GEOGRAFI SOSIAL
“ PENGGUNAAN LAHAN ”
OLEH:
(19045008)
JURUSAN GEOGRAFI
FAKULTAS ILMU SOSIAL
UNIVERSITAS NEGERI PADANG
2020
Nama : Dewi Shinta Pangaribuan
Nim : 19045008
Jurusan : Geografi
5. Tugas:
Barat dengan Ahli waris Emot. Karena keterangan ahli waris, tanah
tersebut telah dihibahkan kepada Emot. Sedangkan
menurut keterangan desa, tanah tersebut merupakan
tanah desa karena desa memberikan pinjaman kepada
Abdul untuk melunasi utangnya dengan jaminan tanah
sengketa tersebut.
Contoh konflik diatas merupakan salah satu bentuk
kurang diterapakannya regulasi atau aturan tentang
penggunaan lahan di Indonesia. Konflik ini juga menjadi
sebagian kecil akibat dari tidak tertibnya adminitrasi
pertanahan. Dari konflik senfketa lahan diantara
masyarakat sebaiknya dilakukan wawancara dengan
para pihak, mengumpulkan bukti bukti berupa dokumen
dokumen yang berkaitan agar masalah yang sebenarnay
sudah sangat larut ini segera menemukan solusi terbaik,
dan dari konflik sengketa tanah pak Abdul ini dapat di
simpulakan begitu pentingnya sertifikat tanah dan
begitu kurangnya pengetahuan masyarakat akan
pentingnya hal tersebeut.
b) Masyarakat dengan PT/Lembaga (Konflik Lahan Suku Anak Dalam dan
Perusahaan Sawit Bernama PT Berkat Sawit Utama (PT BSU) pada 2016)
Konflik ini menjadi sorotan kembali setelah Sejumlah masyarakat Suku
Anak Dalam (SAD) dan petani di Batanghari dan Muaro Jambi, Provinsi Jambi
hari ini akan memulai aksi jalan kaki ke Jakarta. Bertujuan untuk meminta
penyelesaian kepada Presiden Joko Widodo terkait konflik lahan dengan
perusahaan kelapa sawit di Jambi.
Konflik ini dimulai pada tahun 1986, Kementerian Dalam Negeri
melakukan pelepasan lahan dengan memberikan surat keputusan
menindaklanjuti SK Gubernur Jambi. Surat tersebut terkait pelepasan lahan
seluas 20 ribu hektare untuk diberikan hak guna usaha (HGU) kepada PT
Bangun Desa Utama (PT BDU)
Perusahaan itu kemudian berganti nama menjadi PT Asiatic Persada
pada 1992, lalu berganti nama lagi menjadi PT Berkat Sawit Utama (PT BSU)
pada 2016.Setelah ada pelepasan lahan di 1986 itu, pada tahun yang sama terjadi
penggusuran lahan secara besar-besaran di tanah masyarakat Suku Anak Dalam
yang tergabung dalam luasan HGU tersebut. Pada 1987, Kementerian
Kehutanan melakukan pengecekan dan survei di lahan yang akan diberikan
HGU itu. Menurutnya, Kementerian Kehutanan juga menyatakan ada tanah
masyarakat yang harus dikembalikan. Namun setelah itu, Kementerian
Kehutanan malah menyetujui pelepasan kawasan hutan seluas 27.150 hektare
untuk diberikan HGU tersebut.
Masyarakat berpegang pada mengatakan berdasarkan surat-surat milik
masyarakat asli pada periode kolonial Belanda tahun 1927, 1930 dan 1940 ada
pengakuan tanah milik masyarakat oleh Belanda. Masyarakat SAD dan petani
Jambi mengajukan sejumlah tuntutan kepada beberapa pihak. Pertama, mereka
meminta Presiden Jokowi dan Kementerian ATR untuk tidak melakukan
perpanjangan HGU milik PT BSU sebelum lahan 3.550 hektar milik masyarakat
dikembalikan, masyarakat juga mengusulkan kepada Bapak Presiden Republik
Indonesia untuk membentuk Badan Nasional Pemberdayaan Komunitas Adat
Terpencil (BNPKAT) yang berpedoman pada lonstitusi Pasal 33 UUD 1945 dan
UUPA Nomor 5 Tahun 1960.
