IBNU MISKAWAIH
OLEH :
XI IPA 1
Penuysun
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR................................................................................................
DAFTAR ISI...............................................................................................................
BAB I PENDAHULUAN...........................................................................................
A. LATAR BELAKANG...........................................................................................
B. RUMUSAN MASALAH......................................................................................
BAB II PEMBAHASAN...........................................................................................
A. BIOGRAFI IBNU MISKAWIH………………………………………………..
B. KARYA IBNU MISKAWAIH...........................................................................
C. PEMIKIRAN IBNU MISKAWAIH.....................................................................…
BAB III PENUTUP...................................................................................................
DAFTAR PUSTAKA................................................................................................
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Kemajuan keilmuan saat ini tidak terlepas dari pemikir pemikir
terdahulu yang memberikan banyak sumbangsih dan karya terhadap
kemajuan ilmu pengetahuan. Para pemikir terdahulu memiliki peran dan
pengaruh besar terhadap keilmuan yang saat ini berkembang dari mulai
ilmu mengenai yang terlihat atau materi seperti (fisika,biologi, sains, dll)
hingga ilmu mengenai yang abstrak atau tak terlihat ataua metafisika
seperti (Tuhan, jiwa, dll). Para pemikir, khususnya islam, juga tidak kalah
memberikan sumbangsih dan memiliki peranan yang juga mewarnai
pandangan-pandangan dalam keilmuan. Salah satu pemikir islam ialah
Ibnu Miskawih yang memiliki corak tersendiri dalam mrwarnai
pengetahuan dengna pandangan filsafatnya. Jiwa merupakan sesuatu yang
non materi yang berada di dalam jasad yang tidak akan hancur ketika
jasad itu hancur. Dan menurut Ibnu Maskawih ini pula, jiwa memiliki
fakultas-fakultas yang membuatnya mampu mencapai kesempurnaan.
Disini, kami akan memberikan gambaran dan penjelasan mengenai
biografi Ibnu Miskawih dan juga pemikiran filsafatnya yang sampai saat
ini merupakan sumbangsih bagi pengetahuan manusia.
B. Rumusan Masalah
1. Bagaimanakan biografi Ibnu Miskawaih?
2. Apa saja karya dari Ibnu miskawaih?
3. Apa saja hasil pemikiran filsafat ibnu Miskawaih?
BAB II
PEMBAHASAN
1. Al-Fauz al-Akbar
2. Al-Fauz al-Asghar
3. Tajarib al-Umam
4. Uns al-Farid
5. Tartib al-Sa’adat
6. Al-Mustaufa
7. Jawidan Khirad
8. Al-Jami’
9. Al-Siyab
10. On the Simple Drugs
11. On the Composition of the Bajats
12. Al-Ashribah
13. Tahzib al-Akhlaq
14. Risalat fi al-Lazzat wa al-Alam fi Jauhar al-Nafs
15. Ajwibat wa As’ilat fi al-Nafs wa al-‘Aql
16. Al-Jawab fi al-Masa’il al-Salas
17. Risalat fi Jawab fi Su’al Ali ibn Muhammad Abu Hayyan al-Shufi fi Haqiqat al-‘Aql
18. Thaharat al-Nafs.
B. PEMIKIRAN FILSAFAT IBNU MISKAWAIH
1. Hikmah dan Falsafah
Miskawaih membedakan pengertian antara hikmah (kebijaksanaan, wisdom) dan falsafah
(filsafat). Menurutnya, hikmah adalah keutamaan jiwa yang cerdas (aqilah) yang mampu
membeda-bedakan (mumayyiz) segala yang ada (al-maujudat) sebagaimana adanya. Dengan
hikmah, seseorang mampu mengetahui perkara-perkara ilahiah (ketuhanan) dan perkara-
perkara insaniah (kemanusiaan). Hasil dari pengetahuan, seseorang mampu mengetahui
kebenaran-kebenaran spiritual (ma’qulat) untuk membedakan mana yang wajib dilakukan
dan mana yang wajib ditinggalkan
Sedangkan mengenai filsafat, Miskawaih membagi filsafat menjadi dua bagian, yaitu
bagian teori dan bagian praktis. Bagian teori merupakan kesempurnaan manusia yang
digunakan untuk dapat mengetahui segala sesuatu sehingga pikirannya benar, keyakinannya
benar, dan tidak ragu-ragu terhadap kebenaran. Sedangkan bagian praktis merupakan
kesempuarnaan manusia yang mengisi potensinya untuk dapat melakukan perbuatan-
perbuatan moral.
