OSTEOPOROSIS
A. Masalah Kesehatan
Osteoporosis
B. Pengertian
Osteoporosis adalah suatu kondisi berkurangnya massa tulang secara nyata
yang berakibat pada rendahnya kepadatan tulang, sehingga tulang menjadi keropos
dan rapuh. “Osto” berarti tulang, sedangkan “porosis” berarti keropos. Tulang yang
mudah patah akibat Osteoporosis adalah tulang belakang, tulang paha, dan tulang
pergelangan tangan (Endang Purwoastuti : 2009) .
Osteoporosis yang dikenal dengan keropos tulang menurut WHO adalah
penyakit skeletal sistemik dengan karakteristik massa tulang yang rendah dan
perubahan mikroarsitektur dari jaringan tulang dengan akibat meningkatnya fragilitas
tulang dan meningkatnya kerentanan terhadap tulang patah. Osteoporosis adalah
kelainan dimana terjadi penurunan massa tulang total (Lukman, Nurma Ningsih :
2009).
Menurut konsesus di Kopenhagen 1990, osteoporosis didefinisikan sebagai
suatu penyakit dengan karakteristik massa tulang yang berkurang dengan kerusakan
mikroarsitektur jaringan yang menyebabkan kerapuhan tulang dan resiko fraktur yang
meningkat (Lukman, Nurma Ningsih : 2009).
Osteoporosis adalah suatu keadaan dimana terdapat pengurangan jaringan
tulang per unit volume,sehingga tidak mampu melindungi atau mencegah terjadinya
fraktur terhadap trauma minimal (Kholid Rosyidi : 2013).
Osteoporosis adalah kelainan di mana terjadi penurunan massa tulang total.
Terdapat perubahan pergantian tulang homeostasis normal, kecepatan resorpsi tulang
lebih besar dari kecepatan pembentukan tulang, pengakibatkan penurunan masa
tulang total. Tulang secara progresif menjadi porus, rapuh dan mudah patah; tulang
menjadi mudah fraktur dengan stres yang tidak akan menimbulkan pengaruh pada
tulang normal (Brunner&Suddarth, 2000).
C. Klasifikasi
Klasifikasi osteoporosis dibagi ke dalam dua kelompok yaitu osteoporosis
primer dan osteoporosis sekunder. Osteoporosis primer terdapat pada wanita
postmenopause (postmenopause osteoporosis) dan pada laki-laki lanjut usia (senile
osteoporosis). Penyebab osteoporosis belum diketahui dengan pasti. Sedangkan
osteoporosis sekunder disebabkan oleh penyakit yang berhubungan dengan Kelainan
endokrin misalnya Chusing’s disease, hipertiriodisme, hiperparatiriodisme,
hipogonadisme, kelainan hepar, gagal ginjal kronis, kurang gerak, kebiasaan minum
alcohol, pemakaian obat-obatan/kortikosteroid, kelebihan kafein, dan merokok
(Lukman, Nurma Ningsih : 2009).
Djuwantoro (1996), membagi osteoporosis menjadi osteoporosis
postmenopause (Tipe I), Osteoporosis involutional (Tipe II), osteoporosis idiopatik,
osteoporosis juvenil dan osteoporosis sekunder.
1. Osteoporosis Postmenopause (Tipe I)
Merupakan bentuk yang paling sering ditemukan pada wanita kulit
putih dan Asia. Bentuk osteoporosis ini disebabkan oleh percepatan resopsi
tulang yang berlebihan dan lama setelah penurunan sekresi hormon estrogen
pada masa menopause.
2. Osteoporosis involutional (Tipe II)
Terjadi pada usia diatas 75 tahun pada perempuan maupun laki-laki.
Tipe ini diakibatkan oleh ketidakseimbangan yang samar dan lama antara
kecepatan resorpsi tulang dengan kecepatan pembentukan tulang.
3. Osteoporosis idiopatik
Adalah tipe osteoporosis primer yang jarang terjadi pada wanita
premenopouse dan pada laki-laki yang berusi di bawah 75 tahun. Tipe ini
tidak berkaitan dengan penyebab sekunder atau faktor resiko yang
mempermudah timbulnya penurunan densitas tulang.
