Anda di halaman 1dari 32

SISTEMMATIKA PENULISAN PROPOSAL

HUBUNGAN TINGKAT KECEMASAN DAN KOPING DENGAN


KUALITAS TIDUR PADA PASIEN PREOPERASI DI RUANG RSU
SEMBIRING.

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Kecemasan yang dialami klien juga bisa disebabkan karena pertanyaan

pasien yang disepelekan, tidak mengetahui alasan dan hasil prosedur yang

dilakukan atau pengobatan. Kecemasan merupakan perasaan yang tidak jelas,

keprihatinan, dan kekhawatiran karena ancaman pada sistem nilai atau pola

keamanan seseorang. Salah satu respon yang muncul dari kecemasan adalah

gangguan pola tidur sehingga mempengaruhi lamanya proses penyembuhan

dari kondisi sakit, yang selanjutnya dapat memperpanjang lama rawat

(Carpenito, 2000)

Berdasarkan data International of Sleep Disorder, hasil survey yang

dilakukan dibeberapa Rumah sakit di Amerika mengatakan bahwa stimulus

yang dapat mengganggu tidur dirumah sakit meliputi kesulitan menemukan

posisi nyaman (62%), nyeri (58%), cemas (30%), takut (25%), lingkungan

tidak dikenal (18%), kebisingan dikantor perawat (25%), temperatur (17%),

suara ribut (17%), tempat tidur yang tidak nyaman (10%), dan lain-lain (15%).

(Rohman, 2009).
1.2 Rumusan Masalah

Berdasarkan uraian di atas, peneliti tertarik meneliti “Hubungan Tingkat

Kecemasan Dan Koping Dengan Kualitas Tidur Pada Pasien Preoperasi Di

Ruang RSU. Sembiring Deli Tua Tahun 2020

1.3 Tujuan Penelitian

1.3.1 Tujuan Umum

Secara umum tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui

Hubungan tingkat kecemasan dan koping dengan kualitas tidur pada

pasien preoperasi di ruang bedah RSU Sembiring Deli Tua Tahun 2020

1.3.2 Tujuan Khusus

a) Mengidentifikasi kecemasan dengan gangguan kualitas tidur pasien

preoperasi di ruangan RSU Sembiring Deli Tua Tahun 2020.

b) Mengidentifikasi koping pada pasien preoperasi di ruang RSU

Sembiring Deli Tua tahun 2020.

1.4 Manfaat Penelitian

1.4.1 Bagi Peneliti

Penelitian ini dapat memberikan pengalaman belajar berharga

dalam mengaplikasikan pengetahuan yang didapat selama pendidikan dan

juga dapat menambah pengetahuan peneliti dalam riset keperawatan.

Denga menerapkan ilmu riset keperawatan mencakup pengumpulan data,

mengolah, dan menganalisis serta menginformasikan data temuan tentang

hubungan tingkat kecemasan dan koping dengan kualitas tidur pada pasien

preoperasi.

1.4.2 Bagi Ilmu Pengetahuan


Hasil penelitian ini diharapkan dapat meningkatkan perkembangan ilmu

keperawatan dalam memberikan pelayanan yang terbaik kepada pasien di

rumah sakit.

1.4.3 Bagi Rumah Sakit

Penelitian ini diharapkan dapat memberikan masukan dan bahan

pertimbangan bagi pihak Rumah Sakit dalam upaya peningkatan

pelayanan keperawatan terutama dalam hal kualitas tidur pada pasien

rawat inap.

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1.1. Pengertian Kecemasan


Kecemasan merupakan gejala yang normal pada manusia namun

dapat menjadi patologis apabila gejala yang timbul bersifat menetap dan

berlangsung dalam jangka waktu tertentu yang dapat mengganggu

kelangsungan hidup Individu terutama lansia (Darmojo, 2009).

2.1.2. Tipe Kepribadian Pencemas

Seseorang akan menderita gangguan cemas manakala yang

bersangkutan tidak mampu mengatasi stresor psikososial yang

dihadapinya. Tetapi pada orang-orang tertentu meskipun tidak ada stresor

psikososial, yang bersangkutan menunjukan kecemasan juga, yang di

tandai dengan corang atau tipe kepribadian pencemas, yaitu antara lain:

a. Cemas, khawatir, tidak tenang, ragu, dan bimbang.

b. Memandang masa depan dengan was-was (khaawatir)

c. Kurang percaya diri, gugup apabila tampildi depan umum (“demam

panggung”);
d. Sering mersa tidak bersalah, menyalahkan orang lain;

e. Tidak mudah mengalah, suka “ngotot”

f. Gerakan sering serba salah, tidaak tenang bila duduk, gelisah;

g. Seringkali mengeluh ini dan itu (keluhan-keluhan somatik), khawatir

berlebihan terhadap penyakit;

h. Mudah tersinggung, suka membesar-besarkan masalah yang kecil

(dramatisasi);

i. Dalam mengambil keputusan sering diliputi rasa bimbang dan ragu.

j. Bila mengemukakan sesuatu atau bertanya sering berulang-ulang;

k. Kalau sedang emosi seringkali bertindak histris.

