Pajak Pembangunan I
Pajak Pembangunan I atau PPb I dipungut secara resmi per 1 Juli 1947 atas usaha rumah makan,
penginapan dan penyerahan jasa di rumah makan. PPb I berstatus sebagai pajak pusat yang menjadi
pajak daerah sejak tahun 1957.
Pajak Penjualan
Undang-Undang Darurat No. 19 tahun 1951 yang berlaku per 1 oktober 1951 selanjutnya menjadi
Undang-Undang No. 35 tahun 1953 sebagai dasar hukum pemungutan pajak penjualan yang dikenal
dengan Pajak penjualan 1951 (PPN 1951). Pemungutan Pn 1951 ini menggunakan single stage tax pada
tingkat pabrikan (manufacturer’s sales tax).
Karakteristik PPN
1. Pajak atas konsumsi dalam negeri. PPN dikenakan atas konsumsi bukan atas penghasilan. Jadi jika
anda mempunyai penghasilan sebesar 10 juta dan konsumsi anda 8 juta, maka PPN hanya dikenakan
atas 8 juta. Jika anda tidak melakukan konsumsi maka tidak ada PPN yang dibayar.
2. Pajak tidak langsung. Yang membayar PPN adalah pembeli tetapi dibayarkan lewat penjual. Ketika
anda membeli barang, anda juga membayar PPN nya kepada penjual. Penjual melakukan penghitungan
PPN dan membayar PPN ke bank.
3. Dikenakan bertahap (multistage) dengan metode PK-PM. PPN ditujukan kepada end user. Pabrikan,
distributor sebenarnya tidak membayar PPN, Yang membayar adalah end user. Pabrikan dan distributor
membayar PPN karena merupakan chain dalam mekanisme PK-PM.
4. Pajak objektif. Yang dikenakan PPN adalah objeknya berupa barang dan jasa. Sedangkan subjeknya
tidak dikenakan. Karena itulah, pengenaan PPN dianggap tidak adil karena tidak melihat subjeknya,
apakah layak atau tidak membayar pajak.
5. Tidak menimbulkan pajak berganda. Dengan mekanisme PM-PK maka tidak ada pengenaan pajak
berganda, PKP hanya membayar sebesar selisih PK dan PM dikali tarif PPN.
Mengutip Undang-Undang Nomor 17 tahun 2000 tentang Pajak Penghasilan (PPh), subjek
pajak PPh terdiri dari tiga yaitu orang pribadi, badan dan warisan. Subjek pajak tersebut juga
digolongkan menjadi dua yaitu subjek pajak dalam negeri dan subjek pajak luar negeri.
Subjek Pajak Dalam Negeri
1. Orang pribadi yang tidak bertempat tinggal di Indonesia atau berada di Indonesia
tidak lebih dari 183 hari dalam jangka waktu 12 bulan, yang menjalankan usaha atau
melakukan kegiatan melalui bentuk usaha tetap di Indonesia
2. Badan yang tidak didirikan dan tidak bertempat kedudukan di Indonesia, yang
menjalankan usaha atau melakukan kegiatan melalui bentuk usaha tetap di
Indonesia
3. Orang pribadi yang tidak bertempat tinggal di Indonesia atau berada di Indonesia
tidak lebih dari 183 hari dalam jangka waktu 12 bulan, yang dapat menerima atau
memperoleh penghasilan dari Indonesia bukan dari menjalankan usaha atau
melakukan kegiatan melalui bentuk usaha tetap di Indonesia
4. Badan yang tidak didirikan dan tidak bertempat di Indonesia, yang memperoleh
penghasilan dari Indonesia bukan dari menjalankan usaha atau melakukan kegiatan
melalui bentuk usaha tetap di Indonesia.
Sedangkan objek PPh merupakan setiap penghasilan yang diterima atau diperoleh wajib
pajak. Penghasilan tersebut diperoleh wajib pajak dari dalam maupun luar negeri, seperti:
Penggantian atau imbalan berkenaan dengan pekerjaan atau jasa yang diterima atau
diperoleh termasuk gaji, upah, tunjangan, honorarium, komisi, bonus, gratifikasi,
uang pensiun atau imbalan dalam bentuk lainnya kecuali ditentukan lain dalam
Undang-undang Pajak Penghasilan.
Hadiah dari undian atau pekerjaan atau kegiatan dan penghargaan.
Laba usaha.
Keuntungan karena penjualan atau karena pengalihan harta seperti keuntungan
karena pengalihan harta kepada perseroan, persekutuan, dan badan lainnya sebagai
pengganti saham atau penyertaan modal.
Keuntungan yang diperoleh perseroan, persekutuan, dan badan lainnya karena
pengalihan harta kepada pemegang saham, sekutu atau anggota.
Keuntungan karena likuidasi, penggabungan, peleburan, pemekaran, pemecahan
atau pengambilalihan usaha.
Keuntungan karena pengalihan harta berupa hibah, bantuan atau sumbangan,
kecuali yang diberikan kepada keluarga sedarah dalam garis keturunan lurus satu
derajat, dan badan keagamaan atau badan pendidikan atau badan sosial atau
pengusaha kecil termasuk koperasi yang ditetapkan oleh Menteri Keuangan,
sepanjang tidak ada hubungan dengan usaha, pekerjaan, kepemilikan atau
penguasaan antara pihak-pihak yang bersangkutan.
