkat 4 (empat) tahun dan paling lama 20
(dua puluh) tahun dan pidana denda paling sedikit Rp.200.000.000,00 dan paling
banyak Rp.1.000.000.000,00”.
Perbedaan rumusan Pasal 12 huruf b dengan Pasal 5 ayat (2) jo ayat (1) huruf b :
disebabkan karena”, sedangkan dalam Pasal 5 ayat (2) jo ayat (1) huruf b
b Dalam Pasal 12 huruf b terdapat frasa :”pada hal diketahui atau patut
rumusan tersebut.
perbedaan antara ketentuan Pasal 5 ayat (2) jo Pasal (1) dengan Pasal 12 huruf a
dan huruf b, yaitu : Dalam Pasal 5 ayat (2) mutlak diperlukanadanya unsur
pemberian atau janji sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 ayat (1) huruf a atau
56
huruf b benar-benar mengetahui bahwa pemberian atau janji itu dimaksudkan
agar dia melakukan perbuatan atau tidak berbuat sesuatu dalam jabatannya
huruf a dan huruf b, pegawai negeri atau penyelenggara negara yang menerima
pemberian (hadiah) atau janji sudah dapat dipidana sekalipun dia tidak
mengetahui (tidak ada unsur kesengajaan ) tetapi dia dapat menduga (ada unsur
kealpaan) bahwa hadiah atau janji tersebut diberikan untuk menggerakkan agar
karena telah melakukan atau tidak melakukan sesuatu dalam jabatannya yang
4. Pasal 6 :
1) Dipidana dengan pidana penjara paling singkat 3 (tiga) tahun dan paling
lama 15 (limabelas) tahun dan dipidana denda paling sedikit
Rp.150.000.000,00 (seratus lima puluh juta rupiah) dan paling banyak
Rp.750.000.000,00 (tujuh ratus lima puluh ribu rupiah) setiap orang yang :
a. Memberi atau menjanjikan sesuatu kepada hakim dengan maksud
untuk mepengaruhi putusan perkara yang diseahkan kepadanya
untuk diadili;atau
b. Memberi atau menjanjikan sesuatu kepada seseorang yang
menurut ketentuan peraturan perundang-undangan ditentukan
menjadi advokat untuk mengahdiri sidang pengadilan dengan
maksud untuk mempengaruhi nasihat atau pendapat yang akan
57
diberikan berhubung dengan perkara yang diserahkan kepada
pengadilan untuk diadili.
Rumusan Pasal 6 ayat (1) sama dengan rumusan Pasal 210 KUHP,
sedangkan Pasal 6 ayat (2) merupakan pasangan dari Pasal 6 ayat (1) yang
hampir sama dengan ketentuan Pasal 12 huruf c dan huruf d yang rumusannya
mengambil alih rumusan Pasal 420 KUHP. Pasal 6 ayat (1) huruf a, unsur-
unsurnya adalah :
b) Hakim.
atau hadiah yang dimaksud dalam Pasal 6 ayat (1). Jadi Pasal 6 ayat (2)
5. Pasal 11 :
Dipidana dengan pidana penjara paling singkat 1 (satu) tahun dan paling lama 5
(lima) tahun dan atau pidana denda paling sedikit Rp.50.000.000,00 (lima puluh
juta rupiah) dan paling banyak Rp.250.000.000,00 (dua ratus lima puluh ribu
rupiah)pegawai negeri atau penyelenggara negara yang menerima hadiah atau
janji padahal diketahui atau patut diduga,bahwa hadiah atau janji tersebut
diberikan karena kekuasaan atau kewenangan yang berhubungan dengan
jabatannya,atau yang menurut pikiran orang yang memberikan hadiah atau janji
tersebut ada hubungan dengan jabatannya.
Unsur-unsurnya :
c. Pada hal diketahui atau patut diduga bahwa hadiah atau janji tersebut
dengan jabatannya.
