Anda di halaman 1dari 6

MANHAJ

Akhir akhir ini kita sering mendengar kata "Manhaj" dilontarkan,


khususnya di kalangan juru dakwah dan orang orang yang mulai komitmen
dengan jalan hidayah. Menjadi isu dalam menilai sebuah gerakan dakwah
atau pelaku dakwah itu sendiri. Seringkali istilah ini disalah gunakan akibat
tidak memahami esensi manhaj tersebut, hanyalah sebuah kesimpulan
pribadi dari hasil pengamatan terhadap sikap sikap orang yang
dijadikannya sebagai rujukan dalam beragama. Sebelum kita menguraikan
beberapa kesalahan dalam memahami dan menerapkan istilah ini, perlu kita
ketahui apa makna dan esensi manhaj.

Defenisi Manhaj
Menurut bahasa, manhaj berarti jalan/metode yang jelas atau jalan yang
lurus [Lisanul 'arab:2/383]. Allah berfirman dalam [QS. al Maidah:48]:
”Untuk tiap tiap umat diantara kamu kami berikan syariat (aturan) dan
minhaj (jalan yang terang)”. Ibnu Katsir berkata: Manhaj adalah jalan
(cara) yang jelas dan mudah [Tafsir al Qur'an:3/120]. Demikian juga yang
disebutkan oleh Ibnu Hajar dalam [Fathul bari:1/48]. Dalam hadits Nabi,
kita dapati juga kata manhaj, beliau bersabda: ”Kemudian akan ada
khilafah berdasarkan manhaj (metode) kenabian” [HR. Ahmad, no.18406].
Maksud "khilafah berdasarkn metode kenabian" adalah mereka
menjalankan pemerintahan sesuai dengan metode nabi, dengan
menegakkan hukum Allah dengan komitmen terhadap sunnah Rasulullah -
shallallahu alaihi wa sallam-, sebagaimana yang dipraketekkan oleh para
khulafaur rasyidin; Abu Bakr, Umar, Utsman dan Ali -radhiyallahu anhum-
. Berkata Humaid bin Zanjawaih: ”Khalifah yang hakiki adalah mereka
yang membuktikan gelar ini dengan amalannya, berpegang teguh dengan
sunnah Rasulullah -shallallahu alaihi wa sallam- setelah wafatnya” [al
Bagawi, Syarhus sunnah:14/75].
Dengan demikian, manhaj adalah metode yang dibangun di atas aturan
aturan dan kaidah yang jelas. Manhaj, ada yang hak dan ada yang batil.
Manhaj yang bersumber dari al Qur'an dan hadits Rasulullah -shallallahu
alaihi wa sallam- berdasarkan pemahaman sahabat beliau dan orang orang
yang mengikuti jejak mereka dengan baik itulah manhaj yang hak (benar),
sementara manhaj apa saja yang menyelisihinya adalah manhaj batil. Inilah
yang diperintahkan oleh Rasulullah -shallallahu alaihi wa sallam- dalam
sabdanya: ”Pegang teguhlah pada sunnah (jalan/metode/manhaj-pen)ku dan
sunnah khulafaur rasyidin yang mendapatkan petunjuk setelahku, gigitlah
ia dengan gigi geraham” [HR. Abu Daud, no.4609]. Dan ketika ditanya
tentang (manhaj) kelompok selamat, beliau menjawab: ”(Metode/manhaj)
yang sesuai dengan apa yang aku dan sahabatku berada di atasnya hari ini”
[HR. Hakim, no.444].
Antara Manhaj dan Aqidah
Dari hadis Rasulullah -shallallahu alaihi wa sallam- di atas, banyak diantara
ulama kita yang memaknai manhaj dengan akidah, tidak membedakan
antara keduanya. Ketika Dewan fatwa Lajnah daimah yang diketuai oleh
syaikh Abdullah bin Baz ditanya tentang akidah dan manhaj, dijawab:
”Akidah seorang muslim dan manhajnya adalah satu, yaitu apa yang
diyakininya dalam hati, diucapkan oleh lisan dan dikerjakan oleh anggota
tubuhnya, tentang keesan Allah dalam rububiyah, uluhiyah dan asma' dan
sifat-Nya, mengesakannya dalam ibadah dan berpegang teguh dengan
syariat-Nya dalam ucapan, perbuatan dan keyakinan sesuai dengan al
Qur'an, sunnah Rasul-Nya dan jalan ulama salaf, dengan demikian tidak
ada perbedaan antara akidah dan manhaj, ia adalah satu, wajib bagi seorang
muslim komitmen dengannya dan istiqamah di atasnya” [Fatwa Lajnah
daimah: 2/41]. Sebagian membedakan antara manhaj dan akidah, dimana
manhaj lebih luas cakupannya daripada akidah, sebab ada manhaj dalam
akidah, manhaj dalam fikih, manhaj dalam hadits dan seterusnya. Namun
yang perlu menjadi catatan bahwa jika seseorang memiliki akidah yang
benar maka konsekuensinya ia memiliki manhaj yang benar, karena tanpa
manhaj yang benar tidak akan dapat menghasilkan akidah yang benar.
Karena akidah sumbernya adalah al Qur'an dan Sunnah, sementara manhaj,
sebagaimana disebutkan di atas adalah komitmen dengan sunnah
Rasulullah -shallallahu alaihi wa sallam- dan para sahabatnya, sehingga
dengan manhaj yang benar maka akan menghasilkan akidah yang benar
dan ketika manhaj keliru maka akan menyebabkan akidah ternoda.

