Anda di halaman 1dari 20

REFERAT

Disusun Oleh :
Vega Nawangsari H
1765050311

Pembimbing :
dr. Donnie Lumban Gaol, Sp.PD-KGH

KEPANITERAAN KLINIK ILMU PENYAKIT DALAM


FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS KRISTEN INDONESIA
JAKARTA
2020

Page i
DAFTAR ISI

DAFTAR ISI.................................................................................................. i
ABSTRAK………………………………………………………………….
1

BAB I PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang................................................................................. 2

BAB II TINJAUAN PUSTAKA................................................................. 2


2.1 Definisi............................................................................................. 3
2.2 Epidemiologi.................................................................................... 3
2.3 Etiopatogenesis................................................................................ 4
2.4 Diagnosis.......................................................................................... 7
2.5 Penatalaksanaan............................................................................... 8
2.6 Kesimpulan...................................................................................... 13

DAFTAR PUSTAKA.................................................................................... 14

Page ii
ABSTRAK

Asma adalah penyakit komorbid yang banyak dialami selama kehamilan dan
prevalensinya meningkat di masyarakat. Eksaserbasi adalah masalah klinis utama
selama kehamilan hingga 45% wanita perlu mencari bantuan medis, yang dapat
memberikan pengaruh buruk bagi ibu dan janin, termasuk berat lahir rendah dan
kelahiran prematur. Tujuan dari manajemen asma yang efektif dalam kehamilan
adalah untuk mempertahankan kontrol asma sebaik mungkin dan mencegah
eksaserbasi. Manajemen yang efektif bertujuan untuk mencegah gejala asma di
siang dan malam hari, mempertahankan fungsi paru-paru dan aktivitas normal.
Pembaruan telah dibuat dalam beberapa tahun terakhir dalam manajemen gawat
darurat asma pada kehamilan, dan pendekatan multidisiplin sedang diusulkan
untuk mengoptimalkan penanganan asma dan perinatal. Penggunaan algoritma
yang menggunakan kortikosteroid inhalasi dibandingkan FeNO dan
menambahkan β-agonis kerja lama pada asma tidak terkontrol menghasilkan lebih
sedikit eksaserbasi, lebih banyak wanita yang menggunakan kortikosteroid
inhalasi dengan dosis rata-rata yang lebih rendah, dan dapat meningkatkan
kesehatan pernapasan bayi pada usia 12 bulan.

ABSTRACT
Asthma is a common comorbidity during pregnancy and its prevalence is
increasing in the community. Exacerbations are a major clinical problem during
pregnancy with up to 45% of women needing to seek medical help, resulting in
poor outcomes for mothers and their babies, including low birth weight and
preterm delivery. The goals of effective asthma management in pregnancy are to
maintain the best possible asthma control and prevent exacerbations. This is
achieved by aiming to prevent day and night time symptoms, and maintain lung
function and normal activity. Improvements have been made in recent years in
emergency department management of asthma in pregnancy, and
multidisciplinary approaches are being proposed to optimise both asthma
outcomes and perinatal outcomes. The use of an algorithm that adjusted inhaled
corticosteroids (ICS) according to FeNO and added long-acting β-agonists when
symptoms remained uncontrolled resulted in fewer exacerbations, more women
on inhaled corticosteroids but at lower mean doses, and improved infant
respiratory health at 12 months of age.