Penerimaan kembali pembayaran pajak yang telah dibebankan sebagai biaya.
Bunga termasuk premium, diskonto, dan imbalan karena jaminan pengembalian
utang.
Dividen dengan nama dan dalam bentuk apapun, termasuk dividen dari perusahaan
asuransi kepada pemegang polis dan pembagian sisa hasil usaha koperasi.
Royalti.
Sewa dan penghasilan lain sehubungan dengan penggunaan harta.
Penerimaan atau perolehan pembayaran berkala.
Keuntungan karena pembebasan utang, kecuali sampai dengan jumlah tertentu yang
ditetapkan dengan peraturan pemerintah.
Keuntungan karena selisih kurs mata uang asing.
Selisih lebih karena penilaian kembali aktiva.
Premi asuransi.
Iuran yang diterima atau diperoleh perkumpulan dari anggotanya yang terdiri dari
WP yang menjalankan usaha atau pekerjaan bebas.
Tambahan kekayaan neto yang berasal dari penghasilan yang belum dikenakan
pajak.
Penghasilan dari usaha berbasis syariah.
Surplus Bank Indonesia.
Imbalan bunga sebagaimana dimaksud dalam UU yang mengatur mengenai KUP.
Objek Pajak yang dikenakan PPh final atas penghasilan berupa bunga deposito dan
tabungan-tabungan lainnya.
Penghasilan dari transaksi saham dan sekuritas lainnya di bursa efek.
Penghasilan dari pengalihan harta berupa tanah dan atau bangunan.
Subjek dan Objek Pajak Pertambahan Nilai (PPN)
Subjek PPN adalah Pengusaha Kena Pajak (PKP) atau pengusaha yang melakukan
penyerahan Barang Kena Pajak dan/atau penyerahan Jasa Kena Pajak yang dikenai pajak
berdasarkan Undang-Undang PPN.
Namun, untuk pengusaha kecil yang batasannya ditetapkan oleh Menteri Keuangan masih
belum termasuk, kecuali pengusaha kecil tersebut memilih dikukuhkan sebagai PKP.
1. Pengusaha adalah orang pribadi atau badan yang dalam kegiatan usaha atau
pekerjaannya menghasilkan barang, mengimpor barang, mengekspor barang,
melakukan usaha perdagangan, memanfaatkan barang tidak berwujud dari luar
Daerah Pabean, melakukan usaha jasa, atau memanfaatkan jasa dari luar Daerah
Pabean.
2. Pengusaha Kena Pajak adalah Pengusaha yang melakukan penyerahan Barang Kena
Pajak atau penyerahan Jasa Kena Pajak yang dikenakan pajak, tidak termasuk
Pengusaha Kecil yang batasannya ditetapkan dengan Keputusan Menteri Keuangan,
kecuali Pengusaha Kecil yang memilih untuk dikukuhkan sebagai Pengusaha Kena
Pajak.
3. Pembeli adalah orang pribadi atau badan yang menerima atau seharusnya menerima
penyerahan Barang Kena Pajak dan yang membayar atau seharusnya membayar
harga Barang Kena Pajak tersebut.
4. Penerima jasa adalah orang pribadi atau badan yang menerima atau seharusnya
menerima penyerahan Jasa Kena Pajak dan yang membayar atau seharusnya
membayar Penggantian atas Jasa Kena Pajak tersebut.
pajak penjualan atas barang mewah (ppnbm)
Untuk mengendalikan pola konsumsi atas Barang Kena Pajak yang tergolong mewah
Prinsip Pemungutan Pajak Penjualan atas Barang Mewah ialah hanya 1 (satu) kali saja, yaitu
pada saat:
Penyerahan oleh pabrikan atau produsen Barang Kena Pajak yang tergolong mewah
Pemungutan pajak barang mewah ini sama sekali tidak memperhatikan siapa yang
mengimpor maupun seberapa sering produsen atau pengusaha melakukan impor tersebut
(lebih dari sekali atau hanya sekali saja)
Barang yang dikonsumsi hanya untuk menunjukkan status atau kelas sosial
Berikut akan coba saya uraikan secara singkat saat dan tempat pajak terutang untuk Pajak
Pertambahan Nilai (PPN) dan Pajak Penjualan Atas Barang Mewah (PPnBM). Saat terutang PPN
dan PPnBM akan erat kaitannya dengan saat pembuatan Faktur Pajak.
PERATURAN PERPAJAKAN
1. Undang-Undang Nomor 42 Tahun 2009 tentang Perubahan Ketiga UU Nomor 8 Tahun
1983 tentang PPN Barang dan Jasa dan PPnBM.
2. Peraturan Pemerintah Nomor 1 Tahun 2012 tentang pelaksanaan UU Nomor 8 Tahun
1983 tentang Pajak Pertambahan Nilai Barang dan Jasa dan Pajak Penjualan Atas Barang
Mewah Sebagaimana telah Beberapa Kali Diubah Terakhir Dengan UU Nomor 42 Tahun 2009
tentang Perubahan Ketiga UU Nomor 8 Tahun 1983 tentang PPN Barang dan Jasa dan
PPnBM.