4. Osteoporosis juvenil
Merupakan bentuk yang paling jarang terjadi dan bentuk osteoporosis
yang terjadi pada anak-anak prepubertas.
5. Osteoporosis sekunder.
Penurunan densitas tulang yang cukup berat untuk menyebabkan
fraktur atraumatik akibat faktor ekstrinsik seperti kelebihan kortikosteroid,
atraumatik reumatoid, kelainan hati/ ginjal kronis, sindrom malabsorbsi,
mastisitosis sistemik, hipertiriodisme , varian status hipogonade dan lain-lain.
D. Tanda dan Gejala
Pada awalnya penderita osteoporosis tidak mengetahui mereka menderita
osteoporosis. Namun, seiring berjalannya waktu muncullah gejala – gejala berikut:
a. Nyeri terus menerus
b. Tubuh memendek
c. Mudah menderita patah tulang, terutama tulang pinggul
d. Disertai gejala menopause, panas, banyak keringat, keputihan dan susah tidur
e. Pasca menopause, pelupa dan nyeri tulang belakang.
E. Patofisiologi
Genetik, nutrisi, gaya hidup (misal merokok, konsumsi kafein, dan alkohol),
dan aktivitas mempengaruhi puncak massa tulang. Kehilangan masa tulang mulai
terjadi setelah tercaipainya puncak massa tulang. Pada pria massa tulang lebih besar
dan tidak mengalami perubahan hormonal mendadak. Sedangkan pada perempuan,
hilangnya estrogen pada saat menopouse dan pada ooforektomi mengakibatkan
percepatan resorpsi tulang dan berlangsung terus selama tahun-tahun pasca
menopouse (Lukman, Nurma Ningsih : 2009).
Demikian pula, bahan katabolik endogen (diproduksi oleh tubuh) dan eksogen
dapat menyebabkan osteoporosis. Penggunaan kortikosteroid yang lama, sindron
Cushing, hipertiriodisme dan hiperparatiriodisme menyebabkan kehilangan massa
tulang. Obat- obatan seperti isoniazid, heparin tetrasiklin, antasida yang mengandung
alumunium, furosemid, antikonvulsan, kortikosteroid dan suplemen tiroid
mempengaruhi penggunaan tubuh dan metabolisme kalsium.
Imobilitas juga mempengaruhi terjadinya osteoporosis. Ketika diimobilisasi
dengan gips, paralisis atau inaktivitas umum, tulang akan diresorpsi lebih cepat dari
pembentukannya sehingga terjadi osteoporosis.
F. Pohon Masalah
G. Pemeriksaan Diagnostik
1. Pemeriksaan radiologic
Saat ini, sing dkk telah mengembangkan indeks sing untuk mengukur
ketebalan colum femaris dan komponen-komponen trabekulasinya secara
radiologic . caranya dengan menganalisis komponen-komponen yang berkolerasi
cukup tepat dengan adanya osteoporosis. Namun hasil pengukuran pengukuran
ini masih sangat lemah untuk mendiagnosis adanya osteoporosis. Pada
pemeriksaan radiologic ini digunakan X-ray konvensional sehingga osteoporosis
baru akan terlihat apabila massa tulang sudah berkurang hingga 30% atau lebih.
2. Pemeriksaan radioisotope
Pemeriksaan ini menggunakan sinar foton radionuklida yang dapat
mendeteksi densitas tulang dan ketebalan korteks tulang. Ada dua jenis
pemeriksaan yaitu : single photon absorptiometry dan dual photon absorptiometry.
a. Single photon absorptiometry (SPA) sinar photon bersumber dari 1-125
dengan dosis 200 mci yang diperiksa.
b. Dual photon absorptiometry (DPA) sinar photon bersumber dari nuklida GA-
135 sebanyak 1,5 Cl yang mempunyai energy (44 kev dan 100 kev).
Pemeriksaan ini digunakan untuk mengukur vertebra dan colum femoris.