Page 1
BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Asma adalah penyakit kronis yang umum terjadi pada wanita hamil, yang
mempengaruhi lebih dari 12% wanita hamil di Australia, dan memiliki prevalensi
yang meningkat di seluruh dunia. Hingga 45% wanita dengan asma mengalami
gejala eksaserbasi selama kehamilan, dan membutuhkan intervensi medis; 20-
30% wanita dengan asma dan merokok selama kehamilan, memiliki risiko yang
lebih besar terjadinya eksaserbasi parah. Asma, serta eksaserbasi, asma sedang
dan berat dan kebiasaan merokok adalah faktor risiko yang signifikan
mempengaruhi kesehatan perinatal, termasuk pra-eklampsia, kelahiran prematur,
berat lahir rendah, kecil masa kehamilan, rawat inap neonatal dan mortalitas
perinatal. Selain itu, penggunaan kortikosteroid oral, pengobatan umum untuk
eksaserbasi, telah dikaitkan dengan kelahiran prematur dan berat lahir rendah.
Dengan demikian, intervensi yang mengurangi tingkat eksaserbasi selama
kehamilan, juga dapat meningkatkan kesehatan perinatal, baik pada perokok
maupun bukan perokok. Khususnya, dalam meta-analisis studi kohort prospektif
dan retrospektif, risiko kelahiran prematur, persalinan prematur dan rawat inap
neonatal di antara wanita dengan asma meningkat pada mereka yang tidak
memiliki manajemen asma aktif, sementara tidak ada peningkatan risiko pada
wanita dengan manajemen asma aktif. Hal ini menunjukkan bahwa efek asma
pada ibu yang mempengaruhi kesehatan perinatal dapat dimodifikasi dengan
manajemen asma "aktif", dan bahwa manajemen asma selama kehamilan, baik
perokok dan bukan perokok, adalah penting dan perlu untuk kesehatan ibu dan
anaknya.1

Pemantauan asma secara teratur selama kehamilan dianjurkan karena dua


alasan utama: (i) biasanya, sepertiga wanita mengalami perbaikan, sepertiga tidak
mengalami perubahan, dan sepertiga memiliki asma yang memburuk secara
subyektif saat hamil; dan (ii) perubahan pada tingkat keparahan asma tidak mudah
diprediksi, yang dapat menyulitkan manajemen. Praktik yang banyak dilakukan
saat ini adalah menyesuaikan terapi asma disesuaikan dengan penilaian gejala
asma dan fungsi paru-paru; Namun, langkah-langkah ini tidak selalu
mencerminkan inflamasi saluran napas, yang merupakan target terapi
kortikosteroid inhalasi, yang menunjukkan bahwa pemilihan pengobatan mungkin
kurang sesuai ketika didasarkan pada penilaian klinis saja.

Page 2
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1. DEFINISI

Asma bronkial merupakan masalah kesehatan yang serius pada ibu hamil
dan pada saat persalinan. Asma bronkial adalah sindroma yang kompleks dengan
berbagai tipe klinis. Penyakit ini dapat disebabkan oleh faktor genetik ataupun
faktor lingkungan (virus, alergen maupun paparan bahan kerja). Pada asma
bronkial terdapat penyempitan saluran pernafasan yang disebabkan oleh spasme
otot polos saluran nafas, edema mukosa dan adanya hipersekresi yang kental.
Penyempitan ini akan menyebabkan gangguan ventilasi (hipoventilasi), distribusi
ventilasi tidak merata dalam sirkulasi darah pulmonal dan gangguan difusi gas
ditingkat alveoli, akhirnya akan berkembang menjadi hipoksemia, hiperkapnia
dan asidosis pada tingkat lanjut. Pada asma terjadi peningkatan daya responsif
percabangan trakheo-bronkhial terhadap berbagai stimulus, dan terjadi manifestasi
fisiologis berbentuk penyempitan yang meluas pada saluran udara pernafasan
yang dapat sembuh spontan atau sembuh dengan terapi dan secara klinis ditandai
oleh serangan mendadak dispnea, batuk, serta mengi.2

Selama kehamilan berat penyakit asma dapat berubah sehingga penderita


memerlukan pengaturan jenis dan dosis obat asma yang dipakai. Penelitian
retrospektif memperlihatkan bahwa selama kehamilan 1/3 penderita mengalami
perburukan penyakit, 1/3 lagi menunjukkan perbaikan dan 1/3 sisanya tidak
mengalami perubahan. Meskipun selama kehamilan pemberian obat-obat harus
hati-hati, tetapi asma yang tidak terkontrol bisa menimbulkan masalah pada bayi
berupa peningkatan kematian perinatal, pertumbuhan janin terhambat dan lahir
prematur, peningkatan insidensi operasi caesar, berat badan lahir rendah dan
perdarahan postpartum. Prognosis bayi yang lahir dari ibu menderita asma tapi
terkontrol sebanding dengan prognosis bayi yang lahir dari ibu yang tidak
menderita asma. Pada umumnya semua obat asma dapat dipakai saat kehamilan
kecuali komponen α adrenergik, bromfeniramin dan epinefrin.. Kortikosteroid
inhalasi sangat bermanfaat untuk mengontrol asma dan mencegah serangan akut
terutama saat kehamilan. Bila terjadi serangan, harus segera ditanggulangi secara
agresif yaitu pemberian inhalasi agonis beta-2, oksigen dan kortikosteroid
sistemik.

