Anda di halaman 1dari 17

MAKALAH KELAINAN

REFRAKSI

DISUSUN OLEH:
ARDIYANSYAH
181041341991028

DOSEN PENGAMPU :
RINA NOVALINDA, Amd. RO., ST., M,M

AKADEMI REFRAKSI OPTISI PADANG

JL. Berok Raya No. 29 Jembatan Baru Siteba Padang


Telp : (0751) 7054695, Email : aro.padang@yahoo.co.id
2019
KATA PENGANTAR

Puji syukur kami panjatkan kehadirat Allah SWT karena atas limpahan rahmat dan
hidayah-Nya kami dapat menyusun tugas makalah yang berjudul “KELAINAN REFRAKSI”.
Pada dasarnya makalah ini disusun untuk diajukan sebagai tugas mata kuliah Klinik
Refraksi I di kampus Akademi Refraksi Optisi Padang.
Terima kasih kepada Ibuk RINA NOVALINDA, Amd. RO., ST., M,M selaku dosen
mata kuliah Klinik Refraksi I yang telah membimbing dan memberikan kuliah demi lancarnya
tugas ini.
Demikian tugas ini disusun semoga bermanfaat, agar dapat memenuhi tugas mata kuliah
Klinik Refraksi I.

Muara Bungo, 09 Maret 2019

Penyusun
DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL

KATA PENGANTAR.................................................................................................... i

DAFTAR ISI.................................................................................................................. ii

BAB I : PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang...........................................................................................................4


1.2 Pertanyaan Penelitian.................................................................................................6
1.3 Hipotesis Penelitian....................................................................................................7
1.4 Tujuan Penelitian........................................................................................................7
1.5 Manfaat Penelitian......................................................................................................7

BAB II : PEMBAHASAN

2.1 Miopia.......................................................................................................................9
2.2 Hipermetropia...........................................................................................................11
2.3 Astigmatisme............................................................................................................13
2.4 Presbiopia.................................................................................................................14

BAB II : PENUTUP

3.1 Kesimpulan................................................................................................................16

DAFTAR PUSTAKA
BAB I
PENDAHULUAN

1.1 LATAR BELAKANG


Kelainan refraksi mata atau refraksi anomali adalah keadaan dimana bayangan tegas
tidak dibentuk pada retina tetapi di bagian depan atau belakang bintik kuning dan tidak terletak
pada satu titik yang tajam. Kelainan refraksi dikenal dalam bentuk miopia, hipermetropia, dan
astigmatisma (Ilyas, 2006).

World Health Organization (WHO), 2009 menyatakan terdapat 45 juta orang yang
mengalami buta di seluruh dunia, dan 135 juta dengan low vision. Setiap tahun tidak kurang dari
7 juta orang mengalami kebutaan, setiap 5 menit sekali ada satu penduduk bumi menjadi buta
dan setiap 12 menit sekali terdapat satu anak mengalami kebutaan. Sekitar 90 % penderita
kebutaan dan gangguan penglihatan ini hidup di negara-negara miskin dan terbelakang (Tsan,
2010).

Prevalensi kebutaan tersebut disebabkan salah satunya adalah kelainan refraksi yang
tidak terkoreksi, di dunia pada tahun 2007 diperkirakan bahwa sekitar 2,3 juta orang di dunia
mengalami kelainan refraksi (Ali dkk, 2007). Bila dibandingkan dengan 10 negara South East
Asia Region (SEARO), tampak angka kebutaan di Indonesia yang penyebabnya salah satunya
adalah kelainan refraksi yakni sebanyak 0.11% (Sirlan dkk, 1996).