Dalam ketentuan pasal ini, yang perlu dicatat adalah : bahwa pemberian
ini mengambil alih rumusan Pasal 418 KUHP. Tentang ”pengertian” unsur
diputuskan bahwa untuk menggunakan Pasal 418 KUHP, harus ditinjau dari
uang 2 X Rp.500,- = Rp.1000,- dan mesin tulis merk Remington dari seorang yang
yang menjabat sebagai Komis Kepala ( Panitera Kepala ) pada kantor pengadilan
Jika ditinjau dari sudut pemberi hadiah bahwa ternyata orang yang
memberi hadiah itu adalah orang sederhana sehingga dapat dimengerti bahwa
menimbulkan harapan dan anggapan tertentu darinya. Tentang Pasal 418 KUHP
tersebut Wirjono Prodjodikoro menyatakan bahwa Pasal 418 mengenai apa yang
wewenang yang melekat pada jabatan si pegawai negeri itu,atau yang menurut
6. Pasal 12 :
Dipidana dengan pidana penjara seumur hidup atau pidana penjara paling
singkat 4 (empat)tahun dan paling lama 20 (dua puluh) tahun dan pidana denda
dengan penerimaan suap oleh pejabat ,baik pegawai negeri, hakim maupun
advokat.
7. Pasal 12 huruf a.
Pegawai negeri atau penyelengara negara yang menerima hadiah atau janji,
padahal diketahui atau patut diduga bahwa hadiah atau janji tersebut diberikan
c. pada hal diketahui atau patut diduga bahwa hadiah atau janji tersebut
Rumusan Pasal ini mirip dengan rumusan Pasal 5 ayat (2) jo ayat (1) huruf
a,akan tetapi yang jelas rumusan Pasal 12 huruf a ini mengambil alih rumusan
62
suap oleh pegawai negeri dari Pasal 419 KUHP adalah tanggapan dari
8. Pasal 12 huruf b.
diketahui atau patut diduga bahwa hadiah tersebut diberikan sebagai akibat
atau disebabkan karena telah melakukan atau tidak melakukan sesuatu dalam
Unsur-unsurnya adalah :
b. Menerima hadiah
c. Pada hal diketahui atau patut diduga bahwa hadiah tersebut diberikan
kewajibannya.
Rumusan Pasal ini mengambil alih bunyi rumusan Pasal 419 ke 2 KUHP.
9. Pasal 12 huruf c.
Hakim yang menerima hadiah atau janji,padahal diketahui atau patut diduga
22Ibid.
63
Unsur-unsur Pasalnya adalah :
a. Hakim
c. Pada hal diketahui atau patut diduga bahwa hadiah atau janji tersebut
Rumusan ini mengambil alih rumusan Pasal 420 ayat (1) ke-1 KUHP.
c. Pada hal diketahui atau patut diduga bahwa hadiah atau janji tersebut
Rumusan Pasal ini mengambil alih rumusan Pasal 420 ayat (1) ke-2 KUHP.
64
11. Pasal 12 B tentang Gratifikasi :
a. Gratifikasi
atau tugasnya.
Yang dimaksud dengan gratifikasi menurut penjelasan Pasal 12 B ayat (1) adalah
Gratifikasi tersebut baik yang diterima di dalam negeri maupun di luar negeri
dan yang dilakukan dengan menggunakan sarana elektronik atau tanpa sarana
elektronik.
beban pembuktian :
gratifikasi.
penuntut umum.
Pidana Korupsi paling lambat 30 (Tiga puluh) hari kerja sejak tanggal gratifikasi
tersebut diterima.
66
Dalam waktu paling lambat 30 (tiga puluh) hari kerja sejak tanggal
Mengenai tata cara pelaporan dan penentuan status gratifikasi diatur dalam
sebagai berikut :
67
Penetuan status gratifikasi , di dalam ketentuan Pasal 17 dan Pasal 18 UU
tanggal ditetapkan.
68
7) Komisi Pmenberantasan Korupsi wajib mengumumkan gratifikasi yang
12. Pasal 13
Di dalam ketentuan Pasal 13, ditentukan bahwa ”Setiap orang yang memberi
hadiah atau janji kepada pegawai negeri dengan mengingat kekuasaan atau
wewenang yang melekat pada jabatan atau kedudukannya, atau oleh pemberi
tersebut,dipidana dengan pidana penjara paling lama 3 (tiga) tahun dan atau
Pasal 13 ini rumusannya hampir sama dengan rumusan Pasal 1 ayat (1)
Pasal ini merupakan pasangan dari Pasal 418 (Pasal 11 UU No. 31 Tahun 1999 jo.
69
UU No. 20 Tahun 2001), sebagaimana dimaksud dalam penjelasan Pasal 1 ayat
(1) sub d UU No. 3 Tahun yang menentukan : ”Dalam KUHP tidak diancam
dimaksud dalam Pasal 418 KUHP, juga tidak diancam dengan hukuman orang-
orang yang memberi hadiah kepada pegawai negeri seperti dimaksud dalam
tindak pidana korupsi yang dalam Pasal 1 ayat (1) sub d”.
