Anda di halaman 1dari 17

Indonesia English ‫ العربية‬中文简体 search

UIN MAULANA MALIK IBRAHIM MALANG

AL-QU'AN DAN SAINS MODERN*

Dr. HM. Zainuddin, MA

Senin, 11 November 2013 . in Wakil Rektor I . 20069 views

Para ilmuwan muslim memiliki perspektif yang berbeda-beda dalam merespon sains modern: Pertama,
kelompok yang menganggap bahwa sains modern bersifat universal dan netral dan semua sains tersebut
dapat diketemukan dalam al-Qur’an. Kelompok ini disebut kelompok Bucaillian, pengikut Maurice
Bucaille, seorang ahli bedah Perancis dengan bukunya yang sangat populer, The Bible, the Quran and
Science; Kedua, kelompok yang berusaha untuk memunculkan persemakmuran sains di negara-negara
Islam, karena kelompok ini berpendapat, bahwa ketika sains berada dalam masyarakat Islam, maka
fungsinya akan termodifikasi sehingga dapat dimanfaatkan untuk memenuhi kebutuhan dan cita-cita
Islam (lihat Sardar, 1988:167-171). Tokop-tokoh seperti Ismail Raji Al-Farauqi, Naquib Al-Attas,
Abdussalam dan kawan-kawan bisa diklasifikasikan dalam kelompok ini, dengan konsep Islamisasi-nya.
Ketiga, kelompok yang ingin membangun paradigma baru (epistemologi) Islam, yaitu paradigma
pengetahuan dan paradigma perilaku. Paradigma pengetahuan memusatkan perhatian pada prinsip,
konsep dan nilai utama Islam yang menyangkut pencarian bidang tertentu; dan paradigma perilaku
menentukan batasan-batasan etika di mana para ilmuwan dapat dengan bebas bekerja (Sardar,
1988:102). Paradigma ini berangkat dari al-Qur’an, bukan berakhir dengan al-Qur’an sebagaiman yang
diterapkan oleh Bucaillisme (lihat, Sardar:169). Kelompok ini diwakili oleh Fazlurrahman, Ziauddin Sardar
dan kawan-kawan.

Upaya pencarian ilmu pengetahuan dalam Islam memang bukan hal baru, melainkan sudah dilakukan
oleh ulama-ulama sejak dahulu. Persoalan ini bermula dari perspektif mereka mengenai ”apakah al-
Qur’an merupakan sumber ilmu pengetahuan atau hanya sebagai petunjuk agama saja?” Dari sini lantas
muncul dua kelompok. Kelompok pertama misalnya seperti yang dikatakan Al-Ghazali (lihat Ihya’
Ulumuddin, jilid V : 1). Beliau mengatakan, bahwa seluruh ilmu tercakup dalam karya-karya dan sifat-
sifat Allah, dan al-Qur’an adalah penjelasan esensi-esensi, sifat–sifat dan perbuatan-Nya. al-Qur’an itu
laksana lautan yang tak bertepi, dan jika sekiranya lautan itu menjadi tinta untuk menjelaskan kata-kata
Tuhanku, niscaya lautan itu akan habis sebelum kata-kata Tuhan itu berakhir (lihat Al-Ghazali, 11329 H:
9, 32).
As-Suyuti memiliki pandangan yang sama dengan mengatakan, bahwa al-Qur’an itu mengandung
seluruh ilmu-ilmu klasik dan modern. Kitab Allah itu mencakup segala sesuatunya. Tidak ada bagian atau
problem dasar suatu ilmu pun yang tidak ditunjukkan di dalam al-Qur’an (As-Suyuthi, 1979, I: 1).

Kelompok kedua, seperti yang diwakili oleh As-Syatibi mengatakan, bahwa orang-orang salih zaman dulu
(para sahabat) tidak berbicara tentang bentuk-bentuk ilmu, padahal mereka lebih memahami al-Qur’an
(lihat Az-Zahabi, 1987: 485, 489, Quraish Shihab, 1992: 41).

Ulama’ masa kini yang tidak setuju dengan adanya konsep sains dalam al-Qur’an berpendapat, bahwa
al-Qur’an itu kitab petunjuk di dunia maupun di akhirat, bukan ensiklopedi sains. Mencocok-cocokkan
al-Qur’an dengan teori-teori sains yang tidak mapan (selalu berubah-ubah) adalah sangat mengancam
eksistensi al-Qur’an itu sendiri (Ghulsyani, 1991: 141).

Perbedaan ini juga akibat pemahaman mereka terhadap ayat al-Qur’an dalam surat An-Nahl: 89:

“Dan kami turunkan kepadamu Al-Kitab (al-Qur’an) untuk menjelaskan segala sesuatu dan petunjuk
serta rahmat dan kabar gembira bagi orang-orang berserah diri”.

