Anda di halaman 1dari 21

TUGAS

GEOGRAFI SOSIAL

“ PENGGUNAAN LAHAN ”

DOSEN PENGAMPU: Dr. NOFRION, M.Pd

OLEH:

DEWI SHINTA PANGARIBUAN

(19045008)

JURUSAN GEOGRAFI
FAKULTAS ILMU SOSIAL
UNIVERSITAS NEGERI PADANG
2020
Nama : Dewi Shinta Pangaribuan

Nim : 19045008

Jurusan : Geografi

Mata Kuliah : Geografi Sosial

5. Tugas:

1 Cari data tentang perkembangan penggunaan lahan di berbagai negara di dunia


dan dampaknya.

Perubahan penggunaan lahan diperkirakan telah berkontribusi sekitar


25% ke rumah kaca yang ditingkatkan efek dihitung berdasarkan emisi rumah
kaca yang disebabkan manusia gas (Houghton 1990). Kebanyakan kontribusi ini
telah di bentuk karbon dioksida yang dilepaskan ke atmosfer sebagai akibat dari
deforestasi, tetapi perubahan penggunaan lahan juga melepaskan jumlah yang
signifikan gas lain (metana, karbon monoksida, dan dinitrogen oksida) dan
partikel yang mempengaruhi bahan kimia dan sifat radiasi atmosfer.
Berdasarkan data dan asumsi historis, sekitar 28% dari kawasan hutan di
Amerika Latin hilang antara tahun 1850 dan 1985 (Houghton et al. 1991;
Gambar 3). Daerah di lahan pertanian, padang rumput, dan bera telah tumbuh
dari 357x 106 ha menjadi 918 x 106 ha selama periode 135 tahun. SEBUAH
studi serupa di Asia Selatan dan Tenggara menunjukkan penurunan 34-38% luas
hutan selama 140 tahun terakhir tahun (Houghton dan Hackler 1994, Richards
dan Flint 1994). Tanah diubah untuk penggunaan manusia di daerah itu
diperluas sekitar 176 x 106 ha. Hilangnya hutan dan ekspansi area pertanian
terjadi dalam pola yang sama di Afrika tropis selama abad terakhir.

Fraksi penggundulan hutan digunakan untuk memperluas area di bidang


pertanian, untuk menggantikan tanah yang sudah aus,bervariasi di antara daerah
tropis (Gambar 6). Di Afrika, perluasan lahan pertanian hanya menyumbang
sekitar 12% dari luas bersihgundul. Delapan puluh delapan persen penurunan
luas hutan adalah cocok dengan ekspansi "lainnya tanah. "Di Asia tropis, hanya
40% dari pengurangan bersih di hutan muncul sebagai perluasan lahan
pertanian. Di Amerika Latin, kira-kira dua pertiga dari pengurangan hutan dapat
dipertanggungjawabkan oleh perluasan lahan pertanian dan padang rumput.Jika
pertanian dapat dibuat berkelanjutan di seluruh daerah tropis, total area pertanian
dapat berlanjut tumbuh pada tingkat saat ini sementara, pada saat yang sama,
laju deforestasidapat dikurangi sekitar 50%.
Sumber : American Institute of Biological Sciences is collaborating with JSTOR
to digitize, preserve and extend access