3. Pemeriksaan Quantitative
Computerized Tamography (QCT). Quantitative computerized
tomography (QCT) merupakan salah satu cara yang dipakai untuk mengukur
mineral tulang karena dapat menilai secara volumetric trabekulasi tulang radius ,
tibia, dan vertebra. keuntungan QCT adalah tidak dipengaruhi oleh korteks dan
artefak kalsifikasi osteosit dan kalsifikasi aorta, serta tidak perlu diperhitungkan
dengan berat badan dan tinggi badan. Kerugiannya adalah paparan radiasinya
yang jauh lebih tinggi dibandingkan dengan jenis pemeriksaan lainnya.
4. Magnetic resonance imaging (MRI)
Cara ini dapat mengukur struktur trabekuler tulang dan kepadatannya. Alat
tersebut tidak memakai radiasi, melainkan hanya dengan lapangan magnet yang
sangat kuat. Sayangnya pemeriksaan ini mahal dan membutuhkan sarana yang
banyak.
5. Quantitative Ultra Sound (QUS)
Cara ini menggunakan kecepatan gelombang suara ultra yang menembus
tulang. Kemudian dinilai atenuasi kekuatan dan daya tembus melalui tulang yang
dinyatakan sebagai pita lebar ultrasonic (ultrasound broad band ) dan kekuatan
(stiffness). Keuntungannya adalah mudah dibawah kemana-mana , tetapi
kerugiannya adalah tidak dapat mengetahui lokalisasi osteoporosis secara tepat.
6. Densitometer (X-ray absorptiometry)
Menggunakan radiasi sinar X yang sangat rendah. Ada dua jenis X-ray
absorptiometry yaitu SXA (Single X-ray absorptiometry) yang juga disebut scan
tulang. Pengukuran dilakukan pada tulang yang kemungkinan mudah patah,
seperti tulang belakang, pinggul, dan pergelangan tangan atau seluruh rangka
tubuh.
Nilai massa tulang yang didapat dari pengukuran ini disebut kerapatan mineral
tulang (BMD= bone mineral density). Pengukuran ini tidak menimbulkan rasa
sakit, mudah dilakukan, hasil pemeriksaan diperoleh dalam waktu singkat, dan
relative aman. Walaupun menggunakan sinar X, tingkat radiasinya sangat kecil ,
seingkali lebih kecil dari radiasi alamiah. Oleh karenanya, pengukuran dapat
dilakukan pada anak-anak dan ibu hamil, serta dapat pula di ulang bila diperlukan.
7. Tes darah dan urine
Sebenarnya osteoporosis tidak dapat di deteksi menggunakan tes darah dan
urine. Namun demikian tes itu kedua tes ini masih mungkin dilakukan untuk
mengetahui dan melihat kondisi lain yang terkait dengan hilangnya massa
tulang.
H. Penatalaksanaan Medis
Pada osteoporosis biasanya tidak dapat disembuhkan seperti sediakala namun,prinsip
pengobatan yang selalu digunakan adalah:
a. Meningkatkan pembentukan tulang, obat-obatan yg dapat meningkatkan
pembentukan tulan adalah Na-fluorida dan steroid anabolik
b. Menghambat resobsi tulang, obat-obatan yang dapat mengahambat resorbsi
tulang adalah kalsium, kalsitonin, estrogen dan difosfonat
c. upaya-upaya untuk menekan atau memperlambat menurunnya massa tulang
serta mengurangi rasa sakit.
Pada osteoporosis yang telah mengalami patah tulang panggul, biasanya diatasi
dengan pembedahan, patah tulang pergelangan biasanya di gips, jika terjadi penipisan
tulang disertai dengan nyeri hebat, maka diberikan pereda nyeri, dipasangi support
baxk brace dan dilakukan terapi fisik dengan melakukan kompres nyeri selama 10 –
20 menit.
I. Pengkajian Keperawatan
a. Identitas
1) Identitas klien
Meliputi nama, umur, jenis kelamin, suku/bangsa, agama, pendidikan,
pekerjaan, tanggal masuk, tanggal pengkajian, nomor register, diagnosa
medik, alamat, semua data mengenai identitaas klien tersebut untuk
menentukan tindakan selanjutnya.