Dalam konteks ini saya sependapat dengan Mushthafa Al-Maraghi yang berpendapat, bahwa al-
Qur’an mengandung prinsip-prinsip umum, artinya seseorang dapat menurunkan seluruh pengetahuan
tentang perkembangan fisik dan spiritual manusia yang ingin diketahuinya dengan bantuan prinsip-
prinsip tersebut. Dan kewajiban ilmuwan adalah menjelaskan rincian-rincian yang diketahui pada
masanya kepada masyarakat. Adalah penting menafsirkan makna ayat dalam sorotan sains. Tetapi juga
tidak boleh berlebih-lebihan menafsirkan fakta-fakta ilmiah dengan mencocok-cocokkan al-Qur’an.
Bagaimana pun jika makna lahiriah ayat itu konsisten dengan sebuah fakta ilmiah yang telah mantap,
kita menafsirkan dengan bantuan fakta itu. (Ghulsyani, 1991: 143).

Meski demikian, sebagaimana yang dijelaskan Ghulsani (1991:144), bahwa walaupun al-Qur’an bukanlah
merupakan ensiklopedi sains, namun yang perlu diperhatikan ada pesan penting di dalam ayat-ayat yang
melibatkan fenomena, dan para ilmuwan Muslim harus memusatkan perhatiannya pada pesan atau misi
tersebut dari pada melibatkan diri pada aspek-aspek keajaiban al-Qur’an dalam bidang sains.
Menurut Quraish Shihab (1992:41), membahas hubungan al-Qur’an dengan ilmu pengetahuan bukan
dinilai dengan banyaknya cabang-cabang ilmu pengetahuan yang tersimpul di dalamnya, bukan pula
dengan menunjukkan kebenaran-kebenaran teori ilmiah, melainkan pembahasan hendaknya diletakkan
pada proporsi yang lebih tepat sesuai dengan kemurnian dan kesucian al-Qur’an dan sesuai dengan
logika ilmu pengetahuan itu sendiri. Menurut Shihab, mewujudkan iklim ilmu pengetahuan jauh lebih
penting dari pada menemukan teori ilmiah, karena tanpa mewujudkan iklim ilmu pengetahuan, para ahli
yang menemukan teori tersebut akan mengalami nasib seperti Galileo yang menjadi korban hasil
penemuannya (Shihab, 1992: 44).

Jadi, kembali kepada penafsiran ayat al-Qur’an atau juga Al-Hadis, sesungguhnya kita hendak
mengatakan bahwa nas-nas itu memiliki perhatian besar terhadap ilmu, bahwa agama (Islam) itu
memiliki ruh, concern terhadap ilmu dan sikap keilmuan. Dan seperti yang disebutkan oleh Kuntowijoyo
(1991:329-331), bahwa kita ini ingin membangun paradigma al-Qur’an dalam rangka memahami realitas
dengan berusaha semaksimal mungkin untuk menempatkan preposisi-preposisi al-Qur’an tetap sebagai
“unsur konstitutif” yang sangant berpengaruh. Ini yang terpenting.

Para ahli mengakui bahwa bangsa Arab pada abad 8-12 tampil ke depan (maju) karena dua hal: pertama,
karena pengaruh sinar al-Qur’an yang memberi semangat terhadap kegiatan keilmuan, kedua, karena
pergumulannya dengan bangsa asing (Yunani), sehingga ilmu pengetahuan atau filsafat mereka dapat
diserap, serta terjadinya akulturasi budaya antar mereka (Bandingkan dengan Ghallab: 121). Mengenai
pergumulan dan akulturasi budaya tersebut memang ditunjang oleh ajaran Islam itu sendiri yang
inklusif, terbuka.

Dalam sejarahnya belum pernah ada agama yang menaruh perhatian sangat besar dan lebih mulia
terhadap ilmu kecuali Islam. Salah satu ciri yang membedakan Islam dengan agama yang lain adalah
perhatiannya kepada ilmu dan ilmuwan. Agama Islam selalu menyeru dan mendorong umatnya untuk
senantiasa mencari dan menggali ilmu. Oleh karena itu ilmuwan pun mendapatka perlakuan yang lebih
dari Islam, yang berupa kehormatan dan kemuliaan. al-Qur’an dan as-Sunnah mengajak kaum muslimin
untuk mencari dan mengembangkan ilmu serta menempatkan mereka pada posisi yang luhur (untuk ini
lihat Abdul Halim Mahmud, 1979: 61-62).