Page 3
2.2. EPIDEMIOLOGI

Pada abad ke-21, gangguan alergi telah meningkat menjadi masalah


kesehatan masyarakat yang memiliki makna global yang mempengaruhi semua
usia dan latar belakang etnis. 'Epidemi' penyakit alergi memengaruhi masyarakat
industri dan negara berpenghasilan rendah (LMIC) di dunia secara bersamaan.
Saat ini, data yang tersedia menunjukkan sekitar 400 juta orang menderita rinitis,
sementara sekitar 300 juta menderita Asma.3 Beban Asma yang meningkat
diperkirakan akan meningkat hingga 400 juta pada tahun 2025. Prevalensi asma
dipengaruhi oleh banyak status atopi, faktor keturunan, serta faktor lingkungan.
Pada masa kanak-kanak berbanding anak perempuan 1,5:1, tetapi menjelang
dewasa perbandingan tersebut lebih kurang sama. Di Indonesia prevalensi asma
berkisar antara 5-7%. Insidensi asma dalam kehamilan adalah sekitar 0,5-1% dari
seluruh kehamilan, dimana serangan asma biasanya timbul pada usia kehamilan
24-36 minggu, dan jarang pada akhir kehamilan. Prevalensi asma dalam
kehamilan sekitar 3,7 – 4 %. Hal tersebut membuat asma menjadi salah satu
permasalahan yang biasa ditemukan dalam kehamilan.

2.3. ETIOPATOGENESIS

Pada asma terdapat penyempitan saluran pernafasan yang disebabkan oleh


spasme otot polos saluran nafas, edema mukosa dan adanya hipersekresi yang
kental. Penyempitan ini akan menyebabkan gangguan ventilasi (hipoventilasi),
distribusi ventilasi tidak merata dalam sirkulasi darah pulmonal dan gangguan
difusi gas di tingkat alveoli. Akhirnya akan berkembang menjadi hipoksemia,
hiperkapnia dan asidosis pada tingkat lanjut. Penyempitan saluran napas terjadi
tidak merata di seluruh bagian paru. Ada daerah- daerah yang kurang
mendapatkan ventilasi sehingga darah kapiler yang melewati daerah tersebut akan
mengalami hipoksemia sehingga untuk menangani kondisi ini, tubuh akan
melakukan hiperventilasi. Hiperventilasi menyebabkan keluarnya karbondioksida
secara berlebihan, sehingga tekanan karbondioksida akan menurun yang
kemudian menimbulkan alkalosis respiratorik. Pada serangan asma yang lebih
berat, banyak alveolus yang tertutup oleh mukus sehingga tidak memungkinkan
terjadinya pertukaran gas. Hal ini menyebabkan hipoksemia dan kerja otot
pernapasan bertambah berat serta terjadi peningkatan produksi karbondioksida.
Peningkatan produksi karbondioksida disertai dengan tertutupnya alveolus oleh
mukus akan menyebabkan retensi karbondioksida (hiperkapnia) yang kemudian
menyebabkan terjadinya asidosis respiratorik atau gagal napas. Dengan demikian,
penyempitan saluran napas pada asma akan menimbulkan 1) gangguan ventilasi
berupa hiperventilasi, 2) ketidakseimbangan ventilasi perfusi, dan 3) gangguan
difusi gas tingkat alveoli. Ketiga faktor tersebut akan menyebabkan hipoksemia,
hiperkapnia, dan asidosis respiratorik pada tahap lanjut. Jika obstruksi saluran
napas semakin berat dan tidak berkurang, mungkin akan berkembang cepat

Page 4
menjadi hiperkapnea dan asidosis metabolik.4 Apabila hal ini terjadi, awalnya
akan timbul kelelahan otot dan ketidakmampuan untuk mempertahankan ventilasi
alveolar secara adekuat, akhirnya akan terjadi pembentukan laktat.

