Anda di halaman 1dari 10

MAKALAH KASUS SISTEM SARAF

Dibuat untuk memenuhi salah satu tugas pengganti tutorial mata kuliah
Keperawatan Medikal Bedah (KMB)

Disusun oleh:

Muntiq Jannatunna’im 220110170129

FAKULTAS KEPERAWATAN

UNIVERSITAS PADJADJARAN

SUMEDANG

2019

1
KATA PENGANTAR

Puji dan syukur kami panjatkan ke hadirat Allah SWT yang telah memberikan rahmat
dan hidayah-Nya, sehingga kami dapat menyelesaikan Makalah Kasus pada sistem saraf.
Tidak lupa kami juga mengucapkan terima kasih atas bantuan dari pihak yang telah
berkontribusi dengan memberikan sumbangan baik materi maupun pikirannya. Penyusunan
makalah ini untuk memenuhi salah satu tugas mata kuliah Keperawatan Medikal Bedah
(KMB).
Terlepas dari semua itu, kami menyadari sepenuhnya bahwa masih ada kekurangan
baik dari segi susunan kalimat maupun tata bahasanya. Maka dari itu, kami sangat
mengharapkan kritik dan saran dari pembaca untuk melengkapi segala kekurangan dan
kesalahan makalah ini.
Akhir kata kami berharap semoga makalah ini dapat menambah wawasan dan
pengetahuan khususnya dalam bidang kesehatan terhadap pembaca.

Jatinangor, 25 Juni 2019

Penyusun

2
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR ...................................................................................................2


DAFTAR ISI ..................................................................................................................3
BAB I ............................................................................................................................4
KASUS GBS...................................................................................................................4
BAB II.............................................................................................................................6
KASUS MENINGITIS...................................................................................................6
BAB III...........................................................................................................................8
KASUS STROKE...........................................................................................................8
DAFTAR PUSTAKA.....................................................................................................9

3
BAB I
KASUS GUILLAIN BARRE SYNDROME

Ny. E, berusia 25 tahun baru di rawat  dengan diagnosa Guillain Barre Syndrome (GBS).
Hasil pengkajian didapatkan pasien tampak lemah, tidak dapat menggerakkan kedua
extremitas, sulit berbicara, mengunyah, nervus VII (facialis), IX dan X tampak ada gangguan,
tekanan darah 110/70 mmHg, nadi 80x/menit, frekuensi napas 18 x/menit.
Pengkajian :
- Keluhan utama : sulit mengunyah dan menelan
- TD 110/70 mmHg saat berbaring dan 80/60 mmHg saat duduk.
- Nadi 80 x/mt
- RR 18 x/mt
- S 36.8 °C,
- Kekuatan otot extremitas bawah 2
- Reflex tendon dalam menurun dan nyeri.

Pembahasan kasus dari jurnal

Guillain-Barré syndrome atau GBS adalah penyakit langka yang menyerang sistem
saraf tepi. Populasi yang terjadi di dunia berdasarkan American Academy of Neurology
(AAN) guideline on Guillain-Barré syndrome, terdapat 1 sampai 4 orang penderita per
100.000 populasi di seluruh dunia per tahunnya. Penyakit ini dapat diderita oleh pria maupun
wanita dengan berbagai usia dan tidak berpengaruhi ras. Namun, pria memiliki
kecenderungan 1,5 kali lebih banyak dari wanita dan angka insiden tertinggi pada usia
produktif antara 30-50 tahun. Faktor resiko yang terjadi akibat adanya riwayat infeksi bakteri
atau virus.
Menurut jurnal Guillain-Barré Syndrome:Life-threatening Rare Disease with Acute-
onset, GBS diklasifikasikan berdasarkan jenis, gejala klinis dan patofisiologi. Jenisnya
sendiri ada AIDP (Acute Inflammatory Demyeliniting Polyradiculoneuropathy), AMAN
(Acute Motor Axonal Neuropathy), AMSAN (Acute Motor and Sensory Axonal Neuropathy),
MFS (Miller Fisher Syndrome), dan APN (Acute Pandysautonomic Neuropathy). Kelima
jenis tersebut memiliki gejala klinis dan patofisiologi yang berbeda.
Untuk memastikan penyakit tersebut, dilakukan beberapa pengkajian. Dari jurnal
Gullain-barre Syndrome (GBS): a Review, pengkajian lebih lanjut dapat dilakukan antara
lain:
1. Serum biochemistry : urea dan elektrolit biasanya normal namun kreatin dapat naik.
2. Radiologi (CT Scan otak dan MRI) : untuk menyingkirkan gejala dan bukti dari
peningkatan tekanan intracarnial.
3. Lumbar puncture : meningkatkan protein level dan sel level pada CSF.

