Filsafat Esensialisme
Filsafat Esensialisme
11190700000129
2A
Filsafat Esensialisme
Schopenhauer tidak setuju dengan Hegel yang mengabaikan kekuatan irrasional, yaitu
kehendak. Ia juga kurang setuju dengan definisi jiwa dari paham materialisme.
Schopenhauer memandang dunia sebagai kehendak, ia membagi kehendak menjadi 2,
yaitu kehendak untuk hidup dan kehendak untuk reproduksi.
Ia menganjurkan untuk memulai berfilsafat secara langsung dari diri sendiri, bukan
dari materi luar diri kita. Sebelum Schopenhauer, para filsuf memandang kesadaran
atau intelek sebagai hakikat dari jiwa, sehingga manusia dianggap sebagai hewan
yang berakal. Schopenhauer menganggap bahwa kesadaran dan intelek hanya
merupakan permukaan jiwa kita, sesungguhnya masih ada dibawah intelek itu suatu
daya atau kekuatan hidup abadi yaitu kehendak yang tidak sadar, dimana karakter
atau watak yang merupakan komtinuitas tujuan dan sikap berada didalamnya.
Meskipun terkadang intelek memang mengendalikan kehendak, tapi hanya sebatas
pembantu yang mengantarkan tuanya, dimana tuannya itu adalah kehendak itu sendiri.
Contohnya, kita tidak menginginkan sesuatu karena kita mempunyai alasan rasional
untuk sesuatu itu, melainkan kita mempunyai alasan yang bisa dibuat rasional karena
menginginkannya. Contoh lainnya adalah kita tentu mengerti kalau objek kita
merupakan objek yang yang kita inginkan. Dengan kata lain, intelek adalah alat
keinginan yang dirancang untuk mengetahui hal-hal yang bersangkut paut dengan
kehendak. Intelek kadang-kadang menolak untuk patuh pada kehendak, kekuatan
inteleka atas kehendak bisa dikembangkan lebih jauh, keinginan bisa dikendalikan
atau diarahkan oleh pengetahuan, sejauh mana intelek mengenal keinginan. Semakin
kita mengenal nafsu-nafsu , maka semakin kurang kita dikuasai oleh nafsu.
Kehendak adalah hakikat manusia, tetapi apakah kehendak merupakan hakikat dari
segala-galanya? Kemampuan mekanistik pada hewan menunjukkan bahwa kehendak
mendahului intelek. Seekor anak anjing takut untuk melompat ke bawah dari sebuah
meja, ia membayangkan akibatnya tidak melalui penalaran karena tidak memlunyai
pengalaman jatuh dari atas meja, melainkan melalui naluri. Demikian maka jelas
bahwa perilakunya adalah naluriah yang merupakan pengekspresian dari kehendak,
bukan hasil penalaran atau intelek.
Kehendak sebagai kejahatan berawal dari pemikiran bahwa hidup adalah kejahatan,
dimana hidup dianggap sebagai peperangan, karena memurutnya yang menstimulasi
hidup tidak lain adalah rasa sakit, perasaan senang hanyalah pemberhentian
sementara. Bertambahnya pengetahuan juga dianggap memperbesar penderitaan.
Orang yang paling jenius adalah orang yang paling menderita, yang berarti usaha
untuk meningkatkan pengetahuan, sama artinya dengan meningkatnya penderitaan.
Dapat dibenarkan kalau pengetahuan itu tidak digunakan untuk bertindak. Ketakutan
kepada kematian memunculkan filsafat dan teologi yang merupakan tempat
berlindung dari kematian , seperti halnya kegilaan merupakan tempat berlindung dari
perasaan sakit atau penderitaan. Dan jalan untuk keluar dari kejahatan individual
adalah kontemplasi yang cerdas mengenai kehidupan, jadikanlah berbagai hal sebagak
objek pengamatan,bukan obje, keinginan.
Bentuk tertinggi dari pengetahuan yang tidak banyak kehendaknya adalah jenius.
Penggambaran jenius oleh Schopenhauer adalah berarti jauh dari perempuan yang
disimbolkan sebagai reproduksi. Schopenhauer dengan jelas seperti mengutuk
reproduktif karena dianggap sebagai penegasa paling kuat dari nafsu. Perempuan
digambarkan sebagai pelaku kejahatan yang memangkas pengetahuan.