Disebutkan dalam Pasal 11 Ayat (1) UU PPN, PPN terutang pada saat:
1. Penyerahan Barang Kena Pajak
2. Impor Barang Kena Pajak
3. Penyerahan Jasa Kena Pajak
4. Pemanfaatan BKP Tidak Berwujud dari luar daerah pabean
5. Pemanfaatan JKP dari luar daerah pabean
6. Ekspor BKP Berwujud
7. Ekspor BKP tidak berwujud
8. Ekspor JKP
Ketentuan Pasal 11 ayat (1) UU PPN menegaskan bahwa dalam menentukan saat PPN terutang, UU
PPN menganut prinsip akrual. Artinya PPN sudah terutang ketika penyerahan BKP atau JKP meskipun
pembayaran atas penyerahan tersebut belum diterima atau belum sepenuhnya diterima.
Dalam hal pembayaran diterima sebelum penyerahan BKP atau sebelum penyerahan JKP atau dalam
hal pembayaran dilakukan sebelum dimulainya pemanfaatan BJP tidak berwujud atau JKP dari luar
daerah pabean, saat terutangnya PPN adalah pada saat pembayaran. Di dalam Pasal 17 PP Nomor 1
Tahun 2012, saat PPN terutang dijelaskan lebih lanjut sebagai berikut :
1. Saat Penyerahan BKP
Saat penyerahan BKP dibedakan berdasarkan jenis BKP nya sebagai berikut :
2. Saat Impor BKP terjadi pada saat BKP tersebut dimasukkan ke dalam daerah
pabean
3. Saat penyerahan JKP terjadi saat :
Harga atas penyerahan JKP diakui sebagai piutang atau penghasilan, atau
pada saat diterbitkan faktur penjualan oleh PKP, sesuai dengan prinsip akuntansi
yang berlaku umum dan diterapkan secara konsisten;
Kontrak atau perjanjian ditandatangani, dalam hal saat sebagaimana
dimaksud pada angka 1 tidak diketahui; atau
Mulai tersediannya fasilitas atau kemudahan untuk dipakai secara nyata, baik
sebagian atau seluruhnya, dalam hal pemberian Cuma-Cuma atau pemakaian sendiri
JKP.
PPN yang terutang merupakan Pajak Keluaran (PK) yang dipungut oleh PKP penjual dan merupakan Pajak
Masukan bagi PKP pembeli.
Contoh :
1. PKP "A" bulan Januari 1996 menjual tunai kepada PKP "B"
100 pasang sepatu @ Rp.100.000,00 = Rp.10.000.000,00
DPP adalah harga jual tanpa menghitung laba kotor, yaitu Rp 100.000,- per pasang = Rp 500.000,00
FAKTUR PAJAK
Faktur Pajak adalah bukti pungutan pajak Pengusaha Kena Pajak (PKP), yang melakukan
penyerahan Barang Kena Pajak (BKP) atau penyerahan Jasa Kena Pajak (JKP).
Artinya, ketika PKP menjual suatu barang atau jasa kena pajak, ia harus menerbitkan Faktur
Pajak sebagai tanda bukti dirinya telah memungut pajak dari orang yang telah membeli
barang/jasa kena pajak tersebut.
Perlu diingat bahwa barang/jasa kena pajak yang diperjualbelikan, telah dikenai biaya pajak
selain harga pokoknya.
Perlu diingat, Faktur Pajak harus dibuat oleh PKP untuk setiap penyerahan BKP dan/atau JKP,
ekspor BKP tidak berwujud, dan ekspor JKP.
Contohnya adalah tagihan listrik, tagihan pemakaian air, tagihan telepon selular, dan lain
sebagainya.
Faktur pajak dapat dibetulkan. Jadi jika PKP melakukan suatu kesalahan dalam proses
pengisian, maka PKP dapat melakukan pembetulan. Jika tidak dilakukan pembetulan sama
sekali, maka hal ini akan merugikan PKP yakni pada saat auditor memeriksa pajak PKP.
1. Pajak Masukan dalam suatu Masa Pajak dikreditkan dengan Pajak Keluaran dalam Masa
Pajak yang sama.
2. Bagi Pengusaha Kena Pajak yang belum berproduksi sehingga belum melakukan
penyerahan yang terutang pajak, Pajak Masukan atas perolehan dan/atau impor barang
modal dapat dikreditkan. Dalam hal Pajak Masukan yang telah dikreditkan dan telah
diberikan pengembalian, pajak tersebut wajib dibayar kembali oleh Pengusaha Kena Pajak
dalam hal Pengusaha Kena Pajak mengalami keadaan gagal berproduksi, yang saat,
penghitungan dan tata caranya diatur dengan atau berdasarkan Peraturan Menteri
Keuangan, yaitu 81/PMK.03/2010 tentang saat penghitungan dan tata cara pembayaran
kembali pajak masukan yang telah dikreditkan dan telah diberikan pengembalian bagi
pengusaha kena pajak yang mengalami keadaan gagal berproduksi.
3. Pajak Masukan yang dikreditkan harus menggunakan Faktur Pajak yang memenuhi
persyaratan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13 ayat (5) dan Pasal 13 ayat (9) UU PPN.