2.1.3. gejala klinis cemas

Keluhan-keluhan yang sering di kemukakan oleh orang yang

mengalami ganguan kecemasan antara lain sebagai berikut:

1. Cemas Khawatir, firsat buruk, takut akan pikiranya sendiri, mudah

tersinggung;

2. Merasa tegang, tidak tenang, gelisah, mudah terkejut;

3. Takut sendirian, takut pada keramaian dan banyak orang;

4. Gangguan pola tidur , mimpi-mimpi yang menegangkan;

5. Gangguan konsentrasi dan daya ingan;

2.1.4. Gangguan Cemas Menyeluruh (Generalized Anxiety Disorder/GAD)

Secara klinis selain gejala cemas yang biasa, disertai dengan

kecemasan yang menyeluruh daan menetap ( paling sedikit berlangsung

selama 1 bulan) dengan menifestsi 3 dari 4 kategori gejala berikut ini:

1. Ketegangan Motorik/ Alat Gerak


a. Gemetar

b. Tegang

c. Nyeri otot

d. Letih

e. Tidak dapat santai

f. Kelopak mata bergetar

g. Kening berkerut

h. Muka tegang

i. Gelisah

j. Tidak dapat diam

k. Mudah kaget

2. Hiperaktivitas Saraf Autonom (Simpatis/Parasimpatis):

a. Berkeringat berlebihan

b. Jantung berdebar-debar

c. Rasa dingin

d. Telapak tangan/ kaki basah

e. Mulut kering

f. Pusing

g. Kepala terasa ringan

h. Kesemutan

i. Rasa mual

j. Rasa aliran panas atau dingin

k. Sering buang air seni

l. Diare
m. Rasa tidak enak di hulu hati

n. Kerongkongan tersumbat

o. Muka merah atau pucat

p. Denyut nadi dan nafas yang cepat waktu istirahat.

3. Rasa Khawatir Berlebihan Tentang Hal-Hal Yang Akan Datang

(Apprehensive Expectation):

a. Cemas, khawatir, takut

b. Berpikir berulang (rumination)

c. Membayangkan akan datangnya kemalangan terhadap dirinya atau

orang lain.

4. Kewaspadaan Berlebihaan :

a. Mengamati lingkungan secara berlebihan sehingga mengakibatkan

perhatian mudah terlatih

b. Sukar kosentrasi

c. Sukar tidur

d. Merasa ngeri

e. Mudah tersinggung

f. Tidak sabar.

2.1.5. Gangguan Panik

Gejala klinis gangguan panik ini yaitu kecemasan yang datangnya

mendadak disertai oleh persaan takut mati, disebut juga dengan serangan

panik (panic attack). Secara klinis serangan panik ditegakan (kriteria


diagnostik) oleh paling sedikit 4 dari 12 gejala-gajala di bawah ini yang

muncul pada setiap serangan :

1. Sesak nafas

2. Jantung berdebar-debar

3. Nyeri atau rasa tak enak di dada

4. Rasa tercekik atau sesak

5. Pusing, vertigo (penglihatan berputar-putar), persaan melayang

6. Perasaan seakan-akan diri atau lingkungan tidak realistik

7. Kesemutan

8. Rasa aliran panas atau dingin

9. Berkeringat banyak

10. Rasa akan pingsan

11. Menggigil atau gemetar

12. Merasa takut mati, takut menjadi gila atau khwatir akan melakukan

suatu tindakan secara tidak terkendali selama berlangsungnya serang

panik.

2.1.6. Gangguan Phobik

Gangguan phobik adlah satu bentuk kecemasan yang didominasi

oleh gangguan alam pikir phobia. Phobia adalah ketakutan yang menetap

dan tidak rasionl terhadap suatu obyek, aktivitas atau situasi tertentu

(spesifik), yang menimbulkan suatu keinginan mendesak untuk

menghindarinya. Rasa ketakutan itu di dasari olehorang yang


bersangkutan sebagai suatu ketakutan yang berlebihan dan tidak masuk

akal, namun ia tidak mampu mengatasinya.

2.1.7. Gangguan Obsesif-Kompulsif

Obsesi adalah suatu bentuk kecemasan yang di dominasi oleh

pikiran yang terpaku (persistence) dan berulang kali muncul (recurrent).

Sedangkan kompulsi adalah perbuatan yang dilakukan berulang-ulang

sebagai konsekuensi dari pikiran yang bercorak obsesif tadi. Seseorang

yang menderita gangguan obsensif-kompulsif tadi akan terganggu dalam

fungsi atau peranan sosialnya.

Secara klinis kriteria diagnostik gangguan obsesif-kompulsif

adalah sebagai berikut:

a. Obsesi

Gagasan atau ide, pikiran, bayangan atau impuls, yang terpaku

(persistence) dan berulang (recurrent)dan bersifat ego-distonik,

yaitu tidak dihayati berdasarkan kemauan sendiri, tetapi sebagai

pikiran yang mendesak ke dalam kesadaran dandihayati sebagai hal

yang tidak masuk akal atau takdi sukai. Ada usaha-usaha untuk

tidak menghiraukan atau menekannya.

b. Kompulsi

Tingkah laku berulang yang nampaknyamempunyai tujuan, yang di

tampilkan menurut aturan tertentu atau dengan cara strereotipik.

Tingkah laku ini tidak merupakan tujuan akhir tetapi dimaksutkan

untuk menghasilkan atau sebaliknya mencegah sesuatu pristiwa

atau situasi di masa mendatang. Namun demikian, aktivitas ini


tidak mempunyai kaitan atau relevansi yang realistik dengan hal

yang akan di cegah atau di dihasilkan; atau jelas-jelas berlebihan.

2.2. koping
2.2.1. pengertian
Mekanisme koping diartikan sebagai cara yang di lakukan individu

dalam menyelesaikan masalah, menyesuaikan diri dengan perubahan serta

respons terhadapsituasi yang mengancam (keliat,1999).