1. Pasal 8 :
Dipidana dengan pidana penjara paling singkat 3 (tiga) tahun dan paling lama
15 (lima belas) tahun dan dipidana denda paling sedikit Rp.150.000.000,00
(seratus lima puluh juta rupiah) dan paling banyak Rp.750.000.000,00(tujuh ratus
lima puluh juta rupiah), pegawai negeri atau orang selain pegawai negeri yang
ditugaskan menjalankan suatu jabatan umum secara terus menerus atau untuk
sementara waktu,dengan sengaja menggelapkan uang atau surat berharga yang
disimpan karena jabatannya,atau membiarkan uang atau surat berharga tersebut
diambil atau digelapkan oleh orang lain,atau membantu dalam melakukan
perbuatan tersebut.
sementara waktu;
70
b. Dengan sengaja;
perbuatan tersebut.
Rumusan ini seperti dalam Pasal 415 KUHP memuat unsur-unsur yang
Pasal 415 KUHP, yaitu :perbuatan si pelaku dalam Pasal 415 KUHP bukan
negara yang ada pada terdakwa karena jabatannya (dalam hal ini orang lain
beresan prosedur pelaksanaan ada pada menteri, karena seorang Menteri hanya
2. Pasal 9 :
Dipidana dengan pidana penjara paling sigkat 1 (satu) tahun dan paling lama 5
(lima) tahun dan pidana denda paling sedikit Rp.50.000.000,00 (lima puluh juta
rupiah) dan paling banyak Rp.250.000.000,00 (dua ratus lima puluh juta rupiah)
peagawai negeri atau orang selain pegawai negeri yang diberi tugas
menjalankan suatu jabatan umum secara terus menerus atau untuk sementara
waktu, dengan sengaja memalsu buku-buku atau daftar-daftar yang khusus
untuk pemeriksaan administrasi.
Unsur-unsurnya adalah :
a. Pegawai negeri atau orang selain pegawai negeri yang diberi tugas
sementara waktu;
b. Denngan sengaja
administrasi.
Rumusan Pasal ini mengambil alih rumusan Pasal 416 KUHP. Menurut
3. Pasal 10
Dipidana dengan pidana penjara paling singkat 2 (dua) tahun dan paling lama 7
(tujuh) tahun dan pidana denda paling sedikit Rp.100.000.000,00 (seratus juta
rupiah) dan paling banyak Rp.350.000.000,00 (tiga ratus lima puluh juta rupiah)
pegawai negeri atau orang selain pegawai negeri yang diberi tugas
menjalankan suatu jabatan umum secara terus menerus atau untuk sementara
waktu dengan sengaja :
a. Menggelapkan, menghancurkan, merusakkan, atau membuat tidak dapat
dipakai barang ,akta , surat, atau daftar yang digunakan untuk
meyakinkan atau mebuktikan di muka pejabat yang berwenang, yang
dikuasai karena jabatannya atau ;
b. Membiarkan orang lain menghilangkan , menghancurkan, merusakkan,
atau membuat tidak dapat dipakai baranag ,akta, surat, atau daftar
tersebut; atau
c. Membantu orang lain menghilangkan, menghancurkan, merusakkan, atau
membuat tidak dapat dipakai barang, akta, surat,atau daftar tersebut”.
Unsur-unsurnya adalah :
73
a. Pegawai negeri atau orang selain pagawai negeri yang diberi tugas
sementara waktu.
b. Dengan sengaja
dapat dipakai barang, akta, surat atau daftar yang digunakan untuk
membuat tidak dapat dipakai barang, akta, surat atau daftar tersebut.
berarti suatu perbuatan yang berupa ”knevelen”. Arti kata (letterlijk) dari
kayu (dwars hout) atau suatu potong kain (prop) dalam mulut seorang, sehingga
orang itu tidak dapat bicara, atau mengikat badan atau tangan-tangan seorang
74
dengan tali. Arti biasa (figuurlijk) dari ”kneveleraij” ialah : memeras rakyat untuk
memberi uang.25
dari tindak pidana yang diberikan dalam Pasal 425 KUHP. Sementara itu Andi
”kerakusan”,untuk delik-delik yang disebut dalam Pasal 423 KUHP dan Pasal
425 KUHP.
1. Pasal 12 huruf e.
Unsur-unsurnya :
melawan hukum;
Rumusan Pasal ini mengambil alih rumusan Pasal 423 KUHP. Tentang
penyusun W.v.S. untuk Indonesia (Pemerintah Belanda) , Pasal 425 itu tidak
memadai untuk masyarakat Indonesia, karena di dalam Pasal itu terdapat unsur
melakukan praktek knevelarij atau extortion yang dalam tulisan ini dipakai
2.Pasal 12 huruf f.