Dalam al-Qur’an, kata ‘ilm dan kata jadiannya disebutkan kurang lebih mencapai 800 kali. Al-
Qardhawi dalam penelitiannya terhadap kitab Al-Mu’jam al-Mufahras li al-fazh al-Qur’an al-Karim (lihat
Fuad Abdul Baqi, tt.:469-481) melaporkan, bahwa kata ‘ilm (ilmu) dalam al-Qur’an baik dalam bentuknya
yang definitif (ma’rifat) maupun indefinitif (nakirah) terdapat 80 kali, sedangkan kata yang berkait
dengan itu seperti kata ‘allama (mengajarkan), ya’lamun (mereka menegetahui), ‘alim (sangat tahu) dan
seterusnya, disebutkan beratus-ratus kali. Kata ‘aql (akal) tidak terdapat dalam bentuk nomina, kata
benda (mashdar), tetapi yang ada adalah kata al-albab sebanyak 16 kali. Dan kata al-nuha sebanyak 2
kali. Adapun kata yang berasal dari kata ‘aql itu sendiri berjumlah 49. Kata fiqh (paham) muncul
sebanyak 2 kali, kata hikmah (ilmu, filsafat) 20 kali, dan kata burhan (argumentasi) sebanyak 20 kali.
Belum termasuk kata-kata yang berkaitan dengan ‘ilm atau fikr seperti kata unzuru (perhatikan,
amatilah, lihatlah), yanzhurun (mereka memperhatikan, mereka mengamati dan seterusnya) (Al-
Qardhawi, 1986:1-2).

Selain itu, jika kita telaah kitab-kitab hadis, semuanya penuh dengan kata-kata ‘ilm tersebut. Dalam kitab
al-Jami’ al-Shahih karya Al-Bukhari kita dapati 102 hadis. Dalam Shahhih Muslim dan yang lain seperti al-
Muwatha’, Sunan al-Tirmizi, Sunan Abu Daud, al-Nasai, Ibn Majah terdapat pula bab ilmu. Belum lagi
kitab-kitab yang lain, misalnya Al-Faturrabbani yang memuat sebanyak 81 hadis tentang ilmu, Majma’
az-Zawaid memuat 84 halaman, al-Mustadrak karya An-Naisaburi memuat 44 halaman, al-Targhib wa ‘l-
Tarhib karya Al-Wundziri memuat 130 hadis sedangkan kitab Jam’ al Fawaid Min Jami’ al-Ushul wa
Majma’ al-Zawaid karya Sulaiman memuat 154 hadis tentang ilmu tersebut (Al-Qardhawi, 1986, lihat
juga Weinsink, al-Mu’jam al-Mufahras li alfazh al-Hadits al-Nabawi, Leiden, 1962: 312-339).

Beberapa ayat petama yang diwahyukan Muhammad s.a.w. menandaskan pentingnya membaca,
menulis dan belajar-mengajar. Allah menyeru:

“Bacalah dengan (menyebut) nama Tuhanmu Yang Menciptakan. Dia telah menciptakan manusia dari
segumpal darah. Bacalah dan Tuhanmulah yang paling Pemurah. Yang mengajar (manusia) dengan
perantaraan qalam. Dia mengajarkan kepada manusia apa yang tidak diketahuinya (QS. Al-Alaq: 1-5).

Sebagaimana yang dituturkan oleh Thanthawi Jauhari (1350 H: 217), bahwa bertambahnya kemuliaan
itu adalah karena ilmu, dan Allah adalah Zat yang menyebarkan dan mengajarkan ilmu itu dengan pena.
Tidakkah menakjubkan, bahwa Nabi adalah seorang ummi, sementara surat pertama kali yang
diturunkan menyangkut masalah “pengajaran” dan “pena”? Dan bagaimana kemudian Nabi itu
memelihara ilmu dengan menyuruh kepada para sahabat untuk mencatat dan menyebarluaskan kepada
yang lain? Bukankah perkembangan ilmu pengetahuan begitu meluas setelah keutusan Nabi?

Sebagian ahli tafsir berpendapat, ar-Razi misalnya, bahwa yang dimaksud dengan “iqra” dalam ayat
pertama itu berarti “belajar” dan “iqra” yan kedua berarti “mengajar”. Atau yang pertama berarti
“bacalah dalam shalatmu” dan yang kedua berarti “bacalah di luar shalatmu” (Binti Syathi’, 1968:20.
Bandingkan dengan Jawad Maghniyah 1968: 587, Abdul Halim Mahmud, 1979:55-56).
Zamakhsyari berpendapat, bahwa yang dimaksud dengan “qalam” adalah “tulisan”. Karena tanpa tulisan
semua ilmu tidak dapat dikodifikasikan, seandainya tidak ada tulisan maka tidaklah tegak persoalan
agama dan dunia (Mahmud, 1979:23 lihat juga Abu Hayan, tt.: 492).

Dan tentang penciptaan alam, al-Qur’an menjelaskan bahwa Malaikat pun diperintahkan untuk sujud
kepada Adam setelah Adam diajarkan nama-nama:

“Dan Dia mengajarkan kepada Adam nama-nama (benda) seluruhnya, kemudian mengemukakannya
kepada Malikat dan berfirman: ‘Sebutkanlah kepada-Ku nama-nama benda itu, jika kamu memang
orang-orang yang benar’. Mereka menjawab: ‘Maha suci Engkau, tidak ada yang kami ketahui selain apa
yang telah Engkau ajarkan kepada kami; Engkau Yang Maha Mengetahui lagi Maha Bijaksana (QS. Al-
Baqarah: 31-32).

