Anda di halaman 1dari 53

PERANGKAT PEMBELAJARAN

AKIDAH AKHLAK KELAS XI SEMESTER 2

TASAWUF
“Ditujukan untuk memenuhi tugas”

Mata Kuliah : Pembelajaran Akidah Akhlak


Dosen : As’ad Husein , MA
Jurusan : Tarbiyah - PAI (V-A)

Di susun Oleh

YUSRA

SEKOLAH TINGGI AGAMA ISLAM JAM’IYAH


MAHMUDIYAH TANJUNG PURA - LANGKAT
T.A : 2017- 2018
ANALISIS MATERI

Mata Pelajaran ` : Akidah Akhlak

Kelas / Semester : VII / Ganjil

Materi : Akidah Islam dan Sifat Wajib Bagi Allah

Sub Materi Jenis Tujuan Pembelajaran Indikator Metode Media Sumber


Pembelajara Belajar
n
1. Pengertian 1. Konsep 1. Peserta didik dapat 1. Menjelaskan pengertian Ceramah, Karton Buku Paket
Tasawuf menjelaskan pengertian Pengertian Tasawuf Tanya Jawab, Gambar MTS Kelas
2. dasar-dasar 2. Prinsip Tasawuf dengan benar. dengan benar. Diskusi, tentang VII
tasawuf 2. Peserta didik dapat 2. Menyebutkan Dasar- Demonstrasi Akidah Islam, Kementerian
3. Pandangan menyebutkan dasar-dasar dasar Tasawuf dengan tanya jawab, Papan Tulis, Agama Buku
Tentang asal- tasawuf dengan benar benar Jigsaw Spidol , Stik Siswa Aqidah
usal Tasawuf 3. Konsep 3. Peserta didik dapat 3. Menjelaskan Pandangan Akhlak kelas
4. Sejarah menjelaskan pandangan Tentang asal-usal VII. Jakarta
Perkembanga tentang tasawuf dengan Tasawuf dengan benar. Kemeterian
n Tasawuf benar. 4. Menjelaskan Sejarah Agama . 2014.
5. Pembagian 4. Fakta 4. Peserta didik dapat Perkembangan Tasawuf
ILmu menjelaskan sejarah dengan benar. Internet
Tasawuf Pekembangan tasawuf 5. Menceritakan Pembagian
6. Sumber- dengan baik ILmu Tasawuf
sumber 5. Konsep 5. Peserta didik dapat 6. menjelaskan Sumber-
tasawuf Menceritakan pembagian sumber tasawuf dengan
7. Istilah-istilah ilmu Tasawuf dengan benar. baik.
tasawuf 6. Prinsip 6. Peserta didik dapat 7. menyebutkan Istilah-
8. Peranan menyebutkan sumber-sumber istilah tasawuf dengan
tasawuf di di tasawuf benar.
dalam 7. Konsep 7. Peserta didik dapat 8. Menunjukkan
kehidupan menyebutkan istilah-istilah contoh Peranan tasawuf
modern tasawuf dengan benar. di di dalam kehidupan
8. Nilai 8. Peserta didik dapat modern
Menunjukkan contoh dengan baik.
peranan tasawuf
dalam kehidupan
modern dengan baik.
RENCANA PELAKSANAAN PEMBELAJARAN
(RPP)

Satuan Pendidikan : MA …………


Mata Pelajaran : Akidah akhlak
Kelas/ Semester : XI/ Semester genap
Materi Pokok : Tasawuf
Alokasi Waktu : 2x 45 Menit (2x kali pertemuan)

A. Kompetensi Inti
KI 1 Menghargai dan menghayati ajaran agama yang dianutnya
KI 2 Menghargai dan menghayati perilaku jujur, disiplin, tanggung jawab, peduli
(toleransi, gotong royong), santun, percaya diri dalam berinteraksi secara
efektif dengan lingkungan sosial dan alam dalam jangkauan pergauan dan
keberadaannya
KI 3      Memahami dan menerapkan pengetahuan (faktual, konseptual, dan
prosedural) berdasarkan rasa ingin tahunya tentang ilmu pengetahuan,
teknologi, seni, budaya terkait fenomena dan kejadian tampak mata
KI 4      Mengolah, menyaji, dan menalar dalam ranah konkret (menggunakan,
mengurai, merangkai, memodifikasi, dan membuat) dan ranah abstrak
(menulis, membaca, menghitung, menggambar, dan mengarang) sesuai
dengan yang dipelajari di sekolah dan sumber lain yang sama dalam sudut
pandang/ teori
B. Kompetensi Dasar dan Indikator Pencapaian Kompetensi
INDIKATOR PENCAPAIAN
NO KOMPETENSI DASAR
KOMPETENSI
1.1
1.1.  Menghayati ajaran tasawuf unuk
1.1.1
memperkukuh keimanan
1.2
Dd Menghayati nilai-nilai tasawuf
dalam modern
2.1
2.1. Membiasakan penerapana nilai-nilai
2.1.2
tasawuf dalam kehidupan sehari-
hari
Ssd Membiasakn pernerapan nilai-nilai
2.2 tasawuf dalam kehidupan modern
3.1
3.1.Memahami pengertian, kedudukan a. Menjelaskan pengertian
dan sejarah tasawuf dalam islam Pengertian Tasawuf dengan
3.2
Sss menganalisis fungsi dan peranan benar.
tasawuf dalam kehidupan modern b. Menyebutkan Dasar-dasar
Memaparkan fungsi peranan Tasawuf dengan benar
tasawuf dalam keagamaan dan c. Menjelaskan Pandangan
kehidupan modern Tentang asal-usal Tasawuf
dengan benar.
d. Menjelaskan Sejarah
Perkembangan Tasawuf
dengan benar.
e. Menceritakan Pembagian
ILmu Tasawuf
f. menjelaskan Sumber-sumber
tasawuf dengan baik.
g. menyebutkan Istilah-istilah
tasawuf dengan benar.
h. Menunjukkan contoh
Peranan tasawuf di di dalam
kehidupan modern
dengan baik.

4.1
4.1.   Menyajikan pengertian, kedudukan Menunjukkan contoh
dan sejarah tasawuf dalam islam Peranan tasawuf di di dalam
4.2 Memaparkan Fungsi dan beranan kehidupan modern
tasawuf dalam keagamaan dan dengan baik.
kehidupan modern
C. Tujuan Pembelajaran
Melalui metode ceramah, tanya jawab, talking stik, dan information search:
1. Peserta didik dapat menjelaskan pengertian Tasawuf dengan benar.
2. Peserta didik dapat menyebutkan dasar-dasar tasawuf dengan benar
3. Peserta didik dapat menjelaskan pandangan tentang tasawuf dengan benar.
4. Peserta didik dapat menjelaskan sejarah Pekembangan tasawuf dengan baik
5. Peserta didik dapat Menceritakan pembagian ilmu Tasawuf dengan benar.
6. Peserta didik dapat menyebutkan sumber-sumber tasawuf
7. Peserta didik dapat menyebutkan istilah-istilah tasawuf dengan benar.
8. Peserta didik dapat Menunjukkan contoh peranan tasawuf dalam
kehidupan modern dengan baik.
D. Materi Pembelajaran
1. Pengertian Tasawuf
2. dasar-dasar tasawuf
3. Pandangan Tentang asal-usal Tasawuf
4. Sejarah Perkembangan Tasawuf
5. Pembagian ILmu Tasawuf
6. Sumber-sumber tasawuf
7. Istilah-istilah tasawuf
8. Peranan tasawuf di di dalam kehidupan modern
E. Metode Pembelajaran
Pendekatan        : saintifik
Strategi               : Jigsaw
Metode                : Ceramah, Tanya jawab, Diskusi, Demonstrasi
F. Media, Pembelajaran
Media : Karton, Gambar tentang Akidah Islam, Papan Tulis,
Alat : Gambar ,Spidol , Stik
G. Sumber Belajar
Buku Paket MTS Kelas VII ( Kementerian Agama Buku Siswa Aqidah Akhlak kelas VII.
Jakarta Kemeterian Agama . 2014.)
Internet
H. Langkah-langkah Kegiatan Pembelajaran
1. Pertemuan Pertama
NO
KEGIATAN WAKTU
.
1. Pendahuluan.

a. Guru membuka pembelajaran dengan salam dan berdo’a


bersama dipimpin oleh seorang peserta didik dengan penuh
khidmat;
b. Guru memperlihatkan kesiapan diri dengan mengisi 10 Menit
lembar kehadiran dan memeriksa posisi dan tempat duduk
disesuaikan dengan kegiatan pembelajaran.
c. Guru memberikan motivasi dan mengajukan pertanyaan
secara komunikatif yang berkaitan dengan materi
pelajaran.

d. Guru menyampaikan tujuan materi yang akan dicapai.

e. Guru membagi peserta didik dalam beberapa kelompok.

2 Kegiatan Inti.
a. Meng
amati
1. Guru meminta peserta didik untuk mencermati gambar
beserta perenungannya yang ada pada kolom “Mari
Mengamati”
2. Peserta didik mengemukakan pendapatnya tentang hasil
pencermatannya tentang gambar analisanya dengan
perenungannya.
3. Guru memberikan penjelasan tambahan dan penguatan
terhadap hasil pencermatannya peserta didik.
b. Mena
nya
1. Dengan dimotivasi oleh guru, siswa mengajukan
pertanyaan seputar tasawuf
c. Ekspe
rimen/explorasi
 Setiap kelompok membaca dan mendiskusikan sub topik
masing-masing dan menetapkan anggota ahli yang akan
70 Menit
bergabung dalam kelompok ahli
 Anggota kelompok ahli dari masing-masing kelompok
berkumpul untuk berdiskusi dan saling membantu untuk
menguasai topic tersebut
 Setelah memahami materi kelompok ahli menyebar dan
kembali ke kelompok masing-masing dan menjelaskan
materi pada teman kelompoknya
d. Meng
asosiasikan/Menalar
1. Menganalisis, mengoreksi, dan memperbaiki hasil yang
telah didiskusikan.
2. Peserta didik menganalisis tentang m malaikat, jin setan
dan iblis
e. Meng
omunikasikan
1. Peserta didik secara komunikatif melaporkan hasil diskusi
secara bergantian dari masing-masing kelompok dan
kelompok lainnya memperhatikan dan menyimak dan
member tanggapan.
2. Guru memberikan penambahan dan penguatan kepada
peserta didik tentang materi tasawuf secara komunikatif.
3 Penutup 10 Menit
1. Guru bersama para peserta didik melakukan refleksi
terhadap pembelajaran yang telah dilaksanakan.
2. Guru beserta peserta didik membuat kesimpulan dari
materi tasawuf
3. Guru memberikan tugas mandiri kepada peserta didik
berkaitan dengan materi yang akandipelajari pada
pertemuan berikutnya
4. Guru bersama-sama para peserta didik menutup pelajaran
dengan hamdalah dan do’a.

I.   Penilaian
1.  Sikap Spiritual
No Sikap/ Nilai Butir Instrumen
.
1 Menghayati ajaran tasawuf unuk memperkukuh Terlampir
keimanan

2 Menghayati nilai-nilai tasawuf dalam modern Terlampir

2.  Sikap Sosial
a.       Teknik Penilaian : Penilaian diri
b.      Bentuk Instrumen : Lembar penilaian diri
c.       Kisi-kisi :
No. Sikap/ Nilai Butir Instrumen
1M membiasakan penerapana nilai-nilai tasawuf dalam Terlampir
kehidupan sehari-hari
2 Membiasakn pernerapan nilai-nilai tasawuf dalam Terlampir
kehidupan modern

3. Sikap Pengetahuan
a.       Teknik Penilaian : Tes tertulis
b.      Bentuk Instrumen : Lembar penilaian Tertulis
c.       Kisi-kisi:
No. Indikator Instrumen
1 Menjelaskan pengertian Pengertian Terlampir
Tasawuf dengan benar.

2 Menyebutkan Dasar-dasar Tasawuf Terlampir


dengan benar

3 Menjelaskan Pandangan Tentang Terlampir


asal-usal Tasawuf dengan benar.

4 Menjelaskan Sejarah Perkembangan Terlampir


Tasawuf dengan benar.

5 Menceritakan Pembagian ILmu Terlampir


Tasawuf

6 menjelaskan Sumber-sumber Terlampir


tasawuf dengan baik.

7 menyebutkan Istilah-istilah tasawuf Terlampir


dengan benar.

8 Menunjukkan contoh Peranan Terlampir


tasawuf di di dalam kehidupan
modern dengan baik.
4. Penilaian Keterampilan
a. Teknik Penilaian : Performence
b. Bentuk Instrumen : Praktik
c. Kisi-kisi :
No. Keterampilan Butir Instrumen

1 Mempresentasekan hasil diskusi


Terlampir
didepan kelas
Lampiran – Lampiran

Lampiran 1 : Instrumen Penilaian ( Aspek Sikap Spiritual )


Nama Siswa : …………………..
Kelas / Semester : XI / Genap
Teknik Penilaian : Penilaian Diri
Penilai : Lembar Penilaian Diri
PILIHAN JAWABAN
NO PERNYATAAN SKOR
SS S RR TS
1 Tasawuf merupakan salah satu bidang studi
islam yang memusatkan perhatian pada
pembersihan aspek rohani manusia
2 tasawuf dari segi kebahasaan menggambarkan
keadaan yang selalu beroreantasi kepada
kesucian jiwa,
3 Ajaran tasawuf pada dasarnya berkosentrasi
pada kehidupan ruhaniyah, mendekatkan diri
kepada Tuhan melalui berbagai kegiatan
kerohanian seperti pembersihan hati, dzikir,
ibadah lainnya serta mendekatkan diri kepada
Allah SWT
4 historis ajaran tasawuf mengalami
perkembangan yang sangat pesat, berawal dari
upaya meniru pola kehidupan Rasulullah saw
JUMLAH SKOR
KETERANGAN NILAI NILAI AKHIR
Sangat Setuju = 91- 100 Skor Yang Diperoleh
Setuju =71-90 ……………X 100
Ragu –Ragu = 61-70 =…………
Tidak Setuju = 50-60 Skor Maksimal
CATATAN:
………………………………………………………………………………………………………
………………………………………………………………………………………………………
…………………………………………………………………………………………
Lampiran 2 : Instrumen Penilaian ( Aspek Sikap Sosial)

Nama Siswa : …………………..