Kewajiban Mengikuti Manhaj Salaf


Yang dimaksud dengan as Salaf adalah pendahulu ummat ini, yang hidup
dalam tiga generasi awal, yaitu sahabat Rasulullah -shallallahu alaihi wa
sallam-, tabi'in dan tabi' tabi'in dan siapa saja yang mengikuti jejak mereka
dari para imam-imam panutan ummat. Pemimpin salaf adalah Rasulullah -
shallallahu alaihi wa sallam- sendiri. Mereka adalah generasi terbaik
ummat ini, sebagaimana itu adalah persaksian Rasulullah -shallallahu alaihi
wa sallam- dalam sabdanya: "Sebaik baik manusia adalah yang hidup di
masaku, kemudian orang-orang setelahnya, kemudian orang-orang setelah
mereka..." [HR. Bukhari no.2652 dan Muslim no.2533]. Dan siapa saja
yang mengikuti jejak dan manhaj mereka maka ia adalah pengikut salaf
atau salafi.
Manhaj mereka terhadap agama ini adalah yang terbaik dan paling benar,
karena bersumber dari al Qur'an dan sunnah Rasulullah -shallallahu alaihi
wa sallam- yang shahih berdasarkan pemahaman dan kesepakatan para
sahabat beliau. Manhaj salaf inilah yang wajib untuk kita ikuti dalam
beragama. Rasulullah -shallallahu alaihi wa sallam- bersabda: ”Pegang
teguhlah pada sunnah (jalan/metode/manhaj-pen)ku dan sunnah khulafaur
rasyidin yang mendapatkan petunjuk setelahku, gigitlah ia dengan gigi
geraham” [HR. Abu Daud, no.4609]. Berkata Hudzaifah bin Yaman:
"Bertaqwalah kepada Allah wahai para penghafa al Qur'an, berpeganglah
pada jalan (manhaj) pendahulu kalian" [Ibnul Mubarak dalam Az Zuhud,
no.47]. Umar bin Abdul Aziz berkata: "Berhentilah di mana mereka
(sahabat) berhenti, katakanlah apa yang mereka katakan, diamlah terhadap
apa yang mereka diam (tidak katakan), karena sungguh mereka berhenti
(diam) atas dasar ilmu..." [Abu Daud no.4612]. Imam Ahmad berkata:
"Pokok akidah menurut kami adalah: berpegang teguh terhadap apa
(manhaj-pen) yang para sahabat berada padanya dan mengikuti jejak
mereka" [Ushul as Sunnah, hal.14]. Ibnu Taimiyah berkata: "Tidak celaan
dalam menampakkan mazhab salaf, dan berafiliasi kepadanya, justeru
wajib menerimanya sebagaimana kesepakatan (ulama), karena mazhab
salaf tidak berada kecuali dalam kebenaran" [Majmu' fatawa, 4/149].