2.2.2. Fungsi Koping

Menurut lazarus (1984), koping mempunyai dua fungsi utama, yaitu

mengatasi masalah penyebab stres dan mengatur respons emosi terhadap

masalah tersebuat.

1. Emotion focused coping: diarahkan pada pengontrolan respons emosi pada

stres. Pengontrolan emosi dapat melalui pendekatan perilaku dan kognitif.

a. Pendekatan perilaku, misalnya: penggunaan alkuhol dan obat-obatan

terlarang, mencari dukungan sosial atau meningkatkan aktivitas.

Misalnya berolahraga untuk mengaburkan perhatian terhadap masalah.

b. Pendekatan kognitif, dengan mengubah persepsi terhadap stres,

misalnya: penyangkalan terhada fakta yang kurang menyenangkan.

2. Probiem focused coping: diarahkan pada penurunan tuntutan stres dan

peningkatan kemampuan menghadapi stres, misalnya: melakukan

negosiasi, keluar dari tempat yang menimbulkan stres, mengatur jadwal

baru, mencari pengobatan atau menambah keterampilan yang lain.

2.2.3. Penggolongan Mekanisme Koping.


Menurut stuart & sundeen (1995), mekanisme koping dapat digolngkan

menjadi dua, yaitu:

1. Mekanisme koping adaptif

Yaitu mekanisme koping yang mendukung fungsi integrasi,

pertumbuhan, belajar dan mencapai tujuan. Kategorinya adalah:

berbicara dengan orang lain, memecahkan masalah secara efektif,

relaksasi, latihan seimbang, dan aktivitas konstruktif.

2. Mekanisme koping maladaptif.

Merupakan mekanisme koping yang menghambat fungsi integrasi,

memecah pertumbuhan, menurunkan otonomi dan cenderung

menguasai lingkungan.

Menurut keliat (1999) mekanisme koping terhadap stresor dapat dikaji

melalui berbagai aspek, salah satunya adalah aspek psikososial, yakni:

1. Reaksi orientasi tugas

Yakni suatu mekanisme adaptasi yang berorientasi terhadap tindakan

untuk memenuhi tuntutan darisituasi stres secara realistis, dapat

berupa konstruktif maupun destruktif. Contohnya adalah sebagai

berikut:

a. Perilaku agresif atau menyerang, biasanya untuk menghilangkan atau

mengatasi rintangan untuk memuaskan kebutuhan.

b. Perilaku menarik diri (isolasi sosial), digunakan untuk menghilangkan

sumber-sumber ancaman, baik secara fisik ataupun psikologis.

c. Perilaku kompromi, digunakan untuk mengubah cara melakukan

tujuan atau memuaskan aspek kebutuhan pribadi seseorang.


2. Mekanisme pertahanan ego

Sering disub dengan istilah mekanisme pertahanan mental atau

defence mechanism. Adapun yang termaksut dalam katagori ini

adalah:

a. Kompensasi: proses dimana seseorang memperbaiki penurunan citra

diri dengan secara tegas menonjolkan keistimewaan atau kelebihan

yang dimilikinya atau menutupi kelemahannya dengan menonjolkan

kemampuan atau kelebihannya. Misalnya Tn. S yang merasa tidak

percaya diri memiliki rambut botak, lalu menonjolkan tingkat

pendidikannya.

b. Penyangkalan / denial: menyatakan ketidak setujuan terhadap realitas

dengan mengigkari realitas tersebut atau menolak untuk menerima

atau menghadapi kenyataan yang tidak enak. Mekanisme pertahanan

ini adalah yang paling sederhanan dan primitif. Misalnya seseorang

gadis yang telah putus dengan pacarnya, menghindari pembicaran

mengenai perkawinan atau pacaran.

c. Pemindahan / displacement: penglihatan emosi yang semula

ditunjukan pada seseorang atau benda lain yang biasanya netral atau

lebih sedikit tingkat ancamanya terhadap dirinya. Misalnya seorang

pekerja yang tidak sependapat dengan program kerja pimpinanya dan

sepulangnya ke rumah ia melampiaskan kemarahanya kepada istrinya.

d. Disosiasi: pemisahan suatu kelompok proses mental atau prilaku dari

kesadaran atau identitasnya. Misalnya seseorang yang mengamuk, lalu

ia lupa dan tidak dapat menjelaskan kembali kejadian tersebut.


e. Identifikasi: proses di mana seseorang untuk menjadi sosok yang ia

kagumi berupaya mengambil atau menirukan pikiran-pikiran, perilaku

dan selera dari sosok tersebut.

f. Intelektualisasi: menggunakan logika dan alasan yang berlebihan

untuk menghindari pengalaman yang menggangu perasaannya.

g. Introjeksi: suatu jenis identifikasih yang kuat, di mana seseorang

mengambildan meleburkan nilai-nilai serta kualitas seseorangatau

suatu kelompok ke dalam struktur egonya sendiri.

h. Isolasi: pemisahan unsur emosional dari suatu pikiran yang

mengganggu. Dapat bersifat sementara atau jangka lama.

i. Proyeksi: pengalihan buah pikiran tau implus pada diri sendiri kepada

orang lain terutama keinginan, perasaan, emosional, dan motivasi

yang tidak dapat ditoleransi.

j. Rasionalisasi: mengemukakan penjelasan yang seolah-olah masuk

akal untuk membenarkan dorongan yang tidak dapat diteriman atau

untuk menghindari tekanan dari lingkungan. Misalnya seseorang

mahasiswa yang memproleh IPK buruk, kemudian menyalahkan cara

mengajar dosennya.

k. Reaksi formasi: pengembangan sikap dan pola prilaku yang ia sadari,

yang sebenarnya bertentangan dengan apa yang ia rasakan atau ingin

lakukan. Mudah dikenali karena sifatnya ekstrem dan sulit diterima.