Kelas / Semester : XI /Genap
Teknik Penilaian : Penilaian Antar Teman

PILIHAN JAWABAN
NO PERNYATAAN SKOR
SL SR KK TP
1 melakukan ibadah, dengan berupaya
semaksimal mungkin menjahui urusan duniawi
dan hanya mengharapkan kerihdoan Allah
SWT.
2 Tawakal adalah kesungguhan hati dalam
bersandar kepada Allah Ta’ala untuk
mendapatkan kemaslahatan serta mencegah
bahaya, baik menyangkut urusan dunia
maupun akhirat
3 ikhlas bersih membersihkan hati kepada
Allah melaksanakan ibadah, dan hati tidak
boleh menuju selain kepada Allah.
4 Menjahuin larangan yang menjerumuskan hati
JUMLAH SKOR
KETERANGAN NILAI NILAI AKHIR
Selalu =31 - 40 Skor Yang Diperoleh
Sering = 21 -30 ……………X 100
Kadang - Kadang = 11 -20 =…………
Tidak Pernah = 0 -10 Skor Maksimal
CATATAN:
………………………………………………………………………………………………………
………………………………………………………………………………………………………
…………………………………………………………………………………………
Lampiran 3 :       Pengetahuan
Nama :
Kelas / Semester :
Teknik Penilaian : Esay
Penilai : Guru

NO KOMPETENSI DASAR
1 1. Menghayati ajaran tasawuf unuk memperkukuh keimanan
2. Menghayati nilai-nilai tasawuf dalam modern
2 1. Membiasakan penerapana nilai-nilai tasawuf dalam kehidupan sehari-hari
2. Membiasakn pernerapan nilai-nilai tasawuf dalam kehidupan modern
3 1. Memahami pengertian, kedudukan dan sejarah tasawuf dalam islam
2. menganalisis fungsi dan peranan tasawuf dalam kehidupan modern
3. Memaparkan fungsi peranan tasawuf dalam keagamaan dan kehidupan modern
4 1. Menyajikan pengertian, kedudukan dan sejarah tasawuf dalam islam
2. Memaparkan Fungsi dan beranan tasawuf dalam keagamaan dan kehidupan
modern

No. Indikator Instrumen


1 Menjelaskan Pengertian Tasawuf jelaskan Pengertian Tasawuf
dengan benar.

Menyebutkan Dasar-dasar Tasawuf


2 dengan benar Sebutkan Dasar-dasar Tasawuf

3 Menjelaskan Pandangan Tentang asal- jelaskan Pandangan Tentang asal-


usal Tasawuf dengan benar. usal Tasawuf

Menjelaskan Sejarah Perkembangan jelaskan Sejarah Perkembangan


4 Tasawuf dengan benar. Tasawuf

Menceritakan Pembagian ILmu


5 Tasawuf Jelaskan Pembagian ILmu Tasawuf

6 menjelaskan Sumber-sumber tasawuf menjelaskan Sumber-sumber


dengan baik. tasawuf dengan baik.

7 menyebutkan Istilah-istilah tasawuf Sebutkan Istilah-istilah tasawuf


dengan benar.

Menunjukkan contoh Peranan Memberikan contoh Peranan


8 tasawuf di di dalam kehidupan tasawuf di di dalam kehidupan
modern modern
dengan baik.
NO JAWABAN SKOR
1. Tasawuf adalah usaha untuk membersihkan jiwa, memperbaiki akhlak dan mencapai
maqam ihsan. Dengan kata lain yaitu usaha menaklukan dimensi jasmani manusia 10
agar tunduk dimensi rohani.  
2. Dasar-dasar Tasawuf dalam Al-Qur’an dan Hadis
Para pengkaji tentang tasawuf sepakat bahwasanya tasawuf berazaskan kezuhudan sebagaimana
yang diperaktekkan oleh Nabi Saw, dan sebahagian besar dari kalangan sahabat dan tabi’in.
Kezuhudan ini merupakan implementasi dari nash-nash al-Qur’an dan Hadis-hadis Nabi Saw yang 10
berorientasi akhirat dan berusaha untuk menjuhkan diri dari kesenangan duniawi yang berlebihan
yang bertujuan untuk mensucikan diri, bertawakkal kepada Allah Swt, takut terhadap ancaman-
Nya, mengharap rahmat dan ampunan dari-Nya dan lain-lain.
3. tasawuf merupakam paham yang sudah berkembang sebelum Nabi Muhammad menjadi Rasulullah
Dan orang-orang Islam baru di daerah Irak dan Iran (sekitar abad 8 Masehi) yang sebelumnya
merupakan orang-orang yang memeluk agama non Islam atau menganut paham-paham tertentu. 10
Meski sudah masuk Islam, hidupnya tetap memelihara kesahajaan dan menjauhkan diri dari
kemewahan dan kesenangan keduniaan.
4. Sejarah Perkembangan Tasawuf Salafi (Akhlak)
Sejarah dan perkembangan tasawuf salafi (akhlaki) mengalami beberapa fase sebagai berikut:
Abad kesatu dan kedua Hijriyah
Disebut pula dengan fase asketisme (zuhud). Hal ini dipandang munculnya tasawuf. Pada fase ini,
terdapat individu-individu yang lebih memusatkan kepada ibdah kepada Allah.
Abad ketiga Hijriyah
Sejak abad ketiga para sufi mulai menaruh perhatiannya kepada hal-hal yang berkaitan dengan jiwa
dan tingkah laku.
Pada abad ketiga terlihat perkembanagn tasawuf yang pesat, ditandai dengan adanya segolongan
ahli tasawuf yang mencoba menyelidiki inti ajaran tasawuf yang berkembang masa itu. Mereka
membaginya menjadi tiga macam, yaitu:
Tasawuf yang berintikan ilmu jiwa
Tasawuf yang berintikan ilmu akhlak
Tasawuf yang berintikan metafisika
Abad keempat Hijriyah 30
Abad ini ditandai dengan kemajuan ilmu tasawuf yang lebih pesat dibandingkan dengan abad
ketiga Hijriyah, karena usaha maksimal para ulama’ tasawuf untuk mengembangkan ajaran
tasawufnya masing-masing.
Abad kelima Hijriyah
Pada abad ini muncullah Imam Al-Ghazali, yang sepenuhnya hanya menerima tasawuf yang
berdasarkan Al-Qur’an dan As-Sunnah serta bertjuan asketisme, kehidupan sederhana, pelurusan
jiwa, dan pembinaan moral
Abad keenam Hijriyah
Sejak abad ini, sebagai akibat pengaruh kepribadian AL-Ghazali yang begitu besar, pengaruh
taswuf sunni semakin meluas ke seluruh pelosok dinia islam. Keadaan ini memberi peluang
munculnya tarekat-tarekat dalam rangka memndidik muridnya, seperti Sayyid Ahmad Ar-Rifa’i
dan Sayiid Abdul Qadir Al-Jailani.

5. 1. Tasawuf Qur’ani
2. Tasawuf Sunni
3. Tasawuf ‘Amali
4. Tasawuf Akhlaqi
10
5. Tasawuf Salafi
6. Tasawuf Falsaf
6. Al-Qur’an dan hadis, Ijtihad Para Sufi
7. 1. WAKTU 20
2. AL-MAQAM
3. AL-HAL
4. AL-QABDHU DAN AL-BASTHU
5. AL-HAIBAH DAN AL-ANASU
6. AT-TAWAJUD, AL-WIJDU, DAN AL-WUJUD
7. AL-JAM’U DAN AL-FARQU
8. FANA DAN BAQA’
9. GHAIBAH DAN HADHUR
10. SHAHWU DAN SUKRU
8. Diantara peranan tasawuf dalam keidupan modern adalah sbb.
Menjadikan manusia berkepribadian yang salehdan berahlak
baik.
Lebih mendekatkan manusia kepada Tuhan. 10
Sebagai obat mengatasi krisis kerohanian manusia (dekadensi
moral).

Total Skor Maksimal 100


Lampiran 4. Keterampilan
Nama Siswa : …………………..
Kelas / Semester : IX / genap
Teknik Penilaian : Performance
Penilai : Guru

PILIHAN JAWABAN
NO Keterampilan SKOR
SB B KB STB
1 Penyajian materi
2 Penguasan materi
JUMLAH SKOR
KETERANGAN NILAI NILAI AKHIR
Sangat baik =86-100 Skor Yang Diperoleh
baik = 70-85 ……………X 100
Kurang baik = 60-70 =…………
Sangat tidak baik = 50-60 Skor Maksimal
CATATAN:
………………………………………………………………………………………………………
………………………………………………………………………………………………………
…………………………………………………………………………………………
BUKU AJAR

Mata Pelajaran : Aqidah Akhlak


Kelas/ Semester : IX/ Genap
Materi Pokok : Tasawuf
A. Kompetensi Inti
KI 1 Menghargai dan menghayati ajaran agama yang dianutnya
KI 2      Menghargai dan menghayati perilaku jujur, disiplin, tanggung jawab, peduli
(toleransi, gotong royong), santun, percaya diri dalam berinteraksi secara
efektif dengan lingkungan sosial dan alam dalam jangkauan pergauan dan
keberadaannya
KI 3      Memahami dan menerapkan pengetahuan (faktual, konseptual, dan
prosedural) berdasarkan rasa ingin tahunya tentang ilmu pengetahuan,
teknologi, seni, budaya terkait fenomena dan kejadian tampak mata
KI 4      Mengolah, menyaji, dan menalar dalam ranah konkret (menggunakan,
mengurai, merangkai, memodifikasi, dan membuat) dan ranah abstrak
(menulis, membaca, menghitung, menggambar, dan mengarang) sesuai
dengan yang dipelajari di sekolah dan sumber lain yang sama dalam sudut
pandang/ teori
B. Kompetensi Dasar dan Indikator Pencapaian Kompetensi
INDIKATOR PENCAPAIAN
NO KOMPETENSI DASAR
KOMPETENSI
1.1
1.1.  Menghayati ajaran tasawuf unuk
1.1.1
memperkukuh keimanan
1.2
Dd Menghayati nilai-nilai tasawuf
dalam modern
2.1
2.1. Membiasakan penerapana nilai-nilai
2.1.2
tasawuf dalam kehidupan sehari-
hari
Ssd Membiasakn pernerapan nilai-nilai
2.2 tasawuf dalam kehidupan modern
3.1
3.1.Memahami pengertian, kedudukan a. Menjelaskan pengertian
dan sejarah tasawuf dalam islam Pengertian Tasawuf dengan
3.2
Sss menganalisis fungsi dan peranan benar.
tasawuf dalam kehidupan modern b. Menyebutkan Dasar-dasar
Memaparkan fungsi peranan Tasawuf dengan benar
tasawuf dalam keagamaan dan c. Menjelaskan Pandangan
kehidupan modern Tentang asal-usal Tasawuf
dengan benar.
d. Menjelaskan Sejarah
Perkembangan Tasawuf
dengan benar.
e. Menceritakan Pembagian
ILmu Tasawuf
f. menjelaskan Sumber-sumber
tasawuf dengan baik.
g. menyebutkan Istilah-istilah
tasawuf dengan benar.
h. Menunjukkan contoh
Peranan tasawuf di di dalam
kehidupan modern
dengan baik.

4.1
4.1.   Menyajikan pengertian, kedudukan Menunjukkan contoh
dan sejarah tasawuf dalam islam Peranan tasawuf di di dalam
4.2 Memaparkan Fungsi dan beranan kehidupan modern
tasawuf dalam keagamaan dan dengan baik.
kehidupan modern
C. Tujuan Pembeajaran
Melalui metode ceramah, tanya jawab, talking stik, dan information search:
1. Peserta didik dapat menjelaskan pengertian Tasawuf dengan benar.
2. Peserta didik dapat menyebutkan dasar-dasar tasawuf dengan benar
3. Peserta didik dapat menjelaskan pandangan tentang tasawuf dengan benar.
4. Peserta didik dapat menjelaskan sejarah Pekembangan tasawuf dengan baik
5. Peserta didik dapat Menceritakan pembagian ilmu Tasawuf dengan benar.
6. Peserta didik dapat menyebutkan sumber-sumber tasawuf
7. Peserta didik dapat menyebutkan istilah-istilah tasawuf dengan benar.
8. Peserta didik dapat Menunjukkan contoh peranan tasawuf dalam
kehidupan modern dengan baik.
D. Sumber Belajar
Buku Paket MTS Kelas VII ( Kementerian Agama Buku Siswa Aqidah Akhlak kelas VII.
Jakarta Kemeterian Agama . 2014.)
Internet
E. Peta Konsep

Tasawuf

pandangan sumber-
Pengertian Dasar-dasar Pekembangan pembagian istilah-istilah peranan
tentang sumber
Tasawuf Tasawuf tasawuf ilmu Tasawuf tasawuf tasawuf
tasawuf tasawuf
F. Langkah-langkah Kegiatan Pembelajaran
NO
KEGIATAN WAKTU
.
1. Pendahuluan. 10 Menit

a. Guru membuka pembelajaran dengan salam dan berdo’a


bersama dipimpin oleh seorang peserta didik dengan penuh
khidmat;
b. Guru memperlihatkan kesiapan diri dengan mengisi lembar
kehadiran dan memeriksa posisi dan tempat duduk
disesuaikan dengan kegiatan pembelajaran.
c. Guru memberikan motivasi dan mengajukan pertanyaan
secara komunikatif yang berkaitan dengan materi
pelajaran.
d. Guru menyampaikan tujuan materi yang akan dicapai.
e. Guru membagi peserta didik dalam beberapa kelompok.
2 Kegiatan Inti. 70 Menit
a. Mengamati
1. Guru meminta peserta didik untuk mencermati gambar
beserta perenungannya yang ada pada kolom “Mari
Mengamati”
2. Peserta didik mengemukakan pendapatnya tentang hasil
pencermatannya tentang gambar analisanya dengan
perenungannya.
3. Guru memberikan penjelasan tambahan dan penguatan
terhadap hasil pencermatannya peserta didik.
b. Menanya
1. Dengan dimotivasi oleh guru, siswa mengajukan pertanyaan
seputar akhlak terpuji, karakteristik, dan induk-induk akhlak
terpuji.
2. Guru menanyakan peserta didik dalil yang berhubungan
dengan akhlak.