4. Apabila dalam suatu Masa Pajak, Pajak Keluaran lebih besar daripada Pajak Masukan,
selisihnya merupakan PPN yang harus dibayar oleh Pengusaha Kena Pajak.
5. Apabila dalam suatu Masa Pajak, Pajak Masukan yang dapat dikreditkan lebih besar
daripada Pajak Keluaran, selisihnya merupakan kelebihan pajak yang dikompensasikan ke
Masa Pajak berikutnya. Kelebihan Pajak Masukan tersebut juga dapat diajukan permohonan
pengembalian pada akhir tahun buku. Dikecualikan dari ketentuan tersebut, atas kelebihan
Pajak Masukan dapat diajukan permohonan pengembalian pada setiap Masa Pajak oleh:
a. Pengusaha Kena Pajak yang melakukan ekspor Barang Kena Pajak Berwujud;
b. Pengusaha Kena Pajak yang melakukan penyerahan Barang Kena Pajak dan/atau Jasa
Kena Pajak kepada Pemungut Pajak Pertambahan Nilai;
c. Pengusaha Kena Pajak yang melakukan penyerahan Barang Kena Pajak dan/atau Jasa
Kena Pajak yang Pajak Pertambahan Nilainya tidak dipungut;
d. Pengusaha Kena Pajak yang melakukan penyerahan Jasa Kena Pajak dalam rangka
menghasilkan dan melakukan ekspor Barang Kena Pajak atas dasar pesanan atau
permintaan dengan bahan dan atas petunjuk dari pemesan di luar Daerah Pabean;
e. Pengusaha Kena Pajak yang melakukan ekspor Jasa Kena Pajak dan/atau ekspor
Barang Kena Pajak Tidak Berwujud;
f. Pengusaha Kena Pajak yang ditetapkan sebagai Wajib Pajak dengan kriteria tertentu
sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan
Umum dan Tata Cara Perpajakan dan perubahannya; dan/atau
g. Pengusaha Kena Pajak dalam tahap belum berproduksi.
6. Apabila dalam suatu Masa Pajak, Pengusaha Kena Pajak selain melakukan penyerahan
yang terutang pajak juga melakukan penyerahan yang tidak terutang pajak, sepanjang
bagian penyerahan yang terutang pajak dapat diketahui dengan pasti dari pembukuannya,
maka jumlah Pajak Masukan yang dapat dikreditkan adalah Pajak Masukan yang berkenaan
dengan penyerahan yang terutang pajak.
7. Apabila dalam suatu Masa Pajak, selain melakukan penyerahan yang terutang pajak,
Pengusaha Kena Pajak juga melakukan penyerahan yang tidak terutang pajak, sedangkan
Pajak Masukan untuk penyerahan yang terutang pajak tidak dapat diketahui dengan pasti,
jumlah Pajak Masukan yang dapat dikreditkan untuk penyerahan yang terutang pajak
dihitung dengan menggunakan pedoman yang diatur dengan Keputusan Menteri Keuangan,
yaitu Per.Menkeu No. 78/PMK.03/2010 tentang pedoman penghitungan pengkreditan pajak
masukan bagi pengusaha kena pajak yang melakukan penyerahan yang terutang pajak dan
penyerahan yang tidak terutang pajak.
8. Besarnya Pajak Masukan yang dapat dikreditkan oleh Pengusaha yang dikenakan Pajak
Penghasilan dengan menggunakan Norma Penghitungan Penghasilan Neto sebagaimana
dimaksud dalam Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1983 tentang PPh dan perubahannya,
dihitung dengan menggunakan pedoman penghitungan pengkreditan Pajak Masukan yang
diatur dengan atau berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan.
PEMUNGUT PPN
Dalam sistem perpajakan di Indonesia, kita mengenal istilah pemungut PPN. Bagi pemungut
PPN, pemerintah menetapkan mekanisme pemungutan pajak yang berbeda dibandingkan
mekanisme pemungutan PPN pada umumnya.
Perbedaan mekanismenya terlihat jelas pada pihak yang berkewajiban memungut dan
melaporkan PPN. Jadi, jika terjadi kegiatan penyerahan BKP/JKP yang dilakukan PKP rekanan
kepada pemungut PPN, maka PPN akan dipungut oleh pemungut PPN dan tidak lagi dipungut
PKP penjual.
Namun, PKP penjual tetap berkewajiban menerbitkan faktur sebagai bukti adanya transaksi
dan pemungutan PPN. Hanya saja, kewajiban untuk memungut, menyetor, dan melaporkan
pajak justru ada pada pembeli selaku pemungut PPN.
Lalu, pembeli seperti apa yang bisa memungut PPN? Mari simak ulasannya di bawah ini.
Pemungut PPN
BUMN merupakan badan usaha yang sebagian besar modalnya dimiliki oleh negara dan
berasal dari kekayaan negara. BUMN terdiri dari Persero, yang sahamnya minimal 51%
dimiliki oleh pemerintah, dan Perum, yang mana seluruh modalnya dimiliki pemerintah.