4
4. Tes fungsi pernapasan : Gas darah arteri dapat mengindikasikan kegagalan
pernapasan progresif.
Pengobatan biasanya berfokus pada supportive care dan memonitor pernapasan, cardiac
dan status elektrolit pasien. Supportive care untuk pasien dengan penyakit GBS berdasarkan
dengan studi observasi dan opini para ahli bahwa imunisasi tidak diekomendasikan pada GBS
fase akut, setelah satu tahun imunisasi tidak perlu ditahan, namun kebutuhan imunisasi harus
ditinjau secara individu. Untuk pengobatan lain, kortikosteroid belum terbukti membantu,
tetapi telah terbukti memperlambat pemulihan dari GBS, meskipun mereka digunakan ketika
gejalanya menjadi kronis. Sodium blocker sedang dipelajari untuk pengobatan GBS. Obat-
obat ini secara signifikan melindungi akson saraf dari kerusakan.
Untuk pasien GBS yang memiliki penyakit paru, dibutuhkan kerjasama multidisiplin
untuk menyesuaikan terapi yang diberikan kepada pasien. Terapi dada adalah terapi untuk
meningkatkan fungsi sistem pernapasan. Terapi ini juga termasuk postural drainase, perkusi
dada, latihan pernapasan, batuk, vibrasi dada dan latihan mobilitas dada.

5
BAB II
KASUS MENINGITIS

Seorang laki-laki, bernama Tn. H, 29 tahun, mengalami kecelakaan 3 tahun yang lalu, dan
terjadi fraktur basis cranii sehingga timbul otorhoe dan rhinorhoe, setelah dirawat lebih dari 3
bulan pasien dapat pulang ke rumah dengan beberapa gejala sisa. Dua hari yang lalu, pasien
kembali datang ke RS dengan keluhan sakit kepala hebat disertai mual dan muntah, serta
demam dan menggigil. Dia juga mempunyai riwayat batuk-batuk yang lama dan pernah
minum obat selama 3 minggu saja karena mual dan malas harus kontrol ke puskesmas.
Sekarang pasien dirawat dengan diagnosa klinis Meningitis dan rencana akan dilakukan LP
(lumbal Punctie) untuk menentukan penyebab meningitisnya.
Pengkajian:
Pemeriksaan saraf kranial yang dapat mempengaruhi fungsi makan dan didapatkan bahwa
Gag reflex (+), penghiduan dan pengecapan sensasinya berkurang.