c. Eksperimen/explorasi
 Setiap kelompok membaca dan mendiskusikan sub topik
masing-masing dan menetapkan anggota ahli yang akan
bergabung dalam kelompok ahli
 Anggota kelompok ahli dari masing-masing kelompok
berkumpul untuk berdiskusi dan saling membantu untuk
menguasai topic tersebut
 Setelah memahami materi kelompok ahli menyebar dan
kembali ke kelompok masing-masing dan menjelaskan
materi pada teman kelompoknya
d. Asosiasi
 Menganalisis, mengoreksi, dan memperbaiki hasil yang telah
didiskusikan.
 Peserta didik menganalisis tentang akhlak terpuji,
karakteristik, dan induk-induk akhlak terpuji.
e. Komunikasi
 Peserta didik secara komunikatif melaporkan hasil diskusi
secara bergantian dari masing-masing kelompok dan
kelompok lainnya memperhatikan dan menyimak dan
member tanggapan.
 Guru memberikan penambahan dan penguatan kepada
peserta didik tentang materi akhlak terpuji, karakteristik, dan
induk-induk akhlak terpuji secara komunikatif.
3 Penutup 111
 Guru bersama para peserta didik melakukan refleksi terhadap
pembelajaran yang telah dilaksanakan.
 Guru beserta peserta didik membuat kesimpulan dari materi
akhlak terpuji, karakteristik, dan induk-induk akhlak terpuji.
 Guru memberikan tugas mandiri kepada peserta didik
berkaitan dengan materi yang akandipelajari pada pertemuan
berikutnya yaitu menghafal pengertian akhlak serta
karakteristiknya.
 Guru bersama-sama para peserta didik menutup pelajaran
dengan hamdalah dan do’a.
G. Uraian Materi
A. Definisi Tasawwuf
Para sarjana Islam dan barat sejak dahulu hingga kini masih berbeda pendapat tentang kata dasar Tasawwuf dan Sufi. Malahan
mereka juga sebenarnya mempersoalkan asal usul ajaran ini, apakah ia berasal dari ajaran Islam? Atau ia mungkin import budaya dan
kepercayaan umat lain dari luar Islam. Mungkin juga ia merupakan hasil penggabungan antara ajaran Islam dengan pengalaman-
pengalaman kerohanian tertentu sekaligus membentuk satu ajaran yang dianggap asing oleh beberapa pihak.
Tasawuf (Tasawwuf) atau Sufisme (bahasa arab: ‫ تصوف‬, ) adalah ilmu untuk mengetahui bagaimana cara menyucikan jiwa,
menjernihan akhlaq, membangun dhahir dan batin, untuk memporoleh kebahagian yang abadi. Tasawuf pada awalnya merupakan
gerakan zuhud (menjauhi hal duniawi) dalam Islam, dan dalam perkembangannya melahirkan tradisi mistisme Islam. Tarekat
(pelbagai aliran dalam Sufi) sering dihubungkan dengan Syiah, Sunni, cabang Islam yang lain, atau kombinasi dari beberapa
tradisi[rujukan?]. Pemikiran Sufi muncul di Timur Tengah pada abad ke-8, sekarang tradisi ini sudah tersebar ke seluruh belahan
dunia.
Ada beberapa sumber perihal etimologi dari kata “Sufi”. Pandangan yang umum adalah kata itu berasal dari Suf (‫)صوف‬, bahasa
Arab untuk wol, merujuk kepada jubah sederhana yang dikenakan oleh para asetik Muslim. Namun tidak semua Sufi mengenakan
jubah atau pakaian dari wol. Teori etimologis yang lain menyatakan bahwa akar kata dari Sufi adalah Safa (‫)صفا‬, yang berarti
kemurnian. Hal ini menaruh penekanan pada Sufisme pada kemurnian hati dan jiwa. Teori lain mengatakan bahwa tasawuf berasal
dari kata Yunani theosofie artinya ilmu ketuhanan.
Yang lain menyarankan bahwa etimologi dari Sufi berasal dari “Ashab al-Suffa” (“Sahabat Beranda”) atau “Ahl al-Suffa”
(“Orang orang beranda”), yang mana dalah sekelompok muslim pada waktu Nabi Muhammad yang menghabiskan waktu mereka di
beranda masjid Nabi, mendedikasikan waktunya untuk berdoa.
B. Dasar-dasar Tasawuf dalam Al-Qur’an dan Hadis
Para pengkaji tentang tasawuf sepakat bahwasanya tasawuf berazaskan kezuhudan sebagaimana yang diperaktekkan oleh Nabi
Saw, dan sebahagian besar dari kalangan sahabat dan tabi’in. Kezuhudan ini merupakan implementasi dari nash-nash al-Qur’an dan
Hadis-hadis Nabi Saw yang berorientasi akhirat dan berusaha untuk menjuhkan diri dari kesenangan duniawi yang berlebihan yang
bertujuan untuk mensucikan diri, bertawakkal kepada Allah Swt, takut terhadap ancaman-Nya, mengharap rahmat dan ampunan dari-
Nya dan lain-lain.
1. Dasar-dasar dari Al-Qur’an
Meskipun terjadi perbedaan makna dari kata shufy akan tetapi jalan yang ditempuh kaum sufi berlandasakan Islam. Diantara ayat-
ayat Allah yang dijadikan landasan akan urgensi kezuhudan dalam kehidupan dunia adalah firman Allah dalam al-Qur’an yang
berbunyi:
Artinya:
Barang siapa yang menghendaki keuntungan di akhirat akan kami tambah keuntungan itu baginya dan barang siapa yang
menghendaki keuntungan di dunia kami berikan kepadanya sebagian dari keuntungan dunia dan tidak ada baginya suatu
bahagianpun di akhirat. (Q.S Asy-Syuura [42] : 20)
Diantara nash-nash al-Qur’an yang mememerintahkan orang-orang beriman agar senantiasa berbekal untuk akhirat adalah firman
Allah dalam Q.S al-Hadid [57] ayat: 20
Artinya:
Ketahuilah, bahwa Sesungguhnya kehidupan dunia ini hanyalah permainan dan suatu yang melalaikan, perhiasan dan bermegah-
megah antara kamu serta berbangga-banggaan tentang banyaknya harta dan anak, seperti hujan yang tanam-tanamannya
mengagumkan para petani; Kemudian tanaman itu menjadi kering dan kamu lihat warnanya kuning Kemudian menjadi hancur. dan
di akhirat (nanti) ada azab yang keras dan ampunan dari Allah serta keridhaan-Nya. dan kehidupan dunia Ini tidak lain hanyalah
kesenangan yang menipu.
Ayat ini menandaskan bahwa kebanyakan manusia melaksanakan amalan-amalan yang menjauhkannya dari amalan-amalan yang
bermanfaat untuk diri dan keluarganya, sehingga mereka dapat kita temukan menjajakan diri dalam kubangan hitamnya kesenangan
dan gelapnya hawa nafus mulai dari kesenangan dalam berpakaian yang indah, tempat tinggal yang megah dan segala hal yang dapat
menyenangkan hawa nafsu, berbangga-bangga dengan nasab dan banyaknya harta serta keturunan (anak dan cucu). Akan tetapi
semua hal tesebut bersifat sementar dan dapat menjadi penyebab utama terseretnya seseorang kedalam azab yang sangat pedih pada
hari ditegakkannya keadilan di sisi Allah, karena semua hal tersebut hanyalah kesenangan yang melalaikan, sementara rahmat Allah
hanya terarah kepada mereka yang menjauhkan diri dari hal-hal yang melallaikan tersebut.
2. Dasar-dasar Dari Hadis
Jika kita melihat dengan seksama akan sejarah kehidupan Rasulullah Muhammad Saw beserta para sahabat beliau yang telah
mendapatkan keridhaan Allah, maka akan ditemukan sikap kezuhudan dan ketawadhu’an yang terpadu dengan ibadah-ibadah baik
wajib maupun sunnah bahkan secara individu Rasulullah Saw tidak pernah meninggalkan shalat lail hingga lutut beliau memar akibat
kebanyakan berdiri, ruku’ dan sujud di setiap malam dan beliau Saw tidak pernah meninggalkan amalan tersebut hingga akhir hayat
beliau Saw, hal ini dilakukan oleh beliau Saw karena kecintaan beliau kepada sang penggenggam jiwa dan alam semesta yang
mencintainya Dia-lah Allah yang cinta-Nya tidak pernah terputus kepada orang-orang yang mencintai-Nya.
Uaraian tentang hadis fi’liyah di atas merupakan salah satu bentuk kesufian yang dijadikan landasan oleh kaum sufi dalam
menjalankan pahamnya.
Selain itu terdapat pula hadis-hadis qauliyah yang menjadi bagian dari dasar-dasar ajaran tasawuf dalam Islam, diantara hadis-hadis
tersebut adalah:
َ ِ ‫ُول هَّللا ِ دُلَّنِي َعلَى َع َم ٍل إِ َذا أَنَا َع ِم ْلتُهُ أَ َحبَّنِي هَّللا ُ َوأَ َحبَّنِي النَّاسُ فَقَا َل َرسُو ُل هَّللا‬
‫لَّ َم‬Z‫صلَّى هَّللا ُ َعلَ ْي ِه َو َس‬ َ ‫صلَّى هَّللا ُ َعلَ ْي ِه َو َسلَّ َم َر ُج ٌل فَقَا َل يَا َرس‬ َّ ِ‫ال أَتَى النَّب‬
َ ‫ي‬ َ َ‫ع َْن َسه ِْل ْب ِن َس ْع ٍد السَّا ِع ِديِّ ق‬
َ‫اس يُ ِحبُّوك‬ِ َّ‫ازهَ ْد فِي َما فِي أَ ْي ِدي الن‬ ْ ‫ازهَ ْد فِي ال ُّد ْنيَا يُ ِحبَّكَ هَّللا ُ َو‬
ْ
Artinya:
Dari sahabat Sahal bin Saad as-Sa’idy beliau berkata: datang seseorang kepada Rasulullah Saw dan berkata: ‘Wahai Rasulullah !
tunjukkanlah kepadaku sutu amalan, jika aku mengerjakannya maka Allah akan mencintaiku dan juga manusia’, Rasulullah Saw
bersabda: “berlaku zuhudalah kamu di dunia, maka Allah akan mencintaimu, dan berlaku zuhudlah kamu atas segala apa yang
dimiliki oleh manusia, maka mereka (manusia) akan mencintaimu”.
‫َت‬ َ ِ‫ا ُكت‬ZZ‫ ُّد ْنيَا إِاَّل َم‬Z‫ ِه ِم ْن ال‬Zِ‫ ِه َولَ ْم يَأْت‬Zْ‫ق هَّللا ُ َعلَ ْي ِه أَ ْم َرهُ َو َج َع َل فَ ْق َرهُ بَ ْينَ َع ْينَي‬
ْ ‫ان‬ZZ‫هُ َو َم ْن َك‬Zَ‫ب ل‬ ْ ‫صلَّى هَّللا ُ َعلَ ْي ِه َو َسلَّ َم يَقُو ُل َم ْن َكان‬
َ ‫َت ال ُّد ْنيَا هَ َّمهُ فَ َّر‬ َ ِ ‫ُول هَّللا‬ ُ ‫ َس ِمع‬: ‫عَن َز ْي ُد بْنُ ثَابِت قال‬
َ ‫ْت َرس‬
ِ ‫اآْل ِخ َرةُ نِيَّتَهُ َج َم َع هَّللا ُ لَهُ أَ ْم َرهُ َو َج َع َل ِغنَاهُ فِي قَ ْلبِ ِه َوأَتَ ْتهُ ال ُّد ْنيَا َو ِه َي َر‬
ٌ‫اغ َمة‬
Artinya:
Dari Zaid bin Tsabit beliau berkata : Aku mendengarkan Rasulullah Saw bersabda: “Barangsiapa yang menjadikan dunia sebagai
tujuannya, maka Allah akan berlepas diri dari segala urusannya dan tidaklah ia mendapatkan dari dunia sesuatu apapun keculi apa
yang telah di tetapkan baginya. Dan barang siapa yang sangat menjadikan akhirat sebaga tujuannya, maka Allah akan
mengumpulkan seluruh harta kekayaan baginya, dan menjadikan kekayaan itu dalam hatinya, serta mendapatkan dunia sedang ia
dalam keadaan tertindas”
Hadis pertama menunjukkan perintah untuk senantiasa berlaku zuhud di dunia, sementara hadis kedua menjelaskan akan
tercelanya kehidupan yang bertujuan berorientasi keduniaan belaka, dan mulianya kehidupan yang berorientasi akhirat. Kedua hadis
tersebut menjelaskan kemuliaan orang-orang yang hanya menjadikan Allah sebagai tujuan utama dalam hidupnya dan merasa cukup
atas segala yang Allah telah karunianakan kepadanya.
Selain dari kedua hadis di atas terdapat pula banyak hadis yang memberikan wasiat kepada orang-orang mu’min agar tidak
bertumpu pada kehidupan dunia semata, dan hendaklah ia senantiasa memangkas segala angan-angan keduniaan, serta tidak
mematrikan dalam dirinya untuk hidup kekal di dunia dan tidak pula berusaha untuk memperkaya diri di dalamnya kecuali sesuai
dengan apa yang ia butuhkan, oleh karena itu Rasulullah Saw berwasiat kepada Abdullah bin Umar sambil menepuk pundaknya dan
bersabda:
‫َريبٌ أَوْ عَابِ ُر َسبِيل‬ َ َّ‫ُك ْن فِي ال ُّد ْنيَا َكأَن‬
ِ ‫كغ‬
Artinya:
“Hiduplah kamu di dunia seolah-seolah kamu adalh orang asing atau seorang musafir”
C. Asal-usul Tasawuf
Banyak pendapat pro dan kontra mengenai asal-usul ajaran tasawuf, apakah ia berasal dari luar atau dari dalam agama Islam
sendiri.
Sebagian pendapat mengatakan bahwa paham tasawuf merupakam paham yang sudah berkembang sebelum Nabi Muhammad
menjadi Rasulullah Dan orang-orang Islam baru di daerah Irak dan Iran (sekitar abad 8 Masehi) yang sebelumnya merupakan orang-
orang yang memeluk agama non Islam atau menganut paham-paham tertentu. Meski sudah masuk Islam, hidupnya tetap memelihara
kesahajaan dan menjauhkan diri dari kemewahan dan kesenangan keduniaan. Hal ini didorong oleh kesungguhannya untuk
mengamalkan ajarannya, yaitu dalam hidupannya sangat berendah-rendah diri dan berhina-hina diri terhadap Tuhan. Mereka selalu
mengenakan pakaian yang pada waktu itu termasuk pakaian yang sangat sederhana, yaitu pakaian dari kulit domba yang masih
berbulu, sampai akhirnya dikenal sebagai semacam tanda bagi penganut-penganut paham tersebut. Itulah sebabnya maka pahamnya
kemudian disebut PAHAM SUFI, SUFISME atau PAHAM TASAWUF, dan orangnya disebut ORANG SUFI.
Sebagian pendapat lagi mengatakan bahwa asal-usul ajaran tasawuf berasal dari zaman Nabi Muhammad. Berasal dari kata
“beranda” (suffa), dan pelakunya disebut dengan ahl al-suffa, seperti telah disebutkan di atas. Mereka dianggap sebagai penanam
benih paham tasawuf yang berasal dari pengetahuan Nabi Muhammad
D. Perkembangan Tasawuf
