Anda di halaman 1dari 12

RESUME

Oleh : Sulailatur Rof’iyah

ANALISIS MASALAH DALAM ASUHAN KEBIDANAN DI KOMUNITAS

A. Definisi Analisis Masalah

Analisis masalah merupakan proses sistematis untuk melihat suatu keadaan atau masalah
social secara obyektif dengan menempatkannya dalam konteks social yang lebih luas.

Analisis masalah dilakuakn dengan mengidentifikasi masalah utama dan mengembangkan


“pohon masalah” melalui analisis sebab-akibat. Cara analisis “pohon masalah” akan mengurai
penyebab-penyebab masalah utama hingga kita mengetahui akar penyebabnya.

Masalah adalah kondisi atau situasi di luar gagasan dan harapan. Di sini perlu dibedakan
antara masalah individual (personal problems) dan masalah social (social problems). Masalah
social adalah suatu kondisi social yang diluar harapan masyarakat, meresahkan masyarakat, dan
jika tidak diatasi akan berkonsekuensi negative lebih luas dan mengganggu kepentingan public.
Masalah social muncul karena adanya perbedaan antara yang ideal dengan yang actual, misalnya
ha katas pelayanan kesehatan yang dijamin UU bagi setiap orang dan diskriminasi dalam
pelayanan kesehatan terhadap orang miskin.

B. Situasi Kesehatan Ibu, Bayi, dan Anak Balita serta Kesehatan Reproduksi
Perempuan dan KB di Indonesia

Banyak masalah kebidanan yang terjadi di komunitas. Masalah tersebut antara lain adalah
Kematian ibu dan bayi, kehamilan remaja, unsafe abortion, tingkat kesuburan, pertolongan
persalinan oleh tenaga non kesehatan dan perilaku dan sosial budaya yang berpengaruh pada
pelayanan kebidanan komunitas. Angka kematian ibu di Indonesia masih tetap tinggi walaupun
sudah terjadi penurunan dari 307/100 ribu kelahiran hidup (SDKI/2002/2003) menjadi
263/100.000 kelahiran hidup dibandingkan dengan angka kematian ibu dinegara tetangga dekat.

Kehamilan pada masa remaja dan menjadi orang tua pada usia remaja berhubungan secara
bermakna dengan resiko medis dan psikososial, baik tehadap ibu maupun bayinya.

Unsafe abortion adalah abortus yangdilakukan oleh orang yang tidak terlatih/ kompeten
sehingga menimbulkan banyak komplikasi bahkan kematian. Beberapa faktor yang
mempengaruhi tingkat kesuburan pada wanita adalah:wanita karier, umur, obesitas, gaya hidup
dan pengaruh lingkungan. Faktor yang mempengaruhi seorang ibu untuk melahirkan dengan
tenaga non kesehatan atau dukun adalah Faktor ekonomi, keterbatasan bidan di desa dan alasan
jarak ke tempat pelayanan.

PMS adalah singkatan dari Penyakit Menular Seksual,seperti Gonorrhea, Shypillis, AIDS
dan Herpes genitalis.

MASALAH-MASALAH KEBIDANAN APA SAJA YANG ADA DI MASYARAKAT?

a. Kematian ibu dan bayi

1) Kematian ibu

Angka kematian ibu di Indonesia lebih tinggi dibandingkan dengan kematian ibu di
ASEAN. Berdasarkan data SDKI (2007) 228/100.000 kelahiran hidup. Sedangkan angka
kematian bayi adalah 35/1000 kelahiran hidup. Angka kematian ibu di Thailand sebesar
129/100.000, Malaysia sebesar 39/100.000 dan Singapura sebesar 6/100.000. Diharapkan pada
tahun 2015 angka kematian ibu bisa ditekan hingga 115/100.000 kelahiran hidup.