Berdasarkan data dari WHO pada 2004 prevalensi kelainan refraksi pada umur 5-15
tahun sebanyak 12,8 juta orang (0,97%) (Resnikof dkk, 2004). Penyebab kebutaan pada anak
sangat bervariasi pada setiap negara dan salah satunya adalah kelainan refraksi khususnya di
Asia Tenggara (Community Eye Health Journal, 2007). Pada sebuah pertemuan International
Agency for Prevention of Blindness (IAPB) tahun 2001, bahwa 5-15% dari anak-anak menderita
kelainan refraksi (Dunaway dan Berger, 2001). Menurut Depkes RI (1998) kebutaan anak di
Indonesia sebesar 0,6 per seribu anak diantaranya sebesar 10% dari 66 juta anak usia sekolah (5-
19 tahun) menderita kelainan refraksi (RENSTRANAS PGPK, 2005).
Prevalensi kelainan refraksi pada anak usia sekolah pada anak pria dan wanita masih
mengalami kontroversi. Berdasarkan penelitian di daerah Qazvin, Iran pada Oktober 2002-
September 2008 antara anak yang berumur 7-15 tahun menyatakan pada anak perempuan lebih
tinggi yang mengalami kelainan refraksi (Khalaj dkk, 2009) begitu juga di Ethiopia (Kassa,
2000), di Singapore (Woo dkk, 2004), serta di kecamatan Tallo kota Makasar pada anak usia 3-6
tahun pada November 2010 tinggi (Launardo, 2010).

Namun berbeda di daerah Pakistan, dalam periode Januari 2006 Desember 2007
prevalensi kelainan refraksi pada anak yang berumur 3-15 tahun adalah 500 orang (10%) dimana
pada laki-laki yang paling tinggi dan kebanyakan yang menderita hipermetropia yakni 58%
(Sethi dkk, 2009), begitu juga dengan penelitian yang dilakukan di daerah Bhubanesar
(Mahapatro dkk, 2006).

Menurut studi kasus di Malaysia, pada anak usia sekolah didapatkan prevalensi kelainan
refraksi khususnya miopia lebih tinggi pada anak usia lebih tua, pada jenis kelamin lebih banyak
perempuan, pada anak dengan tingkat pendidikan orangtua lebih tinggi, dan ras Tionghoa,
sedangkan hipermetropia lebih banyak ditemukan pada anak usia lebih muda dan pada etnik
lainnya (Goh, 2003).

Kebanyakan anak secara fisiologis sudah mengalami kelainan refraksi seperti


hipermetropia pada waktu lahir, terutama bayi lahir premature mengalami miopia dan sering ada
sedikit astigmatisma. Sesuai dalam tahap pertumbuhan, keadaan refraksi cenderung untuk
berubah dan harus dievaluasi secara periodik. Insidensi miopia meningkat selama tahun-tahun
sekolah, terutama sebelum dan usia sepuluhan (Nelson, 2000). Mata dengan hipermetropia lebih
tinggi akan mengakibatkan “mata malas” atau amblyopia (anisometropik ambliopia), hal ini
sering berhubungan dengan esotropia akomodatif (starbismus konvergen) karena adanya
hubungan intrinsik antara akomodasi, konvergensi dan miosis (trias dekat) (Alpers, 2006).

Menurut perhitungan WHO, tanpa ada tindakan pencegahan dan pengobatan terhadap
kelainan refraksi, hal ini akan mengakibatkan jumlah penderita akan semakin meningkat.
Kenyataan ini sangat kontradiktif dengan pentingnya hak asasi manusia yakni hak memperoleh
penglihatan kesehatan untuk menanggulangi masalah gangguan penglihatan termasuk kelainan
refraksi dan kebutaan yang dapat dicegah atau direhabilitasi dengan dasar keterpaduan upaya dan
bertujuan untuk menurunkan jumlah kebutaan pada tahun 2020 (Dunaway dan Berger, 2001).
Dalam program “Vision 2020 : Right to Sight” terdapat 4 prinsip utama, yaitu eye health
promotion, prevention of eye disease, curative intervention, ang rehabilitation. Untuk dapat
mencapai tujuan tersebut diperlukan usaha dari tiap wilayah dan kerja sama tim, dimana kegiatan
skrining diperlukan sebagai langkah awal dalam penuntasan masalah kebutaan secara global
(Thulasiraj dkk, 2001).
Begitu juga di Indonesia pada tahun 2003, Departemen Kesehatan RI bersama organisasi
profesi Perhimpunan Dokter Spesialis Mata Indonesia (Perdami) telah mengupayakan
penanggulangan gangguan penglihatan termasuk kelainan refraksi tersebut (Tsan, 2010).

