Anda di halaman 1dari 10

Bab I

Pendahuluan

A. Latar Belakang Masalah

Pada era post modern seperti dewasa ini, acap kali terekspos kasus atau konflik yang
berlatar belakang adat, khusus konflik adat yang terjadi di Bali. Masyarkat Bali yang pada
mulanya dikenal ramah, berbudaya dan memiliki kearifan local atau local genus yang tinggi,
namun fakta yang ada dibalik semua itu, belakangan ini semakin banyak kasus konflik intern
pada masyarakat adat atau krama desa. Tampaknya ajaran agama hanya indah pada text tetapi
jorok dalam implementasi. Hal ini terjadi tidak hanya di Bali, tetapi hampir diseantero dunia
yang luas ini, yang dihuni oleh hampir 7 Milliar umat manusia. Tentu hal tersebut menyebabkan
semakin ketatnya persaingan antar warga masyarakat dan sikap individualisme yang semakin
mendominasi yang berujung pada konflik.

Belakangan ini, konflik yang berlatar belakang adat, dan hukum adat sampai
mengalahkan nilai-nilai agama yang sebenarnya memiliki kedudukan tertinggi untuk
dipatuhi. Banyaknya muncul kasus adat di Bali, membuat prihatin sebagian masyarakat Bali.

Secara harfiah, adat itu sebenarnya berarti suatu kebiasaan yang karena secara turun
temurun diakui, diikuti, dan dipatuhi sebagai pedoman dalam bermasyarakat untuk mengatur
berbagai aspek dalam kehidupan, maka lama kelamaan berkembang menjadi adat tradisi atau
tradisi adat. Dalam perkembangannya, tradisi adat itu begitu kuat pengaruhnya, karena telah
menjadi bagian dari kebudayaan yang dijiwai oleh ajaran agam (Hindu).

Dalam prakteknya, posisi adat begitu vital dalam penggerakan hapir segala aktivitas
budaya dan agama. Boleh dikatakan, keseluruhan aktivitas masyarakat Bali pada khususnya,
tidak bisa lepas dari tradisi adat. Sampai-sampai aktivitas keagamaanpun tidak bisa berjalan alias
lumpuh total jika tidak digerakkan oleh tradisi adat. Dan saking kuatnya pengaruh adat itu, tidak
jarang posisi dan nilai-nilai ajaran agama seringkali harus mengalah atau bahkan dikalahkan oleh
sesuatu yang berbau adat. Inilah yang kemudian disebut sebagai fakta sosial bahwa adat telah

1
menjadi panglima dari kehidupan beragama di Bali. Termasuk juga dalam bidang hukum,
khususnya hukum adat Bali.

Ada beberapa sanksi adat yang dikenal dalam hukum adat Bali, seperti jiwa
danda, artha  danda (denda), sangaskara danda (melaksanakan upacara tertentu). Diantara
beberapa sanksi adat yang dikenal, sanksi adat kasepekang dapat dikatakan paling terkenal.
Kenyataan ini disebabkan oleh beberapa hal, seperti: adanya larangan penguburan jenasah,
munculnya konflik intern desa dan munculnya wacana pro dan kontra di media massa, segera
setelah sanksi kasepekangdijatuhkan.

Dalam pelaksanaannya di lapangan, banyak sanksi kasepekang yang menimbulkan pro


dan kontra di masyarakat, yang tak jarang penyelesaiannya berakhir di meja
hijau.  Tradisi nyepekang atau kasepekang, belakangan ini makin menampilkan wajahnya yang
seram. Sanksi adat yang harus dijalankan anggota/warga banjar adat yang terbukti melakukan
pelanggaran terhadap aturan adatnya, diyakini memberi efek jera. Tetapi, efektivitas sanksi yang
zaman dulu disebut kanorayang itu, selama ini belum dapat dibuktikan, apalagi dikatakan
berhasil. Padahal, sanksi berupa pengucilan warga dari aktivitas adatnya itu, telah banyak
”memakan korban”. Namun, jumlah “pembangkangan” yang dilakukan warga masyarakat
cenderung meningkat. Akibatnya, penerima sanksi kasepekang itu pun jumlahnya makin
bertambah.

