Anda di halaman 1dari 5

indoprogress.com http://indoprogress.

com/2013/04/marxisme-dan-ateisme/

Marxisme dan Ateisme


Harian
Indoprogress

—untuk para santri dan para akhwat-ikhwan yang hendak membaca Marxisme

‘APAKAH mempelajari Marxisme mensyaratkan, dan menggiring orang pada, ateisme?’ Pertanyaan demikian kerap
mengganggu mereka yang tertarik dengan gagasan-gagasan Marxis dan kiri secara umum, atau yang tertarik untuk
mulai membaca Marx serta mengoleksi teks-teks Marxisme. Beruntung jika setelah bertanya, ia menemukan
jalannya sendiri untuk mempelajari Marx; namun lebih sering, dihantui rasa takut, lebih-lebih ditakut-takuti oleh pihak
lain, orang lebih memilih menjauhi nama itu, demi alasan ‘menjaga keutuhan akidah dan iman.’

Terdengar seperti remeh, pertanyaan itu, namun demikian, merupakan pertanyaan, yang bahkan para Marxis sendiri
dan kaum kiri secara umum, belum dapat menjawabnya dengan memuaskan. Selalu ada kebuntuan tertentu,
ambiguitas tertentu, dalam penyikapan kaum Marxis terhadap agama. Itu disebabkan karena terjadi
ketumpangtindihan antara sikap metodologis dan sikap aksiologis-ideologis begitu mereka berhadapan dengan teks-
teks Marx: sikap metodologis menuntut teks-teks Marx didekati sebagai suatu teks ‘ilmiah’ yang terbuka untuk dikaji,
dipelajari, dikritik, sementara sikap aksiologis-ideologis menuntut bahwa pendekatan itu tidak berhenti sebagai suatu
wawasan pengetahuan, tetapi juga harus memberi pengaruh dan bahkan membentuk ‘kepribadian,’ pikiran, dan
mentalitas ideologis si pembaca sebagai militan dan aktivis Marxis.

Kemenduaan itu, paradoksnya, bukan akibat kesalahan para pembaca Marx, atau kita yang hari ini mulai membaca
Marx dan literatur-literatur Marxisme, tetapi muncul dari teks-teks Marx sendiri, yang selalu berayun dan bergerak
dalam ketegangan antara kesatuan teori dan praktik, antara keinginan untuk memahami dan praktik untuk
mengubah. Dalam hal ini, Marx berhasil keluar dari kebuntuan debat tentang prioritas antara pemikiran dan tindakan,
antara refleksi dan aksi, karena berpikir, bagi Marx, adalah suatu bentuk tindakan, sebagaimana secara dialektis,
bertindak adalah suatu bentuk kerja pemikiran dalam dunia nyata. Dalam kapasitas itu Marx secara personal tampil
sebagai pemikir sekaligus aktivis pergerakan, dan teks-teksnya menjahit secara tak terpisahkan kedua aspek ini: sisi
yang bertolak dari konfrontasinya dengan gagasan-gagasan, di satu sisi, dan sisi yang mencatat konfrontasi fisiknya
dengan konstelasi pergerakan dan aktivisme yang ia hadapi.

Ketumpangtindihan itu muncul dari sini: kekaguman sebagian pembaca Marx terhadap Marx lalu seakan
meniscayakan bahwa mereka harus meniru Marx dan segala atribut personal, atau juga jalan hidup, yang dipilihnya.
Pilihan Marx sebagai seorang ateis lalu dipahami sebagai keharusan untuk juga menjadi ateis, jika ingin menjadi
Marxis. Demikian juga, kekecewaannya pada agama diinternalisir sebagai kekecewaan yang mesti ditelan mentah-
mentah agar spirit Marxisme menetes dalam diri mereka.