pegawai negeri atau penyelenggara negara yang pada waktu menjalankan tugas,
meminta, menerima, atau memotong pembayaran kepada pegawai negeri atau
penyelenggara negara yang lain atau kepada kas umum, seolah-olah pegawai
negeri atau penyelenggra negara yang lain atau kas umum tersebut mempunyai
utang kepadanya,padahal diketahui bahwa hal tersebut bukan merupakan
utang.
76
Unsur-unsur Pasal ini :
Rumusan Pasal ini mengambil alih rumusan Pasal 425 ke-1 KUHP.
oleh pegawai negeri yang dalam jabatan berkewajiban atau berwenang menarik
iuran uang, seperti misalnya pegawai kantor pajak, melainkan juga oleh seorang
pegawai negeri yang sama sekali tidak berkewajiban atau berwenang untuk
itu.Hanya saja penarikan uang dan sebagainya itu harus dihubungkan dengan
suatu pekerjaan dalam jabatannya, seolah-olah pada pekerjaan itu melekat suatu
pembayaran uang oleh orang-orang yang harus dilayani. Termasuk pada tindak
3. Pasal 12 huruf g :
utang kepada dirinya, padahal diketahui bahwa hal tersebut bukan merupakan
utang
penyerahan barang;
Rumusan Pasal ini mengambil alih rumusan Pasal 425 ke-2 KUHP.
4. Pasal 12 huruf h.
Pegawai negeri atau penyelenggara negara yang pada waktu menjalankan tugas,
telah menggunakan tanah negara yang diatasnya terdapat hak pakai, seolah-olah
sesuai dengan peraturan perundang-undang, telah merugikan orang yang
berhak, padahal diketahui bahwa perbuatan tersebut bertentangan dengan
peraturan perundang-undangan.
perundang-undangan;
78
c. Telah merugikan orang yang berhak;
peraturan perundang-undangan.
Rumusan Pasal ini mengambil alih rumusan pasal 425 ke-3 KUHP.
Dipidana dengan pidana penjara paling singkat 2(dua) tahun dan paling lama
7(tujuh) tahun dan atau pidana denda paling sedikit Rp.100.000.000,00 (seratus
juta rupiah) dan paling banyak Rp.350.000.000,00 (tiga ratus lima puluh juta
rupiah).
Pasal ini terdiri dari 4 (empat) tindak pidana yang unsur-unsurnya masing-
Unsur-unsurnya :
79
a. Pemborong ahli bangunan yang pada waktu menyerahkan bahan
Rumusan Pasal ini mengambil alih rumusan Pasal 387 ayat (1) KUHP.
dalam huruf a.
Unsur-unsurnya :
bahan bangunan;
b. Sengaja;
Rumusan Pasal ini mengambil alih rumusan Pasal 387 ayat (2) KUHP.
80
Pasal orang yang pada waktu menyerahkan barang keperluan Tentara Nasional
Unsur-unsurnya :
Rumusan Pasal ini mengambil alih rumusan Pasal 388 ayat (1) KUHP.
Unsur-unsurnya :
Indonesia;
b. Dengan sengaja;
81
Rumusan Pasal ini mengambil alih rumusan Pasal 388 ayat (2) KUHP.
Bagi orang yang menerima penyerahan bahan bangunan atau orang yang
menerima penyerahan barang keperluan Tentara Nasional Indonesia dan atau
Kepolisian Negara Republik Indonesia dan membiarkan perbuatan curang
sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) huruf a atau huruf c, dipidana yang sama
sebagaimana dimaksud dalam ayat (1).
Unsur-unsurnya :
huruf b dan Pasal 7 ayat (1) huruf d yang ditujukan kepada petugas yang secara
3. Pasal 12 huruf i.
82
Pegawai negeri atau penyelenggara negara baik langsung maupun tidak
persewaan, yang pada saat dilakukan perbuatan, untuk seluruh atau sebagaian
Unsur-unsurnya :
b Dengan sengaja
Tindak pidana yang diatur di sini bukan merupakan perbuatan yang bersifat
ketentuan yang dimaksud tersebut adalah Pasal 21, 22, 23 dan 24.