B. Rumusan Masalah
Adapun masalah yang akan dibahas dalam makalah ini :
a. Apa itu Adat Kasepekang?
b. Bagaimana pelaksanaan sanksi Adat Kasepekang di Desa Pakraman ?
C. Tujuan Masalah
Adapun tujuan dari makalah ini adalah :
a. Untuk mengetahui apa itu Adat Kasepekang di Desa Pakraman
b. Menggambarkan pelaksanaan Adat Kasepekang di Desa Pakraman

2
Bab II
Pembahasan
A. Adat Kasepekang
Kasepekang adalah istilah hukum adat di pulau Bali untuk  mereka yang dikeluarkan atau
dikucilkan dari desa adat berdasarkan awig awig / hukum adat yang berlaku di daerah itu sampai
yang bersangkutan membayar kewajiban denda adat.  Kasepekang tidak menyangkut hukum
badan, karena tidak ada penahanan,  tidak juga tahanan rumah atau kota karena yang
bersangkutan bisa keluar rumah dan keluar kota sebebas-bebasnya.
Secara harfiah hukum, kasepekang berarti sebuah hukuman atau sanksi adat yang
diterima oleh seorang atau kelompok anggota banjar yang dianggap melanggar norma
norma/awigawig yang berlaku di banjar  bersangkutan, dengan cara pengucilan  dikucilkan dari
banjar /desa adat setempat, dilarang tinggal di wilayah tersebut, tidak boleh menggunakan
fasilitas kuburan dan juga dilarang berkomunikasi atau bersosialisasi dengan anggota banjar
lainnya.
Asal kata kasepekang berasal dari kata sepi ikang yang mempunyai arti 'tidak diajak
bicara' atau 'dikucilkan'.dan pendapat lainnya Kasepekang berasal dari kata sepek yang
mengandung arti 'mempermasalahkan di hadapan orang'. Dalam Kamus Bali-Indonesia yang
dikeluarkan Dinas Pendidikan Dasar Provinsi Bali disebutkan kata sepek diartikan sebagai
'kucilkan', sedangkan kasepekang sama dengan 'dikucilkan'. Hal yang sama juga ditemukan
dalam Hasil Pesamuhan Majelis Pembina Lembaga Adat (MPLA)  Bali
Banjar / desa yang memperlakukan hukum adat kasepekang secara keras, selain krama
desa adat itu dilarang berbicara kepada orang yang sedang kasepekang, juga tak boleh menolong
orang/kelompok itu, dan orang/kelompok yang sedang menjalani hukuman kasepekang tidak
mendapatkan pelayanan apa pun dari adat. Bahkan orang /kelompok yang kasepekang dilarang
ke pura untuk bersembahyang. Hukum kasepekang hanya untuk krama Bali yang beragam
Hindu, selain krama Bali para pendatang  atau agama lain tidak  terkena hukum kasepekang atau
hukum adat itu.
Kasepekang pun menjadi istilah yang amat ditakuti orang Bali. Penyebabnya, kasepekang
selalu disertai juga dengan adanya larangan penguburan jenazah di pekuburan desa sehingga
menjadi kontroversi dan masalah sosial sampai saat ini.

3
B. Pelaksanaan Sanksi Adat Kasepekang

Sejarah mencatat bahwa sebagian besar konflik yang timbul antar manusia (antar
golongan, suku, ras dan agama) diselesaikan dengan cara kekerasan penuh dengan kebencian dan
kejam yang mengakibatkan banyak manusia kehilangan nyawa, kehilangan harta benda,
keluarga, hancurnya lingkungan hidup bahkan banyak nyawa harus melayang secara sia-sia.

Dalam Esiklopedia Indonesia disebutkan bahwa secara sosiologis, konflik diartikan


sebagai suatu proses sosial antara dua orang atau lebih (bisa juga kelompok) dimana salah satu
pihak berusaha menyingkirkan pihak lain dengan menghancurkannya atau membuatnya tidak
berdaya.