Kelainan refraksi bukan hanya menggangu produktivitas dan mobilitas penderitanya,


tetapi juga menimbulkan dampak sosial ekonomi bagi lingkungan, keluarga, masyarakat, dan
negara lebih dalam menghadapi pasar bebas. Apabila keadaan ini tidak ditangani secara
menyeluruh, akan terus berdampak negatif terhadap perkembangan kecerdasan anak dan proses
pembelajarannya, yang selanjutnya juga mempengaruhi mutu, kreativits dan produktivitas
angkatan kerja (15-55 tahun).

Pada gilirannya nanti akan menggangu laju pembangunan ekonomi nasional yang kini
dititikberatkan pada pengembangan dan penguatan usaha kecil menengah untuk mengentaskan
golongan ekonomi lemah dari kemiskinan (RENSTRANAS PGPK, 2005). Menurut survei awal
di daerah Pematangsiantar khususnya di salah satu sekolah yakni Budi Mulia jumlah murid dari
SD dan SMP sebanyak 779 orang, dimana jumlah anak laki-laki sebanyak 385 orang serta anak
perempuan sebanyak 394 orang dan terlihat kurang lebih 30 anak memakai kaca mata baik pada
anak perempuan ataupun laki-laki. Berdasarkan informasi dari kepala sekolah belum ada suatu
tindakan skrining atau pemeriksaan dini dari pelayanan kesehatan setempat untuk mata
khususnya pada siswa-siswi, meskipun di daerah Sumatera Utara khususnya, sudah ada beberapa
penelitian telah dilakukan, seperti melihat prevalensi kelainan refraksi yakni di RSUP H. Adam
Malik Medan (Bastanta, 2010), serta prevalensi penurunan ketajaman penglihatan pada siswa
kelas 4-6 SD di salah satu sekolah di Medan, dan kelainan refraksi tersebut jika tidak segera
ditangani atau dicegah sejak dini terhadap anak-anak, hal ini akan berpengaruh pada
perkembangan khususnya mutu pendidikan pada anak sekolah. Berdasarkan pada kenyataan dan
masalah yang ada di atas, maka peneliti tertarik untuk mengetahui perbedaan karakteristik jenis
kelamin terhadap kelainan refraksi pada siswa-siswi di SD dan SLTP RK Budi Mulia
Pematangsiantar tahun 2012.

1.2 PERTANYAAN PENELITIAN

Bagaimana perbedaan karakteristik jenis kelamin terhadap kelainan refraksi pada siswa-siswi di
SD dan SLTP RK Budi Mulia Pematangsiantar tahun 2012?
1.3 HIPOTESIS PENELITIAN

Ho : Tidak ada perbedaan karakteristik jenis kelamin terhadap kelainan refraksi antara anak laki-
laki dan anak perempuan.

Ha : Ada perbedaan karakteristik jenis kelamin terhadap kelainan refraksi antara anak laki-laki
dan anak perempuan.

1.4 TUJUAN PENELITIAN

1.4.1 Tujuan Umum

Untuk mengetahui perbedaan karakteristik jenis kelamin terhadap kelainan refraksi pada
siswa-siswi di SD dan SLTP RK Budi Mulia Pematangsiantar.

1.4.2. Tujuan Khusus

Dari penelitian ini dapat diketahui secara khusus :

a. Untuk mengetahui kelainan refraksi pada anak laki-laki di SD dan SMP RK Budi Mulia
Pematangsiantar.

b. Untuk mengetahui kelainan refraksi pada anak perempuan di SD dan SMP RK Budi Mulia
Pematangsiantar.

