Anda di halaman 1dari 10

1

BAB I
SEPUTAR BAHASA INDONESIA

A. Sejarah Bahasa Indonesia


Bahasa Indonesia berasal dari bahasa Melayu. Bahasa Melayu adalah
bahasa daerah yang dipakai oleh orang Melayu, yakni penduduk yang bermukim
di wilayah Johor, negara-negara Jasirah Semenanjung, Riau, Lingga, dan
sebagian di Sumatra Timur. Menurut Ki Hajar Dewantoro, bahasa Indonesia
tepatnya berasal dari bahasa Melayu Riau sebagaimana diungkapkan dalam
Kongres Bahasa Indonesia I tahun 1939 di Solo, Jawa Tengah, "jang dinamakan
'Bahasa Indonesia' jaitoe bahasa Melajoe jang soenggoehpoen pokoknja berasal
dari 'Melajoe Riaoe', akan tetapi jang soedah ditambah, dioebah ataoe
dikoerangi menoeroet keperloean zaman dan alam baharoe, hingga bahasa itoe
laloe moedah dipakai oleh rakjat di seloeroeh Indonesia; ...".
Bahasa Melayu Riau dijadikan sebagai bahasa Melayu Tinggi atau Melayu
Baku yang merupakan bahasa dengan logat utama untuk bahasa Indonesia. Jadi,
bahasa Indonesia disebut sebagai dialek baku dari bahasa Melayu Riau. Bahasa
Melayu Riau inilah bahasa yang digunakan sebagai bahasa pengantar di sekolah-
sekolah dan dalam kesusastraan. Misalnya, bahasa yang dipakai dalam kitab
Sejarah Melayu, Hikayat Hang Tuah, dan sebagainya.
Terbentuknya bahasa Melayu menjadi bahasa Indonesia tidak terjadi
dalam waktu yang singkat, tetapi proses itu membutuhkan waktu yang berabat-
abat. Perubahan itu dialami baik secara kultural melalui proses alami sebagai
sarana komunikasi maupun politis dan yuridis yang berakibat pada penyesuaian
dari struktur dan khasanahnya. Pertumbuhan dan perkembangan itu dapat disimak
pada masa-masa berikut ini.
1. Bahasa Melayu pada Masa Sriwijaya
Kerajaan Sriwijaya berkuasa mulai dari abad 7 M sampai abad 13M. Pada
jaman Sriwijaya, bahasa Melayu sudah digunakan sebagai alat komunikasi. Hal
itu terbukti dari prasasti-prasasti (batu tertulis) yang menggunakan bahasa
Melayu. Prasasti-prasasti tersebut di antaranya:
2

a. Prasasti di Kedukan Bukit (sekitar Palembang) bertarikh 605 Tahun


Saka, bersamaan dengan 683 M (Masehi). Prasasti Kedukan Bukit
menggunakan huruf Palawa, yaitu sejenis tulisan India Selatan Purba bagi
penyebaran agama Hindu. Dari prasasti ini jelas terlihat walaupun
pernyataan yang ingin disampaikan itu berkenaan dengan Raja Sriwijaya
yang menganut faham Hindu tetapi pengaruh bahasa Melayu terhadap
bahasa Sansekerta sudah demikian meluas (lihat lampiran 1).
b. Prasasti di Talang Tuwo (di dekat Palembang) berangka tahun 684.
Prasasti di Talang Tuwa pengaruh bahasa Melayu lebih luas (Lihat
lampiran 2).
c. Prasasti di Kota Kapur (Bangka Barat) kerangka tahun 686. Pada Batu
Bersurat Kota Kapur perkataan/bahasa Melayu telah lebih banyak
ditemukan dan unsur bahasa Sansekerta semakin berkurang. Beberapa
perkataan bahasa Melayu Kuno sebahagian telah memperlihatkan ciri
khasnya dan sebahagian lagi kekal digunakan hingga kini, seperti: abai,
aku, batu, banyak, benua, beri, buat, bulan, bunuh, datu, dengan, di dalam,
dosanya, durhaka, gelar, hamba, jahat, jangan, kait, kasihan, kedatuan,
keliwat, kita, lawan, maka, mati, merdeka, mula, orang, pahat,
persumpahan, pulang, roga, sakit, suruh, tapik, tambal, tatkalanya, tetapi,
tida, tuba, ujar, ulang, ulu, dan yang. Imbuhan awalan ialah: ni-, di-, mar-,
par-, ka-. Terdapat akhiran juga yakni, -i dan -an.
d. Prasasti di Karang Brahi ( antara Jambi dan Sungai Musi) kerangka
tahun 688. Bukti bertulis yang terdapat pada batu bersurat ini merupakan
salah satu batu bersurat terpenting, namun tidak banyak maklumat yang
diketahui dengan pasti tentang bahasa Melayu Kuno pada batu bersurat
ini.
Dari prasasti-prasasti tersebut juga dapat diprediksi bahwa sebelum
ditemukan bukti sejarah berupa tulisan pada batu bersurat, tentu pada masa
sebelumnya bahasa Melayu telah digunakan untuk masa yang panjang. Karena
pada batu bersurat Kedukan Bukit, awal tahun ditemukan prasasti tersebut,
perbendaharaan kata dan struktur kalimatnya sudah tersusun seperti bahasa
3