Misalnya, seorang wanita yang tertarik kepada teman suaminya, akan

melakukan teman suaminya itu akan kasar.


l. Regresi: kemunduran prilaku karena stres sehingga menampakkan ciri

khas prilaku dari suatu tahap perkembangan yang lebih dini.

m. Represi: pengesampingkan secara tidak sadar tentang pikiran,

perasaan, atau ingatan yang menyakitkan. Merupakan salah satu

pertahan diri primer dan seringkali diperkuat oleh mekanisme

pertahan ego yang lain.

n. Undoing: menghapus sebagian dari tindakan atau perilaku

sebelumnya. Misalnya, seorang ibu yang menyesal telah memukul

anaknya akan memperlakukannya dengan penuh kasih sayang.

o. Fiksasi: berhentinya tahap perkembangan pada salah satu aspek

tertentu.

p. Simbolisasi: menggunakan benda atau tingkah laku sebagai simbol

pengganti atas sesuatu yang tidak semestinya. Misalnya seseorang

yang selalu mencuci tangan untuk menghilangkan kegelisahannya

setelah melakukan masturbasi. Hal ini karena ia merasa kotor dan

merasa berdosa.

q. Konversi: mentransformasikan konflik emosional ke dalam bentuk

gejala-gejala jasmaniah. Misalnya seorang mahasiswa yang lupa

mengerjakan tugas, tiba-tiba menjadi sakit sehingga tidak masuk

kuliah.

2.2.4 Gaya Koping

gaya koping merupakan penentuan dari gaya seseorang atau ciri-

ciri tertentu dari seseorang dalam memecahkan suatu masalah berdasarkan


tuntutan yang dihadapi. Gaya koping individu dapat dicirikan sebagai

berikut:

1. gaya koping positif

merupakan gaya koping yang mampu meningkatkan integritas ego.

Termasuk dalam gaya koping positif adalah:

a. problem solving: berorientasi pada pemecahan masalah secara

konstruktif.

b. Utilizing social support: mempergunakan faktor-faktor pendukung

yang ada pada lingkungan sosial untuk mengatasi masalah. Misalnya

seseorang yang minta bantuan berupa saran, pendapat dari sahabatnya

untuk mengatasi masalh.

c. Looking for silrer ming: berupaya maksimal dan berpikir positip

terhadap hasil yang diperoleh. Bisa juga disebut sebagai upaya

mencari hikmat dari setiap persoalan hidup yang dihadapi.

2. Gaya koping negatif

Pemakaian gayakoping yang merusak integritas ego, sehingga

cenderung merugikan diri sendiri. Termaksut disini adalah:

a. Anoidance: proses internalisasi terhadap suatu pemecahan masalah ke

dalam alam bawah sadar dengan cara menghilangkan diri atau

membebaskan diri dari tekanan mental akibat masalah yang dihadapi.

Bentuk pelarian diri misalanya: makan, merokok, konsumsi alkohol

atau obat-obatan terlarang dengan tujuan melupakan masalah untuk

sesaat.
b. Self-blame: ketidak berdayaan atas masalah yang dihadapi dengan

menyalahkan diri sendiri tanpa evaluasi diri yang optimal. Hal ini

dapat menekan kreativitas dan ide yang berdampak pada penarikan

diri dari struktur sosial.

c. Wishfull thinking: larut dalam kesedihan yang mendalam karena ideal

diri yang di-setting terlalu tinggi sehingga sulit untuk di capai.

2.2.5. Sumber Koping

Mechanic mengidentifikasih 5 sumber koping yang menolong

manusia untuk beradaptasi terhadap stres yaitu:

1. Aset ekonomi

2. Kemampuan dan keterampilan individu

3. Teknik pertahanan

4. Dukungan sosial

5. Dorongan motivasi

Sedangkan lazarus dan folkman yang dikutif oleh stuart dan sudden

(1995) dalam bukunya yang berjudul principles and practise of nursing

menambahkan sumber koping yang lain yaitu:

1. Keyakinan positif

2. Keterampilan pemecahan masalah

3. Sumber koping dan sosial.

2.3. Konsep Tidur


2.3.1 Definisi Tidur
Tidur merupakan salah satu kebutuhan dasar manusia yang

termasuk kedalam kebutuhan fisiologis, tidur juga hal yang universal


karena semua individu dimana pun dia berada membutuhkan tidur (Kozier,

2010).

2.3.2 Tahapan Siklus Tidur

Kantuk Pra Tidur

Tahap 1 NREM Tahap 2 NREM Tahap 3 NREM

Tidur REM Tahap 4 NREM

Tahap 2 NREM Tahap 3 NREM

Gambar 2.1 Tahapan Siklus Tidur Dewasa

Sumber: Potter dan Perry (2010)

2.3.3 Fungsi Tidur

Tidur memiliki peran untuk mengurangi kelelahan, memulihkan penyakit,

mengontrol nyeri, meningkatkan sirkulasi darah ke otak, meningkatkan sintesis

protein, menyeimbangkan mekanisme melawan penyakit pada sistem imun,

membantu tubuh untuk melakukan detoksifikasi alami saat prose membuang

racun, menurunkan ketegangan, dan meningkatkan penyembuhan (Potter dan

Perry, 2005).