Al-Qur’an juga menandaskan, bahwa tidaklah sama antara mereka yang mengetahui dengan yang tidak
mengetahui:

“Katakanlah: ‘Adakah sama orang-orang yang mengetahuidengan orang-orang yang tidak mengetaui?’.
Sesungguhnya orang yang berakallah orang yang dapat menerima pelajaran” (QS. Ak-Zumar: 9).

Dan perumpaan ini kami buatkan untuk manusia; dan tiada yang memahaminya kecuali orang-orang
yang berilmu” (QS. Al-Ankabut: 43).

Sesungguhnya yang takut kepada Allah di antara hamba-hamba-Nya hanyalah ulama” (QS. Al-Fathir: 28).

Dan masih banyak lagi ayat al-Qur’an yang mwenyinggung masalah yang berkaitan dengan ilmu itu.
Dalam Hadis Nabi juga disebutkan antara lain:

“Mencari ilmu itu wajib bagi setiap orang Islam” (HR. Ibn Majah).
“Barang siapa keluar untuk mencari ilmu, maka ia berada di jalan Allah sampai ia kembali (HR. Bukhari
dan Muslim).

“Carilah ilmu walau sampai di negeri Cina”.

Hadis di atas sanatnya dhaif tapi matannya populer (lihat catatan kaki Ihya’ Ulumuddin, 1975, juz 1: 15).

“Kalimat hikmah (ilmu) itu bagaikan (barang) hilangnya orang Mukmin. Dimana pun orang menemukan,
maka ia lebih berhak atasnya”.

Hadis di atas sanadnya dhaif tapi maknanya shahih (Al-Qardhawi, 1989: 56).

“Wahai sekalian manusia belajarlah. Ilmu hanya diperoleh melalui belajar…(HR. Ibn Abi ‘Ashim dan At-
Thabrani).

“Para ulama’ itu adalah pewaris para Nabi (HR. Ibn Majjah).

Dan masih banyak lagi hadis yang menyebutkan tentang hal ini. Hanya di sini ada persoalan yang cukup
menjadi perhelatan pagi para ahli (ulama’). Persoalannya adalah, “ilmu yang manakah yang wajib dicari
atau diperoleh oleh setiap Muslim itu? Apakah ada bentuk ilmu khusus, atau ada ilmu prioritas?”.

Dari sinilah lantas setiap kelompok mengklaim pendapatnya sendiri. Para ahli kalam mengakui belajar
ilmu kalam merupakan kewajiban yang dituntut (di-fardhukan), sedang ahli fiqh juga demikian, bahwa
ilmu yang diwajibkan adalah ilmu fiqh. Dan kelompok ahli tafsir dan juga ahli hadis mengakui kewajiban
yang ditentukan adalah tafsir dan hadis. Demikian juga ahli tasawuf dan seterusnya. Dalam hal ini Al-
Ghazali menghimpun sekitar 20 pendapat yang berbicara tentang ilmu yang difardhukan ini (lihat Al-
Ghazali, 1975, I: 15, lihat pula Sunan Ibn Majjah, I: 98).
Al-Ghazali sendiri lalu involved terhadap penggolongan ilmu tersebut, sehingga ia sangat populer
dengan pembagiannya mengenai “ilmu agama dan non agama”, ilmu yang fardhu ‘ain dan fardhu
kifayah”, “ilmu yang terpuji dan ilmu yang tercela” (Al-Ghazali, 1975: 28).

Sebagaimana yang dikutip oleh Mahdi Ghulsyani (1991: 43), Shadrudddin Syirazi dalam komentarnya
terhadap “wajib bagi setiap Muslim”, menuturkan:

Bahwa kata ilmu di sini mengandung makna yang luas dan umum (generik) yang mencakup spektrum
arti yang telah digunakan dalam sunnah Nabi. Hadis tersebut bermksud untuk menetapkan bahwa
tingkat ilmu apapun seorang Muslim harus berjuang untuk mengembangkan lebih jauh;

Hadis tersebut mengisyaratkan makna bahwa seorang Muslim tidak akan pernah akan keluar dari
tanggung jawabnya untuk mencari ilmu;

Tidak ada lapangan pengetahuan atau sains yang tercela atau jelek dalam dirinya sendiri; karena ilmu
laksana cahaya yang selalu dibutuhkan. Ilmu dianggap tercela karena akibat-akibat tercela yang
dihasilkan.

Banyak para ahli belakangan ini yang tidak sependapat dengan klasifikasi ilmu yang dikhotomis
yang dibuat oleh Al-Ghazali. Ghulsyani sendiri misalnya mengatakan, bahwa ilmu yang wajib dicari oleh
setiap Muslim adalah ilmu yang menyangkut posisi manusia pada hari akhirat dan yang mengantarkan
kepada pengetahuan tentang dirinya, penciptanya, para nabi-Nya, utusan-utusan-Nya, sifat-sifat-Nya,
hari akhirat dan hal-hal yang menyebabkan dekat dengan-Nya (Ghulsyani, 1991: 44).

