Anda di halaman 1dari 5

Ambivalensi Seorang Advokat: Antara Profesinalisme dan Kebenaran

Di antara tujuan kehidupan yang uvinersal adalah keadilan.


Sebagaimana telah ma’lum, tegaknya supremasi hukum juga merupakan
mimpi Semua orang. Berbagai macam lembaga penegak hukum pun telah
didirikan guna untuk menciptakan hukum yang bermartabat. Jargon-jargon
keadilanpun selalu menghiasi pendengaran dan penglihatan public saat ini.

Setiap penegak hukum mempunyai misi yang sama dalam proses


peradilan yang dilakukan, yakni mencipatakn sebuah putusan yang benar-
benar adil dan sah secara hukum. Hal ini menandakan bahwa terciptanya
keadilan merupakan kewajiban kolektif uvinersal yang harus diperjuangkan
oleh Semua orang. Kendatipun demikian, saat ini keadilan bukanlah hadiah
yang dapat digapai dengan mudah, mengingat setiap orang menginginkan
dirinya menjadi orang yang dimenangkan.

Berbicara kalah menang, akan menyeret pelakunya untuk


melakukan apa saja yang dapat menguntukan dirinya, termasuk mengajak
orang lain untuk terlibat dalam permasalahan yang sedang ia hadapi. Dalam
dunia hukum, keterlibatan orang lain untuk membantu menyelesaikan
perkaranya dinamakan dengan advokasi, sedangkan orangnya dinamakan
dengan advokat. Idealnya, seorang advokat mempunyai tugas untuk
menyelesaikan kasus kliennya dengan jalan damai, adil, dan bertanggung
jawab.1

Berkaitan dengan kepentingan dan ambisius kliennya, advokat selalu


dituntut selalu dapat memenangkan setiap kasus yang ia tangani.
Beruntunglah jika kasus yang ditanganinya adalah sebuah kebenaran yang
harus diperjuangkan kebenaranya, dan malanglah ia manakalah kasus yang
di tangani adalah sebuah kebohongan yang diperjuankan kebenaranya.
Semua itu dilakukan karena demi sebuah profesi dan profesionalitas kerja.

Menyikapi hal tersebut TA akan melakukan sebuah kajian tentang


bagaimana Islam memandang Provesi advokasi ? Dan bagaimana Islam
memberikan kreteria tentang advokasi.?

Secara bahasa, advokasi bermakna “Pembelaan”, namun kalimat


tersebut telah mengalami penyempitan makna, sehingga hanya identik
dengan pembelaaan dalam hal menegakkan hukum. sedangkan advokat

1
Kode Etik Advokat, Disahkan Oleh IKADIN (Ikatan Advokat Indonesia)12 mei 2002
adalah ahli hukum yg berwenang sebagai penasehat atau pembela perkara dalam
pengadilan.2

Dalam Islam, istilah Advokasi tidak pernah dijelaskan secara


Eksplisit, melainkan dapat dijumpai beberapa spirit yang telah tertuang
dalam al Quran dan Hadist. Di antara ayatnya adalah:

ِ ِِ ِ ‫ك الْ ِكتَاب بِاحْل ِّق لِتَح ُكم ب الن ِ مِب‬


َ ‫إِنَّا أَْنَزلْنَا إِلَْي‬
[105]‫يما‬ َ ‫َّاس َا أ ََر َاك اللَّهُ َواَل تَ ُك ْن ل ْل َخائن‬
ً ‫ني َخص‬ َ ‫َ َ ْ َ َنْي‬
“Sesungguhnya Kami telah menurunkan kitab kepadamu dengan membawa kebenaran, supaya
kamu mengadili antara manusia dengan apa yang telah Allah wahyukan kepadamu, dan
janganlah kamu menjadi penantang (orang yang tidak bersalah), karena (membela) orang-
orang yang khianat. [QS. an-Nisa': 105]

kata Al haq dalam ayat di atas bermakna nilai-nilai kebenaran agama


yang mantap dan tidak dapat diubah-ubah. Sesuatu yang tidak dapat
berubah, sifatnya pasti, dan sesuatu yang pasti menjadi benar dari sisi
bahwa ia tidak mengalami perubahan. Nilai-nilai yang diajarkan al Quran
adalah haq, diturunkan dengan haq, dalam arti tidak disentuh oleh
kebatilan dan tidak pula dapat dibatalkan atau dilenyapkan oleh kenyataan. 3