2.3.4 Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Tidur


Kualitas dan kuantitas tidur dapat dipengeruhi oleh beberapa faktor

diantaranya faktor fisiologis, psikologis, dan faktor lingkungan. Menurut

Potter dan Perry (2010) beberapa faktor yang dapat mempengaruhi tidur,

ialah:

a. Usia

Usia menjadi faktor terpenting yang memiliki pengaruh terhadap

kualitas tidur, dimana setiap usia memiliki kebutuhan tidur yang

berbeda-beda. Mulai dari bayi baru lahir yang membutuhkan tidur 14-

18 jam/hari, bayi yang membutuhkan tidur 12-14 jam/hari, toddler yang

memerlukan 10-12 jam/hari, pre-school membutuhkan 11 jam/hari,

anak usia sekolah yang membutuhkan jumlah tidur 10 jam/hari, remaja

tidur 8,5 jam/hari, dewasa muda 7-9 jam/hari, dewasa tengah

mengalami penurunan waktu tidur menjadi 7 jam/hari, dewasa tua tidur

selama sekitar 6 jam/hari, hingga lansia dengan 50% diantaranya

memiliki kesulitan atau gangguan tidur (Asmadi, 2008).

b. Jenis Kelamin

Secara psikologis, status gender pria memiliki mekanisme koping lebih

tinggi dari pada wanita dalam mengatasi masalah (Kozier et al, 2004

dalam Efrandau, 2016). Adanya masalah fisiologis dan psikologis yang

dialami seorang wanita dapat meningkatkan kecemasan dimana apabila

berlanjut dapat mengganggu tidur.

c. Penyakit
Kondisi sakit yang dialami individu dapat menimbulkan nyeri yang

berpengaruh terhadap gangguan tidur. Banyak penyakit yang bisa

menambah kebutuhan tidur. Penyakit yang diakibatkan oleh infeksi

(infeksi limpa) membuat pasien memerlukan tidur yang lebih banyak

karena infeksi berkaitan dengan keletihan (Saryono dan Widianti,

2010).

d. Obat dan Substansi

Terdapat beberapa obat yang dapat menyebabkan keadaan kantuk,

insomnia, dan kelelahan, seperti antidepresan, alkohol, kafein, diuretik,

benzodiazepin, narkotik, dan antikonvulsan. Obat-obat tersebut dapat

mengubah pola tidur individu. Obat tidur yang biasanya dikonsumsi

untuk mengatasi masalah maupun stresor dalam gaya hidupnya dapat

menyebabkan ketergantungan apabila penggunaannya menjadi tidak

terkontrol.

e. Gaya Hidup

Rutinitas sehari-hari dapat mempengaruhi pola tidur. Seseorang yang

memiliki waktu kerja yang bersifat rotasi kerap kali mengalami

kesulitan dalam penyesuaian perubahan jadwal tidur. Sehingga, selain

dapat mempengaruhi jam biologis tubuh hal ini juga dapat berpengaruh

terhadap penurunan kinerja dalam bekerja.

f. Stres Emosional
Rasa khawatir maupun cemas terhadap masalah pribadi atau situasi

kerap kali mengganggu tidur. Kondisi stres emosional dapat

menyebabkan seseorang menjadi tegang dan menimbulkan frustasi

ketika seseorang sulit tidur. Asmadi (2008) menyebutkan bahwa

kecemasan dapat meningkatkan kadar epinefrin melalui stimulus sistem

saraf simpatis yang mana dapat mengakibatkan tahap 4 NREM dan

REM memendek. Sehingga dapat dikatakan bahwa situasi stres

menyebabkan seseorang berusaha untuk dapat tertidur namun sering

terbangun selama siklus tidur atau menjadi terlalu banyak tidur. Apabila

kondisi stres ini dibiarkan terlalu lama dapat menjadi kebiasan tidur

yang tidak baik.

g. Lingkungan

Lingkungan yang dapat mendukung seseorang untuk tidur dapat

menjadi pengaruh dalam memulai dan tetap tidur. Baik ukuran maupun

posisi tidur dapat mempengaruhi kualitas tidur seseorang. Suara atau

kebisingan, suhu, dan cahaya dapat berpengaruh pada kemampuan

seseorang untuk tidur. Sebagian individu ada yang suka dengan cahaya

yang tetap menyala terang, remang-remang, atau dimatikan. Beberapa

tidak menyukai suhu yang terlalu dingin atau panas karena dapat

menimbulkan rasa gelisah. Beberapa individu lain menyukai kondisi

dan situasi yang tenang untuk tidur dari pada kebisingan, namun ada

pula individu yang cepat tertidur dengan adanya suara musik.


h. Latihan dan Kelelahan

Kondisi kelelahan biasanya dapat dengan mudah menyebabkan

seseorang tertidur nyenyak, terutama kelelahan tersebut disebabkan

oleh kerja tubuh/latihan yang menyenangkan. Olahraga selama 2 jam

atau lebih sebelum tidur dapat mendinginkan, mengurangi kelelahan,

dan meningkatkan relaksasi tubuh. Namun, tidak disarankan untuk lelah

berlebihan yang berasal dari kegiatan yang menghasilkan stres karena

dapat mengakibatkan sulit tidur. Hal ini karena timbulnya kelelahan

dapat berpengaruh terhadap tidur seseorang dimana kelelahan yang

berlebihan dapat berpengaruh terhadap tidur REM yang memendek

(Asmadi, 2008).