83
Rumusan korupsi dalam peraturan pemerintah pengganti UU (perpu) No.
korupsi, tgl 9 juni 1960, judga menjerat rumusan korupsi yang ada dalam
pengganti UU No. 24 Prp Tahun 1960 disetujui oleh parlemen menjadi UU No.
Tahun 1960. Setelah Undang-undang ini diganti dengan UU No. 3 Tahun 1971
unsur melakukan kejahatan dan pelanggaran yang diatur pada Pasal 1 UU No.
Tahun 1971 melakukan perubahan dan perbaikan yang sebelumnya begitu sulit
Namun setelah berlakunya UU No. 3 Tahun 1971, Korupsi tetap saja tidak
84
membuktikan kesalahan seseorang yang melakukan tindak pidana korupsi salah
Unsur-unsur tindak pidana( delik) yang terdapat didalam Pasal 1 ayat (1)
1) Perbuatan memperkaya diri sendiri atau orang lain, atau suatu badan.
negara.
bertambah kaya, sehingga yang tidak kaya tidak dapat memenuhi syarat itu”,
“memperkaya”, sedangkan orang miskin atau orang yang tidak kaya tidak boleh
85
dikenakan unsur tersebut, apabila seseorang dikatakan kaya tidak ada
ukurannya28.
formil, yaitu perbuatan yang dilarang itu telah ditetapkan dalam undang-
undang (Pasal 1 ayat 1 sub-a UU No. 3 tahun 1971. Maksud melawan hukum
formil dikaitkan dengan ketentuan Pasal 1 ayat (1) KUH pidana, maka seseorang
mempunyai hak sendiri untuk menikmati keuntungan itu”, Namun ada juga
yaitu sama dengan pendapat HR dalam putusannya pada tahun 1919 dalam
amrecht matigedaad) dalam Pasal 1365 KUH perdata). Hoge Road berpendapat
28 Andi Zainal Abidin Farid, Hukum Pidana, Jakarta : Sinar Grafika, , hal. 36
29 Andi Hamzah 1996. Hukum Acara Pidana. Indonesia, Jakarta : Sapta Artha Jaya, hal
119.
86
hak,bertentangan dengan undang-undang, serta kaidah-kaidah kesopanan yang
yang tidak diatur atau di sebutkan dengan tegas dalam UU (Hukum tertulis),
pada penjelasan Pasal 2 ayat (1) UU No. 31 Tahun 1999 melawan hukum materiil
sebagai tindak pidana (delik) yang dapat dihukum. Hal ini sejalan dengan
maksud Pasal 28 ayat (1) UU No. 8 Tahun 2004 bahwa “hakim wajib menggali,
mengikuti dan memahami nilai-nilai hukum dan rasa keadilan yang hidup
dalam masyarakat”
Unsur “langsung atau tidak langsung” merupakan akibat dari suatu perbuatan
dikenal dalam hukum pidana Indonesia adanya akibat dari sebab yang tidak
langsung ini mengingatkan kepada teori Von Buri yang terkenal dengan nama
87
semua faktor yaitu semua syarat yang menyebabkan suatu akibat tidak dapat
causa atau sebab-akibat. Tiap faktor yang dapat dihilangkan dari rangkaian
bersangkutan, tidak diberi nilai. Sebabnya, tiap faktor tidak dapat dihilangkan
dari rangkaian faktor-faktor tersebut yang adanya perlu untuk terjadinya akibat
yang bersangkutan, harus diberi nilai yang sama, semua faktor, besar atau kecil
Teori kausalitas Von Buri diatas selain menerima beberapa sebab (causa),
juga mengganggap antara syarat (bedigung)dan sebab (causa) sama atau tidak
ada perbedaan. Secara umum, teori Van Buri tidak diterima oleh para sarjana
hukum,tetapi menurut Van Hamel dapat saja diterima dengan pembalasan yaitu
pada kesengajaan dan kelalaian bahwa diantara sekian banyak faktor penyebab
harus dipilih salah satu faktor bagi pembuat yang memenuhi unsur kesengajaan
atau kelalaian yang disyaratkan UU agar dapat dipidana pendapat Van Hamel
dinilai keliru oleh berbagai pakar hukum pidana, karena kesengajaan dan
30Andi Hamzah 1994. Azas-Azas Hukum Pidana, Jakarta : Rineka Cipta, hal.169
31Ibid hal 170.