Pembahasan kasus dari jurnal


Meningitis adalah penyakit yang diakibatkan oleh adanya peradangan pada selaput
pelindung otak dan sumsum tulang belakang. Penyakit ini memiliki angka moralitas tinggi
termasuk di Indonesia. Meningitis merupakan masalah yang serius sehingga dibutuhkan cara
yang akuran dan efisien untuk menanganinya.
Salah satu faktor resiko meningitis bakteri adalah jenis kelamin laki-laki. Pada
penelitian di Rural mozambique, laki-laki dan perempuan berbanding 3:1. Perbedaan usia dan
jenis kelamin memungkinkan karena adanya perbedaan mekanisme penyakit dan kekebalan
tubuh melawan organisme penyakit.
Pada jurnal Bacterial Meningeal Score (BMS) Sebagai Indikator Diagnosis
Meningitis Bakterialis di RSUP Dr. Sardjito Yogyakarta, dilakukan penelitian tentang
penggunaan Bacterial minengeal score untuk membedakan meningitis aseptik dan bakteri.
Hal tersebut bertujuan untuk mengetahui apakah BMS merupakan inikator yang baik untuk
menegakkan diagnosis atau tidak. Penelitian melibatkan 31 responden. Hasilnya, selama
kurun waktu 4 bulan penelitian menunjukkan BMS memiliki nilai sensitivitas yang paling
tinggi dibandingkan lainnya.
Untuk pasien Tuberkulosis atau TB, meningitis juga dapat terjadi karena adanya
kelainan neurologis. Walaupun telah diberikan adekuat, penyakit ini masih memiliki tingkat
moralitas yang tinggi. Umumnya meningitis tuberkulosis ini berhubungan dengan HIV. Jika
diagnosis meningitis sudah ditegakkan, pemberian terapi tidak menunggu hasil pemeriksaan
basil asam basa. Para ahli merekomendasikan untuk memberikan terapi obat anti tuberkulosis
pada pasien meningitis tuberkulosis.
Lumbar puncture atau pungsi lumbal adalah prosedur yang sering digunakan pada
instalasi gawat darurat. Dalam jurnal Lumbar puncture in the management of adults with
suspected bacterial meningitis—a survey of practice, dilakukan penelitian untuk menilain

6
penggunaan lumbar puncute. Hasilnya sebagian responden menganggap bahwa melakukan
CT Scan otak sebelum lumbar puncture berguna pada pasien syok meneningokokus.
Pemberian antibiotik dini dianggap penting, prioritas manajemen lainnya seperti terapi
oksigen, resusitasi volume, dan keterlibatan perawatan kritis tidak ditekankan.
Gambaran tingkat pengetahuan masayarakat tentang meningitis masih sedikit.
Masyarakat belum mengetahui apa penyakit meningitis dan bagaimana penyakit tersebut bisa
terjadi. Sebagian besar masyarakat juga menganggap lumbal puncture berbahaya karena
kurangnya informasi yang didapat.

7
BAB III
KASUS STROKE

Tn. T, 51 tahun, BB 80 kg, diantar oleh keluarga ke IGD karena saat pasien mandi
tiba-tiba jatuh dan tak sadarkan diri. Pada pengkajian didapatkan GCS 8 (E2 V2 M4 ), TD
200/100 mmHg, N 56 x/mt, RR 35 x/mt dangkal, gurgling (+), pupil isokor, reaksi cahaya +/
+. Perawat segera melakukan suctioning dan memberikan oksigen 5 liter/menit dengan canul
nasal. Setelah gurgling tidak terdengar, perawat mendengar suara nafas pasien menjadi
ngorok sehingga perawat memasang OPA.

Pembahasan kasus dari jurnal

Stroke merupakan penyakit terbanyak ketiga setelah penyakit jantung dan kanker.
Angka kematian penderita stroke di Amerika sebanyak 50-100 dari 100.000 penderita tiap
tahunnya. Untuk di negara ASEAN, penyakit ini merupakan masalah kesehatan utama. Di
Indonesia stroke ischemic merupakan paling banyak jenis yang diderita sebesar 52,9%.
Faktor yang menyebabkan stroke dibedakan menjadi faktor resiko yang dapat diubah
dan tidak dapat diubah. Faktor yang tidak dapat diubah seperti peningkatan usia dan jenis
kelamin laki-laki. Namun, pada penelitian yang dilakukan di London, terdapat 51,6%
pederita stroke berasal dari jenis kelamin perempuan. Usia yang memiliki kejadian tertinggi
stroke adalah diatas 50 tahun, sisanya terjadi dibawah 50 tahun dan puncaknya di usia 51-60
tahun.
Untuk faktor resiko yang dapat diubah adalah hipertensi atau tekanan darah tinggi,
obesitas, diabetes melitus dan dislipidemia.
1. Hipertensi atau tekanan darah tinggi memiliki resiko lebih besar diikuti dengan
pre hipertensi dan tekanan darah normal.
2. Obesitas juga menjadi faktor utama dalam peningkatan resiko penyakit stroke.
Untuk mencegahnya, dapat dilakukan monitor asupan makan dan olah raga
teratur.
3. Diabetes melitus. Seseorang yang menderita diabetes melitus memiliki resiko dua
kali lipat terkena stroke dari orang yang tidak memiliki diabetes.
4. Displidemia. LDL membawa kolesterol dari hati ke sel-sel. Jika kadarnya tinggi
akan mengakibatkan terjadinya penumpukan kolesterol di dinding pembuluh
darah dan memicu terjadinya pengerasan dinding pembuluh darah yang berujung
pada atherosklerosis.
Pengobatan diarahkan pada pengendalian faktor risiko seperti hipertensi, diabetes
melitus, penyakit jantung untuk mempercepat penyembuhan. Selain itu perlu ditingkatkan
kewaspadaan perawat terhadap kondisi pasien terutama pasien yang memiliki faktor risiko

