Anda di halaman 1dari 4

Selimut Samudera

kisah hidup dan mati dua orang manusia


Sebuah cerita oleh Husnul Hayati Amir

Air di laut itu tak akan menampakkan replika diriku. Warnanya gelap, tak ada yang dapat
kau lihat selain kegelapan itu sendiri. Deburan ombaknya bahkan tenang, hanya beberapa
kicauan burung laut yang terdengar dari kejauhan. Kakiku melangkah maju, menapaki butiran
pasir hingga air yang menggulung itu menggelitik di sela-sela jari. Dingin. Rasanya aku ingin
berlari ke tengahnya, tenggelam lalu hilang.

“Bukankah itu pemandangan yang indah?”

Suara itu membuat alisku berkerut. Seorang gadis menatapku dengan matanya yang
gelap. Rambutnya terurai basah dengan bibir keriput. Dia kembali menatap laut sembari duduk
di tepian pantai. Ombak-ombak dengan senang hati membasahi kulitnya. Gadis itu hanya diam,
entah menunggu jawaban atau hanya iseng bertanya kepada orang sepertiku.

“Ahhhh... kau pria bodoh? Mau mati tenggelam? Atau mau duduk denganku?”

Gadis itu bertanya lagi, rasanya ingin kuteriaki dia. Gilaaa...

“Aku tidak gila, hanya sedang menikmati pikiran yang telah hilang. Mungkin.”

“Sialan,” umpatku. Aku tak tahu gadis itu bisa membaca pikiranku atau hanya dia pandai
dalam bermain tebak-tebakan. Kuharap dia hanya sebuah patung di tepi pantai.

Mataku kembali menatap lautan gelap itu. Sunyi terdengar begitu lama, hanya deburan
ombak yang semakin lama semakin keras. Air mulai pasang malam ini. Busa-busa ombak yang
menggulung telah sampai ditumitku. Fatamorgana-fatamorgana suara berkelana dipikiranku.
Masalah-masalah yang kusimpan di laci-laci rahasiaku pun mulai memberontak, ingin segera
diselesaikan. Kakiku melangkah maju, satu tapak, dua tapak, tiga tapak, hingga air telah
mencapai lututku.

“Bukan begitu caranya menyelesaikan masalah,” ujar perempuan itu di belakangku.


“Apa yang kau ketahui tentang masalah? Saat seperti ini saja bicaramu sangat tenang,
mungkin kau tak pernah memiliki masalah sedikitpun dihidupmu. Jadi, diamlah!!! Persetan
dengan semua omonganmu itu. Kau simpan saja, aku tak butuh.”

Aku tak tahu ucapanku menyakitinya atau tidak. Di sekitarku hanya ada kegelapan dan
sedikit cahaya dari laut, mungkin sebuah kapal yang sedang beristirahat. Entahlah, aku tak tahu.
Bayang-bayang berkelabat dipikiranku. Semuanya berantakan dan keluar dari rencana. Aku kalut
dan lelah dengan semua yang terjadi beberapa hari terakhir. Hanya satu yang ada dipikiranku,
bercumbu dengan laut lalu tenggelam. Hilang.

“Duduklah,” pintanya. Kakiku mengikuti arah suara itu, bagai tersihir dengan kelembutan
nada dari pita suaranya.

Aku menghembuskan napas perlahan untuk menetralkan segala kekacauan yang ada pada
diriku. Aku duduk di sebelahnya, di kaki tebing yang ditumbuhi beberapa jenis karang. Mataku
menatap langit yang tak menampakkan sedikit pun bintang pada kegelapannya. Suara burung
laut bahkan enggan terdengar, deburan ombak yang semakin nyaring malah menambah
ketenangan.

“Kau tahu? Kematian tidak akan pernah menyelesaikan masalahmu. Aku tak tahu
seberapa besar masalahmu itu, yang aku tahu hanya setiap manusia memiliki masalah. Ibaratkan
masalah adalah sebuah papan puzzle bergambar, kau tidak akan pernah mengetahui gambarnya
sampai kau menyelesaikan teka-teki papan itu sendiri.”

Aku tertawa kecil, meremahkan ucapannya. “Persetan.”

Perempuan itu hanya tersenyum. Manis sekali. Tangannya menggapai beberapa batu
untuk naik ke tebing lebih tinggi lagi. Tangannya terulur padaku, tetapi aku tak menghiraukan
ulurannya dan naik ke tebing itu dengan mudah. Bajuku yang tadinya basah telah mengering.
Dinginnya angin malam bahkan menusuk dan menembus pori-poriku.

“Kau lelaki yang kuat,” ucap perempuan itu sembari tersenyum lagi. “Tidurlah di sini,
ombak tidak akan memelukmu.”
“Kau cerewet sekali,” sindirku. Perempuan itu masih saja tersenyum bahkan ketika aku
menyindirnya.

Mataku mulai terpejam. Sedikit demi sedikit aku merasa terbuai dengan angin malam
yang dingin itu. Entah pukul berapa sekarang, Nyanyian alam membuatku lupa segalanya dan
ingin segera mengistirahatkan raga dan mentalku.

“Aku ingin kau menemukan kebahagian. Jika ada masalah, hadapilah, jangan pernah lari
atau melakukan hal-hal bodoh karena bisa saja kau menyakiti orang lain, bukan hanya dirimu
sendiri. Istirahatlah. Kelak kau akan temukan kebahagian. Jangan lupa bersyukur.”

Suara itu menenangkan. Lembut daripada segala kelembutan yang ada di muka bumi.
Lebih lembut dari sinar mentari pagi ataupun angin di saat senja menyapa kala sore. Bagaikan
lullaby yang membuat tidurmu lelap. Perempuan itu benar-benar menyihirku. Sekarang mulai
kurapikan meja masalahku, menyusunnya, lalu menyelesaikannya satu per satu.

Diriku tenang, lalu tertidur lelap setelah apa yang kulalui malam ini.

***

Pagi hadir dengan kehangatannya. Perasaanku tenang tanpa beban. Kini kakiku siap
melangkah menghadapi semuanya. Aku bangun dari tidurku dan mencari gadis semalam yang
menyelamatkanku dari tindakan terbodoh yang pernah aku lakukan.

Bodoh. Aku mengutuk diriku sendiri.

Kakiku berjalan menyusuri garis pantai. Menikmati suara kapal-kapal nelayan tanpa
nakhoda yang sudah siap berlabuh mencari ikan. Meresapi harmoni alam yang tersusun kala pagi
menyingsing. Kicauan burung, debur ombak, semilir angin, dan suara keramaian yang tak jauh
dari tempatku menjadi satu nada yang indah. Sebentar saja aku melupakan gadis itu. Tidak. Aku
tidak boleh melupakannya.

Aku menuju ke keramaian nelayan. Mereka melingkari sesuatu yang tak kuketahui.
Sedikit lagi aku sampai dikerumunan itu, sirine ambulans terdengar dari arah jalan. Ambulans itu
telah ada di sana sejak tadi. Kerumunan itu perlahan terbuka dan kulihat seorang gadis yang
kukenal semalam diangkut menggunakan kantong mayat yang sedikit terbuka, seolah ingin aku
tuk melihat wajahnya yang teduh nan manis. Aku berduka.

Anda mungkin juga menyukai