i. Makanan dan Asupan Kalori

Makan besar, berat, dan pedas pada malam hari dapat mengakibatkan

masalah pencernaan sehingga dapat mengganggu tidur. Asupan yang

mengandung kafein, alkohol, dan nikotin juga dapat menyebabkan

insomnia, seperti kopi, teh, cola, dan coklat (mengandung kafein dan

xanthenes yang menyebabkan sulit tidur). Kehilangan atau penambahan

berat badan juga dapat mempengaruhi pola tidur. Hal ini karena berat

badan berkontribusi terhadap apnea tidur obstruktif karena

meningkatnya ukuran struktur jaringan lunak di saluran nafas bagian

atas dan mengakibatkan insomnia dan penurunan jumlah tidur (Schwab

et al, 2005 dalam Potter dan Perry, 2010; Benca dan Schenck, 2005

dalam Potter dan Perry, 2010).


2.3.5. Pola Tidur Normal

a. Bayi

Pada bayi baru lahir membutuhkan tidur selama 14-18 jam sehari

pernapasan teratur, gerak tubuh 50% adalah tahap REM dan terbagi

dalam 7 periode. Dan pada bayi tidur selama 12-14 jam sehari, sekitar

20-30% tidur REM, tidur lebih lama pada malam hari dan punya pola

terbangun sebentar (Asmadi, 2008).

b. Todler

Kebutuhan tidur pada Todler menurun menjadi 10-12 jam/hari, tahap

REM 20-25%. Tidur siang dapat hilang pada usia 3 tahun karena sering

terbangun pada malam hari yang menyebabkan mereka tidak ingin tidur

pada malam hari (Asmadi, 2008).

d. Preschooler

Memerlukan waktu tidur 11-12 jam pada malam hari, tahap REM 20%.

Bisa jadi anak usia 4-5 mengalami kurang istirahat dan mudah sakit jika

kebutuhan tidurnya kurang terpenuhi (Asmadi, 2008).

e. Usia sekolah

Tidurantara 8-12 jam pada malam hari tanpa tidur siang, tahap REM

berkurang sekitar 20%. Anak usia 8 tahun membutuhkan waktu kurang

lebih 10 jam setiap malam (Asmadi, 2008).

f. Adolensia

Tidur 8-10 jam pada malam hari untuk mencegah kelemahan dan

kerentanan terhadap infeksi, tahap REM 20%. Pada remaja laki-laki

mengalami Noctural Emission (orgasme dan mengeluarkan cairan


semen pada tidur malam hari) yang biasa kita kenal dengan mimpi

basah (Potter, 2005).

g. Dewasa muda

Pada masa ini umumnya mereka sangat aktif membutuhkan waktu tidur

7-8 jam/hari, tahap REM 20%. Dewasa muda yang sehat membutuhkan

cukup tidur untuk berpartisipasi dalam kesibukan aktifitas karena jarang

sekali mereka tidur siang (Asmadi, 2008).

h. Dewasa Akhir

Kebutuhan akan tidur kurang dari 6 jam/hari, tahap REM 20-25% dan

tidur tahap IV mengalami penurunan (Asmadi, 2008)

2.4 Konsep Pre Operative

2.4.1 Definisi Pre Operative

Pre operative merupakan suatu tahapan awal dari periode

perioperatif. Tahap ini dimulai sejak pasien direncanakan untuk dilakukan

tindakan pembedahan hingga pasien berada di meja bedah (Hidayat dan

Uliyah, 2014).

2.4.2 Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Pre Operative

Terdapat berbagai faktor yang dapat meningkatkan risiko operasi.

Menurut Potter dan Perry (2010), faktor yang dapat meningkatkan risiko

operasi, yaitu:
a. Umur. Seseorang dengan usia terlalu muda atau terlalu tua dapat berisiko

selama operasi. Hal ini karena status fisiologis yang dimiliki dalam

kondisi belum matang atau mengalami penurunan.

b. Nutrisi. Gizi yang cukup dapat membantu tubuh dalam memperbaiki

jaringan normal dan bertahan terhadap infeksi. Penyembuhan luka dapat

dengan mudah terjadi karena difasilitasi dengan adanya peningkatan

protein, vitamin A dan C. Jikalau pasien pre operative dengan jenis

operasi elektif mengalami ketidakseimbangan nutrisi, perbaikan nutrisi

perlu dilakukan sebelum dilaksanakannya operasi. Sedang, pada pasien

ketidakseimbangan nutrisi yang memerlukan prosedur operasi darurat,

perbaikan nutrisi dilakukan setelah operasi.

c. Obesitas. Kondisi obesitas dapat meningkatkan risiko pembedahan karena

dapat mengurangi fungsi ventilasi dan jantung. Populasi bariatrik

(kegemukan) umum mengalami apnea obstruktif, penyakit arteri koroner,

hipertensi, gagal jantung kongestif, dan diabetes melitus. Sedang

komplikasi pasca operasi yang dapat terjadi pada pasien obesitas

diantaranya atelektasis, embolus, dan pneumonia

d. Apnea tidur obstruktif atau obstructive sleep apnea (OSA), adalah

sindrom periodik dari obstruksi jalan nafas lengkap atau sebagian yang

terjadi saat tidur. OSA dapat meningkatkan risiko komplikasi

perioperatif.
e. Imunokompromis. Pasien dengan kanker, sumsum tulang dapat

mengalami perubahan dan meningkatkan risiko infeksi. Terapi radiasi

biasanya dilakukan sebelum operasi dengan tujuan mengurangi ukuran

kanker atau tumor. Namun, radiasi yang diberikan dapat memberikan

efek pada jaringan normal yang tidak terhindari, seperti kerusakan

kolagen, penipisan lapisan kulit, dan gangguan vaskularisasi jaringan.