Secara sederhana konflik dikelompokkan menjadi dua tipe, yakni konflik positif dan
konflik negatif. Konflik positif adalah konflik yang mengancam eksistensi system politik, yang
biasanya disalurkan lewat penyelesaian konflik yang disepakati bersama dalam konstitusi.
Mekanisme yang dimaksud ialah lembaga-lembaga demokrasi seperti partai politik, badan-badan
perwakilan rakyat, pengadilan pemerintah, pers dan forum-forum terbuka lainnya. Sedangkan
konflik negatif adalah konflik yang dapat mengancam eksistensi system politik yang biasanya
disalurkan melalui cara-cara nonkonstitusional, seperti kudeta, sparatisme, terorisme, dan
revolusi. Kasepekang yang berwujung pada konflik termasuk kedalam konflik negative, dimana
konflik yang disalurkan masyarakat dengan cara-cara nonkonstitusional dan dengan cara
kekerasan.

Dalam ensiklopedia inggris tentang kesepekang dinyatakan bahwa Kasepekang is a


punishment under Balinese  customary law. The persons (or entire families) subject to it
are  shunned by their local community. Pengertian ini dikutip dari pendapat Aubrey Belford (12
October 2010).

Wayan P. Windia dalam tulisannya berjudul “Pelaksanaan Sanksi Adat Kasepekang di


Desa Pakraman” seperti dikutip dari situs customarylaw.unud.ac.id, guru besar hukum adat Bali
pada Fakultas Hukum UNUD ini menguraikan sanksi adat kesepekang sebagai berikut:

Kasepekang adalah salah satu sanksi adat yang dikenal di Bali. Menurut Kersten
(1984:521), kasepekang berasal dari kata sepek yang mengandung arti “mempermasalahkan
di hadapan orang”. Dalam Kamus Bali – Indonesia yang dikeluarkan oleh Dinas Pendidikan
Dasar Prov. Dati I Bali disebutkan bahwa kata sepek diartikan sebagai “kucilkan”

4
dan kasepekang sama dengan “dikucilkan”. Hal senada juga dapat diketahui dari Hasil
Pesamuhan Majelis Pembina Lembaga Adat (MPLA) Prov. Bali tanggal 27 Februari 1997.

Ternyata sanksi adat kasepekang terdapat beberapa istilah lain. Wayan P. Windia menyebutkan


ada beberapa isitilah lain dari sanksi adat tersebut, diantaranya adalah kaeladang, kamenengang,
tan poleh arah-arahan, kagedongin, dan  kanoryang. Ada kalanya juga disebut kapuikin
gumi, kapuikin banjar, kapuikin desa, tan polih suaran kulkul. Apapun sebutan dan istilahnya,
pada dasarnya mengandung arti yang sama, yaitu diberhentikan dan dikucilkan sebagai warga
Desa Pakraman.

Secara harfiah, kasepekang berarti sebuah hukuman atau sanksi adat yang diterima oleh
seorang atau kelompok anggota banjar yang dianggap melanggar norma norma/awig-awig yang
berlaku di Desa Pakraman atau banjar  adat bersangkutan, dengan cara dikucilkan dari banjar
/Desa Pakraman setempat, dilarang tinggal di wilayah tersebut, tidak boleh menggunakan
fasilitas kuburan dan juga dilarang berkomunikasi atau bersosialisasi dengan anggota banjar
lainnya. Kasepekang tidak menyangkut hukum badan, karena tidak ada penahanan,  tidak juga
tahanan rumah atau kota karena yang bersangkutan bisa keluar rumah dan keluar kota sebebas-
bebasnya.
Format dan substansi awig-awig tertulis di desa pakraman, pada umumnya disusun
sesuai imba (contoh) awig-awig tetulis yang dikeluarkan Pemprov. Bali, walaupun sebenarnya
tidak ada keharusan untuk itu. Dalam imba (contoh) awig-awig tetulis yang dimaksud, sanksi
adat kasepekang masih dicantumkan sebagai salah satu sanksi adat. Oleh karena itu, menjadi
masuk akal kalau dalam awig-awig tertulis desa pakraman di Bali, dicantumkannya sanksi
adat kasepekang, sebagai salah satu sanksi yang dapat dikenakan kepadakrama desa yang
dianggap terbukti melakukan pelanggaran adat tertentu. mabanjar/madesa adat (diberhentikan
sebagai warga desa/banjar). (upacara pembersihan). (dikucilkan). (mejarah). (danda saha
panikel-nikelnya). (minta maaf).
Dalam bermasyarakat tak lepas dari aturan, baik aturan yang berasal dari agama, negara
maupun aturan yang berkembang dan hidup di masyarakat itu sendiri. Meski demikian tak dapat
dipungkiri pasti selalu ada saja yang melanggar bahkan membangkang. Sehingga seringkali
penegak hukum (dalam hal ini prajuru adat) secara paksa menghukum para pelanggar hukum
adat Bali. Pelanggaran adat adalah setiap tindakan yang melanggar swadharma (kewajiban)