Kontraktor atau pemegang izin/kuasa merupakan salah satu pemungut PPN. Yang dimaksud
kontraktor atau pemegang izin/kuasa dijelaskan dalam Pasal 1 PMK-73/PMK.03/2010, yakni:
Kontraktor yang memiliki kontrak kerja sama dengan pengusaha minyak dan gas
bumi.
Kontraktor atau pemegang izin/kuasa pengusaha sumber daya panas bumi
yang meliputi kantor pusat, cabang, ataupun unitnya.
Kontraktor Kontrak Kerja Sama (KKKS) merupakan pihak yang menjalin kontrak dengan
pemerintah RI, badan usaha tetap atau perusahaan pemegang hak pengelolaan dalam
suatu blok atau wilayah kerja dan memiliki hak untuk melakukan eksplorasi dan eksploitasi
gas dan minyak bumi di Indonesia.
3. Bendaharawan pemerintah
Bendaharawan pemerintah merupakan bendaharawan atau pejabat yang melakukan
pembayaran yang dananya berasal dari APBD/APBN. Bendaharawan pemerintah terdiri dari
bendaharawan pemerintah pusat dan daerah (provinsi, kabupaten, atau kota).
Jadi, yang dimaksud pemungut PPN dan PPnBM dari kalangan bendaharawan pemerintah
adalah:
Seperti disebutkan di atas, bendahara pemerintah merupakan salah satu pemungut PPN.
Konsekuensinya, bendahara pemerintah wajib memungut, menyetor, dan melaporkan PPN
meski dalam transaksi berstatus sebagai pembeli. Nah, berikut ini adalah objek PPN yang
dipungut oleh bendahara pemerintah:
Selain objek PPN yang dapat dipungut bendahara pemerintah, terdapat juga PPN yang tidak
dipungut oleh bendaharawan pemerintah, antara lain:
Dalam hal pelaporan PPN yang dipungut oleh pemungut PPN, maka formulir SPT yang
digunakan adalah SPT 1107 PUT. Apabila dalam satu bulan tidak terdapat pungutan,
bendahara pemerintah tetap wajib melaporkan PPN yang dipungutnya dalam formulir SPT
1107 PUT dengan keterangan nih.
MEKANISME PENGEMBALIAN
JANGKA WAKTU
Penerbitan SKPKPP
1. SPT Tahunan PPh Orang Pribadi diterima sampai dengan SKPPKP terbit : 15 (lima
belas) hari kerja
2. SPT Tahunan PPh Badan diterima sampai dengan SKPPKP terbit : 1 (satu) bulan
3. SPT Masa PPN diterima sampai dengan SKPPKP terbit : 1 (satu) bulan
Jika tidak ditemukan terdapat kelebihan pembayaran dan tidak diterbitkan SKPPKP, akan
diberikan surat pemberitahuan paling lambat : 1 (satu) bula
KETENTUAN LAIN
Jumlah kelebihan pembayaran pajak pada SKPPKP tidak sama dengan jumlah dalam permohonan, Anda
dapat mengajukan kembali permohonan Pengembalian Pendahuluan atas selisihnya melalui surat
tersendiri. Namun jika Anda tidak meminta pengembalian atas selisih kelebihan pembayaran pajak yang
belum dikembalikan, Anda dapat melakukan pembetulan SPT.
Jika Anda menyampaikan SPT Tahunan PPh maupun SPT Masa PPN yang menyatakan lebih bayar
tetapi tidak disertai permohonan Pengembalian Pendahuluan, sehingga tidak diterbitkan SKPPKP,
maka akan ditindaklanjuti dengan prosedur pemeriksaan.
Fasilitas di bidang PPN adalah PPN dan yang terutang dibebaskan atau tidak dipungut, baik
sebagian atau seluruhnya, sementara waktu atau selamanya.
Apakah anda sedang berencana untuk membangun rumah? Bagi anda yang sedang merencanakan
untuk membangun rumah tentunya banyak hal yang harus dicermati mulai dari design atau perancangan
rumah, perencanaan biaya dan juga hal-hal lainnya. Mengenai biaya, selain dari biaya pembelian bahan
material rumah serta upah pekerja bangunan yang merupakan komponen utama dalam pembangunan
rumah, umumnya terdapat biaya lain-lain yang terkait seperti biaya perizinan serta perpajakan. Apakah
membangun rumah tinggal sendiri juga terkena pajak? Dalam bahasan kali ini akan kita bahas mengenai
hal tersebut.
Landasan Peraturan Perpajakan
Berikut ini adalah peraturan perpajakan yang akan kita jadikan dasar acuan dalam pembahasan kali ini,
yaitu:
1. Peraturan Menteri Keuangan Nomor 163/PMK.03/2012 tentang Batasan dan Tata Cara
Pengenaan Pajak Pertambahan Nilai atas Kegiatan Membangun Sendiri.
Perlu diinformasikan Peraturan Menteri ini mulai berlaku setelah 30 (tiga puluh) hari terhitung
sejak tanggal diundangkan yaitu 30 hari sejak tanggal 22 Oktober 2012 dan dengan
diberlakukannya ketentuan ini maka Peraturan Menteri Keuangan Nomor 39/PMK.03/2010
tentang Batasan dan Tata Cara Pengenaan Pajak Pertambahan Nilai atas Kegiatan
Membangun Sendiri, dicabut dan dinyatakan tidak berlaku.