Indonesia. Dengan begitu, jauh sebelum tahun 683 M Bahasa Melayu telah
digunakan dalam pemerintahan. Untuk memberi nama pada bahasa yang tidak
mempunyai bukti sejarah tersebut (sebelum bahasa orang India masuk ke
Nusantara), diberi nama bahasa Melayu Purba.
Seperti diketahui kerajaan Sriwijaya merupakan kerajaan nasional pertama
yang memliki wilayah yang luas. Pada abad ke-12, wilayah kekuasaan Sriwijaya
meliputi Sumatera, Sri Lanka, semenanjung Melayu, Jawa Barat, Sulawesi,
Maluku, Kalimantan, dan Philipina. Kerajaan Sriwijaya adalah kerajaan maritim
yang memiliki armada perkapalan untuk perdagangan. Untuk mempermudah
hubungan, mereka menggunakan bahasa Melayu.
Untuk membuktikan penggunaan bahasa Melayu sebagai alat komunikasi
di wilayah pulau Jawa, ada dua prasasti yang menggunakan bahasa Melayu Kuno.
Pertama di daerah Kedu, Jawa Tengah, yang terkenal dengan prasasti Gondasuli
tahun 832 dan . Di samping itu adanya penyebaran yang luas terhadap bahasa
Melayu dapat dilihat adanya bermacam-macam dialek di daerah. Misalnya dialek
Melayu Ambon, Larantuka,, Kupang, Jakarta, Manado, dan sebagainya.
Dalam catatan Tiongkok dikabarkan adanya pengembara-pengembara
Tiongha yang bertahun-tahun tinggal di kota-kota Sriwijaya. Mereka mnyebut-
nyebut menggunakan bahasa Kwu'un lun. Musafir I Tsing yang belajar di
Sriwijaya pada abat ke-7 juga mempergunakan bahasa itu. Bahasa Kwu'un lun
yang dimaksud tidak lain adalah bahasa Melayu Kuno.
Tepatnya pada tahun 1356 telah ditemukan prasasti yang bahasanya prosa
diselingi puisi. Kenyataan tersebut membuktikan bahwa bahasa Melayu tidak
hanya digunakan dalam komunikasi dalam kehidupan sehari-hari, tetapi dipakai
dalam bahasa kesusastraan dan kebudayaan.
2. Bahasa Melayu pada Masa Kerajaan Malaka
Pada abad 14 Sriwijaya bukan lagi pusat kekuasaan, perniagaan, dan
kebudayaan, melainkan sudah pindah di tanah semenanjung dengan pusat di
Malaka. Kesultanan Malaka (1402 - 1511) adalah sebuah kesultanan yang
didirikan oleh Parameswara, seorang putera Sriwijaya yang melarikan diri dari
perebutan Palembang oleh Majapahit. Pada 1402, dia mendirikan sebuah ibu kota
4

