Aul Makalah Hukum
Aul Makalah Hukum
Aul Makalah Hukum
PEMBAHASAN
Suap adalah suatu tindakan dengan memberikan sejumlah uang atau barang atau
perjanjian khusus kepada seseorang yang mempunyai otoritas atau yang dipercaya, contoh,
para pejabat, dan membujuknya untuk merubah otoritasnya demi keuntungan orang yang
memberikan uang atau barang atau perjanjian lainnya sebagai kompensasi sesuatu yang
dia inginkan untuk menutupi tuntutan lainnya yang masih kurang. Pengertian Suap.
disebut juga dengan sogok atau memberi uang pelicin. Adapun dalam bahasa
syariat disebut dengan risywah. Secara istilah adalah memberi uang dan sebagainya
kepada petugas (pegawai), dengan harapan mendapatkan kemudahan dalam suatu
urusan.
Dalam buku saku memahami tindak pidana korupsi “Memahami untuk Membasmi”
yang dikeluarkan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dijelaskan bahwa cakupan
suap adalah (1) setiap orang, (2) memberi sesuatu, (3) kepada pegawai negeri atau
penyelenggara negara, (4) karena atau berhubungan dengan sesuatu yang
bertentangan dengan kewajiban, dilakukan atau tidak dilakukan dalam jabatannya.
Suap juga bisa berarti setiap harta yang diberikan kepada pejabat atas suatu
kepentingan, padahal semestinya urusan tersebut tanpa pembayaran. Sedangkan dalam
fikih, suap atau risywah cakupannya lebih luas. Sebagaimana dikatakan Ali ibn Muhammad
Al Jarjuni dalam kitab Ta’rifat,Beirut(1978), Dr. Yusuf Qordhawi mengatakan,
bahwa suap adalah sesuatu yang diberikan kepada seseorang yang memiliki
kekuasaan atau jabatan apapun untuk menyukseskan perkaranya dengan
mengalahkan lawannya sesuai dengan yang diinginkan atau memberikan peluang
kepadanya (seperti tender) atau menyingkirkan musuhnya.
a) Uang dibayar setelah selesai keperluan dengan sempurna, dengan hati senang,
tanpa penundaan pemalsuan, penambahan atau pengurangan, atau pengutamaan
seseorang atas yang lainnya.
b) Uang dibayar melalui permintaan, baik langsung maupun dengan isyarat atau
dengan berbagai macam cara lainnya yang dapat dipahami bahwa si pemberi
menginginkan sesuatu.
c) Uang dibayar sebagai hasil dari selesainya pekerjaan resmi yang ditentukan si
pemberi uang.
Dalam artian lain penyuap dan penerima suap adalah Penyuap adalah orang
yang memberi hadiah atau janji kepada pegawai negeri dengan mengingat
kekuasaan dan wewenang yang melekat pada jabatan atau kedudukannya, atau
oleh pemberi hadiah atau janji dianggap melekat pada jabatan atau kedudukan
tersebut. Selain itu seseorang dianggap sebagai pemberi suap apabila memberi
atau menjajikan sesuatu kepada hakim dengan maksud untuk mempengaruhi
putusan perkara yang diserahkan kepadanya untuk diadili. Setiap orang yang
memberi sesuatu kepada pegawai setelah ia menjabat atau diangkat menjadi
pegawai pada sebuah instansi dengan tujuan mengambil hatinya tanpa hak, baik
untuk kepentingan sekarang maupun untuk masa akan datang, yaitu dengan
menutup mata terhadap syarat yang ada untuknya, dan atau memalsukan data, atau
mengambil hak orang lain, atau mendahulukan pelayanan kepadanya daripada
orang yang lebih berhak, atau memenangkan perkaranya, dan sebagainya adalah
orang yang memberi suap.
Sedangkan penerima suap adalah pegawai negeri atau penyelenggara negara yang
menerima hadiah atau janji padahal diketahui atau patut diduga, bahwa hadiah atau
janji tersebut diberikan karena kekuasaan atau kewenangan yang berhubungan
dengan jabatannya. Definisi suap didalam Undang-undang No. 11 tahun 1980
tentang Tindak Pidana Suap) Pasal 2 ... memberi atau menjanjikan sesuatu kepada
seseorang dengan maksud untuk membujuk supaya orang itu berbuat sesuatu atau
tidak berbuat sesuatu dalam tugasnya, yang berlawanan dengan kewenangan atau
kewajibannya yang menyangkut kepentingan umum, Pasal 3 ... menerima sesuatu
atau janji, sedangkan ia mengetahui atau patut dapat menduga bahwa pemberian
sesuatu atau janji itu dimaksudkan supaya ia berbuat sesuatu atau tidak berbuat
sesuatu dalam tugasnya, yang berlawanan dengan kewenangan atau kewajibannya
yang menyangkut kepentingan umum
1. Sudah Tradisi
Suap dan korupsi bukanlah nilai-nilai yang diajarkan oleh nenek moyang kita.