Mengenali sejarah tasawuf sama saja dengan memahami potongan-potongan sejarah Islam dan para pemeluknya, terutama pada
masa Nabi. Sebab, secara faktual, tasawuf mempunyai kaitan yang erat dengan prosesi ritual ibadah yang dilaksanakan oleh para
Sahabat di bawah bimbingan Nabi. Kenapa gerakan tasawuf baru muncul paska era Shahabat dan Tabi’in? Kenapa tidak muncul pada
masa Nabi? Jawabnya, saat itu kondisinya tidak membutuhkan tasawuf. Perilaku umat masih sangat stabil. Sisi akal, jasmani dan
ruhani yang menjadi garapan Islam masih dijalankan secara seimbang. Cara pandang hidupnya jauh dari budaya pragmatisme,
materialisme dan hedonisme.
Tasawuf sebagai sebuah perlawanan terhadap budaya materialisme belum ada, bahkan tidak dibutuhkan. Karena Nabi, para
Shahabat dan para Tabi’in pada hakikatnya sudah sufi: sebuah perilaku yang tidak pernah mengagungkan kehidupan dunia, tapi juga
tidak meremehkannya. Selalu ingat pada Allah Swt sebagai sang Khaliq
Ketika kekuasaan Islam makin meluas. Ketika kehidupan ekonomi dan sosial makin mapan, mulailah orang-orang lalai pada sisi
ruhani. Budaya hedonisme pun menjadi fenomena umum. Saat itulah timbul gerakan tasawuf (sekitar pertengahan abad 2 Hijriah).
Gerakan yang bertujuan untuk mengingatkan tentang hakikat hidup.
Mayoritas ahli sejarah berpendapat bahwa terma tasawuf dan sufi adalah sebuah tema yang muncul setelah abad II Hijriah.
Sebuah terma yang sama sekali baru dalam agama Islam. Pakar sejarah juga sepakat bahwa yang mula-mula menggunakan istilah ini
adalah orang-orang yang berada di kota Bagdad-Irak. Pendapat yang menyatakan bahwa tema tasawuf dan sufi adalah baru serta
terlahir dari kalangan komunitas Bagdad merupakan satu pendapat yang disetujui oleh mayoritas penulis buku-buku tasawuf.
Sebagian pendapat mengatakan bahwa paham tasawuf merupakam paham yang sudah berkembang sebelum Nabi Muhammad
menjadi Rasulullah. Dan orang-orang Islam baru di daerah Irak dan Iran (sekitar abad 8 Masehi) yang sebelumnya merupakan orang-
orang yang memeluk agama non Islam atau menganut paham-paham tertentu. Meski sudah masuk Islam, hidupnya tetap memelihara
kesahajaan dan menjauhkan diri dari kemewahan dan kesenangan keduniaan. Hal ini didorong oleh kesungguhannya untuk
mengamalkan ajarannya, yaitu dalam hidupannya sangat berendah-rendah diri dan berhina-hina diri terhadap Tuhan. Mereka selalu
mengenakan pakaian yang pada waktu itu termasuk pakaian yang sangat sederhana, yaitu pakaian dari kulit domba yang masih
berbulu, sampai akhirnya dikenal sebagai semacam tanda bagi penganut-penganut paham tersebut. Itulah sebabnya maka pahamnya
kemudian disebut PAHAM SUFI, SUFISME atau PAHAM TASAWUF, dan orangnya disebut ORANG SUFI.
Sebagian pendapat lagi mengatakan bahwa asal-usul ajaran tasawuf berasal dari zaman Nabi Muhammad. Berasal dari kata
“beranda” (suffa), dan pelakunya disebut dengan ahl al-suffa, seperti telah disebutkan di atas. Mereka dianggap sebagai penanam
benih paham tasawuf yang berasal dari pengetahuan Nabi Muhammad. Kemudian, menurut catatn sejarah, diantara sekalian sahabat
Nabi, maka yang pertama sekali memfilsyafatkan ibadah dan menjadikan ibadah secara satu yang khusus, adalah sahabat Nabi Yang
bernama Huzaifa bin Al Yamani, salah seorang sahabat Nabi yang Mulia dan terhormat. Beliaulah yang pertama kali menyampaikan
ilmu-ilmu yang kemudian hari ini kita kenal dengan Tasawuf‌dan beliaulah yang membuka jalan serta teori-teori untuk tasawuf itu.
Menurut cacatan sejarah, dari sahabat Nabi Huzaifah bin al Yamani inilah pertama-tama mendirikan Madrasah Tasawuf . tetapi
pada masa itu belumlah terkenal dengan nama Tasawuf, masih sangat sederhana sekali. Imam sufi yang pertama di dalam sejarah
Islam yaitu Al Hasan Al Basry seorang ulama besar Tabiin, adalah murid pertama Huzaifah bin al Yamani dan adalah keluaran dari
Madrasah yang pernah didirikan oleh Huzaifah bin Al Yamani.
Selanjutnya, Tasawuf itu berkembang yang dimulai oleh Madrasah huzaifah bin Al yamani di madinah, kemudian diteruskan
Madrasah Al Hasanul basry di basrah dan seterusnya oleh Saad bin Al Mussayib salah seorang ulama besar Tabiin, dan masih banyak
lagi tokoh-tokoh ilmu Tasawuf lainnya. Sejak itulah pelajaran Ilmu tasawwuf telah mendapat kedudukan yang tetap dan tidak terlepas
lagi dari masyarakat ummat Islam sepanjang masa.
Sedang menurut versi yang lain, munculnya istilah tasawuf baru dimulai pada pertengahan abad III Hijriyyah oleh abu Hasyim al-
Kufi (w. 250 H.) dengan meletakkan al-Sufi dibelakang namanya. Dalam sejarah islam sebelum timbulnya aliran tasawuf, terlebih
dahulu muncul aliran zuhud. Aliran zuhud timbul pada akhir abad I dan permulaan abad II Hijriyyah.
Harun Nasution mencatat ada lima pendapat tentang asal – usul zuhud. Pertama, dipengaruhi oleh cara hidup rahib-rahib Kristen.
Kedua, dipengaruhi oleh Phytagoras yang megharuskan meninggalkan kehidupan materi dalam rangka membersihkan roh. Ajaran
meninggalkan dunia dan berkontemplasi inilah yang mempengaruhi timbulnya zuhud dan sufisme dalam Islam. Ketiga, dipengaruhi
oleh ajaran Plotinus yang menyatakan bahwa dalam rangka penyucian roh yang telah kotor,sehingga bisa menyatu dengan Tuhan
harus meninggalkan dunia. Keempat, pengaruh Budha dengan faham nirwananya bahwa untukmencapainya orang harus
meninggalkan dunia dan memasuki hidup kontemplasi. Kelima, pengaruh ajaran Hindu yang juga mendorong manusia meninggalkan
dunia dan mendekatkandiri kepada Tuhan untuk mencapai persatuan Atman dengan Brahman13[13]
Sementara itu Abu al’ala Afifi mencatat empat pendapat para peneliti tentang faktor atau asal –usul zuhud. Pertama, berasal dari
atau dipengaruhi oleh India dan Persia. Kedua, berasal dari atau dipengaruhi oleh askestisme Nasrani. Ketiga, berasal atau
dipengaruhi oleh berbagai sumber yang berbeda- beda kemudian menjelma menjadi satu ajaran. Keempat, berasal dari ajaran Islam.
Untuk faktor yang keempat tersebut Afifi memerinci lebih jauh menjadi tiga : Pertama, faktor ajaran Islam sebagaimana terkandung
dalam kedua sumbernya, al-Qur’an dan al-Sunnah. Kedua sumber ini mendorong untuk hidup wara’14[14], taqwa dan zuhud.
Kedua, reaksi rohaniah kaum muslimin terhadap system sosial politik dan ekonomi di kalangan Islam sendiri,yaitu ketika Islam
telah tersebar ke berbagai negara yang sudah barang tentu membawa konskuensi – konskuensi tertentu,seperti terbukanya
kemungkinan diperolehnya kemakmuran di satu pihak dan terjadinya pertikaian politik interen umat Islam yang menyebabkan perang
saudara antara Ali ibn Abi Thalib dengan Mu’awiyah,yang bermula dari al-fitnah al-kubraI yang menimpa khalifah ketiga, Ustman
ibn Affan (35 H/655 M). Dengan adanya fenomena sosial politik seperti itu ada sebagian masyarakat dan ulamanya tidak ingin
terlibat dalam kemewahan dunia dan mempunyai sikap tidak mau tahu terhadap pergolakan yang ada,mereka mengasingkan diri agar
tidak terlibat dalam pertikaian tersebut.
Ketiga, reaksi terhadap fiqih dan ilmu kalam, sebab keduanya tidak bisa memuaskan dalam pengamalan agama Islam. Menurut
at-Taftazani, pendapat Afifi yang terakhir ini perlu diteliti lebih jauh, zuhud bisa dikatakan bukan reaksi terhadap fiqih dan ilmu
kalam, karena timbulnya gerakan keilmuan dalamIslam, seperti ilmu fiqih dan ilmu kalam dan sebaginya muncul setelah praktek
zuhud maupun gerakan zuhud. Pembahasan ilmu kalam secara sistematis timbul setelah lahirnya mu’tazilah kalamiyyah pada
permulaan abad II Hijriyyah, lebih akhir lagi ilmu fiqih,yakni setelah tampilnya imam-imam madzhab, sementara zuhud dan
gerakannya telah lama tersebar luas didunia Islam15[15].
Menurut hemat penulis,zuhud itu meskipun ada kesamaan antara praktek zuhud dengan berbagai ajaran filsafat dan agama
sebelum Islam, namun ada atau tidaknya ajaran filsafat maupun agama itu, zuhud tetap ada dalam Islam. Banyak dijumpai ayat al-
Qur’an maupun hadits yang bernada merendahkan nilai dunia, sebaliknya banyak dijumpai nash agama yangmemberi motivasi
beramal demi memperoleh pahala akhirat dan terselamatkan dari siksa api neraka (QS.Al-hadid :19),(QS.Adl-Dluha : 4),(QS. Al-
Nazi’aat : 37 – 40).
E. pembagian ilmu Tasawuf
1. Tasawuf Qur’ani
Karena tasawuf merupakan jalan menuju Allah,untuk mendekatkan diri kepada Allah,maka rujukan pertama dan terutama yang
harus dilihat adalah Alqur’an yang merupakan surat cinta dari Allah untuk umat manusia. Dengan memahami nilai-nilai yang ada
dalam Alqur’an dan mengaplikasikannya dalam kehidupan maka di harapkan seseorang itu akan lebih dekat dengan Allah. Tasawuf
yang mengacu kepada nilai-nilai alqur’an dalam usahanya untuk mendekatkan diri kepada Allah disebut Tasawuf Qur’ani.
Sahl at-Tusturi pernah mengatakan: “Pokok ajaran kami adalah berpegang teguh kepada Al-Qur’an, mengamalkan sunnah, makan
makanan yang halal, mencegah menyakiti orang lain, menjauhi yang tidak baik, bertaubat dan menunaikan hak-hak. Lalu Imam an-
Nawawi mengatakan: “Pokok ajaran tarikat tasawuf ada lima: bertakwa kepada Allah baik tersembunyi ataupun terang-terangan,
mengikuti sunnah baik perkataan ataupun perbuatan, berpaling dari akhlak tercela dihadapan atau dibelakang, ridha terhadap
pemberian Allah sedikit ataupun banyak dan kembali ke jalan Allah dalam suka dan duka. Imam Ahmad pun menasihati anaknya
(Abdullah bin Ahmad): “Wahai anakku wajib bagimu duduk bersama mereka, yaitu suatu kaum yang dapat memberikan kepada kita
banyaknya ilmu, taqarrub kepada Allah (murâqabah), timbulnya rasa takut, hidup zuhud dan tingginya cita-cita, seraya beliau
mengatakan: “Lâ a’lamu aqwâman afdhalu minhum” (aku tidak tahu ada kaum yang lebih utama daripada mereka).” (Sayyid al-
Murâbith bin Abdurrahman al-Abyîri, Al-Firaqul Islâmiyyah bainal Qadîm wal Hadîts, 2007, hal. 148)
2. Tasawuf Sunni
Asketisme(zuhud) adalah cikal bakal tumbuhnya tasawuf,sedangkan kemunculan asketisme sendiri adalah bersumber dari ajaran
islam. Pemahaman dan pengalaman asketisme yang berkembang sejak abad pertama hijriah,benar-benar berdasarkan islam,baik yang
bersumber dari Alqur’an,Sunnah maupun kehidupan sahabat nabi.
Asketisme yang tadinya tidak lebih dari sesuatu yang bersifat praktis dalam kehidupan,kemudian berkembang menjadi konsep-
konsep yang sistematis-teoritis dengan tetap berpegang teguh kepada Alqur’an dan Sunnah serta kehidupan para sahabat. Di sisi
lain,asketisme sebagai ide yang berakar pada ajaran islam,lebih terfokus pada pembicaraan dan pembinaan moral,baik moral kepada
Allah maupun moral kepada diri sendiri serta kepada sesama umat manusia.
Sulit dipastikan waktu yang tepat tentang kapan peralihan asketisme ke sufisme,tetapi yang pasti,bahwa sufisme yang awal adalah
sufisme yang tetap konsisten dan komitmen dengan prinsip-prinsip islam. Oleh karena sifat-sifatnya yang demikian maka tasawuf
tipe yang awal dapat diterima sebagian besar ulama terutama para ulama yang tergolong Ahlusunnah. Inilah salah satu sebab tasawuf
tipe ini dinamakan tasawuf sunni.
Yang dimaksud tasawuf sunni adalah tasawuf yang dibatasi sumber pengambilannya dari kitabullâh dan sunnah, dimana mereka
menyelaraskan segala sesuatu atas pertimbangan keduanya. Maka tidak salah kalau dikatakan pertimbangan tasawufnya adalah
pertimbangan syari’ah.Bermula dari hidup zuhud, lalu menjadi seorang shûfi dan berhenti pada akhlak. Gambaran puncak tasawuf ini
disempurnakan oleh Abu Hamid al-Ghazali, maka jadilah tasawuf ini bagian dari thariqat ahlus sunnah wal jama’ah.Sejauh mana
tasawuf ini menjadikan sumber ajaran?, kalaulah istilah ini disetujui, maka akan ditemukan ayat-ayat Al-Qur’an yang mengisyaratkan
bahwa ‘negeri akhirat lebih baik dibandingkan dunia.’ Demikian pula dengan hadits-hadits Rasulullah mengenai pentingnya zuhud,