Model ini didasarkan mengungkapkan perubahan yang luar biasa antara


periode 1960–1975 dan 1975–1990 (Tabel 7). Untuk yang pertama, sementara
populasi perkotaan tumbuh 136%, pertumbuhan di daerah perkotaan adalah
71%; untuk 1975-1990, populasi tumbuh 180% tetapi pertumbuhannya area
adalah 293%. Jadi, sejak 1975 dan seterusnya, Morelia menunjukkan penurunan
kepadatan populasi yang mungkin bertahan atau bahkan menjadi lebih dramatis
di masa depan. Dua alasan utama dapat menjelaskan fakta ini. Pertama, rata-rata
pertumbuhan pembangunan perumahan perkotaan saat ini di Meksiko jauh lebih
unggul daripada yang sesuai peningkatan populasi
2 Cari data poin 1 di negara Indonesia atau beberapa kota yang mengalami
permasalahan lahan akibat konflik kepentingan.
Konflik Agraria Tersebar di Seluruh Provinsi Sepanjang tahun 2017, konflik
meletus secara menyeluruh di semua wilayah dan provinsi di Indonesia. Konflik agraria
membentang dari bumi Aceh hingga tanah Papua di ujung timur . Di Pulau Sumatra,
sedikitnya terjadi 266 konflik yang meletus di seluruh Provinsi. Begitupun Jawa, Konflik
merentang dari Banten hingga Jawa Timur dengan 198 letusan konflik. Bali dan Nusa
Tenggara tercatat sebanyak 43 konflik. Kalimantan, konflik tersebar di seluruh provinsi
dengan 142 konflik agraria. Di Sulawesi, konflik agraria terjadi dari ujung utara hingga
selatan pulau ini dengan 57 kejadian konflik agraria. Terakhir, dari Kepulauan Maluku
hingga Papua telah terjadi sebanyak 30 konflik agraria sepanjang tahun ini.
Jawa Timur, Sumatera Utara, Jawa Barat, Riau dan Lampung adalah lima
provinsi utama tempat konflik agraria paling banyak sepanjang 2017. Kelima provinsi
ini nampaknya harus mendapatkan perhatian serius mengingat 38,85% dari 659
kejadian konflik berada di provinsi ini. Ironisnya, dalam 5 tahun terakhir, jumlah konflik
agraria yang terjadi di wilayah ini sangat tinggi dibandingkan dengan wilayah lain.
Secara berurutan, lima besar provinsi dimana kejadian konflik agraria adalah:
Jawa Timur dengan 60 (9,10%). Kemudian, Sumatera Utara dengan 59 konflik agraria
(8,95 %), Jawa Barat dengan 55 konflik agraria (8,34 %), Riau dengan 47 konflik agraria
(7,13 %), dan terakhir Lampung dengan 35 konflik agraria (5,3 %). Secara khusus,
Provinsi Jawa Timur, Jawa Barat, dan Sumatera Utara konflik agraria di wilayah ini
banyak disumbang oleh Perkebunan Negara (PTPN) dan Perhutani. Kejadian konflik
agraria yang berulang di wilayah ini sepanjang tahun menandakan butuh upaya khusus
dan sistematis untuk menyelesaikan konflik agraria dengan BUMN dengan pendekatan
keadilan dan akses masyarakat kepada sumber-sumber agraria.
Di Sumatra Utara, konflik agraria terbanyak antara masyarakat lokal dengan
perkebunan baik di PTPN maupun korporasi swasta. Terbaru di Bulan Desember,
konflik kembali meletus di sektor perkebunan di 22 titik dalam waktu bersamaan di
Kabupaten Deli Serdang antara masyarakat dengan PTPN II. Jika pada PTPN konflik
agraria disebabkan oleh Hak Guna Usaha (HGU) yang diberikan kepada perusahaan. Di
sektor kehutanan, terjadi begitu banyak sengketa tata batas wilayah hutan yang
banyak diklaim di atas lahan garapan, pemukiman, kampung maupun desa. Sengketa
ini akhirnya melahirkan konflik yang tajam antara masyarakat lokal dengan Perhutani
yang merupakan BUMN penguasa hutan di pulau Jawa.
Selain konflik dengan perkebunan, di Jawa Timur konflik masyarakat dengan
pertambangan di Tumpang Pitu Banyuwangi hingga pertambangan pasir illegal di
sepanjang pantai Lumajang masih menjadi konflik laten yang setiap saat dapat
meletup. Kami mengkhawatirkan kejadian tewasnya Salim Kancil akan berulang jika
tidak ada upaya serius menangani konflik ini. Selain itu, proyek infrastruktur juga
menjadi penyebab dengan maraknya pembangunan infrastrukur yang berlangsung di
provinisi ini. Rencana ini ditambah dengan pengadaan tanah untuk rencana
pembangunan yang tidak partisipatif sehingga kerap melahirkan konflik dengan
masyarakat.
Di Jawa Barat dengan 55 konflik agraria lebih banyak diawarnai dengan konflik
antara masyarakat lokal dengan Perhutani ditambah masifnya pembangunan
infrastruktur. Konflik dengan Perhutani tersebut merupakan dampak dari
ketidakjelasan tata batas antara hutan.
Di Lampung, 35 konflik yang terjadi di tahun 2017 tersebut didominasi oleh
konflik di wilayah perkebunan dan kehutanan, ditambah beberapa konflik di sektor
infrastruktur. Konflik dengan perkebunan negara, swasta belum banyak terurai dan
setiap saat dapat meletup di wilayah ini. Selain itu, persoalan tata batas kehutanan
antara masyarakat local dengan hutan register. Seperti yang dialami 16 desa di
Lampung selatan, desa tersebut saat ini mengalami konflik karena diklaim secara
sepihak masuk ke dalam register 22 Way Pisang. Ada lagi konflik akibat klaim sepihak
register 22 Way Waya di Kabupaten Pringsewu dan Lampung Selatan yang masih
berlangsung hingga saat ini. Konflik pembangunan jalan tol Lampung – Palembang
menambah daftar konflik sektor infrastruktur di Lampung.
Selanjutnya konflik agraria di Riau masih kelanjutan cerita lama yakni ekspansi
perkebunan sawit dan hutan tanam industri (HTI). Sengketa ini akibat putusan keliru
pejabat publik yang dengan mudah memberikan izin-izin konsesi besar kepada
pengusaha namun tumpang tindih dengan klaim masyarakat lokal. Sayangnya, ralat
atas putusanputusan ini belum juga diberikan sehingga konflik masih terus terjadi.