2. Peraturan Direktorat Jenderal Pajak Nomor PER-25/PJ/2012 tentang Perubahan Atas
Peraturan Direktorat Jenderal Pajak Nomor PER-23/PJ/2012 tentang Penetapan Secara
Jabatan atas Jumlah Biaya Yang Dikeluarkan Dan / Atau Yang Dibayarkan Untuk Membangun
Bangunan Dalam Rangka Kegiatan Membangun Sendiri.
Kegiatan Membangun Sendiri itu terutang Pajak Pertambahan Nilai (PPN), hal tersebut diatur dalam
Peraturan Menteri Keuangan Nomor 163/PMK.03/2012 Pasal 2 Ayat 1 dan Pajak Pertambahan Nilai
tersebut terutang bagi badan maupun orang pribadi yang melakukan kegiatan membangun sendiri.
Sebelum memulai membahas lebih jauh mengenai pengenaan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) atas
kegiatan membangun sendiri tersebut, tentunya kita harus memahami terlebih dahulu tentang apa yang
dimaksud dengan kegiatan membangun sendiri dalam Peraturan Menteri Keuangan tersebut sehingga
kita dapat mengetahui apakah pembangunan yang mungkin sedang kita rencanakan atau lakukan itu
termasuk dalam kategori kegiatan membangun sendiri yang dikenakan Pajak Pertambahan Nilai.
Definisi Kegiatan Membangun Sendiri yang dikutip dari Peraturan Menteri Keuangan Nomor
163/PMK.03/2012 Pasal 2 Ayat 3 adalah “Kegiatan membangun bangunan yang dilakukan tidak dalam
kegiatan usaha atau pekerjaan oleh orang pribadi atau badan, yang hasilnya digunakan sendiri atau
digunakan pihak lain”.
Kemudian dalam Peraturan Menteri Keuangan Nomor 163/PMK.03/2012 Pasal 2 Ayat 4 dijelaskan
mengenai bangunan yang dimaksud dalam Peraturan Menteri Keuangan Nomor 163/PMK.03/2012 Pasal
2 Ayat 3 yaitu bangunan tersebut berupa satu atau lebih konstruksi teknik yang ditanam atau dilekatkan
secara tetap pada satu kesatuan tanah dan/atau perairan dengan kriteria sebagai berikut:
a. Konstruksi utamanya terdiri dari kayu, beton, pasangan batu bata atau bahan sejenis, dan/atau baja;
b. Diperuntukan bagi tempat tinggal atau tempat kegiatan usaha; dan
c. Luas keseluruhan paling sedikit 200m2 (dua ratus meter persegi).
Jadi kegiatan membangun sendiri akan dikenakan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) apabila memenuhi
definisi dan kriteria sebagaimana yang dijelaskan diatas.
Sebagai contoh, apabila kita sebagai orang pribadi membangun rumah baik dilakukan secara pribadi,
baik dengan mempekerjakan pekerja atau buruh bangunan dimana rumah yang dibangun itu untuk
ditempati secara pribadi atau oleh anggota keluarga lain misalkan anak, apakah termasuk kedalam
kategori kegiatan membangun sendiri yang dikenakan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) atasnya? Jika
hanya melihat secara definisi, kasus pembangunan rumah pribadi diatas dapat memenuhi definisi
kegiatan membangun sendiri yang dijelaskan dalam Peraturan Menteri Keuangan Nomor
163/PMK.03/2012 Pasal 2 Ayat 3 karena pembangunan rumah yang dilakukan dalam kasus ini tidak
berkaitan dengan kegiatan usaha serta untuk dimanfaatkan atau digunakan sebagai keperluan pribadi,
namun untuk menentukan apakah terhadap pembangunan rumah tersebut dikenakan Pajak
Pertambahan Nilai (PPN) atau tidak, kita tidak cukup hanya dengan melihat definisi saja, kita harus
melihat terlebih dahulu, apakah bangunan yang kita bangun (dalam kasus ini rumah) itu memenuhi
kriteria bangunan yang diatur dalam Peraturan Menteri Keuangan Nomor 163/PMK.03/2012 Pasal 2 Ayat
4 sebagaimana telah dijelaskan diatas. Jika memang kegiatan membangun sendiri yang kita lakukan itu
sesuai dengan penjelasan definisi serta kriteria bangunan yang diatur dalam Peraturan Menteri
Keuangan Nomor 163/PMK.03/2012 maka kita wajib menyetorkan PPN yang terutang atas kegiatan
membangun sendiri tersebut. Setelah memahami yang dimaksud dengan kegiatan membangun sendiri,
mari kita bahas lebih lanjut mengenai pengenaan Pajak Pertambahan Nilai atasnya.
Tarif Dan Dasar Pengenaan Pajak PPN atas Kegiatan Membangun Sendiri
Dalam Peraturan Menteri Keuangan Nomor 163/PMK.03/2012 Pasal 3 ayat 1 dan 2, diatur bahwa:
1. Kegiatan membangun sendiri akan dikenakan PPN dengan tarif sebesar 10 % (sepuluh
persen) dari Dasar Pengenaan Pajak.