dimana zuhud merupakan elemen dasar (the basic element) metodologi umum pendidikan seorang muslim. (Lihat Muhammad as-
Sayyid al-Galind dalam Min Qadhaya at-Tasawuf fî Dhauil Kitâb was Sunnah)
Diantara sufi yang berpengaruh dari aliran tasawuf sunni dengan pokok-pokok ajarannya ialah sebagai berikut
a. Hasan Al Bashri
Dasar pendiriannya yang paling utama adaalah zuhud terhadap kehidupan dunawi sehingga ia menolak segala kesenangan
dan kenikmatan duniawi.
b. Rabiah Al Adawiyah
Ia merupakan orang pertama yang mengajarkan al hubb dengan isi dan pengertian yang khas tasawuf.Cinta murni kepada
Tuhan merupakan puncak ajarannya dalam tasawuf yang pada umumnya dituangkan melalui syair-syair dan kalimat-kalimat
puitis.
c. Dzu Al Nun Al Misri
Jasanya yang paling besar dan menonjol dalam dunia tasawuf adalah sebagai peletak dasar tentang jenjang perjalanan sufi
menuju Allah,yang disebut Al maqomat. Beliau banyak memberikan petunjuk arah jalan menuju kedekatan dengan Allah sesuai
dengan Pandangan sufi.
d. Abu Hamid Al-Ghazali
Inti tasawuf Al Ghazali adalah jalan menuju Allah atau ma’rifatullah. Oleh karena itu,serial Al maqomat dan al
ahwal,pada dasarnya adalah rincian dari metoda pencapaian pengetahuan mistis.
3. Tasawuf ‘Amali
Yang disebut tasawuf ‘amali adalah Keseluruhan rangkaian amalan lahiriah dan latihan olah batiniah dalam usaha untuk
mendekatkan diri kepada Allah,yaitu dengan melakukan macam-macam amalan yang terbaik serta cara-cara beramal yang paling
sempurna. Menurut para sufi,ajaran agama itu mengandung dua aspek,lahiriah dan bathiniyah. Secara rinci,kedua aspek tersebut
dibagi kedalam empat bidang sebagai berikut:
a. Syari’at,diartikan sebagai kualitas amalan lahir formal yang ditetapkan dalam ajaran agama melalui Alqur’an dan Sunnah.
Syari’at adalah hukum-hukum formal atau amalan lahiriah yang berkaitan dengan anggota jasmaniah manusia,sedangkan
syari’at sebagai fiqih dan syari’at sebagai tasawuf tidak dapat dipisahkan karena yang pertama adalah sebagai wadahnya dan
yang kedua sebagai isinya. Kerna itu ditegaskan, Seorang yang salik tidak mungkin memperoleh ilmu batin tanpa mengamalkan
secara sempurna amalan lahiriahnya.
b. Thariqot,kalangan sufi mengartikan thariqat sebagai seperangkat serial moral yang menjadi pegangan pengikut tasawuf dan
dijadikan metoda pengarahan jiwa dan moral.
c. Hakikat,dalam dunia sufi hakikat diartikan sebagai aspek bathin dan dari syari’at,sehingga dikatakan hakikat adalah aspek yang
paling dalam dari setiap amal,inti dan rahasia dari syariat yang merupakan tujuan perjalanan suluk.
d. Ma’rifat,berarti pengetahuan atau pengalaman. Dalam istilah tasawuf,diartikan sebagai pengenalan langsung tentang Tuhan yang
diperoleh melalui hati sanubari sebagai hikmah langsung dari ilmu hakikat.
Ada pula pendapat yang menyatakan bahwa Yang dimaksud tasawuf ‘amali, adalah pola tasawuf yang dilakukan para penganut
tarekat (ashhâbut turuq) seperti mengedepankan mujâhadah, menjauhkan sifat tercela, memutuskan hubungan dengan yang lain dan
menghadap Allah dengan sepenuh cita-cita.
Dalam pelaksanaannya, ada beberapa kaidah dan adab yang dirinci secara klasikal seperti hubungan murid dengan gurunya, ‘uzlah,
khalwat, al-jû’ (berlapar-lapar), as-sahr (bermalam-malam/ begadang), as-shumt (berdiam diri) dan dzikir
4. Tasawuf Akhlaqi
Pada mulanya tasawuf itu ditandai dengan ciri-ciri psikologis dan moral,yaitu pembahasan analisis tentang jiwa manusia dalam
upaya menciptakan moral yang sempurna. Dalam pandangan sufi,ternyata manusia depedensia kepada hawa nafsunya. Manusia
dikendalikan oleh dorongan-dorongan nafsu pribadi,bukan manusia yang mengendalikan hawa nafsunya. Kenikmatan hidup di dunia
menjadi tujuan,bukan lagi sebagai jembatan emas menuju kebahagiaan sejati.efek dari pandangan hidup seperti ini emnuju kearah
pertentangan manusia dengan sesama manusia,sikap ethnosentrisme,egoisme,persaingan tidak sehat,sehingga manusia lupa kepada
eksistensialnya sebagai hamba Allah. Karena ekspresi manusiawinya sebagian besar dihabiskan untuk persoalan-persoalan
duniawi,menyebabkan ingatan dan perhatiannya jauh dari Tuhan.
Menurut orang sufi,Untuk merehabilitir sikap mental yang tidak baik tidak akan berhasil apabila terapinya hanya dari aspek
lahiriah saja. Itulah sebabnya,pada tahap-tahap awal memasuki kehidupan tasawuf,seorang kandidat diharuskan melakukan amalan
dan latiha yang cukup berat,tujuannya adalahuntuk menguasai hawa nafsu,untuk menekan hawa nafsu sampai ke titik terendah dan
bila memungkinkan mematikan hawa nafsu itusama sekali.
Sistem pembinaan akhlak itu mereka susun sebagai berikut:
a. Takhalli,yakni mengosongkan diri dari sikap ketergantungan terhadap duniawi
b. Tahalli,membiasakan diri dengan sifat dan sikap serta perbuatan yang baik
c. Tajalli,terungkapnya nur gaib bagi hati
d. Munajat,melaporkan diri kehadirat Allah atas segala aktifitas yang dilakukan
e. Zikrul maut,ingatan yang berkepanjangan tentang mati akan memancing rasa keTuhanan yang semakin dalam.
5. Tasawuf Salafi
Yang dimaksud tasawuf salafi adalah tasawuf yang digagas oleh sekumpulan tokoh ulama salaf seperti Ibnu Taimiyyah dan
muridnya Ibnu Qayyim al-Jauziyyah. Corak tasawuf ini menyerupai tasawuf sunni dalam segala urusannya, terutama dalam
pentingnya berpegang terhadap kitâbullah dan sunnah, serta dalam hal tercelanya faham ittihad, hulul, wihdatul wujud, maqâmat dan
ahwal.
Sebenarnya, istilah tasawuf salafi merupakan istilah pembelaan dari kelompok shûfi yang ingin menegaskan bahwa tidak benar
orang yang berpendapat bahwa sumber tasawuf itu berasal dari luar Islam dengan mengedepankan Ibnu Taimiyyah dan Ibnu Qayyim
sebagai tokoh penggagasnya, sehubungan keduanya merupakan tokoh puritanisme Islam.
Hal ini dapat dilihat dari pembelaan Syaikh Muhammad Zaki Ibrahim (pendiri dan syaikh tarikat al-‘Asyirah al-Muhammadiyah
al-Syadziliyyah dan komisi pembaruan sufi serta ikatan tarikat-tarikat yang ada di Mesir). Menurutnya: “Dasar-dasar tasawuf terdapat
dalam Al-Qur’an dan sunnah. Hal ini tak dapat dipungkiri, bahkan oleh mereka yang agak minim tentang Islam. Tak ada seorang pun
dari kalangan Muslim yang mengatakan bahwa Al-Qur’an adalah hasil kutipan dari kitab suci Budha, Majusi, dan Rahbaniyyah.
Pendapat yang mengatakan bahwa tasawuf bersumber dari ajaran selain Islam adalah sebuah pendapat yang sembrono, berlebih-
lebihan dan penuh kebohongan.Jika yang dimaksud dengan tasawuf adalah filsafat yang asing dari akidah dan syari’at, maka hal
tersebut memang benar, namum filsafat tersebut tidak ada hubungannya dengan tasawuf Islami.Jika ada yang menjadikan mereka
(para ahli filsafat) sebagai dasar untuk menghujat dan menghukumi kesesatan tasawuf dengan sebab kesesatan perilaku beberapa
oknum yang mengatas namakan tasawuf, maka hal tersebut merupakan sebuah pemutar balikan fakta yang sebenarnya. Menghukumi
seseorang atas kesalahan orang lain adalah satu perbuatan yang tercela.” (Lihat Muhammad Zaki Ibrahim, Tasawuf Salafi, 2002,
hal.13)
6. Tasawuf Falsafi
Yang dimaksud dengan tasawuf falsafi adalah yang bercampur didalamnya antara dzauq shûfiyyah dan nadzhar ‘aqliyyah
(perasaan terdalam kaum shûfi dan nalar akal/ filsafat) dengan sumber yang berbeda-beda.Ini merupakan pendapatnya Abul Wafa’ al-
Ghanîmi at-Taftâzani, sedangkan DR.‘Ali Sami an-Nasyâr berpendapat bahwa tasawuf ini merupakan campuran antara makna-makna
Islam dan falsafat kuno yang dalam falsafat zhahirnya Islami, sementara dalamnya tidak Islami.(Sayyid Muhammad ‘Aqîl, hal. 12).
Para penganut tasawuf macam ini diantaranya adalah Suhrawardi al-Maqtûl (550-580 H.), Ibnu ‘Arabi (560-638 H.), Ibnu Sab’in
(614-669 H.) dan yang lainnya.
Berkembangnya tasawuf sebagai jalan dan latihan untuk merealisir kesucian batin dalam perjalanan menuju kedekatan dengan
Allah,juga menarik perhatian para pemikir muslim yang berlatar belakan teologi dan filsafat.dari kelompok inilah yang tampil
sebagai sufi yang filosofis dan filosof yang sufis. Konsep-konsep tasawuf mereka disebut tasawuf falsafi yakni tasawuf yang kaya
dengan pemikiran-pemikiran filsafat. Ajaran filsafat yang paling banayak di pergunakan dalam analisis tasawuf adalah paham
emanasi neo platonisme dalam semua variasinya.
Selain Abu Yazid Al Bhustami ,tokoh teosofi yang populer dalam kelompok ini dapat ditunjuk Masarrah(w.381 H) dari Andalusi
dan sekaligus sebagai perintis.berdasarkan pemahamannya tentang teori emanasi ia berpendapat,bahwa melalui jalan tasawuf
manusia dapat membebaskan jiwanya dari cengkeraman badani (materi) dan memperoleh sinar ilahi secara langsung (ma’rifat sejati).
orang kedua yang mengkombinasikan teori filsafat dengan tasawuf dapat disebut Suhrawardi al Maqtul(w.578 H) yang
berkebangsaan Persia atau Iran. Berangkat dari teori emanasi Ia berpendapat,bahwa dengan melalui usaha keras dan sungguh-
sungguh seperti apa yang dilakukan para sufi,seseorang dapat membebaskan jiwanya dari perangkap ragawi untuk kemudian dapat
kembali ke pangkalan pertama yakni alam malakut atau alam ilahiyat. Konsepsi lengkap teori ini kemudian dikenal dengan nama al
Isyraqiyah yang ia tuangkan dalam karya tulisnya al Hikmatul Isyraqiyah. Bersumber dari prinsip yang sama al Hallaj (w.308 H)
memformulasikan teorinya dalam doktrin al Hulul, yakni perpaduan insan dengan Tuhan secara Rohaniyah atau antara Mahluk
dengan Al Khaliq.
F. Sumber-Sumber Tasawuf
Al-Qur`an dan Al-Hadits merupakan kerangka acuan pokok yang selalu dipegang umat Islam. Kita sering mendengar pertanyaan dalam
kerangka landasan dalil naqli ini, “apa dasar Al-Qur`an dan Al-Hadits nya?” pertanyaan ini sering terlontar dalam benak pikiran kaum muslimin
ketika hendak menerima atau menemukan persoalan-persoalan baru atau persoalan-persoalan unik yang mereka temui, termasuk dalam
pembahasan tasawuf.[5] Berikut ini merupakan sumber-sumber tasawuf.
1. Al-Qur`an
Al-Qur`an adalah kalam Allah yang tiada tandingannya (mukjizat), diturunkan kepada Nabi Muhammad SAW., penutup para Nabi dan
Rasul dengan perantaraan Malaikat Jibril, dimulai dengan surat Al-Fatiha dan di akhiri dengan surat An-Naas, dan ditulis dalam mushaf-mushaf
yang disampaikan kepada kita secara mutawatir (oleh orang banyak), serta mempelajarinya merupakan suatu ibadah.[6] Dalam Islam Al-Qur`an
adalah hukum tertinggi yang harus ditaati, mengingat bahwa Al-Qur`an merupakan firman Allah yang langsung ditransferkan untuk umat
manusia yang sudah melengkapi kitab-kitab samawi sebelumnya. Berikut-berikut dalil-dalil Al-Qur`an tentang tasawuf, diantaranya:
2. Al-Hadits
Hadits yang jamaknya ahadits memiliki padanan kata yang cukup beragam. Dari sisi bahasa, hadits dapat diartikan baru sebagai lawan
dari kata qadim (yang berarti lama, abadi dan kekal). Pengistilahan hadits sebagai ucapan, perbuatan, taqrier dan hal ihwal tentang Nabi
Muhammad dimaksudkan untuk membedakan hadits dengan Al-Qur`an yang diyakini oleh ahlus sunnah wal jama`ah sebagai firman Allah yang
qadim.
Sebagaimana yang diketahui bahwa Al-Hadits merupakan sumber hukum Islam yang kedua. Sehingga dalam kajian ilmu keagamaan pun
Al-Hadits tetap menjadi rujukan setelah Al-Qur`an. Berikut akan diuraikan hadits-hadits mengenai tasawuf, mengingat dalam tasawuf hadits
juga tergolong sumber kedua.
G. Istilah-istilah Tasawuf
Sesunggulmya tiap kelompok ulama memiliki beberapa istilah yang dipakai secara khusus. Pemakaian itu memiliki ciri tersendiri dan
terpisah dari lainnya. Mereka menciptakannya melalui kesepakatan pendefinisian yang mufakat untuk tujuan-tujuan mereka sendiri, seperti
pendekatan pemanaman pada sasaran dialog atau mendudukkan makna suatu istilah di atas garis yang sepadan.