Sumber : Catatan Akhir 2017 Konsorsium Pembaruan Agraria


3 Cari regulasi atau aturan tentang penggunaan lahan di Indonesia.
(1) Peraturan Pemerintah No 26 tahun 2008 tentang Rencana Tata Ruang
Wilayah Nasional
Sesuai dengan amanat Pasal 20 Undang-Undang Nomor 26
Tahun 2007 tentang Penataan Ruang, Rencana Tata Ruang Wilayah
Nasional (RTRWN) merupakan pedoman untuk penyusunan rencana
pembangunan jangka panjang nasional, penyusunan rencana
pembangunan jangka menengah nasional, pemanfaatan ruang dan
pengendalian pemanfaatan ruang di wilayah nasional. Hal ini untuk
mewujudkan keterpaduan, keterkaitan, dan keseimbangan perkembangan
antarwilayah provinsi, serta keserasian antarsektor, penetapan lokasi dan
fungsi ruang untuk investasi, penataan ruang kawasan strategis nasional,
dan penataan ruang wilayah provinsi dan kabupaten/ kota.
(2) Peraturan Presiden nomor 65 tahun 2006 peraturan tentang Pengadaan
Tanah

Bagi Pelaksanaan Pembangunan untuk Kepentingan Umum


Pengadaan tanah adalah setiap kegiatan untuk mendapatkan tanah
dengan cara memberikan ganti rugi kepada yang melepaskan atau
menyerahkan tanah, bangunan, tanaman, dan benda-benda yang
berkaitan dengan tanah. Pengadaan tanah selain bagi pelaksanaan
pembangunan untuk kepentingan umum oleh Pemerintah atau
Pemerintah Daerah dilakukan dengan cara jual beli, tukar menukar, atau
cara lain yang disepakati secara sukarela oleh pihak-pihak yang
bersangkutan.

(3) UU No. 41 Tahun 2009 Tentang Perlindungan Lahan Pertanian Pangan


Berkelanjutan
Salah satu bentuk perlindungan tersebut adalah terjaminnya hak
atas pangan bagi segenap rakyat yang merupakan hak asasi manusia yang
sangat fundamental sehingga menjadi tanggung jawab negara untuk
memenuhinya. Untuk mewujudkan kesejahteraan rakyat adalah hal yang
sangat penting untuk direalisasikan. Dalam rangka mewujudkan
ketahanan dan kedaulatan pangan diselenggarakan pembangunan
pertanian berkelanjutan dengan peraturan ini.
(4) Undang-Undang nomor 38 tahun 2004 tentang Jalan.
Jalan didefinisikan sebagai prasarana transportasi darat yang
meliputi segala bagian jalan, termasuk bangunan pelengkap dan
perlengkapannya yang diperun-tukkan bagi lalu lintas, yang berada pada
permukaan tanah, di atas permukaan tanah, di bawah permukaan tanah
dan/atau air, serta di atas permukaan air, kecuali jalan kereta api, jalan
lori, dan jalan kabel.
4 Cari contoh konflik lahan yang pernah terjadi di Indonesia yang melibatkan;
a) Masyarakat dengan Masyarakat (Sengketa Kepemilikan lahan anatara Abdul
Dan Masyarakat Desa Cisomang Barat, Kecamatan Cikalong Wetan,
Kabupaten Bandung Barat, Jawa Barat.)
Pembahasan sengketa dimulai pada tahun 1941, dimana seorang warga
bernama Abdul memiliki tanah seluas 15 hektare di Desa Cisomang Barat tetapi
tidak ada bukti kepemilikan yang sah. Warga tersebut diketahui telah menikah dua
kali. Dari pernikahan pertamanya memiliki satu orang anak dan empat orang cucu,
sedangkan dari perkawinan keduanya yaitu dengan Emot tidak memiliki anak.
Tetapi pada saat menikah dengan Abdul, Emot membawa dua orang anak dari
perkawinan sebelumnya.
Hingga kini tanah tersebut menjadi sengketa antar warga Desa Cisomang