Menuru saya masalah ini merupakan masalah yang sudah sangat dalam
dan meugikan banyak pihak baik itu pemerintah, pihak perusahaan termasuk
juga masyarakat yang terlibat dan merasakan imbas dari konflik ini. Pihak
perusahaan harus lah melihat kembali mungkin terjadi kesalahan dalam
pemberian batas batas hak guna usaha (HGU) sehingga terjadi kesalahan yang
merugikan banyak orang. Seperti yang menjadi pegangan masyarakat bahwa
mereka memilihi surat kepemilikan lahan tersebut, kebenarat itu pun harus di
selidiki agar memberikan jalan keluar untuk konflik yang sudah berlarut larut
ini.
c) Masyarakat dengan Negara (Konflik antara Masyarakat Adat Pubabu dan
Pemerintah NTT)
Masyarakat adat Pubabu, Desa Linamnutu, Kecamatan Amanuban
Selatan, Kabupaten Timor Tengah Selatan, Nusa Tenggara Timur (NTT)
terlobat konflik dengan Pemprov NTT mengenai permasalahn penggunaan
lahan hutan.
Konflik ini kembali mencuat dimulai etika rombongan Gubernur NTT
Viktor Bungtilu Laiskodat tiba-tiba mendatangi wilayah tersebut. Dalam dialog
dengan warga, Gubernur meminta masyarakat mengosongkan lahan
pemukimannya yang merupakan lokasi sengketa karena pemerintah akan
menggunakan lahan yang dikatakan milik Pemprov NTT. Gubernur mengatakan
itu tanpa menawarkan solusi permasalahan yang selama ini terjadi di hutan adat
Pubabu. Tentu saja reaksi masyarakat sudah sangat mudah diketahu, masyarakat
marah dan melakukan aksi pemblokiran jalan serta menahan dua kendaraan
dinas Balai Besar Pelatihan Peternakan Kupang Pemprov NTT sebagai bentuk
protes lantaran merasa hak atas tanah adat milik mereka tidak diakuipada
minggu 9 Febuari 2020.
Dalam aksi protes tersebut masyarakat adat Pubabu menuntut Pemprov
NTT mengembalikan tanah milik mereka yang sebelumnya dikontrak dengan
status hak pakai oleh perusahaan peternakan sapi asal Australia. Berdasarkan
surat kontrak lahan atau pinjam pakai oleh perusahaan peternakan asal Australia
selama 25 tahun sejak 1987 yang telah berakhir pada 2012 dan masyarakat tidak
memperpanjang kontraknya.
Lahan yang menjadi sumber konflik itu merupakan perumahan warga
dan tanah garapannya, sementara hutan untuk pengembangannya seluas 6 ribu
hektare. Dan ada sebanyak 47 Kepala Keluarga (KK) yang tinggal di dalam
hutan. Masyarakat mempunyai dokumen hak atas hutan Pubabu, dan adanya
bukti-bukti adat atau batas adat sehingga Pemerintah tidak bisa secara semena-
mena memaksa masyarakat meninggalkan hutan adatnya.
Masyarakat adat Pubabu berpegang dan Merujuk pada Peraturan
Pemerintah (PP) No.40/1996 tentang Hak Guna Usaha, Hak Guna Bangunan
Dan Hak Pakai Atas Tanah, dalam pasal 41 dijelaskan bahwa tanah yang dapat
diberikan dengan hak pakai adalah tanah Negara; tanah hak pengelolaan; tanah
hak milik. Bila berpegang dengan peraturan pemerintah diatas maka dalam
konteks masalah di hutan Pubabu, tanah tersebut adalah tanah masyarakat
Pubabu karena awal pemberian sertifikat hak pakai didasari pada kesepakatan
dengan masyarakat sebagai pemegang hak milik.
Pada pasal 49 ayat (1) menegaskan hak pakai atas tanah hak milik diberikan
untuk jangka waktu paling lama dua puluh lima tahun dan tidak dapat
diperpanjang.
Sementara pasal 2 menyebutkan atas kesepakatan antar pemegang hak
pakai dengan pemegang hak milik, hak pakai atas tanah hak milik dapat
diperbaharui dengan pemberian hak pakai baru dengan akta yang dibuat oleh
Pejabat Pembuat Akta Tanah dan hak tersebut wajib didaftarkan. Dari
penjelasan pasal diatas bisa diartikan bahwa perlu ada kesepakatan dengan
masyarakat sebagai pemegang hak milik apabila sertifikat hak pakai akan
diperpanjang lagi.
Menurut saya Konflik ini menjadi menjadi lebih rumit karena sudah
lama terjadi namun hanya di gantung begitu saja tanpa ada penyelesaian,
sebaiknya kedua belah pihak menyelesaikan konflik ini sesegera mungkin
menjelaskan dari kedua pihak. Tokoh adat yaitu salah satu perwakilan dari
masayarakat adat Pubabu harus menjelaskan kepemilikan lahannya. Pemerintah
juga dimintanya agar harus melihat kembali lagi perjanjian tanah tersebut.