Secara eksplisit Ayat di atas menjelaskan tentang pedoman dalam


memberikan putusan terhadap suatu perkara yang sedang dihadapi oleh
seorang penegak hukum. Imam Assyaukani dalam tafsirnya menjelaskan
mengenai maksud ayat ini bahwa seorang penegak hukum harus
memutuskan putusannya sesuai dengan apa yang telah diisyaratkan oleh
Allah. Di sampaing itu, seseorang tidak boleh melakukan pemebelaan
(Advokasi) terhadap orang lain manaklah klienya adalah orang yang salah.4

Sedangakan menyangkut keberadaan advokat sebagai sebuah


profesi, islam tidak hanya memandangnya dari sisi halal haramnya,
melainkan juga dari sisi penilain dalam segi terhormat dan tidaknya sebuah
jabatan (profesi). Hal ini memberikan cerminan bahwa syara’ memberikan
perlindungan terhadap manusia untuk mendapatkan taraf penghidupan
yang layak dan terbebas dari perkara yang merusak harga diri.
Sebagaimana Hadist nabi:

ِ ِ ِ ِ
ُ‫الَ َيْنبَغي ل ْل ُم ْؤم ِن أَ ْن يُذ َّل َن ْف َسه‬

2
KBBI
3
M. Quraish Shihab, Tafsir Al misbah. Lentara hati, Jakarta, cet. Ke V, jilid 2, h.701
4
Imam Assyaukani, Fathul Qodir, Jilid II, h. 209
“Tidak selayaknya orang mu’min merendahkan dirinya” [HR. Ibnu
Majjah]5

Secara umum, Islam memandang profesi advokasi sebagai sesuatu


yang diperbolehkan, karena didalamnya terdapat kemashlahatan dan
termasuk profesi yang terhormat (officium nobile)selama tidak sampai pada
taraf menggugurkan perkara yang benar, yakni risywah.6

Dengan melihat bahwa fungsi hakiki dari jasa layanan advokat yang
legal secara syara’ adalah menegakkan supremasi hukum secara obyektif,
maka sudah pasti dalam tugas profesionalnya tidak boleh dilakukan secara
membabi buta dan berusaha membuat distorsi terhadap sebauh fakta.
Mengingat membela klien yang sudah jelas-jelas salah untuk kemudian
dimenangkan dan dibenarkan secara hukum adalah hal yang sangat ancam
oleh Allah Sebagaimana sabda Nabi:

ِ ٍ ‫ومن أَعا َن علَى خصوم ٍة بِظُْل ٍم َف َق ْد باء بِغَض‬


ّ‫ب م ْن اهلل‬ َ ََ َ ُ ُ َ َ ْ ََ
“Barag siapa menolong dalam pertikaian dengan cara yang dholim,
maka ia akan kembali dengan mendapat murka Allah”[HR. Al Baihaki]7

Secara lafadz, dalam hadist tersebut terdapat lafadz ‘am [‫]من‬


maushul yang dapat mencakup terhadap siapa saja, baik pengacara yang
telah terikat dengan kode etik provesinya maupun orang biasa yang tidak
terikat dengan profesi kerja tertentu. Sehingga tidak benar kalau
melakukan sebuah pembelaan terhadap kasus yang salah lantaran ada
alasan profesionalitas.

Sebagaimana telah diketahui bahwa dalam advokasi terdapat


dimensi tolong menolong (ta’awun) yang sekaligus menjadi tujuan utama
dari adanya proses tersebut. Hal ini selaras dengan hadist nabi.