Istilah-istilah yang mereka pakai berkaiatan dengan permasalahan mereka; ditujukan untuk menyingkap arti suatu masalah bagi
kepentingan diri mereka; dan menutup para penentang ajar-an mereka, sehingga makna istilah yang terpakai secara khusus itu menjadi tertutup
bagi pihak-pihak lain dan sumber kecemburuan penyingkapan rahasia bagi kelompok-kelompok lainnya. Hal itu dikarenakan tak ada hakikat
yang terkumpul satu macam beban hukum atau terperoleh dengan hanya dengan satu langkah perjuangan; justru makna itu telah disediakan
Allah dalam hati suatu kaum dan menjernihkan hakikat beberapa rahasianya.

Kami di sini ingin menjelaskan makna istilah-istilah itu untuk mempermudah pemanaman bagi orang yang menekuni dan mendalami arti
kehidupan orang yang berlaku batin (riyadhah) di dunia tharigah dan tasawuf.’
1. WAKTU
Hakikat waktu menurut ahli hakikat adalah kejadian atau peristiwa yang akan terjadi. Kejadiannya selalu digantungkan pada yang sedang
terjadi yang sedang terjadi merupakan waktu (sambungan) bagi peristiwa yang akan terjadi. jika Anda mengatakan, “Penggalan pertama suatu
bulan akan mendatangimu”, maka kedatangan itu merupakan sesuatu yang akan datang, sedangkan penggalan pertama suatu bulan adalah keja-
dian yang pasti sedang terjadi (selalu terjadi). jadi, penggalan pertama suatu bulan adalah waktu yang akan terjadi.
Saya (Asy-Syaikh) pernah mendengar Abu Ali Ad-Daqaq (gurunya), semoga Allah merahmatinya, berkata, “Waktu adalah apa yang
engkau sedang di dalamnya.” Berarti, jika Anda. Di dunia, maka dunia itu waktumu. jika Anda di ujung akhir waktu, maka di situ pulalah
waktumu. Anda bergembira, maka gembira itu sendiri waktumu. Anda bersedih, maka kesedihan itu waktumu. Maksud dari ini semua adalah
waktu merupakan sesuatu yang mengalahkan dan menguasai manusia.
Kebanyakan orang mengartikan waktu dengan sesuatu yang berada di putaran zaman. Suatu kaum pernah berkata, “Waktu adalah sesuatu
di antara dua zaman.” Yakni, masa lalu dan yang akan datang (mengapit waktu sekarang).
“Seorang sufi adalah, anak zaman,” kata segolongan ulama sufi. Maksudnya, dia adalah orang yang sibuk dengan sesuatu yang diutamakan saat
bekerja; menekuni sesuatu yang menjadi tuntutan-tuntutan hidupnya di saat sedang melaksanakannya. Dikatakan pula, “Kesibukan dengan
hilangnya waktu lampau menyia-nyiakan waktu kedua.”
Kaum sufi mengartikan, waktu sebagai sesuatu yang mempertemukan mereka secara kebetulan (tanpa rancangan) dari rantai zaman
(durasi waktu yang dikendalikan Al-Haqq), tanpa mereka bebas memilihnya untuk diri mereka. “seseorang dengan hukum waktu,” kata kaum
sufi. Artinya, dia pasrah pada sesuatu gaib yang tampak tanpa punya kemampuan memilihnya. Dia dalam sesuatu yang bagi Allah tidak
memiliki masalah; atau ketentuan dengan kebenaran syar’i. Kalau begitu, penyia-nyiaan sesuatu yang engkau telah diperintahkannya,
pemindahan sesuatu yang di dalamnya sudah ada ketentuan, dan meninggalkan perhatian pada sesuatu yang terjadi dari dirinya karena
pengurangan adalah bentuk sikap keluar dari agama.
Waktu ibarat pedang. Sebagaimana pedang yang mampu memenggal, maka begitu pula dengan waktu. Dengan “keberlaluan”, waktu
adalah kepastian dan dengan “sedang” atau “yang akan datang waktu mengalahkan.
Mata pedang itu amat lembut dan tajam. Keberadaannya memiliki fungsi ganda. Jika seseorang memperlakukannya secara lembut, ia
akan selamat; dan jika sebahknya, ia akan tercerabut dari akarnya. Demikian pula dengan waktu. Bagi seseorang yang patuh pada hukum waktu,
ia akan selamat; dan bagi yang menentangnya, maka waktu akan berbahk menjadi bumerang dan melemparkan pemihknya.
Barangsiapa yang bekerja sama dengan waktu, maka waktu akan menjadi mihknya; dan jika ia menghabiskannya, maka waktu akan
memurkainya.
Saya (Asy-Syaikh) pernah mendengar Abu Ali Ad-Daqaq berkata, “Waktu adalah sesuatu yang membekukan dan dapat menggundulimu,
tapi tidak membantahmu.” Artinya, seandainya waktu menghapus dan melenyapkanmu, maka seketika itu pula kamu pasti telanjang dan sirna.
Namun, waktu tidak berbuat demikian. la hanya mengambil sebagian usiamu, tidak menghapus keseluruhan hidupmu.
Orang yang berakal adalah manusia yang mampu mempergunakan waktunya secara bijak. Jika waktunya cerah dan menegakkan, maka dia akan
menegakkannya dengan syariat; dan jika waktunya terhapus, maka yang mengalahkannya adalah hukum hukum. hakikat (suatu ungkapan yang
mengartikan bahwa seseorang yang tenggelam dan hanyut dari kesadaran dirinya dan orang lain, maka dia disibukkan hanya dengan Al-Haqq
dan terlepas dari makhluk.
2. AL-MAQAM
Al-Maqam (untuk selanjutnya menggunakan kata“maqam” dengan membuang kata “Al”) adalah sebuah istilah dunia sufistik Yang
menunjukkan arti tentang suatu nilai etika yang akan diperjuangkan dan diwujudkan oleh seorang salik (seorang hamba perambah kebenaran
spiritual dalam praktek ibadah) dengan melalui beberapa tingkatan mujahadah secara gradual; dari suatu tingkatan laku batin menuju pencapaian
tingkatan maqam berikutnya dengan sebentuk amalan (mujahadah) tertentu; sebuah pencapaian kesejatian hidup dengan pencarian yang tak
kenal lelah, beratnya syarat, dan beban kewajiban yang harus dipenuhi. Ketika itu, seseorang yang sedang menduduki atau memperjuangkan
untuk menduduki sebuah maqam (proses pencarian) harus, menegakkan nilai-nilai yang terkandung dalam maqam yang sedang dikuasainya.
Karena itu, dia akan selalu sibuk dengan berbagai riyadhah.
Seseorang tidak akan mencapai suatu maqam dari maqam sebelumnya selama dia belum memenuhi ketentuan-ketentuan, hukum-hukum,
dan syarat-syarat maqam yang hendak dilangkahinya atau yang sedang ditingkatkannya. Orang yang belum mampu bersikap qana’ah (maqam
qanaah, yaitu kondisi batin yang puss atas pemberian Allah, meski amat kecil), sikap pasrahnya (tawakal atau maqam tawakal), tidak sah; orang
yang belum mampu berpasrah diri pada Tuhan, penyerahan totahtas dirinya (kemushmannya) tidak sah; orang yang belum tobat, penyesalannya
tidak sah; dan orang yang belum. wira’i (sikap hati-hati dalam penerapan hukum), ke-zuhudannya tidak sah. Berarti, maqam zuhud, umpamanya,
tidak mungkin tercapai sebelum pelakunya itu sudah mewujudkan sikap wira’i (maqam wira’i).
Maqam, arti yang dimaksud adalah penegakan atau aktuahsasi suatu nilai moral; sebagaimana al-madkhal (tempat masuk), penunjukan
artinya memusat pada makna proses pemasukan; dan al-makhraj (tempat keluar) mengacu pada arti proses pengeluaran. Karena itu, keberadaan
maqam seseorang tidak dianggap sah kecuali dengan penyaksian kehadiran Allah secara khusus dalam nilai maqam yang diaktualkannya,
mengingat sahnya suatu bangunan perintah Tuhan hanya berdiri di atas dasar yang sah pula.
Saya pernah mendengar Asy-Syaikh Abu Ali Ad-Daqaq, semoga Allah merahmatinya, berkata, “Ketika Al-Wasithi memasuki Kota
Naisabur, dia sertanya pada para pengikut Abu Utsman, ‘Apa yang diperintahkan guru kalian?’
Beliau memerintahkan kami supaya berpegang teguh pada sikap taat dan selalu memandangnya kurang (meski sudah bersikap taat secara
optimal).’
‘Sebenarnya guru kalian hanya memerintahkan ajaran Majusi,’ sanggah Al-Wasithi,’Mengapa dia tidak memerintahkan kalian peniadaan
diri pada pengakuan aktualisasi ketaatan (al-ghibah) dengan memandangnya sebagai pertumbuhan yang wajar dan tempat proses aliran ketaatan
yang ternisbatkan hanya pada Allah.”‘
Sesungguhnya maksud Al-Wasithi berbicara demikian adalah untuk menjaga mereka dari sikap heran pada dirinya sendiri (karena sudah
merasa menjalankan nilai-nilai ketaatan, yaitu ujub dalam ibadah); supaya tidak tenggelam dalam perasaan selalu kurang atau membiarkan
gangguan kelembutan etika ibadah tetap berjalan. Itu adalah peniadaan diri dengan pengadaan Diri Allah dalam segala aktivitas.
3. AL-HAL
Al-Hal atau Hal (keadaan) menurut kaum sufi adalah makna, nilai atau rasa yang Nadir dalam hati secara otomatis, tanpa unsur
kesengajaan, upaya, latihan, dan pemaksaan, seperti rasa gembira, sedih, lapang, sempit, rindu, gehsah, takut, gemetar, dan lain-lainnya.
Keadaan-keadaan tersebut merupakan pemberian, sedangkan maqam adalah hasil usaha. Hal (keadaan) datang dari Yang Ada dengan sendirinya,
sementara maqam terjadi karena pencurahan perjuangan yang terus-menerus; pemilik maqam memungkinkan menduduki maqamnya secara
konstan, sementara pemilik hal sering mengalami naik-turun (berubah-ubah) keadaan hatinya.
Salah seorang guru sufi berkata, “Hal ibarat kilat, jika hal itu tetap, maka dia menjadi suara hati.”
Para guru sufi menyatakan bahwa hal, sebagaimana namanya, menunjukkan arti tentang sesuatu (rasa, nilai, getaran) yang menguasai hati
kemudian hilang.
seandainya hal tidak menguasai hati maka dia tidak dinamakan hal setiap yang bersifat keadaan (hal) maka dia pasti hilang (bergeser) lihatlah
bayang-bayang ketika sesuatu berhenti dia selalu menjadikannya berkurang ketika sesuatu itu memanjang Sementara kaum lain memberi isyarat
tentang ketetapan dan kestabilan hal. Mereka mengatakan, “Sesungguhnya hal ketika tidak bersifat tetap dan berturut-turut, maka dia disebut
kilasan cahaya. Pemihknya tidak sampai pada hal. Ketika sifat itu menjadi kesenantiasaan, maka dia dinamakan hal.”
Sedangkan Abu Utsman Al-Hiri berpendapat bahwa apa yang didirikan Allah kepadaku dalam suatu. hal, lalu aku tidak menyukainya, maka itu
menunjukkan adanya kesenantiasaan rida, sementara rida termasuk jumlah hal.
4. AL-QABDHU DAN AL-BASTHU
Dua istilah tersebut merupakan dua keadaan (hal) setelah seorang hamba terjauhkan (telah melampaui dalam pendakiannya) dari dua
keadaan (hal) yang lain, yaitu khauf (rasa takut) dan raja’ (harapan). Al-qabdhu (tercekam yang melebihi ketakutan seorang hamba membuat
dirinya seolah-olah “tergenggam” dalam bayangan kebesaran dan ancaman Allah) bagi seorang yang telah mencapai derajat ma’rifat (al-‘aril),
kedudukannya sama dengan al-khauf bagi seorang musta’nif (pemula, yaitu istilah bagi seorang hamba yang baru menjalani laku batin atau
memasuki dunia sufi atau thanqah). Begitu juga dengan al-basthu bagi al-‘aril kedudukannya sederajat dengan ar-raja’ bagi al-mustdnif-
Adapun perbedaan antara al-qabdhu dan al-basthu dengan al-khauf dan ar-raja’ terletak pada tingkat kualitas dan kuantitas pendakian seorang
hamba dalam pencapaian derajat ma’rifatullah. Al-khauf merupakan sesuatu yang hanya terjadi di masa yang akan datang. Mungkin