Rambu-rambu manhaj salaf


Manhaj salaf memiliki keistimewaan yang tidak terdapat pada
manhaj/metode lain. Diantara keistimewaan itu adalah:
1. Orisinalitas (al Ashalah).
Sumber syariat mereka masih murni dan bersih, bersumber dari al
Qur'an dan sunnah Rasulullah -shallallahu alaihi wa sallam- yang
keduanya merupakan wahyu yang maksum dari kesalahan, belum
terkontaminasi oleh pemikiran manusia yang kurang dan tidak
terlepas dari kesalahan. Senantiasa mendahulukan nash syariat di
atas akal dan pemikiran makhluk. Namun bukan berarti mereka
mengabaikan fungsi akal sebagai alat untuk memahami nash-nash
syariat tersebut, sebab nash yang shahih tidak akan pernah
bertentangan dengan akal sehat.
2. Mudah dipahami dan diterapkan.
Hal ini karena bersumber dari al Qur'an dan sunnah yang jelas dan
gamblang, yang menggunakan bahasa yang jelas dan mudah
dipahami oleh setiap orang. Sebagaimana juga ia mudah diterapkan
karena masih dalam batas batas kemanusiaan, tidak memberatkan
manusia dalam menjalankan syariat, "Allah tidak memberatkan
seseorang kecuali dalam batas kemampuannya" [QS. Al
Baqarah:286]. Rasulullah -shallallahu alaihi wa sallam- bersabda:
"Syariat yang paling dicintai Allah adalah yang lurus lagi mudah"
[HR. Ahmad, no.2107].
3. Komprehensip.
Manhaj salaf tidak hanya mementingkan perkara akidah -walaupun
ia adalah perkara yang paling utama-, namun juga memberi perhatian
cukup pada masalah ibadah dan akhlak. Mereka menerapkan syariat
Islam secara kaffah dalam kehidupannya, dari perkara terbesar, yaitu
akidah dan keimanan lalu ibadah hingga akhlak dan adab. Allah
menggambarkan karakter mereka dalam al Qur'an surah al Fath:29.

Kapan seseorang atau kelompok divonis keluar dari manhaj


salaf?
Perkara vonis memvonis adalah tugas ulama senior yang memiliki ilmu
yang luas lagi mendalam serta pengalaman panjang dalam dunia ilmu dan
dakwah. Vonis harus didasar oleh ilmu yang benar berdasarkan dalil-dalil
kuat dan niat ikhlas karena Allah, demi menjaga kemurnian syariat Allah,
bukan karena kepentingan pribadi dan golongan. Mengeluarkan seseorang
atau kelompok dari lingkaran "sunnah" adalah perkara berat yang memiliki
konsekuensi yang tidak ringan. Imam Ahmad berkata: "Mengeluarkan
seseorang dari (lingkup) sunnah adalah berat" [Al Khallal dalam as
Sunnah, 2/373]. Salah dalam memasukkan seseorang dalam lingkup sunnah
lebih ringan daripada salah dalam mengeluarkannya dari lingkup sunnah.
Imam Syathibi menyebutkan kaidah (ketentuan) seseorang dikatakan telah
menyelishi "kelompok selamat" sehingga menjadi sebuah kelompok
sempalan yang juga berarti ia telah keluar dari lingkaran manhaj salaf jika
ia menyelisihi pokok syariat Islam. Beliau berkata dalam kitabnya [al
I'tisham, hal:478]: "Kelompok-kelompok sempalana ini menjadi firqoh
(kelompok sesat) dikarenakan mereka menyelisihi "kelompok selamat"
(Ahlussunnah wal jama'ah-pen) pada perkara pokok dalam syariat, bukan
dalam salah satu perkara cabang, dimana perkara cabang yang syadz
(menyelisihi keumuman) tidak menimbulkan perselisihan yang
mengakibatkan terbentuknya firqah (kelompok sesat) yang berpecah belah,
perpecahan hanyalah timbul akibat menyelisihi perkara-perkara pokok
(agama), karena perkara pokok mencakup banyak perkara cabang...".
Namun jika perselisihannya terhadap perkara cabang sangat banyak, maka
itu juga bisa menyebabkan ia keluar dari manhaj salaf. Imam Syathibi
lanjut berkata: "Dan banyaknya (penyelisihan) terhadap cabang-cabang
syariat setara dengan menyelisihi pokok syariat, karena jika seorang ahli
bid'ah membuat banyak perkara cabang yang diada-adakan maka akan
banyak bertentangan dengan syariat, sebagaimana kaidah pokok juga
diselisihi".
Vonis ini dijatuhkan kepadanya jika ia melakukan hal tersebut di atas
dengan sadar dan sengaja, telah tegak baginya hujjah dan keterangan
namun tetap menyelishinya dan membelanya.