Pertanyaannya sekarang, dari mana muncul penerimaan bahwa Marxisme identik dengan ateisme? Dari perangai
para Marxis-kah, dari biografi hidup Marx, atau dari teks-teks Marx sendiri? Perangai para Marxis, betapapun
merefleksikan pemikiran Marxis yang mereka anut, tidak cukup meyakinkan untuk menjamin kebenaran opini yang
telanjur menjadi stigma bagi Marxisme ini. Marxisme berkembang sebagai tradisi pemikiran dalam konteks ruang
dan waktu yang berbeda-beda, diresepsi, dan diapropriasi seturut kondisi-kondisi yang mensituasikan para Marxis
tersebut. Untuk tahu mengapa mereka ateis, seseorang mesti mempelajari konteks diskursif Marxisme dan agama di
ruang dan waktu tertentu di mana mereka hidup. Biografi Marx, demikian juga, tidak cukup memberi landasan untuk
membenarkan opini itu. Marx, sebagaimana para sosialis dan komunis sebelumnya, tidak lepas dari konteks diskursif
yang mempertemukannya dalam konfrontasi dengan agama, sehingga jika ia ateis, ada latar belakang biografis,
sosial, dan politis, yang tidak terhindarkan mesti juga dipelajari. Di antara biografi Marx dan teks-teksnya, ada celah
yang memungkinkan kita mencari jawaban atas pertanyaan ini.
Sederhananya, penting untuk mengetahui biografi Marx dan berbagai renik konteks kehidupannya, namun lebih
penting lagi, membaca teks-teks Marx untuk mengkaji secara persis pemikiran dan teorinya tentang agama. Di
antara biografi dan pembacaan atas teks-teks itu, kita akan menemukan bahwa tidak ada hubungan alamiah antara
Marxisme dan ateisme. Meski Marx memilih menjadi ateis, namun teks-teksnya bukan suatu ajakan untuk memeluk
ateisme, atau mengandung suatu perintah ‘suci’—yang mesti ditaati pembacanya—untuk berganti haluan pada
ateisme.

***

Sebagai sebuah teks ilmiah, apa yang ditulis tentang agama adalah sebuah wacana, wacana tentang agama. Untuk
menempatkan pandangan Marx tentang agama sebagai suatu wacana tentang agama, teks Marx, tidak lebih
istimewa daripada teks-teks lain yang menulis tentang agama, layak dibaca pertama-tama dalam kapasitasnya
sebagai suatu tawaran metodologis. Dibaca secara metodologis, wacana ini memberikan bahan kajian dan refleksi
tentang agama, pertama-tama sebagai objek kajian yang terbuka untuk dipelajari, dan kedua, sebagai salah satu
cara—di antara sekian banyak cara lain yang bisa ditempuh—untuk melihat agama dari sudut pandang lain yang
tidak normatif. Untuk melakukan pembacaan secara metodologis ini, seseorang memang perlu melepaskan terlebih
dulu prasangka-prasangka pra-metodologisnya dan terbuka kepada wacana baru yang hendak dipelajari.

Wacana agama Marx, dilihat dari statusnya sebagai sebuah wacana tentang agama, tidak berbeda dengan wacana
agama yang ditulis oleh seorang pendakwah agama yang paling konservatif atau fundamentalis sekalipun. Andaikan
di depan saya ada sebuah teks yang ditulis Marx, dan di sebelahnya, ada sebuah teks yang ditulis oleh Osama bin
Laden, tidak ada perbedaan antara keduanya dalam status keduanya sebagai wacana tentang agama. Tetapi, jika
saya memilih teks Marx daripada teks Osama, yang menjadi pertanyaan: apa motif saya memilih teks Marx? Apakah
karena nama Marx lebih terdengar bergengsi daripada Osama? Ataukah karena saya lebih suka begitu saja, secara
arbitrer, pada Marx daripada Osama, tanpa alasan yang jelas? Banyak motif yang bisa muncul, baik karena alasan
preferensial (suka/tak suka) maupun karena alasan superfisial (nama Marx lebih ‘eksotis’). Tetapi, saat mencoba
beranjak dari motif-motif ini, saya akan menemukan bahwa ketertarikan saya—misalnya—pada Marx didorong oleh
motif karena sebagai wacana, apa yang ditulis Marx membuat saya—sebagai pembaca, misalnya—lebih terdorong
untuk berpikir ulang tentang agama, daripada teks Osama yang membuat saya semakin tertutup dalam beragama—
argumen ini tentu dapat diperpanjang lagi.

Apa yang membedakan teks Marx persisnya dalam hal ini? Perbedaan teks Marx, lebih lanjut, terletak pada fakta
bahwa wacana agama yang dibawanya adalah suatu kritik agama. Tidak berhenti pada fakta deskriptif tentang
agama, Marx melancarkan suatu kritik agama, dalam arti menempatkan ‘agama,’ dalam ‘totalitas’-nya, sebagai suatu
objek kritis. Terlepas dari nantinya apakah kritik ini fair atau tidak (suatu pertanyaan yang tidak ada salahnya diajukan
dalam proses pembacaan ini), pertama-tama, seseorang perlu mencoba melihat pandangan agama Marx bukan
menurut pandangan si pembaca, tetapi, secara dialektis, melihat agama di mata Marx, sebagaimana dilihat dan
dipikirkan oleh Marx. Pergantian posisi ini yang diistilahkan oleh Slavoj Žižek sebagai parallax atau pergantian-
posisi-pengamat: berhadapan dengan seorang filsuf, menurutnya, adalah memposisikan diri kita bukan sebagai
pengamat bagi pandangan-pandangan filsuf itu dan melakukan penilaian berdasarkan apa yang kita inginkan
darinya, melainkan, sebaliknya, memposisikan filsuf itu sebagai pengamat bagi kita dan menjadikan kita seolah-olah
‘objek kritik’ di hadapannya.