2) Identitas penanggung jawab
Identitas penanggung jawab ini sangat perlu untuk memudahkan dan
jadi penanggung jawab klien selama perawatan, data yang terkumpul meliputi
nama, umur, pendidikan, pekerjaan, hubungan dengan klien dan alamat.
b. Riwayat Kesehatan
Dalam pengkajian riwayat kesehatan, perawat perlu mengidentifikasi adanya:
1) Rasa nyeri atau sakit tulang punggung (bagian bawah), leher,dan
pinggang
2) Berat badan menurun
3) Biasanya diatas 45 tahun
4) Jenis kelamin sering pada wanita
5) Pola latihan dan aktivitas
c. Pola aktivitas sehari-hari
Pola aktivitas dan latihan biasanya berhubungan dengan olahraga,
pengisian waktu luang dan rekreasi, berpakaian, makan, mandi, dan toilet.
Olahraga dapat membentuk pribadi yang baik dan individu akan merasa lebih
baik. Selain itu, olahraga dapat mempertahankan tonus otot dan gerakan sendi.
Lansia memerlukan aktifitas yang adekuat untuk mempertahankan
fungsi tubuh. Aktifitas tubuh memerlukan interaksi yang kompleks antara
saraf dan muskuloskeletal.
Beberapa perubahan yang terjadi sehubungan dengan menurunnya
gerak persendian adalah agility ( kemampuan gerak cepat dan lancar )
menurun, dan stamina menurun.
2. Pemeriksaan Fisik
a. B1 (Breathing)
Inspeksi : Ditemukan ketidaksimetrisan rongga dada dan tulang
belakang
Palpasi : Taktil fremitus seimbang kanan dan kiri
Perkusi : Cuaca resonan pada seluruh lapang paru
Auskultasi : Pada kasus lanjut usia, biasanya didapatkan suara ronki
b. B2 ( Blood)
Pengisian kapiler kurang dari 1 detik, sering terjadi keringat dingin dan
pusing. Adanya pulsus perifer memberi makna terjadi gangguan pembuluh
darah atau edema yang berkaitan dengan efek obat.
c. B3 ( Brain)
Kesadaran biasanya kompos mentis. Pada kasus yang lebih parah,
klien dapat mengeluh pusing dan gelisah.
1) Kepala dan wajah : ada sianosis
2) Mata : Sklera biasanya tidak ikterik,
konjungtiva tidak anemis
3) Leher : Biasanya JVP dalam normal
Nyeri punggung yang disertai pembatasan pergerakan spinal
yang disadari dan halus merupakan indikasi adanya satu fraktur atau
lebih, fraktur kompresi vertebra
d. B4 (Bladder)
Produksi urine biasanya dalam batas normal dan tidak ada keluhan
pada sistem perkemihan.
e. B5 ( Bowel)
Untuk kasus osteoporosis, tidak ada gangguan eliminasi namun perlu
di kaji frekuensi, konsistensi, warna, serta bau feses.
f. B6 ( Bone)
Pada inspeksi dan palpasi daerah kolumna vertebralis. Klien
osteoporosis sering menunjukan kifosis atau gibbus (dowager’s hump) dan
penurunan tinggi badan dan berat badan. Ada perubahan gaya berjalan,
deformitas tulang, leg-length inequality dan nyeri spinal. Lokasi fraktur yang
sering terjadi adalah antara vertebra torakalis 8 dan lumbalis 3.
3. Pemeriksaan penunjang
a. Radiologi
Gejala radiologi yang khas adalah densitas atau massa tulang yang
menurun yang dapat dilihat pada vertebra spinalis. Dinding dekat korpus
vertebra biasanya merupakan lokasi yang paling berat. Penipisan korteks dan
hilangnya trabekula transversal merupakan kelainan yang sering ditemukan.