Ciri patofisiologi asma adalah inflamasi kronis and hiperaktif bronkial


termasuk interaksi antara banyak sel dan mediator radang. Sel infiltrate saluran
pernapasan yang radang termasuk T sel aktif, terdiri dari yang terbesar adalah
eosinofil dan limfosit TH2. Karena alasan inilah, agen anti-inflamasi merupakan
hal pokok dalam pengawasan asma persisten. Walaupun kortikosteroid
mengurangi produksi sitokin dan chemokines pada pasien asma atau dengan
rhinitis dan alur pengobatan utama untuk banyak pasien, leukotriene
modifiers and antagonis juga bersifat anti-inflamasi. Timbulnya serangan asma
disebabkan terjadinya reaksi antigen antibodi pada permukaan sel mast paru, yang
akan diikuti dengan pelepasan berbagai mediator kimia untuk reaksi
hipersentifitas cepat. Terlepasnya mediator-mediator ini menimbulkan efek
langsung cepat pada otot polos saluran nafas dan permiabilitas kapiler bronkus.
Mediator yang dilepaskan meliputi bradikinin, leukotrien C,D,E, prostaglandin
PGG2, PGD2a, PGD2, dan tromboksan A2. Mediator-mediator ini menimbulkan
reaksi peradangan dengan bronkokonstriksi, kongesti vaskuler dan timbulnya
edema, di samping kemampuan mediator-mediator ini untuk menimbulkan
bronkokontriksi, leukotrien juga meningkatkan sekresi mukus dan menyebabkan
terganggunya mekanisme transpor mukosilia.4

Perubahan fisiologis selama kehamilan mengubah prognosis asma, Hal ini


berhubungan dengan perubahan hormonal selama kehamilan. Bronkodilatasi yang
dimediasi oleh progesteron serta peningkatan kadar kortisol serum bebas
merupakan salah satu perubahan fisiologis kehamilan yang dapat memperbaiki
gejala asma, sedangkan prostaglandin F2 dapat memperburuk gejala asma karena
efek bronkokonstriksi yang ditimbulkannya.5

Pengaruh asma pada kehamilan


Perubahan hormonal yang terjadi selama kehamilan mempengaruhi hidung , sinus
dan paru. Peningkatan hormon estrogen menyebabkan kongesti kapiler hidung,
terutama selama trimester ketiga, sedangkan peningkatan kadar hormon
progesteron menyebabkan peningkatan laju pernapasan.6

Ada hubungan antara keadaan asma sebelum hamil dan morbiditasnya pada
kehamilan. Pada asma ringan 13 % mengalami serangan pada kehamilan, pada
asma moderat 26 %, dan asma berat 50 %. Sebanyak 20 % dari ibu dengan asma
ringan dan moderat mengalami serangan intrapartum, serta peningkatan risiko
serangan 18 kali lipat setelah persalinan dengan seksio sesarea jika dibandingkan
dengan persalinan per vaginam.

Pengaruh kehamilan terhadap timbulnya serangan asma pada setiap penderita


tidaklah sama, bahkan pada seorang penderita asma serangannya tidak sama pada

Page 5
kehamilan pertama dan kehamilan berikutnya. Biasanya serangan akan timbul
mulai usai kehamilan 24 minggu sampai 36 minggu, dan akan berkurang pada
akhir kehamilan. Pengaruh asma pada ibu dan janin sangat bergantung dari
frekuensi dan beratnya serangan asma, karena ibu dan janin akan mengalami
hipoksia. Keadaan hipoksia jika tidak segera diatasi tentu akan memberikan
pengaruh buruk pada janin, berupa abortus, persalinan prematur, dan berat janin
yang tidak sesuai dengan umur kehamilan. Turner et al dalam suatu penelitian
yang melibatkan 1054 wanita hamil yang menderita asma menemukan bahwa
29% kasus membaik dengan terjadinya kehamilan, 49% kasus tetap seperti
sebelum terjadinya kehamilan, dan 22% kasus memburuk dengan bertambahnya
umur kehamilan. Sekitar 60% wanita hamil yang mendapat serangan asma dapat
menyelesaikan kehamilannya dengan baik. Sekitar 10% akan mengalami
eksaserbasi pada persalinan. Asma pada kehamilan yang tidak terkontrol dapat
mengakibatkan penurunan asupan oksigen ibu, sehingga berefek negative bagi
janin. Asma tak terkontrol pada kehamilan menyebabkan komplikasi baik bagi ibu
maupun janin. Komplikasi asma pada kehamilan bagi ibu asma tak terkontrol
dapat menyebabkan stres yang berlebihan bagi ibu.