Dengan cara pandang parallax—perubahan posisi sebagai pembaca dari pelaku kritik menjadi objek kritik—terjadi
eksteriorisasi, yakni kondisi ketika kita melihat diri kita terbelah antara diri kita sebagaimana hadir kepada diri kita,
dan ‘citra’ diri kita sebagaimana dihadirkan oleh pihak yang lain. Secara analogis dapat dikatakan: melalui
eksteriorisasi ini, kita melihat, di satu sisi, agama sebagaimana yang kita anut hadir pada diri kita, namun, agama itu
tidak lagi sama karena di sisi lain, kita melihat agama sebagaimana dipikirkan oleh Marx terpantul sebagai suatu hal
baru yang berbeda dari apa yang kita pikirkan tentang agama. Dengan demikian, terdapat dua ‘agama’ di sini:
‘agama’ sebagaimana yang saya yakini benar dan ‘agama’ sebagaimana dipikirkan oleh Marx dan terpantul pada
agama yang saya yakini benar, namun menghadirkan sesuatu yang baru yang belum pernah saya pikirkan dalam
agama yang saya yakini benar.

Dengan eksteriorisasi ini, agama dapat menjadi objek kritik, tanpa seseorang yang merasa beragama perlu melihat
dengan motif personal apa kritik itu dilancarkan (tanpa melihat apakah yang mengatakannya seorang ateis atau teis).
Terjadi gerak dari agama yang dihayati (interiorisasi) ke agama yang diamati (eksteriorisasi). Juga terjadi gerak
depersonalisasi: dari agama yang diyakini secara pribadi ke agama sebagaimana yang ia lihat sebagai suatu
fenomena eksternal, yaitu agama sebagai institusi sosial, atau yang disebut Durkheim, agama sebagai “fakta sosial”.

Bila boleh diresume dalam beberapa paragraf saja—meskipun hal ini perlu diuji dengan referensi tekstual yang ketat
atas konstelasi teks-teks Marx sendiri—visi kritik (atau lebih tepatnya, ‘metakritik’) dalam kritik agama Marx adalah
eksteriorisasi dan depersonalisasi agama ini, yaitu dorongan untuk menunjukkan bahwa agama adalah suatu
fenomena eksternal yang objektif, yang melampaui gambaran agama sebagaimana diyakini oleh individu-individu
pemeluk agama itu sendiri. Bahwa agama, dengan kata lain, bukan sebagaimana ‘aku’ atau ‘engkau’ yakini, tetapi
adalah yang ‘kita’ dan ‘mereka’ lakukan, sebagai suatu fenomena sosial yang objektif, yang dapat diamati, sebagai
rangkaian praktik yang membentuk suatu ‘totalitas’ bernama agama. Agama sebagai fenomena eksternal yang
objektif ini—terlepas dari framing akademis yang dilakukan sesudahnya oleh sosiologi agama—menerjemahkan visi
Marx, yang merentang dari teks Pendahuluan Kontribusi bagi Kritik Filsafat Hak Hegel sampai Ideologi Jerman,
tentang perlunya memperlihatkan, terutama bagi pemeluk agama, sifat keduniaan dari agama: bahwa agama, begitu
menjadi fenomena sosial—terlepas dari asal-usul keilahian atau profetiknya, yang nyaris tidak pernah disinggung
Marx—mesti diperlakukan sebagai suatu kenyataan sosial yang sama objektif dan dapat diamati sebagaimana
fenomena-fenomena sosial yang lain.

Secara anekdotal, Marx seperti ingin mengatakan: ‘Apapun yang engkau yakini atau siapapun yang engkau sembah,
dengan nama apapun engkau menyebut sesembahanmu, atau dengan cara apapun engkau berdebat tentang siapa
yang paling benar dalam caramu meyakini sesembahanmu, engkau dalam kenyataannya mempraktikkan apa yang
engkau yakini dalam kehidupanmu sebagai makhluk sosial, dan hal terakhir ini yang kulihat dan hendak kukritik.’