2. Dasar Pengenaan Pajak atas kegiatan membangun sendiri adalah 20% (dua puluh persen)
dari jumlah biaya yang dikeluarkan dan/atau yang dibayarkan untuk membangun bangunan,
tidak termasuk harga perolehan tanah.
Jadi dengan mengacu pada Peraturan Menteri Keuangan Nomor 163/PMK.03/2012 Pasal 3 yang
disebutkan diatas, perhitungan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) atas kegiatan membangun sendiri adalah
sebagai berikut :
PPN = Tarif x DPP
PPN = 10% x (20% x Jumlah biaya yang dikeluarkan dan/atau dibayarkan untuk
membangun bangunan)
SPT Masa PPN merupakan sebuah form yang digunakan oleh Wajib Pajak Badan untuk
melaporkan penghitungan jumlah pajak baik untuk melapor Pajak Pertambahan Nilai
(PPN) maupun Pajak Penjualan Barang Mewah (PPnBM) yang terhutang.
Fungsi dari SPT Masa PPN selain untuk melaporkan pembayaran atau pelunasan pajak,
namun juga dapat digunakan untuk melaporkan harta dan kewajiban serta penyetoran
pajak dari pemotong atau pemungut.
SPT Masa PPN harus dilapor setiap bulannya, walaupun tidak ada perubahan neraca, atau
nilai Rupiah pada masa pajak terkait nihil (0). Jatuh tempo pelaporan adalah pada hari
terakhir (tanggal 30 atau 31) bulan berikutnya setelah akhir masa pajak yang bersangkutan.
Kecuali di bawah kondisi tertentu seperti yang dijelaskan pada Peraturan Menteri Keuangan
PER-80/PMK.03/2010, maka tanggal jatuh tempo bukanlah pada akhir bulan berikut setelah
akhir masa pajak yang bersangkutan. Gagal melaporkan akan berakibat denda sebesar Rp
500.000,00 (UU KUP Pasal 7 ayat 1).
Form Induk dan Lampiran SPT Masa PPN
Formulir yang kini digunakan adalah SPT Masa PPN 1111, yang terdiri dari 1 form induk dan
6 form lampiran. SPT Masa PPN tersebut bisa didapatkan di aplikasi OnlinePajak.
PENGEMBALIAN PPN DAN PPnBM
Pajak Pertambahan Nilai (PPN) adalah pajak yang dikenakan atas setiap
pertambahan nilai dari barang atau jasa dalam peredarannya dari produsen ke
konsumen. Dalam bahasa Inggris, PPN disebut Value Added Tax (VAT) atau Goods
and Services Tax (GST). PPN termasuk jenis pajak tidak langsung, maksudnya pajak
tersebut disetor oleh pihak lain (pedagang) yang bukan penanggung pajak atau
dengan kata lain, penanggung pajak (konsumen akhir) tidak menyetorkan langsung
pajak yang ia tanggung.
Indonesia menganut sistem tarif tunggal untuk PPN, yaitu sebesar 10 persen. Dasar
hukum utama yang digunakan untuk penerapan PPN di Indonesia adalah Undang-
Undang No. 8 Tahun 1983 berikut perubahannya, yaitu Undang-Undang No. 11 Tahun
1994, Undang-Undang No. 18 Tahun 2000, dan Undang_Undang No. 42 Tahun 2009.
Pada dasarnya semua barang dan jasa merupakan barang kena pajak dan jasa kena
pajak, sehingga dikenakan Pajak Pertambahan Nilai (PPN), kecuali jenis barang dan
jenis jasa sebagaimana ditetapkan dalam Pasal 4A Undang-Undang No. 8/1983
tentang Pajak Pertambahan Nilai Barang dan Jasa dan Pajak Penjualan Atas Barang
Mewah sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Undang-Undang No.
18/2000 tidak dikenakan PPN. Untuk lebih detilnya klik di sini
"Pajak Pertambahan Nilai dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah yang sudah
dibayar atas pembelian Barang Kena Pajak yang dibawa ke luar Daerah Pabean oleh
orang pribadi pemegang paspor luar negeri dapat diminta kembali"
Pasal 16E ayat (2) UU PPN memberikan persyaratan PPN dan PPnBM yang dapat
direstitusi atau diminta kembali, yaitu :
1. nilai PPN minimal Rp500.000,00 (lima ratus ribu rupiah) dan dapat disesuaikan
dengan Peraturan Pemerintah;
2. pembelian Barang Kena Pajak dilakukan dalam jangka waktu 1 (satu) bulan
sebelum keberangkatan ke luar Daerah Pabean; dan
3. Faktur Pajak memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13
ayat (5) UU PPN, kecuali pada kolom NPWP dan alamat pembeli diisi dengan
nomor paspor dan alamat lengkap di negara yang menerbitkan paspor atas
penjualan kepada orang pribadi pemegang paspor luar negeri yang tidak
mempunyai NPWP.