Barat dengan Ahli waris Emot. Karena keterangan ahli waris, tanah
tersebut telah dihibahkan kepada Emot. Sedangkan
menurut keterangan desa, tanah tersebut merupakan
tanah desa karena desa memberikan pinjaman kepada
Abdul untuk melunasi utangnya dengan jaminan tanah
sengketa tersebut.
Contoh konflik diatas merupakan salah satu bentuk
kurang diterapakannya regulasi atau aturan tentang
penggunaan lahan di Indonesia. Konflik ini juga menjadi
sebagian kecil akibat dari tidak tertibnya adminitrasi
pertanahan. Dari konflik senfketa lahan diantara
masyarakat sebaiknya dilakukan  wawancara dengan
para pihak, mengumpulkan bukti bukti berupa dokumen
dokumen yang berkaitan agar masalah yang sebenarnay
sudah sangat larut ini segera menemukan solusi terbaik,
dan dari konflik sengketa tanah pak Abdul ini dapat di
simpulakan begitu pentingnya sertifikat tanah dan
begitu kurangnya pengetahuan masyarakat akan
pentingnya hal tersebeut.
b) Masyarakat dengan PT/Lembaga (Konflik Lahan Suku Anak Dalam dan
Perusahaan Sawit Bernama PT Berkat Sawit Utama (PT BSU) pada 2016)
Konflik ini menjadi sorotan kembali setelah Sejumlah masyarakat Suku
Anak Dalam (SAD) dan petani di Batanghari dan Muaro Jambi, Provinsi Jambi
hari ini akan memulai aksi jalan kaki ke Jakarta. Bertujuan untuk meminta
penyelesaian kepada Presiden Joko Widodo terkait konflik lahan dengan
perusahaan kelapa sawit di Jambi.
Konflik ini dimulai pada tahun 1986, Kementerian Dalam Negeri
melakukan pelepasan lahan dengan memberikan surat keputusan
menindaklanjuti SK Gubernur Jambi. Surat tersebut terkait pelepasan lahan
seluas 20 ribu hektare untuk diberikan hak guna usaha (HGU) kepada PT
Bangun Desa Utama (PT BDU)
Perusahaan itu kemudian berganti nama menjadi PT Asiatic Persada
pada 1992, lalu berganti nama lagi menjadi PT Berkat Sawit Utama (PT BSU)
pada 2016.Setelah ada pelepasan lahan di 1986 itu, pada tahun yang sama terjadi
penggusuran lahan secara besar-besaran di tanah masyarakat Suku Anak Dalam
yang tergabung dalam luasan HGU tersebut. Pada 1987, Kementerian
Kehutanan melakukan pengecekan dan survei di lahan yang akan diberikan
HGU itu. Menurutnya, Kementerian Kehutanan juga menyatakan ada tanah
masyarakat yang harus dikembalikan. Namun setelah itu, Kementerian
Kehutanan malah menyetujui pelepasan kawasan hutan seluas 27.150 hektare
untuk diberikan HGU tersebut.
Masyarakat berpegang pada mengatakan berdasarkan surat-surat milik
masyarakat asli pada periode kolonial Belanda tahun 1927, 1930 dan 1940 ada
pengakuan tanah milik masyarakat oleh Belanda. Masyarakat SAD dan petani
Jambi mengajukan sejumlah tuntutan kepada beberapa pihak. Pertama, mereka
meminta Presiden Jokowi dan Kementerian ATR untuk tidak melakukan
perpanjangan HGU milik PT BSU sebelum lahan 3.550 hektar milik masyarakat
dikembalikan, masyarakat juga mengusulkan kepada Bapak Presiden Republik
Indonesia untuk membentuk Badan Nasional Pemberdayaan Komunitas Adat
Terpencil (BNPKAT) yang berpedoman pada lonstitusi Pasal 33 UUD 1945 dan
UUPA Nomor 5 Tahun 1960.
Menuru saya masalah ini merupakan masalah yang sudah sangat dalam
dan meugikan banyak pihak baik itu pemerintah, pihak perusahaan termasuk
juga masyarakat yang terlibat dan merasakan imbas dari konflik ini. Pihak
perusahaan harus lah melihat kembali mungkin terjadi kesalahan dalam
pemberian batas batas hak guna usaha (HGU) sehingga terjadi kesalahan yang
merugikan banyak orang. Seperti yang menjadi pegangan masyarakat bahwa
mereka memilihi surat kepemilikan lahan tersebut, kebenarat itu pun harus di
selidiki agar memberikan jalan keluar untuk konflik yang sudah berlarut larut
ini.
c) Masyarakat dengan Negara (Konflik antara Masyarakat Adat Pubabu dan
Pemerintah NTT)
Masyarakat adat Pubabu, Desa Linamnutu, Kecamatan Amanuban
Selatan, Kabupaten Timor Tengah Selatan, Nusa Tenggara Timur (NTT)
terlobat konflik dengan Pemprov NTT mengenai permasalahn penggunaan
lahan hutan.
Konflik ini kembali mencuat dimulai etika rombongan Gubernur NTT
Viktor Bungtilu Laiskodat tiba-tiba mendatangi wilayah tersebut. Dalam dialog
dengan warga, Gubernur meminta masyarakat mengosongkan lahan
pemukimannya yang merupakan lokasi sengketa karena pemerintah akan
menggunakan lahan yang dikatakan milik Pemprov NTT. Gubernur mengatakan
itu tanpa menawarkan solusi permasalahan yang selama ini terjadi di hutan adat
Pubabu. Tentu saja reaksi masyarakat sudah sangat mudah diketahu, masyarakat
marah dan melakukan aksi pemblokiran jalan serta menahan dua kendaraan
dinas Balai Besar Pelatihan Peternakan Kupang Pemprov NTT sebagai bentuk
protes lantaran merasa hak atas tanah adat milik mereka tidak diakuipada
minggu 9 Febuari 2020.
Dalam aksi protes tersebut masyarakat adat Pubabu menuntut Pemprov
NTT mengembalikan tanah milik mereka yang sebelumnya dikontrak dengan
status hak pakai oleh perusahaan peternakan sapi asal Australia. Berdasarkan
surat kontrak lahan atau pinjam pakai oleh perusahaan peternakan asal Australia
selama 25 tahun sejak 1987 yang telah berakhir pada 2012 dan masyarakat tidak
memperpanjang kontraknya.
Lahan yang menjadi sumber konflik itu merupakan perumahan warga
dan tanah garapannya, sementara hutan untuk pengembangannya seluas 6 ribu
hektare. Dan ada sebanyak 47 Kepala Keluarga (KK) yang tinggal di dalam
hutan. Masyarakat mempunyai dokumen hak atas hutan Pubabu, dan adanya
bukti-bukti adat atau batas adat sehingga Pemerintah tidak bisa secara semena-
mena memaksa masyarakat meninggalkan hutan adatnya.
Masyarakat adat Pubabu berpegang dan Merujuk pada Peraturan
Pemerintah (PP) No.40/1996 tentang Hak Guna Usaha, Hak Guna Bangunan
Dan Hak Pakai Atas Tanah, dalam pasal 41 dijelaskan bahwa tanah yang dapat
diberikan dengan hak pakai adalah tanah Negara; tanah hak pengelolaan; tanah
hak milik. Bila berpegang dengan peraturan pemerintah diatas maka dalam
konteks masalah di hutan Pubabu, tanah tersebut adalah tanah masyarakat
Pubabu karena awal pemberian sertifikat hak pakai didasari pada kesepakatan
dengan masyarakat sebagai pemegang hak milik.
Pada pasal 49 ayat (1) menegaskan hak pakai atas tanah hak milik diberikan
untuk jangka waktu paling lama dua puluh lima tahun dan tidak dapat
diperpanjang.
Sementara pasal 2 menyebutkan atas kesepakatan antar pemegang hak
pakai dengan pemegang hak milik, hak pakai atas tanah hak milik dapat
diperbaharui dengan pemberian hak pakai baru dengan akta yang dibuat oleh
Pejabat Pembuat Akta Tanah dan hak tersebut wajib didaftarkan. Dari
penjelasan pasal diatas bisa diartikan bahwa perlu ada kesepakatan dengan
masyarakat sebagai pemegang hak milik apabila sertifikat hak pakai akan
diperpanjang lagi.