Idealnya dokter akan menunggu 4-6 minggu setelah perawatan radiasi

kemudian dilakukan operasi.

f. Persepsi dan pengetahuan tentang bedah. Pengalaman yang dialami

dimasa lalu dapat mempengaruhi respon fisik dan psikologis terhadap

prosedur pembedahan. Selain itu, peringatan dari teman dan keluarga,

atau kurangnya pengetahuan dapat pula meningkatkan rasa takut dan

khawatir. Hal ini dapat mempengaruhi pre operative karena rasa takut

dan khawatir dapat mempengaruhi perubahan kondisi fisiologis sehingga

operasi bisa jadi tertunda.

g. Sumber dukungan. Penting sifatnya untuk menentukan sejauh mana

dukungan yang diterima pasien dari keluarga atau teman terdekat.

Keluarga merupaka sumber daya penting dalam menyediakan dukungan

emosional yang dibutuhkan untuk memotivasi pasien kembali sehat.


2.5. Kerangka Teori

Kecemasan kualitas tidur

Gejala klinis cemas: Faktor yang


Mempengaruhi Kualitas
1. Gangguan cemas Tidur
menyeluruh 1. Usia
(Generalized Anxiety 2. Jenis Kelamin
Disorder/GAD) 3. Penyakit
2. Gangguan panik 4. Obat dan substansi
3. Gangguan phobik 5. Gaya hidup
4. Gangguan obsesif- 6. Stres emosional
7. Lingkungan
kompulsif
8. Latihan dan kelelahan
9. Makanan dan asupan
kalori

Tingkat Kualitas Tidur Potter dan Perry (2010


1. Baik
2. Buruk

Gambar 2.2 Kerangka Teori

2.6. kerangka konsep

Variabel Independen Variabel Dependen

1. Kecemasan Gangguan tidur pada


2. Koping pasien pra operasih
keperawatan

Gambar 3.1. Kerangka Konsep


2.6. Hipotesis Penelitian

Hipotesis Penelitian adalah jawaban sementara terhadap rumusan masalah

penelitian, dimana rumusan masalah penelitian telah dinyatakan dalam bentuk

pertanyaan (Sugiyono, 2009). Hipotesis dalam penelitian ini yaitu :

1. Untuk mengetahui hubungan kecemasan dengan gangguan tidur pasien pra

operasi

2. Untuk mengetahui koping dengan gangguan tidur pasien praoperasi

BAB III
Kerangka Kerja Penelitian

3.1. Desain Penelitian

Jenis penelitian ini adalah kuantitatif yaitu berbentuk angka-angka hasil

perhitungan atau pengukuran. Penelitian kuantitatif adalah pendekatan

penelitian yang banyak dituntut menguakan angka, mulai dari

pengumpulan data, penafsiran terhadap data tersebut, serta penampilan

hasilnya.Rancangan penelitian yang digunakan adalah deskriptif

korelasional yaitu rancangan yang menggambarkan hubungan antara dua

variable atau lebih (Arikunto, 2006)

3.2. Populasi dan Sampel

3.2.1 Populasi Penelitian

Populasi adalah keseluruhan subjek penelitian (Arikunto, 2006).

Populasi dalam penelitian ini adalah seluruh pasien yang melakukan pre

operasi di RSU Sembiring Deli Tua. Dengan kriteria inklusi : pasien yang
melakukan operasi dan bersedia menjadi responden. Kriteria eksklusi :

pasien yang tidak melakukan operasi.

3.2.2 Sampel Penelitian

Teknik pengambilan sampel yang digunakan pada penelitian ini

adalah Teknik Total Sampling. Yaitu teknik penentuan sampel dengan

mengambil seluruh anggota populasi sebagai responden atau sampel.

(Sugiyono, 2009). Dengan demikian peneliti mengambil sampel dari seluruh

pasien pra operasi. Jumlah sampel dalam penelitian ini didapat dengan

menggunakan rumus sampel penelitian cross-sectional rumus lemeshow:

Z ² α p q Z ² p(1− p)
n= =
d² d²

Keterangan :

n : jumlah sampel minimal yang di perlukan / derajad kepercayan

d : derajad penyimpangan terhadap populasi yang diinginkan:10%

(0,10), 5% (0,05) atau 1% (0,01)

p : Proposi suatu kasus tertentu terhadap populasi, bila tidak diketahui

proporsinya,ditetapkan 50% (0,05)

q : Proporsi tanpa atribut 1-p

( 1,96 )2 x 0,7 x ( 1−0,7 )


n= 2
( 0,1 )

0,806736
n=
0,01

n=80,6736 = 81
3.3 Tempat dan Waktu Penelitian

Tempat Penelitian Di Rumah Sakit Umum Sembiring Deli Tua

3.4. Variabel Definisi Operasional dan skala pengukuran


3.4.1. Variabel penelitian
Variabel penelitian pada dasarnya adalah segala sesuatu yang

berbentuk apa saja yang ditetapkan oleh peneliti untuk dipelajari sehingga

diperoleh informasi tentang hal tersebut, kemudian ditarik kesimpulannya

(Sugiyono, 2009). Jadi yang dimaksud dengan variabel penelitian dalam

penelitian ini adalah segala sesuatu sebagai objek penelitian yang

ditetapkan dan dipelajari sehingga memperoleh informasi untuk menarik

kesimpulan. Variabel penelitian dalam penelitian kuantitatif dapat

dibedakan menjadi dua macam, yaitu(Sugiyono, 2009):

1. Variabel bebas (independen variable)

Variabel bebas, merupakan variabel yang mempengaruhi atau menjadi

sebab perubahannya atau timbulnya variabel dependent (terikat).