6. Studi kasus:
Kedua data diatas menampilakan perubahan lahan yang ada di kelurahan Becag
Lesung, dapat kita lihat perubahan yang memiliki angka yang paling besar yaitu 2,63 %
digunakan untuk pertambahan lahan pembangunan perkantoran. Sebagaimana saya
jelaskan diawal bahwa Kecamatan Tenayan Raya, termasuk didalamnya kelurahan
Becah Lesung masuk dalam wilayah pembangunan IV dimana kawasan ini
dicanangkan sebagai pusat pemeritahan. Namun, dapat kita lihat pula data untuk
perkembangn pemukiman tidak terlalu besar dengan angka 0,23 %. Dapat disimpulakan
bahwa penggunaan lahan di kelurahan Becah Lesung lebih mengarah ke perkembangan
menjadi sebuah pusat pemerintahan.
2. Baca dan ringkas minimal 2 artikel tentang permasalahan atau konflik penggunaan
lahan di Indonesia dengan pola 5W + 1 H + Analisis anda.
(1) Judul : Konflik Penggunaan Lahan di Taman Nasional Gunung Halimun Salak
Kabupaten Lebak
Penulis : Nurman Hakim1, Kukuh Murtilaksono , dan Omo Rusdiana
Latar Belakang
Kawasan hutan Taman Nasional gunung Halimun Salak (TNGHS)
terletak di Kabupaten Lebak Provinsi Banten, Kabupaten Bogor dan Sukabumi
Provinsi Jawa Barat. Pada tahun 2003 Kementerian Kehutanan mengeluarkan
kebijakan memperluas TNGHS dari 40.000 Ha menjadi 113.357 Ha dengan
mengubah fungsi Hutan Produksi dan Hutan Lindung menjadi bagian TNGHS.
24 hari kemudian terbit keputusan Menteri Kehutanan yang menyatakan luas
TNGHS adalah 40.000 Ha. Inkonsistensi kebijakan ini menyebabkan luas
TNGHS memiliki 2 versi yakni 113.357 Ha dan 40.000 Ha. Balai TNGHS
berpedoman kepada luas 113.357 Ha sementara Pemerintah Kabupaten
(Pemkab) Lebak berpegangan kepada luas 40.000 Ha. Persoalan ini berlangsung
lebih dari 10 tahun sampai kemudian pada 2013 Balai TNGHS menyusun tata
ruang zonasi dan Pemkab Lebak menyusun Rencana Tata Ruang Wilayah
(RTRW). Fakta ini memperlihatkan adanya konflik penggunaan lahan dan
penataan ruang di tingkat kebijakan dan di tingkat pengelolaan.’
Penggunaan Lahan
Penggunaan lahan berhubungan dengan pengaturan, kegiatan dan
masukan yang dilakukan manusia pada suatu lahan untuk menghasilkan sesuatu,
mengubah atau mempertahankannya (Di Gregorio 2005). Penggunaan lahan
dapat difahami melalui pendekatan fungsi dan pendekatan aktifitas. Pendekatan
fungsi menjelaskan tujuan penggunaan dalam konteks ekonomi. Pendekatan
aktifitas menjelaskan apa yang secara aktual dilakukan dan produk apa yang
dihasilkan dari sejumlah aktifitas yang menempati suatu lahan (Jansen & Di
Gregorio 2002).
Klasifikasi penggunaan lahan untuk neraca sumberdaya lahan spasial di
Indonesia menggunakan SNI 19-6728.3-2002 yang terdiri dari 3 komponen
yakni (1) berdasarkan penggunaan lahan (2) Status penguasaan lahan, dan (3)
Kawasan Lindung dan Kawasan Budidaya. Odum (1969) menyatakan
berdasarkan pembangunan ekosistem dan siklus sumberdaya, ruang yang
diperlukan untuk kebutuhan dasar manusia terdiri dari zona protection,
production, urban industrial dan compromise. Carr & Zwick (2007)
Kesimpulan
Sebagai kawasan yang difungsikan untuk konservasi, area TNGHS
mengandung preferensi penggunaan lahan untuk tujuan non konservasi baik
untuk pertanian, permukiman atau pertambangan. Tipologi A (Tutupan bukan
hutan, preferensi non konservasi dominan) dan tipologi B (Tutupan bukan hutan,
preferensi konservasi dominan) memberikan gambaran aktual konflik
penggunaan lahan. Tipologi A dan B mengindikasikan kemampuan masyarakat
mengakses manfaat hutan dengan berbagai cara dan prosesnya, sedemikian rupa
mampu merubah tutupan hutan menjadi bukan hutan. Tipologi C (Tutupan hutan
preferensi non konservasi dominan) dan tipologi D (Tutupan hutan preferensi
konservasi dominan) memberikan gambaran lokasi potensial konflik karena
kandungan manfaatnya untuk penggunaan non konservasi.