 Sistem Pernapasan Selama Kehamilan

Perubahan fisiologis pada kehamilan Recent Advances in Chest Medicine 2018

Banyak perubahan kardiovaskular terjadi pada kehamilan untuk memenuhi


tuntutan metabolisme janin, plasenta, dan ibu, dan untuk mempersiapkan ibu
untuk melahirkan. Perubahan-perubahan ini termasuk peningkatan curah jantung,
volume stroke, dan denyut jantung. Rahim gravid menyebabkan penurunan curah
jantung yang signifikan, karena kompresi vena cava dan penurunan aliran balik
vena. Perubahan ini secara klinis penting untuk perawatan wanita hamil.
Perubahan pernafasan meliputi peningkatan ventilasi permenit yang terjadi
terutama oleh peningkatan volume tidal tetapi bukan laju pernapasan, yang

Page 6
menghasilkan alkalosis pernapasan terkompensasi. Kehamilan juga
mempengaruhi pergerakan dinding dada dengan penurunan kapasitas residual
fungsional saat kehamilan berlanjut. Peningkatan dispnea pada akhir kehamilan
dikaitkan dengan penurunan volume cadangan ekspirasi, meskipun peningkatan
kapasitas inspirasi menyebabkan total kapasitas paru-paru tetap dalam kisaran
normal. Wanita hamil yang sehat tidak menunjukkan perubahan pada FEV1 dan
peningkatan FVC yang sangat sederhana, sekitar sepersepuluh 1 L, setelah usia
kehamilan 14 hingga 16 minggu, dan tidak ada perubahan signifikan pada rasio
FEV1 / FVC selama kehamilan. Oleh karena itu, pada wanita hamil wanita
dengan asma, penurunan parameter spirometri harus diperhatikan.7
Selama kehamilan kapasitas vital pernapasan tetap sama dengan kapasitas
sebelum hamil yaitu 3200 cc, akan tetapi terjadi peningkatan volume tidal dari
450 cc menjadi 600 cc, yang menyebabkan terjadinya peningkatan ventilasi
permenit selama kehamilan antara 19-50 %. Peningkatan volume tidal ini diduga
disebabkan oleh efek progesteron terhadap resistensi saluran nafas dan dengan
meningkatkan sensitifitas pusat pernapasan terhadap karbondioksida.
Terjadinya peningkatan diafragma terutama setelah pertengahan kedua
kehamilan akibat membesarnya janin, menyebabkan turunnya kapasitas residu
fungsional, yang merupakan volume udara yang tidak digunakan dalam paru,
sebesar 20%. Selama kehamilan normal terjadi penurunan resistensi saluran napas
sebesar 50%. Perubahan-perubahan ini menyebabkan terjadinya perubahan pada
kimia dan gas darah. Karena meningkatnya ventilasi maka terjadi penurunan
pCO2 menjadi 30 mm Hg, sedangkan pO2 tetap berkisar dari 90-106 mmHg,
sebagai penurunan pCO2 akan terjadi mekanisme sekunder ginjal untuk
mengurangi plasma bikarbonat menjadi 18-22 mEq/L, sehingga pH darah tidak
mengalami perubahan. Laju basal metabolisme meningkat selama kehamilan
seperti terbukti oleh peningkatan konsumsi oksigen. Selama melahirkan,
konsumsi O2 dapat meningkat 20-25 %. Bila fungsi paru terganggu karena
penyakit paru, kemampuan untuk meningkatkan konsumsi oksigen terbatas dan
mungkin tidak cukup untuk mendukung partus normal, sebagai konsekuensi fetal
distress dapat terjadi.
Pengaruh hormonal pada kehamilan, salah satunya progesteron tampaknya
memberikan pengaruh awal dengan meningkatkan sensitifitas terhadap CO2, yang
menyebabkan terjadinya hiperventilasi ringan, yang bisa disebut sebagai dispnea
selama kehamilan. Lebih lanjut dapat dilihat adanya efek relaksasi otot polos.
Selama kehamilan kadar estrogen meningkat, dan terdapat data-data yang
menunjukkan bahwa peningkatan ini menyebabkan menurunnya kapasitas difusi
pada jalinan kapiler karena meningkatnya jumlah sekresi asam mukopolisakarida
perikapiler. Estrogen memberikan pengaruh terhadap asma selama kehamilan.
dengan menurunkan klirens metabolik glukokortikoid sehingga terjadi
peningkatan kadar kortisol. Kadar kortisol bebas plasma meningkat selama
kehamilan, hal ini seharusnya memberikan perbaikan terhadap keadaan penderita
asma, akan tetapi dalam kenyataannya tidak demikian. Tampaknya beberapa
wanita hamil refrakter terhadap kortisol meskipun terjadi peningkatan kadar
dalam serum 2-3 kali lipat. Hal ini mungkin disebabkan terjadinya kompetisi pada
reseptor glukoortikoid oleh progesteron, deoksikortikosteron dan aldosteron yang
semuanya meningkat selama kehamilan. Semua tipe prostaglandin meningkat