Tapi suap seakan sudah mendarah daging dan jadi tradisi terutama bagi kelompok
orang-orang berduit. Jika menengok dari sejarah, budaya suap dan korupsi sudah
sering ditemui sejak zaman kolonialisme dulu. Para penjajah menyuap pejabat-
pejabat pribumi untuk mendapatkan apa yang mereka mau. Kebiasaan buruk itu
ternyata ditiru. Parahnya, malah keterusan hingga saat ini.
2. Haus Kejayaan
Manusia bisa saja silau dengan kejayaan mulai dari kekayaan, keuasaan
bahkan juga jabatan. Demi mendapatkannya orang-orang rela melakuan apa saja
bahkan menempuh jalan “belakang” jika perlu. Yaitu dengan memberikan sesuatu
bisa berupa uang atau benda-benda lain agar niatnya dapat dilaksanakan. Hal
paling sepele dan sering kita temui adalah praktik suap yang dilakukan olah para
pelanggar lalu lintas pada polisi yang menangkapnya agar kasusnya tak sampai
jatuh ke meja pengadilan.
Bukan sebuah rahasia lagi jika praktik suap mulai dari institusi kecil sampai ke
kalangan pejabat-pejabat tinggi negara adalah sebuah jaringan yang terorganisir.
Lingkungan yang paling rentan terhdap kasus suap adalah pengadilan, tentu saja
yang menjadi target suap adalah para hakim. erkadang jika terdakwa tidak ada
inisiatif untuk memberikan suap, justru oknum-oknum hakim yang tidak “bersih”
malah menawari si terdakwa. Bahkan tak jarang ada terdakwa yang justru takut
hukumannya akan tambah berat jika tidak menerima tawaran tersebut
5. Lemah Iman
Iman Yang Lemah otamatis akan membuat seseorang akan jauh dari Tuhan
YME. Hal itu merupakan faktor utama yang menyebabkan seseorang dengan mudah
melakukan dan menerima suap. Mengesampingkan fakta bahwa apa yang mereka
lakukan itu adalah perbuatan dosa. Tidak ada rasa takut sama sekali akan
perbuatan itu. Karena jika iya, mereka tidak akan pernah melakukan suap apalagi
sampai melakukan korupsi karena perbuatan itu dapat menyeretnya ke neraka.
Dalam sidang yang dipimpin Ketua Majelis Hakim Tipikor Antonius Widjantono, Sri
Hartini didakwa menerima gratifikasi dan uang suap hingga miliaran rupiah.
"Saudari Sri Hartini saat menjabat Bupati Klaten melakukan perencanaan menerima
gratifikasi serta uang imbalan dalam program penataan Struktur Organisasi dan Tata
Kerja (SOTK) tahun anggaran 2016 dan 2017 di lingkungan Pemkab," kata Antonius
di persidangan.
Ia mengatakan nilai suap yang diberikan kepada Sri Hartini bervariasi tergantung
kenaikan pangkat yang diinginkan oleh tiap pegawai negeri sipil. Ia pun menyebut
bahwa uang suap itu sebagai dana syukuran karena tiap pegawai telah diberi
kenaikan pangkat.
Diluar kasus suap, hakim menyatakan Sri Hartini juga melakukan gratifikasi dengan
total nilai mencapai Rp 9,17 Miliar.
Kerugian negara Rp 12 M
Jaksa Penuntut Umum dari Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), Avni Carolina
lantas membeberkan secara gamblang gratifikasi yang dilakukan sang bupati.
Menurutnya, gratifikasi tersebut berasal dari ratusan kepala desa, guru-guru dan
pegawai Dinas Pendidikan yang berkaitan dengan berbagai hal di bidang
pemerintahan.
"Gratifikasi diterima Sri Hartini dari 148 kepala desa berkaitan dengan pengelolaan
dana bantuan keuangan desa. Seorang kepala desa mengaku memberi dana
setoran mulai Rp 7,5 juta hingga Rp 200 juta," jelasnya. "Namun dalam pemberian
gratifikasi sama sekali tidak melaporkan kepada KPK.”