baru, Melaka yang terletak pada penyempitan Selat Malaka. Pada 1414, dia
berganti menjadi seorang Muslim dan menjadi Sultan Malaka.
Bersamaan dengan itu pula keislaman rajanya diikuti oleh rakyatnya.
Sudah bisa dipastikan Malaka menjadi pintu gerbang sersebarnya agama Islam di
seluruh Asia Tenggara bersama-sama dengan lajunya perdagangan. Dengan
pesatnya perkembangan perdadangan dan tersebarnya agama Islam, berkembang
pula bahasa Melayu sebagai sarana komunikasi di antara mereka.
Dengan masuknya agama Hindu pada masa Sriwijaya dan Islam pada
masa kerajaan Malaka, bahasa Melayu mempunyai warna baru. Tepatnya pada
abad XIV-XVII didapati banyak hasil kesusastraan lama dalam bentuk pelipur
lara, hikayat, dongeng-dongeng, dan sebagainya. Dalam kesusastraan lama
tersebut bahasa Melayu menerima unsur-unsur dari luar untuk memperkaya
dirinya, yaitu bahasa sansekerta dengan unsur-unsur Hindu dan dari Bahasa Arab-
Persia dengan unsur-unsur Islam.
3. Bahasa Melayu pada Masa Kolonial
Pada tahun 1511 kerajaan Malaka jatuh di tangan Portugis. Malaka
diserang pasukan Portugis di bawah pimpinan Alfonso de Albuquerque pada 10
Agustus 1511 dan berhasil direbut pada 24 Agustus 1511. Ketika bangsa Portugis
datang di pulau ini, mereka sudah mendapati bahasa Melayu sebagai bahasa
perantara (lingua franca). Hal ini dibuktikan dengan adanya kamus Maleische
Woorden-lijst, daftar kata-kata dalam bahasa Melayu. Kamus ini disusun oleh
Pigafetta, seorang bangsa Portugis yang menumpang eskader Magelhaens pada
tahun 1522, setelah ia mengunjungi Tidore. Kesimpulannya, berarti sebelum itu
bahasa Melayu sudah tersebar sampai di kepulauan Maluku.
Tahun 1596 empat kapal Belanda debawah pimpinan Cornelis de
Houtman tiba di Banten. Mereka di sambut dengan tangan terbuka. Bagi Banten
semakin banyak kapal berlabuh semakin banyak keuangan kerajaan. Persaingan
dagang tinggi karena banyak pedagang Eropa yang datang di Nusantara.
Persaingan juga terjadi antar pedagang Belanda. Karena itu Belanda mendirikan :
VOC (Verenigde Oost Indische Compagnie).
5

Sejak jaman VOC Belanda mempergunakan bahasa Melayu sebagai


perantara untuk berhubungan dengan rakyat dan raja beserta rakyatnya. Begitu
pula dalam administrasi pemerintahannya. Di Maluku dalam bidang
pembelajaran, Belanda mengubah bahasa Portugis dengan bahasa Belanda sebagai
bahasa pengantara di sekolah-sekolah. Karena kesulitan, digunakan bahasa
Melayu sebagai gantinya. Menurut Brugmans, dalam bukunya Geschies van het
Onderwijs in Nederlands Indie menegaskan bahwa bahasa Melayu pada waktu itu
telah menjadi bahasa perantara di daerah-daerah Maluku.
4. Bahasa Melayu pada Masa Pergerakan Nasional
Masa pergerakan nasional adalah masa adanya kesadaran berbangsa dan
bertanah air sebagai dasar motivasi untuk mengusir penjajah. Untuk
mempersatukan pergerakan secara nasional ini perlu adanya sarana yang mengikat
agar seluruh rakyat ikut terlibat. Karena itu, mereka mencari bahasa yang tepat
sebagai bahasa persatuan yang bisa digunakan oleh semua lapisan masyarakat.
Sudah barang tentu sangat sulit menentukan bahasa nasional karena setiap
suku senang mempergunakan bahasa daerahnya masing-masing. Tiap
perhimpunan pemuda, apakah itu Jong Java, Jong Maluku, Jong Sumatra, dan
lain-lain lebih suka menggunakan bahasanya sendiri. Hal ini sangat menghambat
untuk mempersatukan seluruh lapisan masyarakat guna menumbuhkan semangat
kebangsaan.
Pada tahun 1908 pemerintah kolonial Belanda mendirikan komisi yang
bertugas menyediakan bacaan rakyat, yakni Comissie voor de Volkslectuur
dengan ketuanya Dr. G.A.J. Hazeu. Kemudian pada tahun 1917 komisi ini diubah
namanya menjadi Balai Pustaka. Badan ini kegiatannya menyediakan bacaan-
bacaan untuk rakyat dengan bahasa Melayu. Dari Balai pustaka inilah muncul
roman Azab dan Sengsara karangan Merari Siregar pada tahun 1920.
Pada tahun 1918 Volksraad (Dewan Rakyat) dilantik pemerintah Belanda.
Dalam dewan ini para pemuda diberi kebebasan oleh pemerintah Belanda untuk
mempergunakan bahasa Melayu untuk perundingan-perundingan dalam rapat-
rapat dewan. Namun kesempatan ini tidak dimanfaatkan sebagaimana mestinya.
6