8
dan pasien yang sudah menderita stroke, sehingga kejadian stroke dan stroke berulang dapat
dihindarkan.

9
DAFTAR PUSTAKA

Arydina, Herini, E. S., & Triono, A. (2014). Bacterial Meningeal Score (BMS) Sebagai
Indikator Diagnosis Meningitis Bakterialis di RSUP Dr. Sardjito Yogyakarta. Sari
Pedatri, 274-280.
Clark, T., & Duffell, E. (2015). Lumbar puncture in the management of adults with suspected
bacterial meningitis—a survey of practice. The British Infection Society, 315-319.
Darotin, R., Nurdiana, & Nasution, T. H. (2017). ANALISIS FAKTOR PREDIKTOR
MORTALITAS STROKE HEMORAGIK DI RUMAH SAKIT DAERAH dr.
SOEBANDI JEMBER. NurseLine Journal , 134-145.
Estridge, R., & Iskander, M. (2015). Understanding Guillain-Barré syndrome . Journal of the
American Academy of Physician Assistants , 19-22.
Ghani, L., Delima, & Mihardja, L. K. (2015). DOMINANT RISK FACTORS OF STROKE
IN INDONESIA. Buletin Penelitian Kesehatan, 49-58.
Intan, A. D., & Ratnawati, A. (2015). Pulmonnary Rehabilitation in Guillain-Barre Syndrome
(GBS). INDOPJMR, 49-58.
Mardhiah, A. (2015). PERSEPSI PASIEN STROKE TENTANG DUKUNGAN
PASANGAN DI BANDA ACEH. Idea Nursing Journal, 62-73.
Pangandaheng, E. A., & Mawuntu, A. H. (2017 ). Gambaran Tingkat Pengetahuan dan
Perilaku Masyarakat Tentang Penyakit Meningitis di Kelurahan Soataloara II
Kecamatan Tahuna Kabupaten Kepulauan Sangihe . Jurnal e-Clinic (eCl), 114-121.
Pemula, g., & Apriliana, E. (2016). Penatalaksanaan yang Tepat pada Meningitis
Tuberkulosis. J Medula Unila, 50-55.
Tandel, H., Vanza, J., Pandya, N., & Jani, P. (2016). GUILLAIN-BARRÉ SYNDROME
(GBS): A REVIEW . EUROPEAN JOURNAL OF PHARMACEUTICAL AND
MEDICAL RESEARCH, 366-371.
Wahyu, F. F. (2018). Guillain-Barré Syndrome: Penyakit Langka Beronset Akut yang
Mengancam Nyawa . Medula, 112-116.
Wayunah, & Saefulloh, M. (2016). ANALISIS FAKTOR YANG BERHUBUNGAN
DENGAN KEJADIAN STROKE DI RSUD INDRAMAYU. Jurnal Pendidikan
Keperawatan Indonesia, 65-76.

10

Anda mungkin juga menyukai