88
Apabila teori van Buri digunakan dalam perkara korupsi menurut Pasal 1
ayat (1) huruf-a dan huruf b UU No. 31 Tahun 1999, maka akan banyak orang
Kata “diketahui” menurut Pasal, ayat (1) huruf-a UU No. 3 Tahun 1971
berarti perbuat korupsi mempunyai kesengajaan (dolus)” yang terdiri atas tiga
corak kesengajaan yaitu “sengaja sebagai niat,sengaja sadar akan keharusan dan
sengaja sadar akan keharusan dan sengaja sadar akan kemungkinan. Sedangkan
kata” patut disangka” berarti pembuat korupsi melakukan “ kealpaan atau culpa
yang disadari”
1. Pasal 2
Pasal 2 menentukan :
a. melawan hukum.
89
Unsur-unsur tersebut hampir sama dengan yang disebut dalam Pasal 1 ayat (1)
No. 31 Tahun 1999 jo UU No. 20 tahun 2001 unsur kerugian keuangan Negara
rumusan “secara langsung atau tidak langsung” dan rumusan “diketahui atau
Negara telah dihapuskan dalam UU No. 31 Tahun 1999 jo UU No. 20 tahun 2001
berikut :
a. Melawan Hukum
90
adanya tindak pidana korupsi cukup dengan dipenuhinya unsur-unsur
perbuatan yang sudah dirumuskan, bukan dengan timbulnya akibat.
Di dalam perkembangan lebih lanjut, konsep melawan hukum materiil
(materiele wederrechtelijk) yang menunjuk pada hukum tidak tertulis dalam
ukuran kepatutan, kehati-hatian dan kecermatan dinyatakan bertentangan
dengan Pasal 28 D ayat (1) Undang-Undang Dasar 1945 dan tidak mempunyai
kekuatan hukum berdasarkan Putusan Mahkamah Konstitusi RI No. 003/PUU-
IV/2006. Oleh karena itu, sejak adanya Putusan Mahkamah Konstitusi RI No.
003/PUU-IV/2006, unsur melawan hukum dalam ketentuan Pasal 1 ayat (1)
Undang-undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana
Korupsi sebagaimana diubah dan diperbaharui dengan Undang-undang Nomor
20 Tahun 2001, sifat melawan hukumnya hanya sifat melawan hukum formil.
dengan memperkaya diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi. Oleh
karena itu untuk memperoleh pengertian dari unsure ini, perlu kita mencari
dalam doktrin.
perkataan memperkaya diri sendiri atau orang lain atau suatu badan dapat
91
dihubungkan dengan Pasal 18 ayat (2), yang memberi kewajiban kepada
keterangan saksi lain bahwa terdakwa telah melakukan tindak pidana korupsi.
Penjelasan seperti ini tidak ditemukan dalam UU No. 20 Tahun 2001. Sekalipun
dijadikan pedoman dalam menafsirkan unsure memperkaya diri atau orang lain
atau suatu badan. Hal ini terkait dengan ketentuan Pasal 37A UU No. 31 Tahun
1999 jo UU No. 20 Tahun 2001 yang bunyinya hampir sama dengan ketentuan
sebagai berikut :
bendanya dan harta benda istri atau suami, anak, dan harta benda
(4) Dalam hal terdakwa tidak dapat membuktikan tentang kekayaan yang
92
kekayaannya, maka keterangan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1)
(5) Ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal (1) dan ayat (2)
dalam Pasal 2, Pasal 3, Pasal 4, Pasal 13, Pasal 14, Pasal 15, dan Pasal 16
dakwaannya.”
saksi lain bahwa telah melakukan tindak pidana korupsi”, pada pokoknya
adalah :
miliknya yang belum didakwakan, tetapi juga bersal dari tindak pidana korupsi,
Ayat (1) :
“Setiap orang yang didakwa melakukan salah satu tindak pidana korupsi
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2, Pasal 3, Pasal 4, Pasal 13, Pasal 14, Pasal
15, dan Pasal 16 UU No. 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana
Korupsi dalam Pasal 5 sampai dengan Pasal 12 Undang-undang ini, Wajib
membuktikan sebaliknya terhadap harta benda miliknya yang belum
didakwakan, tetapi juga diduga berasal dari tindak pidana korupsi”.
Ayat (2) :
sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) diperoleh bukan karena tindak pidana
korupsi, harta benda tersebut dianggap diperoleh juga dari tindak pidana
Ayat (3) :
perkara pokok”.