Kalau bicara tentang kematian ibu maka kita akan berfikir, apa penyebab kematian ibu?
Beberapa faktor yang dapat menyebabkan kematian ibu antara lain adalah:

1. Terlambat mengenal tanda bahaya.

2. Terlambat mencapai fasilitas.

3. Terlambat mendapat pertolongan yang adekuat di fasilitas kesehatan.

4. Seorang ibu yang terlalu muda untuk punya anak yaitu dibawah 20 tahun.

5. Hamil terlalu tua diatas 35 tahun yang berbahaya bagi ibu dan janin.

6. Lebih dari 3 kali melahirkan atau terlalu rapat jarak melahirkan.

Faktor risiko tinggi ialah faktor yang merupakan penyebab langsung dari kematian ibu hamil
dan bersalin serta bayi.

Kriteria faktor risiko tinggi dapat dilihat pada :

• Tinggi Perdarahan selama kehamilan.

• Panas tinggi atau infeksi .

• Eklampsi.

• Kelainan letak bayi dalam kandungan Kematian ibu paling banyak terjadi karena masalah
perdarahan.
Karena itu, pemerintah juga mencoba membantu menekan AKI dan AKB dengan
menerapkan pengetahuan ke berbagai bidan dan ibu-ibu yang hamil mengenai penggunaan tablet
misoprostol dalam mencegah perdarahan. Alternatif dari MNH ini ternyata mampu membuat
ibu-ibu hamil bisa mengerti. Penggunaan tablet itu berhasil mengatasi perdarahan pada 92 persen
persalinan tanpa bidan.

Beberapa faktor yang meletar belakangi risiko kematian di atas adalah kurangnya partisipasi
masyarakat yang disebabkan :

1. Tingkat pendidikan ibu rendah.

2. Kemampuan ekonomi keluarga rendah.

3. Kedudukan sosial budaya yang tidak mendukung.

4. Beberapa prilaku tidak mendukung yang juga bisa membawa risiko.

Fakta yang ada Sebanyak 16,6% perempuan menolak kehamilannya. Pasangan yang tidak
ingin anak lagi (4,6%) atau menunda punya anak (4%). Upaya aborsi sela- lu menempatkan
perempuan dalam situasi hidup dan mati. Selain jumlah anemia ibu hamil sangat tinggi (40%),
rendahnya partisipasi dalam program keluarga berencana (KB) pasca persalinan (19,1%)
mengakibatkan kehami- lan yang tidak diinginkan.

2. Kematian Bayi

Angka kematian bayi baru lahir di Indonesia menurut The World Health Re- port 2005
adalah 20/1.000 kelahiran hidup (SDKI 2002/2003). Berarti seti- ap hari ada 246 bayi meninggal,
setiap jam 10 bayi baru lahir meninggal dan setiap tahun ada 89.770 bayi baru lahir meninggal.
Dibandingkan dengan negeri tetangga, Filipina hanya 18/1.000, Srilanka hanya 11/1.000, dan
Singapura 1/1.000. Kematian bayi lahir sebesar 79% terjadi setiap Minggu pertama kelahiran
terutama pada saat persalinan. Sebanyak, 54 % terja- di kematian ditingkatan keluarga dan
sebagaian besar tidak memperoleh layanan rujukan.

3. Kehamilan pada masa remaja

Apa saja faktor-faktor yang dapat mengakibatkan meningkatnya risiko kehamilan dan
kehidupan keluarga yang kurang baik?

1) Kondisi fisiologis dan psikososial intrinsik remaja,

2) Faktor-faktor sosiodemografi seperti kemiskinan, pendidikan yang rendah, belum


menikah, dan asuhan pranatal yang tidak adekuat.

Dari sudut kesehatan obstetri, hamil pada usia remaja memberi resiko komplikasi yang
mungkin terjadi pada ibu dan anak seperti : anemia, pre-eklam- sia, eklamsia, abortus, partus
prematurus, kematian perinatal, perdarahan dan tindakan opetatif obstetric lebih sering
dibandingkan kehamilan pada golongan usia 20 tahun keatas.