ketakutannya (al-khauj) itu berupa kekhawatiran akan kehilangan sesuatu yang dicintainya atau kehadiran sesuatu yang ditakutinya. Demikian
pula dengan ar-raja’, kejadiannya berupa keinginan (cita-cita) akan terwujudnya sesuatu yang dicintainya (diharapkannya) atau mewaapadai
(dengan harapan) hilangnya sesuatu yang dibenci dan keterpehharaan al-musta’nif dari yang dibencinya.
Sedangkan al-qabdhu merupakan makna atau nilai spiritual yang terjadi pada saat kejadiannya (bukan masa yang akan datang dan
lampau, tapi sekarang, yaitu saat sesuatu itu terjadi) itu berlangsung. Hal itu juga berlaku pada al-basthu. Orang yang mengalami al-khauf dan
aR-raja’, hatinya akan selalu bergantung dalam dua keadaan pada sesuatu yang akan terjadi atau yang dimaksudkannya. Sedangkan orang yang
mengalami al-qabdhu dan al-basthu, waktunya diambil dengan kehadiran al-warid (yaitu, sesuatu yang datang atau kehadiran suasana batin yang
mendominasi jiwa seseorang, seperti rasa al-qabdhu dan al-basthu itu sendiri. Dalam proses berikutnya, sifat-sifat orang yang mengalami al-
qabdhu dan al-basthu berbeda-beda menurut perbedaannya dalam al-hal. Barangsiapa yang kehadiran al-warid, maka dia diwajibkan menjadi
genggaman, namun masih tetap terbenam pada sesuatu yang lain, karena dia belum memenuhinya; sementara orang yang terkondisikan dalam
genggaman (tercekam dalam ketakutan yang sangat karena Allah), maka dia tidak terbenam (terpengaruh) pada selain yang “hadir” (al-warid)
dalam hatinya, karena keseluruhan dirinya sudah terambil (terkuasai) dengan kehadiran yang “hadir” (berupa rasa ketakutan atau alqabdhu yang
menguasai jiwa seseorang secara total membuatnya tak terpengaruh dengan ketakutan bentuk lain selain Allah, sehingga dirinya sepenuhnya
terkuasai oleh sifat “Qabidh”-Nya, yaitu sang penggenggam
Demikian pula dengan hamba yang terlapangkan (Al Mabsuth) Dalam kondisi demikian, kelapangan atau kegembiraan Yang
memperluas atau melapangkan kemakhlukannya tidak membuatnya merasa jijik pada sesuatu (di matanya segalanya terasa lapang dan
inenyenangkan). Hamba yang mabsuth tidak akan terpengaruh oleh sesuatu yang berkaitan dengan hal (keadaan yang mengkondisikan suasana
batinnya).
Saya pernah mendengar Ustaz Abu Ali Ad-Daqaq, semoga. Allah merahmatinya, berkata, “Sejumlah orang pernah mengunjungiAli Abu Bakar
Al-Qahthi, seorang ulama sufi yang zahid. Dia mempunyai seorang putra laki-laki yang mengambil sesuatu yang biasa diambil anak-anak
(berupa sesuatu. yang jelek tapi halal). Anak ini sedang berada di pintu masuk. Ketika dia tenggelarn dalam permainan bersama kawan-
kawannya, pengunjung tersebut terenyuh dan prihatin melihat keadaan Al-Qahthi, lalu bergumam,’Miskin …. Guru ini benar-benar miskin.
Bagaimana dia sampai tega menguji anaknya dengan sesuatu yang jelek (menyakitkan dan berat).’Begitu masuk di kediaman Al-Qahthi,
pengunjung itu tidak menemukan satu pun alat penghibur (sarana dan fasilitas hidup) di dalamnya, sehingga membuatnya tambah heran dan
berkata,’Sungguh aku menjadikan diriku sebagai tebusan bagi orang (Al-Qahthi) yang gunung pun tidak akari mampu mempengaruhi.‘
Kemudian Al-Qahthi menjawab, ‘Sesungguhnya kami dalam kehanyutan beribadah telah dibebaskan dari belenggu (ketergantungan hati)
sesuatu.”‘
Di. antara unsur-unsur terdekat yang mengharuskan kehadiran suasana al-qabdhu adalah kehadiran al-warid (mungkin berupa kesadaran
emosi keagamaan atau suasana batin yang menyiratkan kesan makna khauf, segan, dan tercekam terhadap Allah) pada hati seorang hamba yang
memunculkan isyarat kecaman (teguran dan kritikan terhadap diri sendin dalam rangka penyempurnaan kehidupan keagamaannya) atau lambang
(isyarat perbaikan moral) kritikan diri yang melangkah pada perbaikan diri hamba, sehingga dalam hati tidak terjadi lagi keharusan al- qabdhii
(mengalami peningkatan inaqain setelah al-qabdhu).
Kadang-kadang beberapa al-warid yang mengharuskan kehadiran isyarat (makna atau dorongan) pendekatan diri pada Allah, atau
kelembutan (kepekaan) rasa dan kelapangan dapat memunculkan terjadinya al-basthu (kelapangan) dalam hati. Karena itu, dalam rantai kesatuan
rasa, kehadiran al-qabdhu bagi setiap hamba terjadi menurut sifat al-basthunya; begitu juga dengan albasthu, kehadirannya tergantung al-qabdhu
5. AL-HAIBAH DAN AL-ANASU
Posisi kedua maqam ini berada di atas derajat (maqam) alqabdhu dan al-basthu; sementara al-qabdhu berada di atas al-khauf dan al-
basthu di atas tingkatan ar-raja’. Al-haibah lebih tinggi orang-orang yang mengalami haibah, ke-haibah-annya berbeda-beda menurut perbedaan
mereka dalam ke-ghaib-annya.
Hakikat al-anasu adalah muncul, bangun, sadar bersama Al-Haqq. Setiap salik yang mengalami kesadaran (al-anasu) akan bersinar dan bangkit,
seperti bunga yang sedang mekar; kemudian mereka berbeda-beda (tingkatan kesadarannya) menurut perbedaan mereka dalam “minuman”
(serapan kerohanian). Oleh karena itu, tidaklah heran bila kaum sufi mengatakan bahwa paling rendahnya tingkat kedudukan al-anasu apabila
yang mengalaminya dilemparkan ke api neraka (apalagi api dunia), kemesraannya (al-anasu) bersama Allah tidak akan terkeruhkan (terpenga-
ruh) oleh panasnya api itu.
6. AT-TAWAJUD, AL-WIJDU, DAN AL-WUJUD
Tawajud adalah panggilan rasa cinta yang diperoleh melalui cara ikhtiyar (usaha). Orang yang memilikinya atau mengalami tawajud
tidak mendapatkan wijdu (rasa cinta yang sesungguhnya) karena jika dia mendapatkan wijdu, berarti dia adalah seorang al-wajid atau pecinta
(pecinta Allah sejati).
Bab tafa’ul (bentukan kata yang dianalogi–kan pada kata tafa’ul dalam tata bahasa Arab kebanyakan menunjukkan arti penampak-
nampakan suatu sifat. Padahal sifat yang ditampaktampakkan bukan sifatnya yang sesungguhnya, sebagaimana Yang digambarkan dalam syair
ini:
jika saya menutup kelopak mata saya. tidaklah saya berarti menyempitkan lebaruya pandangan mata saya kemudian saya memecahkan sebelah
mata saya yang sebenarnya tidak picak Sekelompok orang (sebagian kaum sufi) mengatakan, “Tawajud bukanlah orang yang memasrahkan nilai
ke-tawajud-annya (kepura-puraan cintanya) yang memang mengandung unsur pemaksaan (dibuat-buat) dan jauh dari kenyataan.” Sekelompok
sufi yang lain mengatakan, “Sesungguhnya tawajud adalah pemasrahan (rasa cinta) untuk orang-orang polos.. Yang memang butuh dan
menunggu-nunggu kehadiran arti cinta (menunggu kehadiran cinta juga termasuk ikhtiyar dan ikhtiyar masuk katagori pemaksaan).” Abu
Muhammad Al-jariri, semoga Allah merahmatinya, menuturkan hikayatnya yang terkenal:
“Ketika saya (datang untuk) bersama (dalam majelis) Imam Al-Junaid yang di sebelahnya Ibnu Masruq (sudah lebih dulu) menemaninya,
tiba-tiba Ibnu Masruq dan lainnya berdiri menyambut (karena kehadiran sesuatu), sementara Imam Al-Junaid diam dalam posisi semula. Saya
heran lalu sertanya,’Wahai Tuanku, tidakkah Tuan punya sesuatu yang bisa dipakai untuk mendengar?’ Imam Junaid menjawab (dengan
menyitir sebuah petikan ayat): ‘Dan kamu melihat gunung-gunung yang kamu kira (diam) membeku (tidak bergerak), padahal dia bergerak
(seperti) gerakan awan.’ (QS. An-Naml: 88).
Kemudian dia melanjutkan, ‘Dan engkau, wahai Abu Muhammad, tidakkah kamu (juga) punya sesuatu yang bisa dipakai untuk
mendengar?’ Saya pun menjawab, ‘Wahai Tuanku, jika saya Nadir di suatu tempat yang di dalamnya ada (sesuatu) yang bisa didengar juga
terdapat orang-orang yang merasa nikmat dengan ketidaktahuan dirinya (tidak tahu malu, yaitu orang-orang yang mencari perhatian), maka saya
mencegah wijdu (rasa cinta) saya untuk tidak menguasai saya. Jika saya sendirian (kosong), maka saya mengirimkan wijdu saya sehingga saya
menjadi tawajud (orang yang pura-pura punya rasa cinta).’ Pada kesempatan tersebut, saya mengucapkari istilah tawajud, dan Al-Junaid diam
tidak mengingkarinya (berarti, dia membenarkan secara diam).”
Saya pernah dengan Ustaz Abu Ali Ad-Daqaq, semoga Allah merahmatinya, berkata, “Ketika manusia menggembala (me’melihara)
dalam kondisi kependengarannnya, lalu merawat anugerah-anugerah-(Nya), maka Allah pasti (ganti) memehharanya pada waktu bersamaan
karena keberkatan perawatannya.
Sedangkan wijdu (rasa cinta) adalah apa yang menubruk hatimu dan datang kepadamu (kedatangan rasa cinta ke dalam hati) dengan tanpa unsur
sengaja dan pemaksaan (dibuat-buat). Oleh karena itu, para guru sufi mengatakan, “Wijdu adalah tubrukan (hantaman atau sentuhan rasa yang
datang dari luar). Wijdu-wijdu ini merupakan buah dari wirid-wirid (amalan bacaan ayat tertentu atau zikir). Setiap orang yang tugas-tugasnya
(jumlah pengamalan wirid) sertambah, maka akan sertambah (pula) kelembutan-kelembutannya (rahasia-rahasia wirid) yang diperolehnya dari
Allah.”
Ustaz Abu Ali Ad-Daqaq, semoga. Allah merahmatinya, berkata, “Kehadiran waridat (sesuatu yang datang berupa rasa atau prestasi
batin dan warid adalah bentuk mufradnya) berkaitan dengan wirid-wirid (yang diamalkan). Barangsiapa secara zhahir tidak punya (tidak
melakukan) wirid, maka secara batin tidak ada warid yang datang. Setiap wijdu dari pemiliknya yang memiliki sesuatu bukanlah wijdu.
Sebagaimana seorang salik yang membebani dirinya dengan berbagai amalan zhahir (bacaan wirid) yang nantinya akan memperoleh manisnya
taat. Maka dari itu, apa-apa yang membuat seorang salik turun (untuk memposisikan batinnya) dari hukum-hukum batin menjadikan dia harus
mendapatkan sejumlah wijdu. Dengan demikian, rasa manis adalah buah dari amalan-amalan wirid, sedangkan wijdu merupakan hasil dari posisi
(batin) yang diraihnya.”
Adapun wujud keberadaannya setelah kenaikan wijdu. Tidak ada wujud Al-Haqq kecuah setelah padamnya sifat kemanusiaan, karena
tidak ada sifat kemanusiaan yang tetap (eksis atau muncul) ketika kekuasaan yang sesungguhnya (sultan Al-Haqq) muncul. Inilah arti ucapan
Abu Husin An- Nuri: “Saya semenjak dua puIuh tahun antara wijdu dan faqdu (sirna). Artinya, jika saya mendapati Tuhanku, maka saya tidak
mendapati hatiku (sirna atau faqdu). Jika saya mendapati hatiku (eksistensi diri dalam batin), maka saya tidak mendapati Tuhanku.” Pengertian
ini paralel dengan pendapat Imam Al-Junaid: “Ilmu tauhid berbeda-beda menurut keberadaan wujud (seseorang). Wujud-nya (juga) berbeda-
beda menurut ilmunya.”
Seorang penyair sufi mengatakan:
wujud-ku (mengada ketika)
saya melenyapkan Wujud
dengan sesuatu yang tampak padaku berupa persaksian-persaksian