Pada tahun 1926 dari Jong Java ada keinginan untuk memilih salah satu
bahasa daerah sebagai bahasa persatuan. Dengan adanya bahasa nasional dapat
dipakai sarana penghubung pemuda-pemidi di seluruh Indonesia. Sementara itu,
pemuda-pemuda Sumatra, seperti terungkap dalam konggres II Jong Sumatra,
sudah berkeinginan bahasa Melayu Riau digunakan sebagai bahasa persatuan.
Dengan satu tujuan dari seluruh pemuda dan pemudi Indonesia yang berkeinginan
kuat untuk mempersatukan guna mencapai cita-cita kemerdekaan, akhirnya
menerima bahasa Melayu sebagai bahasa persatuan.
Tepatnya pada tanggal 28-10-1028 pemuda-pemudi Indonesia berhasil
menyelenggararan Konggres Pemuda di Jakarta yang merupakan peristiwa yang
monumental dalam tonggak sejarah perjuangan bangsa Indonesia. Peristiwa itu
yang populer dengan nama Sumpah Pemuda. Tiga butir pernyataan para pemuda
tersebut seperti terungkap di bawah ini:
1. Kami putra-putri Indonesia mengaku bertumpah darah yang satu –
Indonesia.
2. Kami putra dan putri Indonesia mengaku berbangsa yang satu – Bangsa
Indonesia.
3. Kami putra dan putri Indonesia menjunjung bahasa persatuan – Bahasa
Indonesia.
Dari uraian di atas dapat digarisbawahi bahwa bahasa Melayu mampu
menjadi bahasa Indonesia karena memiliki sifat-saifat sebagai berikut: pertama,
bahasa Melayu sebelum masa Sriwijaya sudah menjadi bahasa perantara (lingua
franca) di antara ssuku-suku di Indonesia. Kedua, bahasa melayu memiliki sifat
demokratis, bisa menerima unsur-unsur bahasa baik dari asing maupun daerah,
baik dalam struktur maupun khasanah kosa-kata. Ketiga, terbukti dari prasasti-
prasasti, bahasa Melayu telah berabat-abat menjadi bahasa kesusastraan,
kebudayaan, dan pemerintahan.
Lalu apakah perbedaannya bahasa melayu dengan bahasa Indonesia,
seperti yang digunakan sekarang ini? Seperti dicetuskan dalam Konggres
Bahasa Indonesia II di Medan, yaitu : "bahwa asal bahasa Indonesia ialah
7

Bahasa Melayu yang disesuaikan dengan pertumbuhannya dalam masyarakat


Indonesia".
Kenyataan tersebut dengan sendirinya tercermin dalam hakikat bahasa
Indonesia. Secara historis, bahasa Indoensia merupakan salah satu dialek
temporal dari bahasa Melayu, yang strukturnya atau khasanahnya sebagian besar
masih sama atau mirip dengan dialek-dialek temporal terdahulu, seperti bahasa
Melayu klasik dan bahasa Melayu Kuno (Alwi, 2005:xxv).
B. Bahasa Indonesia sebagai Bahasa Persatuan
Dasar sosiologi bahasa Indonesia sebagai bahasa persatuan atau bahasa
Nasional, adalah dengan telah diikrarkannya Sumpah Pemuda pada tanggal 28-10-
1928. Ikrar itu seperti tercantum pada butir ketiga, pada naskah tersebut, "Kami
putra dan putri Indonesia menjunjung bahasa persatuan – Bahasa Indonesia". Ikrar
itu mengisyaratkan keinginan pemuda dan pemudi Indonesia untuk memiliki satu
bahasa persatuan untuk memudahkan berkomunikasi guna mencapai satu tujuan
bersama.
Terpilihnya satu bahasa, yakni bahasa Indonesia, sebagai bahasa persatuan
dan sekaligus tanpa adanya pertumpahan darah, dapat dipandang sebagai rohmat
dan dengan sendirinya merupakan keuntungan. Yang lebih mengherankan, dari
berbagai kelompok kepentingan, cendekiawan, golongan politik, dan kelompok
sosial lainnya dengan suka rela menerima bahasa Indonesia yang berasal dari
bahasa Melayu itu sebagai bahasa persatuan. Padahal, saat itu di Indonesia, bahasa
Jawa digunakan penduduknya dalam komunitas yang paling besar.
Berbeda di negara-negara lain, ada yang memiliki beberapa bahasa sebagai
bahasa nasional. Misalnya, hingga saat ini, bangsa India belum memiliki bahasa
nasional. Mereka masih menggunakan bahasa Inggris-India sebagai bahasa ko-
munikasi antarsuku bangsa, walau berkali-kali telah diadakan upaya untuk
membuat bahasa mayoritas demografi, yaitu bahasa Hindi, sebagai bahasa
nasional. Bangsa Sri Lanka pun sampai sekarang masih menggunakan bahasa
Inggris sebagai bahasa resmi. Hal yang sama juga dialami bangsa Filipina.
Walaupun Filipina telah menyatakan bahwa bahasa Tagalok yang merupakan
8