Kesimpangsiuran persepsi tentang hubungan antara Marxisme dan agama, baik dari rata-rata kalangan Marxis
terhadap kaum beragama maupun dari rata-rata kaum beragama terhadap Marxis, muncul dari kekaburan
memahami posisi metodologis di mana Marx berdiri, yang merembet pada pencampuradukan posisi aksiologis-
ideologis yang terbentuk kemudian. Dilihat dari rata-rata posisi Marxis terhadap kaum beragama, kritik agama Marx
tampak sebagai suatu penolakan total atas agama sebagai ilusi yang harus ditinggalkan, di mana ateisme
merupakan satu-satunya jalan keluar. Sementara itu, dilihat dari pandangan rata-rata kaum beragama, kritik Marx
tampak sebagai permusuhan total terhadap agama, di mana penolakan atas Marx dan penyematannya sebagai
ateisme merupakan jalan keluar. Menarik melihat bahwa kedua posisi ini, meski berbeda dalam solusinya,
berangkat dari titik tolak asumsi yang sama.

Kekaburan itu persisnya timbul dari pencampuradukan antara, kalau boleh saya istilahkan, dua logika yang sama-
sama benar dan absah dikenakan untuk mengidentifikasi ‘agama:’ logika spiritual dan logika dunia. Logika spiritual
melihat agama dengan parameter-parameter internal agama yang bertujuan memvalidasi kebenaran agama yang
diyakini sebagai suatu hal yang ilahiah, sakral, dan abadi. Sementara, logika dunia melihat agama dengan
parameter-parameter eksternal agama, yaitu agama sebagai praktik dan institusi yang bekerja dengan ‘hukum-
hukum dunia’ yang bisa diamati, dan dapat berubah seiring dengan perubahan tata sosial yang membentuk dan
dibentuknya.

Rata-rata kaum beragama menilai apa yang dilakukan Marx dalam kerangka logika spiritual yang mereka anut—
sehingga kritik Marx dianggap serangan terhadap nilai-nilai terdalam agama—ketika kritik itu, di sisi lain, justru
dibangun dengan logika dunia dan dialamatkan untuk memperlihatkan logika dunia dari agama itu sendiri. Sementara
itu, rata-rata kaum Marxis, dalam kerangka logika dunia yang mereka anut, melihat kritik Marx ditujukan kepada
logika spiritual agama, untuk menggantinya dengan suatu logika spiritual ‘baru,’ suatu ‘agama’ baru, atau suatu
‘kepercayaan’ baru—‘ateisme’—yang pada intinya adalah penolakan terhadap agama. Dengan demikian, menjadi
lengkap sudah disjungsi total antara keduanya sehingga agama dan Marxisme dipostulatkan sebagai dua hal yang
tidak pernah dapat dipertemukan.

Untuk mengurai simpul-simpul kebuntuan itu, apa yang bisa dilakukan adalah mencoba menempatkan masing-
masing logika pada ranah kebenarannya sendiri: logika spiritual agama memiliki ranah kebenaran yang, pada-
dirinya, dapat memvalidasi-diri, sejauh ia berurusan dengan parameter-parameter internal agama. Dalam hal ini,
sekadar mengambil contoh, klaim agama tentang eksistensi Tuhan, misalnya, atau eksistensi kehidupan pasca-
kematian, merupakan ranah di mana agama dapat memvalidasi-dirinya—dengan berbagai teologinya—karena hal-
hal tersebut merupakan ranah di mana logika dunia tidak dapat sepenuhnya memverifikasi, tanpa terjebak oleh
kebuntuan dan kesulitan-kesulitan. Dalam konteks klaim internalnya, ada kebenaran agama yang, dilihat dari logika
spiritual dan ‘rasionalitas agama,’ masuk akal dan dapat diterima, walaupun dilihat dari logika dunia, kebenaran itu
boleh jadi tidak masuk akal dan non-sense.

Di sisi lain, logika dunia memiliki ranah kebenarannya sendiri, yang juga valid pada-dirinya, ditinjau dari sudut bahwa
ia dapat dipikirkan oleh ‘rasionalitas faktual’ dunia itu sendiri. ‘Materialisme,’ sebagai suatu ontologi sosial (baca:
pemikiran mendasar tentang masyarakat, individu, dan sejarah), dalam hal ini, sebagai suatu bentuk logika dunia
(baca: cara memikirkan dunia sebagaimana adanya), memiliki kebenarannya yang dapat divalidasi dengan
rasionalitas yang dapat dikenali dan dipelajari dari fakta-fakta dunia. Sebagai suatu logika dunia, materialisme
berkepentingan untuk mencoba memahami dunia dengan memahami perubahan-perubahan yang inheren dan
melekat pada dunia itu sendiri sebagai realitas yang ‘material.’ Agama adalah salah satu realitas ‘material’ itu,
sehingga bila logika dunia membaca agama, ia membacanya dalam rangka memahami dinamika agama sebagai
realitas ‘material.’ Dilihat dari logika dunia, hal ini masuk akal, walaupun dilihat dari logika spiritual agama, hal ini
akan dipandang menistai kesakralan agama—suatu kekhawatiran yang sebenarnya terlalu berlebihan, dilihat dari
logika dunia, karena bagaimanapun agama bisa eksis karena ia berpijak di atas dunia.