Menurut saya Konflik ini menjadi menjadi lebih rumit karena sudah
lama terjadi namun hanya di gantung begitu saja tanpa ada penyelesaian,
sebaiknya kedua belah pihak menyelesaikan konflik ini sesegera mungkin
menjelaskan dari kedua pihak. Tokoh adat yaitu salah satu perwakilan dari
masayarakat adat Pubabu harus menjelaskan kepemilikan lahannya. Pemerintah
juga dimintanya agar harus melihat kembali lagi perjanjian tanah tersebut.

d) PT/Lembaga dengan Negara (Dua Warga Tewas dalam Sengketa Lahan di


Sumsel)
Konflik ini melibatkan perusahaan perkebunan sawit di Desa
Pagar Batu, Kecamatan Pulau Pinang, Kabupaten Lahat,
Sumatera Selatan, pemerintah dan 2 petani yang menjadi
korban.
Lahan yang disengkatakan sebesar 180,36 hektar yang memiliki sejarah
sebelum perusahaan masuk, telah digarap dan dimanfaatkan oleh masyarakat
dengan menanam karet, sayuran, ubi, jadung dan sebagainya.
Awal tahun 2019, masyarakat berunjuk rasa di kantor Gubernur
Sumatera Selatan, hasilnya Gubernur Herman Deru meminta Bupati Lahat Cik
Ujang segera menyelesaikan kasus konflik agraria yang telah bergulir sejak
tahun 1993 itu. Bupati kemudian membuat Tim 9 yang ditugasi untuk
melakukan verifikasi lahan. Selanjutnya, ulas KPA, pada 1 Maret 2020 Bupati
Lahat meminta PT. Artha Prigel membentuk pola plasma terhadap 180,36 hektar
lahan yang dianggap masyarakat bermasalah. Namun perusaahaan tidak setuju.
Ketua KPA Wilayah Sumatera Selatan, Untung Saputra, menuturkan
masyarakat setempat tetap bertahan di lahan itu sebab sengketa tersebut sedang
ditangani oleh pemerintah daerah. Namun bentrok kemudian pecah antara
masyarakat dan pihak perusahaan pun terjadi sehingga menjatuhan 2 korban
petani yang tewas.
Dari konflik diatas dapat diambil sebuah pelajaran bahwa konflik
penggunaan lahan atau hak milik sebuah tanah adalah konflik yang berat dan
dapat merugikan banyak pihak bahkan merenggut nyawa seseorang.