Page 7
dalam serum maternal selama kehamilan, terutama menjelang persalinan aterm.
Meskipun dijumpai adanya peningkatan kadar matabolit prostalandin PGF 2x
yang merupakan suatu bronkokonstriktor kuat, dalam serum sebesar 10%-30%,
hal ini tidak selalu memberikan pengaruh buruk pada penderita asma selama
persalinan.

2.4. DIAGNOSIS

Diagnosis asma dapat ditegakkan dengan identifikasi karakteristik gejala


pernapasan yang dapat ditemukan dari anamnesis dan pemeriksaan fisik yang
selanjutnya apabila mengarah ke asma maka dilakukan pemeriksaan lanjutan
.
untuk menunjang diagnosis Pada riwayat penyakit akan dijumpai keluhan batuk,
sesak, mengi, atau rasa berat di dada. Terkadang pasien mengeluh hanya batuk
saja yang dialami pada malam hari atau pada saat berolahraga. Temuan klinis
yang bisa ditemukan pada pasien dengan asma adalah (1) lebih dari satu keluhan
berupa mengi, sesak napas, batuk, dada seperti terikat, (2) gejala memburuk saat
malam atau pagi hari, (3) durasi dan intensitas gejala bervariasi, (4) gejala dipicu
oleh infeksi virus, olahraga, paparan alergen, perubahan cuaca, tertawa, dan bahan
iritan seperti asap knalpot, asap rokok, maupun bebauan kuat. Pemeriksaan fisik
pada pasien dengan asma seringkali normal. Temuan yang paling sering pada
pasien asma adalah adanya mengi (wheezing) saat auskultasi yang akan
mengkonfirmasi adanya obstruksi jalan napas. Namun pada beberapa pasien
dengan asma, wheezing bisa saja tidak ada atau hanya terdengar apabila pasien
diinstruksikan untuk melakukan ekspirasi paksa. Biasanya pada eksaserbasi asma
berat, wheezing tidak terdengar karena penurunan laju udara pada saluran napas
dan ventilasinya, namun muncul tanda eksaserbasi berat lainnya berupa sianosis,
penurunan kesadaran, kesulitan berbicara, takikardia, dada hiperinflasi, dan napas
menggunakan otot aksesoris dan resesi intercostal.

Dalam praktiknya, diagnosis asma tidak sulit ditegakkan. Namun


pemeriksaan penunjang perlu dilakukan untuk mendapatkan hasil yang objektif.
Pemeriksaan yang dilakukan merupakan pengukuran faal paru yang memiliki
kegunaan sebagai konfirmasi diagnosis, membantu menilai gradasi penyakit, dan
monitoring perjalanan penyakit. Beberapa metode dapat dilakukan untuk menilai
hambatan udara yang terjadi pada paru- paru, namun terdapat dua metode yang
secara luas dipergunakan yaitu (1) sprirometri, untuk mengukur volume ekspirasi
paksa detik pertama (VEP1) (forced expiratory flow in 1 second FEV1) dan
kapasitas vital paksa (KVP) (forced vital capacity/ FEC), dan (2) arus puncak
ekspirasi (APE) (peak expiratory flow/ PEF).