Variabel bebas (X) pada penelitian ini adalah kecemasan pada pasien

pra opersi..

2. Variabel terikat (dependent variable)

Variabel terikat, merupakan variabel yang dipengaruhi atau yang

menjadi akibat adanya variabel bebas. Variabel terikat (Y) pada

penelitian ini adalah kualitas tidur pada pasien pra operasih


3.4.2. Definisi Operasional

Definisi
No variabel skala Alat ukur kriteria
variabel
.1 kecemasan Kecemasan Ordinal Kuesioner a. Ringan :
adalah kondisi 14 - 20
jiwa yang penuh b. Sedang :
dengan
21 - 27
ketakutan
dan c. Berat :
kekhawatiran 28 - 41
dan ketakutan d. Berat sekali:
akan apa yang 42 - 56
mungkin terjadi,
baik berkaitan
dengan
permasalahan
yang terbatas
maupun hal-hal
yang aneh.
2. Kualitas Kualitas tidur ordinal Kuesioner a. Kualitas Tidur
tidur Adalah Baik ≤ 5
kemampuan b. Kualitas Tidur
setiap orang
Buruk > 5
untuk
mempertahanka
n
keadaan tidur
dan
untuk
mendapatkan
tahap tidur REM
dan NREM
yang
pantas

Tabel 3.2. Definisi Operasional


3.5. Alat Penelitian dan Cara Pengumpulan Data

1. Untuk mengukur kualitas tidur instrumen yang digunakan adalah

Pittsburgh Sleep Quality Index (PSQI). PSQI merupakan instrumen yang

efektif digunakan untuk mengukur kualitas dan pola tidur pada orang

dewasa. Untuk ketujuh komponennya. Penilaian jawaban berdasarkan

skala Likert dari 03, dimana skor 3 menggambarkan hal negatif.

Pengkategorian kualitas tidur terbagi menjadi dua kelompok, yaitu

kualitas tidur baik dan kualitas tidur buruk. Rentang jumlah skor PSQI

adalah 0 s.d 21 dari ketujuh komponennya. Kualitas tidur dikatakan baik

apabila jumlah skor penilaian ≤ 5, sedangkan kualitas tidur dikatakan

buruk apabila jumlah skor penilaian > 5.

2. Untuk mengukur tingkat kecemasan, peneliti menggunakan kuesioner

dengan metode Hamilton Rating Scala For Anxiety (HRS-A) merupakan

instrumen untuk mengukur tingkat kecemasan. Cara pengisian kuesioner

adalah dengan memberikan jawaban dengan tanda ceklis (√) sesuai

dengan hasil yang diinginkan. Sebelum angket dibagikan, peneliti

terlebih dahulu menjelaskan tujuan dari penelitian ini dan juga meminta

kesediaan responden. Setelah angket diisi oleh responden, kemudian

angket dikumpulkan dan dicek kelengkapannya oleh peneliti untuk

diolah dan dianalisis.


3.6 Tekhnik Pengolahan Data

Proses pengolahan data penelitian menggunakanlangkah-langkah

diantaranya (Setiadi, 2007).

1. Editing

Peneliti mengumpulkan dan memeriksa kembali pembenaran yang telah

diperoleh dari responden. Kegiatan yang dilakukan pada tahap ini adalah

menjumlah dan melakukan korelasi.

2. Coding

Untuk mempermudah dalam pengolahan data dan proses selanjutnya

melalui tindakan mengklasifikasikan data dengan memberikan kode

setiap kuesioner.

3. Scoring

Peneliti memberikan skor untuk tiap-tiap pertanyaan nilai 1 untuk

jawaban benar dan nilai 0 untuk jawaban salah.

4. Tabulating

Tabulasi adalah pengorganisasian data sedemikain rupa agar dengan

mudah dapat dijumlahkan, disusun dan ditata untuk disajikan dan

dianalisis. Dimana peneliti memasukkan data yang telah terkumpul ke

dalam tabel distribusi frekuensi

3.7 Analisa Data

3.7.1. AnalisisUnivariat

Analisa data ini dilakukan terhadap tiap variabel dari penelitian dan

pada umumnya dalam analisis ini hanya menghasilkan distribusi dan

presentasi dari tiap variabel (Notoatmodjo,2005). Adapun variabel yang


dianalisisadalah tingkat kecemasan dan kualitas tidur pada pasien pra

operasi.

3.7.2 AnalisisBivariat

Analisis bivariat adalah analisis yang dilakukan terhadap kedua

variabel yang diduga berhubungan atau berkorelasi. Yaitu untuk

mengetahui hubungan antara tingkat kecemasan dengan kualitas tidur

pasien pra operasih. Analisa bivariat dilakukan untuk mengetahui

hubungan antara variabel dependen dan independen. Derajat kepercayaan

yang digunakan adalah 95% dengan α 5%sehingga jika nilai P (p value) <

0,05 berarti terdapat hubungan bermakna(signifikan) antara variabel yang

diteliti. Jika nilai P > 0,05 berarti tidakada hubungan bermakna antara

variabel yang diteliti (Notoatmodjo, 2005).

Anda mungkin juga menyukai