Berarti, tawajud adalah permulaan, wujud adalah pungkasan, dan wijdu merupakan penengah antara permulaan dan pungkasan.
Saya pernah dengar Ustaz Abu Ali Ad-Daqaq mengatakan, “Tawajud mengharuskan salik sadar penuh (paham hukum-hukum Tuhan).
Wijdu mengharuskannya tenggelam, dan wujud mengharuskannya binasa (kehancuran unsur-unsur kemanusiaannya). Hal ini seperti orang yang
menyaksikan lautan, kemudian mengendarai laut, dan akhirnya tenggelam dalam lautan. Urut-an-urutannya adalah tujuan (pelurusan arak
tujuan), kemudian kedatangan, kemudian kesaksian, kemudian ke-wujudan, dan akhirnya kesirnaan. Dengan standar kepenguasaan wujud,
kesirnaan akan berhasil.”
7. AL-JAM’U DAN AL-FARQU
Dua istilah ini berlaku di kalangan ahli sufi. Ustaz Abu Ali Ad-Daqaq pernah mengatakan, al -farqu dihubungkan pada Anda, sedangkan
al jam’u merupakan sesuatu yang dicabut dari Anda.” Artinya, pelaksanaan ibadah yang keberadaannya merupakan hasil upaya salik dan apa-
apa yang hanya patut dengan tingkah-polah (keadaan) kemanusiaan dinamakan farqu. sedangkan hal-hal berupa penampakan makna, penguluran
kelembutan, dan penuangan kebagusan yang hanya bisa dihubungkan dengan Al-Haqq adalah jam’u. Barangsiapa dirinya dijadikan saksi oleh
Al-Haqq untuk mempersaksikan semua perilakunya dengan ketaatan dan penentangan pada yang tidak benar, maka dia adalah seorang salik
yang disifati farqu. Dan barangsiapa yang dijadikan saksi oleh Al-Haqq untuk menguasai dirinya berupa penampakan perilaku-perilaku
ketuhanan Dzat Yang Mahasuci, maka dia adalah seorang salik yang diberi kesaksian jam’u. Dengan demikian, penetapan kemakhlukan melalui
pintu farqu, dan penetapan ke-hakikat-an (ketuhanan Dzat Al-Haqq) melalui sifat jam’u.
8. FANA DAN BAQA’
Istilah fana oleh kaum sufi dipakai untuk menunjukkan keguguran sifat-sifat tercela, sedangkan baqa’ untuk menandakan ketampakan
sifat-sifat terpuji. Jika pada diri salik tidak ditemukan dari salah satu kelompok sifat ini, maka pasti ditemukan sifat-sifat lain. Barang siapa
kosong (fana) dari sifat-sifat tercela, maka sifat-sifat terpuji mengada. Barangsiapa dirinya dikalahkan oleh sifat-sifat tercela, maka sifat-sifat
terpuji tertutupinya.
Ketahuilah, apa yang menjadi sifat seorang salik pasti mengandung tiga hal, yaitu of al, akhlak, dan ah wal. Af al (perbuatan-perbuatan
salik) adalah tingkah laku manusia yang diperagakan dengan kemampuan ikhtiamya. Akhlak merupakan perangainya. Akan tetapi,
keberadaannya selalu berubah seiring dengan tingkat penanganan-nya (pengendahaii menuju arah perbaikan) yang berlangsung mengikuti
perjalanan pembiasaan. Sedangkan ahwal merupakan awal langkah keberadaan kondisi salik. Ahwal mengembalikan posisi salik pada tahapan
awal. Kejernihannya ter adi setelah kebersihan af’al (pertumbuhan dan perbaikannya).
Dengan demikian, keberadaan ahwal seperti akhlak. Karena, jika salik turun ke gelanggang kehidupan untuk memerangi akhlaknya dengan
hatinya, lalu meniadakan (mem-fana’-kan) sifatsifat jeleknya dengan kesungguhan jihadnya (semangat riyadhah), maka Allah
menganugerahinya dengan perbaikan akhlak (maqam baqa’).9 Demikian juga jika salik menekuni penyucian afal-nya dengan (pemanfaatan)
curahan (rahmat) yang diperluaskan untuknya, maka Allah pasti akan menganugerahinya pembersihan ahwal-nya, bahkan menyempurnakannya.
Barangsiapa menmggalkan afal (tmgkah laku) tercela dengan lidah syariatnya, maka dia fana’ (kosong, sirna, tiada atau gugur) dari
syahwatnya. Barangsiapa fana’ dari syahwatnya, maka dengan niat dan ikhlasnya dia. menjadi baqa’ (tetap, muncul, mengada atau eksis) dalam
ibadahnya.
Barangsiapa zuhud dalam dunianya dengan hatinya, maka dia fana’ dari kesenangannya. Jika fana’ dari kesenangan dunia, maka dia
baqa’ dengan kebenaran tobatnya. Barangsiapa terobati akhlaknya sehingga hatinya fana’ dari sifat hasud, dendam, bakhil, rakus, marah,
sombong, dan sifat-sifat lain yang merupakan jenis kebodohan nafsu, maka dia fana’ dari akhlak tercela. Jika fana’ dari ketercelaan akhlak, maka
dia baqa’ dengan fatwa dan kebenaran. Barang siapa telah mampu menyaksikan gerak aliran kekuasaan-(Nya) dalam manifestasi pemberlakuan
hukum-hukum (ketuhanan), maka dia dikatakan sebagai orang yang fana’ dari perhitungan dua kejadian (awal kejadian dan proses penggantian
atau pengulangan) yang berlaku pada semua makhluk. Barangsiapa fana’ dari bayangan pengaruh-pengaruh sesuatu yang berubah-ubah, maka
dia baqa” dengan sifat-sifat Al-Haqq. Barang siapa dikuasai oleh kekuasaan hakikat (penampakan Al-Haqq) sehingga tidak bisa menyaksikan
hal-hal yang berubah-ubah, baik berupa zat, bekas-bekas, tapak-tapak, catatan-catatan, maupun reruntuhannya, maka dia fana’ dari makhluk dan
baqa’ dengan Al-Haqq.
9. GHAIBAH DAN HADHUR
Ghaibah adalah ketiadaan (kekosongan) hati dari ilmu yang berlaku bagi ahwal (kondisi atau pola perilaku) makhluk karena (terhalang
oleh) kesibukan rasa dengan “sesuatu yang datang” (warid, kehadiran rasa alam spiritual) kepadanya. Kemudian, keberadaan rasa terhadap diri
dan lainnya menjadi ghaibah (gaib atau hilang) sebab kehadiran warid itu yang berujud dalam bentuk kesadaran akan ingatan pahala dan siksa.
Diriwayatkan bahwa ketika Rabi’ bin Khaitsam berkunjung ke rumah Ibnu Masud r.a. dan lewat di depan kedai seorang pandai besi, dia melihat
sepotong besi yang dibakar di tungku ubupan besi dalam keadaan merah membara. Tiba-tiba matanya tidak kuat memandang lalu pingsan
seketika. Setelah siuman, Rabi ditanya, lalu menjawab, “Saya ingat keadaan penduduk neraka (yang sedang dibakar) di neraka.”
Sebuah kejadian yang sangat aneh pernah berjumpa Ali bin Husin. Rumah yang ditempatinya terbakar saat dia menjalankan salat, dan dia
tidak bergeming sedikit pun dari sujudnya ketika api mulai menjalar ke tempatnya salat dan kemudian memusnahkan rumahnya. Para
tetangganya heran, lalu menanyakan keadaannya. “Api yang amat besar sangat menggelisahkanku daripada api ini,” jawabnya.
Terkadang kondisi ghaibah disebabkan oleh ketersingkapan sesuatu dalam dirinya dengan Al-Haqq, kemudian keberadaannya berbeda
menurut perbedaan ahwal-nya.
Keadaan (hal) yang mengawali Abu Hafsh An-Naisaburi saat meninggalkan pekerjaannya di kedai pandai besinya dimulai dari peristiwa
pembacaan ayat suci Al-Quran yang dia dengar dari seorang qari’. Bacaan itu mempengaruhi hatinya sehingga membuatnya lupa tentang “rasa”
saat suatu warid datang menguasai jiwanya. Kemudian tangannya dimasukkan ke dalam api dan mengeluarkan potongan besi panas yang sedang
membara tanpa merasakan panas sedikit pun. seorang muridnya melihatnya dengan heran lalu berteriak, “Wahai Guru, ada apa ini?” Abu Hafsh
sendiri heran, lalu melihat apa yang terjadi. Semenjak itu, dia bangun dan meninggalkan pekerjaannya sebagai pandai besi.
Saya pernah mendengar Abu Nasher, seorang muazin Naisabur yang sangat saleh, menuturkan pengalaman spiritualnya, “Saya pernah
baca Al-Quran di majelis Abu Ali Ad-Daqaq ketika beliau di Naisabur. Beliau banyak mengupas masalah haji sampai fatwanya sangat
mempengaruhi hati saya. Pada tahun itu juga saya berangkat ke Mekkah untuk melaksanakan haji dan meninggalkan pekerjaan dan semua
aktivitas keduniaan. Ustadz Abu Ali sendiri, semoga. Allah merahmatinya, juga berangkat menunaikan haji pada tahun itu pula. Ketika beliau
masih tinggal di Naisabur, sayalah yang melayani keperluan beliau juga membacakan AI-Quran di majelisnya. Suatu hari saya mehhat beliau di
padang sahara sedang bersuci dan lupa (meninggalkan) sebuah tempayan yang tadi di bawanya. Lalu saya ambil dan mengantarkannya ke
binatang tunggangannya dan meletakkan di sisinya. “Semoga Allah membalasmu dengan kebaikan atas apa yang kamu bawakan ini,” sambutnya
sederhana. Kemudian beliau memandang saya cukup lama, seakan-akan belum pernah melihat saya sama sekali. “Saya baru melihatmu,
siapakah Anda?”
“Subhanallah” Permohonan bantuan memang hanya pada Allah. Saya telah lama melayani Tuan. Saya keluar dan meninggalkan rumah dan harta
bendaku gara-gara Tuan. Padang sahara yang sangat luas kemudian memutusku, dan sekarang Tuan mengatakan, saya baru mehhatmu…!”
Adapun hadhur adalah keberadaan “hadir” bersama Al Haqq karena jika seseorang mengalami ghaibah (gaib) dari keberadaan semua makhluk,
maka dia “hadir” (hadhur) bersama AI-Haqq. Artinya, keberadaannya seakan-akan “hadir” dikarenakan dominasi ingatan AI-Haqq (zikir) pada
hatinya. Dia hadir dengan hatinya di hadapan Tuhannya. Dengan demikian, ke-ghaibah- annya dari keberadaan makhluk menjadikannya hadhur
(hadir) bersama. Al-Haqq. Jika semua yang ada ini pada sirna, maka keberadaan hadhur mengada menurut tingkat ghaibah-nya. Jika dikatakan
“fulan hadir,” artinya dia hadir dengan hatinya ke haribaan Tuhannya dan lupa pada selain-Nya, kemudian dalam ke-hadhurannya segalanya
menjadi tersingkap menurut derajatnya dengan curahan sejumlah makna (pengertian, kesadaran, dan kerahasiaan ketuhanan) yang dikhususkan
Allah untuknya.
10. SHAHWU DAN SUKRU
Shahwu (sadar dari kemabukan) adalah kembalinya salik pada rasa setelah mengalami ghaibah. Sedangkan sukru (mabuk cinta karena
Allah) adalah proses ghaibah dengan kehadiran warid yang kuat. Artinya, Sukru merupakan bentuk lain ghaibah yang lebih kuat. Salik yang
mengalami sukru terkadang dimuaikan (dipudarkan, diterangkan, dan dilapangkan) jika sukru-nya belum penuh. Dalam keadaan demikian,
terkadang kekhawatiran terhadap hal-hal menjadi gugur (lepas) dari hatinya.
Demikian itu menunjukkan bahwa salik masih dalam maqam mutasakir (pura-pura mabuk atau seolah-olah mabuk) karena warid yang
datang belum sepenuhnya (dominasi rasa yang menyebabkan mabuk). Keberadaan rasanya masih tenggelam dalam kemabukan untuk rasanya.
Terkadang juga sukru-nya sangat kuat hingga menambah tingkat ghaibah-nya. Terkadang pula salik yang mengalami sukru tingkat ghaibah-nya
jauh lebih kuat daripada penapak maaam ghaibah sendiri jika memang tingkat Sukru-nya sangat kuat. Terkadang juga penapak ghaibah tingkat
ghaibah-nya lebih sempuma daripada penapak sukru jika yang terakhir ini masih dalam takaran mutasakir, pura-pura mabuk atau belum mabuk
yang sesungguhnya.
Kehadiran ghaibah terkadang dikarenakan sesuatu yang mengalahkan dan mendominasi hati. Sesuatu ini mungkin berupa paksaan rasa
senang dan takut atau permasalahan (bukan masalah duniawi) yang membuatnya takut dan harap. Sukru tidak mungkin terjadi kecuali terhadap
salik yang telah mengalami wijdu (lihat pasal wijdu). Jika diri salik telah disingkap dengan sifat keindahan (Al-Haqq dalam penampakan sifat
Yang Maha indah), maka dia akan mengalami sukru, ruhnya bingung (karena susah pada murka Allah dan gembira pada Rahmat-Nya) dan
hatinya menjadi linglung.
H. Peranan Tasawuf dalam Kehidupan Modern
Pada masa yang akan datang, perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi serta industrialisasi akan berlangsung terus san sangat
menentukan peradaban umat manusia. Akan tetapi, masalah-masalah moral dan etika akan ikut mempengaruhi pilihan strategi dalam
mengembangkan peradaban di masa depan. Sehingga dalam hal ini Islam dihayati dan diamalkan sebagai sesuatu yang spiritual. Artinya, sebagai
reaksi terhadap perubahan masyarakat yang sangat cepat akibat kemajuan ilmu penegtahuan, teknologi, dan industrialisasi. Oleh karena itu, kita
sepakat bahwa semua kehidupan modern harus mempunyai landasan yang kuat, yaitu akidah akhlak Islam yang bersumber dari Al-Qur’an dan
hadis. Dengan cara seperti ini maka akan terbangun kehidupan yang seimbang antara lahir dan batin, duniawi dan ukhrawi, serta individu dan
masyarakat. Keseimbangan ini harus menjadi roh bagi peradaban manusia dalam kehidupan modern sekarang ini.
H. Tugas Soal Dan Jawaban
A. essy
No. soal
1 jelaskan Pengertian Tasawuf
2 Sebutkan Dasar-dasar Tasawuf
3
jelaskan Pandangan Tentang asal-usal Tasawuf
4
jelaskan Sejarah Perkembangan Tasawuf
5
6 Jelaskan Pembagian ILmu Tasawuf

menjelaskan Sumber-sumber tasawuf dengan baik.


7
Sebutkan Istilah-istilah tasawuf

8 Memberikan contoh Peranan tasawuf di di dalam kehidupan


modern
DAFTAR PUSTAKA

Kementerian Agama Buku Siswa Aqidah Akhlak kelas VII. Jakarta Kemeterian Agama . 2014

https://mubhar.wordpress.com/2008/12/16/dasar-dasar-tasawuf-dalam-islam/ Diakses pada Tanggal 14 Januari 2017. Pukul 20; 00 WIB

https://edywitanto.wordpress.com/2011/01/22/istilah-istilah-tasawuf/Diakses pada Tanggal 3 Januari 2017. Pukul 20; 00 WIB

Anda mungkin juga menyukai