Murthadha Muthahhari dengan benar telah menunjukkan, bahwa klafisikasi yang dikhotomis itu bisa
menyebabkan miskonsepsi, bahwa “ilmu non-agama” terpisah dari Islam dan nampak tidak sesuai
dengan keuniversalan agama Islam. Kelengkapan dan kesempurnaan Islam, sebagai suatu agama
menuntut agar setiap lapangan ilmu yang berguna bagi masyarakat Islam dianggap sebagai bagian dari
kelompok “ilmu agama” (Ghulsyani, 1991:44 dan lihat juga Ahmad Anwar Anees, 1991:77, Abdul Halim
Mahmud, 1979: 47).

Dan tepatlah apa yang dikatakan oleh Al-Qardhawi (1989: 99-100), bahwa ilmu yang wajib dipelajari
setiap Muslim adalah ilmu yang diperlukan dan yang dituntut oleh agama dan dunianya. Persoalan
apakah jenis ilmunya, adalah hal baru yang tidak membawa segi ibadah. Yang penting sesungguhnya
adalah essensinya, label dan nama bukanlah persoalan. Ghulsyani (1991:44-46) dapat menunjukkan,
bahwa konsep ilmu secara mutlak muncul dalam maknanya yang generik dengan bukti al-Qur’an dan al-
Sunnah sebagai berikut ini:
“Katakanlah: adakah sama orang-orang yang mengetahui dengan orang-orang yang tidak mengetahui?”
(QS. Al-Zumar: 9).

“Dia mengajarkan manusia apa yang belum ia ketahui” (QS. Al-‘Alaq: 5).

“Dan Dia mengajarkan kepada Adam seluruh nama-nama, kemudian mengemukakannya kepada
Malaikat dan berfirman: ‘sebutkanlah kepada-Ku nama-nama benda itu jika kamu memang orang yang
benar” (QS. Al-Baqarah:31).

Lihat juga misalnya surat Yusuf: 76, Al-Nahl: 70 dan hadis Nabi:

“Barang siapa yang pergi untuk mencari ilmu maka Allah memudahkan baginya jalan ke surga”.

“Orang yang paling berharga adalah orang yang paling banyak ilmunya…..”.

Nabi Sulaiman memandang bahwa pengetahuan bahasa burung (binatang) sebagai rahmat atau
kemurahan Allah (lihat Q.S Al-Naml: 15-16). Dan sangat jelas bahwa Cina pada saat itu bukan pusatnya
studi ilmu agama Islam, akan tetapi lebih terkenal dengan industrinya.

Dalam Islam, batasan untuk mencari ilmu adalah bahwa orang-orang Islam harus menuntut ilmu
yang berguna dan melarang mencari ilmu yang bahayanya lebih besar daripada manfaatnya (ilmu sihir,
forkas dan sebagainya), sebagaimana sabda Nabi: “sebaik-baik ilmu adalah ilmu yang bermanfaat”
(Ghusyani,1991:44, dan bandingkan dengan Al-Qardhawi, 1989: 31-32).

Bagi penulis sendiri memang persoalannya bukan “ilmu agama” dan “non agama”, tetapi lebih kepada
“kepentingan”, untuk apa ilmu tersebut (karena ilmu sebagai instrumen, bukan tujuan). Dan apalagi jika
kita sepakat, pada dasarnya sumber ilmu itu dari Allah. Jadi terminologi “ilmu agama” dan “ilmu umum,
non agama” itu peristilahan sehari-hari dalam pengertian sempit saja. Hanya memang, pertama-tama
kita harus punya prioritas bahwa sebagai seorang Muslim harus menguasai ilmu yang berkaitan
langsung dengan ibadah mahdhah itu, misalnya ilmu tentang shalat, puasa, zakat, haji dan seterusnya,
yang ilmu tersebut sering disebut ilmu syar’iah/fiqh; dan ilmu tentang ketuhanan/keimanan kepada
Allah SWT, yang ilmu tersebut sering disebut sebagai ilmu tauhid/ kalam. Ilmu-ilmu inipun sebetulnya
jika dipahami secara mendalam dan kritis tampak sangat berkaitan dan tak terpisahkan dengan ilmu-
ilmu yang selama ini disebut “ilmu umum” itu, misalnya ilmu sosial dan humaniora dan juga ilmu alam.
Karena semua sistem peribadatan (al-’ibadah, worship) didalam Islam mengandung dimensi ajaran yang
tidak lepas dari hubungan antara Allah SWT sebagai Zat pencipta (al-Khaliq) dan manusia atau alam
sebagai yang dicipta (al-makhluq). Dan hubungan ini dalam al-Qur’an disebut sebagai hablun min Allah
wa hablun min al-nas, hubungan vertikal dan hubungan horizontal. Di sini rukun iman dalam ajaran
Islam lebih berorientasi pada hubungan vertikal, manusia dengan Allah atau yang ghaib, sedang rukun
Islam lebih berorientasi pada hubungan horizontal antara manusia dengan manusia yang lain ataupun
alam semesta. Tetapi keduanya (iman dan Islam) tak dapat dipisahkan tak ubahnya seperti hubungan
ilmu dan amal.