6. Studi kasus:

1. Cari data tentang perkembangan penggunaan lahan untuk pemukiman di


Kabupaten/Kota maisng-masing. Perhatikan tren data minimal dalam 10 tahun (jika
ada). Berikan tanggapan anda!
KELURAHAN BENCAH LESUNG KECAMATAN TENAYAN RAYA KOTA
PEKANBARU

Sebagai ibukota Provinsi Riau, Kota Pekanbaru memiliki banyak peranan.


Peranan tersebut antara lain adalah sebagai pusat pemerintahan, pendidikan,
pariwisata dan perekonomian. Dengan peran yang sedekimian besar, aktifitas
perkotaan akan akan semakin meningkat. Seiring dengan berkembangnya daerah
perkotaan, maka perubahan tata guna lahan akan mempengaruhi segala
infrastruktur yang terkandung dalam kota tersebut, baik penggunaannya untuk
pemukiman, perkantoran, pendidikan, pusat perekonomian maupun fasilitas
penunjang lainnya.
Kecamatan Tenayan Raya menjadi salah satu kecamatan di Kota Pekanbaru
yang sangat signifikan dalam beberapa tahun terakhir. Dalam Rencana Tata Ruang
Kota Pekanbaru, Kecamatan Tenayan Raya masuk ke dalam kategori Wilayah
Pembangunan IV (WP IV). Wilayah Pengembangan IV dicanangkan sebagai pusat
pemerintahan Kota Pekanbaru, Kawasan Industri Tenayan, kawasan pariwisata dan
pemukiman penduduk. Salah satu kelurahanya yaitu kelurahan Becah Lesung akan
kita analisa mengenai perubahan dan perkembangan tata guna lahan sebagai
pemukiman.
Menganalisa perubahan dan perkembangan Kelurahan Becah Lesung lahan tahun 5
tahun terakhir

Tabel 1. Penggunanan lahan wilayah

Tabel 2. Tabel Perubahan Lahan


Sumber : Perhitungan, 2017

Kedua data diatas menampilakan perubahan lahan yang ada di kelurahan Becag
Lesung, dapat kita lihat perubahan yang memiliki angka yang paling besar yaitu 2,63 %
digunakan untuk pertambahan lahan pembangunan perkantoran. Sebagaimana saya
jelaskan diawal bahwa Kecamatan Tenayan Raya, termasuk didalamnya kelurahan
Becah Lesung masuk dalam wilayah pembangunan IV dimana kawasan ini
dicanangkan sebagai pusat pemeritahan. Namun, dapat kita lihat pula data untuk
perkembangn pemukiman tidak terlalu besar dengan angka 0,23 %. Dapat disimpulakan
bahwa penggunaan lahan di kelurahan Becah Lesung lebih mengarah ke perkembangan
menjadi sebuah pusat pemerintahan.

2. Baca dan ringkas minimal 2 artikel tentang permasalahan atau konflik penggunaan
lahan di Indonesia dengan pola 5W + 1 H + Analisis anda.
(1) Judul : Konflik Penggunaan Lahan di Taman Nasional Gunung Halimun Salak
Kabupaten Lebak
Penulis : Nurman Hakim1, Kukuh Murtilaksono , dan Omo Rusdiana
Latar Belakang
Kawasan hutan Taman Nasional gunung Halimun Salak (TNGHS)
terletak di Kabupaten Lebak Provinsi Banten, Kabupaten Bogor dan Sukabumi
Provinsi Jawa Barat. Pada tahun 2003 Kementerian Kehutanan mengeluarkan
kebijakan memperluas TNGHS dari 40.000 Ha menjadi 113.357 Ha dengan
mengubah fungsi Hutan Produksi dan Hutan Lindung menjadi bagian TNGHS.
24 hari kemudian terbit keputusan Menteri Kehutanan yang menyatakan luas
TNGHS adalah 40.000 Ha. Inkonsistensi kebijakan ini menyebabkan luas
TNGHS memiliki 2 versi yakni 113.357 Ha dan 40.000 Ha. Balai TNGHS
berpedoman kepada luas 113.357 Ha sementara Pemerintah Kabupaten
(Pemkab) Lebak berpegangan kepada luas 40.000 Ha. Persoalan ini berlangsung
lebih dari 10 tahun sampai kemudian pada 2013 Balai TNGHS menyusun tata
ruang zonasi dan Pemkab Lebak menyusun Rencana Tata Ruang Wilayah
(RTRW). Fakta ini memperlihatkan adanya konflik penggunaan lahan dan
penataan ruang di tingkat kebijakan dan di tingkat pengelolaan.’