Kesempurnaan moral ini dimulai dengan kemauan mengatur potensi-potensi dan
perbuatan-perbuatan itu dapat sangat sejalan dengan analisa bagian teori. Pada akhirnya,
kesempurnaan moral dapat mengatur hubungan antar sesama manusia hingga tercipta
kebahagiaan hidup bersama. Sehingga, jika manusia berhasil memiliki dua bagian filsafat,
maka dia telah memperoleh kebahagiaan yang sempurna.
2. Metafisika
Metafisika Miskawaih mencakup pembahasan tentang bukti adanya Tuhan, jiwa, dan
kenabian (nubuwwah). Secara lengkap, metafisika Miskawaih dituangkan dalam kitab al-
Fauz al-Ashghar;
A.Ketuhanan
Dalam kitab al-Fauz al-Ashghar, Miskawaih mengetengahkan uraian tentang sifat dasar
Neoplatonisme. Yang agak tidak lazim. Dia mengklaim bahwa para filsuf klasik (filsuf
Yunani) tidak meragukan eksistensi dan keesaan Tuhan, sehingga tidak masalah jika
mempertemukan pemikiran mereka dengan pemikiran Islam. Miskawaih menyatukan antara
pandangan bahwa Tuhan menciptakan dunia dari ketiadaan dengan gagasan emanasi terputus
Neoplatonisme.
Dia bahkan mengklaim bahwa penyamaan Aristoteles mengenai Sang Pencipta
dengan “Penggerak yang Tidak Bergerak” (al-muharrik alladzi la ya-taharrak) merupakan
argumen kuat tentang Sang Pencipta yang dapat diterima agama Menurut De Boer,
Miskawaih menyatakan bahwa Tuhan adalah Zat yang jelas dan Zat yang tidak jelas.
Dikatakan jelas karena Tuhan adalah Yang Hak (Benar), dan Yang Hak adalah terang.
Dikatakan tidak jelas karena kelemahan akal pikiran manusia untuk menangkap-Nya, karena
banyak dinding-dinding atau kendala kebendaan yang menutupi-Nya.
Mengenai emanasi, Miskawaih mengatakan bahwa entitas pertama yang memancar
dari Tuhan adalah ‘aql fa’al (akal aktif). Akal aktif ini tanpa perantara sesuatu pun. Ia kekal,
sempurna, dan tidak berubah. Dari akal aktif ini, timbul jiwa; dan dengan perantaraan jiwa,
timbul planet (al-falak). Pancaran yang terus-menerus dari Tuhan dapat memelihara tatanan
alam ini. Jika pancaran tersebut terhenti, maka berakhirlah kemaujudan dan kehidupan alam
ini.
Berdasarkan pendapat Miskawaih tersebut, dapat ditarik perbedaan pendapatnya
dengan al-Farabi, sebagai berikut:
1. Bagi Miskawaih, Tuhan menjadikan alam secara emanasi dari tiada menjadi ada.
Sedangkan menurut al-Farabi, alam dijadikan Tuhan secara pancaran daru sesuatu yang
sudah ada menjadi ada.
2. Bagi Miskawaih, ciptaan Tuhan yang pertama adalah akal aktif. Sedangkan bagi al-
Farabi, ciptaan Tuhan yang pertama adalah akal pertama, sedangkan akal aktif adalah akal
yang kesepuluh.
B. Jiwa atau Roh
Jiwa yang merupakan limpahan dari akal aktif bersifat rohani, sehingga tidak dapat
diraba menggunakan pancaindera. Jiwa bersifat rohani atau tidak bersifat material dibuktikan
oleh Miskawaih dengan adanya kemungkinan jiwa dapat menerima gambaran-gambaran
tentang banyak hal yang berlawanan. Misalnya, jiwa dapat menerima gambaran hitam-putih
dalam waktu yang sama, sedangkan materi hanya dapat menerima salah satu saja. Jiwa dapat
menerima gambaran segala sesuatu, baik yang inderawi maupun yang spiritual.