Pada akhirnya semua harus bermuara pada konsep “tauhid”, kesadaran Yang Kudus. Oleh ebab itu Al-
Ghazali juga benar ketika mengatakan, bahwa ilmu muamalah (karena ia juga membagi ilmu yang
mukasyafah) yang pertama diwajibkan bagi orang mukallaf adalah ilmu tauhid, yaitu belajar dua kalimat
syahadat meskipun dengan taklid, kemudian setelah itu belajar thaharah dan shalat (fiqh) (Al-Ghazali,
1975, I, : 25).

Pemikir Islam abad duapuluh khususnya setelah Seminar Internasional Pendidikan Islam di
Makkah pada tahun 1977, mengklasifikasikan ilmu dalam dua katageri:

Ilmu abadi (perennial knowledge) yang berdasarkan wahyu Ilahi yang tertera dalam al-Qur’an dan al-
Hadis serta segala yang dapat diambil dari keduanya;

Ilmu yang dicari (inquired knowledge) termasuk sains kealaman dan terapannya (teknologi) yang dapat
berkembang secara kualitatif (Quraish Shihab, 1992: 62-63).

Al-Qur’an Dan Kaum Intelektual

Sebagaimana yang ditegaskan oleh Allah sendiri, bahwa al-Qur’an diantara fungsinya adalah sebagai
hidayah, peringatan, syifa’, dan rahmat. Fungsi al-Qur’an sebagai hidayah itu dijelaskan di antaranya
dalam surat Al-Baqarah: 2 dan185. Fungsi al-Qur’an sebagai peringatan dijelaskan dalam surat Al-
Furqan:1, Shad:87, Takwir:27 dan fungsi al-Qur’an sebagai obat sakit jiwa (psikosis-neurosis) dan rahmat
dijelaskan dalam surat al-Isra’: 82.
Pertanyaannya kemudian, kapan al-Qur’an menjadi hidayah, dan syifa’ bagi manusia? Al-Qur’an dapat
berfungsi sebagai hidayah bagi manusia setidaknya dengan tiga syarat: Pertama, selagi al-Qur’an itu di
baca. Al-Qur’an sendiri artinya bacaan, kitab yang dibaca; kedua, selagi al-Qur’an itu dikaji, direnungkan
dan dihayati maknanya; ketiga, selagi al-Qur’an itu diamalkan isinya dan diikuti petunjukknya.

Jika ketiga hal di atas tidak dipenuhi, maka al-Qur’an tidak akan memberikan petunjuk, obat maupun
rahmat bagi manusia. Mana mungkin al Qur’an bisa memberikan hidayah kepada manusia tanpa
manusia membaca dan menghayatinya? Ibarat rambu-rambu lalu lintas, mana mungkin pengendara
kendaraan bisa aman di jalan/ tahu arah tanpa ia bisa membaca dan memahami rambu-rambu
tersebut? (dan tentunya harus mentaatinya).

Oleh sebab itu, orang yang banyak bergelimang dengan maksiat adalah orang yang tidak
mendapat petunjuk al-Qur’an, yaitu orang-orang yang tidak mau dan mampu membaca dengan benar,
tidak mau menghayati maknanya dan tidak pula mengamalkannya.

Sebagai orang terpelajar, tentu kita harus berusaha mampu membaca dengan arti yang
sesungguhnya, yaitu mampu menangkap isyarat atau makna al-Qur’an tersebut, untuk kemudian mau
mengamalkannya. Jangan sampai kita termasuk orang yang dilaknat al-Qur’an itu sendiri sebagaimana
yang disinggung oleh Nabi:

“Banyak orang membaca al-Qur’an, tetapi justru al-Qur’an melaknatinya”. Kenapa? Karena mereka tidak
menjadikan al-Qur’an sebagai pegangan hidupnya, tidak menjadikan al-Qur’an sebagai akhlaknya. Oleh
sebab itu orang yang terdidik (intelektual) amat potensial untuk mendekatkan diri (takwa) kepada Allah,
sebab ia mau membaca dan mengkaji maknanya, dan lebih dari itu adalah mengamalkannya. Inilah
manusia ulu al-‘ilmi, ahl al-zikri dan ulul albab.