1.5 MANFAAT PENELITIAN

1.5.1 Bagi Instansi Pendidikan Keperawatan

Hasil dari penelitian ini dapat dijadikan sebagai bahan pengajaran tambahan atau
informasi khususnya tentang Kelainan Refraksi di perpustakaan Fakultas Keperawatan untuk
menambah pengetahuan peserta didik keperawatan dalam memberi pelayanan di masyarakat.

1.5.2 Bagi Penelitian Keperawatan

Hasil penelitian ini dapat menambah informasi pengetahuan dan pengalaman mengenai
kelainan refraksi pada anak-anak bagi penelitian keperawatan dalam melakukan riset/penelitian
pada masyarakat sehingga memberikan ide selanjutnya bagi penelitian keperawatan untuk
meneliti kelainan refraksi yang tidak terkoreksi di setiap daerah khusunya pada anakanak usia
sekolah dan remaja.
1.5.3 Bagi Pelayanan Keperawatan

Hasil dari penelitian ini dapat sebagai bekal parawat dan masukan bagi pelayanan
keperawatan untuk lebih memperhatikan aspek preventif dan edukasi melalui penyuluhan dalam
hal kesehatan mata seperti sarana kesehatan di klinik maupun di komunitas yang belum memiliki
fasilitas kesehatan mata lengkap serta terbatasnya sarana dan prasarana untuk kegiatan
penanggulangan kebutaan dan gangguan penglihatan.

1.5.4 Bagi Masyarakat

Hasil dari penelitian ini dapat menjadi sebagai bahan untuk memberikan gambaran
kepada pihak keluarga termasuk orangtua siswa dan guru-guru yang dekat pada anak mengenai
kondisi/gejala-gejala yang timbul pada penglihatan anak sehingga jika ada terjadi penurunan
dapat dilakukan koreksi dini dan pengobatan dini untuk mencegah hal-hal yang lebih berat.
BAB II
PEMBAHASAN

2.1 MIOPIA

A. Batasan
Kelainan refraksi dimana sinar sejajar yang masuk ke mata dalam keadaan istirahat
(tanpa akomodasi) akan dibias membentuk bayangan di depan retina

B. Patofisiologi
Miopia disebabkan karena pembiasan sinar di dalam mata yang terlalu kuat untuk
panjangnya bola mata akibat : 
1. Sumbu aksial mata lebih panjang dari normal (diameter antero-posterior yang lebih
panjang, bola mata yang lebih panjang ) disebut sebagai miopia aksial
2. Kurvatura kornea atau lensa lebih kuat dari normal (kornea terlalu cembung atau lensa
mempunyai kecembungan yang lebih kuat) disebut miopia kurvatura/refraktif 
3. Indeks bias mata lebih tinggi dari normal, misalnya pada diabetes mellitus. Kondisi ini
disebut miopia indeks
4. Miopi karena perubahan posisi lensa 
Posisi lensa lebih ke anterior, misalnya pasca operasi glaukoma

C. Gejala Klinis
Gejala utamanya kabur melihat jauh
1. Sakit kepala (jarang)
2. Cenderung memicingkan mata bila melihat jauh (untuk mendapatkan efek pinhole), dan
selalu ingin melihat dengan mendekatkan benda pada mata
3. Suka membaca, apakah hal ini disebabkan kemudahan membaca dekat masih belum
diketahui dengan pasti. 