Page 8
Klasifikasi derajat asma berdasarkan gambaran klinis
secara umum pada orang dewasa

Features used in making the diagnosis of asthma

Page 9
2.5. PENATALAKSANAAN

Components of Effective
Asthma Therapy in Pregnancy

Perawatan prenatal yang baik


dengan perhatian untuk
mempertahankan kontrol asma
secara teratur adalah landasan
untuk mencapai kesehatan ibu
dan janin yang lebih baik.
Sebuah meta-analisis studi yang
dilakukan antara tahun 1975
dan 2009 menunjukkan bahwa
RR persalinan prematur dan
persalinan prematur dikurangi
dengan manajemen asma aktif
untuk menghindari eksaserbasi
asma. Murphy et al melaporkan
peningkatan signifikan dalam
semua aspek manajemen diri
asma setelah dua kunjungan
pendidik asma, dengan
pengurangan gejala nokturnal
dan penyelamatan penggunaan
obat pada wanita dengan asma

Page 10
berat. Baru-baru ini, manajemen Asma dengan Telehealth Suportif Fungsi
Pernafasan dalam Kehamilan (MASTERY) mengambil pendekatan pendidikan
modern, menunjukkan peningkatan kontrol asma dan kualitas hidup pada wanita
hamil yang menggunakan alat pernapasan

dan smartphone Android untuk melakukan kunjungan telehealth.7

1. Terapi Farmakologi

Step 1: Mild Intermittent Asthma. Short-acting bronchodilators, particularly


short-acting inhaled beta2- agonists, are recommended as quick- relief
medication for treating symptoms as needed in patients with intermittent
asthma. Albuterol is the preferred short-acting inhaled beta 2-agonist
because it has an excellent safety profile and the greatest amount of data
related to safety during pregnancy of any cur- rently available inhaled
beta2-agonist. Women’s experience with these drugs is extensive, and no
evidence has been found either of fetal injury from the use of short-acting
inhaled beta2-agonists or of contraindication during lactation.

Step 2: Mild Persistent Asthma.


The preferred treatment for long- term-control medication in Step 2 is daily
low-dose inhaled cortico- steroid. This preference is based on the strong
effectiveness data in nonpregnant women6, 7 as well as effectiveness and
safety data in preg- nant women that show no increased risk of adverse
perinatal outcomes. Budesonide is the preferred inhaled corticosteroid
because more data are available on using budesonide in pregnant women
than are available on other inhaled corticosteroids, and the data are
reassuring. It is important to note that there are no data indicating that the
other inhaled corticosteroid preparations are unsafe during preg- nancy.
Therefore, inhaled cortico- steroids other than budesonide may be
continued in patients who were well controlled by these agents prior to
pregnancy, especially if it is thought that changing formulations may
jeopardize asthma control. Cromolyn, leukotriene receptor antagonists,
and theophylline are listed as alternative but not preferred therapies.
Cromolyn has an excellent safety profile, but it has limited effectiveness
compared with inhaled corticosteroids. Leukotriene receptor antagonists
have been demonstrated to provide statistically significant but modest
improve- ments in children and nonpregnant adults with asthma, although
in stud- ies comparing overall efficacy of the two drugs, most outcomes
clearly favor inhaled corticosteroids. Published data are minimal on using
leukotriene receptor antagonists during pregnancy; however, animal
safety data submitted to the FDA are reas- suring. Thus, leukotriene
receptor antagonists are an alternative bu not preferred treatment for
pregnant women whose asthma was successfully controlled with this
medication prior to their pregnancy. Theophylline has demonstrated
clinical effectiveness in some studies and has been used for years in
pregnant women with asthma. It also, however, has the potential for
serious toxicity resulting from exces- sive dosing and/or select drug-drug
interactions (e.g., with erythromycin). Using theophylline during pregnancy
requires careful titration of the dose and regular monitoring to maintain

Page 11
the recommended serum theophylline concentration range of 5–12
mcg/mL.8

Step 3: Moderate Persistent Asthma. Two preferred treatment options are


noted: either a combination of low- dose inhaled corticosteroid and a long-
acting inhaled beta2-agonist, or increasing the dose of inhaled cortico-
steroid to the medium dose range. No data from studies during pregnancy
clearly delineate that one option is recommended over the other.