5
dan swadhikara (hak) berdasarkan norma hukum adat Bali, baik yang tertuang dalam awig-
awig tertulis dan tidak tertulis (drestha) maupun norma agama Hindu atau Hukum Hindu.
Sanksi adat yang dijatuhkan tergantung dari jenis pelanggaran yang terjadi. Pelanggaran
berat akan dikenakan sanksi adat yang berat, sedangkan pelanggaran ringan dikenakan sanksi
adat yang ringan. Sanksi adat yang ringan seperti kapelungguh (mendapat peringatan) dan
ngaksama (minta maaf) di hadapan rapat banjar atau desa. Sanksi adat yang paling berat untuk
zaman sekarang adalah kasepekang.
“Penjatuhan sanksi adat kasepekang merupakan alternatif terakhir setelah berbagai upaya 
yang ditempuh mengalami kegagalan. Sanksi ini hampir sama dengan hukuman mati dalam
KUHP karena sanksi social kasepekang sangat memalukan.
Sanksi adat kasepekang baru akan dijatuhkan jika oknum yang dianggap telah terbukti
melakukan pelanggaran adat ngetuwel (membangkang) terhadap sanksi lainnya yang telah
dijatuhkan. Sebagai konsekuensi dijatuhkannya sanksi ini, maka pihak yang dikenakan tidak
diperkenankan menggunakan fasilitas milik Desa Pakraman seperti setra (kuburan desa) dan
berbagai fasilitas lain milik desa, seperti tidak diperkenankan tinggal di tanah milik desa
Pakraman Sulang.
Ada beberapa jalan sesuai hukum untuk menyelesaikan konflik adat. Menyelesaikan
sendiri, minta pihak ketiga sebagai penengah, dan serahkan kepada pihak berwenang (sang
rumawos). Masing-masing cara penyelesian tersebut mempunyai konsekuensi yang berbeda.
Dalam mencegah dan menyelesaikan konflik adat seperti kasus kasepekang dapat
dilakukan dengan cara pertama agar lebih cepat dapat dilaksanakan dan murah akan biaya.
Secara sederhana, dalam menyelesaikan sengketa dapat dijatuhkan sanksi terhadap pelanggar
hukum adat. Jenis-jenis penyelelesaian sengketa dan sanksi yang dapat dijatuhkan sebagai
berikut:

a. Nasehat
b. Teguran
c. Pernyataan maaf kepada orang banyak atau warga desa bersangkutan, dapat dilakukan
di Pura.
d. Denda
e. Ganti kerugian

6
f. Dikucilkan untuk selamanya apabila terus membangkang
g. Dan bentuk sanski lainnya sesuai desa, kala, patra.

Apabila dengan cara pertama tidak dapat dilakukan maka cara kedua bisa diambil. Kebuntuan
dalam menyelesaikan konflik adat, biasanya disebabkan karena masing-masing pihak bertahan
pada gengsi dan ketidaktahuannya.