Jaksa mendakwa Sri Hartini melanggar Pasal 12a Undang-undang Nomor 31 tahun
1999 yang diubah dan ditambahkan dengan Undang-undang Nomor 20 tahun 2001
tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi junto Pasal 64 ayat 1 Kitab Undang-
Undang Hukum Pidana.
Kemudian dalam dakwaan kedua yang bersangkutan dijerat Pasal 12b Undang-
undang Nomor 31 tahun 1999 yang diubah dan ditambahkan dengan Undang-
undang Nomor 20 tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.
"Total kerugian negara akibat tindakan gratifikasi dan suap jabatan mencapai Rp 12
Miliar dan terdakwanya hanya satu atas nama Sri Hartini," paparnya.
Sri Hartini dikenai dakwaan dengan perbuatan berlanjut karena sudah berulang kali
menerima uang syukuran dan gratifikasi dari tiap pegawai maupun kepala desa.
"Dua dakwaan itu akan kami buktikan di sidang," katanya.
Menurutnya dalam sidang kasus suap jabatan terdapat hampir 500 saksi yang
bersedia hadir. Akan tetapi, ia mengaku akan memilah nama-nama yang dianggap
krusial dengan alasan memperpendek waktu persidangan. "Dalam berkas ada 500
orang tapi akan dipilah dan tidak seluruhnya," ujarnya.
Usai mendengar dakwaan jaksa, Bupati Klaten nonaktif Sri Hartini mengatakan tidak
akan mengajukan eksepsi. "Saya tidak akan mengajukan eksepsi bapak hakim,
karena dirasa tidak perlu melakukan upaya tersebut," sergahnya.
Deddy Suwadi, kuasa hukum Sri Hartini menilai dakwaan jaksa kurang tepat. Sebab,
kliennya selama menjabat sebagai bupati tergolong sangat pasif.
"Padahal yang tahu kenaikan pangkat kan dari BKD, tapi kenapa malah ditimpakan
kepada bupati. Itu juga (tindakan suap-menyuap jabatan) sudah jadi tradisi lama di
Klaten," katanya.
Deddy menambahkan ada dua tim kuasa hukum dari Jakarta dan Kota Gudeg
Yogyakarta yang mendampingi kliennya.
Mereka ditangkap tangan karena dugaan kasus suap senilai Rp13 miliar dalam
proses pengurusan sejumlah izin yang diperlukan dalam pembangunan fase
pertama proyek Meikarta seluas 84,6 hektare. Saat ini, KPK terus mengembangkan
penyidikan kasus tersebut.
Hal ini membuka ruang untuk pemberian diskresi dari kepala daerah maupun
instansi terkait. Pelaku usaha yang ingin perizinan proyek mereka bisa berjalan
secepat mungkin, dan bahkan kalau perlu tidak mengurusnya dan birokrasi tamak
sering memanfaatkan celah tersebut untuk bermain.
Pengusaha yang selalu menganggap waktu adalah uang dan tidak mau
proyeknya terhambat menggunakan cara kotor agar bisnis mereka jalan. Maklum,
dalam menjalankan bisnis hunian, semakin lama berjalan biaya yang mereka pikul
akan semakin besar.
Peningkatan biaya bisa timbul akibat biaya pinjaman yang terus naik. "Karena kalau
semakin lama, argo pinjaman terus naik," katanya kepada CNNIndonesia.com, Rabu
(18/10).
Di sisi lain, pengembang juga sering terikat komitmen dan jadwal pembangunan
dengan vendor material dan konsumen. Sekali molor, hancur reputasi bisnis
mereka.
Pun begitu dengan birokrasi yang memang tamak. Karena ingin mendapatkan uang
besar dengan cara haram, mereka sering memanfaatkan celah tersebut untuk
mempermainkan pengusaha.
CEO Indonesia Property Watch (IPW) Ali Tranghanda mengatakan tak kaget melihat
proyek terbesar Group Lippo itu akhirnya tersandung masalah suap. Menurutnya,
persoalan perizinan masih menjadi masalah klasik di sektor properti di Indonesia.
Selain prosedur yang rumit, izin sampai saat ini masih belum transparan. Ali
mengatakan idealnya, proses perizinan proyek properti tak lebih dari tiga bulan.
Namun, dalam praktiknya, proses perizinan di Indonesia bisa memakan waktu lebih
dari tiga bulan bahkan bertahun-tahun.
"Pelaku usaha ingin mempercepat izinnya tetapi di sisi lain banyak mekanisme
perizinan yang belum simpel, karena itulah masalah terjadi," ujarnya.