Penelitian di bagian obstetri dan Ginekologi RSCM.FKUI. 1948 mendapatkan kejadian


patologi kehamilan usia remaja 22,31 permil dibandingkan de ngan di usia 20-30 tahun sebesar
8,36 permil ; angka kematian perinatal 109,68 permil dibandingkan 51,54 permil dan resiko
kehamilan dan persali- nannya 2,4 kali lebih tinggi pada kehamilan remaja dibandingkan
kehamilan di usia 20-30 tahun. Kehamilan usia remaja memberikan gambaran bahwa perempuan
tersebut baru memperoleh pendidikan 9 tahun, tamat SLTP atau putus sekolah SLTA hal ini akan
mempengaruhi banyak hal seperti per- awatan anak, pendidikan anak, pengembangan fisik serta
mental anak dan juga kehidupan social keluarga secara keseluruhan.

Gejala yang sering kita lihat dan kemudian menimbulkan masalah adalah:

a) Hubungan seks pranikah. Ketidaksiapan remaja mengatasi kehamilan yang


diakibatkannya,telah memicu masalah yang luas:tindakan aborsi,tindakan kekejaman terhadap
bayi yang baru dilahirkanatau masalah dalam perawatan anak.Dampak social lain adalah adopsi
oleh orang tua remaja dengan konsekuensi social dan tambahan beban ekonomis.

b) Ketakutan yang tidak wajar. Misalnya gadis remaja yang ketakutan selaput daranya robek
akibat olah raga, remaja pria yang merasa berdosa dan depresif karena melakukan
masturbasi/onani

c) Gangguan kesehatan akibat ketidaktahuan, disertai kurangnya pengendalian diri dan


kurangnya bimbingan

d) Tingkat kebugaran yang rendah. Lambatnya perkembangan prestasi olahraga merupakan


salah satu indikasi dari derajat kesegaran jasmani kelompok remaja.

Kurangnya pengetahuan seks dan kehidupan rumah tangga serta adanya istiadat yang merasa
malu kawin tua (perawan tua) menyebabkan mening- katnya perkawinan dan kehamilan usia
remaja. UU perkawinan no 1 1974 dengan usia kawin perempuan 16 tahun menyebabkan
perkawinan sah meningkat. Temuan Biro Pusat Statistik 1980 bahwa 6,40 % perempuan
menikah pertama kali pada usia 16 tahun, 23,89 % usia 17-18 tahun dan 39,70% menikah pada
usia 19 tahun.

Salah satu resiko dari seks pranikah atau seks bebas pada remaja adalah terjadi kehamilan
yang tidak diharapkan ( KTD ).

Dua hal yang bisa dan biasa dilakukan remaja jika mengalami KTD yaitu :

Mempertahankan kehamilan dengan risiko:


a) Resiko fisik. Kehamilan pada usia dini bisa menimbulkan kesulitan dalam persalinan
seperti perdarahan, bahkan bisa sampai pada kematian.

b) Resiko psikis atau psikologis. Ada kemungkinan pihak perempuan menjadi ibu tunggal
karena pasangan tidak mau menikahinya atau tidak mempertanggungjawabkan perbuatannya.

c) Resiko sosial.salah satu resiko social adalah berhenti atau putus sekolah atas kemauan
sendiri dikarenakan merasa malu atau cutimelahirkan.

d) Resiko ekonomi. Merawat kehamilan, melahirkan melahirkan bayinya atau anaknya yang
membutuhkan biaya yang besar.

Mengakhiri kehamilan (aborsi) dengan risiko:

a) Resiko fisik. Perdarahan dan komplikasi lain merupakan salah satu resiko aborsi. Aborsi
yang berulang selain bisa mengakibatkan komplikasi juga bisa mnyebabkan kamandulan. Aborsi
yang dilakukan secara yang tidak aman bisa berakibat fatal yaitu kematian.

b) Resiko fsikis. Pelaku aborsi sering kali mengalami perasaan-perasaan takut, tertekan atau
stress trauma mengingat proses aborsi dan kesakitan.

c) Resiko social. Ketergantungan pada pasangan sering kali menjadi lebih besar karena
perempuan merasa sudah tidak perawan, pernah mengalami KTD dan aborsi.

d) Resiko ekonomi. Biaya aborsi cukup tinggi, bila terjadi komplikasi maka biaya
semangkin tinggi.