D. Pembagian
Berdasarkan besar kelainan refraksi, dibagi :
1. miopia ringan : ∫-0,25 D s/d ∫-3,00 D
2. myopia sedang : ∫-3,25 D s/d ∫-6,00 D
3. myopia berat : ∫-6,25 D atau lebih
Berdasarkan perjalanan klinis, dibagi :
1. myopia simpleks : dimulai pada usia 7-9 tahun dan akan bertambah sampai anak 
berhenti tumbuh ( ±20 tahun )
2. myopia progresif/maligna : myopia bertambah secara cepat ( ± 4.0 D / tahun ) dan 
sering disertai perubahan vitero-retinal

ada satu tipe miopia pada anak dengan miopia 10 D atau lebih yang tidak berubah sampai
dewasa

E. Diagnosis/Cara Pemeriksaan
1) Refraksi Subyektif
Metoda ‘trial and error’ 
Jarak pemeriksaan 6 meter/ 5 meter/ 20 kaki
Digunakan kartu Snellen yang diletakkan setinggi mata penderita
Mata diperiksa satu persatu
Ditentukan visus / tajam penglihatan masing-masing mata
Bila visus tidak 6/6 dikoreksi dengan lensa sferis negatif

2) Refraksi Obyektif
a. Retinoskopi : dengan lensa kerja ∫+2.00 pemeriksa mengamati refleks fundus yang bergerak
berlawanan arah dengan arah gerakan retinoskop (against movement) kemudian dikoreksi
dengan lensa sferis negatif sampai tercapai netralisasi
b. Autorefraktometer (komputer)

F. Penatalaksanaan
1. Kacamata 
Koreksi dengan lensa sferis negatif terlemah yang menghasilkan tajam penglihatan terbaik
2. Lensa kontak
Untuk : anisometropia
Myopia tinggi 
3. Bedah refrakstif
a. bedah refraktif kornea : tindakan untuk mengubah kurvatura permukaan anterior kornea
( Excimer laser, operasi lasik )
b. bedah refraktif lensa : tindakan ekstraksi lensa jernih, biasanya diikuti dengan implantasi lensa
intraokuler
G. Komplikasi
1. Ablatio retina terutama pada myopia tinggi 
2. Strabismus
a) esotropia bila myopia cukup tinggi bilateral 
b) bexotropia pada myopia dengan anisometropia
3. Ambliopia terutama pada myopia dan anisometropia 

2.2 HIPERMETROPIA

A. Batasan
Kelainan refraksi dimana sinar sejajar yang masuk ke mata dalam keadaan istirahat
(tanpa akomodasi ) akan dibias membentuk bayangan di belakang retina.

B. Patofisiologi 
1) Hipermetropia aksial karena sumbu aksial mata lebih pendek dari normal
2) Hipermetropia kurvatura karena kurvatura kornea atau lensa lebih lemah dari normal
3) Hipermetropia indeks karena indeks bias mata lebih rendah dari normal

C. Gejala klinis 
1) Penglihatan jauh kabur, terutama pada hipermetropia 3 D atau lebih, hipermetropia pada orang
tua dimana amplitude akomodasi menurun
2) Penglihatan dekat kabur lebih awal, terutama bila lelah, bahan cetakan kurang terang atau
penerangan kurang
3) Sakit kepala terutama daerah frontal dan makin kuat pada penggunaan mata yang lama dan
membaca dekat
4) Penglihatan tidak enak (asthenopia akomodatif=eye strain) terutama bila melihat pada jarak
yang tetap dan diperlukan penglihatan jelas dalam waktu yang lama, misalnya menonton TV, dll
5) Mata sensitif terhadap sinar
6) Spasme akomodasi yang dapat menimbulkan pseudomiopia
7) Perasaan mata juling karena akomodasi yang berlebihan akan diikuti oleh konvergensi yang
berlebihan pula

D. Pembagian
Berdasarkan besar kelainan refraksi, dibagi :
1) Hipermetropia ringan : ∫-0,25 s/d ∫-3,00
2) Hipermetropia sedang : ∫-3,25 s/d ∫-6,00
3) Hipermetropia berat : ∫-6,25 atau lebih
Berdasarkan kemampuan akomodasi, dibagi :
1) Hipermetropia laten : kelainan hipermetropik yang dapat dikoreksi dengan tonus otot siliaris
secara fisiologis, di mana akomodasi masih aktif
2) Hipermetropia manifes, dibagi :
a. Hipermetropia manifes fakultatif : kelainan hipermetropik yang dapat dikoreksi dengan
akomodasi sekuatnya atau dengan lensa sferis positif
b. Hipermetropia manifes absolut : kelainan hipermetropik yang tidak dapat dikoreksi
dengan akomodasi sekuatnya
3. Hipermetropia total :
Hipermetropia yang ukurannya didapatkan sesudah diberikan sikloplegia 