Lemahnya korpus vertebrae menyebabkan penonjolan yang menggelembung
dari nucleus pulposus kedalam ruang intervertebral dan menyebabkan
deformitas bikonkaf.
b. CT-Scan
Dapat mengukur densitas tulang secara kuantitatif yang mempunyai
nilai penting dalam diagnostik dan terapi follow up. Mineral vertebra diatas
110 mg/cm3 biasanya tidak menimbulkan fraktur vertebra atau penonjolan,
sedangkan mineral vertebra dibawah 65 mg/cm 3 ada pada hampir semua klien
yang mengalami fraktur.
K. Intervensi Keperawatan
Nyeri sehubungan dengan dampak sekunder dari fraktur vertebrae
Tujuan ;
Setelah dilakukan tindakan keperawatan diharapkan nyeri berkurang
Kriteria :
- Klien akan mengekspresikan perasaan nyerinya
- Klien dapat tenang dan istirahat yang cukup
- Klien dapat mandiri dalam perawatan dan penanganannya secara sederhana
INTERVENSI RASIONAL
Pantau tingkat nyeri pada punggung, Tulang dalam peningkatan jumlah
terlokalisisr atau nyeri menyebar pada trabekuler, pembatasan gerak spinal.
abdomen atau pinggang
Ajarkan pada klien tentang alternatif lain Laternatif
lain untuk mengatasi nyeri
untuk mengatasi dan mengurangi rasa pengaturan posisi, kompres hangat dan
nyerinya. sebagainya.
Kaji obat-obatan untuk mengatasi nyeri
Keyakinan klien tidak dapat mentolelir
akanb obat yang adequaty atau tidak adequat
Rencanakan pada klien tentang periode untuk mengatasi nyerinya.
INTERVENSI RASIONAL
Kaji tingkat kemampuan klien yang Dasar untuk memberikan alternatif dan
INTERVENSI RASIONAL
Ciptakan
lingkungan yang bebas Menciptkan lingkungan yang aman
dari bahaya : danmengurangi resiko terjadinya kecelakaan.
¤ Tempatkan klien pada tetmpat tidur
rendah
¤ Amati lantai yang membahayakan
klien
¤ Berikanpenerangan yang cukup
¤ Tempatkan klien pada ruangan yang
tertutup dan mudah untuk diobservasi
¤ Ajarkan klien tentang pentingnya Ambulasi yang dilakukan tergesa-gesa
menggunakan alat pengaman di dapat menyebabkan mudah jatuh.
ruangan
Berikan
support ambulasi sesuai
dengan kebutuhan :
¤ Kaji kebutuhan untuk berjalan
¤ Konsultasi dengan ahli terapis
¤ Ajarkan klien untuk meminta bantuan Penarikan yang terlaluk keras
bila diperlukan akanmenyebakan terjadinya fraktur.
¤ Ajarkan klien waktu berjalan dan Pergerakan yang cepat akan lebih mudah
keluarg ruangan terjadinya fraktur kompresi vertebrae pada
Bantu klien untuk melakukan ADL klien dengan osteoporosis.
L. Referensi
Sain,Iwan.2011. Askep Pada Klien Dengan Gangguan Metabolisme Tulang
Osteoporosis.
Widya,Febri. 2010. Penelitian Hubungan Faktor-Faktor Resiko Osteoporosis Dengan
Tingkat Resiko Osteoporosis Pada Lansia Di Pstw Sabai Nan Aluih Sicincin
Padang Pariaman Tahun 2010. Padang: Fakultas Keperawatan Universitas
Andalas.
Purwoastuti Endang. 2009. Waspada ! OSTEOPOROSIS. Yogyakarta. Kanisius
Emma Wirakusumah.2007. Mencegah Osteopporosis. Jakarta. Penebar plus
Tandra hans. 2009. Segala sesuatu yang harus anda ketahui tentang osteoporosis
mengenal, mengatasi dan mencegah Tulang Keropos. Jakarta : Gramedia
Pustaka Utama
Lukman, Ningsih Nurma. 2012. ASUHAN KEPERAWATAN PADA KLIEN DENGAN
GANGGUAN SISTEM MUSKULOSKELETAL. Jakarta : Salemba Medika