Angka aborsi di Indonesia diperkirakan mencapai 2,3 juta pertahun, seki- tar 750.000
diantaranya dilakukan oleh remaja. Program kesehatan repro- duksi yang dikembangkan
pemerintah hanya untuk mereka yang sudah menikah dan tidak merujuk pada kebuthan yang
terkait dengan informasi seksualitas, edukasi dan penyediaan pelayanan. Diperlukan peraturan
yang lebih fleksibel agar pemerintah memberikan kekeluasaan pada lembaga-lembaga swadaya
masyarakat untuk menggarap bidang “ abu-abu “, misalnya aborsi aman dan penyediaan
kontrasepsi bagi remaja muda yang belum menikah.

Sejak Konferensi Internasional Kependudukan dan Pembangunan tahun 1994 di Kairo,


kesehatan reproduksi merupakan salah satu Isu penting dalam pembangunan kesehatan global.
Bahkan dalam Tujuan Pembangunan Millenium (MDGs) yang harus dicapai oleh setiap Negara
termasuk Indonesia sampai dengan tahun 2015, sejumlah indicator berkaitan dengan kesehatan
reproduksi. Pemerintahan Indonesia mempunyai sejumlah target dalam bidang kesehatan yaitu :

(1) mengurangi 2/3 dari angka tingkat kematian anak dibawah usia lima tahun dari 97 (tahun
1990) menjadi 32.

(2) mengurangi ¾ dari angka kematian ibu dari 390 (tahun 1990) menjadi 102
(3) meningkatkan pertolongan persalinan oleh tenaga kesehatan terlatih dari 40, 7 % menjadi
90%

(4) menghentikan dan mengurangi laju penyebaran HIV/AIDS, malaria serta penyakit menular
utama lainnya.

Bagi Indonesia, tantangan terberat yang harus dihadapi dalam mencapai sasaran MDGs
tahun 2015 di bidang kesehatan adalah:

1. Kondisi social ekonomi masyarakat yang umumnya rendah, sehingga menjadi


kendala untuk mendapatkan akses pelayanan kesehatan yang layak.

2. Tingkat pendidikan yang berhubungan dengan kesehatan, dimana targetan MDGs


2015 berusaha mencapai pendidikan dasar untuk semua sementara angka buta huruf
di Indonesia masih besar, data susenas 2012 usia 15 tahun ke atas memiliki 6,9%.

3. Kondisi geografis, terutama di wilayah-wilayah pedesaan yang sulit dijangkau oleh


akses pelayanan kesehatan sehingga mempengaruhi kesiapan penempatan tenaga
kesehatan (dokter dan bidan).

4. Kebijakan pemerintahan di bidang kesehatan yang lebih memfokuskan pada tindakan


kuratif daripada preventif dan promotif, yang dapat dilihat dari besaran proporsi
anggaran untuk pelayanan kesehatan masyarakat dengan upaya preventif dan
promotif dibandingkan dengan proporsi anggaran untuk rumah sakit dengan upaya
kuratif yang belum seimbang.

5. Konsep dan strategis kebijakan pengelolaan kesehatan yang dilakukan selama ini
lebih difokuskan pada program-program kesehtaan, sementara masalah determinan
dan persoalan-persoalan rill yang terjadi di masyarakat kurang mendapat prioritas.