Step 4: Severe Persistent Asthma.


If additional medication is required after carefully assessing patient tech-
nique and adherence with using Step 3 medication, then the inhaled
cortico- steroid dose should be increased within the high-dose range, and
the use of budesonide is preferred. If this is insuf- ficient to manage
asthma symptoms, then the addition of systemic corticos- teroid is
warranted; although the data are uncertain about some risks of oral
corticosteroids during pregnancy, severe uncontrolled asthma poses a
definite risk to the mother and fetus.

Management of acute exacerbations.

Asthma exacerbations have the potential to lead to severe problems for


the fetus. Therefore, asthma exacerbations during pregnancy should be
managed aggres- sively. Refer to figure 4 for home treat- ment of asthma
exacerbation, figure 5 for emergency department and hospital
management, and figure 6 for medica- tions and dosages.

Page 12
Page 13
Page 14
Page 15
Page 16
.6 Kesimpulan

Selama kehamilan terjadi perubahan fisiologi sistem pernafasan yang


disebabkan oleh perubahan hormonal. Perubahan-perubahan ini diperlukan untuk
mencukupi peningkatan kebutuhan metabolik dan sirkulasi untuk pertumbuhan
janin, plasenta dan uterus. Keadaan hormonal selama kehamilan sangat berbeda
dengan keadaan tidak hamil dan mengalami perubahan selama perjalanan
kehamilan. Perubahan- perubahan ini akan memberikan pengaruh terhadap fungsi
paru. Progesteron tampaknya memberikan pengaruh awal dengan meningkatkan
sensitifitas terhadap CO2, yang menyebabkan terjadinya hiperventilasi ringan,
yang bisa disebut sebagai dispnea selama kehamilan.

Asma pada kehamilan merupakan suatu hal yang selayaknya mendapatkan


perhatian dikarenakan banyak ibu hamil yang khawatir bahwa penyakit yang
dideritanya dapat memberi pengaruh bagi janin, sehingga dibutuhkan terapi yang
komprehensif dimulai dari edukasi hingga terapi farmakologis. Petugas kesehatan
diharapkan untuk lebih memperhatikan mengenai penanggulangan dan
pencegahan terhadap penyakit saluran pernapasan pada kehamilan.

Page 17
DAFTAR PUSTAKA

1. Vanessa, E. Managing asthma in pregnancy. National Center for


Biotechnology Information, U.S. National Library of Medicine. 2015 Dec;
11(4): 258–267.
2. Suyono, S.,Waspadji, S., Lesmana, L., dkk. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam :
Alergi – Immunologi ; Asma Bronkhial. Jilid 2. Edisi 3. Balai Penerbit
Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. Jakarta. P.21.
3. Adewale, S., Adeolu O., Philip, B., dkk. ournal of Clinical and Diagnostic
Research. 2015 Sep; 9(9): OC01–OC07.
4. Price, Sylvia Anderson et al. Patofisiologi Konsep Klinik Proses-Proses
Penyakit. Jilid 2. Edisi 4
5. Piercy, Catherine. Obstetric Medicine. 5th Edition. CRC Press, Seattle: 2005
6. From Conference American College of Allergy, Asthma, and Immunology
2005, available at: www.acaai.org. Accesed on 5th March 2016
7. Catherine, A., Karen, C., Mary, E. American College of Chest Physicians.
Asthma Outcomes and Management During Pregnancy. Feb; 153(2): 515–527.

8. From NAEPP Working Group Report on Managing Asthma During Pregnancy. Managing Asthma
During Pregnancy: Recommendations for Pharmacologic Treatment Update
2004, available at: http://www.nhlbi.nih.gov/health/prof/lung/asthma/astpreg.htm.

Page 18

Anda mungkin juga menyukai