Al-Qur’an adalah petunjuk bagi manusia, baik yang menyangkut informasi ilmu pengetahuan
maupun yang terkait dengan norma-norma hukum dan akhlak. Terkait dengan informasi ilmu
pengetatahuan, tidak sedikit dari para akademisi, baik akademisi Timur maupun Barat yang mengakui
akan kemukjizatan al-Qur’an. Dan tidak sedikit dari kalangan mereka yang kemudian tunduk, khudhu’
wal- inqiyad, alias menjadi muslim. Bahkan yang tidak muslim pun bisa mendapatkan informasi ilmiah
dari al-Qur’an, sebagaimana yang dialami oleh para orientalis itu.
Jika para orientalis yang tidak beriman dengan al-Qur’an mereka mau mempelajari secara serius
untuk memperoleh informasi ilmiah, kenapa kita tidak? Kenapa selama ini kita banyak mengetahui
informasi ilmiah justru lewat orang Barat yang sekuler, bukan dari al-Qur’an yang milik kita sendiri yang
nyata-nyata di dekat kita, di telinga kita. Suatu contoh, kita tahu bahwa matahari berputar pada
porosnya, bahwa asal muasal alam ini air, adalah dari ilmuwan Barat dan Filosof Yunani (Thales).
Kenapa tidak dari al-Qur’an yang kita baca setiap hari? Misalnya dalam surat Yasin dan al-Anbiya’ itu
Allah berfirman:

“Dan matahari berputar pada porosnya. Itulah ketetapan (takdir) Yang Maha Perkasa lagi Maha
Mengetahui” (QS. Yasin:38).

“Dan telah Kami jadikan segala sesuatu yang hidup ini berasal dari air” (QS. Al-Anbiya’: 36).

Seorang filosof Perancis yang bernama Al-Kiss Luazon menegaskan: “al-Qur’an adalah kitab suci, tidak
ada satu pun masalah ilmiah yang terkuak di zaman modern ini yang bertentangan dengan dasar-dasar
Islam”. Dr. Reney Ginon --setelah masuk Islam kemudian berganti nama, Abdul Wahid Yahya-- juga
bercerita:

“Setelah saya mempelajari secara serius ayat-ayat al-Qur’an dari kecil yang terkait dengan ilmu
pengetahuan alam dan medis, saya menemukan ayat-ayat al-Qur’an yang relevan dan kompatibel
dengan ilmu pengetahuan modern. Saya masuk Islam karena saya yakin bahwa Muhammad saw. datang
ke dunia ini dengan membawa kebenaran yang nyata, seribu tahun jauh sebelum ada guru umat
manusia ini”. Selanjutnya ia menegaskan: “Seandainya para pakar dan ilmuwan dunia itu mau
membandingkan ayat-ayat al-Qur’an secara serius yang terkait dengan apa yang mereka pelajari, seperti
yang saya lakukan, niscaya mereka akan menjadi muslim tanpa ragu --jika memang mereka berpikir
objektif --katanya” (Abdul Muta’al, La Nuskha fi al-Qur’an, Kairo, Maktabah al-Wahbiyyah, 1980 h. 8).

Itulah kehebatan al-Qur’an, memang benar ia adalah mukjizat Nabi Muhammad saw. yang
terbesar. Al-Qur’an tidak hanya sekadar informasi ilmiah, tetapi ia memiliki fungsi petunjuk, rahmat dan
obat bagi kita. Mari kita baca al-Qur’an karena ia bisa memberikan syafaat di hari kiamat, Mari kita baca
al-Qur’an karena ia bisa menjadi penerang di rumah kita di tengah-tengah keluarga kita. Janganlah kita
termasuk orang yang jauh dari al-Qur’an sehingga ibarat rumah kosong, tanpa penghuni, sebagaimana
yang ditegaskan Nabi:
____________

*Makalah disampaikan dalam Bedah Film Membuka Tabir Keajaiban al-Qur'an dalam Penemuan
Ilmiah Modern HMJ PAI DEMA FT IKAHA Tebuireng, Jombang, 9 Juni 2004.

** Dosen UIN Malang.

DAFTAR PUSTAKA

Abdul Baqi, Fuad., tt. Al-Mu’jam al-Mufahras li alfazh al-Qur’an al-Karim, Beirut: Dar Ihya at-Turats
al-‘Arabi.

Abdul Muta’al. 1980. La Nuskha fi al-Qur’an, Kairo, Maktabah al-Wahbiyyah.

Al-‘Aini, Ahmad. tt. Umdat al-Qari’ Syarh Shahih al-Bukhari, jilid II, Beirut: Dar al-Fikr.

Al-Faruqi, Ismail R .1984. Islamisation of Knowledge, terj. Anas Muhyiddin, Bandung: Pustaka.

Al-Ghazali .1329. Jawahir al-Qur’an, Mesir: Maktabah Nahdhah.

Al-Ghazali .1975. Ihya ‘Ulum al-Din, jilid I & V, Libanon: Dar al-Ma’arif.

Al-Suyuthi, Jalaluddin .1979. Al-Itqan fi ‘Ulum al-Qur’an, Juz I, Beirut: Dar al-Fikr.
Al-Qardhawi, Yusuf. 989. Al-Rasul wa 'l-Ilm, terjemahan Kamaluddin A. Marxuki, Bandung: Rasda.