bahasa kaum terpelajar menjadi bahasa nasionalnya, namun banyak sukubangsa


lain, seperti Cebuano masih enggan belajar bahasa tersebut.
Berbeda dengan bangsa Malaysia yang sudah memiliki bahasa nasional
yang mantap, yakni bahasa Malaysia, tetapi masih banyak orang Malaysia ke-
turunan Cina dan Keling yang enggan menggunakannya dengan baik. Adapun
bangsa Papua Nugini mempunyai dua bahasa resmi, yaitu bahasa Pidgin (yang
berasal dari bahasa Inggris) di sebelah utara dan bahasa Motu di bagian selatan.
Komunikasi antarkedua bagian negara itu dilakukan dalam bahasa Inggris
Australia.
Bahasa Indonesia sebagai bahasa persatuan mengandung pengertian bahwa
bahasa Indonesia digunakan sebagai alat untuk menyatukan seluruh rakyat
Indonesia yang terdiri dari berbagai suku bangsa ke dalam kesatuan yang utuh dan
tidak terpecah-pecah. Peran bahasa Indonesia sebagai bahasa persatuan terbukti
pada masa memperjuangkan dan mempertahankan kemerdekaan.
Demikianlah pada masa perjuangan fisik bahasa Indonesia membuktikan
hal itu. Berbagai putra Indonesia yang berasal dari berbagai suku bangsa berjuang
bersama teman-temannya dari suku bangsa lain di berbagai tempat yang berbeda.
Seseorang yang berasal dari suku Jawa berjuang bersama teman-temannya yang
berasal dari Sumatra di Sumatra atau dapelosok lain di Indonesia. Pemuda dari
Ambon, Menado, Sumatra berjuang bersama teman-temannya yang berasal dari
Madura, Jawa di Jawa. Salah satu yang mengikat mereka dan yang dapat
menghubungkan mereka dalam pergaulan adalah bahasa Indonesia. Banyak
mereka yang tidak mengerti bahasa setempat, tapi mereka toh dapat bersatu
karena disatukan oleh bahasa Indonesia, di samping hal-hal lainnya (Junus,
1969:47).
Sementara itu, peran bahasa Indonesia sebagai bahasa persatuan dalam
upaya mempertahankan kemerdekaan terbukti saat Belanda melancarkan agresi
ke-2 pada tahun 1948. Peristiwa ini memaksa seluruh putra-putra Indonesia
masuk ke desa-desa kecil. Kesatuan mereka dengan teman-temannya makin
dimungkinkan dengan adanya bahasa Indonesia sebagai sarana perhubungan di
antara mereka.
9