E. Diagnosis/Cara Pemeriksaan
1) Refraksi Subyektif
Metoda ‘Trial and Error’ 
Jarak pemeriksaan 6 meter/ 5 meter/ 20 kaki
Digunakan kartu Snellen yang diletakkan setinggi mata penderita
Mata diperiksa satu persatu
Ditentukan visus / tajam penglihatan masing-masing mata
Bila visus tidak 6/6 dikoreksi dengan lensa sferis positif
Pada anak-anak dan remaja dengan visus 6/6 dan keluhan asthenopia akomodativa dilakukan tes
sikloplegik, kemudian ditentukan koreksinya

2) Refraksi Obyektif
a. Retinoskopi : dengan lensa kerja ∫+2.00, pemeriksa mengamati refleks fundus yang bergerak
searah dengan arah gerakan retinoskop ( with movement), kemudian dikoreksi dengan lensa
sferis positif sampai tercapai netralisasi
b. Autorefraktometer (komputer)

F. Penatalaksanaan
1. Kacamata 
Koreksi dengan lensa sferis positif terkuat yang menghasilkan tajam penglihatan terbaik

2. Lensa kontak
Untuk : anisometropia
Hipermetropia tinggi 
G. Komplikasi
1. Glaukoma sudut tertutup
2. Esotropia pada hipermetropia >2.0 D
3. Ambliopia terutama pada hipermetropia dan anisotropia. Hipermetropia merupakan penyebab
tersering ambliopia pada anak dan bisa bilateral 

2.3 ASTIGMATISME

A. Batasan
Suatu kelainan refraksi dimana sinar sejajar dengan garis pandang oleh mata tanpa
akomodasi dibiaskan tidak pada satu titik tetapi lebih dari satu titik.

B. Patofisiologi
1. Adanya kelainan kornea dimana permukaan luar kornea tidak teratur
2. Adanya kelainan pada lensa dimana terjadi kekeruhan pada lensa
3. Intoleransi lensa atau lensa kontak pada postkeratoplasty
4. Trauma pada kornea
5. Tumor

C. Gejala Klinis
1. Pengelihatan kabur atau terjadi distorsi
2. Pengelihatan mendua atau berbayang - bayang
3. Nyeri kepala
4. Nyeri pada mata

D. Pembagian
Berdasarkan posisi garis focus dalam retina Astigmatisme dibagi menjadi
1. Astigmatisme Reguler
Dimana didapatkan dua titik bias pada sumbu mata karena adanya dua bidang yang saling
tegak lurus pada bidang yang lain sehingga pada salah satu bidang memiliki daya bias yang lebih
kuat dari pada bidang yang lain.
a) Astigmatisme With the Rule
Bila pada bidang vertical mempunyai daya bias yang lebih kuat dari pada bidang horizontal.
b) Astigmatisme Against the Rule
Bila pada bidang horizontal mempunyai daya bias yang lebih kuat dari pada bidang vertical.
2. Astigmatisme Irreguler
Dimana titik bias didapatkan tidak teratur.
Berdasarkan letak titik vertical dan horizontal pada retina Astigmatisme dibagi :
1. Astigmatisme Miopia Simpleks
2. Astigmatisme Miopia Kompositus
3. Astigmatisme Hiperopia Simpleks
4. Astigmatisme Hiperopia Kompositus
5. Astigmatisme Mixtus

E. Diagnosis
a) Refraksi Subjektif
1. Trial and Error
2. Pemeriksaan Fogging Technique dengan grafik Astigmatisme
3. Cross Cylinder Technique

b) Refraksi Objektif
1. Retinoskopi
2. Refraktometri
3. Topografi kornea
4. Keratometri