Penggunaan Lahan
Penggunaan lahan berhubungan dengan pengaturan, kegiatan dan
masukan yang dilakukan manusia pada suatu lahan untuk menghasilkan sesuatu,
mengubah atau mempertahankannya (Di Gregorio 2005). Penggunaan lahan
dapat difahami melalui pendekatan fungsi dan pendekatan aktifitas. Pendekatan
fungsi menjelaskan tujuan penggunaan dalam konteks ekonomi. Pendekatan
aktifitas menjelaskan apa yang secara aktual dilakukan dan produk apa yang
dihasilkan dari sejumlah aktifitas yang menempati suatu lahan (Jansen & Di
Gregorio 2002).
Klasifikasi penggunaan lahan untuk neraca sumberdaya lahan spasial di
Indonesia menggunakan SNI 19-6728.3-2002 yang terdiri dari 3 komponen
yakni (1) berdasarkan penggunaan lahan (2) Status penguasaan lahan, dan (3)
Kawasan Lindung dan Kawasan Budidaya. Odum (1969) menyatakan
berdasarkan pembangunan ekosistem dan siklus sumberdaya, ruang yang
diperlukan untuk kebutuhan dasar manusia terdiri dari zona protection,
production, urban industrial dan compromise. Carr & Zwick (2007)

Konflik Penggunaan Lahan


Konflik adalah perwujudan perbedaan cara pandang antara berbagai
pihak terhadap obyek yang sama (Wulan et al. 2004), diantara dua atau lebih
individu atau kelompok yang memilikiatau merasa memiliki- tujuan yang
berbeda (Fisher et al. 2010). Menurut Von der Dunk et al. (2011) konflik
penggunaan lahan mengandung unsur isu, kelompok kepentingan dan komponen
geografi. Berdasarkan unsur tersebut konflik penggunaan lahan didefinisikan
sebagai ketidaksesuaian kepentingan antar kelompok pada suatu unit lahan.

krieria Penggunaan Lahan


Kriteria penggunaan lahan sedapat mungkin mewakili pengetahuan dan
nilai yang digunakan oleh pihak berkepentingan. Kriteria penggunaan lahan
tujuan konservasi digali dari wawancara narasumber Balai TNGHS, dan studi
dokumen penunjukan TNGHS, dokumen Rencana Pengelolaan, dokumen
Zonasi. Kriteria penggunaan lahan tujuan konservasi meliputi (1) perlindungan
keanekaragaman hayati, (2) perlindungan air dan mitigasi bencana, (3)
perlindungan sejarah/budaya, dan (4) kawasan TNGHS saat ini.
Kriteria kesesuaian mengacu kepada pedoman yang digunakan
Kabupaten Lebak dalam menyusun RTRW yakni Peraturan Menteri Pekerjaan
Umum No.41/PRT/M/2007 tentang Pedoman Kriteria Teknis Kawasan
Budidaya. Khusus untuk kesesuaian pertanian, peta RePProt menunjukan bahwa
kawasan TNGHS tidak sesuai untuk lahan pertanian.
Kriteria Pemanfaatan lahan digunakan untuk menangkap fakta
penggunaan lahan di area penelitian yang tidak terliput oleh kriteria kebijakan
atau kriteria kesesuaian lahan. Sebagai contoh keberadaan sawah pada
kelerengan diatas 30% atau jalan beton dalam area TNGHS. Perubahan tutupan
lahan yang terdeteksi melalui citra satelit mengindikasikan adanya nilai,
pengetahuan dan seting sosial ekonomi tersendiri di tingkat rumah tangga atau
kelompok masyarakat, yang tidak berhubungan dengan konsep kebijakan ruang
atau kesesuaian lahan yang digunakan oleh Balai TNGHS dan Pemkab Lebak.

Kesimpulan
Sebagai kawasan yang difungsikan untuk konservasi, area TNGHS
mengandung preferensi penggunaan lahan untuk tujuan non konservasi baik
untuk pertanian, permukiman atau pertambangan. Tipologi A (Tutupan bukan
hutan, preferensi non konservasi dominan) dan tipologi B (Tutupan bukan hutan,
preferensi konservasi dominan) memberikan gambaran aktual konflik
penggunaan lahan. Tipologi A dan B mengindikasikan kemampuan masyarakat
mengakses manfaat hutan dengan berbagai cara dan prosesnya, sedemikian rupa
mampu merubah tutupan hutan menjadi bukan hutan. Tipologi C (Tutupan hutan
preferensi non konservasi dominan) dan tipologi D (Tutupan hutan preferensi
konservasi dominan) memberikan gambaran lokasi potensial konflik karena
kandungan manfaatnya untuk penggunaan non konservasi.

pembangunan wilayah memiliki pengaruh terhadap kebijakan


penggunaan lahan dan tutupan lahan. Pengelolaan Konflik Penggunaan Lahan
TNGHS Lebak, merupakan konsekuensi yang harus disiapkan terhadap apapun
yang diputuskan atau disepakati pada kesepakatan sebelumnya. Dari
keseluruhan, persoalan kerusakan lingkungan merupakan suatu hal yang paling
prioritas untuk ditangani.