Berbicara tentang hak dan kesehatan reproduksi ada 12 hak reproduksi dan seksual meliputi:

- Hak untuk hidup

- Hak mendapatkan kebebasan dan keamanan

- Hak atas kesetaraan dan terbebas dari segala bentuk diskriminasi

- Hak privasi

- Hak kebebasan berpikir

- Hak atas informasi dan edukasi

- Hak memilih untuk menikah atau tidak serta untuk membentuj dan merencanakan
sebuah keluarga
- Hak untuk memutuskan apakah ingin dan kapan punya anak

- Hak atas pelayanan dan proteksi kesehatan

- Hak untuk menikmati kemajuan ilmu pengetahuan

- Hak atas kebebasan berserikat dan berpartisipasi dalam arena politik

- Hak untuk terbebas dari kesakitan dan kesalahan pengobatan

C. Faktor Determinan Kesehatan Reproduksi

Dalam ilmu kesehatan masyarakat kerangka piker Hendrik L. Blum menjadi dasar pemetaan
masalah dan factor-faktor determinan yang mempengaruhi. Masalah kesehatan terkait dengan
derajat kesakitann yang terdiri dari kesakitan (morbiditas) dan kematian (mortalitas). Determinan
derajat kesehatan adalah factor yang mempengaruhi terjadinya kesakitan dan kematian yaitu (1)
genetika dan kependudukan (2) lingkungan kesehatan (3) perilaku kesehatan dan (4) program
dan pelayanan kesehatan.

Genetika (keturunan) /
kependudukan

Derajat kesehatan Program dan sarana


Lingkungan
Mordibitas dan pelayanan kesehatan
kesehatan
Mortalitas

Perilaku kesehatan

Kondisi Kesehatan Reproduksi di Indonesia


Tujuan Pembangunan Millenium (MDGs) yang harus dicapai oleh setiap negara,
termasuk Indonesia sampai dengan tahun 2015, berkaitan dengan peningkatan kesehatan
masyarakat adalah:

(1) mengurangi 2/3 dari angka tingkat kematian anak dibawah usia lima tahun,

(2) mengurangi ¾ dari angka kematian ibu,

(3) menghentikan dan mengurangi laju penyebaran HIV/AIDS, malaria serta penyakit menular
utama lainnya.

Bagi Indonesia, tantangan terberat yang harus dihadapi dalam mencapai sasaran MDGs tahun
2015 di bidang kesehatan adalah:

1. Kondisi sosial ekonomi masyarakat yang umumnya rendah, sehingga menjadi kendala untuk
mendapatkan akses pelayanan kesehatan yang layak.

2. Kondisi geografis, terutama di wilayah-wilayah pedesaan yang sulit dijangkau oleh akses
pelayanan kesehatan sehingga mempengaruhi kesiapan penempatan tenaga kesehatan (dokter
dan bidan).

3. Kebijakan pemerintah di bidang kesehatan yang lebih memfokuskan pada tindakan kuratif
daripada preventif dan promotif, yang dapat dilihat dari prioritas pendirian rumah-rumah sakit di
kota-kota Kabupaten/Propinsi.

4. Konsep dan strategi kebijakan pengelolaan kesehatan yang dilakukan selama ini lebih
difokuskan pada program-program kesehatan, sementara masalah determinan dan persoalan-
persoalan riil yang terjadi di masyarakat kurang mendapat prioritas.

Dampak dari kebijakan pengelolaan kesehatan selama ini yang berlangsung secara top
down telah mempengaruhi tingkat partisipasi masyarakat, dalam mengambil peran dan inisiatif
dalam sistem pengelolaan kesehatan. Dalam banyak hal, posisi masyarakat selama ini hanya
diperankan sebagai pendukung kegiatan-kegiatan kesehatan melalui proses mobilisasi massa,
misalnya pada saat program posyandu, pekan imunisasi nasional, dan kegiatan seremonial
lainnya.