Dengan menempatkan kedua logika ini dalam ranah kebenarannya masing-masing, kita sepertinya tidak akan
kesulitan untuk menjawab, misalnya, mengapa rata-rata Marxis belum bisa menerima agama sebagai suatu
kenyataan ilahiah, karena mereka melihat fenomena ‘spiritual’ agama dengan logika dunia. Sebaliknya, kita akan
mulai mengerti mengapa rata-rata kaum beragama tidak kunjung memahami kapitalisme, misalnya, sebagai suatu
persoalan sosial dan bukan moral semata, karena mereka masih melihat perubahan-perubahan keduniaan dengan
logika spiritual. Ketidaksinkronan ini mengakibatkan ketidakmampuan kedua pihak untuk mengakui kebenaran pihak
lain, karena keduanya tidak melihat ranah di mana masing-masing bekerja.

Dua logika ini tentu kemudian tidak selamanya seterpisah kelihatannya, karena, di antara kepekatan yang melapisi
keduanya, terdapat titik-titik persinggungan, titik-titik yang memungkinkan lahirnya hal-hal baru, pertemuan-
pertemuan yang tak terduga, dan persilangan-persilangan yang mengejutkan. Titik persinggungan itu yang
memungkinkan dunia dipikirkan oleh logika spiritual, yang melahirkan—untuk menyebut contoh klasik—Teologi
Pembebasan, dalam berbagai versinya (Kristiani, Islam, atau Yahudi), atau pemikiran orang-orang seperti Thomas
Münzer, teolog pemimpin para petani revolusioner dari abad ke-16. Gagasan-gagasan ini dapat dilihat sebagai
pelampauan logika spiritual agama untuk keluar dari ranah kebenarannya sendiri dan bertemu dengan kenyataan
faktual dunia. Di sisi lain, terdapat titik persinggungan yang memungkinkan agama dipikirkan-ulang oleh logika dunia,
seperti tercermin dari gagasan Engels yang melihat kesejajaran antara sosialisme modern dan agama Kristen
primitif, dalam cita-cita pembebasan keduanya. Dengan tetap menjadi materialis secara filosofis, dan ateis secara
‘irreligius,’ Engels tidak menafikan karakter ganda dari agama yang, tidak sesederhana stereotipe para filsuf
Pencerahan, melihat agama tidak melulu identik sebagai kekuatan kolot dan reaksioner. Seperti Marx dari teks
Kontribusi bagi Kritik Filsafat Hak Hegel, ia melihat karakter ganda dari agama, yang mempertahankan tatanan yang
dominan, namun di sisi lain dapat mengubahnya.

Pemikiran Engels terdengar dari jauh seperti sebuah teologi, hingga kita akan salah mengira bahwa dia seorang
teolog. Di sisi lain, Münzer dari jauh tampak seperti seorang ateis yang revolusioner, meski nyatanya ia seorang
agamawan yang taat. Kesan yang menipu ini barangkali sedikit isyarat, bahwa pada gilirannya menjadi tidak relevan
atribut ateis atau teis yang disandang. Ateisme mungkin adalah pilihan yang masuk akal bagi sementara orang,
walaupun tentunya bukan pilihan cerdas dan terbaik. Tetapi, seorang ateis seperti Engels yang mau bersusah payah
memikirkan agama, setidaknya lebih baik, menurut logika dunia, daripada seorang agamawan yang lebih sibuk
memikirkan ‘keagungan’ agamanya, di tengah masyarakat yang lapar dan pemerintahan yang korup. Engels
sepertinya tak akan ‘selamat’ di akhirat, tapi setidaknya selama di dunia, ia sudah memikirkan sesuatu yang
terlupakan dari perhatian orang-orang yang hanya berpikir untuk masuk surga, sementara membiarkan tetangganya
kelaparan.***

Muhammad Al-Fayyadl , santri filsafat di Universitas Paris VIII, Prancis

Anda mungkin juga menyukai