Dalam jiwa, terdapat daya pengenalan akal yang tidak didahului dengan pengenalan
inderawi. Dengan daya pengenalan akal itu, jiwa mampu membedakan antara yang benar dan
yang tidak benar dari apa yang diperoleh pancaindera. Perbedaan itu dilakukan dengan cara
membanding-bandingkan obyek-obyek inderawi yang satu dengan yang lain, serta
membedakannya. Dengan demikian, jiwa bertindak sebagai pembimbing pancaindera dan
membetulkan kekeliruan-kekeliruan yang dialami pancaindera.
C. Kenabian
Dalam hal kenabian, tampaknya tidak ada perbedaan pendapat antara Miskawaih
dengan al-Farabi. Menurut Miskawaih, Nabi adalah manusia pilihan yang memperoleh
hakikat-hakikat kebenaran karena pengaruh akal aktif pada daya imajinasinya. Perbedaan
antara Nabi dan para filsuf terletak pada cara memperolehnya. Para filsuf memperoleh
kebenaran dari bawah ke atas: dari daya inderawi, daya khayal, daya pikir, sehingga dapat
berhubungan dan menangkap hakikat-hakikat kebenaran dari akal aktif. Sedangkan para Nabi
memperoleh langsung dari akal aktif sebagai rahmat Tuhan. Manusia membutuhkan Nabi
untuk mengetahui hal-hal yang bermanfaat yang dapat membawanya kepada kebahagiaan di
dunia dan akhirat.
D. Teori Evolusi
Miskawaih juga mengemukakan teori evolusi yang secara mendasar sama dengan
Ikhwan al-Shafa. Teori itu terdiri atas empat tahapan evolusi, yang dapat dijelaskan sebagai
berikut: Kombinasi substansi-substansi primer menghasilkan dunia mineral (evolusi mineral),
menjadi rerumputan, tanaman, pepohonan—beberapa di antaranya menyentuh batas dunia
hewan—sampai mereka mewujudkan ciri-ciri hewaniyah tertentu. Di antara dunia tumbuhan
dan dunia hewan terdapat suatu bentuk kehidupan tertentu, yang bukan kehidupan hewan dan
bukan kehidupan tumbuhan namun memiliki ciri-ciri keduanya (misalnya koral/batu karang).
Langkah pertama di luar tahap kehidupan antara keduanya adalah perkembangan daya gerak,
dan indra peraba pada cacing-cacing kecil yang merayap di atas bumi. Oleh diferensiasi,
indra peraba mengembangkan bentuk-bentuk indra lain sampai mencapai dunia hewan yang
lebih tinggi, yang di dalamnya intelegensi mulai menyatakan dirinya dalam sebuah skala
yang meninggi. Kemanusiaan terbentuk dari kera yang mengalami perkembangan lebih jauh,
dan berangsur-angsur mengembangkan ketegakan tubuh dan daya pemahaman yang serupa
manusia. di sini kehewanan berakhir, dan kemanusiaan bermula.
4. Sejarah
Menurut Miskawaih, sejarah merupakan cerminan struktur politik atau ekonomi
masyarakat pada masa tertentu. Atau dapat dikatakan bahwa sejarah merupakan rekaman
bangsa-bangsa atau negara-negara tentang pasang-surut kebudayaannya. Sejarah tidak hanya
mengumpulkan kenyataan-kenyataan yang telah lampau menjadi suatu kegiatan organik,
tetapi juga menentukan bentuk sesuatu yang akan datang. Jadi, sejarah memiliki nilai
pragmatis bagi kehidupan setelahnya.
5. Politik
Mengutip pendapat Azdsher, Miskawaih mengatakan bahwa agama dan kerajaan
bagai saudara kembar atau dua sisi dari mata uang yang sama (two side or the same coin),
yang tidak dapat sempurna tanpa yang lain. Agama merupakan landasan dasar, kerajaan
merupakan pengawalnya. Segala sesuatu tanpa landasan dasar akan mudah hancur, dan
segala sesuatu tanpa pengawal akan sia-sia.
Miskawaih menegaskan bahwa yang menjaga tegaknya syariat Islam adalah imam
yang kekuasaannya seperti kekuasaan raja. Tidak dikatakan raja jika tidak menjaga
keselamatan agama. Penguasa yang berpaling dari agama adalah penjajah (mutaghallib).