Sebagai bahasa persatuan, bahasa Indonesia memiliki kedudukan lebih


tinggi daripada bahasa-bahasa daerah. Hal ini bukan berarti tidak serta merta
mengenyampingkan bahasa daerah tetapi justru bahasa-bahasa daerah tersebut
sebagai kekayaan budaya bangsa yang harus dipelihara. Hal ini dilindungi oleh
negara seperti tercantum dalam UUD 1945 pasal 32 ayat 2 yang berbunyi,
"Negara menghormati dan memelihara bahasa daerah sebagai kekayaan budaya
nasional".
Dari uraian di atas dapat digarisbawahi bahwa dalam kedudukannya
sebagai bahasa nasional, bahasa Indonesia berfungsi sebagai (1) lambang
kebangsaan nasional, (2) lambang identitas nasional, (3) alat pemersatu berbagai
suku bangsa yang latar belakang sosial budaya dan bahasanya berbeda, dan (4)
alat perhubungan antardaerah dan antarbudaya. Selanjutnya, peran bahasa
Indonesia setelah kemerdekaan mengarah pada fungsi bahasa Indonesia sebagai
bahasa resmi yang sangat berperan dalam pembangunan.
C. Bahasa Indonesia sebagai Bahasa Resmi
Bahasa Resmi suatu negara adalah satu atau lebih bahasa yang dipakai
oleh pemerintah dalam menerbitkan maklumat-maklumat dan juga bahasa yang
dipakai oleh warganya untuk berhubungan dengan instansi pemerintah secara
resmi. Bahasa resmi juga yang dipakai dalam pengajaran di instansi pendidikan.
Seringkali (salah satu) bahasa resmi suatu negara bukan bahasa asli negara
tersebut melainkan bahasa warisan dari kaum penjajah. Bahkan seringkali bahasa
resmi tidak memiliki native speaker atau penutur asli. Hal ini terjadi antara lain di
beberapa negara di Afrika bekas jajahan Perancis, Singapura dengan bahasa
Inggris, Suriname dengan bahasa Belanda dan Timor Leste dengan bahasa
Portugis.
Bangsa Indonesia patut bersyukur bahwa bahasa resmi bangsa Indonesia
berasal bukan dari bahasa penjajah, melainkan bahasanya sendiri yakni bahasa
Indonesia. Tonggak sejarah telah menancapkan bahwa pada tanggal 17 Agustus
1945 bangsa Indonesia, dengan semangat perjuangannya, telah memperoleh
kemerdekaan. Sehari setelah itu, tepatnya tanggal 18 Agustus 1945, pemerintah
kemudian mengesahkan UUD 1945 sebagai konstitusi negara dan sekaligus
10

menjadi landasan hukum untuk menyelenggarakan pemerintahannya. Sejak itulah


bahasa Indonesia menjadi bahasa negara atau bahasa resmi. Hal tersebut
tercantum dalam UUD 1945 pasal 36 ayat 1 berbunyi, "Bahasa negara adalah
bahasa Indonesia".
Bunyi pasal 31 ayat 2 UUD 1945 tersebut mengandung pengertian bahwa
segala macam bentuk penyelenggaraan pemerintahan, bahasa yang digunakan
adalah bahasa Indonesia. Bahasa Indonesia sebagai bahasa negara atau bahasa
resmi mengemban tugasnya sebagai administrasi negara, dalam pengumuman
resmi negara, dalam sidang-sidang kenegaraan, dalam pelaksanaan memperingati
hari-hari besar kenegaraan, dan dalam pengantar pendidikan di sekolah.
Bahasa Indonesia sebagai bahasa resmi dalam fungsinya untuk
administrasi negara memberikan arahan bahwa segala bentuk administrasi yang
berkaitan dengan pemerintahan harus menggunakan bahasa Indonesia. Hal ini
tercermin bahwa dalam kantor-kantor pemerintahan untuk membuat surat-surat
resmi dengan menggunakan bahasa Indonesia. Dalam hal ini termasuk
penduduknya yang ingin berhubungan dengan pemerintah administrasinya harus
menggunakan bahasa Indonesia. Misalnya dalam pengurusan KTP, pengurusan
sertifikat tanah, surat pengantar dalam perjalanan dan sebagainya.
Sedangkan bahasa Indonesia sebagai bahasa resmi dalam kaitannya dalam
pengumuman resmi negara terlihat pada bahasa yang digunakan pejabat negara
dalam mengemban tugasnya sehari-hari guna mengumumkan perkembangan
pembangunan dalam segala bidang. Demikian pula dalam sidang-sidang
kenegaraan, bahasa Indonesia sebagai sarana komunikasi untuk bertukar pikiran
dalam pertemuan-pertemuan resmi. Sementara itu, fungsi bahasa Indonesia
sebagai bahasa resmi dalam hubungannya sebagai bahasa pengantar pendidikan di
sekolah-sekolah akan menjadi pijakan bahwa bahasa pengantar di lembaga
pendidikan mulai dari tingkat yang terendah sampai pendidikan tertinggi dengan
menggunakan bahasa Indonesia. Demikian pula bahasa Indonesia juga digunakan
dalam penelitian-penelitian.

Anda mungkin juga menyukai