Reformasi
Atas masalah itulah, baik Yayat maupun Ali, meminta pemerintah untuk segera
melakukan perbaikan. Yayat mengatakan agar kejadian yang terjadi pada
Meikarta tidak berulang, pemerintah dimintanya segera menerbitkan peraturan
presiden berisi percepatan penyusunan rencana detail tata ruang dan zonasi
daerah.
Perpres tersebut diperlukan untuk mencegah terjadinya kekosongan hukum maupun
pemberian diskresi dalam pemberian perizinan di daerah yang bisa dimanfaatkan
oleh birokrat culas. Dari sisi pengembang, imbauan yang sama juga dia sampaikan.
Sementara itu, Ali meminta pemerintah untuk menciptakan sistem perizinan yang
transparan agar celah suap bisa ditutup. Tak kalah penting, ia juga meminta
pemerintah menerapkan mekanisme pengawasan ketat.
(agt/bir)
a.Pengertian Korupsi
Korupsi atau rasuah (Bahasa Latin: corruptio dari kata kerja corrumpere yang
bermakna busuk,rusak , menggoyahkan, memutarbalik, menyogok) adalah tindakan
pejabat publik, baik politisi maupun pegawai negeri, serta pihak lain yang terlibat
dalam tindakan itu yang secara tidak wajar dan tidak legal menyalahgunakan
kepercayaan publik yang dikuasakan kepada mereka untuk mendapatkan
keuntungan sepihak.
Dari sudut pandang hukum, tindak pidana korupsi secara garis besar memenuhi
unsur-unsur sebagai berikut:
Dalam arti yang luas, korupsi atau korupsi politis adalah penyalahgunaan
jabatan resmi untuk keuntungan pribadi. Semua bentuk pemerintah|pemerintahan
rentan korupsi dalam praktiknya. Beratnya korupsi berbeda-beda, dari yang paling
ringan dalam bentuk penggunaan pengaruh dan dukungan untuk memberi dan
menerima pertolongan, sampai dengan korupsi berat yang diresmikan, dan
sebagainya. Titik ujung korupsi adalah kleptrokasi , yang arti harafiahnya
pemerintahan oleh para pencuri, di mana pura-pura bertindak jujur pun tidak ada
sama sekali.
Korupsi yang muncul di bidang politik dan birokrasi bisa berbentuk sepele atau
berat, terorganisasi atau tidak. Walau korupsi sering memudahkan kegiatan kriminal
seperti penjualan narkotika, pencucian uang, dan prostitusi, korupsi itu sendiri tidak
terbatas dalam hal-hal ini saja. Untuk mempelajari masalah ini dan membuat
solusinya, sangat penting untuk membedakan antara korupsi dan kejahatan.
Tergantung dari negaranya atau wilayah hukumnya, ada perbedaan antara yang
dianggap korupsi atau tidak. Sebagai contoh, pendanaan partai politik ada yang
legal di satu tempat namun ada juga yang tidak legal di tempat lain.
1. Rakyat yang cuek, tidak tertarik, atau mudah dibohongi yang gagal memberikan
perhatian yang cukup ke pemilihan umum.
2. Ketidakadaannya kontrol yang cukup untuk mencegah penyuapan atau "sumbangan
kampanye".
Mereka adalah:
1. Pasal 5 ayat (1) dan Pasal 20 ayat (1) Undang-Undang Dasar 1945;
2. Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia Nomor
XI/MPR/1998
tentang Penyelenggara Negara yang Bersih dan Bebas Korupsi, Kolusi, dan
Nepotisme;
Dengan Persetujuan
DEWAN PERWAKILAN RAKYAT REPUBLIK INDONESIA
MEMUTUSKAN :
Menetapkan :
Pasal 1
Pasal 2
Pasal 3
Setiap orang yang dengan tujuan menguntungkan diri sendiri atau orang lain
atau suatu
korporasi, menyalahgunakan kewenangan, kesempatan atau sarana yang ada
padanya
karena jabatan atau kedudukan yang dapat merugikan keuangan negara atau
perekonomian negara, dipidana dengan pidana penjara seumur hidup atau pidana
penjara
paling singkat 1 (satu) tahun dan paling lama 20 (dua puluh) tahun dan atau denda
paling
sedikit Rp. 50.000.000,00 (lima puluh juta rupiah) dan paling banyak Rp.
1.000.000.000,00
(satu milyar rupiah).
Pasal 4
Pasal 5
Pasal 6
1. Upaya Pencegahan
2. Upaya Penindakan
3. Upaya Edukasi
A. KESIMPULAN
B. SARAN