Lambatnya upaya penurunan AKI dan AKB, serta berbagai penyakit epidemik lainnya di
Indonesia merupakan indikator kurangnya perhatian pemerintah dan pelibatan partisipasi
masyarakat dalam pengelolaan system pengelolaan kesehatan. Berdasarkan Survey Demografi
Kesehatan Indonesia (SDKI) 2002-2003 AKI adalah 307 per 100.000 KH (MOH, 2007) dan
berdasarkan SDKI 2007 turun menjadi 228 per 100.000 KH. Penyebab utama kematian ibu
(46,7%) disebabkan komplikasi yang terjadi selama atau segera setelah persalinan. Semua itu
akibat 65,7% ibu hamil di pedesaan yang dirawat oleh dukun bayi dan anggota keluarga yang
tidak terlatih serta tidak mendapatkan pelayanan kebidanan esensial yang dibutuhkan. Akibat
keterlambatan pertolongan ini, 27% kematian ibu disebabkan oleh pendarahan pada masa nifas,
disusul oleh eklampsia (23 %), infeksi (11%) dan selebihnya karena penyebab lain (SDKI 2007;
SKRT 2001).

Sekitar 15% dari semua kehamilan akan membutuhkan pelayanan kebidanan akibat
komplikasi yang membahayakan jiwa ibu dan bayinya. Akan tetapi, pelayanan kesehatan dasar
yang menyangkut kebidanan darurat yang komprehensif hanya ada di rumah sakit Kabupaten
dan pusat-pusat pelayanan rujukan. Puskesmas yang merupakan pusat pelayanan kesehatan dasar
yang paling dekat dengan masyarakat sering kali tidak dilengkapi dengan pelayanan kebidanan
darurat yang komprehensif. Pengabaian fungsi Puskesmas sebagai pusat pelayanan kebidanan
darurat yang komprehensif akan berdampak pada upaya penurunan kematian ibu di Indonesia.

Angka Kematian Bayi dan Anak juga tidak jauh berbeda dengan Angka Kematian Ibu
(MMR). Berdasarkan Data SDKI 2007, Angka Kematian Bayi (IMR) masih sebesar 34 per 1000
Kelahiran Hidup. Penyebab utama dari kematian bayi adalah tetanus neo partum (44,8%), ISPA (
33,2%) dan selebihnya karena penyebab lain. Sementara jumlah bayi dengan Berat Badan Lahir
Rendah (BBLR) sebanyak 15,6% dari jumlah kelahiran. Penyebab utama dari BBLR adalah
kekurangan gizi sebelum dan selama masa kehamilan.

Selain persoalan kesehatan perempuan, bayi dan anak balita, penyakit lain yang
mengancam kelangsungan hidup masyarakat pedesaan pada usia produktif adalah TBC. Pada
Survey Kesehatan Rumah Tangga (SKRT) tahun 2002, penyakit TBC masih menduduki
peringkat kedua penyebab kematian pada penduduk kelompok usia 15-34 tahun. Peringkat yang
sama juga terjadi pada kelompok umur 35-44 tahun. Penyakit epidemik lainnya yang
menunjukkan kecenderungan meningkatkan kematian di berbagai wilayah di Indonesia pada tiga
tahun terakhir adalah malaria dan deman berdarah. Ironinya, banyak kasus TBC, malaria dan
deman berdarah yang tidak terdeteksi lebih dini karena kurangnya akses terhadap fasilitas
pelayanan kesehatan serta biaya tes yang tinggi.

Persoalan kesehatan masyarakat, khususnya kesehatan perempuan di Indonesia semakin


kompleks akibat krisis ekonomi yang terjadi pada tahun 1998, yang dampaknya masih dirasakan
sampai saat ini. Naiknya berbagai kebutuhan pokok dan dihapusnya subsidi pelayanan kesehatan
dan pendidikan akan semakin mempersulit kehidupan masyarakat, terutama yang berada di
pedesaan dengan pendapatan di bawah $ 1 per hari.