Ayat (4) :
“Pembuktian bahwa harta benda sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) bukan
bersal dari tindak pidana korupsi diajukan oleh terdakwa pada saat
Ayat (5) :
Ayat (6) :
sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dan ayat (2) harus ditolak oleh hakim”.
95
“Ketentuan dalam Pasal ini merupakan pembuktian terbalik yang dikhususkan
pada perampasan harta benda yang diduga keras juga berasal dari tindak pidana
Pasal 3, Pasal 4, Pasal 13, Pasal 14, Pasal 15, Pasal 16 UU No. 31 Tahun 1999
tentang pemberantasan Tindak Pidana Korupsi dan Pasal 5 sampai dengan Pasal
segala tuntutan hukum dari perkara pokok, berarti terdakwa bukan pelaku
96
a. Bahwa dalam surat dakwaan biasanya tidak pernah disebutkan jumlah,
macam atau jenis harta benda milik terdakwa yang berasal dari tindak
pidana korupsi ataupun harta benda milik terdakwa yang di sita, sebab
dengan syarat yang ditentukan dalam Pasal 143 ayat (2) sub b K.U.H.A.P
berisi uraian secara cermat, jelas dan lengkap mengenai tindak pidana
korporasi” tidak menyebutkan jumlah macam atau jenis harta benda yang
telah disita dalam tingkat penyidikan atau harta benda milik terdakwa,
lain atau korporasi, tidak memandang apakah barang tersebut telah disita
97
b. Berdasarkan hal tersebut, maka rumusan yang berbunyi : “…..wajib
harta benda yang belum disita dalam tahap penyidikan,tetapi juga berasal
benda yang diduga berasal dari tindak pidana korupsi tanpa ada
dimaksud dalam ayat (2) diajukan oleh penuntut umum pada saat
98
c) Ayat (4) yang menyatakan bahwa pembuktian harta benda
atas harta benda milik terdakwa yang tidak sempat disita dalam tahap
penyidikan, dan selama proses persidangan diketahui masih ada harta benda
milik terdakwa yang duga diperoleh dari tindak pidana korupsi belum disita
barang bukti tersebut belum pernah disita dalam tahap penyidikan. Tegasnya,
jaksa penuntut umum tidak terikat kepada bukti-bukti yang diperoleh dan yang
persidangan, jaksa penuntut umum berhasil menemukan bukti baru atau bukti
99
tambahan, maka ia dapat mengajukannya kepada hakim di sidang pengadilan.
b) Pasal 182 ayat (2) K.U.H.A.P. memberi kewenangan kepada hakim ketua
Menurut penjelasan Pasal 182 ayat (2) K.U.H.A.P bahwa sidang dibuka
musyawarah hakim.
Tahun 2001, maka hal-hal yang menyangkut hak jaksa penuntut umum
terdakwa yang diduga berasal dari tindak pidana korupsi, telah dipertgeas
1. Jaksa penuntut umum yang memperoleh data tentang harta benda milik
terdakwa yang diduga bersal dari tindak pidana korupsi dan belum sempat
100
di sita dalam tahap penyidikan, disampaikan hakim ketua sidang dengan
4. Setelah Jaksa penutntut Umum melakukan penyitaan atas harta benda milik
terdakwa yang diduga berasal dari tindak pidana korupsi, ia melaporkan dan
c. Keuangan Negara
101
- Seluruh kekayaan negara dalam bentuk apapun, yang dipisahkan atau
d. Perekonomian Negara.
harus dibuktikan secara konkrit artinya yang betul-betul didasarkan alat bukti
102
yang sah. Asumsi-asumsi seperti perbuatan terdakwa yang dapat dibuktikan
dalam satu tahun sekian ratus juta rupiah maka karena perbuatan terdakwa
yang diakibatkan berjumlah sekian ratus juta rupiah, kalau di depositokan atau
dioprasionalkan untuk usaha akan berjumlah sekian kali lipat, tidak boleh
atau kegiatan institusi negara tersebut (misalnya badan usaha milik negara)