Mekanisme Pengembalian
Pasal 16E ayat (3) UU PPN mengatur tentang mekanisme bagaimana orang asing
atau turis asing dalam bahasa yang sederhana dapat melakukan restitusi PPN dan
PPnBM. Berdasarkan ketentuan ini, permintaan kembali dilakukan pada saat turis
asing tersebut meninggalkan Indonesia dan disampaikan kepada Direktur Jenderal
Pajak melalui kantor Direktorat Jenderal Pajak yang berada di bandara yang
ditetapkan oleh Menteri Keuangan.
Adapun dokumen yang harus ditunjukkan pada saat melakukan permintaan kembali
atas PPN dan PPnBM yang sudah dibayar, sesuai dengan ketentuan Pasal 16E ayat
(4) UU PPN adalah :
1. Paspor;
2. Pas naik (boarding pass) untuk keberangkatan ke luar Daerah Pabean; dan;
dan
3. Faktur Pajak.
Pajak Pertambahan Nilai adalah pajak yang dipungut/dipotong oleh pengusahan kena pajak (PKP) yang
berkaitan dengan transaksi penyerahan (penjualan atau pembelian atau transaksi lainnya) barang/jasa
kenapajak didalam daerah pabean yang dilakukan oleh wajib pajak badan maupun orang pribadi.
setiap transasksi yang berhubungan dengan penyerahan(penjualan atau pembelian atau transaksi
lainnya) barang/jasa kena paja, maka akan dikenakan PPN atas barang/jasa tersebut. Pengenaan PPN
atas transaski tersebut biasanya diikuti dengan pembuatan faktur pajak.
Akuntansi PPN dan PPNBM merupakan pencatatan suatu transaksi penjualan dan pembelian barang dan
atau jasa yang dikenakan pajak baik PPN maupun PPNBM. Pada perusahaan dagang dan perusahaan
jasa, barang atau jasa ini dianggap sebagai komoditi yang diperjualbelikan, sehingga perusahaan harus
mengakui harga perolehannya berdasarkan metode akuntansi yang berlaku secara umum.
Pada bab ini akan lebih berfokus pada transaksi yang berkaitan dengan perusahaan diatas Suatu
transaksi yang berkaitan dengan penyerahan barang kena pajak selain dipungut pajak pertambahan nilai,
namun juga dipungut pajak penjualan barang mewah( PPNBM).
Berikut ini adalah jenis penyerahan barang kena pajakyang dikenakan PPNBM sebagai berikut :
1.Penyerahan barang kena pajak yang tergolong mewah yang dilakukan oleh pengusaha yang
menghasilkan barang kena pajak yang tergolong mewah tersebut didalam daerah pabean dalam kegiatan
usaha atau pekerjaannya.
2.Impor barang kena pajak yang tergolong mewah.
Berbeda dengan pajak pertambahan nilai, pajak penjualan atas barang mewah dikenakan hanya satu kali
pada waktu penyerahan barang kena pajak yang tergolong mewah oleh pengusaha yang menghasilkan
atau pda waktu impor.
Pajak Pertambahan Nilai adalah pajak yang dipungut/dipotong oleh pengusahan kena pajak (PKP) yang
berkaitan dengan transaksi penyerahan (penjualan atau pembelian atau transasksi lainnya) barang/jasa
kena pajak didalam daerah pabean yang dilakuakn oleh wajib pajak badan maupun orang pribadi.
Jadi setiap transasksi yang berhubungan dengan penyerahan(penjualan atau pembelian atau transaksi
lainnya) barang/jasa kena paja, maka akan dikenakan PPN atas barang/jasa tersebut. Pengenaan PPN
atas transaski tersebut biasanya diikuti dengan pembuatan faktur pajak.
Akuntansi PPN dan PPNBM merupakan pencatatan suatu transaksi penjualan dan pembelian barang dan
atau jasa yang dikenakan pajak baik ppn maupun ppnbm. Pada perusahaan dagang dan perusahaan
jasa, barang atau jasaini dianggap sebagai komoditi yang diperjualbelikan, sehingga perusahaan harus
mengakui harga perolehannya berdasarkan metode akuntansi yang berlaku secara umum.
Pada bab ini akan lebih berfokus pad transaksi yang berkaitan dengan perusahaan diatas Suatu
transaksi yang berkaitan dengan penyerahan barang kena pajak selain dipungut pajak pertambahan nilai,
namun juga dipungut pajak penjualan barang mewah( PPNBM). Berikut ini adalah jenis penyerahan
barang kena pajakyang dikenakan PPNBM sebagai berikut :
3.Penyerahan barang kena pajak yang tergolong mewah yang dilakukan oleh pengusaha yang
menghasilkan barang kena pajak yang tergolong mewah tersebut didalam daerah pabean dalam kegiatan
usaha atau pekerjaannya.
Berdasarkan UU no 18 tahun 2000 1 A menyebutkan beberapa jenis transaksi yang termasuk dalam
jenis penyerahan barang kena pajak. Jenis penyerahantersebut antara lain sebagai berikut :
5. Persediaan barang kena pajak dan aktiva yang menurut tujuan semula tidak untuk diperjualbelikan,
yang masih tersisa pada saat pembubaran perusahaan, sepanjang pajak pertambahan nilai atas
perolehan aktiva tersebut menurut ketentuan dapat dikreditkan
6. Penyerahan barang kena pajak dari pusat ke cabang atau sebaliknya dan penyerahan barang kena
pajak antar cabang