Rendahnya derajat kesehatan masyarakat Indonesia, tampak dari posisi kesehatan


masyarakat Indonesia yang menduduki ranking 63 dari 178 negara (Kompas, 2012). Kondisi ini
bila tidak segera dilakukan upaya-upaya strategis akan semakin memperburuk keadaan, dan akan
berdampak serius dalam peningkatan kualitas hidup masyarakat dalam jangka panjang.
D. Derajat Kesehatan

Derajat kesehatan menunjukan pada suatu kondisi yang diukur pada kesakitan dan kematian.
Untuk mengetahui beberapa besar derajat kesehatan angka kesakitan digunakan perhitungan
kuantitatif yaitu prevalansi dan insidens.

Prevalensi = Jumlah kasus baru dan lama dalam kurun waktu tertentu. Misalnya, kalau dalam
satu tahun ada 100 orang yang sakit dan jumlah 100.000 penduduk maka angka prevalens di
daerah tersebut pada adalah 0,1%.

Insidens = Jumlah kasus baru dalam kurun waktu tertentu (dalam persen). Misalnya, ada 50
orang yang sakit diantara 1000 penduduk selama 1 bulan, maka insidens sakit daerah tersebut
adalah 5%.

Untuk mengetahui angka kematian, indicator kuantitatif yang biasa digunakan adalah :

1. CDR (Crude Death Rate atau angka kematian kasar)

2. ASDR (Age Specific Death Rate atau angka kematian kelompok umur tertentu)

3. IMR (Infant Mortality Rate atau Angka Kematian Bayi= AKB)

4. MMR (Maternal Mortality Rate atau Angka Kematian Ibu=AKI)

5. DSDR (Disease Specific Death Rate atau Angka Kematian yang disebabkan oleh
penyakit tertentu).

Contoh Data :

Masalah Kesehatan Ibu dan Anak tahun 2007

Masalah kesehatan Jumlah yang Jumlah kelahiran Persentase


dilaporkan dan total
tercatat

Kematian Ibu 2 200 1

Kematian Bayi 5 200 2,5

BBLR 30 200 15

Faktor diatas menunjukan cara yang sederhana dalam menghitung jumlah dan presentase kasus
kematian ibu dan bayi. Yang terpenting dalam hal ini adalah Bidan harus memiliki data yang
akurat sehingga dapat diketahui pasti jumlahnya, dan akan memudahkan upaya penelusuran dan
intervensi kegiatan yang akan dilakukan. Perlu diingat bidan harus memiliki catatan setahun
jumlah ibu hamil di Desa, mulai dari pemeriksaan awal, pemeriksaan kehamilan, melahirkanm
dan perwatan bayi.
E. Genetika Kependudukan

Genetika atau keturunan ini sangat memiliki pengaruh dalam menentukan kesehatan seseorang,
ini terlihat dari berbagai penyakit tidak menular seperti diabetes, gangguan tekanan pembuluh
darah. Factor ini memang tidak mutlak karena keturunan, ada factor lain yang ikut memicu
percepatan seperti pola makan dan stress.

Pola penyakit ini menjadi kecendrungan jika suatu wilayah memiliki kesamaan pola sakitnya,
sehingga elemen-elemen demografi kependudukan menjadi penting untuk ditelusuri, dibawah
beberapa elemen yang dapat dilihat:

1. Jumlah penduduk berdasarkan umur dan jenis kelamin

2. Pertumbuhan penduduk (lahir dan Mati)

3. Mobilitas penduduk (pindah dan masuk)

4. Jumlah penduduk rentan (penduduk miskin, ibu hamil, bayi, balita, usia lanjut,
pekerja seks komersial, pekerja pabrik, jumlah wanita usia subur)

Daftar Pustaka
Yayasan Pendidikan Kesehatan Perempuan berkerjasama dengan Pusat Pendidikan dan Pelatihan
Tenaga Kesehatan KEMENKES RI dan IBI. 2015. Perspektif Gender dan HAM dalam Asuhan
Kebidanan Komunitas Modul Mahasiswa. Jakarta: Yayasan Pendidikan Kesehatan Perempuan.

Anda mungkin juga menyukai