Oleh karena itu dapat dipilih cara kedua. Mintalah tolong kepada pihak ketiga
(pemerintah atau lembaga lain), yang dipercaya oleh kedua belah pihak untuk mencari jalan
keluar dari lingkaran konflik adat. Pihak ketiga yang mempunyai pengetahuan dan pengalaman
sebagai penengah menyelesaikan konflik, dan akan mengambil beberapa langkah awal sebelum
memberikan beberapa alternatif penyelesaian. Pertama-tama akan dijelaskan beberapa
termimologi yang berkaitan dengan penyebab munculnya konflik adat tersebut. Sesudah para
pihak memiliki persepsi yang sama mengenai beberapa istilah yang terkait erat dengan objek
konflik, barulah diberikan beberapa pilihan untuk menyelesaikannya. Pada akhirnya yang
menentukan pilihan adalah pihak-pihak yang terlibat konflik.

Cara ini memang lebih mudah dari cara pertama, tetapi tidak murah. Perlu disiapkan
sejumlah dana untuk pihak ketiga yang membantu penyelesaian konflik adat yang dimaksud,
terlepas dari kenyataan apakah yang bersangkutan berhasil menyelesaikan konflik adat tersebut
atau tidak. Cara paling murah dan relatif mudah untuk menyelesaikan konflik adat adalah dengan
menyerahkan konflik tersebut kepada pihak yang berwenang (sang rumawos). Yang dimaksud
pihak berwenang dalam hal ini adalah pemerintah kabupaten di Bali atau pemerintah Propinsi
Bali, jajaran penegak hukum maupun organisasi lainnya yang memiliki kewenangan di bidang
adat Bali (Majelis Desa Pakraman) dan agama Hindu (Parisada Hindu Dharma Indonesia). Kalau
sebuah konflik adat benar-benar dipercayakan kepada pihak berwenang untuk
menyelesaikannya, biasanya pihak yang berwenang akan berkoordinasi dalam menyelesaikan
konflik adat.
Contoh pada kasus kasepekang yang pernah ada di bali antara lain kasus warga Banjar
Pakudui, Desa Pakudui, Tegalalang, Gianyar, Made Rangga dikenai sanksi kasepekang oleh
banjarnya. Akibat sanksi ini, saat pengabenan ayahnya, almarhum Mangku Sunil yang juga
pemangku Pura Puseh Pakudui itu, Made Rangga dikenai kewajiban membayar penanjung batu
Rp 3.200.000. Kasus lainnya adalah seorang warga banjar labak, Desa Anturan , Singaraja,

7
Nyoman Sumatra. Dikenai sanksi kasepekang oleh Desa Pakraman, yang di dahului dengan
masalah klaim tanah.

8
Bab III
Penutup
Kesimpulan
Berdasarkan pada uraian pada Bab II dapat disimpulkan bahwa :
1. Kasepekang berarti sebuah hukuman atau sanksi adat yang diterima oleh seorang atau
kelompok anggota banjar yang dianggap melanggar norma norma/awigawig yang berlaku
di banjar  bersangkutan, dengan cara pengucilan  dikucilkan dari banjar /desa adat
setempat, dilarang tinggal di wilayah tersebut, tidak boleh menggunakan fasilitas kuburan
dan juga dilarang berkomunikasi atau bersosialisasi dengan anggota banjar lainnya.
2. Pelaksanaan yang dilakukan adalah dengan menjatuhkan sanksi Kasepekang pada pihak
yang dikenakan tidak diperkenankan menggunakan fasilitas milik Desa Pakraman seperti
setra (kuburan desa) dan berbagai fasilitas lain milik desa, seperti tidak diperkenankan
tinggal di tanah milik desa Pakraman Sulang.

9
Daftar Pustaka

Internet
http://hukum.kompasiana.com/2013/01/08/kasepekang-dikucilkan-warga-523513.html, diakses pada 5
Januari 2014
http://infoseputarbali.blogspot.com/2012/02/apa-itu-kasepekang-hukum-adat-bali.html, diakses pada
10 Januari 2014
http://www.svdbali-library.com/index.php/artikel/budaya/40-tradisi-nyepekang-makin-seram, diakses
pada 10 Januari 2014
http://tempat-juni-berbagi.blogspot.com/2009/07/penerapan-sanksi-kasepekang-di-bali.html, diakses
pada 10 Januari 2014

10

Anda mungkin juga menyukai