Karena seorang raja yang melampaui batas kewenangannya akan mengakibatkan kelemahan
dan kerusakan. Kedudukan agama menjadi goyah, akhirnya kebahagiaan yang didambakan
berbalik menjadi kesengsaraan, perselisihan, dan perpecahan. Jika demikian, tibalah saatnya
untuk diadakan perubahan pimpinan kerajaan, yaitu imam yang sebenarnya dan raja yang
adil.
6. Kematian
Dalam membicarakan penyakit jiwa, Miskawaih menyinggung masalah takut mati.
Kematian merupakan bukti keadilan Tuhan terhadap hamba-Nya. Jika manusia tidak pernah
mati, maka orang-orang terdahulu akan tetap ada, sehingga akan mengakibatkan kurangnya
ruang tampung di bumi. Secara rasional, dapat dinyatakan bahwa manusia hanyalah makhluk
belaka yang pasti berakhir dengan kerusakan. Jika manusia tidak ingin rusak, maka
seharusnya dia tidak ingin ada. Barang siapa tidak ingin ada, maka dia menginginkan
kerusakan pada dirinya.
Untuk mengatasi perasaan takut mati ini, manusia harus memahami bahwa badan
hanyalah alat yang digunakan jiwa sebagai perantara untuk hidup di dunia yang tidak kekal.
Sakit yang dirasakan badan sebelum mati merupakan pengaruh jiwa yang pernah ada dalam
badan tersebut, sehingga tidak akan lagi ada rasa sakit setelah jiwa terlepas dari badan. Jika
telah memahami hakikat jiwa, seseorang akan mengetahui bahwa jiwa akan menemui
kehidupan lain setelah kematian.
Sedangkan orang yang merasa takut mati karena hukuman setelah mati, harus
memahami bahwa yang dia takuti bukanlah rasa sakit sebelum kematian, akan tetapi rasa
sakit akibat hukuman terhadap perbuatan-perbuatan yang pernah dia lakukan semasa
hidupnya. Oleh karena itu, seseorang harus hidup berhati-hati, tidak mudah melakukan
maksiat, dan mendekatkan diri pada Tuhan. Orang yang mengetahui jalan untuk memperoleh
kebahagiaan, jiwanya akan tenang dan yakin bahwa dirinya akan terbebas dari kesengsaraan
setelah mati.
BAB III
PENUTUP
A. KESIMPULAN
Disiplin ilmu Miskawaih meliputi kedokteran, bahasa, sejarah, dan filsafat. Akan tetapi, dia
populer sebagai seorang filosof akhlak daripada filosof ketuhanan. Ini terbukti dari
pernyataan para filosof yang pernah menjadi gurunya, yaitu Ibnu Sina dan At-Tauhidi, yang
menganggapnya salah seorang pemikir teistis, moralis, dan sejarawan.
Usahanya untuk menjembatani antara filsafat Islam dengan filsafat Yunani menghasilkan
sebuah argumen yang tidak mendasar dan kurang dapat diterima. Banyak filsafatnya,
seperti teori pembuktian Tuhan secara negatif atau emanasi mendapat kritikan dari banyak
pemikir muslim. Filsafat Miskawaih pun patut diragukan karena hilangnya beberapa sumber
yang dia pakai dalam mendukung tulisan-tulisannya. Sumber-sumber tersebut hanya dapat
direka-reka.
Akan tetapi, filsafat Miskawaih dalam hal etika merupakan karya terbesar dalam sejarah
Islam. Ini terbukti dari gelar yang dia dapat, yaitu Bapak Etika Muslim.
DAFTAR PUSTAKA
DR. T. J. De Boer, The History Of Philosophy in Islam, New York; Dover Publication.
· Nasution, Hasyimsyah, Filsafat Islam, (Jakarta: Gaya Media Pratama Jakarta), 2002.
· Zar, Sirajuddin, Filsafat Islam: Filosof dan Filsafatnya, (Jakarta: PT RajaGrafindo Persada),
2010.
· http://suharpaistaid.files.wordpress.com/2012/03/konsep-pendidikan-akhlak-ibnu-
miskawaih.pdf