Al-Zahabi .1976. Al-Tafsir wa ‘l-Mufassirun, Cairo: Dar al-Kutub al-Haditsah.

Anees, Munawar Ahmad, 1991, “Menghidupkan Kembali Ilmu” dalam Al-Hikmah, Juranal Studi-studi
Islam, Juli-Oktober, Bandung:

Binti Syathi’, ‘Aisyah .1968. At-Tafsir al-Bayan li al-Qur’an al-Karim, juz III, Mesir: Dar al-Ma’arif.

Ghallab, Muhammad .tt. Al-Ma’rifah ‘Inda Mufakkir al-Muslimin, Mesir: Dar at-Ta’lif wa at-Tarjamah.

Ghulsyani, Mahdi .1991. The Holy Qu’an and The Science of Nature, terj. Agus Effendi, Bandung: Mizan.

Hayan, Abu .1978. Al-Bahr al-Muhith, juz XIII, Beirut: Dar al-Fikr.

Jauhari, Thanthawi .1350. Jawahir fi Tafsir al-Qur’an al-Karim, jilid VIII, Mesir: Musthafa Bab al-Halabi.

Koentowibisono., 1985. Ilmu Filsafat dan Aktualisasinya dalam Pembangunan, Yogyakarta: UGM

Maghniyah, Jawad .1968. At-Tafsir al-Kasyif, jilid I, Beirut: Dar al-Malayin.

Mahmud, Abdul Halim .1979. Mauqif al-Islam Min al-Fanni, wal-’ilmi wal-falsafati, Cairo: Dar As-Sya’bi.

Majah, Ibn. tt. Sunan Ibn Majah, Jilid I, Beirut: Dar al-Fikr.

Sardar, Ziauddin .1988. Islamic Future, Malaysia: Selangor Darul Ehsan.


Weinsink. 1962. al-Mu’jam al-Mufahras li alfazh al-Hadits al-Nabawi, Leiden,.

(Author)

Berita Terkait

FAKULTAS SYARIAH ADAKAN STADIUM GENERAL GENDER

GENBI UIN MALANG BENTUK TAMAN BACA

CALON PROFESOR DICOACHING MENULIS ARTIKEL JURNAL INTERNASIONAL

‌UIN MALANG PACU PERCEPATAN GURU BESAR

FAKULTAS

Ilmu Tarbiyah Dan Keguruan

Pendidikan Agama Islam

Pendidikan Ilmu Pengetahuan Sosial

Pendidikan Guru Madrasah Ibtidaiyah

Pendidikan Bahasa Arab

Pendidikan Islam Anak Usia Dini

Manajemen Pendidikan Islam

Tadris Bahasa Inggris

Tadris Matematika

Syariah
Al-Ahwal Al-Syakhshiyyah

Hukum Bisnis Syari'ah

Hukum Tata Negara

Ilmu Al-Qur'an Dan Tafsir

FAKULTAS

Humaniora

Bahasa Dan Sastra Arab

Sastra Inggris

Psikologi

Psikologi

Ekonomi

Manajemen

Akuntansi

Perbankan Syari'ah

FAKULTAS

Sains Dan Teknologi

Matematika

Biologi

Kimia

Fisika

Teknik Informatika

Teknik Arsitektur

Perpustakaan Dan Sains Informasi

Kedokteran Dan Ilmu Kesehatan

Pendidikan Dokter
Profesi Dokter

Farmasi

PASCASARJANA

Pascasarjana

Magister Manajemen Pendidikan Islam

Magister Pendidikan Bahasa Arab

Magister Studi Ilmu Agama Islam

Magister Pendidikan Guru Madrasah Ibtidaiyah

Magister Pendidikan Agama Islam

Magister Al-Ahwal Al-Syakhshiyyah

Magister Ekonomi Syariah

Doktor Manajemen Pendidikan Islam

Doktor Pendidikan Bahasa Arab

Doktor Pendidikan Agama Islam Berbasis Studi Interdisipliner

LEMBAGA DAN UNIT

Lembaga Penelitian Dan Pengabdian Kepada Masyarakat (LP2M)

Lembaga Penjaminan Mutu (LPM)

Pusat Perpustakaan

Digital Library

Pusat Teknologi Informasi Dan Pangkalan Data

SPI

Pusat Bahasa

Pusat Ma'had Al-Jami'ah

Pusat Pengembangan Bisnis

Informasi Publikasi
Bagian Umum

Bagian Akademik

Bagian Kerjasama

Kemahasiswaan

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI

MAULANA MALIK IBRAHIM MALANG

Jalan Gajayana No. 50 Malang 65144

Telp: +62-341 551-354 | Email : info@uin-malang.ac.id

facebook twitter instagram youtube

Copyright © UIN Maulana Malik Ibrahim Malang 2017

close

devices Visit Website

keyboard_arrow_up

Anda mungkin juga menyukai