F. Penatalaksanaan
1. Kaca Mata
2. Lensa Kontak
3. LASEK
4. Astigmatisme Keratotomy

2.4 PRESBIOPIA

A. Batasan
Suatu kelainan refraksi simana hilangnya daya akomodasi terjadi bersamaan dengan proses
penuaan.

B. Patofisiologi
Adanya proses penuaan membuat daya akomodasi lensa menjadi semakin lemah.
C. Gejala Klinis
1. Pengelihatan kabur pada jarak dekat maupun jarak jauh.
2. Kesulitan pada waktu membaca dekat huruf dengan cetakan kecil, untuk membaca lebih jelas
maka penderita cenderung menegakkan punggungnya atau menjauhkan objek yang dibacanya 
3. Pengelihatan kabur bertambah seiring dengan usia.

D. Diagnosis
1. Kartu SNELLEN
2. Kartu Jaeger

E. Penatalaksanaan
1. Kaca Mata bifocal atau trifokal
Dengan pedoman bila diatas 40 tahun ditambah S+1.00 dan setiap 5 tahun diatasnya ditambah
S+0.50.
2. Conductive Keratoplasty
BAB III
PENUTUP

3.1 KESIMPULAN

Kelainan refraksi merupakan salah satu kelainan mata yang paling sering terjadi. Saat ini
kelainan refraksi masih merupakan masalah kesehatan masyarakat di dunia. Kelainan refraksi
terdiri dari 4 jenis yaitu miopia, hipermetropia, presbiopia dan astigmatisma. Masing-masing dari
jenis kelainan tersebut dapat dikoreksi menggunakan kacamata dengan lensa yang berbeda-beda.
Secara patofisiologi kelainan refraksi adalah adalah keadaan bayangan tegas tidak dibentuk pada
retina, dimana terjadi ketidakseimbangan sistem penglihatan pada mata sehingga menghasilkan
bayangan yang kabur. Sinar tidak dibiaskan tepat pada retina, tetapi dapat di depan atau di
belakang retina dan/ atau tidak terletak pada satu titik fokus. Kelainan refraksi dapat diakibatkan
terjadinya kelainan kelengkungan kornea dan lensa, perubahan indeks bias, dan kelainan panjang
sumbu bola mata. Prognosis pada pasien dengan kelainan refraksi tergantung kepada sebera
parah kelaian refraksi yang dialami pasien tersebut.
DAFTAR PUSTAKA

Ilyas S. Ilmu Penyakit Mata Jakarta: Balai penerbit FK UI; 2012.

Ariestanti H, Dewayani P. Characteristic of patients with refractive disorder at eye clinic


hospital. Bali Medical Journal. 2012 Desember; 3(1).

Resnikof S. Global Data on Visual Impairment in the Year. Bulletin of The world Health
Organization. 2002; 82(11).

S V, MF C, R S. Prevalence of Visual Impairment inThe United State. JAMA. 2006; 295.

Journal cEH. http://www.cehjournal.org/files. [Online].; 2007 [cited 2015 Januari 7.

RI D. survei morbiditas mata dan kebutaan di 8 propinsi. , Ditjen Binkesmas; 1988.

Ciner E DVSPADCLd. A survey of vision screening policy. Survey of Ophtalmology. 2005.

Djuanda A., Djuanda S., Hamzah M., Aisah S., editor. Ilmu Penyakit Kulit dan Kelamin, Edisi
Kedua, Jakarta, Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 1993

Arnold HL., Odom RB., James WD., Andrew’s Dissease of Skin, 8th ed, London : WB Sauders
Co., 1990, 89-114

Larsen WG, Allergic Contact Dermatitis, In : Moschella SL., Hurley HJ, Dermatology, 3rd ed,
London : WB Sauders Co., 1992, 391-400

Anda mungkin juga menyukai