Kekeliruan dalam memahami Manhaj


Ada beberapa kekeliruan dalam memahami manhaj, diantaranya:
1. Menjadikan perkataan atau pendapat seorang ulama sebagai ukuran
manhaj. Tentu perkataan dan perdapat ulama memiliki wibawa dan
nilai, karena dibangun di atas dasar syar'i dari al Qur'an atau sunnah
atau ijma' ulama. Namun itu tidak berarti bahwa ucapannya menjadi
dasar syar'i sebagaimana al Qur'an, sunnah dan ijma' dalam
menetapkan sebuah hukum atau parameter kebenaran. Perkataan
ulama membutuhkan dalil syar'i untuk menguatkan dan
membenarkannya dan tidak sebaliknya. Walaupun semua sepakat
bahwa tidak ada yang ma'shum (terjaga dari kesalahan) kecuali
Rasulullah -shallallahu alaihi wa sallam-, namun pada kenyataannya
masih banyak yang menjadikan pendapat ulama tertentu saja yang
benar dan yang lain keliru tanpa melihat dalilnya, khususnya dalam
masalah masalah kontemporer yang sifatnya ijtihadi. Demikian juga
kita melihat problema ini nyata dalam menyikapi sebagian juru
dakwah atau ulama atau lembaga yang dinyatakan keliru atau sesat
oleh seorang ulama kemudian menjadikan pendapat sang ulama itu
sebagai hujjah atas kesesatan da'i atau lembaga tersebut, atau
memvonis mereka menyimpang dari manhaj ahlus sunnah karena
menyelisihi pendapat ulama tertentu atau tidak bergabung
bersamanya. Termasuk dalam hal ini adalah membatasi orang orang
tertentu yang dianggap mengajarkan sunnah yang secara tidak
langsung -disadari atau tidak- menghukumi di luar kelompok mereka
tidak pantas diambil ilmunya karena diklaim tidak sesuai sunnah.
2. Tidak mempertimbangkan perubahan waktu dan tempat.
Telah diketahui bahwa ada perkara perkara dalam syariat yang
bersifat tetap (tsawabit) dan ada juga yang dapat berubah sesuai
perubahan waktu, kondisi dan tempat (mutagayyirat). Demikian juga
halnya dengan fatwa dan sikap ulama, dapat berubah sesuai waktu,
kondisi dan tempat. Bisa jadi seorang ulama pada zamannya
mengeluarkan sebuah pendapat dan sikap di masanya tapi bisa jadi
kalau mereka masih hidup zaman sekarang dan melihat kondisinya
mereka akan berpendapat atau bersikap lain karena sudah tidak
relevan lagi dengan kondisi misalnya. Namun tidak berarti bahwa
kita membuang segala pendapat dan sikapnya, tapi yang masih
relevan diambil dan yang sudah tidak relevan lagi tetap diambil
pelajaran bagaimana sang ulama tersebut mengeluarkan pendapat
dan sikap di masanya sehingga dapat diterapkan ketika kita
mendapati kondisi yang serupa.
3. Mengambil sebagian nash, baik dari nash syar'i (al Qur'an dan hadis)
maupun perkataan salaf lalu mengabaikan nash yang lain kemudian
menyimpulkannya sebagai manhaj salaf. Dalam setiap perkara kita
dituntut untuk bersikap subyektif, dengan mengumpulkan seluruh
nash yang berkaitan dengan perkara tertentu. Dengan menempuh
cara itu maka akan terbentuk gambaran perkara tersebut dengan
jelas.Sebagai contoh, nash yang berkaitan dengan ancaman-ancaman
harus digandengkan dengan nash yang berkaitan dengan janji-janji,
nash yang berkaitan dengan kewajiban ta'at terhadap pemimpin
zalim harus dibarengi dengan nash yang memerintahkan untuk
menjalankan nasehat kepadanya dan menyuarakan kebenaran di
hadapannya walaupun membuat mereka murka. Termasuk dalam hal
ini adalah tidak hanya mengambil perkataan sebagian ulama yang
memerintahkan untuk memboikot ahlul bid'ah lalu mengabaikan
perkataan atau sikap ulama lain yang bermuamalah dengan mereka.
Hendaknya mengumpulkan semua perkataan dan sikap tersebut lalu
menerapkannya sesuai pada tempat dan kondisinya.
4. Menjadikan perkara-perkara yang bersifat ijtihad sebagai perkara
pokok dan manhaj. Ada beberapa perkara-perkara kontemporer yang
sifatnya ijtihadi, dan tidak terdapat nash yang qath'i (pasti) di
dalamnya. Maka perkara ini sifatnya longgar dan masing-masing
ulama dapat berpendapat sebatas ilmu dan ijtihadnya, dan ummat
pun mendapatkan kelonggaran untuk memilih mana di antara
pendapat ulama tersebut yang ia anggap lebih tepat, sehingga tidak
boleh menjadi sebab saling menyalahkan dan menghujat apalagi
hingga menganggap bahwa pendapatnyalah yang sesuai manhaj dan
pendapat orang lain menyelisihi manhaj ahlussunnah.
5. Tidak membedakan mana yang merupakan perbedaan manhaj dan
mana perbedaan ijtihad. Bisa jadi manhaj dan metodenya sama
namun hasil ijtihadnya berbeda. Bisa jadi dua orang ulama atau lebih
memiliki manhaj yang sama dalam dalam akidah misalnya namun
memiliki ijtihad yang berbeda dalam menerapkan manhaj dan kaidah
tertentu yang pada akhirnya menghasilkan pendapat dan sikap yang
berbeda dalam perkara tertentu.

Anda mungkin juga menyukai