(2) PENGGUNAAN KAWASAN HUTAN TIDAK PROSEDURAL UNTUK


PERKEBUNAN SAWIT PROVINSI KALIMANTAN TENGAH
Kalimantan Tengah merupakan salah satu provinsi yang sampai dengan
tahun 2012 belum dapat menyelesaikan proses tata ruang sebagaimana amanat
Undang-Undang No 26 tahun 2007 (Bappenas, 2014). Salah satu permasalahan
dalam tata ruang di Provinsi Kalimantan Tengah adalah belum adanya padu
serasi antara tata ruang wilayah dengan Tata Ruang Kehutanan yang seharusnya
telah dilakukan pada periode tahun 1992-1999 yang lalu (Kartodihardjo, 2008).
Salah satu sumber konflik kehutanan di Indonesia adalah konversi kawasan
hutan (Wulan et al., 2004) yang juga merupakan salah satu faktor penyebab
rusaknya kawasan hutan (Verbist et al., 2004). Konversi kawasan hutan di
Indonesia paling besar dialokasikan untuk perkebunan sawit (Sheil, Casson,
Meijaard, van Noordwijk, et al., 2009)
Perkebunan kelapa sawit merupakan salah satu faktor pemicu deforestasi
di Indonesia karena sifat ekspansifnya yang cepat dalam waktu yang singkat
(Buckland, 2005) (Koh & Wilcove, 2009) (Sheil et al., 2009), namun di sisi lain
perkebunan sawit mempunyai peranan penting dalam kegiatan ekonomi di
Indonesia. Salah satu provinsi yang terbanyak perkebunan sawit secara tidak
prosedural serta memiliki laju pertumbuhan perkebunan terbesar sekaligus
menduduki tingkat deforestasi paling tinggi di Indonesia adalah Provinsi
Kalimantan Tengah (Kemenhut, 2012c) (FWI, 2011), di sisi lain Kalimantan
Tengah merupakan salah satu provinsi yang mempunyai gambut luas di
Indonesia yaitu ± 3 juta Ha (Wahyunto et al., 2004), gambut tersebut semakin
menurun luasnya akibat pembukaan perkebunan kelapa sawit yang terus
meningkat, menurut Fuller et al. Maraknya penggunaan kawasan yang tidak
prosedural di Kalimantan Tengah salah satunya akibat banyaknya ijin usaha
perkebunan dari bupati/gubernur yang diduga berada dalam kawasan hutan,
menurut Hartoyo (2011) hal tersebut sebagai indikasi adanya korupsi dalam
pemberian ijin usaha perkebunan.
Tumpang tindih perijinan kegiatan pembangunan perkebunan sawit di
dalam kawasan hutan diduga disebabkan oleh adanya ketidakserasian antara
Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan dengan Undang-
Undang Nomor 26 tahun 2007 tentang Tata Ruang, dimana Kementerian
Kehutanan mengacu pada Keputusan Menteri Pertanian Nomor
759/Kpts/Um/12/1982 tanggal 12 Oktober 1982 tentang Penunjukkan Areal
Hutan di Wilayah Provinsi Dati I Kalimantan Tengah yang lazim disebut Tata
Guna Hutan Kesepakatan (TGHK) sedangkan Pemerintah Daerah di Kalimantan
Tengah mengacu Rencana Tata Ruang Wilayah Provinsi (RTRWP) yang
tertuang dalam Perda Nomor 5 Tahun 1993 yang merupakan tindak lanjut dari
Undang-undang Nomor 24 Tahun 1992 tentang Penataan Ruang, sepuluh tahun
kemudian Pemerintah Daerah Provinsi Kalimantan Tengah kembali
mengeluarkan RTRWP yang dikukuhkan dengan Perda Nomor 8 Tahun 2003
tentang RTRWP.

Konflik kebijakan tata ruang di Provinsi Kalimantan Tengah disebabkan


oleh adanya perbedaan acuan dalam penentuan Tata Ruang antara SK Menteri
Pertanian Nomor 759 Tahun 1982 tentang Tata Guna Hutan Kesepakatan
(TGHK) (berdasarkan Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang
Kehutanan) dengan Peraturan Daerah (Perda) Nomor 8 Tahun 2003 tentang
Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRWP) Provinsi Kalimantan Tengah
(berdasarkan Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2007 tentang Tata Ruang). Dan
upaya penyelesaian masalah penggunaan kawasan hutan tidak prosedural untuk
perkebunan sawit di Provinsi Kalimantan Tengah dan menghasilakan perumusan
kebijakan antara pihak Kehutanan dengan pihak Perkebunan menghasilkan
kebijakan Peraturan Pemerintah Nomor 60 Tahun 2012 tentang Perubahan atas
Peraturan Pemerintah Nomor 10 Tahun 2010 tentang Tata Cara Perubahan
Peruntukan dan Fungsi Kawasan Hutan yang memberikan kesempatan baik
perusahaan perkebunan sawit yang diduga mempunyai perijinan dan atau sudah
melakukan pembangunan perkebunan sawit di dalam kawasan hutan, terhindar
dari proses hukum dan diberi kesempatan untuk memperoleh legalisasi. Sebagai
penyelesaian konflik penggunaan kawasan hutan tidak prosedural untuk
perkebunan sawit provinsi kalimantan tengah

Anda mungkin juga menyukai