2. Pasal 3.
“Setiap orang yang dengan tujuan menguntungkan diri sendiri atau orang lain
103
yang ada padanya karena jabatan atau kedudukannya yang dapat merugikan
keuangan negara atau kedudukan yang dapat merugikan keuangan negara atau
dipidana dengan pidana penjara seumur hidup atau pidana penjara paling
singkat 1 (satu) tahun dan paling lama 20 (dua puluh tahun) tahun dan atau
denda paling sedikit Rp.50.000.000,00 (lima puluh juta) dan paling banyak
a. Dengan tujuan menguntungkan diri sendiri atau orang lain atau suatu
korporasi;
unsur-unsur Pasal ini. Rumusan Pasal ini hampir sama dengan rumusan Pasal 1
ayat (1) sub b UU No. 3 Tahun 1971. Oleh karena itu untuk memahami
pengertian unsur Pasal 3 UU No. 31 Tahun 1999 jo UU No. 20 Tahun 2001, Kita
104
Dalam penjelasan Pasal 1 ayat (1) sub b UU No. 3 Tahun 1971 dikatakan
bahwa ketentuan dalam sub b ini adalah luas dalam rumusannya karena
perincian seperti halnya dalam Pasal 52 KUHP dengan kata “oleh karena
sebagai pegawai negeri atau sebagai penyelenggara negara atau pun yang
negara.
tujuan lain dari maksud diberikan wewenang tersebut atau yang dikenal dengan
105
Indonesia)” yang pada pokoknya adalah Pengertian “menyalahgunakan
harmoni dan disharmoni antara pengertian yang sama antara hukum pidana,
khususnya dengan Hukum Perdata dan Hukum Tata Usaha Negara, sebagai
yang sama bunyinya antara cabang ilmu hukum pidana dengan cabang ilmu
dengan isi lain mengenai pengertian yang sama bunyinya dalam cabang hukum
cabang ilmu hukum lainnya, akan tetapi jika hukum pidana tidak menentukan
106
lainnya. Dengan demikian apabila pengertian “menyalahgunakan kewenangan”
dapat mempergunakan pengertian dan kata yang sama yang terdapat atau
berasal dari cabang hukum lainnya ; Ajaran tentang “Autonomie van het Materiele
dikuatkan oleh Putusan Mahkamah Agung R.I. No. 1340 K/Pid/1992 tanggal 17
Pebruari 1992 sewaktu adanya perkara tindak pidana korupsi yang dikenal
melanggar Pasal 1 ayat (1) sub b Undang-Undang No. 3 Tahun 1971 sebagai
Kepala Bidang Ekspor Kantor Wilayah IV Direktorat Jenderal Bea & Cukai
hukum (rechtsvervijning) pengertian yang luas dari Pasal 1 ayat (1) sub b
Undang-Undang No. 5 Tahun 1986 (tentang Peradilan Tata Usaha Negara), yaitu
107
yang menurut Prof. Jean Rivero dan Prof. Waline, pengertian penyalahgunaan
E. UU KORUPSI : UU KHUSUS
Hukum pidana khusus mempunyai ciri mengatur hukum pidana materiil
dan formil yang berada di luar hukum kodifikasi, dengan memuat norma,
sanksi, dan asas-asas hukum yang disusun secara khusus menyimpang karena
bidang hukum pidana materiil dan formil, misalnya yang menyangkut obyek
110
kolonial yang sampai saat ini diberlakukan, dalam kenyataannya telah muncul
hukum dalam tahap berikutnya, baik tahap aplikasi maupun tahap eksekusinya.
Bab. VIII buku ini juga berlaku bagi perbuatan-perbuatan yang oleh ketentuan
sebagaimana ditentukan dalam Pasal 63 ayat (2) yang menentukan : “Jika suatu
perbuatan masuk dalam suatu aturan pidana yang umum, diatur pula dalam
aturan pidana yang khusus, maka hanya yang khusus itulah yang diterapkan”.
111
1. Adanya proses kriminalisasi atas suatu perbuatan tertentu di dalam
masyarakat. Karena pengaruh perkembangan zaman, terjadi perubahan
pandangan dalam masyarakat, sesuatu yang semula dianggap bukan
sebagai tindak pidana, karena perubahan pandangan dan norma di
masyarakat, menjadi termasuk tindak pidana dan diatur dalam suatu
perundang-undangan hukum pidana.
2. Undang-undang yang ada dianggap tidak memadai lagi terhadap
perubahan norma dan perkembangan teknologi dalam suatu masyarakat,
sedangkan untuk perubahan undang-undang yang telah ada dianggap
memakan banyak waktu.
3. Suatu keadaan yang mendesak sehingga dianggap perlu diciptakan suatu
peraturan khusus untuk segera menanganinya.
4. Adanya suatu perbuatan yang khusus dimana apabila dipergunakan
proses yang diatur dalam peraturan perundang-undangan yang telah ada
akan mengalami kesulitan dalam pembuktian. 34
maupun Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) atau lex specialis
35Ibid
113
114