‫واهلل يف عون العبد ما كان العبد يف عون أخيه‬

5
Muhammad Bin yazid Abu Abdillah Al Quzwaini, Sunan Ibnu Majjah. Darul Fikr Beirut.
Lebanon, Jilid 5, h. 148
6
Syihabuddin ahmad bin ahmad Al Qulyubi, Hasyiah Qulyubi. Darul Fikr, Lebanon: Beirut.
Jilid III, h. 237
7
Abu Bakar Al baihaki, Sunun Al Kubra. Jilid 6, h. 82
“Allah akan menolong hambanya manakalah hambanya selalu
menolong saudarnya” [HR. Ibnu Majjah]8

Di samping terdapat dimensi ta’awun, dalam advokasi juga terdapat dimensi amanah
(kredibilitas), yakni memberikan kepercayaan pada orang lain untuk menyelesaikan sebuah
masalah tertentu. Oleh sebab itu advokat harus benar-benar dapat menjalankan tugas sebagaiman
mestinya serta tidak boleh berkhianat. Sebagaimana sabda nabi:

‫ وال خَتُ ْن َم ْن خانَك‬، ‫ك‬


َ َ‫ِّأد األمانةَ إىل من ا ْئتَمن‬

“Laksanakanlah Amanah bagi orang yang telah mempercayaimu dan jangan


berkhianat terhadap orang yang telah mengkhianatimu”[HR. Al Turmudzi]9

Berkaitan dengan profesionalitas, seorang advokat dituntut untuk


memiliki kapabelitas dan skill yang mapan, suapaya tidak terjebak pada
hadist:

َ‫اعة‬ َّ ‫إ َذا ُو ِّس َد اأْل َْمُر إِىَل َغرْيِ أ َْهلِ ِه فَا ْنتَ ِظ ِر‬
َ ‫الس‬
“Apabila sebuah perkara dilimpahkan dapa yang bukan ahlinya, maka
tunggulah masa kehancurannya” [HR. Imam Bukhori]10

Berdasarkan uraian di atas, terhdapat beberapa prinsip-prinsip


dalam proses advokasi yang harus dipenuhi, sehingga upaya untuk
menegakkan supremasi hukum dapat dibenarkan secara hukum kenegaraan
dan hukum tuhan (syari’at). Di antara prinsip itu adalah sebagai berikut.
Pertama: Tidak sampai pada taraf membenarkan yang salah, dan
menyalahkan yang benar, mengingat profesi tersebut sangat dengan praktik
distorsi fakta. Kedua: harus terdapat kapabelitas dan skill pribadi, yang
mencakup kemampuan advokat dalam masalah yang menjadi tanggung
jawabnya dan manakalah terpaksa menangani masalah yang tidak ia
ketahui, maka ia dianggap melanggar terhadap kode etik advokasi. Ketiga:
Kredibilitas, hal ini berkatian dengan asumsi public tentang kepribadian
seorang advokat, mengingat hal-hal yang diperjuangkan adalah sebuah
kebenaran. Sehingga tidak etis kalau dalam diri seorang advokat terdapat
8
Muhammad Bin yazid Abu Abdillah Al Quzwaini, Sunan Ibnu Majjah. Jilid 1, h. 82
9
Muhammad Bin Isa Al Turmudzi, Al Jami’ Al Shahih Sunan Al Turmudzi. Darul Ihya’ Al
Arabi, Beirut, Jilid 3, h 564
10
Muhammad bin Islma’il Al Bukhori, Shohih Bukhori. Jilid 1, h.42
jiwa yang bertentangan dengan spirit profesinalismenya. Keempat:
Ta’awun, sebagaimana tertera dalam kode etik advokat pasal 3 bahwa
Advokat dalam melakukan tugasnya tidak bertujuan semata-mata untuk
memperoleh imbalan materi tetapi lebih mengutamakan tegaknya Hukum,
Kebenaran dan Keadilan serta menolong terhadap kaum sejawat.

Al hasil, manakalah praktik pembelaan yang dilakukan oleh para


advokat tidak sesuai dengan prinsip dan kode etik advokasi yang telah
digariskan, maka sudah barang tentu tidak dapat dibenarkan dalam hukum
Islam. Sehingga tidak ada dalih yang dapat membenarkan sebuah
menyimpangan yang dilakukannya demi menjaga sebuah profesionalitas.

Anda mungkin juga menyukai